BAB II TINJAUAN PUSTAKA, HASIL PENELITIAN DAN...
Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKA, HASIL PENELITIAN DAN...
18
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA, HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
1.1. Tinjauan Pustaka
1.1.1. Perselisihan Hubungan Industrial
Perselisihan sangat identik dengan membahas masalah konflik.
Menurut ketentuan Pasal 1 Angka 22 Undang-Undang Ketenagakerjaan,
perselisihan hubungan industrial adalah perbedaan pendapat yang
mengakibatkan pertentangan antara pengusaha atau gabungan pengusaha
dengan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh karena adanya
perselisihan mengenai hak, perselisihan kepentingan, dan perselisihan
pemutusan hubungan kerja serta perselisihan antar serikat pekerja/serikat
buruh hanya dalam satu perusahaan.1 Dengan kata lain, perselisihan
hubungan industrial dapat diakui sebagai kondisi dimana terdapatnya
perbedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan kepentingan antara
Pengusaha dengan Karyawan karena adanya perselisihan mengenai hak,
kepentingan, Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) atau perjanjian kerjasama.
Perselisihan hubungan industrial merupakan hal yang tidak dapat dihindari.
Oleh sebab itu, semua pihak yang terlibat dalam perselisihan harus bersikap
lapang dada serta berjiwa besar untuk menyelesaikan permasalahn yang
dihadapi. Jenis perselisihan hubungan industrial meliputi empat macam,
yakni:
1 Abdul khakim, Abdul Khakim, Dasar-Dasar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, (Bandung: PT.
Citra Aditya Bakti, 2014), cet-1 ed-IV , hlm. 143.
19
a. Perselisihan Hak
Yaitu perselisihan yang timbul karena tidak dipenuhinya hak, akibat
adanya perbedaan pelaksanaan dan penafsiran terhadap ketentuan
peraturan perundang-undangan, PK, PP dan atau PKB.
b. Perselisihan Kepentingan
Yaitu perselisihan yang timbul dalam hubungan kerja karena tidak
adanya kesesuaian pendapat mengenai pembuatan, dan atau perubahan
syarat-syarat kerja yang ditetapkan dalam PK, PP, dan atau PKB.
c. Perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja
Yaitu perselisihan yang timbul karena tidak adanya kesesuaian
pendapat mengenai pengakhiran hubungan kerja yang dilakukan oleh
salah satu pihak.
d. Perselisihan antar SP/SB hanya dalam Satu Perusahaan
Yaitu perselisihan antara SP/SB dengan SP/SB lain hanya dalam satu
perusahaan karena tidak adanya persesuaian paham mengenai
keanggotaan, pelaksanaan hak dan kewajiban keserikatpekerjaan.
Dari berbagai macam perselisihan hubungan industrial diatas, yang
terjadi antara Penggugat yaitu Sdr. Erikson Situmorang dengan Tergugat
dalam hal ini PT. Inti Komparindo Sejahtera merupakan perselisihan hak
yang kemudian memicu lahirnya perselisihan pemutusan hubungan kerja.
Perselisihan yang terjadi antara pengusaha dengan pekerja/buruh harus segera
diselesaikan guna menghindari permasalahan yang berkepanjangan.
Perselisihan hubungan industrial dapat diselesaikan dengan beberapa tahap,
20
yaitu melalui bipartit, konsiliasi atau arbitrase, mediasi, dan yang terakhir
melalui pengadilan hubungan industrial.
1. Bipartit
Adalah tata cara atau proses perundingan yang dilakukan antara
dua pihak, yaitu pihak pengusaha dengan pihak pekerja/buruh atau
SP/SB.2 Perundingan bipartit merupakan upaya musyawarah untuk
mufakat antara pihak pengusaha dan pihak pekerja/buruh atau SP/SB.
Dalam perundingan bipartit Kedua belah pihak diharapkan dapat
mencapai kesepakatan dalam penyelesaian masalah mereka, sebagai
langkah awal dalam penyelesaian perselisihan. Apabila tercapai
kesepakatan maka Para pihak membuat Perjanjian Bersama yang mereka
tandatangani. Kemudian Perjanjian Bersama ini didaftarkan pada PHI
wilayah oleh para pihak ditempat Perjanjian Bersama dilakukan.
Perlunya mendaftarkan perjanjian bersama, ialah untuk menghindari
kemungkinan salah satu pihak ingkar. Bila hal ini terjadi, pihak yang
dirugikan dapat mengajukan permohonan eksekusi. Apabila gagal
dicapai kesepakatan, maka karyawan dan pengusaha mungkin harus
menghadapi prosedur penyelesaian yang panjang melalui Perundingan
Tripartit.
2. Konsiliasi atau arbitrase
Konsiliasi adalah penyelesaian perselisihan kepentingan,
perselisihan pemutusan hubungan kerja atau perselisihan antar serikat
pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan melalui musyawarah
2Ibid., hlm. 148.
21
yang ditengahi oleh seorang atau lebih konsiliator yang netral.
konsiliator adalah seorang atau lebih yang memenuhi syarat-syarat
sebagai konsiliator ditetapkan oleh Menteri, yang bertugas melakukan
konsiliasi dan wajib memberikan anjuran tertulis kepada para pihak yang
berselisih untuk menyelesaikan perselisihan kepentingan, perselisihan
pemutusan hubungan kerja atau perselisihan antar serikat pekerja/serikat
buruh hanya dalam satu perusahaan. Anjuran yang dikeluarkan oleh
mediator bersifat tidak mengikat.
Apabila dalam konsiliasi, anjurannya bersifat tidak mengikat maka
pada arbitrase anjurannya bersifat mengikat. Arbitrase adalah
penyelesaian suatu perselisihan kepentingan, dan perselisihan antar
serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan, di luar
Pengadilan Hubungan Industrial melalui kesepakatan tertulis dari para
pihak yang berselisih untuk menyerahkan penyelesaian perselisihan
kepada arbiter yang putusannya mengikat para pihak dan bersifat final.
arbiter adalah seorang atau lebih yang dipilih oleh para pihak yang
berselisih dari daftar arbiter yang ditetapkan oleh Menteri untuk
memberikan putusan mengenai perselisihan kepentingan, dan
perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu
perusahaan yang diserahkan penyelesaiannya melalui arbitrase yang
putusannya mengikat para pihak dan bersifat final.
3. Mediasi
Mediasi adalah penyelesaian perselisihan hak, perselisihan
kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, dan perselisihan
22
antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan melalui
musyawarah yang ditengahi oleh seorang atau lebih mediator yang
netral. mediator adalah pegawai instansi pemerintah yang bertanggung
jawab di bidang ketenagakerjaan yang memenuhi syarat-syarat sebagai
mediator yang ditetapkan oleh Menteri untuk bertugas melakukan
mediasi dan mempunyai kewajiban memberikan anjuran tertulis kepada
para pihak yang berselisih untuk menyelesaikan perselisihan hak,
perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, dan
perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu
perusahaan.
4. Pengadilan Hubungan Industrial
Pengadilan Hubungan Industrial adalah pengadilan khusus yang
dibentuk di lingkungan pengadilan negeri yang berwenang memeriksa,
mengadili dan memberi putusan terhadap perselisihan hubungan
industrial. Dalam hal tidak tercapai penyelesaian melalui konsiliasi atau
mediasi, salah satu pihak atau para pihak dapat mengajukan gugatan
kepada pengadilan hubungan industrial (PHI). Penyelesaian perselisihan
hubungan industrial melalui pengadilan ditempuh sebagai alternatif
terakhir dan secara hukum ini bukan merupakan kewajiban bagi para
pihak yang berselisih melainkan merupakan hak.
Dalam hal terjadi perselisihan hubungan industrial akan lebih baik
apabila diselesaikan dengan perundingan antar pihak yang berselisih terlebih
dahulu. Karena sebelum para pihak mengajukan gugatan ke PHI, maka harus
23
menempuh upaya penyelesaian di luar pengadilan, diantaranya mediasi atau
konsiliasi.
2.1.2. Macam-Macam Mutasi
Mutasi adalah kegiatan ketenagakerjaan yang berhubungan dengan
proses pemindahan fungsi, tanggung jawab, dan status ketenagakerjaan
tenaga kerja ke situasi tertentu dengan tujuan agar tenaga kerja yang
bersangkutan memperoleh kepuasan kerja yang mendalam dan dapat
memberikan prestasi kerja yang semaksimal mungkin kepada organisasi.3
Dengan kata lain, mutasi pegawai adalah proses pemindahan kerja seorang
atau beberapa orang pekerja/buruh dalam lingkup organisasi yang masih sama
dengan sebelumnya pada level atau jabatan yang masih tetap sama.
Mutasi atau perpindahan jabatan/pekerjaan merupakan fenomena yang
biasa terjadi pada suatu perusahaan. Perubahan posisi jabatan/pekerjaan di
sini masih dalam level yang sama dan juga tidak diikuti perubahan tingkat
wewenang, tanggung jawab, status, kekuasaan dan pendapatannya, yang
berubah dalam mutasi hanyalah bidang tugasnya. Mutasi seringkali dilakukan
atas keinginan/kebutuhan perusahaan atau atas keinginan karyawan sendiri.4
Mutasi terbagi menjadi beberapa jenis, yaitu:
1. Dintinjau dari tempat kerja karyawan:
a. Mutasi antar urusan
b. Mutasi antar seksi
3 M Kadarsiman, Manajemen Kompensasi, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2012, hlm. 68
4 Endang Sri Wahyuni,Aspek Hukum Sertifikasi dan Keterkaitannya Dengan Perlindungan
Konsumen, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2010, hlm. 87
24
c. Mutasi antar bagian
d. Mutasi antar biro
e. Mutasi antar instansi
2. Ditinjau dari tujuan dan maksud mutasi:
a. Production transfer, mutasi pada jabatan yang sama, karena
produksi di tempat yang lama menurun.
b. Replacement transfer, mutasi dari jabatan yang sudah lama
dipegang ke jabatan yang sama di bagian lain, untuk
menggantikan karyawan yang belum lama bekerja atau karyawan
yang diberhentikan.
c. Versatility transfer, mutasi dari jabatan yang satu ke jabatan lain
untuk menambah pengetahuan karyawan yang bersangkutan.
d. Shift transfer, mutasi dalam jabatan yang sama. Misalnya, shift A
(malam) pindah ke shift B (pagi).
e. Remedial transfer, mutasi karyawan ke bagian mana saja untuk
memupuk dan memperbaiki kerja sama antarkaryawan.
3. Ditinjau dari masa kerja karyawan
a. Temporary transfer, mutasi yang bersifat sementara untuk
mengganti karyawan yang cuti atau berhalangan.
b. Permanent transfer, mutasi yang bersifat tetap.
