Bab II Tinjauan Pustaka - · PDF file7 b. Asbestosis Asbestosis adalah penyakit akibat kerja...

20
5 Bab II Tinjauan Pustaka 2.1 Debu Debu (partikel) dalam udara dapat bersumber peristiwa alamiah ataupun kegiatan manusia dalam mengembangkan teknologi, terutama di bidang industri. Partikel yang mencemari udara terdiri atas berbagai macam tergantung pada jenis dan kegiatan industri serta teknologi yang ada. Secara umum partikel yang mencemari udara dapat merusak lingkungan, tanaman, hewan dan manusia sehingga dapat sangat merugikan kesehatan manusia. Pada umumnya udara yang telah tercemar oleh partikel dapat menimbulkan berbagai macam penyakit saluran pernapasan atau pneumoconiosis (Olishifski dan McElroy, 1971). Menurut Yunus (1997), dalam dosis besar semua debu bersifat merangsang dan dapat menimbulkan reaksi tubuh walaupun ringan. Reaksi itu berupa produksi lendir secara berlebihan dan bila terus berlangsung dapat terjadi hiperplasi kelenjar mukus. Jaringan paru juga dapat berubah dengan terbentuknya jaringan ikat retikulin. Penyakit paru ini disebut pneumoconiosis nonkolagen. Sedangkan debu fibrogenik dapat menimbulkan reaksi jaringan paru sehingga terbentuk jaringan parut (fibrosis). Penyakit ini disebut pneumoconiosis kolagen. Termasuk jenis ini adalah debu silika bebas (SiO 2 ), batubara, dan asbes. Debu yang masuk ke dalam saluran napas, menyebabkan timbulnya reaksi mekanisme pertahanan nonspesifik berupa batuk, bersin, gangguan transport mukosilier dan fagositosis oleh makrofag. Otot polos di sekitar jalan napas dapat terangsang sehingga menimbulkan penyempitan. Keadaan ini terjadi jika kadar debu melebihi nilai ambang batas (Pudjiastuti, 2002). 2.1.1 Penyakit Akibat Debu Partikel debu yang masuk ke dalam alveoli akan berkumpul di bagian awal saluran limfe paru-paru. Debu ini akan difagositosis oleh makrofag. Debu yang bersifat toksik terhadap makrofag seperti silika bebas menyebabkan terjadinya autolisis. Makrofag yang lisis bersama silika bebas merangsang terbentuknya

Transcript of Bab II Tinjauan Pustaka - · PDF file7 b. Asbestosis Asbestosis adalah penyakit akibat kerja...

Page 1: Bab II Tinjauan Pustaka - · PDF file7 b. Asbestosis Asbestosis adalah penyakit akibat kerja yang disebabkan oleh debu atau serat asbes yang mencemari udara. Asbes adalah campuran

5

Bab II Tinjauan Pustaka

2.1 Debu

Debu (partikel) dalam udara dapat bersumber peristiwa alamiah ataupun kegiatan

manusia dalam mengembangkan teknologi, terutama di bidang industri. Partikel

yang mencemari udara terdiri atas berbagai macam tergantung pada jenis dan

kegiatan industri serta teknologi yang ada. Secara umum partikel yang mencemari

udara dapat merusak lingkungan, tanaman, hewan dan manusia sehingga dapat

sangat merugikan kesehatan manusia. Pada umumnya udara yang telah tercemar

oleh partikel dapat menimbulkan berbagai macam penyakit saluran pernapasan

atau pneumoconiosis (Olishifski dan McElroy, 1971).

Menurut Yunus (1997), dalam dosis besar semua debu bersifat merangsang dan

dapat menimbulkan reaksi tubuh walaupun ringan. Reaksi itu berupa produksi

lendir secara berlebihan dan bila terus berlangsung dapat terjadi hiperplasi

kelenjar mukus. Jaringan paru juga dapat berubah dengan terbentuknya jaringan

ikat retikulin. Penyakit paru ini disebut pneumoconiosis nonkolagen. Sedangkan

debu fibrogenik dapat menimbulkan reaksi jaringan paru sehingga terbentuk

jaringan parut (fibrosis). Penyakit ini disebut pneumoconiosis kolagen. Termasuk

jenis ini adalah debu silika bebas (SiO2), batubara, dan asbes.

Debu yang masuk ke dalam saluran napas, menyebabkan timbulnya reaksi

mekanisme pertahanan nonspesifik berupa batuk, bersin, gangguan transport

mukosilier dan fagositosis oleh makrofag. Otot polos di sekitar jalan napas dapat

terangsang sehingga menimbulkan penyempitan. Keadaan ini terjadi jika kadar

debu melebihi nilai ambang batas (Pudjiastuti, 2002).

2.1.1 Penyakit Akibat Debu

Partikel debu yang masuk ke dalam alveoli akan berkumpul di bagian awal

saluran limfe paru-paru. Debu ini akan difagositosis oleh makrofag. Debu yang

bersifat toksik terhadap makrofag seperti silika bebas menyebabkan terjadinya

autolisis. Makrofag yang lisis bersama silika bebas merangsang terbentuknya

Page 2: Bab II Tinjauan Pustaka - · PDF file7 b. Asbestosis Asbestosis adalah penyakit akibat kerja yang disebabkan oleh debu atau serat asbes yang mencemari udara. Asbes adalah campuran

6

makrofag baru, sehingga makrofag tersebut memfagositosis silika bebas kemudian

terjadi autolisis kembali. Pembentukan dan destruksi makrofag yang terus

menerus berperan penting pada pembentukan jaringan ikat kolagen dan

pengendapan hialin pada jaringan ikat tersebut. Fibrosis ini terjadi pada parenkim

paru, yaitu pada dinding alveoli dan jaringan interstisial (Yunus, 1997).

