BAB II Tinjauan Pustaka E95rpu-3
-
Upload
juan-samuel-simbolon -
Category
Documents
-
view
54 -
download
4
description
Transcript of BAB II Tinjauan Pustaka E95rpu-3
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. KARAKTERISTIK HUTAN TROPIKA BASAH
Richards (1964), Ashton (1965 ) dan Whitmore
(1975) dalam Bratawinata (1991), mengatakan bahwa
hutan tropika basah mempunyai sifat selalu hijau,
tinggi pohonJtegakan paling rendah 30 meter atau
lebih, banyak liana-liana yang berbatang tebal dan
berkayu maupun yang bersifat herba. Salah satu sifat
yang menonjol adalah mayoritas dari tumbuhannya
berkayu dan berukuran pohon. Tidak hanya pohon-pohon
yang mendominasi komunitas hutan hujan tropika basah,
tetapi juga tumbuhan yang memanjat dan sebagian epifit
yang berkayu. Gambaran dari wujud pohon-pohon di
hutan primer, adalah adanya bentukan dari batang
batang pohon yang umumnya lurus, bentuk batang bundar
kadang-kadang pipih, keadaan percabangan dari lapisan
pohon bag ian atas umumnya membentuk sudut yang lebar
mendekati 900 antara cabang dan batang pohon. Strata
tajuk bagian bawah pada umumnya membentuk tajuk yang
lonjong kadang-kadang berbentuk kerucutJpiramid.
Soerianegara dan Indrawan (1984), menyebutkan
bahwa hutan tropika basah di Indonesia seluas ± 89
juta hektar dengan ciri-ciri sebagai berikut : iklim
selalu basah, tanah kering dan bermacam-macam jenis
tanah, dipedalaman pada tanah yang rata atau berbu-
5
kit (::; 1000 m dpl) dan pada tanah tinggi (sampai
dengan 4000 m dpl), dapat dibedakan menjadi 3 zone
menu rut ketinggian yaitu hutan hujan bawah (2-1000 m
dpl), hutan hujan tengah (1000-3000 m dpl) dan hujan
tengah atas (3000-4000 m dpl).
Selanjutnya Richards (1964),
hutan hujan tropika basah bisa
menjelaskan bahwa
digolongkan sebagai
hutan klimaks (Homeo statis) , walaupun secara kenya
taannya masih terjadi pergantian-pergantian komposisi
secara alam (Cyberatic) sehingga tegakan bisa memper
tahankan kondisinya sesuai dengan faktor habitatnya.
Kartawinata (1975), menerangkan arti keseimbangan
biologis adalah bahwa hutan alam bersifat stabil,
perubahan ada tetapi terjadi di dalam hutan itu sen
diri. Salah satu contohnya adalah perubahan-perubahan
dengan terjadinya tempat-tempat terbuka akibat pohon
pohon tua yang telah roboh sehingga mengakibatkan
terjadinya rumpang (gap), selanjutnya akan memberikan
kesempatan masuknya sinar matahari sampai ke lantai
hutan, sehingga merangsang pertumbuhan anakan. Pohon
pohon muda yang selama ini tertekan akan ada kesempa
tan berkembang dengan baik. Tempat-tempat terbuka
yang terjadi karena alam hanya mencakup areal yang
tidak terlalu luas dan hal ini dikategorikan sebagai
bag ian dari proses dinamika hutan alam tropika basah
yang masih virgin.
6
Menurut Richard (~964), hutan di Indonesia seba-
gian besar merupakan hut an hujan dataran rendah yang
didominasi oleh famili Dipterocarpaceae sehingga
sering disebut sebagai hut an dataran rendah Diptero-
carpaceae.
B. TEBANG PILIH INDONESIA (TPI) DAN TEBANG PILIH TANAM INDONESIA (TPTI)
sistem sil vikul tur untuk pengusahaan hutan pro-
duksi di Indonesia dijabarkan dalam Keputusan Direktur
Jenderal Kehutanan No. 35/Kpts/DD/I/1972 tentang
Pedoman Tebang Pi1ih Indonesia, Tebang Habis dengan
Penanaman, Tebang Habis dengan Permudaan Alam dan
Pedoman-pedoman pengawasannya.
