BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang...
Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang...
���
�
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Umum Tentang Perlindungan Konsumen
Perlindungan konsumen berasaskan manfaat, keadilan, keseimbangan,
keamanan dan keselamatan konsumen, serta kepastian hukum. Dalam penjelasan
Pasal 2 UUPK disebutkan bahwa perlindungan konsumen diselenggarakan
sebagai usaha bersama berdasarkan 5 asas yang relevan dalam pembangunan
nasional.
Memperhatikan substansi Pasal 2 UUPK dan penjelasannya, tampak
bahwa perumusannya mengacu pada filosofi pembangunan nasional yaitu
pembangunan manusia Indonesia seutuhnya yang berlandaskan pada falsafah
negara Republik Indonesia.
1. Landasan Teoritis
Teori adalah serangkaian proposisi atau keterangan yang
salingberhubungan dan tersusun dalam suatu sistem deduksi yangmengemukakan
penjelasan atas suatu gejala. Sementara itu pada suatu penelitian,
teorimemilikifungsi sebagai pemberi arahan kepada peneliti dalam melakukan
penelitian.Untuk mengkaji suatu permasalahan hukum secara lebih mendalam,
diperlukan teori yang berupa serangkaian asumsi, konsep, definisi dan proposisi
untuk menerangkan suatu fenomena sosial secara sistematis dengan
caramerumuskan hubungan antar konsep. Teori juga sangat diperlukan
dalampenulisan karya ilmiah dalam tatanan hukum positif konkrit. Hal ini sesuai
� ��
dengan pendapat Jan Gijssels dan Mark Van Koecke ”Eendegelijk inzicht indeze
rechtsteoretissche kwesties wordt blijkens het voorwoord beschouwd alseen
noodzakelijke basis voor elke wetenschappelijke studie van een konkreetpositief
rechtsstelsel” (dalam teori hukum diperlukan suatu pandangan yangmerupakan
pendahuluan dan dianggap mutlak perlu ada sebagai dasar dari studi ilmu
pengetahuan terhadap aturan hukum positif)
Prinsip dasar teori yang dikutip dalam penelitian ini berpedoman pada
objek penelitian yang diteliti, hal ini dilakukan agar penggunaan teori dalam
landasan berfikir akan tetap sesuai dengan judul yang ditentukan. Pengutipan
teori dalam penyusunan laporan penelitian ini disesuaikan dengan pokok pikiran
pengembangan teori tentang hukum perlindungan konsumen, khususnya dalam
hal penyelesaian sengketa konsumen. Oleh karenanya pengembangan pikiran
dalam penulisan laporan penelitian ini dilakukan sesuai dengan pengertian-
pengertian perlindungan konsumen yang ada pada literatur-literatur atau buku-
buku yang membahas tentang hukum perlindungan konsumen Terkait dengan
teori yang dipergunakan dalam penelitian ini, maka tidak terlepas dari sistem
hukum yang yang berlaku di Indonesia adalah sistem
hukum yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Dengan demikian setiap
sektor hukum nasional haruslah bersumberkan pada Pancasila dan UUD 1945.
Soerjono Soekanto menyatakan ada 4 faktor yang mempengaruhi proses
implementasi suatu produk hukum:
1. Kaidah hukum dan peraturannya sendiri.
2. Petugas yang menegakkannya.
3. Fasilitas yang diharapkan mendukung pelaksanaan kaidah hukum.
4. Masyarakat yang masuk kedalam ruang lingkup peraturan tersebut.
� ��
Pendapat tersebut jika dikaitkan dengan tujuan pengaturan
perlindungankonsumen adalah untuk meningkatkan harkat dan martabat serta
kesadaran konsumen akan hak-haknya, yang secara tidak langsung juga
mendorong pelaku usaha didalam menyelenggarakan kegiatan usahanya dengan
penuh rasa tanggungjawab.
2. Pengertian Konsumen
Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang
Perlindungan Konsumen disebutkan bahwa ;
“Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang
tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga,
orang lain,maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.”
