BAB II Tinjauan Pustaka E95rpu-3

15
II. TINJAUAN PUSTAKA A. KARAKTERISTIK HUTAN TROPIKA BASAH Richards (1964), Ashton (1965 ) dan Whitmore (1975) dalam Bratawinata (1991), mengatakan bahwa hutan tropika basah mempunyai sifat selalu hijau, tinggi pohonJtegakan paling rendah 30 meter atau lebih, banyak liana-liana yang berbatang tebal dan berkayu maupun yang bersifat herba. Salah satu sifat yang menonjol adalah mayoritas dari tumbuhannya berkayu dan berukuran pohon. Tidak hanya pohon-pohon yang mendominasi komunitas hutan hujan tropika basah, tetapi juga tumbuhan yang memanjat dan sebagian epifit yang berkayu. Gambaran dari wujud pohon-pohon di hutan primer, adalah adanya bentukan dari batang- batang pohon yang umumnya lurus, bentuk batang bundar kadang-kadang pipih, keadaan percabangan dari lapisan pohon bag ian atas umumnya membentuk sudut yang lebar mendekati 90 0 antara cabang dan batang pohon. Strata tajuk bagian bawah pada umumnya membentuk tajuk yang lonjong kadang-kadang berbentuk kerucutJpiramid. Soerianegara dan Indrawan (1984), menyebutkan bahwa hutan tropika basah di Indonesia seluas ± 89 juta hektar dengan ciri-ciri sebagai berikut : iklim selalu basah, tanah kering dan bermacam-macam jenis tanah, dipedalaman pada tanah yang rata atau berbu-

description

Mengenai Pemeliharaan Tegakan

Transcript of BAB II Tinjauan Pustaka E95rpu-3

Page 1: BAB II Tinjauan Pustaka E95rpu-3

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. KARAKTERISTIK HUTAN TROPIKA BASAH

Richards (1964), Ashton (1965 ) dan Whitmore

(1975) dalam Bratawinata (1991), mengatakan bahwa

hutan tropika basah mempunyai sifat selalu hijau,

tinggi pohonJtegakan paling rendah 30 meter atau

lebih, banyak liana-liana yang berbatang tebal dan

berkayu maupun yang bersifat herba. Salah satu sifat

yang menonjol adalah mayoritas dari tumbuhannya

berkayu dan berukuran pohon. Tidak hanya pohon-pohon

yang mendominasi komunitas hutan hujan tropika basah,

tetapi juga tumbuhan yang memanjat dan sebagian epifit

yang berkayu. Gambaran dari wujud pohon-pohon di

hutan primer, adalah adanya bentukan dari batang­

batang pohon yang umumnya lurus, bentuk batang bundar

kadang-kadang pipih, keadaan percabangan dari lapisan

pohon bag ian atas umumnya membentuk sudut yang lebar

mendekati 900 antara cabang dan batang pohon. Strata

tajuk bagian bawah pada umumnya membentuk tajuk yang

lonjong kadang-kadang berbentuk kerucutJpiramid.

Soerianegara dan Indrawan (1984), menyebutkan

bahwa hutan tropika basah di Indonesia seluas ± 89

juta hektar dengan ciri-ciri sebagai berikut : iklim

selalu basah, tanah kering dan bermacam-macam jenis

tanah, dipedalaman pada tanah yang rata atau berbu-

Page 2: BAB II Tinjauan Pustaka E95rpu-3

5

kit (::; 1000 m dpl) dan pada tanah tinggi (sampai

dengan 4000 m dpl), dapat dibedakan menjadi 3 zone

menu rut ketinggian yaitu hutan hujan bawah (2-1000 m

dpl), hutan hujan tengah (1000-3000 m dpl) dan hujan

tengah atas (3000-4000 m dpl).

Selanjutnya Richards (1964),

hutan hujan tropika basah bisa

menjelaskan bahwa

digolongkan sebagai

hutan klimaks (Homeo statis) , walaupun secara kenya­

taannya masih terjadi pergantian-pergantian komposisi

secara alam (Cyberatic) sehingga tegakan bisa memper­

tahankan kondisinya sesuai dengan faktor habitatnya.