Ada tiga dasar/landasan pelaksanaan mutasi karyawan. Dasar/landasan yang
dimaksud adalah:
1. Merit system, adalah mutasi karyawan yang didasarkan atas landasan
yang bersifat ilmiah, objektif, dan hasil prestasi kerjanya. Merit
25
system atau carrer systemini merupakan dasar mutasi yang baik
karena:
a. Output dan produktivitas kerja meningkat.
b. Semangat kerja meningkat.
c. Jumlah kesalahan yang diperbuat menurun.
d. Absensi dan disiplin karyawan semakin baik.
e. Jumlah kecelakaan akan menurun.
2. Senior system, adalah mutasi yang didasarkan atas landasan masa
kerja, usia, dan pengalaman kerja dari karyawan bersangkutan. Sistem
mutasi seperti ini tidak objektif karena kecakapan orang yang
dimutasikan berdasarkan senioritas belum tentu mampu memangku
jabatan baru.
3. Spoil system, adalah mutasi yang didasarkan atas landasan
kekeluargaan. Sistem mutasi seperti ini kurang baik karena didasarkan
atas pertimbangan suka atau tidak suka (like or dislike).5
Dalam penerapan mutasi, perlu memperhatikan jabatan karyawan
yang dipindahkan harus bersamaan isinya dengan jabatan yang ditinggalkan,
metode melakukan pekerjaan harus sama antara yang satu dengan yang lain,
serta pejabat yang dimutasikan harus mempunyai pengalaman yang
memungkinkan mengerti dasar-dasar pekerjaan baru. Mutasi juga dapat
dilakukan kepada karyawan yang telah lalai melaksanakan tugasnya atau
tidak mampu melakukan tugasnya secara sempurna. Selain tujuan, mutasi
juga memiliki manfaat bagi karyawan.
5 Ibid., Hlm. 103
26
2.1.3. Prosedur Pemutusan Hubungan Kerja
2.1.3.1. Pengertian dan Prinsip Pemutusan Hubungan Kerja
Pemutusan hubungan kerja bukanlah hal yang diharapkan terjadi
terutama oleh pekerja/buruh, mengingat akibat terjadinya PHK
merupakan awal kesengsaraan pekerja/buruh dengan hilangnya
penghasilan untuk diri sendiri dan keluarganya. Undang-Undang
Ketenagakerjaan menyebutkan, pemutusan hubungan kerja adalah
pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal tertentu yang
mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja/buruh
dan pengusaha.6
Dalam hal pemutusan hubungan kerja karena berakhirnya waktu
yang telah ditetapkan dalam perjanjian kerja, tidak menimbulkan
permasalahan terhadap kedua belah pihak, karena para pihak telah
menyepakati kapan berakhirnya hubungan kerja tersebut. Namun lain
halnya terhadap pemutusan hubungan kerja yang disebabkan adanya
perselisihan, alasan PHK yang disebabkan adanya perselisihan akan
berdampak pada kedua belah pihak.
Bagi pekerja/buruh, PHK akan memberi pengaruh secara
psikologis, ekonomi dan finansial. Dan kehilangan pekerjaan bagi
pekerja/buruh berdampak pula bagi kehidupan keluarganya. Dalam
pembahasan PHK, erat hubungannya dengan PHK secara sepihak oleh
pihak pengusaha. Padahal PHK tidak hanya dapat dilakukan oleh
pengusaha melainkan dapat pula dilakukan oleh pekerja/buruh. Secara
6 Pasal 1 Angka 25 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
27
normatif, PHK dikuatkan dengan adanya suatu ketetapan dari lembaga
yang dikenal dengan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan
industrial.
Dengan demikian ruang lingkup permasalahan atau perselisihan
hubungan industrial dapat dilihat dari beberapa hal, yaitu:
1. Subyek perselisihan
Menurut Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1997 tentang
Perselisihan Perburuhan yang menjadi subyek adalah
pengusaha dan pekerja/serikat pekerja/gabungan serikat
pekerja.
2. Obyek perselisihan
Menurut Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1997 yang
menjadi obyek perselisihan adalah syarat-syarat kerja, norma-
norma kerja, hubungan kerja dan kondisi kerja.
2.1.3.2. Prosedur Pemutusan Hubungan Kerja
Dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 prosedur PHK
dibagi menjadi beberapa tahap, yakni:7
1. Prosedur PHK secara Umum
a. Sebelumnya semua pihak (pengusaha, pekerja/buruh, SP/SB) harus
melakukan upaya untuk menghindari terjadinya PHK ( Pasal 151
ayat (1) ).
b. Jika tidak dapat dihindari, pengusaha dam SP/SB mengadakan
perundingan ( Pasal 151 ayat (2) ).
7 Abdul Khakim, op.cit., 2014, hlm. 186.
28
c. Jika perundingan berhasil, membuat persetujuan bersama.
d. Jika tidak berhasil, pengusaha mengajukan permohonan penetapan
secara tertulis disertai dasar dan alasan-alasannya kepada PHI
(Pasal 151 ayat (3) dan Pasal 152 ayat (1)).
e. Selama belum ada penetepan/putusan dari lembaga penyelesaian
perselisihan hubungan industrial, kedua pihak tetap melaksanakan
segala kewajiban masing-masing. Dimana pekerja/buruh tetap
menjalankan pekerjaannya dan pengusaha membayar upah (Pasal
155 ayat (2)).
f. Pengusaha dapat melakukan penyimpangan terhadap ketentuan
huruf e berupa tindakan skorsing kepada pekerja/buruh yang
sedang dalam proses PHK dengan tetap wajib membayar upah
beserta hak-hak lainnya yanng biasa diterima oleh pekerja/buruh.
2. Prosedur PHK oleh Pengusaha
Prosedur PHK oleh pengusaha terbagi dalam dua macam, yakni:
a. PHK karena Kesalahan Ringan
Dalam praktik prosedur PHK karena kesalahan ringan biasanya
diatur dalam PK, PP, atau PKB.8 Hal ini perlu dilakukan untuk
keabsahan prosedur tersebut, yaitu:
1). Biasanya diawali dengan adanya peringatan lisan, kemudian
peringatan tertulis kesatu, kedua dan ketiga. Peringatan tertulis
secara bertahap tidaklah bersifat mutlak, bergantung tingkat
kesalahan yang dilakukan pekerja/buruh dan urgensinya bagi
8 Ibid., hlm. 189.
29
perushaan. Masa berlaku masing-masing peringatan biasanya
enam bulan, kecuali diatur lain dalam PK, PP, atau PKB.
2). Apabila masih dalam tenggang waktu berlakunya
peringatan tertulis ketiga (terakhir) ternyata pekerja/buruh
melakukan kesalahan lagi, pengusaha secara langsung dapat
melakukan PHK kepada pekerja/buruh yang bersangkutan.
3). Apabila PHK dapat diterima oleh pekerja/buruh yang
bersangkutan, buat perjanjian bersama untuk dasar permohonan
penetapan ke PHI.
4). Apabila PHK tidak dapat diterima oleh pekerja/buruh yang
bersangkutan, salah satu pihak atau para pihak menempuh
mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan industrial
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 2 Tahun 2004.
Perselisihan antara pekerja/buruh dengan pengusaha/majikan
dapat terjadi karena didahului oleh pelanggaran hukum dan dapat juga
terjadi bukan karena pelanggaran hukum, misalnya terjadi
ketidakpahaman dalam perubahan syarat-syarat kerja. Kemudian
pekerja/buruh menolak menaati perintah setelah diberikan surat
peringatan hingga 3 kali berturut-turut sehingga melanggar ketentuan
yang telah ditetapkan dalam kesepakatan kerja bersama, PP dan atau
PK.
b. PHK karena Kesalahan Berat
30
Sejak terbitnya Putusan Mahkamah Konstitusi Republik
Indonesia Perkara No. 012/PUU-I/2003 tanggal 28 Oktober 2004
atas Hak Uji Materiil Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan terhadap UUD RI Tahun 1945, maka PHK oleh
pengusaha kepada pekerja/buruh yang melakukan kesalahan berat
hanya dapat dilakukan setelah adanya putusan hakim pidana yang
telah mempunyai kekuatan hukum tetap.9 Mengingat hubungan
kerja antara pengusaha dan pekerja/buruh merupakan hubungan
keperdataan, maka dalam praktik proses PHK karena kesalahan
berat tidak harus selalu melalui proses pidana tetapi juga bisa
langsung dilakukan PHK. Akibatnya, terjadi perselisihan PHK
tersebut, maka penyelesaiannya ditempuh melalui mekanisme
penyelesaian perselisihan hubngan industial sebagaimana UU No.
2 Tahun 2004.
c. Prosedur PHK oleh Pekerja/buruh
Sebagaimana uraian sebelumnya bahwa PHK oleh
pekerja/buruh itu terbagi dan disebabkan oleh dua hal masing-
masing memiliki prosedur yang berbeda, yaitu:10
1. Prosedur PHK karena Permintaan Pengunduran Diri
Diatur dalam Pasal 162 ayat (3) UU No. 13 Tahun 2003
sebagai berikut:
9 Ibid., hlm., 190.
10 Ibid., hlm., 191.
31
a). Diajukan secara tertulis kepada pengusaha selambat-
lambatnya tiga puluh hari sebelum tanggal mulai
pengunduran diri.
b). Tidak terikat dalam ikatan dinas; dan pengunduran
diri.
c). Tetap menjalankan kewajibannya sampai tanggal
mulai pengunduran diri.
Prosedur terperinci dapat diatur lebih lanjut dalam PK, PP, atau
PKB.
d. Prosedur PHK karena permohonan kepada pengadilan
hubungan industrial.
Pasal 169 ayat (1) Undang-Undang No. 13 Tahun 2003
mengatur bahwa pekerja/buruh dapat mengajukan permohonan
pemutusan hubungan kerja kepada lembaga penyelesaian
perselisihan hubungan industrial. Prosedurnya adlaah melalui
upaya penyelesaian perundingan bipartit, konsiliasi, arbitrase,
ataupun mediasi, kemudian mengajukan gugatan pada pengadilan
hubungan industrial.
Dalam PHK oleh pekerja/buruh, disini buruh aktif meminta
diputuskan hubungan kerjanya. PHK oleh pekerja/buruh dapat
dilakukan karena pekerja/buruh mengundurkan diri, pekerja/buruh
tidak bersedia melanjutkan hubungan kerja disebabkan adanya
perubahan status, penggabungan, peleburan dan perubahan
kepemilikan perusahaan.
32
Pada prakteknya, PHK oleh pekerja/buruh jarang terjadi. Hal
ini dikarenakan rendahnya pengetahuan pekerja/buruh mengenai
hukum ketenagakerjaan, selain itu juga karena faktor lebih
perbandingan antara lapangan kerja yang tersedia lebih sedikit dari
jumlah pekerja/buruh yang ada.
2.1.4.Hak-Hak dalam Pemutusan Hubungan Kerja
Hak-hak dalam PHK yang masih relevan tercantum pada Pasal 1
Keputusan Menteri Tenaga Kerja Nomor Kep.150/Men/200011
, yaitu:
1. Uang pesangon
Yaitu pembayaran berupa uang dari pengusaha kepada pekerja sebagai
akibat adanya PHK.