Definisi ini sesuai dengan pengertian bahwa konsumen adalah pengguna
terakhir, yang merupakan pembeli barang dan/atau jasa tersebut.1 Hal tersebut
searah dengan pengertian konsumen yang dikemukakan oleh Yusuf Shofi, yaitu
bahwa yang dimaksud dengan konsumen yaitu “setiap pengguna barang atau jasa
untuk kebutuhan diri sendiri, keluarga atau rumah tangga, dan tidak untuk
memproduksi barang atau jasa lain atau memperdagangkannya kembali”.2
Pengertian mengenai konsumen, bila ditinjau dari segi etimologi, yaitu
“pemakai barang dari hasil industri”.3 Definisi ini masih mengandung unsur-
unsur pengertian yang bersifat luas, yang hal tersebut dapat diklarifikasikan ke
dalam dua kelompok, antara lain :
���������������������������������������� ���������������������Abdul Halim Barkatullah, hukum Perlindungan Konsumen, Nusa Media, Bandung, 2008, halaman 1�
��Yusuf Shofi, Pelaku Usaha ,Konsumen, dan Tindak Pidana Korporasi, Ghalia Indonesia, Jakarta,
2002, hal. 14.���Pusat Pembinaan Dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta,
1990, hal.458�
� ��
a. Konsumen antara.
Konsumen antara yaitu konsumen yang menggunakan suatu produk
sebagai bagian dari proses produksi suatu produk lainnya dengan tujuan untuk
diperdagangkan kembali. Dalam hal ini konsumen antara dalam kepustakaan
perekonomian disebut sebagai konsumen organisasional, yaitu suatu “proses
pengambilan keputusan yang digunakan organisasi untuk membangun kebutuhan
terhadap produk dan jasa yang dibeli dan mengidentifikasi, mengevaluasi
diantara merek dan pemasok alternatif”.4 jenis-jenis konsumen ini antara lain
konsumen industrial, konsumen reseller, konsumen pemerintah dan retailers.
1) Konsumen industrial, terdiri dari seluruh individu dan organisasi yang membutuhkan (membeli) barang dan jasa yang masuk kedalam produksi dari produksi dan atau jasa lain yang dijual, disewakan, atau dipasok kepada pihak lain.
2) Konsumen reseller, terdiri dari seluruh individu dan organisasi yang membutuhkan barang dan jasa untuk tujuan menjual kembali atau menyewakannya kepada pihak lain dengan mendapatkan laba.
3) Konsumen pemerintah, yaitu pembelian yang dilakukan oleh pemerintah atau menyewa barang dan jasa dengan tujuan untuk menjalankan fungsi-fungsi utama mereka.
4) Konsumen retailers, yaitu pembeli atau konsumen yang membeli barang dan jasa untuk dijual eceran secar langsung ke konsumen akhir untuk penggunaan pribadi.5
b. Konsumen akhir.
Konsumen akhir yaitu “pengguna atau pemanfaat akhir dari suatu produk”.6
Pasal 1 ayat 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 menyebutkan bahwa yang
dimaksud dengan konsumen adalah “setiap orang pemakai barang dan jasa yang
tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain,
���������������������������������������� ��������������������Philip Kotler, Prinsip – Prinsip Pemasaran, Airlangga, Jakarta, 1997, hal. 196.�
��Ibid.�
��Sekretariat Negara R.I., Undang – Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen,
Sinar Grafika, Jakarta, 1999, hal..37.�
� �
maupan makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan”. 7 Hal tersebut searah
dengan pengertian konsumen yang dikemukakan oleh Yusuf Shofi, yaitu bahwa yang
dimaksud dengan konsumen yaitu “setiap pengguna barang atau jasa untuk kebutuhan
diri sendiri, keluarga atau rumah tangga, dan tidak untuk memproduksi barang atau
jasa lain atau memperdagangkannya kembali”.8
1. Pengertian Perlindungan Konsumen
Pengertian perlindungan konsumen bila ditinjau dari segi etimologi
adalah sebagai berikut “Perlindungan berarti hal memperlindungi” sedangkan
“konsumen berarti pemakai barang-barang hasil industri.” Menurut Undang-
Undang Perlindungan Konsumen, arahan definisi tersebut ditujukan kepada
“segala upaya menjamin adanya kepastian hukum untuk memberikan
perlindungan hukum kepada konsumen”.9
2. Pengertian Hukum Perlindungan Konsumen
Hukum Perlindungan Konsumen adalah keseluruhan kaidah-kaidah
hukum yang mengatur hubungan dan masalah antara berbagai pihak yang satu
sama lain berkaitan dengan barang dan / atau jasa konsumen di dalam pergaulan
hidup. Hukum perlindungan konsumen merupakan bagian dari hukum konsumen
yang lebih luas yang memuat asas-asas atau kaidah-kaidah yang bersifat
mengatur dan juga mengandung sifat melindungi kepentingan konsumen10.
