BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang...

34
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang Perlindungan Konsumen Perlindungan konsumen berasaskan manfaat, keadilan, keseimbangan, keamanan dan keselamatan konsumen, serta kepastian hukum. Dalam penjelasan Pasal 2 UUPK disebutkan bahwa perlindungan konsumen diselenggarakan sebagai usaha bersama berdasarkan 5 asas yang relevan dalam pembangunan nasional. Memperhatikan substansi Pasal 2 UUPK dan penjelasannya, tampak bahwa perumusannya mengacu pada filosofi pembangunan nasional yaitu pembangunan manusia Indonesia seutuhnya yang berlandaskan pada falsafah negara Republik Indonesia. 1. Landasan Teoritis Teori adalah serangkaian proposisi atau keterangan yang salingberhubungan dan tersusun dalam suatu sistem deduksi yangmengemukakan penjelasan atas suatu gejala. Sementara itu pada suatu penelitian, teorimemilikifungsi sebagai pemberi arahan kepada peneliti dalam melakukan penelitian.Untuk mengkaji suatu permasalahan hukum secara lebih mendalam, diperlukan teori yang berupa serangkaian asumsi, konsep, definisi dan proposisi untuk menerangkan suatu fenomena sosial secara sistematis dengan caramerumuskan hubungan antar konsep. Teori juga sangat diperlukan dalampenulisan karya ilmiah dalam tatanan hukum positif konkrit. Hal ini sesuai

Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang...

���

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum Tentang Perlindungan Konsumen

Perlindungan konsumen berasaskan manfaat, keadilan, keseimbangan,

keamanan dan keselamatan konsumen, serta kepastian hukum. Dalam penjelasan

Pasal 2 UUPK disebutkan bahwa perlindungan konsumen diselenggarakan

sebagai usaha bersama berdasarkan 5 asas yang relevan dalam pembangunan

nasional.

Memperhatikan substansi Pasal 2 UUPK dan penjelasannya, tampak

bahwa perumusannya mengacu pada filosofi pembangunan nasional yaitu

pembangunan manusia Indonesia seutuhnya yang berlandaskan pada falsafah

negara Republik Indonesia.

1. Landasan Teoritis

Teori adalah serangkaian proposisi atau keterangan yang

salingberhubungan dan tersusun dalam suatu sistem deduksi yangmengemukakan

penjelasan atas suatu gejala. Sementara itu pada suatu penelitian,

teorimemilikifungsi sebagai pemberi arahan kepada peneliti dalam melakukan

penelitian.Untuk mengkaji suatu permasalahan hukum secara lebih mendalam,

diperlukan teori yang berupa serangkaian asumsi, konsep, definisi dan proposisi

untuk menerangkan suatu fenomena sosial secara sistematis dengan

caramerumuskan hubungan antar konsep. Teori juga sangat diperlukan

dalampenulisan karya ilmiah dalam tatanan hukum positif konkrit. Hal ini sesuai

� ��

dengan pendapat Jan Gijssels dan Mark Van Koecke ”Eendegelijk inzicht indeze

rechtsteoretissche kwesties wordt blijkens het voorwoord beschouwd alseen

noodzakelijke basis voor elke wetenschappelijke studie van een konkreetpositief

rechtsstelsel” (dalam teori hukum diperlukan suatu pandangan yangmerupakan

pendahuluan dan dianggap mutlak perlu ada sebagai dasar dari studi ilmu

pengetahuan terhadap aturan hukum positif)

Prinsip dasar teori yang dikutip dalam penelitian ini berpedoman pada

objek penelitian yang diteliti, hal ini dilakukan agar penggunaan teori dalam

landasan berfikir akan tetap sesuai dengan judul yang ditentukan. Pengutipan

teori dalam penyusunan laporan penelitian ini disesuaikan dengan pokok pikiran

pengembangan teori tentang hukum perlindungan konsumen, khususnya dalam

hal penyelesaian sengketa konsumen. Oleh karenanya pengembangan pikiran

dalam penulisan laporan penelitian ini dilakukan sesuai dengan pengertian-

pengertian perlindungan konsumen yang ada pada literatur-literatur atau buku-

buku yang membahas tentang hukum perlindungan konsumen Terkait dengan

teori yang dipergunakan dalam penelitian ini, maka tidak terlepas dari sistem

hukum yang yang berlaku di Indonesia adalah sistem

hukum yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Dengan demikian setiap

sektor hukum nasional haruslah bersumberkan pada Pancasila dan UUD 1945.

Soerjono Soekanto menyatakan ada 4 faktor yang mempengaruhi proses

implementasi suatu produk hukum:

1. Kaidah hukum dan peraturannya sendiri.

2. Petugas yang menegakkannya.

3. Fasilitas yang diharapkan mendukung pelaksanaan kaidah hukum.

4. Masyarakat yang masuk kedalam ruang lingkup peraturan tersebut.

� ��

Pendapat tersebut jika dikaitkan dengan tujuan pengaturan

perlindungankonsumen adalah untuk meningkatkan harkat dan martabat serta

kesadaran konsumen akan hak-haknya, yang secara tidak langsung juga

mendorong pelaku usaha didalam menyelenggarakan kegiatan usahanya dengan

penuh rasa tanggungjawab.

2. Pengertian Konsumen

Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang

Perlindungan Konsumen disebutkan bahwa ;

“Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang

tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga,

orang lain,maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.”

Definisi ini sesuai dengan pengertian bahwa konsumen adalah pengguna

terakhir, yang merupakan pembeli barang dan/atau jasa tersebut.1 Hal tersebut

searah dengan pengertian konsumen yang dikemukakan oleh Yusuf Shofi, yaitu

bahwa yang dimaksud dengan konsumen yaitu “setiap pengguna barang atau jasa

untuk kebutuhan diri sendiri, keluarga atau rumah tangga, dan tidak untuk

memproduksi barang atau jasa lain atau memperdagangkannya kembali”.2

Pengertian mengenai konsumen, bila ditinjau dari segi etimologi, yaitu

“pemakai barang dari hasil industri”.3 Definisi ini masih mengandung unsur-

unsur pengertian yang bersifat luas, yang hal tersebut dapat diklarifikasikan ke

dalam dua kelompok, antara lain :

���������������������������������������� ���������������������Abdul Halim Barkatullah, hukum Perlindungan Konsumen, Nusa Media, Bandung, 2008, halaman 1�

��Yusuf Shofi, Pelaku Usaha ,Konsumen, dan Tindak Pidana Korporasi, Ghalia Indonesia, Jakarta,

2002, hal. 14.���Pusat Pembinaan Dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta,

1990, hal.458�

� ��

a. Konsumen antara.

Konsumen antara yaitu konsumen yang menggunakan suatu produk

sebagai bagian dari proses produksi suatu produk lainnya dengan tujuan untuk

diperdagangkan kembali. Dalam hal ini konsumen antara dalam kepustakaan

perekonomian disebut sebagai konsumen organisasional, yaitu suatu “proses

pengambilan keputusan yang digunakan organisasi untuk membangun kebutuhan

terhadap produk dan jasa yang dibeli dan mengidentifikasi, mengevaluasi

diantara merek dan pemasok alternatif”.4 jenis-jenis konsumen ini antara lain

konsumen industrial, konsumen reseller, konsumen pemerintah dan retailers.