2. Uang Penghargaan Masa Kerja
Yaitu uang jasa sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang No. 12
Tahun 1964 sebagai penghargaan pengusaha kepada pekerja yang
dikaitkan dengan lamanya masa kerja.
3. Ganti Kerugian/ Uang Penggantian Hak
Yaitu pembayaran berupa uang dari pengusaha kepada pekerja sebagai
penggantian istirahat tahunan, istirahat panjang, biaya perjalanan ke
tempat di mana pekerja diterima bekerja, fasilitas pengobatan, fasililtas
perumahan, dan lain-lain yang ditetapkan oleh P4D/P4P sebagai akibat
adanya pengakhiran hubungan kerja.
11
Ibid., hlm., 192.
33
Adapun formulasi besarnya uang pesangon, uang penghargaan masa
kerja, dan ketentuan uanng penggantian hak menurut UU Ketenagakerjaan
tercantum pada tabel-tabel berikut:
Tabel 1
Formulasi Uang Pesangon
Menurut Pasal 156 Ayat (2) Undang-Undang No. 13 tahun 2003
No. Masa Kerja Uang Pesangon
1. Masa kerja < 1 tahun 1 bulan upah
2. Masa kerja 1 tahun - < 2 tahun 2 bulan upah
3. Masa kerja 2 tahun - < 3 tahun 3 bulan upah
4. Masa kerja 3 tahun - < 4 tahun 4 bulan upah
5. Masa kerja 4 tahun - < 5 tahun 5 bulan upah
6. Masa kerja 5 tahun - < 6 tahun 6 bulan upah
7. Masa kerja 6 tahun - < 7 tahun 7 bulan upah
8. Masa kerja 7 tahun - < 8 tahun 8 bulan upah
9. Masa kerja 8 tahun atau lebih 9 bulan upah
34
Tabel 2.
Formulasi Uang Penghargaan Masa Kerja
Menurut Pasal 156 Ayata (3) Undang-Undang No. 13 Tahun 2003
No. Masa Kerja Uang Perhargaan Masa Kerja
1. Masa kerja 3 tahun - < 6 tahun 2 bulan upah
2. Masa kerja 6 tahun - < 9 tahun 3 bulan upah
3. Masa kerja 9 tahun - < 12 tahun 4 bulan upah
4. Masa kerja 12 tahun - < 15 tahun 5 bulan upah
5. Masa kerja 15 tahun - < 18 tahun 6 bulan upah
6. Masa kerja 18 tahun - < 21 tahun 7 bulan upah
7. Masa kerja 21 tahun - < 24 tahun 8 bulan upah
8. Masa kerja 24 tahun atau lebih 10 bulan upah
Tabel 3.
Komponen Uang Penggantian Hak
Menurut Pasal 156 Ayat (4) Undang-Undang No. 13 Tahun 2003
No. Komponen Uang Penggantian Hak Keterangan
1. Cuti tahunan yang belum diambil.
2. Biaya atau ongkos pulang untuk
35
pekerja/buruh dan keluarganya ke
tempat di mana pekerja/buruh diterima
bekerja.
3. Penggantian perumahan serta
pengobatan dan perawatan ditetapkan
15% dari uang pesangon dan atau
uang penghargaan masa kerja bagi
yang memenuhi syarat.
Bagi yang tidak berhak uang
pesangon dan atau uang
penghargaan masa kerja,
otomatis tidak berhak atas
uang penggantian ini.
4. Hal-hal lain yang ditetapkan dalam
PK, PP atau PKB.
Tabel 4.
Komponen Hak PHK Berdasarkan Alasan PHK
Menurut Undang-Undang No. 13 Tahun 2003
No. Asalan PHK Komposisi
Hak PHK
Keterangan
1. Pekerja/buruh melakukan kesalahan
berat.
PH*) Pasal 158 ayat
(1)
2. Pekerja/buruh melakukan pelangg-
aran terhadap PK, PP, PKB, atau
ketentuan perundang-undangan.
Psg + PMK +
PH
Pasl 161 ayat
(3)
36
3. Ditahan pihak berwajib dan tidak
dapat melakukan pekerjaan setelah
enam bulan atau dinyatakan salah
oleh pengadilan.
PMK + PH Pasal 160 ayat
(7)
4. Mengundurkan diri secara baik atas
kemauan sendiri.
PH*) Pasal 162 ayat
(1)
5.
Perubahan status, penggabungan,
atau peleburan perusahaan, tetapi:
a). Pekerja/buruh tidak bersedia
melanjutkan hubungan kerjanya.
b). Pengusaha tidak bersedia
menerima pekerja/buruh di
perusahaannya
Psg + PMK +
PH
2 (Psg) +
PMK + PH
Pasal 163 ayat
(1)
Pasal 163 ayat
(2)
6. Perusahaan tutup karena merugi dua
tahun terus-menerus atau keadaan
memaksa (force majeure).
Psg + PMK +
PH
Pasal 164 ayat
(1)
7. Perusahaan tutup bukan karena
merugi atau keadaan memaksa (force
majeure), melainkan karena efisiensi.
2 (Psg) +
PMK + PH
Pasal 164 ayat
(3)
8. Perusahaan pailit. Psg + PMK +
PH
Pasal 165
37
9. Pekerja/buruh meninggal dunia 2 (Psg) +
PMK + PH
Pasal 166
10. Pekerja/buruh memasuki usia
pensiun:
a). Ada program pensiun, dan
iuran/premi ditanggung sepenuhnya
oleh pengusaha
b). Tidak ada program pensiun
**)
2 (Psg) +
PMK + PH
Pasal 167 ayat
(1)
Pasal 167 ayat
(5)
11. Pekerja/buruh mangkir 5 hari atau
lebih berturut-turut.
PH*) Pasal 168 ayat
(3)
12. Pelanggaran yang dilakukan oleh
pengusaha
2 (Psg) +
PMK + PH
Pasal 169 ayat
(2)
13. Pekerja/buruh sakit berkepanjangan,
cacat tetap akibat kecelakaan kerja,
dan tidak dapat melakukan pekerjaan
melebihi 12 bulan.
2 (Psg) + 2
(PMK) + PH
Pasal 172
Keterangan:
Psg = Uang Pesangon
38
PMK = Uang Penghargaan Masa Kerja
PH = Uang Penggantian Hak
*) ditambah uang pisah bagi pekerja/buruh yang tugas dan fungsinya tidak
mewakili kepentingan pengusaha secara langsung, yang besaran dan
pelaksanaannya diatur dalam PK, PP, atau PKB.
**) berhak jaminan atau manfaat pensiun, tetapi tidak berhak uang pesangon,
uang penghargaan masa kerja, uang penggantian hak, dengan catatan:
1. Jika nilai jaminan atau manfaat pensiun ternyata lebih kecil dari 2 (Psg) +
PMK + PH, maka selisihnya harus dibayar pengusaha (Pasal 167 ayat (2)).
2. Jika iuran/premi pensiun dibayar oleh pengusaha dan pekerja/buruh, yang
diperhitungkan dengan uang pesangon ialah iuran/premi yang dibayar oleh
pengusaha (Pasal 167 ayat (3)).
2.1.5.Teori-Teori Keadilan
Dalam masalah penegakan hukum, pemaknaan keadilan dalam
penanganan sengketa-sengketa hukum ternyata masih menjadi perdebatan.
Banyak pihak yang merasakan dan menilai bahwa lembaga pengadilan kurang
adil karena terlalu sarat dengan prosedur, formalistis, kaku dan lamban dalam
memberikan putusan terhadap suatu sengketa. Agaknya faktor tersebut tidak
lepas dari cara pandang hakim terhadap hukum yang amat kaku dan normatif-
prosedural dalam melakukan konkretisasi hukum.12
2.1.5.1. Teori Keadilan John Rawls
12
Karen Lebacqz, Teori-Teori Keadilan, (Bandung: Nusa Media, 2013), Cet. IV, hlm. 3.
39
Rawls dikenal sebagai salah seorang filsuf Amerika
kenamaan di akhir abad ke-20 di dalam bidang filsafat politik.
John Rawls dikenal sebagai seorang filsuf yang secara keras
mengkritik ekonomi pasar bebas. Baginya pasar bebas
memberikan kebebasan bagi setiap orang, namun dengan
adanya pasar bebas maka keadilan sulit untuk ditegakkan.13
Oleh karena hal ini, ia mengembangkan sebuah teori yang
disebut teori keadilan. Karya-karyanya antara lain A Theory of
Justice, PoliticalLiberalism, dan The Law of Peoples. Didasari
oleh telaah pemikiran lintas disiplin ilmu secara mendalam,
John Rawls dipercaya sebagai salah seorang yang memberi
pengaruh pemikiran cukup besar terhadap diskursus mengenai
nilai-nilai keadilan hingga saat ini.
Di dalam buku A Theory of Justice, John Rawls
mencoba untuk menganalisa kembali permasalahan mendasar
dari kajian filsafat politik dengan merekonsiliasikan antara
prinsip kebebasan dan prinsip persamaan.14
Rawls mengakui
bahwa karyanya tersebut sejalan dengan tradisi kontrak sosial
(social contract). Rawls berpendapat bahwa keadilan adalah
kebajikan utama dari hadirnya institusi-institusi sosial (social
institutions). Akan tetapi, menurutnya, kebaikan bagi seluruh
masyarakat tidak dapat mengesampingkan atau menggangu
13
A. Sonny Keraf, Etika Bisnis, (Yogyakarta: Kanisius, 2005), hlm.153. 14
John Rawls, Teori Keadilan: Dasar-Dasar Filsafat Politik untuk Mewujudkan Kesejahteraan Sosial dalam Negara, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), cet. II, hlm. 13.
40
rasa keadilan dari setiap orang yang telah memperoleh rasa
keadilan, khususnya masyarakat lemah. Oleh karena itu,
sebagian kalangan menilai cara pandang Rawls sebagai
perspektif “liberal-egalitarian of social justice”.
Liberalisme Egalitarian dapat didefinisikan secara baik
sebagai doktrin politik yang menyatakan bahwa semua orang
harus diperlakukan secara setara dan memiliki hak-hak politik,
ekonomi, sosial, dan sipil yang sama.15
Atau dalam pengertian
filsafat sosial penganjur penghapusan kesenjangan ekonomi
antara orang-orang atau adanya redistribusi/desentralisasi
kekuasaan. Dalam hal demikian ini dianggap oleh beberapa
pihak dianggap sebagai keadaan alami dari sebuah masyarakat.
Rawls mengajukan sebuah teori alternatif mengenai
keadilan dengan menghindari kelemahan utilitarianisme dan
tetap mempertahankan kekuatan yang sama.16
Utilitarianisme
adalah suatu paham yang memandang bahwa kegunaan suatu
hal bisa dimaksimalkan bukan hanya pada saat ini, tetapi juga
buat masa yang akan datang.17
Teori ini adalah bentuk etika
normatif yang memaksimalkan keabahagiaan dan mengurangi
penderitaan, serta mengupayakan kebaikan terbesar dalam
jumlah terbesar. Untuk menilai baik buruknya, adil atau
15
Arneson Richard, "Egalitarianism", The Stanford Encyclopedia of Philosophy (2002.) Web: «http://plato.stanford.edu/entries/egalitarianism. Pada tanggal 10 Nopember 2017 pukul 19.00. 16
John Rawls, 2011, op.cit., hlm. 18. 17
Ibid., hlm. 18.