Pneumoconiosis adalah penyakit saluran pernapasan yang disebabkan oleh adanya

partikel (debu) yang masuk atau mengendap di dalam paru-paru. Pneumoconiosis

terdiri atas beberapa jenis, tergantung dari jenis partikel (debu) yang masuk atau

terhisap ke dalam paru-paru. Beberapa contoh pneumoconiosis antara lain:

a. Silicosis

Silicosis disebabkan oleh debu silika bebas, berupa SiO2, yang terhisap masuk ke

dalam paru-paru kemudian mengendap. Debu silika bebas ini banyak terdapat di

pabrik besi dan baja, keramik, pengecoran beton, bengkel yang mengerjakan besi

(mengikir, menggerinda, dll). Selain dari itu, debu silika juga banyak terdapat di

tempat penampang bijih besi, timah putih dan tambang batubara. Pemakaian

batubara sebagai bahan bakar juga banyak menghasilkan debu silika bebas SiO2.

Pada saat dibakar, debu silika akan keluar dan terdispersi ke udara bersama-sama

dengan partikel lainnya, seperti oksida besi dan karbon dalam bentuk abu.

Debu silika yang masuk ke dalam paru-paru akan mengalami masa inkubasi

sekitar 2 sampai 4 tahun. Masa inkubasi ini akan lebih pendek apabila konsentrasi

silika di udara cukup tinggi dan terhisap ke paru-paru dalam jumlah banyak

sehingga gejala penyakit silicosis akan segera tampak. Silicosis ditandai dengan

sesak nafas yang disertai batuk tidak berdahak. Pada silicosis tingkat sedang,

perubahan struktur paru-paru mudah sekali terlihat dengan pemeriksaan foto

toraks. Silicosis tingkat berat ditandai dengan sesak nafas kemudian diikuti

dengan hipertropi jantung sebelah kanan yang akan mengakibatkan kegagalan

kerja jantung. Dari semua pneumoconiosis, silicosis merupakan penyakit yang

terparah. Hal ini disebabkan silicosis bersifat progresif, artinya jika pajanan

dihentikan maka pneumoconiosis tetap akan berlanjut (Yunus, 1997).

Page 3: Bab II Tinjauan Pustaka - · PDF file7 b. Asbestosis Asbestosis adalah penyakit akibat kerja yang disebabkan oleh debu atau serat asbes yang mencemari udara. Asbes adalah campuran

7

b. Asbestosis

Asbestosis adalah penyakit akibat kerja yang disebabkan oleh debu atau serat

asbes yang mencemari udara. Asbes adalah campuran dari berbagai macam

silikat, namun yang paling utama adalah Magnesium Silikat. Asbes dapat

menyebabkan tumor pada pleura yang disebut mesotelioma. Mesotelioma bersifat

ganas, tidak dapat disembuhkan dan biasanya terjadi setelah pemaparan selama

30-40 tahun (Medicastore, 2004). Debu asbes banyak dijumpai pada pabrik dan

industri yang menggunakan asbes, pabrik pemintalan serat asbes, pabrik beratap

asbes dan lain sebagainya.

c. Bissynosis

Bissynosis adalah penyakit pneumoconiosis yang disebabkan oleh pencemaran

debu kapas atau serat kapas di udara yang kemudian terhisap ke dalam paru-paru.

Debu kapas atau serat kapas ini banyak dijumpai pada pabrik pemintalan kapas,

pabrik tekstil, perusahaan dan pergudangan kapas. Dalam konsentrasi kecil

bissynosis adalah reversibel.

d. Anthracosis

Anthracosis adalah penyakit saluran pernapasan yang disebabkan oleh debu

karbon (anthracit). Anthracit bersifat inert dengan kata lain hampir tidak bereaksi

dengan paru-paru (Antaruddin, 2003). Penyakit ini biasanya dijumpai pada

pekerja-pekerja tambang batubara atau pada pekerja-pekerja yang banyak

melibatkan penggunaan batubara, seperti pemasok batubara pada tanur besi,

lokomotif (stoker) dan juga pada kapal laut bertenaga batubara, serta pekerja

boiler pada pusat listrik tenaga uap berbahan bakar batubara.

2.1.2 Silika

Silika adalah salah satu komponen alamiah penyusun batuan di bumi serta

merupakan komponen utama pasir dan granit. Silika merupakan senyawa kimia

silikon dioksida (SiO2) yang dapat ditemukan dalam bentuk kristalin atau non-

kristalin (amorph). Kristalin silika terdiri atas banyak bentuk, namun bentuk yang

utama adalah quartz, cristobalite, dan tridymite sedangkan struktur amorph

Page 4: Bab II Tinjauan Pustaka - · PDF file7 b. Asbestosis Asbestosis adalah penyakit akibat kerja yang disebabkan oleh debu atau serat asbes yang mencemari udara. Asbes adalah campuran

8

ditemukan dalam bentuk opal, flint, kaca silica, diatomaceous earth dan vitreous

silica (NIOSH, 2002).

Quartz dapat ditemukan dalam 2 sub-polymorph yaitu α-quartz dan β-quartz atau

low quartz dan high quartz. Berdasarkan kedua bentuk tersebut α-quartz yang

paling sering ditemukan, sedangkan β-quartz hanya ditemukan stabil pada

temperatur 570o C. Jika terjadi pendinginan β-quartz akan berubah menjadi α -

quartz. Pajanan quartz yang paling ekstrim dalam bentuk debu respirabel

dihasilkan dari proses penghalusan, sandblasting, dan proses pencampuran.

