BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORIeprints.mercubuana-yogya.ac.id/1550/3/BAB II.pdf ·...

21
3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI 2.1 Tinjauan Pustaka Penelitian dilakukan oleh Bayu Sri Ananto (2011), dengan judul Implementasi Sistem Bantuan Penderita Buta Warna: Desain Antarmuka Pengguna, Sistem Tes Buta Warna Dengan Ishihara, dan Transformasi Warna Pada Sistem Realitas Tertambah. Penelitian tentang pembuatan perangkat lunak yang bukan hanya sebagai tes buta warna tetapi juga membantu pengidap buta warna untuk mengetahui warna sebuah objek yang tidak terlihat. Pembuatan perangkat lunak ini menggunakan pemrograman mobile. Meteode pengujian buta warna menggunakan metode ishihara dan dilengkapi juga dengan sistem augmented reality sehingga pemanfaatan perangkat lunak bisa langsung dari kamera smartphone. Penerapan metode ishihara sebagai tools pengujian buta warna memberikan hasil akurasi yang tinggi dengan persentase 100%. Penelitian dilakukan oleh Ratri Widianingsih et al, (2010), dengan judul Aplikasi Tes Buta Warna Dengan Metode Ishihara Berbasis Komputer. Penelitian ini tentang pembuatan perangkat lunak untuk tes buta warna. Pembuatan perangkat lunak menggunakan pemrograman desktop. Perangkat lunak ini menggunakan 24 lembar ishihara, dan pembuatannya hanya menggunakan logika if else. Hasil dari penelitian ini adalah sebuah aplikasi tes buta warna yang digunakan di POLTABES Samarinda. Penelitian dilakukan oleh Prasetya Purnamasari (2015), dengan judul Tes Buta Warna Metode Ishihara Berbasis Komputer (Kelas XI Jurusan Teknik Instalasi Tenaga Listik SMK Negeri 3 Semarang). Tentang pembuatan perangkat lunak tes buta warna. Pembuatan perangkat lunak menggunakan metode ishihara dan menggunakan 17 lembar ishihara, Penelitian ini menggunakan metode research and development dengan teknik pengumpulan data berupa angket kepada responden. Hasil output dari perangkat lunak ini hanya menampilkan apakah pengguna mengidap buta warna parsial atau total, tidak ada penjabaran lagi bila pengguna mengidap buta warna parsial.

Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORIeprints.mercubuana-yogya.ac.id/1550/3/BAB II.pdf ·...

3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI

2.1 Tinjauan Pustaka

Penelitian dilakukan oleh Bayu Sri Ananto (2011), dengan judul

Implementasi Sistem Bantuan Penderita Buta Warna: Desain Antarmuka Pengguna,

Sistem Tes Buta Warna Dengan Ishihara, dan Transformasi Warna Pada Sistem

Realitas Tertambah. Penelitian tentang pembuatan perangkat lunak yang bukan

hanya sebagai tes buta warna tetapi juga membantu pengidap buta warna untuk

mengetahui warna sebuah objek yang tidak terlihat. Pembuatan perangkat lunak ini

menggunakan pemrograman mobile. Meteode pengujian buta warna menggunakan

metode ishihara dan dilengkapi juga dengan sistem augmented reality sehingga

pemanfaatan perangkat lunak bisa langsung dari kamera smartphone. Penerapan

metode ishihara sebagai tools pengujian buta warna memberikan hasil akurasi yang

tinggi dengan persentase 100%.

Penelitian dilakukan oleh Ratri Widianingsih et al, (2010), dengan judul

Aplikasi Tes Buta Warna Dengan Metode Ishihara Berbasis Komputer. Penelitian

ini tentang pembuatan perangkat lunak untuk tes buta warna. Pembuatan perangkat

lunak menggunakan pemrograman desktop. Perangkat lunak ini menggunakan 24

lembar ishihara, dan pembuatannya hanya menggunakan logika if else. Hasil dari

penelitian ini adalah sebuah aplikasi tes buta warna yang digunakan di POLTABES

Samarinda.