Undang Undang No 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, tidak
���������������������������������������� ���������������������Ibid.�
��Yusuf Shofi, Pelaku Usaha ,Konsumen, dan Tindak Pidana Korporasi, Ghalia Indonesia, Jakarta,
2002, hal. 14.��Sekretariat Negara R.I., Undang – Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen,
Sinar Grafika, Jakarta, 1999, hal. 2�10 AZ Nasution yang dikutip oleh Shidarta. “Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia”. Grasindo, Jakarta, 2000, hlm.9.
� ��
memuat definisi mengenai hukum perlindungan konsumen tetapi memuat
perumusan mengenai perlindungan konsumen yaitu sebagai “segala upaya yang
menjamin adanya kepastian hukum untuk memberikan perlindungan kepada
konsumen.”11
3. Asas Dan Kaedah Hukum Perlindungan Konsumen
Adapun untuk menjaga pelaksanaan perlindungan konsumen agar tidak
menyimpang dari tujuan perlindungan konsumen, maka pelaksanaannya harus
didasarkan pada asas atau kaidah hukum perlindungan konsumen. Adapun untuk
menjaga pelaksanaan perlindungan perlindungan konsumen agar tidak
menyimpang dari tujuan perlindungan konsumen, maka pelaksanaannya harus
didasarkan pada asas atau kaedah hukum perlindungan konsumen. Pasal 2
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen terdapat
asas atau kaidah hukum perlindungan konsumen, agar tidak menyimpang
daritujuan perlindungan konsumen, yang menyebutkan bahwa:
“Perlindungan konsumen berasaskan manfaat, keadilan, keseimbangan, keamanan dan keselamatan konsumen, serta kepastian hukum”
Menurut pasal 2 Undang-Undang Perlindungan Konsumen, menyebutkan bahwa
perlindungan konsumen menganut asas sebagai berikut, yaitu:12
a. Asas manfaat dimaksudkan untuk mengamanatkan bahwa segala upaya dalam
penyelenggaraan perlindungan konsumen harus memberikan manfaat sebesar-
besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan.
���������������������������������������� �������������������11 Pasal 1 butir 1 UUPK ����Sekretariat Negara R.I., Undang – Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, Sinar Grafika, Jakarta, 1999, hal. 12�
�
� ��
b. Asas keadilan dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan
secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku
usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil.
c. Asas keseimbangan dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan antara
kepentingan konsumen, pelaku usaha dan pemerintah dalam arti materiil
ataupun spiritual.
d. Asas keamanan dan keselamatan konsumen dimaksudkan untuk memberikan
jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalam penggunaan,
pemakaian dan pemanfaatan barang dan jasa yang dikonsumsi atau digunakan.
e. Asas kepastian hukum dimaksudkan agar baik pelaku usaha maupun
konsumen menaati hukum dan memperoleh keadilan dan penyelenggaraan
perlindungan konsumen, serta negara menjamin kepastian hukum.
Di Indonesia dasar hukum yang menjadikan seorang konsumen dapat
mengajukan perlindungan adalah:
a. UUD 1945 pasal 5 ayat (1), pasal 21 ayat (1), pasal 27, dan pasal 33.
b. UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (Lembaran Negara RI
Tahun 1999 No. 42 Tambahan Lembaran Negara RI No. 3821).
c. UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan
Usaha Tidak Sehat.
d. UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbritase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa.
e. PP No. 58 Tahun 2001 tentang Pembinaan Pengawasan dan Penyelenggaraan
Perlindungan Konsumen.
� ��
f. Surat Edaran Dirjen Perdagangan Dalam Negeri No. 235/DJPDN/VII/2001
tentang Penanganan Pengaduan Konsumen yang ditujukan kepada seluruh
dinas Indag Prop/Kab/Kota.
g. Surat Edaran Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri No.
795/DJPDN/SE/12/2005 tentang Pedoman Pelayanan Pengaduan Konsumen.
Selain hal tersebut di atas terdapat juga hukum tertulis yang berkaitan dengan
perlindungan konsumen. Sejak zaman penjajahan Hindia Belanda sudah ada
beberapa peraturan yang berkaitan dengan perlindungan konsumen, misalnya
sebagai berikut:
a. Vuurwerk Ordonnantie (Ordonasi Petasan), S. 1932-143.
b. Sterkwerkannde Geneesmiddelen Orgonnantie (Ordonasi Obat Keras), S.