Dalam lampiran SK Direktur Jenderel Kehutanan
Nomor 35/1972 di atas, dinyatakan bahwa sistem Tebang
Pilih Indonesia (TPI) adalah sistem silvikiultur
meliputi car a penebangan dan permudaan hut an , yang
merupakan perpaduan antara sistem-sistem Tebang
pilih dengan batas minimum diameter Indonesia, Tebang
pilih Filipina, Penyempurnaan hutan dengan pengayaan
(Enrichment) dan Pembinaan Permudaan. Ketentuan
mengenai jumlah pohon inti yang harus di tinggalkan
dan batas diameter yang boleh di tebang sesuai dengan
ketentuan TPI, seperti pada Tabel ~.
7
Tabel 1. Jumlah Pohon Inti yang Harus ditinggalkan dan Batas Diameter Boleh Ditebang Sesuai Ketentuan TPI 1972
Batas diameter Rotasi yang ditebang (cm) (th)
50 35 40 45 30 55
Jumlah pohon inti yang ditinggalkan
(batang)
25 25 40
Sumber Vademacum Kehutanan, 1976
Diameter pohon inti
(cm)
" 35 2: 35 ~ 20
Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 485/Kpts-
II/1989 tentang sistem silvikutur di Indonesia, dise-
butkan bahwa pengelolaan hutan produksi di Indonesia
dapat dilakukan dengan sistem silvikultur Tebang
pilih Tanam Indonesian (TPTI), Tebang Habis dengan
Permudaan Alam (THPA) dan Tebang Habis dengan Permu-
daan Buatan (THPB) (Direktorat Jenderal Pengusahaan
Hutan, 1990).
Tebang pilih Tanam Indonesia (TPTI) adalah suatu
sistem silvikultur yang mengatur cara penebangan dan
permudaan hutan. Sistem ini merupakan sistem yang
dinilai sesuai untuk diterapakan di hutan alam produk-
si di Indonesia, kecuali hutan payau. Persyaratan
dalam melaksanakan pedoman TPTI, seperti pada Tabel 2.
Untuk mencapai sasaran yang diharapakan sesuai
dengan sistem silvikultur TPTI maka ditetapkan taha-
pan-tahapan kegia tan s ebagai ber iku t (Departemen
Kehutanan, 1993) :
8
a. Penataan Arel Kerja (Et-3),
b. Inventarisasi Tegakan Sebelum Penebangan (Et-2)
c. Pembukaan wilayah Hutan (Et-l),
d. Penebangan (Et),
e. Perapihan (Et+l),
f. Inventarisasi Tegakan'Tinggal (Et+2),
g. Pembebasan Tahap Pertama (Et+2),
h. Pengadaan Bibit (Et+2),
i. Pengayaan/Rehabilitasi (Et+3),
j. Pemeliharaan Tanaman Pengayaan/Rehabilitasi (Et+3), (Et+4) dan (Et+5),
k. Pembebasan Tahap Kedua dan Ketiga (Et+4) dan (Et+6),
i. Penjarangan Tegakan Tinggal dan (Et+20).
(Et+10) ,
Tabel 2. syarat-Syarat Pelaksanaan TPTI
(Et+1S)
No. Batas diameter Rotasi tebang Jumlah pohon Diameter tebang (em) (tahun) Inti (btgjha) ph. inti (em)
1- Hutan a1am campuran 50 35 " 25 KD 20-49 ?