Penelitian dilakukan oleh Prasetya Purnamasari (2015), dengan judul Tes

Buta Warna Metode Ishihara Berbasis Komputer (Kelas XI Jurusan Teknik

Instalasi Tenaga Listik SMK Negeri 3 Semarang). Tentang pembuatan perangkat

lunak tes buta warna. Pembuatan perangkat lunak menggunakan metode ishihara

dan menggunakan 17 lembar ishihara, Penelitian ini menggunakan metode research

and development dengan teknik pengumpulan data berupa angket kepada

responden. Hasil output dari perangkat lunak ini hanya menampilkan apakah

pengguna mengidap buta warna parsial atau total, tidak ada penjabaran lagi bila

pengguna mengidap buta warna parsial.

4

Penelitian dilakukan oleh Hari Murti et al (2011), dengan judul Metode

Pendiagnosa Kebutuhan Warna Dengan Menggunakan Metode Ishihara. Penelitian

ini tentang pembuatan perangkat lunak sistem pakar yang digunakan sebagai alat

bantu tes pemeriksaan gangguan pengelihatan terhadap warna. Penelitian ini

menggunakan metode mekanisme inferensi untuk pengujian aturan dengan teknik

penalaran maju (forward reasoning). Metode ishihara yang digunakan

menggunakan 38 lembar. Hasil dari penelitian ini adalah rancangan model dapat

digunakan sebagai alat bantu untuk tes pemeriksaan gangguan penglihatan terhadap

warna, dengan hasil yang sama dengan pengujian manual.

Penelitan dilakukan oleh Puspita Prabawati (2015), dengan judul Sistem

Pakar Diagnosa Buta Warna Berbasis Android. Penelitian ini berfokus pada

pembuatan aplikasi deteksi buta warna berbasis android. Metode Forward chaining

digunakan dalam pembuatan aplikasi ini. Hasil penelitian menunjukkan bahwa

sistem pakar diagnosa buta warna mampu mendiagnosa buta warna secara valid

kepada masyarakat umum dengan sensitivitas yang dibangun berada pada kategori

valid dengan nilai 100%, tingkat spesifisitas pada kategori valid sebesar 80%, nilai

akurasi dari keseluruhan aplikasi sebesar 90%. Kesimpulan dari penelitian ini

adalah aplikasi yang dibuat merupakan aplikasi dengan tingkat sensitivitas dan

spesifisitas kesehatan dapat diterapkan sebagai pengganti tes buta warna secara

manual.

Penelitian ini berfokusi pada pembuatan perangkat lunak yang digunakan

untuk tes buta warna. Hasil yang di inginkan menunjukkan buta warna parsial atau

buta warna total. Metode neural network digunakan sebagai mesin inferensi pada

sistem ini. Metode neural network ini memiliki kelebihan yaitu sistem cerdas,

artinya sistem dapat memberikan jawaban apabila input yang diberikan tidak sama

persis dengan aturan pakar. Dan juga perangkat lunak berbasis web ini berjalan di

perangkat yang lebih mudah di gunakan sehingga masyarakat dapat menggunakan

perangkat lunak ini untuk melakukan deteksi buta warna.

5

2.2 Landasan Teori

2.2.1 Metode Ishihara

Tes ishihara adalah salah satu cara untuk mengetahui buta warna pada

seseorang. Tes ini dikembangkan oleh Dr. Shinobu Ishihara dan pertama kali

dipublikasikan pada tahun 1917 di Jepang. Tes ishihara terdiri dari beberapa

lembaran atau plat yang didalamnya terdapat titik-titik dengan berbagai warna dan

ukuran. Titik-titik berwarna tersebut disusun sehingga membentuk lingkaran.

Warna titik itu di buat sedemikian rupa sehingga orang buta warna tidak akan

mampu melihat objek atauh huruf yang ada di dalam gambar tersebut

Terdapat 17 macam plat atau lembar dalam tes ishihara, dari setiap lembar

yang di gunakan dapat diketahui jenis buta warna. 17 lembar tersebut yaitu:

a. Plat no. 1

Orang normal dan mereka yang buta warna parsial akan terlihat 12, sedangkan

seorang buta warna total tidak akan melihat apapun. Plat nomor satu seperti

Gambar 2.1.