Kartawinata (1975), menerangkan arti keseimbangan

biologis adalah bahwa hutan alam bersifat stabil,

perubahan ada tetapi terjadi di dalam hutan itu sen­

diri. Salah satu contohnya adalah perubahan-perubahan

dengan terjadinya tempat-tempat terbuka akibat pohon­

pohon tua yang telah roboh sehingga mengakibatkan

terjadinya rumpang (gap), selanjutnya akan memberikan

kesempatan masuknya sinar matahari sampai ke lantai

hutan, sehingga merangsang pertumbuhan anakan. Pohon­

pohon muda yang selama ini tertekan akan ada kesempa­

tan berkembang dengan baik. Tempat-tempat terbuka

yang terjadi karena alam hanya mencakup areal yang

tidak terlalu luas dan hal ini dikategorikan sebagai

bag ian dari proses dinamika hutan alam tropika basah

yang masih virgin.

Page 3: BAB II Tinjauan Pustaka E95rpu-3

6

Menurut Richard (~964), hutan di Indonesia seba-

gian besar merupakan hut an hujan dataran rendah yang

didominasi oleh famili Dipterocarpaceae sehingga

sering disebut sebagai hut an dataran rendah Diptero-

carpaceae.

B. TEBANG PILIH INDONESIA (TPI) DAN TEBANG PILIH TANAM INDONESIA (TPTI)

sistem sil vikul tur untuk pengusahaan hutan pro-

duksi di Indonesia dijabarkan dalam Keputusan Direktur

Jenderal Kehutanan No. 35/Kpts/DD/I/1972 tentang

Pedoman Tebang Pi1ih Indonesia, Tebang Habis dengan

Penanaman, Tebang Habis dengan Permudaan Alam dan

Pedoman-pedoman pengawasannya.

Dalam lampiran SK Direktur Jenderel Kehutanan

Nomor 35/1972 di atas, dinyatakan bahwa sistem Tebang

Pilih Indonesia (TPI) adalah sistem silvikiultur

meliputi car a penebangan dan permudaan hut an , yang

merupakan perpaduan antara sistem-sistem Tebang

pilih dengan batas minimum diameter Indonesia, Tebang

pilih Filipina, Penyempurnaan hutan dengan pengayaan

(Enrichment) dan Pembinaan Permudaan. Ketentuan

mengenai jumlah pohon inti yang harus di tinggalkan

dan batas diameter yang boleh di tebang sesuai dengan

ketentuan TPI, seperti pada Tabel ~.

Page 4: BAB II Tinjauan Pustaka E95rpu-3

7

Tabel 1. Jumlah Pohon Inti yang Harus di­tinggalkan dan Batas Diameter Boleh Ditebang Sesuai Ketentuan TPI 1972

Batas diameter Rotasi yang ditebang (cm) (th)

50 35 40 45 30 55

Jumlah pohon inti yang ditinggalkan

(batang)

25 25 40

Sumber Vademacum Kehutanan, 1976

Diameter pohon inti

(cm)

" 35 2: 35 ~ 20

Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 485/Kpts-

II/1989 tentang sistem silvikutur di Indonesia, dise-

butkan bahwa pengelolaan hutan produksi di Indonesia

dapat dilakukan dengan sistem silvikultur Tebang

pilih Tanam Indonesian (TPTI), Tebang Habis dengan

Permudaan Alam (THPA) dan Tebang Habis dengan Permu-

daan Buatan (THPB) (Direktorat Jenderal Pengusahaan

Hutan, 1990).

Tebang pilih Tanam Indonesia (TPTI) adalah suatu

sistem silvikultur yang mengatur cara penebangan dan

permudaan hutan. Sistem ini merupakan sistem yang

dinilai sesuai untuk diterapakan di hutan alam produk-

si di Indonesia, kecuali hutan payau. Persyaratan

dalam melaksanakan pedoman TPTI, seperti pada Tabel 2.

Untuk mencapai sasaran yang diharapakan sesuai

dengan sistem silvikultur TPTI maka ditetapkan taha-

pan-tahapan kegia tan s ebagai ber iku t (Departemen

Kehutanan, 1993) :

Page 5: BAB II Tinjauan Pustaka E95rpu-3

8

a. Penataan Arel Kerja (Et-3),

b. Inventarisasi Tegakan Sebelum Penebangan (Et-2)

c. Pembukaan wilayah Hutan (Et-l),

d. Penebangan (Et),

e. Perapihan (Et+l),

f. Inventarisasi Tegakan'Tinggal (Et+2),

g. Pembebasan Tahap Pertama (Et+2),

h. Pengadaan Bibit (Et+2),

i. Pengayaan/Rehabilitasi (Et+3),

j. Pemeliharaan Tanaman Pengayaan/Rehabilitasi (Et+3), (Et+4) dan (Et+5),

k. Pembebasan Tahap Kedua dan Ketiga (Et+4) dan (Et+6),

i. Penjarangan Tegakan Tinggal dan (Et+20).