41
tidaknya hukum tergantung apakah hukum mampu
memberikan kebahagiaan kepada manusia atau tidak untuk
menciptakan utilitas yang lebih besar skalanya, maka
diperlukan pengorbanan kebahagiaan yang lebih besar untuk
generasi mendatang.18
Hal ini tidak dapat dibenarkan seluruhnya karena bukan
hal yang baik jika harus menguras sumber daya yang ada saat
ini secara berlebihan, dan meninggalkan hutang yang
menumpuk kepada generasi yang akan datang. Dengan
demikian kelemahan utilitarianisme adalah bisa menimbulkan
ketidak adilan bagi yang kurang beruntung untuk
mengorbankan kesejahteraan mereka demi mayoritas. Keadilan
sebagai kesetaraan berakar di dua tempat yaitu teori kontrak
sosial Locke dan Rousseau dan deontologi Kant.19
2.1.5.2.Teori kontrak sosial J.J. Rousseau, Hobbes, dan John
Locke
Teori kontrak sosial merupakan teori yang menyatakan
bahwa terbentuknya negara itu disebabkan oleh adanya
keinginan masyarakat untuk membuat kontrak sosial. Jadi,
sumber kewenangan berasal dari masyarakat itu sendiri.20
J.J
Rousseau beranggapan bahwa manusia merupakan sumber
18
Ibid., hlm. 19. 19
Karen lebacqz, 2013, op.cit., hlm. 50. 20
http://radhitisme.blogspot.com/2009/02/teori-kontrak-sosial-dari-hobbes-locke.html, pada tanggal 23 Nopember 2017 pukul 22.05.
42
kewenangan. Pada kondisi alamiah antara manusia yang satu
dengan manusia lainnya tidaklah terjadinya perkelahian.
Manusia hidup aman, damai dan tentram. Namun seiring
waktu akan berubah karena faktor alam, fisik dan moral
menciptakan ketidaksamaan.
Ketidaksamaan inilah yang menyebabkan terjadinya
kekuasaan tunggal (otoriter) oleh sekelompok orang tertentu.
Hak istimewa yang dimiliki ini karena orang itu lebih kaya,
lebih dihormati, lebih berkuasa dan sebagainya.Untuk
menghadapi masalah yang semakin konkrit dan disparitas
antara manusia yang satu dengan lainnya inilah lahirnya Du
Contract Social.21
Kontrak sosial adalah kesepakatan yang
rasional untuk menentukan seberapa luas kebebasan warga
(yang pada asasnya tidak terbatas) dan dilain pihak seberapa
besar kewenangan pejebat negara (pada asasnya terbatas).
Kontrak sosial yang dibentuk atas kehendak bebas dari semua
(the free will all), untuk mamantapkan keadilan dan
pemenuhan moralitas yang tinggi.
Sementara Hobbes menyatakan secara kodrati manusia
itu sama satu dengan lainnya. Masing-masing mempunyai
hasrat dan keengganan yang menggerakkan tindakan mereka.
Bagi Hobbes, hasrat manusia tidak terbatas dan untuk
21
Susilo Basis, Teori Kontrak Sosial dari Hobbes, Locke, dan Rousseau, dalam jurnal masyarakat, kebudayaan dan politik. (Surabaya: FISIP Unair, 1998), hlm. 16.
43
memenuhi hasrat itu, manusia mempunyai kekuatan. Dengan
menggunakan kekuatannya, maka akan terjadi benturan
kekuatan antar sesama manusia.22
Kontrak sosial Locke menyatakan kodrat manusia
adalah sama antara satu dengan lainnya. Perbedaannya dengan
Hobbes, Locke menyatakan bahwa ciri-ciri manusia tidaklah
ingin memenuhi hasrat dengan kekuatan tanpa mengindahkan
manusia lainnya. Menurut Locke, manusia dalam dirinya
mempunyai akal yang mengajar prinsip bahwa untuk menjadi
sama dan independen manusia tidak perlu melanggar dan
merusak kehidupan manusia lainnya.
Selain teori kontrak sosial diatas, terdapat Deontologi
Immanuel Kant yang juga menjadi dasar dari pemikiran Rawls.
Kant menyebutkan bahwa semua orang harus memiliki
kesempatan yang sama untuk mencapai status yang
diinginkan, karena ia memiliki suatu bakat,
kemampuan industri, dan anugrah, maka dari itu orang lain
tidak berhak menghalanginya dengan dalih hakistimewa
karena faktor keturunan.23
Berangkat dari kontrak sosial, Rawls menyebutkan
subyek utama dari prinsip keadilan sosial adalah struktur dasar
masyarakat, tatanan institusi-institusi sosial utama dalam satu
22
John Rawls, 2011, op.cit., hlm. 35. 23
Ibid., hlm. 319.
44
skema kerja sama.24
Sebagaimana pada umumnya, setiap teori
kontrak pastilah memiliki suatu hipotesis dan tidak terkecuali
pada konsep Rawls mengenai keadilan. Dirinya berusaha untuk
memposisikan adanya situasi yang sama dan setara antara tiap-
tiap orang di dalam masyarakat serta tidak ada pihak yang
memiliki posisi lebih tinggi antara satu dengan yang lainnya,
seperti misalnya kedudukan, status sosial, tingkat kecerdasan,
kemampuan, kekuatan, dan lain sebagainya.25
Sehingga, orang-
orang tersebut dapat melakukan kesepakatan dengan pihak
lainnya secara seimbang. Kondisi demikianlah yang dimaksud
oleh Rawls sebagai “posisi asali”. Dalam posisi asali,
masyarakat memilih dari balik “selubung ketidaktahuan”.26
Selubung ketidaktahuan diterjemahkan sebagai posisi di mana
setiap orang harus mengesampingkan atribut-atribut yang
membedakannya dengan orang-orang lain, seperti kemampuan,
kekayaan, posisi sosial, pandangan religius dan filosofis,
maupun konsepsi tentang nilai.27
Selubung ketidaktahuan
berarti setiap pihak yang memilih prinsip-prinsip keadilan
tidak memiliki jenis pengetahuan tertentu yang dapat membuat
proses tawar menawar berjalan tidak adil.28
Untuk
mengukuhkan situasi adil tersebut perlu ada jaminan terhadap
sejumlah hak dasar yang berlaku bagi semua, seperti
24
Ibid., hlm. 65. 25
Ibid., hlm. 66. 26
Karen Lebacqz, 2013, op.cit., hlm. 50. 27
Ibid., hlm. 51. 28
Ibid., hlm. 51.
45
kebebasan untuk berpendapat, kebebasan berpikir, kebebasan
berserikat, kebebasan berpolitik, dan kebebasan di mata
hukum.
Melalui dua teori tersebut, Rawls mencoba menggiring
masyarakat untuk memperoleh prinsip kesamaan yang adil.
Itulah sebabnya mengapa Rawls menyebut teorinya tersebut
sebagai “justice as fairness”. Rawls memahami keadilan
sebagai fairness, yaitu suatu teori keadilan yang
menggeneralisasikan dan mengangkat konsepsi tradisional
tentang kontrak sosial ke level abstraksi yang lebih tinggi.29
yang dimaksudkan dengan fairness oleh Rawls adalah posisi
asali dan selubung ketidaktahuan.
Berkaitan dengan kedua aspek keadilan tersebut Rawls
mengemukakan bahwa dalam kondisi asali dan
ketidakberpengetahuan tidak seorangpun tahu tempatnya,
posisi atau status sosialnya dalam masyarakat, tidak ada pula
yang tahu kekayaannya, kecerdasasannya, kekuatannya, tidak
seorangpun diuntungkan atau dirugikan.30
Setiap orang dalam
kondisi seperti itu memiliki peluang yang sama.
Rawls menjelaskan bahwa para pihak di dalam posisi
asali akan memilih dua prinsip yang agak berbeda, pertama,
adanya kesetaraan dalam penerapan hak dan kewajiban dasar;
29
John Rawls, 2011, op.cit., hlm. 156. 30
Karen Lebacqz, 2013, opi.cit., 51.
46
kedua, ketimpangan sosial dan ekonomi, misalnya
ketimpangan kekayaan dan kekuasaan hanyalah jika mereka
menghasilkan kompensasi keuntungan bagi semua orang,
khususnya bagi anggota masyarakat yang paling tidak
beruntung.31
Prinsip pertama tersebut dikenal dengan persamaan
yang adil atas kesempatan. Prinsip ini memerlukan persamaan
atas hak dan kewajiban dasar, sementara pada prinsip kedua
dikenal dengan prinsip perbedaan yang berpijak dari hadirnya
kondisi ketimpangan sosial dan ekonomi yang kemudian
dalam mencapai nilai-nilai keadilan dapat diperkenankan jika
memberikan manfaat bagi setiap orang, khususnya terhadap
kelompok masyarakat yang kurang beruntung (the least
advantage).32
Artinya, orang-orang yang memiliki kompetensi,
kualitas dan mobilitas yang sama dapat menikmati kesempatan
yang sama pula, tidak boleh ada sistem yang mendiskriminasi
seseorang untuk mendapatkan kesempatan yang sama. Inti dari
teori ini, melekat pada profesi dan posisi yang terbuka bagi
semua orang dan menjamin persamaan peluang yang adil. Ide
tersebut berawal dari bantahan bahwa keturunan menentukan
posisi seseorang secara turun temurun. Prinsip perbedaan
31
John Rawls, op.cit., hlm. 16. 32
Ibid., hlm. 72.
47
berangkat dari prinsip ketidaksamaan yang dapat dibenarkan
melalui kebijaksanaan terkontrol sepanjang menguntungkan
kelompok masyarakat yang lemah.
Dalam kaitannya dengan prinsip-prinsip tersebut,
Rawls meneguhkan adanya aturan prioritas ketika antara
prinsip satu dengan lainnya saling berhadapan. Jika terdapat
konflik di antara prinsip-prinsip tersebut, prinsip pertama
haruslah ditempatkan di atas prinsip kedua, sedangkan prinsip
persamaan kesempatan harus diutamakan dari prinsip
perbedaan.33
Dengan demikian, untuk mewujudkan masyarakat
yang adil Rawls berusaha untuk memposisikan kebebasan akan
hak-hak dasar sebagai nilai yang tertinggi dan kemudian harus
diikuti dengan adanya jaminan kesempatan yang sama bagi
setiap orang untuk menduduki jabatan atau posisi tertentu.
Pada akhirnya, Rawls juga menisbatkan bahwa adanya
pembedaan tertentu juga dapat diterima sepanjang
meningkatkan atau membawa manfaat terbesar bagi orang-
orang yang paling tidak beruntung.