1) Konsumen industrial, terdiri dari seluruh individu dan organisasi yang membutuhkan (membeli) barang dan jasa yang masuk kedalam produksi dari produksi dan atau jasa lain yang dijual, disewakan, atau dipasok kepada pihak lain.

2) Konsumen reseller, terdiri dari seluruh individu dan organisasi yang membutuhkan barang dan jasa untuk tujuan menjual kembali atau menyewakannya kepada pihak lain dengan mendapatkan laba.

3) Konsumen pemerintah, yaitu pembelian yang dilakukan oleh pemerintah atau menyewa barang dan jasa dengan tujuan untuk menjalankan fungsi-fungsi utama mereka.

4) Konsumen retailers, yaitu pembeli atau konsumen yang membeli barang dan jasa untuk dijual eceran secar langsung ke konsumen akhir untuk penggunaan pribadi.5

b. Konsumen akhir.

Konsumen akhir yaitu “pengguna atau pemanfaat akhir dari suatu produk”.6

Pasal 1 ayat 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 menyebutkan bahwa yang

dimaksud dengan konsumen adalah “setiap orang pemakai barang dan jasa yang

tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain,

���������������������������������������� ��������������������Philip Kotler, Prinsip – Prinsip Pemasaran, Airlangga, Jakarta, 1997, hal. 196.�

��Ibid.�

��Sekretariat Negara R.I., Undang – Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen,

Sinar Grafika, Jakarta, 1999, hal..37.�

� �

maupan makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan”. 7 Hal tersebut searah

dengan pengertian konsumen yang dikemukakan oleh Yusuf Shofi, yaitu bahwa yang

dimaksud dengan konsumen yaitu “setiap pengguna barang atau jasa untuk kebutuhan

diri sendiri, keluarga atau rumah tangga, dan tidak untuk memproduksi barang atau

jasa lain atau memperdagangkannya kembali”.8

1. Pengertian Perlindungan Konsumen

Pengertian perlindungan konsumen bila ditinjau dari segi etimologi

adalah sebagai berikut “Perlindungan berarti hal memperlindungi” sedangkan

“konsumen berarti pemakai barang-barang hasil industri.” Menurut Undang-

Undang Perlindungan Konsumen, arahan definisi tersebut ditujukan kepada

“segala upaya menjamin adanya kepastian hukum untuk memberikan

perlindungan hukum kepada konsumen”.9

2. Pengertian Hukum Perlindungan Konsumen

Hukum Perlindungan Konsumen adalah keseluruhan kaidah-kaidah

hukum yang mengatur hubungan dan masalah antara berbagai pihak yang satu

sama lain berkaitan dengan barang dan / atau jasa konsumen di dalam pergaulan

hidup. Hukum perlindungan konsumen merupakan bagian dari hukum konsumen

yang lebih luas yang memuat asas-asas atau kaidah-kaidah yang bersifat

mengatur dan juga mengandung sifat melindungi kepentingan konsumen10.

Undang Undang No 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, tidak

���������������������������������������� ���������������������Ibid.�

��Yusuf Shofi, Pelaku Usaha ,Konsumen, dan Tindak Pidana Korporasi, Ghalia Indonesia, Jakarta,

2002, hal. 14.��Sekretariat Negara R.I., Undang – Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen,

Sinar Grafika, Jakarta, 1999, hal. 2�10 AZ Nasution yang dikutip oleh Shidarta. “Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia”. Grasindo, Jakarta, 2000, hlm.9.

� ��

memuat definisi mengenai hukum perlindungan konsumen tetapi memuat

perumusan mengenai perlindungan konsumen yaitu sebagai “segala upaya yang

menjamin adanya kepastian hukum untuk memberikan perlindungan kepada

konsumen.”11

3. Asas Dan Kaedah Hukum Perlindungan Konsumen

Adapun untuk menjaga pelaksanaan perlindungan konsumen agar tidak

menyimpang dari tujuan perlindungan konsumen, maka pelaksanaannya harus

didasarkan pada asas atau kaidah hukum perlindungan konsumen. Adapun untuk

menjaga pelaksanaan perlindungan perlindungan konsumen agar tidak

menyimpang dari tujuan perlindungan konsumen, maka pelaksanaannya harus

didasarkan pada asas atau kaedah hukum perlindungan konsumen. Pasal 2

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen terdapat

asas atau kaidah hukum perlindungan konsumen, agar tidak menyimpang

daritujuan perlindungan konsumen, yang menyebutkan bahwa:

“Perlindungan konsumen berasaskan manfaat, keadilan, keseimbangan, keamanan dan keselamatan konsumen, serta kepastian hukum”

Menurut pasal 2 Undang-Undang Perlindungan Konsumen, menyebutkan bahwa

perlindungan konsumen menganut asas sebagai berikut, yaitu:12

a. Asas manfaat dimaksudkan untuk mengamanatkan bahwa segala upaya dalam

penyelenggaraan perlindungan konsumen harus memberikan manfaat sebesar-

besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan.

���������������������������������������� �������������������11 Pasal 1 butir 1 UUPK ����Sekretariat Negara R.I., Undang – Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, Sinar Grafika, Jakarta, 1999, hal. 12�

� ��

b. Asas keadilan dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan

secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku

usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil.

c. Asas keseimbangan dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan antara

kepentingan konsumen, pelaku usaha dan pemerintah dalam arti materiil

ataupun spiritual.

d. Asas keamanan dan keselamatan konsumen dimaksudkan untuk memberikan

jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalam penggunaan,

pemakaian dan pemanfaatan barang dan jasa yang dikonsumsi atau digunakan.

e. Asas kepastian hukum dimaksudkan agar baik pelaku usaha maupun

konsumen menaati hukum dan memperoleh keadilan dan penyelenggaraan

perlindungan konsumen, serta negara menjamin kepastian hukum.

Di Indonesia dasar hukum yang menjadikan seorang konsumen dapat

mengajukan perlindungan adalah:

a. UUD 1945 pasal 5 ayat (1), pasal 21 ayat (1), pasal 27, dan pasal 33.

b. UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (Lembaran Negara RI

Tahun 1999 No. 42 Tambahan Lembaran Negara RI No. 3821).

c. UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan

Usaha Tidak Sehat.

d. UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbritase dan Alternatif Penyelesaian

Sengketa.

e. PP No. 58 Tahun 2001 tentang Pembinaan Pengawasan dan Penyelenggaraan

Perlindungan Konsumen.

� ��

f. Surat Edaran Dirjen Perdagangan Dalam Negeri No. 235/DJPDN/VII/2001

tentang Penanganan Pengaduan Konsumen yang ditujukan kepada seluruh

dinas Indag Prop/Kab/Kota.

g. Surat Edaran Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri No.

795/DJPDN/SE/12/2005 tentang Pedoman Pelayanan Pengaduan Konsumen.

Selain hal tersebut di atas terdapat juga hukum tertulis yang berkaitan dengan

perlindungan konsumen. Sejak zaman penjajahan Hindia Belanda sudah ada

beberapa peraturan yang berkaitan dengan perlindungan konsumen, misalnya

sebagai berikut:

a. Vuurwerk Ordonnantie (Ordonasi Petasan), S. 1932-143.

b. Sterkwerkannde Geneesmiddelen Orgonnantie (Ordonasi Obat Keras), S.