Aktivitas seperti penempaan, pemotongan, pencampuran, pengeboran logam dan

batuan selalu dihubungkan dengan paparan terhadap debu silika. Kandungan

quartz sangat bervariasi tergantung dari tipe batuan, sebagai contoh granite dapat

mengandung 10-40% quartz dan sand stones dapat kurang lebih 70% quartz.

Cristobalite dan tridymite ditemukan dalam batuan dan tanah yang dihasilkan dari

proses alam dan industri yang melakukan pemanasan terhadap silika amorph

dengan temperatur lebih dari 1000o C (NIOSH, 2002).

Kristalin silika dapat masuk ke dalam tubuh melalui inhalasi dan dapat

menyebabkan fibrosis paru-paru. Sampel udara dikumpulkan melalui alat yang

disebut personal sampling pump yang dipasang di zona pernapasan untuk

memastikan bahwa pajanan terhadap silika masih di bawah nilai ambang batas

(NAB). NAB silika sangat tergantung dari jumlah persentase silika bebas di udara.

NAB debu respirabel yang mengandung silika dinyatakan dalam millions of

particles per cubic foot of air atau dikenal dengan mppcf. Standar ini diterapkan

dalam industri konstruksi dengan metode sampling impinger sebagai alat

sampling. NAB dinyatakan dalam Persamaan 2.1 (Soemirat, 2006):

(2.1)

Bagaimanapun penerapan impinger sebagai alat sampling dengan cara

menghitung partikel debu cukup rumit, sehingga pada umumnya berbagai industri

C (mppcf) =250

5 + % Silika bebas dalam debu

Page 5: Bab II Tinjauan Pustaka - · PDF file7 b. Asbestosis Asbestosis adalah penyakit akibat kerja yang disebabkan oleh debu atau serat asbes yang mencemari udara. Asbes adalah campuran

9

lebih memilih metode sampling gravimetrik (Graham, 2007). Metode sampling

secara gravimetrik dapat digunakan untuk berbagai industri termasuk industri

konstruksi. Berbagai penelitian telah dilakukan dan hasilnya menyatakan bahwa

rumus penghitungan NAB untuk kedua metode ini sebanding (Sheehy, 2006).

NAB atau PEL (Permissible Exposure Limit) silika untuk berbagai industri diukur

dalam satuan miligram per meter kubik (mg/m3) dinyatakan dengan Persamaan

2.2 (NIOSH, 2002).

(2.2)

2.1.3 Analisis Debu Silika

Terdapat beberapa metode yang dapat digunakan dalam menganalisis suatu

sampel yang mengandung silika. Namun demikian, yang paling banyak digunakan

adalah metode X-ray Diffraction Spectrometry (XRD), Infrared Spectrometry

(IR), dan Colorimetric Spectrofotometry. XRD dan IR merupakan teknik yang

paling sering digunakan mengalisis silika, namun akurasi teknik ini rendah,

terutama jika jumlah sampel yang sedikit (NIOSH, 2002).

2.1.3.1 X-ray Diffraction Spectrometry (XRD)

Sekitar 95% semua material padat didapatkan dalam struktur kristalin. Ketika X-

ray mengenai substansi kristalin, maka setiap kristalin tersebut akan memiliki pola

difraksi. Pada tahun 1919 A. W. Hull membuat paper berjudul " A New Method of

Chemical Analysis". Pada makalah ini dia menuliskan bahwa ".....setiap substansi

kristalin akan membentuk pola; substansi yang sama selalu memberikan pola

difraksi yang sama; dan di dalam campuran dari banyak substansi, setiap substansi

akan menghasilkan pola yang berbeda dengan substansi lainnya" (Scintag, 1999).

Ketika X-ray mengenai sebuah atom, elektron yang ada di sekitar atom mulai

bergetar sesuai dengan frekuensi sinar yang datang. Dalam hampir semua arah

akan didapatkan pencampuran tidak teratur yang merupakan gelombang campuran

keluar fase dan tidak ada energi resultan yang meninggalkan sampel padat. Atom

Respirable PEL (mg/m3) = 10

2 + % SiO2

Page 6: Bab II Tinjauan Pustaka - · PDF file7 b. Asbestosis Asbestosis adalah penyakit akibat kerja yang disebabkan oleh debu atau serat asbes yang mencemari udara. Asbes adalah campuran

10

yang ada di dalam kristal diubah menjadi pola yang teratur, dan dalam beberapa

arah akan didapatkan pencampuran yang teratur. Gelombang tersebut akan berada

dalam fasenya sehingga dapat diartikan X-ray akan meninggalkan sampel ke arah

yang berbeda. Setelah itu sinar yang terdifraksi dapat dideskripsikan sebagai sinar

yang merupakan campuran dari sejumlah besar sinar yang terpisah dan saling

menguatkan satu sama lain (Scintag, 1999).

Pola difraksi X-ray dari suatu substansi memiliki ciri-ciri khusus sehingga dapat

diartikan sebagai "sidik jari" dari substansi tersebut. XRD biasa digunakan untuk

memisahkan struktur single crystal dan polycrystalline dalam suatu sampel padat

sehingga dapat digunakan untuk mengkarakterisasi campuran material padat,

contohnya quartz (SiO2) dan asbes (Scintag, 1999).

XRD adalah suatu metode untuk mengetahui kandungan kristalin silika. XRD

mampu membedakan 3 bentuk utama senyawa kristalin silika (quartz,

cristobalite, dan tridymite) dan secara simultan dapat menganalisis struktur

polymorph dalam suatu sampel (NIOSH, 2002).