(Et+10) ,

Tabel 2. syarat-Syarat Pelaksanaan TPTI

(Et+1S)

No. Batas diameter Rotasi tebang Jumlah pohon Diameter tebang (em) (tahun) Inti (btgjha) ph. inti (em)

1- Hutan a1am campuran 50 35 " 25 KD 20-49 ?

+ KTD " 50 0

2. Hutan ramin 1)

35 35 " 25 " 15 3. Hutan eboni 2 )

35 45 " 25 " 15

Sumber: Direktur Jenderal Pengusahaan Hutan, 1990

Keterangan : 1). Hutan rawa, bila diameter 50 em up tidak cukup 2). Hutan yang memiliki pertumbuhan lambat, dan sulit ditemukan

diameter 50 em up. KD Komersial Ditebang KTD Kornersial Tidak Ditebang

Page 6: BAB II Tinjauan Pustaka E95rpu-3

9

c. KERUSAKAN TEGAKAN TINGGAL AKIBAT PEMANENAN KAYU DENGAN SISTEM TPTI

Tegakan tinggal adalah tegakan hutan yang sudah

ditebang pilih dan menjadi modal pengusahaan hutan

berikutnya yang terdiri dari pohon-pohon binaan dan

pohon pendamping (Departemen Kehutanan, 1993).

weidelt (1982), memberikan data keadaan tegakan

hutan setelah pemanenan kayu dengan menggunakan trak-

tor dan kabel di daerah Mindanao, Philipina.

Tabel 3.

Jenis Pohon

Semua jenis Dipt. Non Dipt.

Perbandingan dari Tegakan Setelah Tebang pilih dengan nakan Traktor dan Kabel.

Tinggal Menggu-

Tegakan Tinggal (% )

Traktor Kabel

Rusak Tdk Rusak Rusak Tdk Rusak

54.4 45.5 56.7 43.3 68.8 35.2 55.5 44.5 46.7 53.8 58.1 41.9

Sumber : Weidelt and Banaag, 1982.

Wiradinata et al. (1985), menyatakan bahwa fak-

tor-faktor yang paling berpengaruh terhadap kerusakan

tegakan tinggal adalah pohon rebah, traktor penyarad

dan batang yang disarad. Pengaruh tersebut akan

semakin diperbesar apabila kerapatan tegakan tinggi,

frekuensi rendah, penentuan arah rebah tidak teratur

dan topografi bervariasi. Sedangkan Yanuar (1992),

menyebutkan bahwa faktor-faktor yang mungkin menambah

Page 7: BAB II Tinjauan Pustaka E95rpu-3

10

besarnya kerusakan tegakan tinggal adalah kerapatan

tegakan yang tinggi, perebahan yang tidak terarah dan

kedudukan pohon tebangan dalam tegakan.

Selanjutnya Yanuar (1992), menyebutkan bahwa

kerusakan tegakan tinggal tidak terjadi pada semua

kelas diameter. Kerusakan cenderung dialami oleh

pohon berdiameter keci 1.

dalam tahap penebangan

Kerusakan terbesar timbul

kerusakan pohon kayu. Tipe

terberat yang juga mengurangi jumlah pohon dari dalam

tegakan adalah pohon patah dan pohon roboh.

1. Tipe Kerusakan

Menurut hasil penelitian Elias, et al. (1993) di

areal HPH PT. Narkata Rimba, Kalimantan Timur, tipe

kerusakan pohon akibat penebangan adalah : rusak tajuk

(9.45%), patah batang (23.08%), Roboh (19.23%), luka

batang/kulit dan pecah batang (8.24%). Sedangkan

tipe kerusakan pohon akibat penyaradan adalah roboh

(88.32%), condong (4.47%), luka batang/kulit, rusak

tajuk, banir, patah batang (2.74%).

Elias (1993), membandingkan dengan hasil-hasil

penelitian sebelumnya dan hasilnya tidak jauh berbeda,

seperti pada Tabel 4.