1937-641.
c. Gevaarlijke Stoffen Ordonnantie (Ordonasi Bahan-Bahan Berbahaya), S.
1949-377.
d. Tin Ordonnantie (Ordonasi Timah Putih), S. 1931-509.
e. Verpakkings Ordonnantie (Ordonasi Kemasan), S. 1935 No. 161.
Setelah kemerdekaan, walaupun Undang-Undang yang membahas secara
khusus tentang perlindungan konsumen belum ada, tetapi dalam peraturan
perundang-undangan telah dijelaskan secara parsial yang berhubungan
dengannya, misalnya:
a. Undang-Undang Pokok Kesehatan, UU No. 9 Tahun 1960.
b. Undang-Undang Barang, UU No. 10 Tahun 1961.
c. Undang-Undang Narkotika, UU No. 9 Tahun 1976.
d. Undang-Undang Lingkungan Hidup, UU No. 4 Tahun 1982.
e. Undang-Undang Wajib Daftar Perusahaan, UU No. 3 Tahun 1982.
� ��
Selain itu juga disebutkan mengenai perlindungan konsumen dalam peraturan
perundang-undangan terutama dalam UUD 1945 pasal 33 dan 27, serta dalam
Pancasila sila 2 dan sila 5.
4. Hak Dan Kewajiban Konsumen
a. Hak Konsumen
Signifikasi pengaturan hak-hak konsumen melalui undang-undang
merupakan bagian dari implementasi sebagi suatu negara kesejahteraan, karena
Undang undang dasar 1945 disamping sebagai konstitusi politik juga dapat
disebut sebagai konstitusi ekonomi, yaitu konstitusi yang mengandung ide negara
kesejahteraan yang tumbuh berkembang karena pengaruh sosialisme sejak abad
sembilan belas. Melalui Undang undang No.8 tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen menetapkan 9 (sembilan) hak konsumen yaitu :
1. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi
barang dan/atau jasa;
2. Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau
jasa tersebut ssesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang
dijanjikan;
3. Hak atas informasi yang benar,jelas dan jujur mengenai kondisi serta
jaminan barang dan/atau jasa;
4. Hak untuk didapat dan di dengar pendapat dan keluhannya atas barang
dan/atau jasa yang digunakan;
5. Hak untuk mendapatkan advokasi perlindungan konsumen secara patut;
6. Hak untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan konsumen;
� �
7. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak
diskriminatif;
8. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian,
apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian
atau tidak sebagaiamana mestinya;
9. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan
lainnya.
Dari sembilan butir hak konsumen yang diberikan di atas terlihat bahwa
masalah kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen merupakan hal
yang paling pokok dan utama dalam perlindungan konsumen. Barang dan/atau
jasa yang penggunaanya tidak memberikan kenyamanan, terlebih lagi yang tidak
aman atau membahayakan keselamatan konsumen jelas tidak layak untuk
diedarkan dalam masyarakat. Selanjutnya, untuk menjamin suatu barang dan/atau
jasa dalam penggunaanya akan nyaman, aman maupun tidak membahayakan
konsumen penggunanya, maka konsumen diberikan hak untuk memilih barang
dan/atau jasa yang dikehendakinya berdasarkan atas keterbukaan informasi yang
benar, jelas, jujur.Jika terdapat penyimpangan yang merugikan, konsumen berhak
untuk didengar, memperoleh advokasi, pembinaan, perlakuan yang adil,
kompensasi sampai ganti rugi,13
Hak-hak dalam undang-undang Perlindungan Konsumen diatas
merupakan penjabaran dari pasal-pasal yang bercirikan negara kesejahteraan,
yaitu pasal 27 ayat(2) dan pasal 33 ayat (8) Undang-undang Dasar Negara
Republik Indonesia.