Posisi asali merupakan status quo awal yang
menegaskan bahwa kesepakatan fundamental yang dicapai di
dalammnya adalah fair.34
Dalam posisi asali berbagai pihak
33
Ibid., hlm. 74. 34
Ibid., hlm. 74.
48
adalah setara.35
Semua orang memiliki hak yang sama dalam
prosedur memilih prinsip; setiap orang bisa mengajukan usul,
menyampaikan penalaran atas penerimaan mereka. Dasar dari
kesetaraan adalah bahwa setiap orang memiliki konsepsi
mengenai kebajikan dan memiliki rasa keadilan. Oleh karena
itu, masing-masing orang dianggap memiliki kemampuan yang
dibutuhkan untuk memahami dan bertindak di atas prinsip
apapun yang digunakan. Salah satu bentuk keadilan sebagai
farirness adalah memandang berbagai pihak dalam situasi awal
sebagai rasional dan sama-sama netral.36
Menurut peneliti, kedua prinsip tersebut seperti dua
mata koin yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang
lainnya. Peran dari prinsip perbedaan pada prinsip persamaan
yang adil atas kesempatan adalah untuk menjamin bahwa
sistem kerja sama adalah salah satu keadilan prosedural murni
untuk membangun distribusi pendapatan dan kekayaan yang
adil. Kedua prinsip tersebut bermutualisme dan saling mengisi
kekurangannya. Dimana Rawls mencoba menjadi mediator
antara golongan kiri dan kanan, dan tidak ingin keadilan di
dominasi secara ekstrim oleh kapitalisme, tetapi tidak juga
mau memberikannya begitu saja kepada sosialisme.
35
Ibid., hlm. 75. 36
Karen Lebacqz, 2013, op.cit., hlm. 59.
49
Rawls juga menjelaskan mengenai keadilan distributif.
Menurutnya keadilan harus dapat disalurkan dalam bentuk
pendapatan dan kekayaan, serta bukan merupakan target
individual.37
Masyarakatlah yang memiliki tugas untuk
mendistribusikan pendapatan dan kekayaan mereka kepada
orang-orang yang terikat kerja sama dengan mereka tanpa
memperhatikan mereka miskin atau tidak. Ide awal keadilan
distributif berangkat dari kondisi kesenjangan sosial yang
sangat tinggi antara pekerja dan majikan.38
Kaum-kaum
sosialis menyatakan bahwa kesenjangan sosial tersebut
berawal karena pekerja telah memiliki peran yang sangat besar
sebagai faktor produksi, sehiingga mereka memiliki hak atas
hasil produksi dan bukannya upah yang rendah.
Prinsip-prinsip keadilan yang disampaikan oleh John
Rawls pada umumnya sangat relevan bagi negara-negara dunia
yang sedang berkembang, seperti Indonesia. Relevansi tersebut
semakin kuat tatkala hampir sebagian besar populasi dunia
yang menetap di Indonesia masih tergolong sebagai
masyarakat kaum lemah yang hidup di bawah garis
kemiskinan.
Akan tetapi, apabila dicermati jauh sebelum terbitnya
karya-karya Rawls mengenai keadilan sosial, bangsa Indonesia
37
John Rawls, 2011, op.cit., 334. 38
Ibid., hlm. 335.
50
sebenarnya telah menancapkan dasar kehidupan berbangsa dan
bernegaranya atas dasar keadilan sosial. Istilah “keadilan
sosial” disebutkan di dalam Alinea Keempat Pembukaan UUD
1945.39
Dengan demikian, keadilan sosial telah diletakkan
menjadi salah satu landasan dasar dari tujuan dan cita negara
sekaligus sebagai dasar filosofis bernegara yang termaktub
pada sila kelima dari Pancasila. Artinya, memang sejak awal
the founding parents mendirikan Indonesia atas pijakan untuk
mewujudkan keadilan sosial baik untuk warga negaranya
sendiri maupun masyarakat dunia.40
Apabila disejajarkan antara prinsip keadilan Rawls dan
konstitusi, maka dua prinsip keadilan yang menjadi premis
utama dari teori Rawls juga tertera dalam konstitusi Indonesia.
Prinsip kebebasan yang sama tercermin dari adanya ketentuan
mengenai hak dan kebebasan warga negara yang dimuat di
dalam Bab XA tentang Hak Asasi Manusia, di antaranya yaitu
Pasal 28E UUD 1945. Begitu pula dengan prinsip kedua
bagian pertama sebagai prinsip perbedaan, Konstitusi
Indonesia mengadopsi prinsip yang sama pada Pasal 28H ayat
(2) UUD 1945. Dari sinilah dasar penerapan affirmative action
39
A. Suryawasita S.J., Asas Keadilan Sosial, (Yogyakarta: Kanisius, 1989), hlm. 86. 40
Ibid., hlm. 86.
51
atau positive discrimination dapat dibenarkan secara
konstitusional.41
Berdasarkan penjabaran di atas, penulis memilih teori
Rawls dalam menganalisis perkara ini adalah karena Rawls
memandang berbagai pihak dalam situasi awal sebagai rasional
dan sama-sama netral. Di samping itu, Rawls juga menegaskan
prinsip perbedaan yang berangkat dari ketimpangan sosial
ekonomi. Dalam kasus ini, teori Rawls dianggap cocok karena
dalam menegakkan keadilan haruslah berdimensi kerakyatan.
Hal itu dapat diwujudkan dengan memberikan hak dan
kesempatan yang sama bagi setiap orang. Selain itu keadilan
harus mampu mengatur kesenjangan sosial ekonomi yang
terjadi sehingga dapat memberi keuntungan yang bersifat
timbal balik bagi setiap orang, baik bagi mereka yang berasal
dari kelompok beruntung ataupun tidak.
Terhadap prinsip persamaan kesempatan sebagai
prinsip kedua bagian kedua dari teori keadilan Rawls,
Konstitusi Indonesia secara tegas juga memberikan jaminan
konstitusi yang serupa, sebagaimana salah satunya termuat
pada Pasal 28D ayat (3) UUD 1945.42
Dengan demikian dapat
dikatakan bahwa terlepas dari adanya kesengajaan ataupun
tidak, Indonesia secara nyata telah memasukkan prinsip-
41
Ibid.,hlm. 87. 42
Ibid.,hlm. 88.
52
prinsip keadilan yang digagas oleh John Rawls ke dalam
batang tubuh Konstitusi.
2.2. HASIL PENELITIAN
Hasil penelitian ini di dasarkan pada data sekunder yaitu Putusan Tingkat 1
Nomor 05/Pdt.Sus-PHI/2016/PN.Pbr dan Putusan Tingkat Kasasi Nomor 667
K/Pdt.Sus-PHI/2016, yang akan diuraikan sebagai berikut:
2.2.1. Kasus Posisi PHK terhadap Sdr. Erikson Situmorang oleh PT. Inti
Komparindo Sejahtera
Adapun duduk perkara dalam kasus ini yaitu Sdr. Erikson Situmorang
selaku Penggugat telah bekerja di PT. Inti Komparindo Sejahtera, dalam hal
ini Tergugat, selama 5 tahun 11 bulan dengan jabatan terakhir karyawan
pemanen, dengan jumlah upah Rp. 1.875.000,- (Satu Juta Delapan Ratus
Tujuh Puluh Lima Ribu Rupiah) per bulan, ditambah tunjangan tetap berupa
Natura Beras sebesar 31,5 Kg/bulan, dengan harga beras Rp.8000,- /Kg
sebagaimana Peraturan Gubernur Riau No.29 Tahun 2014 tentang Upah
Minimum Sub Sektor Pertanian/Perkebunan Kelapa dan Kelapa Sawit Serta
Tanaman Karet Provinsi Riau Tahun 2014 Jo Kesepakatan Bersama antara
Serikat Pekerja Pertanian dan Perkebunan-SPSI Propinsi Riau dengan
BKSPPS dan GAPKI Cabang Riau.
Kemudian pada tanggal 16 November 2013 Sdr. Erikson mendapatkan
Surat dari Tergugat agar yang bersangkutan yang telah di mutasikan dari
Afdeling 7.A ke Afdeling 2.A pindah rumah. Bahwa pada dasarnya
Penggugat tidak keberatan pindah rumah ke Afdeling 2.A tempat Penggugat
53
di mutasikan, namun karena anak Penggugat kebetulan sudah kelas VI SD
yang sebentar lagi akan melaksanakan Ujian Nasional maka tidak
memungkinkan lagi untuk dipindahkan sekolahnya, maka Sdr. Erikson
menjumpai Pimpinannya agar untuk sementara waktu sampai anaknya selesai
Ujian Nasional diperbolehkan melaju setiap pagi dari tempat biasa ke tempat
Penggugat dimutasikan, mengingat apabila harus pindah rumah maka terpaksa
anaknya juga harus dipindahkan sekolahnya karena lokasi sekolah di Afdeling
7.A sudah berbeda dengan Lokasi Sekolah di Afdeling 2.A, dimana Afdeling
7.A bersekolah ke SD Danau Lancang Kec. Tapung Hulu, Kab. Kampar,
Provinsi Riau. Sedangkan Afdeling 2.A bersekolah ke SD Kota Baso,
Kecamatan baso, Kabupaten Agam, Provinsi Sumatera Barat, yang
mempunyai jarak + 15 KM, begitu juga angkutan sekolah yang ada dari
Afdeling 7.A hanya ke SD Danau Lancang, sedangkan angkutan sekolah dari
Afdeling 2.A hanya ke SD Kota Baso, namun aspirasi yang disampaikan
tidak disetujui oleh Tergugat.
Pada tanggal 12 Desember 2013 dan tanggal 2 Januari 2014 Sdr.
Erikson menerima Surat Peringatan I dan II dari Tergugat dengan alasan tidak
pindah rumah, dan atas Surat Peringatan tersebut, maka Penggugat mencoba
menjumpai dan berkonsultasi dengan Wali kelas dan Kepala Sekolah SD
Danau Lancang tempat anaknya bersekolah, namun Wali Kelas dan Guru
Kepala Sekolah menyarankan agar anaknya tidak dipindahkan karena
sebentar lagi akan dilaksanakan Ujian Nasional dimana Nomor Induk Sekolah
Nasional (NISN), Nomor Ujian dan juga lokasi tempat ujian Nasional sudah
ditentukan oleh Dinas Pendidikan.
54
Penggugat kembali menjumpai Tergugat agar sampai anaknya selesai
melaksanakan Ujian Nasional tetap diperbolehkan menempati rumah yang
sedang ditempati dan berangkat kerja dengan melaju pakai sepeda motornya,
namun permohonan Penggugat tersebut tetap tidak disetujui oleh Tergugat.
Kemudian tepatnya tanggal 8 Januari 2014 Tergugat kembali menyampaikan
Surat Peringatan III kepada Penggugat dimana alasannya tetap karena tidak
bersedia pindah rumah, padahal selama Penggugat bekerja melaju pakai
sepeda motornya, tidak pernah terlambat atau mengganggu pekerjaannya.