2. Tingkat Kerusakan

Bila dilihat dari

pohon, maka tingkat

besarnya

kerusakan

luka tiap

pohon-pohon

individu

tegakan

Page 8: BAB II Tinjauan Pustaka E95rpu-3

11

tinggal akibat pemanenan kayu adalah sebagai berikut

(Elias et. al., 1993) kerusakan berat (82.13%),

kerusakan sedang (13.29%) dan keruskan ringan (4.58%).

Dari pohon-pohon yang rusak tersebut, yang masih

tinggal atau hidup dalam tegakan tinggal hanya 6.00%

dari jumlah populasi tegakan tinggal.

Tabel 4. Tipe-tipe Kerusakan Pohon Akibat Pemanenan Kayu

Peneliti Lokasi Tipe Kerusakan Penelitian Roboh/ Rusak Rusak Rusak Jum1ah

patah tajuk kulit Banir (% ) (% ) (% ) (% ) (% )

1. Tinal dan Bilore, 28.60 5.90 1. 70 36.40 Panelewen KalTim

1974 2. Muhandis Berau r 19.60 3.20 0.10 0.20 23.00

1976 KalTim 3. Fernandus P. Buru 27.53 7.87 2.40 2.94 40.71

1978 4. Yanuar Ketapang, 14.19 2.42 1.12 17.73

1992 Ka1Bar 5. Elias Muara 16.91 4.08 0.77 0.20 21.96

et al. wahau 1993

Sumber : Elias, 1993.

3. Keterbukaan Tanah Akibat Penebangan dan Penyaradan

Keterbukaan tanah adalah terbukanya permukaan

tanah karena terkupasnya lapisan serasah yang menutu-

pinya, karena terdongkel pohon-pohon yang ditebang dan

yang roboh, terkikis dan tergusur oleh traktor sewaktu

penyaradan, pembuatan jalan angkutan dan pembuatan TPn

(Thaib, 1986).

Page 9: BAB II Tinjauan Pustaka E95rpu-3

12

Menurut Elias et. al. (1993) , keterbukaan

areal/tanah akibat penebangan dan penyaradan persatuan

luas sangat tergantung dari intensitas penebangan.

Makin tinggi intensitas penebangan, makin luas juga

keterbukaan areal/tanah, seperti pada Tabel 5.

Tabel 5. Keterbukaan Areal/Tanah Akibat Penebangan dan Penyaradan

Plot Intensitas Luas keterbukaan Tanah (m2 ) Akibat Penebangan (batang/ha) Penebangan Penyaradan Total

I 6 808 2 008 2 816 II 16 2 512 2 324 4 856 III 2 92 596 688

Sumber Elias, 1993

Hasil penelitian Elias et. al. (1993), menunjukkan

bahwa rata-rata keterbukaan areal/tanah akibat pemane-

nan kayu di dalam plot permanen di areal HPH PT.

Narkata Rimba, Kalimantan Timur adalah sebesar 2 780

per hektar atau 27.80%. Luas keterbukaan

areal/tanah tersebut hampir sama dengan hasil peneli-

tian Yanuar (1993) di areal HPH PT. Kayu Pesaguan,

Kalimantan Barat, yang menunjukkan luas keterbukaan

areal/tanah berkisar antara 15-30% sebagai akibat dari

penebangan dan penyaradan 5-11 pohon per hektar.

Tetapi lebih kecil dari hasil penelitian Abdullah et.

el. (1981) di Lempake Kalimantan Timur, sebesar 30%

keterbukaan areal/tanah akibat pemanenan 11 pohon per

Page 10: BAB II Tinjauan Pustaka E95rpu-3

13

hektar dan hasil penelitian Butarbutar (1991) di areal

HPH PT. Austral Byna Kalimantan Timur, sebesar 32.02%

keterbukaan tanah/ areal akibat pemanenan 9 pohon per

hektar.

Berdasarkan data di atas, Elias (1993), menarik

kesimpulan bahwa ada kecenderungan menu- runnya keru­

sakan tegakan tinggal akibat pemanenan kayu dengan

sistem TPI/TPTI sesuai dengan perjalanan waktu, perk­

embangan teknologi, pengalaman dan pengetahuan para

pengelola hutan.