2.1.3.2 Infrared Spectrometry (IR)

Teknik lain yang digunakan dalam menganalisis kristalin silika adalah IR-

spectrometry (NIOSH, 2002). Walaupun metode ini tidak mampu untuk

membedakan macam-macam bentuk dari kristalin silika (Sheehy, 2006). Teknik

ini lebih murah dan cukup baik dalam mengukur kristalin silika. Teknik ini lebih

murah dibandingkan XRD dan cukup baik dalam mengukur quartz dalam suatu

sampel. Sampel yang mengandung silikat (seperti kaolinite) dan silika amorph

dapat menyebabkan gangguan dalam analisis.

2.1.3.3 Colorimetric Spectrofotometry

Teknik ini digunakan sebagai alternatif untuk mengetahui kandungan silika dalam

suatu sampel. Teknik ini merupakan teknik yang paling murah dibandingkan

dengan XRD dan IR. Metode colorimetric spectrofotometry tidak dapat

Page 7: Bab II Tinjauan Pustaka - · PDF file7 b. Asbestosis Asbestosis adalah penyakit akibat kerja yang disebabkan oleh debu atau serat asbes yang mencemari udara. Asbes adalah campuran

11

membedakan antara silika dan silikat, hal ini dikarenakan pengukuran hanya

berdasarkan kandungan silikon (NIOSH, 2002).

2.2 Sistem Pernapasan

Pernapasan adalah peristiwa menghirup udara dari luar yang mengandung oksigen

ke dalam tubuh serta mengh embuskan udara yang banyak mengandung CO2

sebagai sisa oksidasi ke luar tubuh. Secara garis besar sistem pernapasan terdiri

dari paru-paru dan susunan saluran yang menghubungkan paru-paru dengan yang

lainnya, yaitu hidung, faring, laring, trakea dan bronkus (Gambar 2.1).

Gambar 2.1 Sistem Pernapasan Manusia

2.2.1 Alat Pernapasan

Macam-macam alat pernapasan antara lain (BSW, 2000) :

a. Hidung

Hidung merupakan saluran udara yang pertama yang mempunyai dua lubang

dipisahkan oleh septum nasal. Di dalamnya terdapat rambut-rambut untuk

menyaring udara, debu dan kotoran. Selain itu terdapat juga konka nasalis

Page 8: Bab II Tinjauan Pustaka - · PDF file7 b. Asbestosis Asbestosis adalah penyakit akibat kerja yang disebabkan oleh debu atau serat asbes yang mencemari udara. Asbes adalah campuran

12

inferior, konka nasalis posterior dan konka nasalis media yang berfungsi untuk

menghangatkan udara.

b. Faring

Faring merupakan tempat persimpangan antara jalan pernapasan dan jalan

makanan. Faring terletak di belakang rongga hidung, dan mulut sebelah depan

ruas tulang leher. Di bawah selaput lendir terdapat jaringan ikat, juga di beberapa

tempat terdapat folikel getah bening.

c. Laring

Laring merupakan saluran yang terletak di depan bagian faring sampai ketinggian

vertebrae servikalis dan masuk ke dalam trakea di bawahnya. Laring dilapisi oleh

selaput lendir, kecuali pita suara dan bagian epiglotis yang dilapisi oleh sel

epitelium berlapis.

d. Trakea

Trakea merupakan saluran lanjutan dari laring yang dibentuk oleh 16 – 20 cincin

yang terdiri dari tulang rawan yang berbentuk seperti tapal kuda yang berfungsi

untuk mempertahankan jalan napas agar tetap terbuka. Sebelah dalam diliputi oleh

selaput lendir yang berbulu getar yang disebut sel bersilia, yang berfungsi untuk

mengeluarkan benda asing yang masuk bersama-sama dengan udara pernapasan.

e. Bronkus

Bronkus merupakan lanjutan dari trakea, ada 2 buah yang terdapat pada

ketinggian vertebra torakalis IV dan V. Bronkus mempunyai struktur serupa

dengan trakea dan dilapisi oleh jenis sel yang sama. Bronkus kanan lebih besar

dan lebih pendek daripada bronkus kiri, terdiri dari 6 – 8 cincin dan mempunyai 3

cabang. Bronkus kiri terdiri dari 9 – 12 cincin dan mempunyai 2 cabang. Cabang

bronkus yang lebih kecil dinamakan bronkiolus sedangkan pada ujung bronkus

terdapat gelembung paru yang disebut alveoli.

Page 9: Bab II Tinjauan Pustaka - · PDF file7 b. Asbestosis Asbestosis adalah penyakit akibat kerja yang disebabkan oleh debu atau serat asbes yang mencemari udara. Asbes adalah campuran

13

f. Paru-paru

Paru-paru merupakan alat tubuh yang sebagian besar dari terdiri dari gelembung-

gelembung alveoli. Pada tempat ini terjadi pertukaran gas antara O2 dan CO2.

2.2.2 Volume Paru-Paru

Pertukaran gas akan berbeda pada keadaan atau kondisi kerja fisik yang berbeda,

maka pengembangan volume alveoli berbeda dikenal berbagai volume paru-paru.

Pengetahuan tentang berbagai volume paru-paru digunakan untuk evaluasi fungsi

paru-paru pada berbagai kondisi kesehatan (Setiadji et al., 1981). Volume paru-

paru dibagi menjadi beberapa macam antara lain (Gambar 2.2):

• Tidal Volume (TV) adalah volume udara yang masuk dan keluar selama

pernapasan normal. Volume tidal volume kurang lebih 500 ml.