Gambar 2.1 Plat Nomor Satu (Rokhim, Ahmad. N. 2015)

b. Plat no. 2 dan 3

Pada plat kedua, mata normal akan terbaca delapan. Mereka yang menderita

gangguan penglihatan merah-hijau akan membaca tiga. Plat kedua seperti

Gambar 2.2.

6

Gambar 2.2 Plat Nomor Dua (Rokhim, Ahmad. N. 2015)

Pada plat ke tiga, mata normal akan terbaca 29. Tetapi penderita gangguan

merah-hijau akan terbaca 70. Plat ketiga seperti Gambar 2.3.

Gambar 2.3 Plat Nomor Tiga (Rokhim, Ahmad. N. 2015)

c. Plat no. 4 sampai 7

Pada plat ke empat, mata normal akan terbaca lima. Tetapi penderita

gangguan penglihatan merah-hijau akan terbaca dua. Plat ke empat seperti

Gambar 2.4.

7

Gambar 2.4 Plat Nomor Empat (Rokhim, Ahmad. N. 2015)

Pada plat ke lima, mata normal akan terbaca tiga. Tetapi penderita gangguan

penglihatan merah-hijau akan terbaca lima. Plat ke lima seperti Gambar 2.5.

Gambar 2.5 Plat Nomor Lima (Rokhim, Ahmad. N. 2015)

Pada plat ke enam, mata normal akan terbaca 15. Tetapi penderita gangguan

penglihatan merah-hijau akan terbaca 17. Plat ke lima seperti Gambar 2.6.

8

Gambar 2.6 Plat Nomor Enam (Rokhim, Ahmad. N. 2015)

Pada plat ke tujuh, mata normal akan terbaca 74. Tetapi penderita gangguan

penglihatan merah-hijau akan terbaca 21. Plat ke tujuh seperti Gambar 2.7.

Gambar 2.7 Plat Nomor Tujuh (Rokhim, Ahmad. N. 2015)

d. Plat no. 8 dan 9

Pada plat delapan, mata normal akan terbaca enam dan pada plat Sembilan

akan terbaca 45. Tetapi penderita buta warna tidak dapat membaca satu nomor

pun yang ada di plat tersebut. Plat delapan dan Sembilan seperti Gambar 2.8

dan Gambar 2.9.

9

Gambar 2.8 Plat Nomor Delapan (Rokhim, Ahmad. N. 2015)

Gambar 2.9 Plat Nomor Sembilan (Rokhim, Ahmad. N. 2015)

e. Plat no. 10 sampai 13

Pada plat 10, mata normal akan terbaca lima, plat 11 akan terbaca tujuh, plat

12 akan terbaca 16 dan plat 13 akan terbaca 73. Tetapi penderita buta warna

tidak akan terbaca angka apapun pada plat-plat tersebut. Plat 10 sampai 13

dapat di lihat pada Gambar 2.10 sampai Gambar 2.13.

10

Gambar 2.10 Plat Nomor Sepuluh (Rokhim, Ahmad. N. 2015)

Gambar 2.11 Plat Nomor Sebelas (Rokhim, Ahmad. N. 2015)

Gambar 2.12 Plat Nomor Dua Belas (Rokhim, Ahmad. N. 2015)

11

Gambar 2.13 Plat Nomor Tiga Belas (Rokhim, Ahmad. N. 2015)

f. Plat no. 14 dan 15

Sebagian besar orang yang menderita gangguan penglihatan merah-hijau akan

membaca lima pada plat 14 dan membaca 15 pada plat 5. Sebagian orang

normal tidak akan membaca angka apapun. Plat 14 dan 15 dapat dilihat pada

Gambar 2.14 dan Gambar 2.15.

Gambar 2.14 Plat Nomor Empat Belas (Rokhim, Ahmad. N. 2015)

12

Gambar 2.15 Plat Nomor Lima Belas (Rokhim, Ahmad. N. 2015)

g. Plat no. 16 dan 17

Pada plat 16 mata normal akan terbaca 26 dan pada plat 17 akan terbaca 42.