���������������������������������������� ����������������������Gunawan Widjaja dan Ahnad Yani, “Hukum tentang Perlindungan Konsumen” Gramedia Pustaka
Utama, Jakarta .hlm 98�
� ��
Menurut Ahmadi Miru & Sutarman Yodo, pada dasarnya dikenal 10
macam hak konsumen, yaitu14 :
1. Hak untuk keamanan dan keselamatan, hak ini dimaksudkan untuk menjamin keamanan dan keselamatan konsumen dalam penggunaan barang atau jasa yang di perolehnya sehingga terhindar dari kerugian apabila mengkonsumsi suatu produk;
2. Hak untuk memperoleh informasi, di maksudkan agar konsumen dapat memperoleh gambaran yang benar tentang suatu produk barang dan jasa;
3. Hak untuk memilih, dimaksudkan untuk memberikan kebebasan kepada konsumen untuk memilih produk-produk tertentu sesuai dengan kebutuhannya, tanpa ada tekanan dari pihak luar ;
4. Hak untuk di dengar, merupakan hak dari konsumen agar tidak di rugikan lebih lanjut, atau hak untuk menghindarkan diri dari kerugian;
5. Hak untuk memperoleh kebutuhan hidup, merupakan hak yang sangat mendasar karena menyangkut hak untuk hidup
6. Hak untuk memperoleh ganti rugi, hak ini dimaksudkan untuk memulihkan keadaan yang telah menjaadi rusak akibat adanya penggunaan barang atau jasa yang tidak memenuhi harapan konsumen;
7. Hak untuk memperoleh pendidikan konsumen, dimaksudkan agar konsumen memperoleh pengetahuan maupun keterampilan yangdiperlukan agar dapat terhindar dari kerugian akibat penggunaan produk;
8. Hak memperoleh lingkungan hidup yang bersih dan sehat, merupakan hak yang penting bagi konsumen dan lingkungan;
9. Hak untuk mendapatkan barang sesuai dengan nilai tukar yang di berikannya, hak ini dimaksudkan untuk melindungi konsumen dari kerugian akibat permainan harga secara tidak wajar;
10. Hak untuk mendapatkan upaya penyelesaian hukum yang patut, hak ini dimaksudkan untuk memulihkan keadaan konsumen yang telah dirugikan akibat penggunaan produk, dengan melalui jalur hukum
Dari sepuluh hak konsumen yang terdapat diatas terlihat bahwa masalah
kenyamanan, keamanan dan keselamatan konsumen merupakan hal yang paling
pokok dan utama dalam perlindungan konsumen15
Lebih lanjut Ahmadi Miru mengemukakan bahwa secara garis besar hak
konsumen dapat menjadi tiga yaitu16 :
1. Hak yang dimaksudkan untuk mencegah konsumen dari kerugian, baik kerugian personal, maupun kerugian harta kekayaan;
2. Hak untuk memperoleh barang dan atau jasa dengan harga yang wajar; dan
���������������������������������������� ���������������������Ibid , halaman 40-46�
���Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani,Op. cit,halaman 30
���Ahmadi Miru & Sutarman Yudo, Hukum Perlindungan Konsumen, Raja GrafindoPersada, Jakarta, �
� ��
3. Hak untuk memperoleh penyelesaian yang patut terhadap permasalahan yang dihadapi
b. Kewajiban Konsumen
Selain memperoleh hak tersebut, sebagai penyeimbang konsumen juga
diwajibkan untuk;
1. Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau
pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan;
2. Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa;
3. Membayar dengan nilai tukar yang telah disepakati;
4. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara
patut.
Itu dimaksudkan agar konsumen sendiri dapat memperoleh hasil yang optimum
atas perlindungan dan/atau kepastian hukum bagi dirinya.
Menurut Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia Konsumen diharuskan
memiliki 6 kewaspadaan yaitu17:
1. Kritis terhadap iklan dan promosi dan jangan mudah terbujuk;
2. Teliti sebelum membeli;
3. Biasakan belanja sesuai rencana;
4. Memilih barang yang bermutu dan berstandar yang memenuhi aspek
keamanan, keselamatan,kenyamanan dan kesehatan;
5. Membeli sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan;
6. Perhatikan label, keterangan barang dan masa kadaluarsa:
���������������������������������������� ����������������������http://www.ylki.or.id/infos/view/hak-dan-kewajiban-konsumen�
� ��
5. Tujuan Perlindungan Konsumen
Hukum perlindungan konsumen mempunyai tujuan untuk melindungi
konsumen secara langsung dan pelaku usaha secara tidak langsung. Dalam Pasal
3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen
disebutkan bahwa Perlindungan konsumen bertujuan :
1. Meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk
melindungi diri;
2. Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan caramenghindarkannya
dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa;
3. Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan, dan
menuntut hak-haknya sebagai konsumen;
4. Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur
kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan
informasi;
5. Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan
konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam
berusaha;
6. Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan
usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan,
dan keselamatan konsumen
Pasal 3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan
Konsumen ini merupakan isi dari pembangunan nasional karena tujuan
perlindungan konsumen yang ada merupakan sasaran akhir yang harus dicapai
dalam pelaksanaan pembangunan di bidang hukum perlindungan konsumen.