• Expiratory Reserve Volume (ERV) adalah volume cadangan udara yang

dikeluarkan setelah tidal volume. Volume ERV kurang lebih 1000 ml.

• Inspiratory Reserve Volume (IRV) adalah volume udara yang dapat

diinspirasi secara penuh setelah tidal volume. Volume IRV kurang lebih

3000 ml.

• Residual Volume (RV) adalah volume udara yang tersisa di paru-paru

setelah ekspirasi maksimal. Udara di dalam paru-paru jumlahnya tidak

pernah kosong. Volume RV kurang lebih 1500 ml.

• Vital Capacity (VC) adalah volume udara yang dapat dikeluarkan oleh

seseorang setelah menghirup udara secara maksimal. Volumenya sekitar

4500 ml atau sama dengan penjumlahan antara ERV + TV + IRV.

• Total Lung Capacity (TLC) adalah volume total udara yang dapat tertahan

di paru-paru. Nilainya kurang lebih 6000 ml atau setara dengan

penjumlahan RV + VC.

Page 10: Bab II Tinjauan Pustaka - · PDF file7 b. Asbestosis Asbestosis adalah penyakit akibat kerja yang disebabkan oleh debu atau serat asbes yang mencemari udara. Asbes adalah campuran

14

Gambar 2.2 Volume Udara Paru-paru (Ruppel, 2008)

2.2.3 Uji Fungsi Paru-Paru

Uji fungsi paru-paru atau dikenal sebagai pulmonary function tests (PFTs)

digunakan untuk mengevaluasi kinerja paru-paru. Uji ini digunakan untuk

mengetahui volume udara yang dapat tertahan di paru-paru, kecepatan udara pada

saat respirasi, serta mengukur kinerja paru-paru dalam menyerap O2 dan

mengeluarkan CO2 dalam darah. Uji ini dapat digunakan untuk mengetahui

kelainan paru-paru, mengukur tingkat keparahan penyakit paru-paru serta

mengukur efektifitas perawatan terhadap paru-paru yang rusak (Spirexpert, 2007).

Spirometri adalah salah satu teknik uji paru-paru. Teknik ini dapat mengukur

kecepatan dan volume udara pada saat respirasi dengan cara bernapas melalui

corong (mouthpiece) yang dihubungkan dengan alat yang disebut spirometer.

Spirometer adalah suatu alat untuk mengukur volume udara yang masuk dan

keluar paru-paru sehingga dapat digunakan untuk menilai fungsi paru-paru.

Informasi yang diperoleh dari spirometer dapat berupa grafik yang disebut

spirogram. Beberapa nilai fungsi paru-paru yang dapat diukur dengan spirometer

dapat dilihat pada Tabel 2.1.

Page 11: Bab II Tinjauan Pustaka - · PDF file7 b. Asbestosis Asbestosis adalah penyakit akibat kerja yang disebabkan oleh debu atau serat asbes yang mencemari udara. Asbes adalah campuran

15

Tabel 2.1 Nilai Fungsi Paru-Paru yang dapat Diukur dengan

Spirometer (Dirgawati, 2007) Singkatan Nama Deskripsi

FVC Forced Vital

Capacity

FVC adalah jumlah udara yang dapat

dihembuskan setelah inspirasi penuh,

dinyatakan dalam liter.

FEV1.0

Forced

Expiratory

Volume in 1

Second

FEV1.0 adalah jumlah udara yang

dihembuskan selama 1 detik pertama,

dinyatakan dalam liter. FEV1.0 merupakan

salah satu indikator penting dalam

menentukan fungsi paru-paru.

FEV1.0 /

FVC FEV1%

FEV1.0 / FVC merupakan perbandingan

antara FEV1.0 dengan FVC. Pada orang

dewasa sehat nilai ini berkisar antara 75-

80%.

PEF Peak Expiratory

Flow

PEF merupakan kecepatan aliran udara

paru-paru pada saat mulai ekspirasi,

dinyatakan dalam liter per detik.

FEF 25-

75% atau

25-50%

Forced

Expiratory Flow

25-75% atau 25-

50%

FEF 25-75% atau 25-50% merupakan nilai

rata-rata kecepatan aliran udara yang keluar

dari paru-paru selama pertengahan ekspirasi

(kadang-kadang disebut sebagai MMEF,

atau maximal mid-expiratory flow).

FIF 25-75%

atau 25-

50%

Forced

Inspiratory Flow

25%-75% atau

25%-50%

FIF 25-75% atau 25-50% memiliki arti

sama dengan FEF 25-75% atau 25-50%

namun pengukuran dilakukan selama

inspirasi.

FET Forced

Expiratory Time

FET mengukur lamanya ekspirasi dalam

satuan detik.

TV Tidal Volume

TV menyatakan volume udara yang

diinspirasi dan diekspirasikan pada saat

respirasi secara normal.

Page 12: Bab II Tinjauan Pustaka - · PDF file7 b. Asbestosis Asbestosis adalah penyakit akibat kerja yang disebabkan oleh debu atau serat asbes yang mencemari udara. Asbes adalah campuran

16

Singkatan Nama Deskripsi

MVV

Maximum

Voluntary

Ventilation

MVV merupakan jumlah udara maksimal

yang dapat diinspirasi dan di ekspirasi

dalam 1 menit, dinyatakan dalam liter /

menit.