Pada penderita protonopia dan protonomalia yang parah pada plat 16 akan

terbaca enam dan pada plat 17 akan terbaca dua. Plat 16 dan 17 dapat dilihat

pada Gambar 2.16 dan Gambar 2.17.

Gambar 2.16 Plat Nomor Enam Belas (Rokhim, Ahmad. N. 2015)

13

Gambar 2.17 Plat Nomor Tujuh Belas (Rokhim, Ahmad. N. 2015)

2.2.2 Buta Warna dan Karakteristiknya

Sebagai salah satu faktor yang berkaitan dengan penglihatan, buta warna

kini menjadi salah satu tolak ukur untuk sebuah persyaratan masuk universitas atau

dunia kerja. Pembedaan persepsi terhadap suatu warna sangat dibutuhkan dalam

bidang-bidang tertentu, seperti teknik dan kedokteran. Warna berperan penting

dalam kehidupan sehari-hari, warna sering dijadikan sebagai tanda atau sekedar

estetika.

Kondisi buta warna mulai diketahui sejak tahun 1879 yang dipublikasikan

oleh John Dalton dalam tulisan esainya. Hal tersebut menjadi awal dikenalnya buta

warna dalam literatur, sekaligus mendorong untuk memberikan bukti konklusif atas

persepsi warna pada penyandang buta warna.

Perbedaan mendasar antara penderita buta warna dan kebanyakan orang

adalah bahwa beberapa warna yang muncul berbeda jika dilihat mata normal,

namum terlihat sama pada penyandang buta warna. Penderita buta warna memiliki

kelemahan terhadap penglihatan, dengan kurangnya kemampuan untuk

membedakan warna, saturasi dan kecerahan.

Pada dasarnya, penglihatan terhadap warna ditentukan oleh pembedaan tiga

kualitas faktor warna, yaitu hue (jenis warna, seperti merah atau hijau dan

sebagainya), saturation (warna tunggal atau warna campuran), brightness

(intensitas warna terang atau gelap). Ketiga faktor untuk penglihatan warna tersebut

dipengaruhi oleh fungsi sel konus atau sel kerucut. Sel fotosensitif pada mata yang

14

disebut sel kerucut tersebut memungkinkan kita melihat warna. Sel kerucut terletak

di tengah-tengah retina dan mengandung tiga jenis pigmen fotosensitif yang dapat

mendeteksi warna merah, hijau, dan biru. Seorang buta warna memiliki kelemahan

atau bahkan sama sekali tidak memiliki pigmen tersebut.

Sel kerucut menyerap foton dan mengirim sinyal listik ke otak. Tiga jenis

sel kerucut memiliki sensitifitas spekral yang berbeda. L-Cones untuk menyerap

(absorpsi) panjang gelombang yang tinggi. M-Cones untuk menyerap panjang

gelombang menengah. Dan S-Cones untuk menyerap panjang gelombang yang

rendah secara efektif. Berdasarkan fungsi sel tersebut, akibatnya cahaya

dipersepsikan terdiri dari tiga jenis (L, m, s), l (long), m (middle), dan s (short).

Merepresentasikan jumlah foton yang diserap oleh masing-masing L-, M-, dan S-

Cones. Oleh karna itu penglihatan normal disebut juga trikromasi normal.

Kelainan pada sel kerucut tersebut, menyebabkan kemungkinan terjadinya

buta warna. Terdapat tiga jenis gangguan penglihatan terhadap warna.

1. Monokromasi

Monokromasi adalah keadaan ketika seseorang hanya memiliki sebuah sel

kerucut (cones) atau tidak berfungsinya semua sel kerucut. Buta warna jenis

ini biasa disebut buta warna total. Buta warna total sangat jarang terjadi dan

dialami oleh sekitar 1 dari 10.000 penduduk di dunia. Monokromasi ada dua

jenis, yaitu rod monochromacy dan cone monochromacy (Rokhim, Ahmad.

N. 2015).

a. Rod monochromacy adalah jenis buta watna yang sangat jarang terjadi,

yaitu ketidakmampuan membedakan warna sebagai akibat dari tidak

berfungsinya semua cones retina. Penderita rod monochromacy tidak

dapat membedakan warna sehingga yang terlihat hanya hitam, putih dan

abu-abu saja.

b. Cone monochromacy adalah tipe monokromasi yang disebabkan oleh

tidak berfungsinya dua sel kerucut. Penderita buta warna jenis ini masih

dapat melihat satu warna tertentu, karena masih memiliki sel kerucut yang

berfungsi.