1937-641.

c. Gevaarlijke Stoffen Ordonnantie (Ordonasi Bahan-Bahan Berbahaya), S.

1949-377.

d. Tin Ordonnantie (Ordonasi Timah Putih), S. 1931-509.

e. Verpakkings Ordonnantie (Ordonasi Kemasan), S. 1935 No. 161.

Setelah kemerdekaan, walaupun Undang-Undang yang membahas secara

khusus tentang perlindungan konsumen belum ada, tetapi dalam peraturan

perundang-undangan telah dijelaskan secara parsial yang berhubungan

dengannya, misalnya:

a. Undang-Undang Pokok Kesehatan, UU No. 9 Tahun 1960.

b. Undang-Undang Barang, UU No. 10 Tahun 1961.

c. Undang-Undang Narkotika, UU No. 9 Tahun 1976.

d. Undang-Undang Lingkungan Hidup, UU No. 4 Tahun 1982.

e. Undang-Undang Wajib Daftar Perusahaan, UU No. 3 Tahun 1982.

� ��

Selain itu juga disebutkan mengenai perlindungan konsumen dalam peraturan

perundang-undangan terutama dalam UUD 1945 pasal 33 dan 27, serta dalam

Pancasila sila 2 dan sila 5.

4. Hak Dan Kewajiban Konsumen

a. Hak Konsumen

Signifikasi pengaturan hak-hak konsumen melalui undang-undang

merupakan bagian dari implementasi sebagi suatu negara kesejahteraan, karena

Undang undang dasar 1945 disamping sebagai konstitusi politik juga dapat

disebut sebagai konstitusi ekonomi, yaitu konstitusi yang mengandung ide negara

kesejahteraan yang tumbuh berkembang karena pengaruh sosialisme sejak abad

sembilan belas. Melalui Undang undang No.8 tahun 1999 tentang Perlindungan

Konsumen menetapkan 9 (sembilan) hak konsumen yaitu :

1. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi

barang dan/atau jasa;

2. Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau

jasa tersebut ssesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang

dijanjikan;

3. Hak atas informasi yang benar,jelas dan jujur mengenai kondisi serta

jaminan barang dan/atau jasa;

4. Hak untuk didapat dan di dengar pendapat dan keluhannya atas barang

dan/atau jasa yang digunakan;

5. Hak untuk mendapatkan advokasi perlindungan konsumen secara patut;

6. Hak untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan konsumen;

� �

7. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak

diskriminatif;

8. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian,

apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian

atau tidak sebagaiamana mestinya;

9. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan

lainnya.

Dari sembilan butir hak konsumen yang diberikan di atas terlihat bahwa

masalah kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen merupakan hal

yang paling pokok dan utama dalam perlindungan konsumen. Barang dan/atau

jasa yang penggunaanya tidak memberikan kenyamanan, terlebih lagi yang tidak

aman atau membahayakan keselamatan konsumen jelas tidak layak untuk

diedarkan dalam masyarakat. Selanjutnya, untuk menjamin suatu barang dan/atau

jasa dalam penggunaanya akan nyaman, aman maupun tidak membahayakan

konsumen penggunanya, maka konsumen diberikan hak untuk memilih barang

dan/atau jasa yang dikehendakinya berdasarkan atas keterbukaan informasi yang

benar, jelas, jujur.Jika terdapat penyimpangan yang merugikan, konsumen berhak

untuk didengar, memperoleh advokasi, pembinaan, perlakuan yang adil,

kompensasi sampai ganti rugi,13

Hak-hak dalam undang-undang Perlindungan Konsumen diatas

merupakan penjabaran dari pasal-pasal yang bercirikan negara kesejahteraan,

yaitu pasal 27 ayat(2) dan pasal 33 ayat (8) Undang-undang Dasar Negara

Republik Indonesia.

���������������������������������������� ����������������������Gunawan Widjaja dan Ahnad Yani, “Hukum tentang Perlindungan Konsumen” Gramedia Pustaka

Utama, Jakarta .hlm 98�

� ��

Menurut Ahmadi Miru & Sutarman Yodo, pada dasarnya dikenal 10

macam hak konsumen, yaitu14 :

1. Hak untuk keamanan dan keselamatan, hak ini dimaksudkan untuk menjamin keamanan dan keselamatan konsumen dalam penggunaan barang atau jasa yang di perolehnya sehingga terhindar dari kerugian apabila mengkonsumsi suatu produk;

2. Hak untuk memperoleh informasi, di maksudkan agar konsumen dapat memperoleh gambaran yang benar tentang suatu produk barang dan jasa;

3. Hak untuk memilih, dimaksudkan untuk memberikan kebebasan kepada konsumen untuk memilih produk-produk tertentu sesuai dengan kebutuhannya, tanpa ada tekanan dari pihak luar ;

4. Hak untuk di dengar, merupakan hak dari konsumen agar tidak di rugikan lebih lanjut, atau hak untuk menghindarkan diri dari kerugian;

5. Hak untuk memperoleh kebutuhan hidup, merupakan hak yang sangat mendasar karena menyangkut hak untuk hidup

6. Hak untuk memperoleh ganti rugi, hak ini dimaksudkan untuk memulihkan keadaan yang telah menjaadi rusak akibat adanya penggunaan barang atau jasa yang tidak memenuhi harapan konsumen;

7. Hak untuk memperoleh pendidikan konsumen, dimaksudkan agar konsumen memperoleh pengetahuan maupun keterampilan yangdiperlukan agar dapat terhindar dari kerugian akibat penggunaan produk;

8. Hak memperoleh lingkungan hidup yang bersih dan sehat, merupakan hak yang penting bagi konsumen dan lingkungan;

9. Hak untuk mendapatkan barang sesuai dengan nilai tukar yang di berikannya, hak ini dimaksudkan untuk melindungi konsumen dari kerugian akibat permainan harga secara tidak wajar;

10. Hak untuk mendapatkan upaya penyelesaian hukum yang patut, hak ini dimaksudkan untuk memulihkan keadaan konsumen yang telah dirugikan akibat penggunaan produk, dengan melalui jalur hukum

Dari sepuluh hak konsumen yang terdapat diatas terlihat bahwa masalah

kenyamanan, keamanan dan keselamatan konsumen merupakan hal yang paling

pokok dan utama dalam perlindungan konsumen15

Lebih lanjut Ahmadi Miru mengemukakan bahwa secara garis besar hak

konsumen dapat menjadi tiga yaitu16 :

1. Hak yang dimaksudkan untuk mencegah konsumen dari kerugian, baik kerugian personal, maupun kerugian harta kekayaan;

2. Hak untuk memperoleh barang dan atau jasa dengan harga yang wajar; dan

���������������������������������������� ���������������������Ibid , halaman 40-46�

���Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani,Op. cit,halaman 30

���Ahmadi Miru & Sutarman Yudo, Hukum Perlindungan Konsumen, Raja GrafindoPersada, Jakarta, �

� ��

3. Hak untuk memperoleh penyelesaian yang patut terhadap permasalahan yang dihadapi

b. Kewajiban Konsumen

Selain memperoleh hak tersebut, sebagai penyeimbang konsumen juga

diwajibkan untuk;

1. Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau

pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan;

2. Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa;

3. Membayar dengan nilai tukar yang telah disepakati;

4. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara

patut.