2.2.3.1 Metode Pemilihan Uji Fungsi Paru-Paru

Terdapat kriteria untuk memilih jenis tes untuk uji faal paru-paru, yaitu sebagai

berikut (Pringadi, 1992):

a. Acceptability

Jenis tes sebaiknya mudah diterima, aman, dan tidak memerlukan

penjelasan yang rumit kepada subjek yang diteliti.

b. Objectivity

Sedapat mungkin jenis tes tidak dipengaruhi oleh usaha subjek.

c. Discrimination

Memiliki kepekaan yang tinggi serta mudah membedakan antara subjek

normal dan bukan normal.

d. Repeatability

Hasil tes sebaiknya memperlihatkan variasi yang kecil antara beberapa kali

pengukuran pada subjek yang sama.

Seperti telah disebutkan sebelumnya bahwa FEV1.0 merupakan volume yang

dihembuskan selama 1 detik pertama (Gambar 2.3).

Gambar 2.3 Volume yang Dihembuskan Selama 1 Detik

Pertama (Spirexpert, 2007)

Tabel 2.1 (lanjutan)

Page 13: Bab II Tinjauan Pustaka - · PDF file7 b. Asbestosis Asbestosis adalah penyakit akibat kerja yang disebabkan oleh debu atau serat asbes yang mencemari udara. Asbes adalah campuran

17

Dalam penelitian ini digunakan FEV1.0 sebagai parameter fungsi paru-paru karena

parameter ini tidak terpengaruh oleh usaha seseorang dan relatif tidak dipengaruhi

oleh posisi tubuh pada saat pengukuran (Tabel 2.2). Selain itu FEV1.0 merupakan

pemeriksaan yang sederhana, akurat, dan paling sering dilakukan (Yunus, 1993).

Tabel 2.2. Uji Fungsi Paru-Paru dan Kriteria yang Dipenuhinya (Pringadi, 1992)

Kriteria UJI FUNGSI PARU-PARU a b c d Komentar

Maximum Voluntary Volume

-

-

+

++

Secara praktis diganti dengan FEV1.0

Forced Expiratory

Volume One Second (FEV1.0)

++ ++ ++ ++

Tidak tergantung usaha seseorang, sangat baik untuk pemeriksaan rutin.

Forced Vital Capacity

Pengukuran lebih mendekati atau sama dengan volume paru-paru vital daripada kapasitas ventilasi.

FEV% atau (FEV1.0/FVC)

x100%

Digunakan untuk membedakan jenis penyakit paru-paru (restriktif atau obstruktif), daripada digunakan untuk mengukur kapasitas ventilasi.

Forced Expiratory Flow

(FEF)

+

-

-

-

Peak Expiratory Flow (PEV)

+

+

-

-

Baik untuk penyakit obstruktif bagian atas

Penilaian : (-) : Buruk Kriteria : a. Acceptability (+) : Sedang b. Objectivity (++) : Baik c. Discrimination d. Repeatability 2.2.3.2 Pengukuran FEV1.0 dengan Spirometer

Hasil spirometri dinyatakan sebagai volume udara (FEV1.0) pada suhu dan tekanan

udara di ruang pemeriksaan atau pada keadaan Ambient Temperature, Pressure,

Saturated (ATPS). Nilai tersebut perlu dikonversi ke Body Temperature,

Page 14: Bab II Tinjauan Pustaka - · PDF file7 b. Asbestosis Asbestosis adalah penyakit akibat kerja yang disebabkan oleh debu atau serat asbes yang mencemari udara. Asbes adalah campuran

18

Pressured, Saturated (BTPS) karena ingin diketahui volume udara pada

temperatur (T) dan tekanan udara (P) dalam tubuh. Hubungan antara faktor-faktor

tersebut adalah sebagai berikut (Spirexpert, 2007):

(2.3)

dimana:

n = Jumlah molekul R = Konstanta gas ideal T = Suhu (oKelvin) P = Tekanan (mmHg) V = Volume (liter)

Udara ekspirasi terdiri atas gas CO2 dan uap air. Campuran uap air dan gas pada

keadaan jenuh akan bervariasi sesuai dengan temperatur dan tekanan (Spirexpert,

2007), maka pada spirometri, volume gas yang didapat adalah volume pada T dan

P ruangan, perlu dicatat juga temperatur tubuh, dan tekanan barometrik pada saat

pengukuran. Hal ini sesuai dengan persamaan yang digunakan untuk

mengkonversi nilai ATPS ke dalam BTPS (Dirgawati, 2007), yaitu:

(2.4)

dimana,

(1) = Kondisi ATPS

P1 = Tekanan barometrik - Tekanan uap air pada temperatur ambien (mmHg)

(Tekanan barometrik) - (Tekanan uap air pada Tabel 2.3)

V1 = Volume gas yang tercatat pada spirometer (L)

T1 = Temperatur ruangan saat pengukuran (oK)

(2) = Kondisi BTPS

P2 = Tekanan barometrik - Tekanan uap air pada temperatur tubuh (mmHg)

(Tekanan barometrik) - (Tekanan uap air pada Tabel 2.3)

V2 = Volume gas pada kondisi BTPS (L)

T2 = Temperatur tubuh (oK)

V = nRT / P

P1V1 P2V2

T2

=T1

Page 15: Bab II Tinjauan Pustaka - · PDF file7 b. Asbestosis Asbestosis adalah penyakit akibat kerja yang disebabkan oleh debu atau serat asbes yang mencemari udara. Asbes adalah campuran

19

Tabel 2.3 Tekanan Uap Air pada Berbagai Temperatur (Lawrence, 1987)

Temperatur

(oC)

Tekanan Uap

Air (mmHg)

Temperatur

(oC)

Tekanan Uap

Air (mmHg)

20 17,54 31 33,70

21 18,65 32 35,66

22 19,63 33 37,73

23 21,07 34 39,90

24 22,38 35 42,18

25 23,76 36 44,56

26 25,21 37 47,07

27 26,74 38 49,69

28 28,35 39 52,44

29 30,04 40 55,32

30 31,82

Terdapat beberapa faktor yang berpengaruh terhadap hasil pengukuran spirometer,

antara lain (Pringadi, 1992):

1. Usia

Setelah seseorang berusia lebih dari 12 tahun, terjadi peningkatan pada

pengukuran spirometer yang berkorelasi dengan usia dan tinggi, hingga

usia 20 tahun pada wanita dan 25 tahun pada pria. Setelah seseorang

melebihi usia tersebut maka akan terjadi penurunan hasil pengukuran

spirometer seiring dengan pertambahan usia.