15

2. Dikromasi

Dikromasi adalah jenis buta warna ketika salah satu dari tiga sel kerucut tidak

ada atau tidak berfungsi. Dikromasi dibagi menjadi tiga bagian berdasarkan

sel pigmen yang rusak (Rokhim, Ahmad. N. 2015).

a. Protanopia adalah salah satu jenis dikromasi yang disebabkan oleh tidak

adanya fotoreseptor retina merah. Pada penderita protanopia, penglihatan

terhadap warna merah tidak ada. Dikromasi jenis ini terjadi pada 1% dari

seluruh pria. Protanopia juga dikenal sebagai buta warna merah hijau.

b. Dentanopia adalah gangguan penglihatan terhadap warna yang

disebabkan tidak adanya fotoreseptor retina hijau. Hal ini menimbulkan

kesulitan dalam membedakan hue pada warna merah dan hijau.

c. Trianopia adalah keadaan ketika seseorang tidak memiliki sel kerucut

gelombang pendek. Seorang yang menderita tritanopia akan kesulitan

membedakan warna biru-kuning dan merupakan jenis dikromasi yang

sangat jarang dijumpai.

3. Kelainan Trikromasi (Animalous Tricharmacy)

Penyimpangan yang dialami dengan penglihatan trikromasi ini disebabkan

oleh faktor keturunan atau kerusakan mata setelah dewasa. Penderita

anomalous trikromasi memiliki tiga sel kerucut tetapi terjadi kerusakan

mekanisme sensitivitas terhadap salah satu dari tiga sel reseptor warna

tersebut (Rokhim, Ahmad. N. 2015).

a. Protanomali adalah kelainan long-wavelength pigment (merah), sehingga

menyebabkan rendahnya sensitifitas terhadap cahaya merah. Artinya

pendetita protanomali tidak akan mampu membedakan warna dan melihat

campuran warna yang dapat di lihat oleh mata normal. Penderita juga akan

mengalami penglihatan yang buram terhadap spectrum merah. Hal ini

mengakibatkan mereka dapat salah membedakan warna merah dan hijau.

b. Deoteranomali disebabkan oleh kelainan pada bentuk pigmen middle-

wavelength (hijau). Sama halnya dengan protanomali, deuteronomali

tidak mampu melihat perbedaan kecil pada nilai hue dalam area spectrum

16

warna merah, jingga, kuning dan hijau. Penderita salah menafsirkan hue

dalam region warna tersebut, karena hue-nya lebih mendekati warna

merah. Penderita deutronnmali tidak memiliki masalah dalam hilangnya

penglihatan terhadap tingkat kecerahan.

c. Trianomali adalah jenis anomalus trichromacy yang sangat jarang terjadi,

baik pada pria maupun wanita. Pada trianomali kelainan terdapat pada

short-wavelength pigment (biru). Pigmen biru ini bergeser ke area hijau

dari spectrum warna.

2.2.3 Konsep Dasar Sistem Pakar

Konsep dasar dari sistem pakar yaitu meliputi keahlian (expertise), ahli

(experts), pemindahan keahlian (transfering expertise), inferensi (inferencing),

aturan (rules) dan kemampuan memberikan penjelasan (explanation capability).

Keahlian (expertise) adalah pengetahuan yang mendalam tentang suatu

masalah tertentu, dimana keahlian bisa diperoleh dari pelatihan/pendidikan,

membaca dan pengalaman dunia nyata (Arhami M, 2005). Ada dua macam

pengetahuan yang tidak ahli. Pengetahuan dari sumber ahli yang dapat digunakan

untuk mengambil keputusan dengan cepat dan tepat.

Ahli (experts) adalah seorang yang memiliki keahlian tentang suatu hal

dalam tingkatan tertentu, ahli dapat menggunkan suatu permasalahan yang

ditetapkan dengan beberapa cara yang berubah-ubah dan merubahnya kedalam

bentuk yang dapat dipergunakan oleh dirinya sendiri dengan cepat dan cara

pemecahan yang mengesankan (Arhami M, 2005).