Pada tanggal 26 April 2014, Tergugat justru menyampaikan Surat
Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) kepada Penggugat dengan alasan tidak
pindah rumah maka Penggugat dianggap membangkang terhadap pimpinan
dan di PHK terhitung tanggal 28 April 2014. Bahwa atas permasalahan
tersebut, Penggugat dan Tergugat telah melakukan Perundingan Bipartit,
namun tidak menghasilkan suatu kesepakatan, karena Tergugat tetap tidak
mau lagi untuk mengerjakan Penggugat. Atas dasar tersebut, Sdr. Erikson
Situmorang menggugat PT. Inti Komparindo Sejahtera ke Pengadilan
Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Pekanbaru.
Bahwa dalam gugatannya Penggugat menyatakan hubungan kerja
antara Penggugat dan Tergugat adalah perjanjian kerja yang sah menurut
UUK. Menyatakan bahwa tindakan Tergugat telah nyata-nyata bertentangan
dengan hukum yang berlaku, yaitu:
1. Memberikan Surat Peringatan terhadap pekerja yang telah bekerja 7
(tujuh) Jam sehari 40 (empat puluh) jam seminggu, dan melakukan
55
Pemutusan Hubungan Kerja karena tidak pindah rumah karena
menunggu anak Penggugat selesai Ujian Nasional, tanpa memberikan
solusi dan jalan keluar tentang Transportasi atau Pengangkutan anak
Penggugat dari tempat Mutasi ketempat sekolah yang seharusnya
halangan tersebut masih dapat dihindari oleh Tergugat;
2. Melakukan Pemutusan Hubungan Kerja sepihak tanpa adanya
perundingan dan proses serta Penetapan Pengadilan Hubungan
Industrial bertentangan dengan Pasal 151, 155, dan Pasal 170 Undang-
Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan;
3. Tidak melakukan Kewajibannya selaku pengusaha dengan melarang
Penggugat untuk melaksanakan pekerjaan sebagaimana biasanya,
sampai ada keputusan yang berkekuatan tetap tentang perselisihan
antara Tergugat dengan Penggugat;
4. Menghentikan Upah, dan melarang Penggugat untuk melakukan
Pekerjaan, dan tanpa memberikan hak-hak Penggugat berupa Uang
Pesangon, Uang Penghargaan Masa Kerja, Uang Penggantian Hak
15% dari jumlah Pesangon dan Uang Penghargaan masa kerja serta
sisa Cuti Tahunan yang belum dijalani Penggugat sebanyak 6 (enam)
hari di tahun 2013 dan 4 (empat) hari tahun 2014.
Menyatakan bahwa PHK yang dilakukan Tergugat batal demi hukum
dan mengumumkan PHK berlaku sejak putusan dibacakan. Selain itu,
Penggugat menuntut hak untuk memperoleh Upah sebelum Putusan PHI
ditetapkan Bulan Februari s/d Juli 2014 sebesar 6 (enam) bulan Upah (Sebesar
56
Upah Skorsing) dan Uang Pesangon, Uang Penghargaan Masa Kerja serta
Uang Penggantian Hak.
Terhadap gugatan Penggugat, Tergugat mengajukan jawaban
tertanggal 3 Februari 2016, dengan mengemukakan hal-hal sebagai berikut :
1. Bahwa Penggugat Rekonvensi/Tergugat Konvensi menolak gugatan
para Penggugat untuk seluruhnya terkecuali yang secara tegas diakui
dalam jawaban pokok perkara ini.
2. Bahwa benar Penggugat telah dimutasi dan karena jarak tempuh untuk
pergi bekerja ke tempat yang baru sangatlah jauh maka Tergugat
memerintahkan Penggugat untuk segera pindah ke rumah yang telah
disediakan Tergugat di tempat yangbaru.
3. Bahwa Penggugat Rekonvensi/Tergugat Konvensi melakukan
pemutusan hubungan kerja terhadap Tergugat Rekonvensi/Penggugat
Konvensi dengan alasan Tergugat Rekonvensi/Penggugat Konvensi
telah melanggar aturan kerja yaitu sering terlambat kerja dan menolak
menempati rumah yang telah disediakan perusahaan di tempat yang
baru.
4. Bahwa sebelum Penggugat Rekonvensi melakukan pemutusan
hubungan kerja terhadap para Tergugat Rekonvensi, Penggugat
Rekonvensi telah memberikan pembinaan dan memberikan Surat
Peringatan sesuai aturandari Pasal 161 UU.No.13 Tahun 2013
Tentang Ketenagakerjaan namun Tergugat Rekonvensi tidak merubah
sikapnya.
57
5. Bahwa pemutusan hubungan kerja yang dilakukan Penggugat
Rekonvensi/Tergugat Konvensi terhadap Tergugat
Rekonvensi/Penggugat Konvensi telah berlandaskan ketentuan yang
berlaku, baik aturan dalam perusahaan maupun peraturan perundang-
undangan terkait.
Terhadap Jawaban Tergugat, Penggugat mengajukan Replik pada
tanggal 10 Februari 2016 dan atas Replik tersebut Tergugat tidak
mempergunakan haknya untuk mengajukan Duplik. Dan untuk
mempertahankan dalil-dalil gugatannya, Penggugat telah mengajukan
fotocopy bukti-bukti Surat yang telah dibubuhi meterai secukupnya yakni
Bukti P-1 dan P-2 berikut 3 (tiga) orang saksi.
2.2.1.1.Pertimbangan Hukum dan Isi Putusan Majelis Hakim Pengadilan
Hubungan Industrial Tingkat I pada Putusan Nomor 05/Pdt.Sus-
PHI/2016/PN.Pbr
2.2.1.1.1. Pertimbangan Hukum Majelis Hakim
Dasar Pertimbangan Majelis Hakim dalam memutus perkara antara
Erikson Situmorang dengan PT. Inti Komparindo Sejahtera tentang PHK
secara sepihak, diuraikan sebagai berikut:
1. Majelis Hakim mempertimbangkan kesesuaian alasan-alasan PHK
yang dilakukan Tergugat dengan ketentuan yang berlaku, kemudian
Majelis juga mempertimbangkan kelanjutan Hubungan Kerja yang
menjadi hak-hak para Pihak.
58
2. Tergugat menyangkal kebenaran Gugatan Penggugat oleh karena itu
menurut ketentuan pasal 283 RBg Jo Pasal 1865 KUH Perdata,
Penggugat sebagai pihak yang mendalilkan dibebani kewajiban untuk
membuktikan dalil-dalil gugatannya sedangkan pihak Tergugat dapat
mengajukan bukti lawan (legen bewijs).
3. Menurut asas Eines Manres Rede Ist Keines Mannes atau Azas Audi et
alteram Partem, mengatakan bahwa “Penggugat tidak diwajibkan
membuktikan kebenaran sangkalan Tergugat, demikian pula
sebaliknya, Tergugat tidak diwajibkan untuk membuktikan kebenaran
peristiwa yang diajukan oleh Penggugat”, maka dengan demikian asas
dan pendapat tersebut menempatkan kedua pihak memiliki kedudukan
prosesuil yang sama di hadapan Pengadilan dengan demikian
berdasarkan asas dan pendapat ini pembagian beban pembutkian harus
dilakukan secara patut.
4. Pembebanan pembuktian terhadap perkara aquo harus dilakukan
secara patut, yakni terhadap pihak yang paling mungkin untuk
membuktikan atau terhadap pihak yang paling sedikit dirugikan dalam
proses membuktikan, kepadanyalah patut dibebankan pembuktian.
5. Bahwa Penggugat telah menjalankan mutasi yang diperintahkan oleh
Tergugat, maka mutasi kerja tersebut harus dikategorikan sebagai
perintah yang patut, layak dan wajar. Namun dalam
perkembangannya, perintah mutasi tersebut harus diikuti pula oleh
perintah untuk meninggalkan rumah dinas, yang dalam point ini
Penggugat merasa keberatan, untuk mana Majelis akan
59
mempertimbangkan penolakan Penggugat pindah dari rumah dinas
tersebut.
6. Bahwa proses perpindahan anak Penggugat ke sekolah baru pada
kelas terakhir dalam jenjang Sekolah Dasar tersebut, sedemikian sulit
dan riskannya sehingga dengan demikian wajarlah bagi Penggugat
untuk tidak memindahkan anaknya dari Sekolah lama ke Sekolah
Baru.
7. Bahwa Permohonan Penggugat untuk menunda Pindah dari rumah
dinas tersebut mengingat anak Penggugat yang sudah kelas VI SD
tidak memungkinakan untuk pindah sekolah dan anak Penggugat
bersekolah di SD Danau Lancang, jika pindah rumah maka Anak
Penggugat harus bersekolah di SD Kota Baso sedangkan angkutan
anak Sekolah dari Afdeling 2.A (tempat Penggugat dimutasi) hanya
ada ke Kota Baso dan angkutan anak Sekolah dari Afdeling 7.A
(rumah dinas Penggugat) hanya ke SD Danau Lancang.
8. Berdasarkan hal tersebut, dihubungkan dengan sarana transportasi
yang tersedia serta jauhnya jarak sekolah bagi seorang anak Sekolah
Dasar, Majelis Hakim menyatakan bahwa alasan Penggugat untuk
memohon tidak dilakukan pindah rumah sembari menunggu anaknya
menyelesaikan Ujian Nasionalnya, patut untuk dipertimbangkan
sebagai alasan yang logis, untuk mana Tergugat dapat mencarikan
solusi yang terbaik.
9. Phrase Perjanjian Kerja mengisyaratkan adanya kesetaraan antara
pengusaha dan pekerja/buruh yang bermotifkan mutualisme atau
60
saling menguntungkan, yaitu pengusaha membutuhkan pekerja/buruh
yang produktif sedangkan pekerja/buruh membutuhkan pengusaha
yang solutif.
10. Mutasi Pekerjaan merupakan perintah yang berkaitan dengan teknis
pekerjaan Penggugat sedangkan perintah pindah rumah tidak
berkaitan langsung dengan tingkat produktivitas dan teknis pekerjaan,
dengan demikian, perintah pindah rumah tidak dapat disetarakan
kedudukannya dengan perintah mutasi terhadap pekerjaan, sehingga
penolakan Penggugat terhadap permintaan Tergugat agar Penggugat
pindah rumah, tidak dapat dikategorikan sebagai pembangkangan atas
intruksi atau perintah pimpinan perusahaan/Tergugat.
2.2.1.1.2. Isi Putusan
Berdasarkan uraian Pertimbangan Hukum Majelis Hakim pada
Putusan Nomor 05/Pdt.Sus-PHI/2016/PN.Pbr, Majelis Hakim Pengadilan
Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Pekanbaru menjatuhkan putusan
sebagai berikut:
1. Mengabulkan Gugatan Penggugat Dalam Konvensi;
2. Menyatakan Hubungan Kerja antara Penggugat Konvensi dan
Tergugat Konvensi Putus sejak Putusan ini dibacakan;
3. Menghukum Tergugat Konvensi untuk membayarkan secara Tunai
dan Sekaligus, Hak-hak Penggugat Konvensi akibat Pemutusan
Hubungan Kerja yang nilai seluruhnya berjumlah Rp. 63.490.950,-
(Enam Puluh Tiga Juta Empat Ratus Sembilan Puluh Tiga Ribu
Sembilan Ratus Lima Puluh Rupiah).