+ KTD " 50 0
2. Hutan ramin 1)
35 35 " 25 " 15 3. Hutan eboni 2 )
35 45 " 25 " 15
Sumber: Direktur Jenderal Pengusahaan Hutan, 1990
Keterangan : 1). Hutan rawa, bila diameter 50 em up tidak cukup 2). Hutan yang memiliki pertumbuhan lambat, dan sulit ditemukan
diameter 50 em up. KD Komersial Ditebang KTD Kornersial Tidak Ditebang
9
c. KERUSAKAN TEGAKAN TINGGAL AKIBAT PEMANENAN KAYU DENGAN SISTEM TPTI
Tegakan tinggal adalah tegakan hutan yang sudah
ditebang pilih dan menjadi modal pengusahaan hutan
berikutnya yang terdiri dari pohon-pohon binaan dan
pohon pendamping (Departemen Kehutanan, 1993).
weidelt (1982), memberikan data keadaan tegakan
hutan setelah pemanenan kayu dengan menggunakan trak-
tor dan kabel di daerah Mindanao, Philipina.
Tabel 3.
Jenis Pohon
Semua jenis Dipt. Non Dipt.
Perbandingan dari Tegakan Setelah Tebang pilih dengan nakan Traktor dan Kabel.
Tinggal Menggu-
Tegakan Tinggal (% )
Traktor Kabel
Rusak Tdk Rusak Rusak Tdk Rusak
54.4 45.5 56.7 43.3 68.8 35.2 55.5 44.5 46.7 53.8 58.1 41.9
Sumber : Weidelt and Banaag, 1982.
Wiradinata et al. (1985), menyatakan bahwa fak-
tor-faktor yang paling berpengaruh terhadap kerusakan
tegakan tinggal adalah pohon rebah, traktor penyarad
dan batang yang disarad. Pengaruh tersebut akan
semakin diperbesar apabila kerapatan tegakan tinggi,
frekuensi rendah, penentuan arah rebah tidak teratur
dan topografi bervariasi. Sedangkan Yanuar (1992),
menyebutkan bahwa faktor-faktor yang mungkin menambah
10
besarnya kerusakan tegakan tinggal adalah kerapatan
tegakan yang tinggi, perebahan yang tidak terarah dan
kedudukan pohon tebangan dalam tegakan.
Selanjutnya Yanuar (1992), menyebutkan bahwa
kerusakan tegakan tinggal tidak terjadi pada semua
kelas diameter. Kerusakan cenderung dialami oleh
pohon berdiameter keci 1.
dalam tahap penebangan
Kerusakan terbesar timbul
kerusakan pohon kayu. Tipe
terberat yang juga mengurangi jumlah pohon dari dalam
tegakan adalah pohon patah dan pohon roboh.
1. Tipe Kerusakan
Menurut hasil penelitian Elias, et al. (1993) di
areal HPH PT. Narkata Rimba, Kalimantan Timur, tipe
kerusakan pohon akibat penebangan adalah : rusak tajuk
(9.45%), patah batang (23.08%), Roboh (19.23%), luka
batang/kulit dan pecah batang (8.24%). Sedangkan
tipe kerusakan pohon akibat penyaradan adalah roboh
(88.32%), condong (4.47%), luka batang/kulit, rusak
tajuk, banir, patah batang (2.74%).
Elias (1993), membandingkan dengan hasil-hasil
penelitian sebelumnya dan hasilnya tidak jauh berbeda,
seperti pada Tabel 4.
2. Tingkat Kerusakan
Bila dilihat dari
pohon, maka tingkat
besarnya
kerusakan
luka tiap
pohon-pohon
individu
tegakan
11
tinggal akibat pemanenan kayu adalah sebagai berikut
(Elias et. al., 1993) kerusakan berat (82.13%),
kerusakan sedang (13.29%) dan keruskan ringan (4.58%).
Dari pohon-pohon yang rusak tersebut, yang masih
tinggal atau hidup dalam tegakan tinggal hanya 6.00%
dari jumlah populasi tegakan tinggal.