4. Penurunan Keragaman Jenis

Menurut Kartawinata (1982), pemanenan kayu di

Indonesia akan menyebabkan degradasi sumberdaya gene­

tik, yaitu kehilangan jenis dan erosi genetik. Selan­

jutnya disebutkan bahwa mengingat hutan hujan tropik

khususnya hutan Dipterocarpaceae itu sangat heterogen

dan mempunyai keanekaragaman jenis yang tinggi (yaitu

setiap unit luas, setiap jenis yang ada mempunyai

jumlah individu yang sedikit), kehilangan jenis dari

hutan alam akan sebanding dengan jumlah pohon yang

ditebang dan yang rusak parah sebagai akibat pemanenan

kayu.

Perubahan struktur dan komposisi tegakan hutan

karena pemanenan kayu tercantum pada Tabel 6 (Abdulha­

di et. al., 1981).

Page 11: BAB II Tinjauan Pustaka E95rpu-3

14

Tabel 6. Perubahan Strukur dan Komposisi Hutan karena Pemanenan Kayu di Lempake.

Struktur dan Hutan yang Komposisi belum dipanen

Hutan yang sudah dipanen

- Jumlah pohon/ha 445 - Luas Bidang Dasar,m3/ha 35.98 - Jumlah Jenis pohon/ha

- Dipterocarpa 12 - Non dipterocarpa 197

- Jum1ah fami1i tumbuhan 43

Sumber : Abdulhadi et. ai., 1981

259 16.75

7 152

41

Suratmo (1992), menyebutkan bahwa penebangan hutan

alam dengan sistem TPTI jelas akan menurunkan kelimpa-

han dan keragaman jenis di dalam hutan sampai dalam

perubahan struktur dan bentuk komunitas flora-flora

dan berakhir pada gangguan ekosistem. Makin besar

perubahan yang akan terjadi akan mampu mengi1angk<'1D

spesies atau genetik baik yang dikena1 maupun yang

belum dikena1. Makin intensif penebangan, misalnya

makin kecil diameter yang ditebang, makin besar jumlah

jenis yang hilang berarti tidak menguntungkan pada

kelestarian dari jumlah jenis flora dan fauna di hutan

alamo

D. STRUKTUR DAN KOMPOSISI HUTAN TROPIKA BASAH

Banyak pengertian yang dijelaskan oleh para ahli

terhadap istilah struktur tegakan hutan. Meyer,

Recnagel, stevenson dan Bartoo (1961), memakai istilah

struktur tegakan hutan untuk menerangkan sebaran

Page 12: BAB II Tinjauan Pustaka E95rpu-3

15

jumlah pohon persatuan luas (hektar) dalam berbagai

kelas diameternya. Richard (1964), menggunakan isti­

lah struktur hutan sebagai sebaran individu tumbuhan

dalam lapisan tajuk. sedangkan istilah komposisi

digunakan untuk menyatakan keberadaan jenis-jenis

pohon dalam hutan.

Unesco (1978) dalam Suhendang (1985), menunjukkan

hasil peneli tian pada hutan hujan tropika di daerah

Imataca (Venezuela Guyana) menunjukkan bahwa struktur

tegakan hutan untuk semua jenis mengikuti bentuk huruf

J terbalik tetapi bentuknya menjadi sangat bervariasi

jika dibuatkan untuk setiap jenisnya.

Pemanenan kayu pada umumnya akan menurunkan taraf

komposisi, struktur dan massa tegakan hutan. Akibat

terjadinya kerusakan pada struktur dan komposisi hut an

alam, maka berbagai proses yang ada akan mengalami

perubahan ataupun gangguan, terutama riap, siklus

hara, siklus air dan keseimbangan ekosistem (Parisy,

Darmawangsa, Hardjoprajitno dan suratinaja, 1987).

Reyes (1959), mengemukakan bahwa apabila hutan

bekas tebangan di tinggalkan atau tidak diganggu maka

dengan adanya proses suksesi, hutan akan didominasi

kembali oleh vegetasi klimaks (Dipterocarpaceae) dan

lamanya waktu untuk kembali di tentukan oleh tingkat

perubahan yang diakibatkan oleh kegiatan pemanenan

kayu.

Page 13: BAB II Tinjauan Pustaka E95rpu-3

16

E. RIAP HUTAN TROPIKA BASAH

Pertambahan membesar dari dimensi pohon dan/atau

tegakan menurut pertambahan umurnya di sebut pertumbu­

han (growth). Dalam praktek istilah pertumbuhan

(grDl'lth) seringkali diterapkan sarna dengan riap

(increment), yang sebenarnya tidak sarna (Suharlan dan

Sudiono, 1973). Riap adalah pertambahan dimensi atau

pertambahan pertumbuhan. Dengan demikian antara riap

dan pertumbuhan ada bedanya yaitu

a. Pertumbuhan merupakan pertambahan tumbuh

dimensi pohon atau tegakan sepanjang umurnya.

b. Riap merupakan pertambahan tumbuh dimensi

pohon atau tegakan, dimana pertumbuhan terse­

but suatu saat berhenti.