Ahli seharusnya dapat untuk menjelaskan hasil yang diperoleh, mempelajari

sesuatu yang baru tetang domain masalah, merestrukturisasi pengetahuan kapan

saja yang diperlukan dan menentukan apakah keahlian mereka relevan atau saling

berhubungan.

17

2.2.4 Struktur Sistem Pakar

Sistem pakar disusun oleh dua bagian utama, yaitu lingkungan pengembang

(development environment) dan lingkungan konsultasi (consultation environment).

Lingkungan pengembangan sistem pakar digunakan untuk memasukkan

pengetahuan pakar ke dalam lingkungan sistem pakar, sedangkan lingkungan

konsultansi digunakan oleh pengguna yang bukan pakar guna memperoleh

pengetahuan pakar. Komponen-komponen sistem pakar dalam kedua bagian

tersebut dapat dilihat dalam Gambar 2.18.

Gambar 2.18 Arsitektur Sistem Pakar (Turban, 1995)

Komponen-komponen yang terdapat dalam sistem pakar adalah seperti yang

terdapat pada Gambar 2.18, yaitu user interface (antarmuka pengguna), basis

pengetahuan, akuisisi pengetahuan, mesin inferensi, workplace, fasilitas

penjelasan, perbaikan pengetahuan.

2.2.5 Tujuan Sistem Pakar

Tujuan dari sistem pakar adalah untuk memindahkan kemampuan

(transferring expertise) dari seorang ahli atau sumber keahlian yang lain ke dalam

18

komputer dan kemudian memindahkannya dari komputer kepada pemakai yang

tidak ahli (bukan pakar).

2.2.6 Tahapan Sistem Pakar

Ada beberapa tahapan dalam membangun sistem pakar yaitu

1. Akuisisi pengetahuan (knowledge acquisition) yaitu kegiatan mencari dan

mengumpulkan pengetahuan dari para ahli atau sumber keahlian yang lain.

2. Representasi pengetahuan (knowledge representation) adalah kegiatan

menyimpan dan mengatur penyimpanan pengetahuan yang diperoleh dalam

komputer. Pengetahuan beberapa fakta dan aturan disimpan dalam komputer

sebagai sebuah komponen yang disebut basis pengetahuan.

3. Inferensi pengetahuan (knowledge inferencing) adalah kegiatan melakukan

inferensi berdasarkan pengetahuan yang telah disimpan didalam komputer.

4. Pemindahan pengetahuan (knowledge transfer) adalah kegiatan mentransfer

pengetahuan yang telah di simpan dalam komputer.

2.2.7 Keuntungan dan Kelemahan Pemakaian Sistem pakar

Adapun beberapa keuntungan dari sistem pakar yaitu:

1. Membuat seorang yang awam dapat bekerja seperti layaknya seorang pakar.

2. Dapat bekerja dengan informasi yang tidak lengkap atau tidak pasti.

3. Expert system menyediakan nasihat yang konsisten dan dapat mengurangi

tingkat kesalahan.

4. Membuat peralatan yang kompleks lebih mudah dioperasikan karena expert

system dapat melatih pekerja yang tidak berpengalaman.

5. Expert system tidak dapat lelah dan bosan, juga konsisten dalam memberi

jawaban dan selalu memberikan perhatian penuh.

5. Memiliki untuk memecahkan masalah yang kompleks.

6. Memungkinakan pemindahan pengetahuan ke lokasi yang jauh serta

memperluas jangkauan seorang pakar, dapat diperoleh dan dipakai dimana saja.

19

Adapun beberapa kelemahan dari sistem pakar yaitu:

1. Biaya yang diperlukan untuk membuat dan memelihara sangat mahal.

2. Sulit dikembangkan. Hal ini tentu saja erat kaitannya dengan ketersediaan pakar

dibidangnya.