Tabel 4. Tipe-tipe Kerusakan Pohon Akibat Pemanenan Kayu
Peneliti Lokasi Tipe Kerusakan Penelitian Roboh/ Rusak Rusak Rusak Jum1ah
patah tajuk kulit Banir (% ) (% ) (% ) (% ) (% )
1. Tinal dan Bilore, 28.60 5.90 1. 70 36.40 Panelewen KalTim
1974 2. Muhandis Berau r 19.60 3.20 0.10 0.20 23.00
1976 KalTim 3. Fernandus P. Buru 27.53 7.87 2.40 2.94 40.71
1978 4. Yanuar Ketapang, 14.19 2.42 1.12 17.73
1992 Ka1Bar 5. Elias Muara 16.91 4.08 0.77 0.20 21.96
et al. wahau 1993
Sumber : Elias, 1993.
3. Keterbukaan Tanah Akibat Penebangan dan Penyaradan
Keterbukaan tanah adalah terbukanya permukaan
tanah karena terkupasnya lapisan serasah yang menutu-
pinya, karena terdongkel pohon-pohon yang ditebang dan
yang roboh, terkikis dan tergusur oleh traktor sewaktu
penyaradan, pembuatan jalan angkutan dan pembuatan TPn
(Thaib, 1986).
12
Menurut Elias et. al. (1993) , keterbukaan
areal/tanah akibat penebangan dan penyaradan persatuan
luas sangat tergantung dari intensitas penebangan.
Makin tinggi intensitas penebangan, makin luas juga
keterbukaan areal/tanah, seperti pada Tabel 5.
Tabel 5. Keterbukaan Areal/Tanah Akibat Penebangan dan Penyaradan
Plot Intensitas Luas keterbukaan Tanah (m2 ) Akibat Penebangan (batang/ha) Penebangan Penyaradan Total
I 6 808 2 008 2 816 II 16 2 512 2 324 4 856 III 2 92 596 688
Sumber Elias, 1993
Hasil penelitian Elias et. al. (1993), menunjukkan
bahwa rata-rata keterbukaan areal/tanah akibat pemane-
nan kayu di dalam plot permanen di areal HPH PT.
Narkata Rimba, Kalimantan Timur adalah sebesar 2 780
per hektar atau 27.80%. Luas keterbukaan
areal/tanah tersebut hampir sama dengan hasil peneli-
tian Yanuar (1993) di areal HPH PT. Kayu Pesaguan,
Kalimantan Barat, yang menunjukkan luas keterbukaan
areal/tanah berkisar antara 15-30% sebagai akibat dari
penebangan dan penyaradan 5-11 pohon per hektar.
Tetapi lebih kecil dari hasil penelitian Abdullah et.
el. (1981) di Lempake Kalimantan Timur, sebesar 30%
keterbukaan areal/tanah akibat pemanenan 11 pohon per
13
hektar dan hasil penelitian Butarbutar (1991) di areal
HPH PT. Austral Byna Kalimantan Timur, sebesar 32.02%
keterbukaan tanah/ areal akibat pemanenan 9 pohon per
hektar.
Berdasarkan data di atas, Elias (1993), menarik
kesimpulan bahwa ada kecenderungan menu- runnya keru
sakan tegakan tinggal akibat pemanenan kayu dengan
sistem TPI/TPTI sesuai dengan perjalanan waktu, perk
embangan teknologi, pengalaman dan pengetahuan para
pengelola hutan.
4. Penurunan Keragaman Jenis
Menurut Kartawinata (1982), pemanenan kayu di
Indonesia akan menyebabkan degradasi sumberdaya gene
tik, yaitu kehilangan jenis dan erosi genetik. Selan
jutnya disebutkan bahwa mengingat hutan hujan tropik
khususnya hutan Dipterocarpaceae itu sangat heterogen
dan mempunyai keanekaragaman jenis yang tinggi (yaitu
setiap unit luas, setiap jenis yang ada mempunyai
jumlah individu yang sedikit), kehilangan jenis dari
hutan alam akan sebanding dengan jumlah pohon yang
ditebang dan yang rusak parah sebagai akibat pemanenan
kayu.
Perubahan struktur dan komposisi tegakan hutan
karena pemanenan kayu tercantum pada Tabel 6 (Abdulha
di et. al., 1981).