Sedangkan sifat dari riap ini adalah bahwa pad a

suatu saat besarnya riap sarna dengan nol atau dengan

kata lain berhenti meriap. Pada saat/mulai saat ini

pohon tersebut dikatakan berhenti meriap.

Pada hutan primer (klimaks) riap pohonnya sangat

rendah. Riap pohon di hutan bekas tebangan pada

umumnya lebih besar karena persaingan dalam hal ruang,

eahaya, air dan hara mineral antara pohon-pohon menja­

di berkurang (Kasim, 1987).

Pad a sistem TPI/TPTI diasumsikan bahwa riap

diameter rata-rata 1 em/tahun, namun Sutanto et. al.

(1978), dalam penelitian riap diameter di hutan primer

Page 14: BAB II Tinjauan Pustaka E95rpu-3

17

dan hutan bekas tebangan menunjukkan bahwa beberapa

jenis pohon yang berdiameter 15 em atau lebih riap

diameter pohon pad a areal bekas tebangan berkisar

antara 0.37 sampai 0.98 em/tahun (rata-rata 0.7

em/tahun) (Tabel 7).

Tabel 7. Riap Diameter Pohon di Hutan Produksi dan Hutan Bekas Tebangan di Kalimantan Timur

Jenis pohon (diameter 15 em

ke atas)

Meranti (Shorea spp.) Kapur (Dryobalanops spp.) Bangkirai (Shorea spp.) Ulin (Eusideroxilon zwageri) Medang (Lauraceae) Hopea,Vatica

Hutan Alam (cm/th)

0.62 1.14 0.65 0.33 0.18 0.65

Sumber : Sutanto et. a1., 1976

Hutan 6ekas tebangan

(cm/th)

0.75 0.98 0.62 0.50 0.37 0.78

Hasil penelitian yang dilakukan Miller (1981),

mengenai perbandingan pertumbuhan diameter pohon di

hutan alam yang telah di tebang di Kalimantan Timur,

seperti pada Tabel 8.

Hasil penelitian Tang (1977) di Malaysia, apabila

tegakan sisa terdiri dari banyak jenis Dipteroearp,

maka memakai riap rata-rata sebesar 0.78 em/tahun

eukup layak digunakan, tetapi akan lebih aman apabila

digunakan angka riap sebesar 0.40 em sampai 0.78 em.

Page 15: BAB II Tinjauan Pustaka E95rpu-3

Tabel 8. Rata-rata Pertumbuhan Diameter Pohon di Hutan Alam dan Hutan Bekas Tebangan di Kaliamantan Timur

Kelas Rata-rata pertumbuhan Diameter (cm/th) Diameter

15 - 24.9 25 - 34.9 35 - 44.9

Hutan Alam

0.2 0.6 0.7

Sumber : Miller, 1981

Intensitas

4

0.4 0.4 0.4

Penebangan (% )

5 20

0.4 1.6 0.6 1.6 1.0 1.6

18

Perlakuan terhadap dilakukan dan tidaknya kegia-

tan pemeliharaan tegakan tinggalpun memberikan pengar-

uh terhadap pertambahan diameter pohon, seperti hasil

peneli tian Weidel t (1982), mengenai pertumbuhan dia-

meter antara pohon yang tidak dilaksanakan (kontrol)

dan yang dilakukan TSI (Timber Stand Improvement)

disalah satu areal HPH di daerah Mindanao, Philipina.

Tabel 9. Respon perlakuan TSI dan tidak dilakukan TSI pada plot bekas tebangan di Areal HPH picop, Mindanao, Philipina.

Kelas Diameter

Perlakuan 5-15 15-25 25-35 35-45 45-55 55-65 SA (m2jth)

Penambahan rata-rata diameter pOhonjth (em)

TSI 0.78 0.81 0.91 0.73 1. 33 0.87 20.35 Kontrol 0.39 0.32 0.77 0.79 0.98 0.64 32.05

Perbedaan +0.39 +0.49 +0.20 +0.06 +0.35 +0.23 -11. 70

Sumber : Weidelt and Sanaag, 1982