2. Tinggi Badan

Semakin tinggi tubuh seseorang maka nilai hasil pengukuran spirometer

akan semakin tinggi.

3. Berat badan

Hasil spirometer menunjukkan korelasi positif dengan berat badan.

4. Posisi tubuh

Posisi tubuh pada saat melakukan spirometri akan mempengaruhi hasil

pengukuran. Pengukuran yang dilakukan dengan posisi berdiri akan

berbeda dengan posisi duduk atau terlentang.

Page 16: Bab II Tinjauan Pustaka - · PDF file7 b. Asbestosis Asbestosis adalah penyakit akibat kerja yang disebabkan oleh debu atau serat asbes yang mencemari udara. Asbes adalah campuran

20

5. Kekuatan Otot

Kekuatan otot merupakan faktor penting setelah tinggi badan, baik pada

laki-laki maupun wanita.

6. Ras

Orang berkulit hitam dari Afrika memiliki volume paru-paru yang lebih

rendah dibandingkan orang berkulit putih dari Eropa. Orang India,

Pakistan, Asia, Kepulauan Pasifik dan Indian dari Amerika Utara pada

umumnya berada di antara orang kulit hitam dan kulit putih.

7. Jenis kelamin.

Wanita memiliki nilai spirometri yang lebih rendah dibandingkan dengan

pria. Pada wanita FEV1.0 dan FVC menurun lebih awal (20 tahun)

dibandingkan dengan pria yang mulai menurun pada usia 25 tahun.

Perbedaan ini ada hubungannya dengan perbedaan keadaan fisiologis dan

anatomis.

8. Tempat

Ketinggian tempat pada saat pengukuran dapat mempengaruhi hasil

pengukuran dengan spirometer. Hal ini disebabkan adanya perbedaan

tekanan udara antara dataran tinggi dengan dataran rendah.

9. Merokok

Kebiasaan merokok akan menurunkan FEV1.0 seseorang (Antaruddin,

2003).

2.3 Mekanisme Masuknya Debu ke dalam Paru-Paru

Debu yang terdapat di dalam lingkungan kerja terbagi dua yaitu deposit

particulate matter yaitu partikel debu yang hanya berada sementara di udara,

partikel ini segera mengendap karena daya tarik bumi. Suspended particulate

matter adalah debu yang tetap berada di udara dan tidak mudah mengendap.

Partikel debu yang dapat dihirup berukuran 0,1 sampai 10 mikron. Debu yang

berukuran antara 5-10 mikron bila terhisap akan tertahan dan tertimbun pada

saluran napas bagian atas, sedangkan yang berukuran antara 3-5 mikron tertahan

dan tertimbun pada saluran napas tengah. Partikel debu dengan ukuran 1-3 mikron

disebut debu respirabel merupakan yang paling berbahaya karena tertahan dan

Page 17: Bab II Tinjauan Pustaka - · PDF file7 b. Asbestosis Asbestosis adalah penyakit akibat kerja yang disebabkan oleh debu atau serat asbes yang mencemari udara. Asbes adalah campuran

21

tertimbun mulai dari bronkiolus terminalis sampai alveoli. Debu yang ukurannya

kurang dari 1 mikron tidak mudah mengendap di alveoli karena mudah keluar

masuk alveoli mengikuti gerak Brown (Yunus, 1997). Debu yang berukuran lebih

dari 5 mikron akan dikeluarkan semuanya bila jumlahnya kurang dari 10 partikel

per milimeter kubik udara. Bila jumlahnya 1000 partikel per milimeter kubik

udara, maka 10% dari jumlah itu akan ditimbun dalam paru-paru (Yunus, 1997).

Deposisi partikulat di dalam sistem pernapasan dapat dilihat pada Gambar 2.4.

Gambar 2.4 Deposisi Partikel Debu dalam Berbagai Ukuran pada Sistem Pernapasan (American Lung Association, 2007)

Menurut (Dirgawati, 2007), terdapat 3 faktor yang mempengaruhi masuknya debu

ke dalam paru-paru, yaitu:

1. Pengaruh Inersia Debu Sendiri

Inersia dari debu akan menimbulkan kelembaban bagi debu itu sendiri, di

mana sewaktu bergerak akan melalui belokan-belokan dan akan terdorong

oleh aliran udara masuk (impinged) ke dalam paru-paru.

2. Pengaruh Sedimentasi

Pengaruh sedimentasi terutama terjadi pada bronkus dan bronkiolus,

karena di tempat tersebut kecepatan udara sangat berkurang, kira-kira

Page 18: Bab II Tinjauan Pustaka - · PDF file7 b. Asbestosis Asbestosis adalah penyakit akibat kerja yang disebabkan oleh debu atau serat asbes yang mencemari udara. Asbes adalah campuran

22

hanya 1 cm/detik sehingga gaya tarik bumi dapat bekerja terhadap partikel

debu dan mengendapkannya.