14
Tabel 6. Perubahan Strukur dan Komposisi Hutan karena Pemanenan Kayu di Lempake.
Struktur dan Hutan yang Komposisi belum dipanen
Hutan yang sudah dipanen
- Jumlah pohon/ha 445 - Luas Bidang Dasar,m3/ha 35.98 - Jumlah Jenis pohon/ha
- Dipterocarpa 12 - Non dipterocarpa 197
- Jum1ah fami1i tumbuhan 43
Sumber : Abdulhadi et. ai., 1981
259 16.75
7 152
41
Suratmo (1992), menyebutkan bahwa penebangan hutan
alam dengan sistem TPTI jelas akan menurunkan kelimpa-
han dan keragaman jenis di dalam hutan sampai dalam
perubahan struktur dan bentuk komunitas flora-flora
dan berakhir pada gangguan ekosistem. Makin besar
perubahan yang akan terjadi akan mampu mengi1angk<'1D
spesies atau genetik baik yang dikena1 maupun yang
belum dikena1. Makin intensif penebangan, misalnya
makin kecil diameter yang ditebang, makin besar jumlah
jenis yang hilang berarti tidak menguntungkan pada
kelestarian dari jumlah jenis flora dan fauna di hutan
alamo
D. STRUKTUR DAN KOMPOSISI HUTAN TROPIKA BASAH
Banyak pengertian yang dijelaskan oleh para ahli
terhadap istilah struktur tegakan hutan. Meyer,
Recnagel, stevenson dan Bartoo (1961), memakai istilah
struktur tegakan hutan untuk menerangkan sebaran
15
jumlah pohon persatuan luas (hektar) dalam berbagai
kelas diameternya. Richard (1964), menggunakan isti
lah struktur hutan sebagai sebaran individu tumbuhan
dalam lapisan tajuk. sedangkan istilah komposisi
digunakan untuk menyatakan keberadaan jenis-jenis
pohon dalam hutan.
Unesco (1978) dalam Suhendang (1985), menunjukkan
hasil peneli tian pada hutan hujan tropika di daerah
Imataca (Venezuela Guyana) menunjukkan bahwa struktur
tegakan hutan untuk semua jenis mengikuti bentuk huruf
J terbalik tetapi bentuknya menjadi sangat bervariasi
jika dibuatkan untuk setiap jenisnya.
Pemanenan kayu pada umumnya akan menurunkan taraf
komposisi, struktur dan massa tegakan hutan. Akibat
terjadinya kerusakan pada struktur dan komposisi hut an
alam, maka berbagai proses yang ada akan mengalami
perubahan ataupun gangguan, terutama riap, siklus
hara, siklus air dan keseimbangan ekosistem (Parisy,
Darmawangsa, Hardjoprajitno dan suratinaja, 1987).
Reyes (1959), mengemukakan bahwa apabila hutan
bekas tebangan di tinggalkan atau tidak diganggu maka
dengan adanya proses suksesi, hutan akan didominasi
kembali oleh vegetasi klimaks (Dipterocarpaceae) dan
lamanya waktu untuk kembali di tentukan oleh tingkat
perubahan yang diakibatkan oleh kegiatan pemanenan
kayu.
16
E. RIAP HUTAN TROPIKA BASAH
Pertambahan membesar dari dimensi pohon dan/atau
tegakan menurut pertambahan umurnya di sebut pertumbu
han (growth). Dalam praktek istilah pertumbuhan
(grDl'lth) seringkali diterapkan sarna dengan riap
(increment), yang sebenarnya tidak sarna (Suharlan dan
Sudiono, 1973). Riap adalah pertambahan dimensi atau
pertambahan pertumbuhan. Dengan demikian antara riap
dan pertumbuhan ada bedanya yaitu
a. Pertumbuhan merupakan pertambahan tumbuh
dimensi pohon atau tegakan sepanjang umurnya.
b. Riap merupakan pertambahan tumbuh dimensi
pohon atau tegakan, dimana pertumbuhan terse
but suatu saat berhenti.