Itu dimaksudkan agar konsumen sendiri dapat memperoleh hasil yang optimum

atas perlindungan dan/atau kepastian hukum bagi dirinya.

Menurut Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia Konsumen diharuskan

memiliki 6 kewaspadaan yaitu17:

1. Kritis terhadap iklan dan promosi dan jangan mudah terbujuk;

2. Teliti sebelum membeli;

3. Biasakan belanja sesuai rencana;

4. Memilih barang yang bermutu dan berstandar yang memenuhi aspek

keamanan, keselamatan,kenyamanan dan kesehatan;

5. Membeli sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan;

6. Perhatikan label, keterangan barang dan masa kadaluarsa:

���������������������������������������� ����������������������http://www.ylki.or.id/infos/view/hak-dan-kewajiban-konsumen�

� ��

5. Tujuan Perlindungan Konsumen

Hukum perlindungan konsumen mempunyai tujuan untuk melindungi

konsumen secara langsung dan pelaku usaha secara tidak langsung. Dalam Pasal

3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen

disebutkan bahwa Perlindungan konsumen bertujuan :

1. Meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk

melindungi diri;

2. Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan caramenghindarkannya

dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa;

3. Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan, dan

menuntut hak-haknya sebagai konsumen;

4. Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur

kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan

informasi;

5. Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan

konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam

berusaha;

6. Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan

usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan,

dan keselamatan konsumen

Pasal 3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan

Konsumen ini merupakan isi dari pembangunan nasional karena tujuan

perlindungan konsumen yang ada merupakan sasaran akhir yang harus dicapai

dalam pelaksanaan pembangunan di bidang hukum perlindungan konsumen.

� ��

Adanya hukum perlindungan konsumen dengan Undang-Undang Perlindungan

Konsumen diharapkan mampu memberi jaminan kepada konsumen berupa

kepastian hukum atas perlindungan konsumen, hal ini dikarenakankonsumen

memiliki kedudukan yang lebih lemah di bandingkan dengan pelaku usaha.

Hukum perlindungan konsumen dapat dijadikan sarana pendidikan baik itu

secara langsung maupun tidak langsung , baik bagi konsumen maupun pelaku

usaha sehingga apa yang menjadi tujuan hukum perlindungan konsumen dapat

tercapai.

B. Tinjauan Umum Tentang Pelaku Usaha

1. Pengertian Pelaku usaha

Pasal 1 ayat (3) UU No.8 tentang Perlindungan Konsumen, Memberikan

pengertian Pelaku Usaha, Sebagai berikut :

“Pelaku Usaha adalah setiap perseorangan atau badan usaha baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum Negara Republik Indonesia, baik diri sendiri maupun bersama sama melalui perjanjian penyelenggaraan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi’’.

Penjelasan Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Perlindungan Konsumen

menyebutkan: Pelaku usaha yang termasuk dalam pengertian ini adalah

perusahaan, korporasi, BUMN, koperasi, importir, pedagang, distributor dan

lain-lain.

Pengertian pelaku usaha menurut Pasal 1 huruf e Undang-Undang Nomor

5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak

Sehat adalah :

“Pelaku usaha adalah setiap orang perorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum atau bukan badan hukum yang

� �

didirikan atau berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian,menyelenggarakan berbagai usaha dalam berbagai kegiatan ekonomi.”

Luasnya pengertian pelaku usaha ini memudahkan konsumen untuk menuntut

ganti rugi kepada pelaku usaha.

Pelaku usaha yang dapat di gugat adalah sebagi berikut:

1. Yang pertama urut-urutan digugat adalah pelaku usaha yang membuat

produk tersebut jika berdomisisli di dalam negeri dan domisilinya

diketahui oleh konsumen yang dirugikan.

2. Apabila produk yang merugikan konsumen tersebut diproduksi di luar

negeri, maka yang digugat adalah importirnya, karena Undang-Undang

Perlindungan Konsumen tidak mencakup pelaku usaha diluar negeri.

3. Apabila produsen maupun importirnya dari suatu produk tidak

diketahui,maka yang digugat adalah penjual dari siapa konsumen membeli

produk tersebut.18

Pelaku usaha yang dimaksud dalam UUPK sama dengan cakupan

produsen yang dikenal di Belanda, karena produsen dapat berupa perorangan atau

badan hukum. Dalam pengertian pelaku usaha tersebut, tidaklah mencakup

ekportir atau pelaku usaha di luar negeri karena UUPK membatasi orang

perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun

bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan

dalam wilayah hukum Negara Republik Indonesia.

���������������������������������������� ����������������������Ibid, halaman 10

� ��

2. Hak-Hak Pelaku Usaha

Untuk menciptakan kenyamanan berusaha bagi pelaku usaha dan sebagai

keseimbangan atas hak-hak yang diberikan kepada konsumen, pelaku usaha juga

memiliki hak. Hak tersebut diatur dalam ketentuan Pasal 6 Undang-Undang

Perlindungan Konsumen menyebutkan mengenai hak-hak dari pelaku usaha, hak

pelaku usaha adalah:

1. Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan

mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang

diperdagangkan;

2. Hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen

yang beritikad tidak baik;

3. Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian

hukum sengketa konsumen;

4. Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa

kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang

diperdagangkan;

5. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan

lainnya.

3. Kewajiban Pelaku Usaha

Sebagai konsekuensi adanya hak pelaku usaha, pelaku usaha juga

memilikikewajiban, kewajiban tersebut diatur dalam Pasal 7 Undang-Undang

No.8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang menyebutkan berbagai

kewajiban dari pelaku usaha, yaitu :

1. Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;

� ��

2. Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan

jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan,

perbaikan dan pemeliharaan;

3. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta

tidak diskriminatif;

4. Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau

diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa

yang berlaku;

5. Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba

barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas

barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan;

6. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian

akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa

yang diperdagangkan;

7. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang

dan/atau jasa yang dterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan

perjanjian.

Ketentuan mengenai kewajiban pelaku usaha dalam Undang-Undang

Perlindungan Konsumen disebutkan cukup jelas, hanya ketentuan huruf c dan

huruf e yang diberi penjelasan. Penjelasan mengenai huruf c dan huruf e Pasal 7

Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen:

Huruf c

“Pelaku usaha dilarang membeda-bedakan konsumen dalam memberikan pelayanan. Pelaku usaha dilarang membeda-bedakan mutu pelayanan kepada konsumen.”

Huruf e

� ��

Yang dimaksud dengan barang dan/atau jasa tertentu adalah barang yang dapat diuji atau dicoba tanpa mengakibatkan kerusakan atau kerugian.”

Pelaku usaha wajib untuk beritikad baik dalam menjalankan usahanya.