61
atas putusan Nomor 05/Pdt.Sus.PHI/2016/PN. Pbr tertanggal 8 Maret
2016 tersebut, PT. Inti Kamparindo Sejahtera mengajukan Kasasi yang
kemudian Mahkamah Agung mengambil putusan, yaitu putusan Nomor 667
K/Pdt.Sus-PHI/2016 tertanggal 28 September 2016 yang amarnya
menyatakan bahwa, mengabulkan permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi:
PT. Inti Kamparindo Sejahtera tersebut dan membatalkan Putusan Pengadilan
Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Pekanbaru Nomor 05/Pdt.Sus-
PHI/2016/PN.Pbr tanggal 30 Maret 2016.
2.2.1.2.Pertimbangan Hukum dan Isi Putusan Majelis Hakim Tingkat Kasasi
pada Putusan Nomor 667 K/Pdt.Sus-PHI/2016.
2.2.1.2.1. Pertimbangan Hukum Majelis Hakim
Berdasarkan seluruh rangkaian pembahasan memori kasasi, maka
Pemohon Kasasi dahulu Tergugat berkesimpulan sebagai berikut:
1. Bahwa keputusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan
Negeri Pekanbaru dalam memberi pertimbangan hukumnya seakan
fokus untuk memenangkan pihak Penggugat/Termohon Kasasi, hal itu
terlihat dari uraian pertimbangan hukumnya hanya memilih uraian
yang menguntungkan Penggugat/Termohon Kasasi tanpa
mempertimbangkan keuntungan dari Pihak Pemohon Kasasi/Tergugat
berupa dalil uraian dan alat bukti Pemohon Kasasi sebagaimana yang
telah diuraikan dan diperlihatkan di dalam persidangan.
2. Bahwa Pemohon Kasasi keberatan Majelis Hakim menghukum
Tergugat Konvensi untuk membayar secara tunai dan sekaligus, hak-
hak Pengugat Konvensi akibat Pemutusan Hubungan Kerja yang
62
dinilai seluruhnya berjumlah Rp. 63.490.950.00 (enam puluh tiga juta
empat ratus sembilan puluh sembilan ratus lima puluh rupiah).
3. Bahwa perintah mutasi pada perkembangannya harus diikuti pula oleh
perintah untuk meninggalkan rumah dinas, yang dalam point ini
Penggugat merasa keberatan untuk mana Majelis Hakim akan
mempertimbangkan penolakan Penggugat pindah dari rumah dinas
tersebut.
4. Bahwa pertimbangan hukum yang dibuat oleh Majelis Hakim
Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Pekanbaru
tersebut telah salah menerapkan hukumnya karena dalam putusannya
tidak tepat, tidak cermat, dan telah keliru dan salah dalam penerapan
hukum tentang pertimbangan hukumnya dan pembuktian berdasarkan
fakta-fakta hukum (bukti surat dan buktiketerangan saksi-saksi) yang
terungkap di persidangan, sehingga penerapan hukumnya yang
diambil oleh Judex Facti menjadi tidak tepat, tidak cermat, oleh
karenanya patut secara hukum putusan tersebut haruslah dibatalkan.
5. Bahwa Majelis Hakim tersebut telah serta merta langsung
mengabulkan seluruh isi gugatan Penggugat/Termohon Kasasi bahkan
telah melebihi tuntutan dalam petitum dengan alasan berdasarkan azas
ultra nepetita....tanpa harus memperhatikan dan mempertimbangkan
hal-hal yang lainnya, yang tentu saja pertimbangan hukum Judex
Facti tersebut telah salah dalam penerapan hukumnya. Seharusnya
Judex Facti haruslah mempertimbangkan hal–hal lainnya yang
berhubungan dengan mutasi tersebut.
63
6. Pemohon Kasasi menyediakan sarana transportasi bagi anak
Penggugat untuk menyelesaikan pendidikannya apabila
Penggugat/Termohon Kasasi melakukan pindah rumah. Namun dalil
dan upaya Tergugat untuk menyediakan transportasi anak sekolah
tersebut diabaikan oleh Majelis Hakim PHK oleh karena kesalahan
karyawan, dalam hal ini Termohon Kasasi dahulu penggugat
selayaknya mendapat berupa uang pesangon 1 (satu) kali ketentuan
Pasal 156 ayat (2) uang penghargaan masa kerja sesuai ketentuan
Pasal 156 ayat (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003.
7. Bahwa Majelis Hakim juga tidak mempertimbangkan bahwa akibat
Penggugat tidak pindah rumah oleh karena alasan sekolah anaknya
mengakibatkan Penggugat lebih sering terlambat masuk kerja dan
berakibat pula produktifitas kerja Penggugat sudah terganggu karena
lebih sering terlambat bekerja. Pegawai/pekerja yang mutasi pada
umumnya sudah lumrah dan lazim serta merta dilakukan pindah
rumah jika jarak tempuh lokasi pekerjaan yang jauh.
8. Bahwa terlebih di dalam putusannya berkaitan tentang mengadili
dalam konvensi menyebutkan “Mengabulkan gugatan Penggugat
dalam Konvensi untuk sebagian, namun dalam kenyataanya Majelis
justru melebihi gugatan Penggugat.
9. Majelis Hakim telah salah karena, bahkan Majelis Hakim melebihi
seluruh petitum gugatan Penggugat, dengan demikian putusan Majelis
Hakim tersebut haruslah dibatalkan Bahwa Pasal 30 Undang-Undang
Nomor 14 Tahun 1985 dan telah direvisi dengan Undang-Undang
64
Nomor 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung RI yang
menyebutkan: Mahkamah Agung RI dalam tingkat Kasasi
membatalkan putusan atau penetapan pengadilan-pengadilan dari
semua lingkungan peradilan adalah karena:
a. Tidak berwenang atau melampaui batas wewenang;
b. Salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku;
c. Lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan,
perundang-undangan yang mengancam kelalaian itu dengan batalnya
putusan yang bersangkutan.
2.2.1.2.2. Isi Putusan
Berdasarkan alasan-alasan Pemohon Kasasi di atas, Mahkamah Agung
memutuskan:
Dalam Konvensi:
Dalam Pokok Perkara:
1. Mengabulkan gugatan Penggugat dalam Konvensi untuk sebahagian;
2. Menyatakan Hubungan Kerja antara Penggugat Konvensi dan Tergugat
Konvensi putus sejak putusan Judex Facti dibacakan;
3. Menghukum Tergugat Konvensi untuk membayarkan secara Tunai dan
Sekaligus, hak-hak Penggugat Konvensi akibat Pemutusan Hubungan Kerja
yang nilai seluruhnya berjumlah Rp47.857.500,00 (empat puluh tujuh juta
delapan ratus lima puluh tujuh ribu lima ratus rupiah);
4. Menolak gugatan Penggugat dalam Konvensi untuk selain dan
selebihnya;
Dalam Rekonvensi:
65
Dalam Pokok Perkara:
- Menolak gugatan Penggugat Rekonvensi/Tergugat dalam Konvensi untuk
seluruhnya;
Dalam Konvensi dan Rekonvensi:
- Membebankan biaya perkara kepada Negara.
2.3. ANALISIS
2.3.1. Penerapan Azas Keadilan pada Putusan Tingkat 1 Nomor 05/Pdt.Sus-
PHI/2016/PN.Pbr
Dengan melihat kasus di dalam putusan yang telah disebutkan di atas,
dan mendasarkan analisis tersebut dengan teri keadilan John Rawls, maka
berikut merupakan hasil analisis yang telah penulis teliti, yaitu:
Majelis Hakim Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan
Negeri Pekanbaru sudah cukup menggambarkan bahwa terdapat akses
kesempatan yang adil bagi setiap anggota masyarakat yang ingin menempuh
jalur hukum untuk penyelesaian sengketa yang mereka alami. Lembaga
hukum sangat terbuka dan menjunjung prinsip persamaan bagi semua orang
tanpa menilai dari posisi/jabatan seseorang.
Majelis Hakim dalam megadili perkara sudah benar menerapkan
pertimbangan hukum yang menyatakan bahwa pemutusan hubungan kerja
antara PT. Inti Kamparindo Sejahtera dengan Sdr. Erikson Situmorang adalah
PHK secara sepihak. Putusan yang demikian diambil oleh Majelis Hakim
dengan mempertimbangkan bukti-bukti dan saksi-saksi yang diajukan oleh
kedua belah pihak. Artinya, terdapat prinsip persamaan keadilan atas
66
persamaan. Semua pihak baik pihak yang lemah yaitu pekerja beserta saksi-
saksi yang diajukannya dan pihak yang kuat yaitu pengusaha sama-sama
memiliki kebebasan untuk berbicara mengutarakan pendapatnya dan berhak
untuk didengarkan. Seorang hakim harus memberikan kebebasan yang seluas
luasnya kebebasan kepada pihak-pihak yang berkonflik untuk didengar
pendapatnya. Agar kemudian hakim dapat memberikan putusan yang adil.
Dalam anasilis putusan Majelis Hakim Tingkat I dibenarkan telah
terjadi hubungan kerja antara Sdr. Erikson Situmorang sebagai pekerja/buruh
dengan PT. Inti Kamaparindo Sejahtera sebagai pengusaha. Hubungan kerja
tersebut merupakan hubungan hukum yang menimbulkan hak dan kewajiban.
Pekerja/buruh memiliki kewajiban yaitu melakukan pekerjaan sesuai dengan
yang diperjanjikan dalam PK, PP, dan atau PKB. Sedangkan pengusaha
memiliki kewajiban untuk memenuhi hak pekerja/buruh.
Apabila melihat dari teori keadilan dikemukakan oleh Rawls diatas,
Majelis Hakim Tingkat I telah mempertimbangkan situasi yang sama dan
setara antara pengusaha dan pekerja/buruh dimana tidak ada pihak yang
memiliki posisi lebih tinggi antara satu dengan yang lainnya, seperti misalnya
kedudukan, status sosial, tingkat kecerdasan, kemampuan, kekuatan, dan lain
sebagainya. Baik pengusaha dan pekerja/buruh memiliki hak yang sama di
depan hukum.