Sedangkan sifat dari riap ini adalah bahwa pad a
suatu saat besarnya riap sarna dengan nol atau dengan
kata lain berhenti meriap. Pada saat/mulai saat ini
pohon tersebut dikatakan berhenti meriap.
Pada hutan primer (klimaks) riap pohonnya sangat
rendah. Riap pohon di hutan bekas tebangan pada
umumnya lebih besar karena persaingan dalam hal ruang,
eahaya, air dan hara mineral antara pohon-pohon menja
di berkurang (Kasim, 1987).
Pad a sistem TPI/TPTI diasumsikan bahwa riap
diameter rata-rata 1 em/tahun, namun Sutanto et. al.
(1978), dalam penelitian riap diameter di hutan primer
17
dan hutan bekas tebangan menunjukkan bahwa beberapa
jenis pohon yang berdiameter 15 em atau lebih riap
diameter pohon pad a areal bekas tebangan berkisar
antara 0.37 sampai 0.98 em/tahun (rata-rata 0.7
em/tahun) (Tabel 7).
Tabel 7. Riap Diameter Pohon di Hutan Produksi dan Hutan Bekas Tebangan di Kalimantan Timur
Jenis pohon (diameter 15 em
ke atas)
Meranti (Shorea spp.) Kapur (Dryobalanops spp.) Bangkirai (Shorea spp.) Ulin (Eusideroxilon zwageri) Medang (Lauraceae) Hopea,Vatica
Hutan Alam (cm/th)
0.62 1.14 0.65 0.33 0.18 0.65
Sumber : Sutanto et. a1., 1976
Hutan 6ekas tebangan
(cm/th)
0.75 0.98 0.62 0.50 0.37 0.78
Hasil penelitian yang dilakukan Miller (1981),
mengenai perbandingan pertumbuhan diameter pohon di
hutan alam yang telah di tebang di Kalimantan Timur,
seperti pada Tabel 8.
Hasil penelitian Tang (1977) di Malaysia, apabila
tegakan sisa terdiri dari banyak jenis Dipteroearp,
maka memakai riap rata-rata sebesar 0.78 em/tahun
eukup layak digunakan, tetapi akan lebih aman apabila
digunakan angka riap sebesar 0.40 em sampai 0.78 em.
Tabel 8. Rata-rata Pertumbuhan Diameter Pohon di Hutan Alam dan Hutan Bekas Tebangan di Kaliamantan Timur
Kelas Rata-rata pertumbuhan Diameter (cm/th) Diameter
15 - 24.9 25 - 34.9 35 - 44.9
Hutan Alam
0.2 0.6 0.7
Sumber : Miller, 1981
Intensitas
4
0.4 0.4 0.4
Penebangan (% )
5 20
0.4 1.6 0.6 1.6 1.0 1.6
18
Perlakuan terhadap dilakukan dan tidaknya kegia-
tan pemeliharaan tegakan tinggalpun memberikan pengar-
uh terhadap pertambahan diameter pohon, seperti hasil
peneli tian Weidel t (1982), mengenai pertumbuhan dia-
meter antara pohon yang tidak dilaksanakan (kontrol)
dan yang dilakukan TSI (Timber Stand Improvement)
disalah satu areal HPH di daerah Mindanao, Philipina.
Tabel 9. Respon perlakuan TSI dan tidak dilakukan TSI pada plot bekas tebangan di Areal HPH picop, Mindanao, Philipina.
Kelas Diameter
Perlakuan 5-15 15-25 25-35 35-45 45-55 55-65 SA (m2jth)
Penambahan rata-rata diameter pOhonjth (em)
TSI 0.78 0.81 0.91 0.73 1. 33 0.87 20.35 Kontrol 0.39 0.32 0.77 0.79 0.98 0.64 32.05
Perbedaan +0.39 +0.49 +0.20 +0.06 +0.35 +0.23 -11. 70
Sumber : Weidelt and Sanaag, 1982