Kewajiban pelaku usaha untuk beritikad baik merupakan salah satu asas

yangterdapat dalam hukum perjanjian, yang diatur dalam Pasal 1338 ayat (3)

KUHPerdata. Dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen tampak bahwa

itikad baik lebih ditekankan kepada pelaku usaha, karena meliputi semua tahapan

dalam melakukan kegiatan usahanya, sehingga dapat diartikan bahwa kewajiban

pelaku usaha untuk beritikad baik dimulai sejak barang dirancang/

diproduksisampai pada tahap purna jual, sebaliknya konsumen hanya diwajibkan

beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/ atau jasa.19

Kewajiban dari pelaku usaha untuk memberikan informasi yang benar, jelas dan

jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi

penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan, merupakan hal yang

penting bagi konsumen. Karena dengan adanya informasi yang benar, jelas dan

jujur tersebut, konsumen dapat memilih barang dan/atau jasa sesuai dengan

kebutuhan konsumen. Menurut Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, informasi

yang tidak memadai dari pelaku usaha merupakan salah satu jenis cacat produk

(cacat informasi), yang akan sangat merugikan konsumen20. Melihat hak dan

kewajiban yang terdapat dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen, yang

diberikan kepada konsumen dan pelaku usaha nampak bahwa perlindungan

konsumen diberikan secara langsung dan secara tidak langsung kepada pelaku

usaha. Pengaturan yang lebih banyak bersifat melindungi konsumen namun pada

akhirnya, secara tidak langsung juga akan melindungi kepentingan pelaku usaha.

���������������������������������������� ���������������������Ibid , halaman 54

���Ibid, halaman 55�

� ��

C. Penyelesaian Sengketa Konsumen

1. Pengertian Penyelesaian Sengketa Konsumen

Sengketa (konflik) konsumen adalah suatu kondisi di mana pihak

konsumen menghedaki agar pihak pelaku usaha berbuat atau tidak berbuat sesuai

yang diinginkan, tetapi pihak pelaku usaha menolak keinginan itu.21

Romy Hanitijo memberikan pengertian sengketa sebagai situasi (keadaan) di

mana dua atau lebih pihak-pihak memperjuangkan tujuan mereka masing-masing

yang tidak dapat dipersatukan dan di mana tiap-tiap pihak mencoba meyakinkan

pihak lain mengenai kebenaran tujuannya masing-masing.22

Joni Emerzon memberikan pengertian konflik/perselisihan adalah adanya

pertentangan atau ketidaksesuaian antara para pihak yang akan dan sedang

mengadakan hubungan atau kerjasama.23

Keputusan Memperindag Nomor 350/MPP/Kep/12/2001 memberikan

definisi sengketa konsumen adalah sengketa antara pelaku usaha dengan

konsumen yang menuntut ganti rugi atas kerusakan, pencemaran dan/atau yang

menderita kerugian atas kerusakan, pencemaran, dan/atau yang menderita

kerugian akibat mengkonsumsi barang dan/atau memanfaatkan jasa.

Sengketa konsumen dimaksudkan bukan sebagai sengketa dalam arti

luas, yakni sengketa yang melingkup hukum pidana dan hukum administrasi

Negara karena UUPK mengatur penyelesaian sengketa bersifat ganda dan

���������������������������������������� ���������������������Soemali, Mekanisme Penyelesaian Sengketa Konsumen Melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen.Disampaikan dalam seminar Penyelesaian Sengketa Konsumen Melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, Fakultas Hukum, Universitas Airlangga, Surabaya 5 Mei 2010.����Ronny Hanitijo, Hukum dan Masalah Penyelesaian Konflik, Majalah Fakutas Hukum UNDIP,

Semarang, 1984, hal. 22.����Joni Emerson, Alternatif Penyelesaian Sengketa di luar Pengadilan (negosiasi, mediasi, konsiliasi

dan arbitrasi), Gramedia Pustaka, Jakarta, 2001, hal. 21.���

� �

alternative. Pengertian bersifat ganda disini ialah penyelesaian sengketa dengan

berbagai system, yakni

• Penyelesaian sengketa perdata di pengadilan ( in court resolution ) ( pasal 45,

46 dan 48 );

• Penyelesaian sengketa perdata diluar pengadilan ( out court resolution atau

disebut juga alternative dispute resolution ) ( pasal 45, 46, 47);

• Penyelesaian perkara secara pidana ( criminal court resolution) (pasal 59, 61

s/d 63);

• Penyelesaian perkara secara administrative ( administrative court resolution )

(pasal 60)

a. Penyelesaian Sengketa di Peradilan Umum

Pasal 45 ayat 1 UUPK menyatakan “setiap konsumen yang dirugikan

dapat menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan

sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan yang berada

dilingkungan peradilan umum.” Ketentuan ayat berikutnya mengatakan,

“penyelesaian sengketa konsumen dapat ditempuh melalui pengadilan atau diluar

pengadilan berdasarkan pilihan sukarela para piihak yang bersengketa.”

Ayat pertama itu tidak jelas jelas benar. Disitu hanya dikatakan, setiap konsumen

yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha. Apakah secara a-contrario dapat

ditafsirkan, hak itu tidak diberikan kepada pelaku usaha ? tentu, jika melihat

kedalam asas-asas hokum acara, hak yang sama semua diberikan kepada semua

pihak yang berkepentingan. Kemudian pasal 45 ayat 3 UUPK

menyebutkan,”penyelesaian sengketa diluar pengadilan sebagaimana dimaksud

� ��

pada ayat 2 tidak menghilangkan tanggung jawab pidana sebagaimana diatur

dalam undang-undang.” Jelas seharusnya bukan hanya tanggung jawab pidana

yang tetap dibuka kesempatannya untuk diperkarakan, melainkan juga tanggung

jawab lainnya, missalnya dibidang administrasi Negara.

Konsumen yang dirugikan haknya, tidaak hanya diwakilkan oleh jaksa

dalam penuntutan diperadilan umum kasus pidana, tetapi ia sendiri dapat juga

menggugat pihak lain dilingkungan peradilan tata usaha Negara jika terdapat

sengketa administratif didalamnya. Hal ini dikemukakan terakhir ini dapat terjadi,

misalnya dalam kaitannya dengan kebijakan aparat pemerintah yang ternyata

dipandang merugikan konsumen secara individual. Bahkan, mengingat makin

banyaknya perusahaan multinasional yang beroperasi di Indonesia, juga tidak

tertutup kemungkinan ada konsumen yang menggugat pelaku usaha di peradilan

Negara lain, sehingga sengketa konsumen inipun dapat bersifat transnasional

b. Penyelesaian sengketa di Peradilan Tata Usaha Negara

Pasal 45 ayat 1 dan pasal 46 ayat 2 UUPK terkesan hanya membolehkan

gugatan konsumen diajukan kelingkungan peradilan umum. Pembatasan ini jelas

menghalangi konsumen yang perkaranya mungkin menyentuh kompetensi

peradilan tata usaha Negara. Kendati demikian, jika konsumen diartikan secara

luas yakni mencakup juga penerimaan jasa layanan publik, tentu peradilan tata

usaha Negara seharusnya patut juga melayani gugatan tersebut. Untuk itu perlu

diperhatikan, bahwa syarat-syarat, bahwa sengketa itu berawal dari adanya

penetapan tertulis, bersifat konkret, individual dan final, harus tetap terpenuhi.

Hukum administrasi Negara cukup penting didalam masalah perlindungan

konsumen. Aspek hukum administratif merupakan sarana alternatif publik

� ��

menuntut kebijakan pemerintah untuk meningkatkan perlindungan konsumen.

Aspek ini berkaitan dengan perizinan yang diberikan pemerintah kepada pelaku

usaha. Sanksi administratif sebenarnya lebih efektif dari pada sanksi perdata dan

pidana karena dapat diterapkan langsung dan sepihak. Pemerintah misalnya

secara sepihak dapat menjatuhkan sanksi untuk membatalkan izin yang diberikan

tanpa meminta persetujuan pihak lain.