3. Gerak Brown

Gerak Brown berpengaruh pada debu yang berukuran kurang dari 1

mikron. Partikel tersebut sampai di permukaan alveoli melalui gerakan

udara.

2.4 Analisis Risiko Kesehatan

Analisis risiko adalah suatu metode untuk menilai dan melakukan prediksi apa

yang akan terjadi akibat adanya pajanan atau pencemaran, terhadap zat berbahaya

di masa yang akan datang. Metode ini digunakan untuk menilai faktor bahaya

yang paling berpengaruh buruk terhadap kesehatan sehingga dapat dilakukan

tindakan pencegahan terhadap menurunnya tingkat kesehatan seseorang akibat

faktor bahaya tersebut. Analisis risiko kesehatan terdiri atas beberapa tahap, yaitu:

Identifikasi Bahaya, Evaluasi Pajanan, Evaluasi Dosis-Respon dan Karakterisasi

Risiko (Gambar 2.5):

Identifikasi Bahaya

Evaluasi Pajanan Evaluasi Dosis-Respon

Karakterisasi Risiko

Kebijakan Perbaikan

Gambar 2.5 Tahapan dalam Analisis Risiko Kesehatan (Soemirat, 2000)

2.4.1 Identifikasi Bahaya

Identifikasi bahaya adalah proses untuk memperoleh data mengenai masalah

kesehatan yang dapat terjadi akibat adanya suatu bahan dengan cara mempelajari

efeknya terhadap manusia ataupun hewan percobaan. Salah satu langkah penting

Page 19: Bab II Tinjauan Pustaka - · PDF file7 b. Asbestosis Asbestosis adalah penyakit akibat kerja yang disebabkan oleh debu atau serat asbes yang mencemari udara. Asbes adalah campuran

23

dalam identifikasi bahaya adalah memilih metode yang tepat sehingga

mendapatkan data akurat mengenai faktor bahaya yang dapat mempengaruhi

kesehatan manusia (CEPA, 2001). Data penelitian terhadap manusia merupakan

data yang sangat baik dalam mengevaluasi risiko kesehatan manusia yang

dikaitkan dengan pajanan terhadap suatu zat.

Salah satu kelemahan dalam melakukan penelitian di tempat kerja adalah

pengukuran hanya dilakukan terhadap pekerja dewasa sehingga populasi sensitif

seperti anak-anak dan manula tidak terukur. Analisis risiko kesehatan terhadap

pekerja dewasa seringkali mendapatkan hambatan berupa ketidakpastian data

seperti jumlah dan durasi pajanan, pola hidup meliputi kebiasaan merokok dan

mengkonsumsi alkohol. Untuk menghindari ketidakpastian tersebut, maka

sebelum mengidentifikasi bahaya, dilakukan pemilihan terhadap responden yang

memiliki karakteristik yang serupa.

2.4.2 Evaluasi Pajanan

Evaluasi pajanan adalah proses untuk memperoleh frekuensi, durasi dan pola

pajanan suatu zat terhadap manusia. Dalam menganalisis risiko kesehatan,

diperlukan asumsi untuk memperkirakan pajanan suatu bahan kimia terhadap

tubuh. Contohnya dalam menganalisa efek polusi udara terhadap kesehatan,

diperlukan asumsi berapa lama seseorang menghabiskan waktu di luar ruangan

sehingga mereka terpajan polutan atau berapa lama mereka menghabiskan waktu

di tempat dengan kadar polutan yang tinggi.

2.4.3 Evaluasi Dosis-Respon

Evaluasi dosis-respon dilakukan untuk mengevaluasi informasi yang diperoleh

selama identifikasi bahaya sehingga dapat diperkirakan jumlah zat yang masuk ke

dalam tubuh dan mempengaruhi kesehatan seseorang. Evaluasi dosis-respon

dilakukan untuk melihat hubungan yang konsisten antara jumlah zat yang masuk

(dosis) dengan respon berupa efek kesehatan (Soemirat, 2000).

Page 20: Bab II Tinjauan Pustaka - · PDF file7 b. Asbestosis Asbestosis adalah penyakit akibat kerja yang disebabkan oleh debu atau serat asbes yang mencemari udara. Asbes adalah campuran

24

2.4.4 Karakterisasi Risiko

Karakterisasi risiko dilakukan dengan cara mengumpulkan informasi dari ketiga

langkah sebelumnya yaitu identifikasi bahaya, penilaian pajanan, dan penilaian

dosis-respon sehingga dapat diperkirakan efek suatu zat terhadap kondisi

kesehatan. Dalam mengkarakterisasi risiko, diperlukan analisis dengan cara

mengembangkan informasi yang didapat selama pajanan dan penilaian dosis-

respon sehingga diperoleh hasil risiko kesehatan yang diharapkan terjadi pada

populasi terpajan (CEPA, 2001).

2.4.4.1 Risiko Relatif (RR)

Risiko relatif atau RR menghitung risiko menderita sakit (tidak normal) bagi

mereka yang terpajan agen dibandingkan dengan kelompok yang tidak terpajan.

Cara menghitungnya adalah dengan membandingkan insidensi antara kelompok

terpajan dengan kelompok tidak terpajan. RR dinyatakan dengan menggunakan

Persamaan 2.5 (Soemirat, 2005):

(2.5)

dimana,

a = jumlah orang terpajan dan menderita sakit (tidak normal) b = jumlah orang tidak terpajan dan menderita sakit (tidak normal) c = jumlah orang terpajan dan tidak menderita sakit (normal) d = jumlah orang tidak terpajan dan tidak menderita sakit (normal)

RR =a/(a+c)

b/(b+d)