3. Sistem pakar tidak 100% bernilai benar.

2.2.8 Komponen-komponen Sistem Pakar

1. Basis Pengetahuan (Knowledge base)

Pengetahuan merupakan kemampuan untuk membentuk model mental yang

menggambarkan obyek dengan tepat dan mempresentasikannya dalam aksi yang

dilakukan terhadap suatu obyek (Martin dan Oxman, 1988).

Pengetahuan dapat diklaifikasikan menjadi tiga, yaitu pengetahuan

prosedural (procedural knowledge), pengetahuan deklaratif (declarative

knowladge), pengetahuan deklaratif (declarative knowlwdge), dan pengetahuan

tacit (tacit knowledge). Penetahuan procedural lebih menekankan pada bagaimana

melakukan sesuatu, pengetahuan deklaratif, menjawab pertanyaan apakah sesuatu

bernilai salah atau benar, sedangkan pengetahuan tacit merupakan pengetahuan

yang tidak dapat diungkapkan dengan bahasa. Basis Pengetahuan merupakan inti

program Sistem Pakar dimana basis pengetahuan ini adalah representasi

pengetahuan (knowladge representation) seorang pakar.

2. Basis Data (Database)

Basis data adalah bagian yang mengandung semua fakta-fakta, baik fakta

awal pada saat sistem mulai beroperasi maupun fakta-fakta yang didapatkan pada

saat pengambilan kesimpulan yang sedang dilaksanakan. Dalam praktiknya, basis

data berada didalam memori komputer. Kebanyakan sistem pakar mengandung

basis data untuk meyimpan data hasil observasi dn data lainya yang dibutuhkan

selama pengolahan (Arhami M, 2005).

20

3. Mesin Inferensi (Iferensi Engine)

Mesin Inferensi adalah bagian yang mengandung mekanisme fungsi berpikir

dan pola-pola penalaran sistem yang akan menganalisis suatu masalah tertentu dan

selanjutnya akan mencari jawaban atau kesimpulan yang terbaik (Arhami M, 2005).

Secara deduktif mesin inferensi memilih pengetahuan yang relevan dalam

rangka mencapai kesimpulan. Dengan demikia sistem ini dapat menjawab

pertanyaan pemakai merskipun jawaban tersebut tidak tersimpan secara eksplisit

didalam basis pengetahuan. Mesin inferensi memulai pelacakannya dengan

mencocokan kaidah-kaidah dalam basis pengetahuan dengan fakta-fakta yang ada

dalam basis data.

2.2.9 Neural Network

Jaringan syaraf tiruan atau jaringan neural adalah sistem pemrosesan

informasi yang mempunyai karakteristik kinerja tertentu seperti jaringan neurol

biologis. Jaringan syaraf tiruan (dalam pembahasan berikutnya disebut jaringan

neural jasa) telah dikembangkan sebagai generalisasi model matematik dari kognisi

manusia atau biologi neural (Widodo, 2005). Jaringan syaraf tiruan berbasis pada

asumsi sebagai berikut.

1. Pemrosesan informasi terjadi pada banyak elemen sederhana yang disebut

neuron.

2. Sinyal yang diberikan antara neuron lewat jalinan koneksi.

3. Sinyal jalinana koneksi mempunyai bobot yang mengalikan sinyal yang

ditransmisikan.

4. Setiap neuron menerapkan fungsi aktivasi (yang biasanya non linear)

terhadap jumlah sinyal masukan terbobot untuk menentukan sinyal keluaran.

Jaringan neural atau jaringan syaraf tiruan juga dikarakteristikkan dengan

karakteristik seperti berikut:

1. Pola interkoneksi antara neuron (arsitektur).

2. Metode penentuan bobot pada koneksi (pembelajaran atau algoritma),

3. Fungsi aktivasinya.

21

Jaringan neural terdiri atas sejumlah besar elemen pemrosesan yang disebut

neuron, unit, sel atau node. Setiap neuron terhubung dengan neuron lain dengan

jalinan koneksi langsung yang terkait dengan bobot. Bobot mewakili informasi

yang digunakan oleh jaringan untuk menyelesaikan masalah. Jaringan neural dapat

diterapkan untuk berbagai masalah yang luas, antara lain sebagai berikut.

a. Penyimpanan dan pemulihan data atau pola.

b. Klasifikasi pola.

c. Pemetaan dari pola-pola masukan yang serupa.

d. Pencarian solusi masalah optimasi terkendali.