Perkembangan baru dibidang hukum administrative menurut UUPK

tercantum dalam pasal 60 ayat 1 tentang sanksi administratif. Ayat ini

menentukan, BPSK berwenang menjatuhkan sanksi administrative terhada pelaku

usaha. Seperti diketahui, BPSK adalah lembaga alternatif penyelesaian sengketa

konsumen yang dibentuk sebagai organ pemerintah hingga ketingkat kabupaten

atau pemerintah kota. Dengan demikian, organ pemerintah yang berwenang

melembaga-lembaga administrative telah bertambah diamping lembaga-lembaga

teknis (jika bersifat non litigatif) juga PTUN dan BPSK (litigatif).

c. Penyelesaian Sengketa Konsumen di Luar Pengadilan

Alternative dispute resolution (ADR) disebut juga dengan Alternatif

Penyelesaian Sengketa (APS) dalam arti luas adalah proses penyelesaian

sengketa dibidang perdata diluar pengadilan melalui cara-cara arbitrase,

negoisasi, konsultasi, mediasi, konsiliasi yang disepakati pihak-pihak. Menurut

Undang-undang Perlindungan Konsumen, penyelesaian dari permasalahan

konsumen dapat dipecahkan melalui jalan peradilan maupun non-peradilan.

Mereka yang bermasalah harus memilih jalan untuk memecahkan permasalahan

mereka. Penyelesaian dengan cara non-peradilan bisa dilakukan melalui

Alternatif Resolusi Masalah (ARM) di BPSK, LPKSM, Direktorat Perlindungan

� ��

Konsumen atau lokasi-lokasi lain baik untuk kedua belah pihak yang telah

disetujui, ketika kedua pihak telah memutuskan untuk melakukan penyelesaian

non-peradilan, nantinya ketika mereka akan pergi ke pengadilan (lembaga

peradilan) untuk masalah yang sama, mereka hanya dapat mengakhiri tuntutan

mereka di pengadilan jika penyelesaian non peradilan gagal. ARM berdasarkan

pertimbangan bahwa penyelesaian peradilan di Indonesia memiliki

kecenderungan proses yang sangat formal.

d. Penyelesaian melalui LPKSM (Lembaga Perlindungan Konsumen

Swadaya Masyarakat)

Proses penyelesaian sengketa melalui LPKSM menurut Undang-

Undang Perlindungan Konsumen dapat dipilih dengan cara mediasi, konsiliasi

dan arbitrase. Dalam prosesnya para pihak yang bersengketa/bermasalah

bersepakat memilih cara penyelesaian tersebut. Hasil proses penyelesaiannya

dituangkan dalam bentuk kesepakatan (Agreement) secara tertulis, yang wajib

ditaati oleh kedua belah pihak dan peran LPKSM hanya sebagai mediator,

konsiliator dan arbiter. Penentuan butir-butir kesepakatan mengacu pada

peraturan yang dimuat dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen serta

undang-undang lainnya yang mendukung.

e. Penyelesaian melalui BPSK (Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen)

BPSK adalah institusi non struktural yang memiliki fungsi sebagai

“institusi yang menyelesaikan permasalahan konsumen diluar pengadilan secara

murah, cepat dan sederhana”. Badan ini sangat penting dibutuhkan di daerah dan

kota di seluruh Indonesia. Anggota-anggotanya terdiri dari perwakilan aparatur

� ��

pemerintah, konsumen dan pelaku usaha. Konsumen yang bermasalah terhadap

produk yang dikonsumsi akan dapat memperoleh haknya secara lebih mudah dan

efisien melalui peranan BPSK. Selain itu bisa juga menjadi sebuah akses untuk

mendapatkan infomasi dan jaminan perlindungan hukum yang sejajar baik untuk

konsumen maupun pelaku usaha..

Dalam menangani dan mengatur permasalahan konsumen, BPSK memiliki

kewenangan untuk melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan dan

keterangan dari para pihak yang bersengketa.. Tagihan, hasil test lab dan bukti-

bukti lain oleh konsumen dan pengusaha dengan mengikat penyelesaian akhir.

2. Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen

Dari permasalahan yang muncul dalam kaitannya dengan perlindungan

konsumen, maka melalui UUPK pasal 49 ayat (1) “pemerintah membentuk

Badan penyelesaian Sengketa Konsumen di Daerah tingkat II untuk penyelesaian

sengketa di luar pengadilan”.

Ketentuan pasal 49 ayat (1) UUPK, yang menetapkan pembentukan

Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) hanya pada daerah tingkat II

memperlihatkan maksud pembuat undang-undang bahwa putusan BPSK sebagai

badan penyelaesaian konsumen di luar pengadilan tidak ada upaya banding atau

kasasi. Rumusan dalam pasal 49 ayat (1) diatas menyangkut tugas BPSK “untuk

penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan” adalah tugas pokok, sebab

masih ada tugas lain dari BPSK yang memberikan konsultasi perlindungan

konsumen, melakukan pengawasan terhadap pencantuman klausula baku, dan

menerima pengaduan konsumen, serta tugas-tugas lainnya.24

���������������������������������������� �������������������24 Ahmadi miru dan Sutarman Yodo. Hukum Perlindungan Konsumen. Raja Grafindo Persada, Jakarta Hal 242

� �

Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) merupakan suatu

lembaga khusus yang dibentuk oleh pemerintah di Ibu Kota Daerah Kabupaten

atau Daerah Kota untuk menangani dan menyelesaiakan sengketa konsumen di

luar pengadilan. Menurut pasal 1 angka 11 Undang-Undang Perlindungan

Konsumen, yang dimaksud dengan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen

adalah badan yang bertugas menangani dan menyelesaikan sengketa antara

pelaku usaha dan konsumen. Lembaga ini juga memiliki kewenangan

menyelesaikan sengketa dan memberikan denda kepada penjual atau produsen

yang merugikan masyarakat.

Penyelesaian sengketa di luar pengadilan (BPSK) ini, dikhususkan bagi

konsumen perorangan yang memiliki perselisihan dengan pelaku usaha. Sifat

penyelesaian sengketa yang cepat dan murah, yang memang dibutuhkan oleh

konsumen, terutama konsumen perorangan.

3. Bentuk-Bentuk Penyelesaian Sengketa

Sesuai ketentuan Pasal 52 huruf a Undang – Undang Nomor 8 Tahun

1999 ditegaskan bahwa tugas dan wewenang badan penyelesaian sengketa

konsumen melaksanakan penanganan dan penyelesaian sengketa dengan cara

melalui mediasi atau arbitrasi atau konsiliasi.

Sengketa konsumen tersebut dapat diselesaikan melalui Badan

Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) atau mengajukan ke badan peradilan

di tempat kedudukan konsumen. Penyelesaian sengketa ini seperti terdapat dalam

Pasal 23 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 menyatakan pelaku usaha yang

menolak dan/atau tidak memberi tanggapan dan atau tidak memenuhi ganti rugi

atas ketentuan konsumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1), ayat

� �

(2) dan ayat (4) dapat digugat melalui badan penyelesaian sengketa konsumen

atau mengajukan ke badan peradilan di tempat kedudukan konsumen.