Sdr. Erikson Situmorang telah melakukan pekerjaan dengan baik dan
menuruti perintah pengusaha. Perintah mutasi oleh PT. Inti Kamparindo
Sejahtera di terima dengan baik oleh Erikson Situmorang. Tuduhan
pengusaha jika Erikson Situmorang sering terlambat ketempat kerja, ataupun
67
tidak siap melaksanakan pekerjaannya, tidak dapat dibuktikan baik olehnya
maupun oleh saksi yang diajukan. Namun perintah untuk pindah rumah belum
disetujui oleh Erikson dikarenakan anaknya yang sebentar lagi akan
melangsungkan Ujian Nasional SD. Meskipun perintah untuk pindah rumah
belum disetujui tetapi Erikson setiap harinya tetap bekerja seperti biasa lebih
7 (tujuh) jam sehari dan 40 (empat puluh) jam dalam seminggu sebagaimana
diatur dalam Pasal 77 Undang Undang Nomor 13 Tahun 2003. Oleh
karenanya Surat Peringatan dan Surat Pemutusan Hubungan Kerja yang
disampaikan oleh Tergugat kepada Penggugat tidak beralasan hukum. Surat
PHK hanya dapat diberikan kepada pekerja/buruh apabila pekerja/buruh
melakukan pelanggaran ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja,
peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama, pengusaha dapat
melakukan pemutusan hubungan kerja sebagaimana tertera dalam Ketentuan
Pasal 161 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003.
Majelis Hakim Tingkat I yang membatalkan PHK secara sepihak oleh
PT. Inti Kamparindo Sejahtera dan menetapkan PHK saat putusan dibacakan
sudah benar dalam menerapkan hukum. Bahwa disamping Tindakan Tergugat
tersebut bertentangan Pasal 77 dan Pasal 161, Pemutusan Hubungan Kerja
sepihak oleh pengusaha tanpa Penetapan Pengadilan Hubungan Industrial
yang dilakukan Tergugat tersebut juga bertentangan dengan Pasal 151, 155
ayat (1) dan Pasal 170 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003.
Alasan lain yang menjadi dasar pertimbangan Majelis Hakim adalah
adaanya perlindungan terhadap anak. Mengingat anak dari Sdr. Erikson yang
saat itu duduk di kelas VI SD dan akan melaksanakan Ujian Nasional, maka
68
harus diberikan kesempatan untuk mendapatkan pendidikan. Karena apabila
Sdr. Erikson menuruti perintah untuk pindah rumah, sang anak akan kesulitan
menjangkau sekolah dengan jarak yang sangat jauh dan transportasi yang
tidak memadai. Selain itu, pihak sekolah juga tidak menyarankan untuk
pindah sekolah menjelang ujian nasional dikarenakan proses administrasi
yang sangat sulit dan riskan sehingga dikhawatirkan akan berdampak buruk
bagi anak.
Menurut penulis, pertimbangan hukum Majelis Hakim lainnya yang
mencerminkan asas keadilan seperti yang dikemukakan Rawls yakni,
memberi hak dan kesempatan yang sama atas kebebasan dasar yang paling
luas seluas kebebasan yang sama bagi setiap orang. Artinya, hakim dituntut
untuk memiliki keberanian mengambil keputusan sesuai dengan ketentuan
normatif undang-undang tanpa mengedepankan pihak yang lebih kuat dan
mengacuhkan pihak yang lemah, sehingga keadilan substantif dapat terwujud
melalui putusan hakim pengadilan.
Kemudian dalam pertimbangan hukumnya, hakim memutuskan
Putusnya Hubungan Kerja antara Penggugat dengan Tergugat sejak putusan
ini dibacakan maka oleh karena itu berdasarkan Ketentuan Pasal 155 ayat (2)
UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, dihubungkan dengan
Pasal (2) PP Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan yang menyatakan
bahwa Hak atas Upah timbul pada saat terjadinya Hubungan Kerja antara
Pekerja/Buruh dengan Pengusaha dan berakhir pada saat Putusnya Hubungan
kerja, dihubungkan dengan Ketentuan Pasal 93 ayat (2f) UU Nomor 13 Tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan. Sehingga diperhitungkan masa kerja Erikson
69
adalah sejak 1 Mei 2008 sampai dengan 16 Maret 2016 yakni 7 Tahun 10,5
Bulan dengan Jabatan Pemanen dan upah terakhir sebesar Rp. 2.127.000,-.
Berikut perhitungan hak yang seharusnya diterima oleh Erikson sesuai dengan
Pasal 163 Angka (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003:
1. Uang Pesangon 2x8x Rp. 2.127.000,- = Rp. 34.032.000,-
2. Uang Penghargaan Masa Kerja
3 x Rp.2.127.000,- = Rp.6.381.000,-
Total = Rp. 40.413.000,-
3. Uang Penggantian Hak :
Uang Penggantian Perumahan serta Pengobatan dan
Perawatan 15% x Rp. 40.413.000,- = Rp. 6.061.950,-
Cuti Tahunan 2013, 2014, 2015 dan 2016
25/25 x Rp. 2.127.000,- = Rp. 2.127.000,-
Tunjangan Hari Raya Thn 2015 = Rp.2.127.000,-
4. Upah selama belum ada Putusan
6x Rp. 2.127.000,- = Rp. 12.762.000,-
JUMLAH YANG HARUS DIBAYAR = Rp. 63.490.950
Dari putusan tersebut, Majelis Hakim Tingkat I telah memberikan hak yang
sama seluas kebebasan yang sama bagi setiap orang. pertimbangan hakim
yang demikian dikarenakan Sdr. Erikson telah patuh menjalankan
kewajibannya sebagai pekerja sehingga ia berhak mendapatkan apa yang
menjadi haknya.
70
1.2.1. Penerapan Azas Keadilan pada Putusan Tingkat Kasasi Nomor
667 K/Pdt.Sus-PHI/2016
Berdasarkan analisis penulis mengenai putusan hakim pada Tingkat
Kasasi yang membatalkan putusan pada Tingkat Pengadilan Hubungan
Industrial Nomor 05/Pdt.Sus-PHI/2016/PN.Pbr. terdapat beberapa kesalahan
dalam menerapkan hukum. Majelis Hakim berpendapat bahwa putusan Judex
Facti dalam amarnya menghukum Tergugat membayar uang kompensasi
kepada Penggugat Rp. 63.490.950,00 (enam puluh tiga juta empat ratus
sembilan puluh ribu sembilan ratus lima rupiah), padahal dalam petitum
gugatannya Penggugat menuntut membayar upah sebelum putusan pengadilan
ditetapkan 6 bulan, 2 (dua) kali Uang Pesangon, Uang Pengganti Masa Kerja,
dan Uang Penggantian Hak secara tunai dan sekaligus seluruhnya berjumlah
Rp. 47.857.500,00 (empat puluh tujuh juta delapan ratus lima puluh tujuh ribu
lima ratus rupiah). Keputusan Majelis Hakim yang demikian dianggap ultra
petita dan melanggar Ketentuan Pasal 178 ayat (3) HIR dan Pasal 189 Ayat
(3) RBg sehingga permohonan kasasi harus dikabulkan dengan membatalkan
putusan Judex Facti.
Menurut penulis, Majelis Hakim Agung pada Tingkat Kasasi harus
memberikan apa yang seharusnya menjadi hak pekerja seperti yang telah
diputuskan oleh Majelis Hakim pada Tingkat I. Sangat memungkinkan bagi
pengusaha memberikan perintah mutasi kepada pekerja namun apabila
perintah tersebut kemudian diikuti dengan perintah pindah rumah, maka
pengusaha wajib mempertimbangkan alasan-alasan pekerja apabila pekerja
belum siap untuk pindah rumah. Dalam kasus ini, alasan Sdr. Erikson belum
71
memenuhi perintah pengusaha untuk pindah rumah adalah karena anak dari
Sdr. Erikson yang saat itu duduk di kelas VI SD dan akan melaksanakan
Ujian Nasional. Apabila Sdr. Erikson menuruti perintah untuk pindah rumah,
maka sang anak akan kesulitan menjangkau sekolah dengan jarak yang sangat
jauh dan transportasi yang tidak memadai. Perlu diketahui, murid sekolah
pada tingkatan kelas VI SD, Kelas IX/III SMP dan Kelas XII/III SMA/ SMU,
tidak diperkenankan oleh Kepala Sekolah yang lama atau Kepala sekolah
yang dituju, untuk pindah sekolah karena hal itu akan menyulitkan bagi si
murid dalam mengikuti perkembangan pelajarannya dan menyulitkan bagi
sekolah untuk menyesuaikan level pendidikan yang sudah berjalan di sekolah
yang baru terhadap murid baru. Disamping itu, proses administrasi
perpindahan murid pada tingkatan terakhir tersebut juga harus disertai dengan
proses pengeluaran Surat Tanda Tamat Belajar (STTB) atau Ijazah yang akan
dikeluarkan.
Alasan-alasan tersebut dapat menjadi pertimbangan Majelis hakim
Agung dalam memutuskan perkara agar tidak langsung mengabulkan
permohonan Pemohon tanpa mempertimbangan dalil gugatan Penggugat pada
Pengadilan Perselisihan Hubungan Industrial di Pengadilan Negeri
Pekanbaru. Mengingat, sang anak berhak mendapatkan pendidikan yang layak
dan tidak dipersulit hanya karena perpindahan pekerjaan yang dialami oleh
orang tuanya.
Menurut penulis, putusan Majelis Hakim Tingkat I sudah merupakan
pertimbangan hukum yang tepat dan benar. Putusan hakim yang melebihkan
pembayaran upah dikarenakan adanya pengaturan tentang upah yaitu pada
72
Ketentuan Pasal 155 ayat (2) UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan, dihubungkan dengan Pasal (2) PP Nomor 78 Tahun 2015
tentang Pengupahan yang menyatakan bahwa Hak atas Upah timbul pada saat
terjadinya Hubungan Kerja antara Pekerja/Buruh dengan Pengusaha dan
berakhir pada saat Putusnya Hubungan kerja. Hubungan kerja antara PT. Inti
Kamparindo Sejahtera ditetapkan putus oleh pengadilan sejak putusan
dibacakan yaitu tanggal 30 Maret 2016. Sedangkan PHK secara sepihak
dilakukan oleh pengusaha pada bulan Mei tahun 2014. Oleh karenanya,
penghitungan upah yang timbul akibat PHK yang dilakukan oleh PT. Inti
Komparindo Sejahtera terhadap Erikson Situmorang menurut Majelis Hakim
Tingkat I telah sesuai dengan hukum yang berlaku.
Pertimbangan hukum Majelis Hakim Agung Tingkat Kasasi belum
sepenuhnya mencerminkan asas keadilan dan masih terlihat adanya
kesenjangan sosial, yakni, Majelis Hakim Agung hanya melihat dari pihak
yang kuat yaitu pengusaha tanpa mempertimbangkan alasan pekerja.
Seharusnya alasan Sdr. Erikson tidak pindah rumah sampai menunggu sang
anak selesai Ujian Nasional merupakan alasan yang logis dan patut untuk
dipertimbangkan.
Berdasarkan teori keadilan Rawls, penulis berpendapat keadilan sosial
harus diperjuangkan untuk dua hal, pertama, melakukan koreksi dan
perbaikan terhadap kondisi ketimpangan yang dialami kaum lemah dengan
menghadirkan institusi-institusi sosial, ekonomi, dan politik yang
memberdayakan. Kedua, setiap aturan harus meposisikan diri sebagai