Setiap neuron mempunyai keadaan internal yang disebut level aktivasi atau

level aktivasi yang merupakan fungsi masukan yang diterima.

Secara tipikal, suatu neuron mengirimkan aktivasinya ke beberapa neuron

lain sebagai sinyal. Perlu diperhatikan bahwa neuron hanya dapat mengirim satu

sinyal sesaat, meskipun sinyal tersebut dipancarluaskan ke beberapa neuron lain.

Sebagai contoh tinjau neuron Y yang menerima masukan dari neuron X1,

X2, dan X3 Gambar 2.19.

Gambar 2.19 Neuron Y Menerima Masukan Terbobot Dari X1, X2, dan X3 (Widodo, 2005)

Aktivasi (sinyal keluaran) dari neuron-neuron ini adalah X1, X2, dan X3.

Bobot koneksi dari neuron X1, X2, dan X3 ke neuron Y adalah w1, w2 dan w3.

22

Masukan neto yin ke neuron Y adalah jumlah sinyal terbobot dari neuron X1, X2,

dan X3 yaitu:

Yin = W1 X1 + W2 X2 + W3 X3 ................................................................. (2.1)

Aktivasi y dari neuron Y diberikan oleh fungsi masukan netonya:

y = f( Yin )................................................................................................ (2.2)

Misalnya fungsi aktivasinya sigmoid logistik dengan kurve berbentuk S,

maka:

y = f(Yin) = 1

1+𝑟𝑥𝑝(−𝑌𝑖𝑛) ........................................................................... (2.3)

Selanjutnya dimisalkan bahwa neuron Y dihubungkan ke neuron Z1 dan Z2

dengan bobot v1 dan v2 seperti terlihat pada Gambar 2.20.

Gambar 2.20 Jaringan Neural Dengan Unit Tersembunyi (Widodo, 2005)

Neuron Y mengirimkan keluarannya y ke neuron Z1 dan Z2 dengan

pembobotan v1 dan v2. Dengan adanya unit tersembunyi pada neural Gambar F.2,

maka hal ini akan memberikan kemampuan menyelesaikan lebih banyak masalah

daripada yang dapat diselesaikan oleh jaringan yang hanya terdiri atas unit masukan

dan unit keluaran saja.

2.2.10 Learning Vector Quantization

Learning Vector Quantization adalah suatu metode untuk melakukan

pembelajaran pada lapisan kompetitif yang terawasi. Suatu lapisan kompetitif akan

secara otomatis belajar untuk mengklasifikasikan vector input. Kelas-kelas yang

23

didapatkan sebagai hasil dari lapisan kompetitif ini hanya tergantung pada jarak

antara vector input (Kusumadewi, 2004).

Dalam hal ini diberikan sehimpunan pola yang klasifikasinya diketahui

diberikan bersama distribusi awal vector referensi. Setelah pelatihan jaringan LVQ

mengklasifikasikan vector masukan dalam kelas yang sama dengan unit keluaran

yang memiliki vector bobot (referensi) yang paling dekat dengan vector masukan.

Arsitektur dari LVQ ditunjukkan pada Gambar 2.21.

Gambar 2.21 Arsitektur Learning Vector Quantization (Kusumadewi, 2004)

Keterangan:

X = Vector masukan (X1, X2, …. Xn)

F = Lapisan Kompetitif

y_in = Masukan lapisan kompetitif

y = Keluaran

W = vector bobot untuk unit keluaran

||X-W|| = Selisih nilai jarak Euclediean dan vector input

Pelatihan jaringan syarat tiruan dikatakan berhasil jika pelatihan konvergen,

dan gagal jika pelatihan divergen. Suatu pelatihan dikatakan konvergen jika

kesalahan pada diterasi pelatihan selalu mengecil, sampai pada titik dimana nilai

setiap neuron telah mencapai nilai yang paling baik untuk data pelatihan yang

diberikan. Sebaliknya, pelatihan dikatakan divergen jika kesalahan pada pelatihan

tidak cenderung mengecil menuju sebuah titik tertentu.