Penyelesaian sengketa konsumen juga diatur dalam Pasal 45 menyatakan:

1. Setiap konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui

lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku

usaha atau melalui peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum;

2. Penyelesaian sengketa konsumen dapat ditempuh melalui pengadilan atau di

luar pengadilan berdasarkan pilihan suka rela para pihak yang bersengketa;

3. Penyelesaian sengketa di luar pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat

(2) tidak menghilangkan tanggung jawab pidana sebagaimana diatur dalam

undang-undang;

Apabila tidak dipilih upaya penyelesaian sengketa di luar pengadilan,

gugatan melalui pengadilan kiranya dapat ditempuh apabila upaya tersebut

dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu pihak atau oleh para pihak yang

bersengketa.

Tata cara penyelesaian sengketa konsumen melalui BPSK diatur dalam Surat

Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 350/MPP/Kep/2002.

Penyelesaian sengketa konsumen oleh BPSK melalui cara mediasi atau

konsiliasi atau arbitrasi dilakukan atas pilihan dan persetujuan para pihak yang

bersangkutan. Penyelesaian sengketa konsumen ini bukan merupakan proses

penyelesaian sengketa secara berjenjang.

Adapun proses penyelesaian sengketa:25

1. Konsiliasi:

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, konsiliasi diartikan sebagai

“usaha mempertemukan keinginan pihak yang berselisih untuk mencapai ���������������������������������������� ����������������������http://www.bpsksolo.com/2011/05/tata-cara-penyelesaian-sengketa.html �

� �

persetujuan dan menyelesaikan perselisihan.”26 Menurut Oppenheim, konsiliasi

adalah “proses penyelesaian sengketa dengan menyerahkannya kepada suatu

komisi orang-orang yang bertugas untuk menguraikan atau menjelaskan fakta-

fakta dan (biasanya setelah mendengar para pihak dan mengupayakan agar

mereka mencapai suatu kesepakatan), membuat usulan-usulan untuk suatu

penyelesaian, namun keputusan tersebut tidak mengikat.”27

Di dalam konsiliasi, seorang konsiliator akan mengklarifikasikan

masalah-masalah yang terjadi dan bergabung di tengah-tengah para pihak, tetapi

kurang aktif dibandingkan dengan seorang mediator dalam menawarkan pilihan-

pilihan penyelesaian sengketa. Konsiliasi menyatakan, secara tidak langsung

suatu kebersamaan para pihak dimana pada akhirnya kepentingan-kepentingan

bergerak mendekat dan selanjutnya dicapai suatu penyelesaian yang memuaskan

kedua belah pihak.

a. BPSK membentuk sebuah badan sebagai pasif fasilitator;

b. Badan yang membiarkan yang bermasalah untuk menyelesaikan masalah

mereka secara menyeluruh oleh mereka sendiri untuk bentuk dan jumlah

kompensasi;

c. Ketika sebuah penyelesaian dicapai, itu akan dinyatakan sebagai

persetujuan rekonsiliasi yang diperkuat oleh keputusan BPSK;

d. Penyelesaian dilaksanakan paling lama 21 hari kerja.

���������������������������������������� ����������������������Pusat Pembinaan Dan Pengembangan Bahasa, Op.Cit., hal. 457

���Joni Emirzon, Alternatif Penyelesaian Sengketa Di Luar Pengadilan, Gramedia Pustaka Utama,

Jakarta, 2001, hal. 91.�

� �

2.Mediasi:

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, mediasi diartikan sebagai

“proses pengikutsertaan pihak ketiga dalam penyelesaian suatu perselisihan

sebagai penasihat.”28Ada beberapa pengertian mediasi, yaitu:29

1. Mediasi adalah intervensi terhadap suatu sengketa atau negosiasi oleh pihak

ketiga yang dapat diterima, tidak berpihak dan netral yang tidak mempunyai

kewenangan untuk mengambil keputusan dalam membantu para pihak yang

berselisih dalam upaya mencapai kesepakatan secara sukarela dalam

penyelesaian permasalahan yang disengketakan.

2) Mediasi adalah suatu proses di mana para pihak dengan bantuan seseorang

atau beberapa orang, secara sistematis menyelesaikan permasalahan yang

disengketakan untuk mencari alternatif dan mencapai penyelesaian yang

dapat mengakomodasi kebutuhan mereka.

3) Mediasi adalah upaya penyelesaian sengketa para pihak dengan kesepakatan

bersama melalui mediator yang bersikap netral, dan tidak membuat

keputusan atau kesimpulan bagi para pihak tetapi menunjang fasilitator untuk

terlaksananya dialog antar pihak dengan suasana keterbukaan, kejujuran dan

tukar pendapat untuk tercapainya mufakat.

Pada dasarnya mediasi adalah suatu proses dimana pihak ketiga yaitu

suatu pihak luar yang netral terhadap sengketa, mengajak pihak yang

bersengketa pada suatu penyelesaian sengketa yang disepakati. Di sini

mediator berada ditengah-tengah dan tidak memihak pada salah satu pihak.

Peran mediator yaitu memantapkan garis-garis komunikasi dan dialog

diantara kedua belah pihak, yang akan mengantarkan pemahaman

���������������������������������������� ����������������������Pusat Pembinaan Dan Pengembangan Bahasa, Op.Cit., hal.569�

��Joni Emirzon., Op.Cit., hal. 67.�

� �

kebersamaan yang lebih besar. Pada akhirnya suatu kesepakatanakan tercipta

tanpa cara-cara merugikan.

Cara mediasi sama halnya dengan konsiliasi, cara mediasi ditempuh

atas inisiatif salah satu pihak atau para pihak. Bedanya dengan konsiliasi,

pada mediasi Majelis Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen bersikap aktif

sebagai perantara dan penasihat.

Keaktifan Majelis Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen sebagai perantara

dan penasihat, terlihat dari tugas Majelis Badan Penyelesaian Sengketa

Konsumen, yaitu:30

a) Memanggil konsumen dan pelaku usaha yang bersengketa.

b) Memanggil saksi dan saksi ahli bila diperlukan.

c) Menyediakan forum bagi konsumen dan pelaku usaha yang bersengketa.

d) Secara aktif mendamaikan konsumen dan pelaku usaha yang bersengketa.

e) Secara aktif memberikan saran atau anjuran penyelesaian sengketa

konsumen sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang

perlindungan konsumen.

3. Arbitrasi:

a. Yang bermasalah memilih badan CDSB sebagai arbiter dalam

menyelesaikan masalah konsumen;

b. Kedua belah pihak seutuhnya membiarkan badan tersebut menyelesaikan

permasalahan mereka

c. BPSK membuat sebuah penyelesaian final yang mengikat;

d. Penyelesaian harus diselesaikan dalam jangka waktu 21 hari kerja paling

lama.

���������������������������������������� ����������������������Yusuf Shofi, Pelaku Usaha ,Konsumen, dan Tindak Pidana Korporasi, Ghalia Indonesia, Jakarta,

2002, hal. 211.

e. Ketika kedua belah pihak tidak puas pada penyelesaian tersebut, kedua

belah pihak dapat mengajukan keluhan kepada pengadilan negeri dalam

14 hari setelah penyelesaian di informasikan;

f. Tuntutan dari kedua belah pihak harus dipenuhi dengan persyaratan

sebagai berikut :

(1) Surat atau dokumen yang diberikan ke pengadilan adalah diakui atau

dituntut salah/palsu;

(2) Dokumen penting ditemukan dan di sembunyikan oleh lawan; atau;

(3) Penyelesaian dilakukan melalui satu dari tipuan pihak dalam

investigasi permasalahan di pengadilan.

g Pengadilan Negeri dari badan peradilan berkewajiban memberikan

penyelesaian dalam 21 hari kerja;

h. Jika kedua belah pihak tidak puas pada keputusan

pengadilan/penyelesaian, mereka tetap memberikan kesempatan untuk

mendapatkan sebuah kekuatan hukum yang cepat kepada pengadilan

tinggi dalam jangka waktu 14 hari.

i. Pengadilan Tinggi badan pengadilan berkewajiban memberikan

penyelesaian dalam jangka waktu 30 hari.

Penyelesaian sengketa konsumen dengan cara konsiliasi dilakukan

sendiri oleh para pihak yang bersengketa dengan didampingi oleh majelis

yang bertindak pasif sebagai konsiliator. Penyelesaian sengketa konsumen

dengan cara mediasi dilakukan sendiri oleh para pihak yang bersengketa

dengan didampingi oleh majelis yang bertindak aktif sebagai mediator.

Penyelesaian sengketa konsumen dengan cara arbitrasi dilakukan sepenuhnya

dan diputuskan oleh majelis yang bertindak sebagai arbiter.

� �

Majelis dibentuk oleh Ketua BPSK, yang jumlah anggotanya ganjil

dan sedikit-dikitnya 3 (tiga) yang memenuhi semua unsur, yang unsur

pemerintah, unsur pelaku usaha dan unsur konsumen, serta dibantu oleh

seorang panitera. Putusan majelis bersifat final dan mengikat.

Penyelesaian sengketa konsumen wajib dilaksanakan selambat-

lambatnya dalam waktu 21 (dua pulah satu) hari kerja, terhitung sejak

permohonan diterima oleh sekretariat BPSK. Terhadap putusan majelis, para

pihak yang bersengketa dapat mengajukan keberatan kepada pengadilan

negeri selambat-lambatnya dalam waktu 14 (empat belas) hari kerja terhitung

sejak pemberitahuan putusan majelis diterima oleh para pihak yang

bersengketa.

Keberatan terhadap putusan BPSK, tata cara pengajuannya diatur

dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 01 Tahun 2006. Keberatan adalah

upaya bagi pelaku usaha dan konsumen yang tidak menerima putusan BPSK.

Keberatan tersebut hanya dapat diajukan terhadap putusan arbitrasi yang

dikeluarkan oleh BPSK. Keberatan ini dapat diajukan baik oleh pelaku usaha

dan/atau konsumen kepada pengadilan negeri di tempat kedudukan hukum

konsumen. Keberatan terhadap putusan arbitrasi BPSK sesuai Pasal 6 ayat (3)

Perma Nomor 01 Tahun 2006 dapat diajukan apabila memenuhi persyaratan

pembatalan putusan arbitrasi sebagaimana diatur dalam Pasal 70 Undang-

Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian

Sengketa, yaitu:

a) Surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan

dijatuhkan, diakui palsu dan dinyatakan palsu;

� �

b) Setelah putusan arbitrase BPSK diambil, ditemukan dokumen yang

bersifat menentukan yang disembunyikan oleh pihak lawan, atau;

c) Putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu

pihak dalam pemeriksaan sengketa.

Dalam hal keberatan diajukan atas dasar syarat tersebut di atas, majelis

hakim dapat mengeluarkan pembatalan putusan BPSK. Dalam hal keberatan

diajukan atas dasar alasan lain di luar syarat tersebut, majelis hakim dapat

mengadili sendiri konsumen yang bersangkutan. Dalam mengadili sendiri,

majelis hakim wajib memperhatikan ganti rugi sebagaimana diatur dalam

Pasal 19 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999. Majelis hakim harus

memberikan putusan dalam waktu 21 (dua puluh satu) hari sejak sidang

pertama dilakukan.

D. Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM)

Dilihat dari sejarahnya, gerakan perlindungan konsumen di Indonesia

baru benar-benar dipopulerkan sekitar 20 tahun lalu, yakni dengan berdirinya

suatu lembaga swadaya masyarakat (non governmental organization) yang

bernama Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI). YLKI muncul dari

sekelompok kecil anggota masyarakat yang semula justru bertujuan

mempromosikan hasil produksi Indonesia. Ajang promosi yang diberi nama

pekan swakarsa ini kemudian menimbulkan ide untuk mendirikan wadah bagi

gerakan perlindungan konsumen di Indonesia.31

���������������������������������������� �������������������31 Shidarta, 2004, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta, hlm. 49

� �

1. Kaedah Hukum LPKSM

Adapun aturan mengenai LPKSM diatur dalam beberapa peraturan

perundang-undangan dan aturan-aturan, antara lain :

1. Undang-undang Nomor 8 tahun 1985 tentang Organisasi Massa (Ormas).

2. UU No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

3. Undang-undang Nomor 16 tahun 2001 tentang Yayasan

4. Peraturan Pemerintah Nomor 58 tahun 2001 TentangPembinaan Dan

Pengawasan Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen

5. Peraturan Pemerintah Nomor 59 tahun 2001 Tentang Lembaga

Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat:

6. Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan

No.302/MPP/Kep/10/2001 Tentang Pendaftaran Lembaga Perlindungan

Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM).

7. Permendagri Nomor 33 tahun 2012 tentang Pedoman Pendaftaran

Organisasi Kemasyarakatan Di Lingkungan Kementerian Dalam Negeri

Dan Pemerintah Daerah.

2. Tugas LPKSM

Pasal 3 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 59 Tahun 2001

Tentang Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat.

Tugas LPKSM meliputi kegiatan :

a. menyebarkan informasi dalam rangka meningkatkan kesadaran atas

hak dan kewajiban serta kehati hatian konsumen, dalam mengkonsumsi

barang dan/atau jasa;

b. memberikan nasihat kepada konsumen yang memerlukan;

� �

c. melakukan kerja sama dengan instansi terkait dalam upaya

mewujudkan perlindungan konsumen;

d. membantu konsumen dalam memperjuangkan haknya, termasuk

menerimakeluhan atau pengaduan konsumen;

e. melakukan pengawasan bersama pemerintah dan masyarakat terhadap

pelaksanaan perlindungan konsumen.

3. YLKI

YLKI merupakan salah satu Lembaga Perlindungan Konsumen

Swadaya Masyarakat (LPKSM) yang diakui pemerintah, yang mempunyai

kegiatan menangani perlindungan konsumen. Sebagaimana diatur di dalam

pasal 44 ayat 1 UUPK Pemerintah mengakui lembaga perlindungan konsumen

swadaya masyarakat yang memenuhi syarat.

Adapun tugas dari LPKSM diatur dalam UUPK pasal 44 ayat 3 yang

kemudian dituangkan kedalam Peraturan Pemerintah RI No 59 Tahun 2001

Tentang Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat, Tugas

LPKSM meliputi kegiatan :

a) menyebarkan informasi dalam rangka meningkatkan kesadaran atas hak dan

kewajiban dan kehati-hatian konsumen dalam mengkonsumsi barang

dan/atau jasa;

b) memberikan nasihat kepada konsumen yang memerlukannya;

c) bekerjasama dengan instansi terkait dalam upaya mewujudkan perlindungan

konsumen;

d) membantu konsumen dalm memperjuangkan haknya, termasuk menerima

keluhan atau pengaduan konsumen