� ��
Adanya hukum perlindungan konsumen dengan Undang-Undang Perlindungan
Konsumen diharapkan mampu memberi jaminan kepada konsumen berupa
kepastian hukum atas perlindungan konsumen, hal ini dikarenakankonsumen
memiliki kedudukan yang lebih lemah di bandingkan dengan pelaku usaha.
Hukum perlindungan konsumen dapat dijadikan sarana pendidikan baik itu
secara langsung maupun tidak langsung , baik bagi konsumen maupun pelaku
usaha sehingga apa yang menjadi tujuan hukum perlindungan konsumen dapat
tercapai.
B. Tinjauan Umum Tentang Pelaku Usaha
1. Pengertian Pelaku usaha
Pasal 1 ayat (3) UU No.8 tentang Perlindungan Konsumen, Memberikan
pengertian Pelaku Usaha, Sebagai berikut :
“Pelaku Usaha adalah setiap perseorangan atau badan usaha baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum Negara Republik Indonesia, baik diri sendiri maupun bersama sama melalui perjanjian penyelenggaraan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi’’.
Penjelasan Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Perlindungan Konsumen
menyebutkan: Pelaku usaha yang termasuk dalam pengertian ini adalah
perusahaan, korporasi, BUMN, koperasi, importir, pedagang, distributor dan
lain-lain.
Pengertian pelaku usaha menurut Pasal 1 huruf e Undang-Undang Nomor
5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak
Sehat adalah :
“Pelaku usaha adalah setiap orang perorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum atau bukan badan hukum yang
� �
didirikan atau berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian,menyelenggarakan berbagai usaha dalam berbagai kegiatan ekonomi.”
Luasnya pengertian pelaku usaha ini memudahkan konsumen untuk menuntut
ganti rugi kepada pelaku usaha.
Pelaku usaha yang dapat di gugat adalah sebagi berikut:
1. Yang pertama urut-urutan digugat adalah pelaku usaha yang membuat
produk tersebut jika berdomisisli di dalam negeri dan domisilinya
diketahui oleh konsumen yang dirugikan.
2. Apabila produk yang merugikan konsumen tersebut diproduksi di luar
negeri, maka yang digugat adalah importirnya, karena Undang-Undang
Perlindungan Konsumen tidak mencakup pelaku usaha diluar negeri.
3. Apabila produsen maupun importirnya dari suatu produk tidak
diketahui,maka yang digugat adalah penjual dari siapa konsumen membeli
produk tersebut.18
Pelaku usaha yang dimaksud dalam UUPK sama dengan cakupan
produsen yang dikenal di Belanda, karena produsen dapat berupa perorangan atau
badan hukum. Dalam pengertian pelaku usaha tersebut, tidaklah mencakup
ekportir atau pelaku usaha di luar negeri karena UUPK membatasi orang
perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun
bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan
dalam wilayah hukum Negara Republik Indonesia.
���������������������������������������� ����������������������Ibid, halaman 10
�
� ��
2. Hak-Hak Pelaku Usaha
Untuk menciptakan kenyamanan berusaha bagi pelaku usaha dan sebagai
keseimbangan atas hak-hak yang diberikan kepada konsumen, pelaku usaha juga
memiliki hak. Hak tersebut diatur dalam ketentuan Pasal 6 Undang-Undang
Perlindungan Konsumen menyebutkan mengenai hak-hak dari pelaku usaha, hak
pelaku usaha adalah:
1. Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan
mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang
diperdagangkan;
2. Hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen
yang beritikad tidak baik;
3. Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian
hukum sengketa konsumen;
4. Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa
kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang
diperdagangkan;
5. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan
lainnya.
3. Kewajiban Pelaku Usaha
Sebagai konsekuensi adanya hak pelaku usaha, pelaku usaha juga
memilikikewajiban, kewajiban tersebut diatur dalam Pasal 7 Undang-Undang
No.8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang menyebutkan berbagai
kewajiban dari pelaku usaha, yaitu :
1. Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;
� ��
2. Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan
jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan,
perbaikan dan pemeliharaan;
3. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta
tidak diskriminatif;
4. Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau
diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa
yang berlaku;
5. Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba
barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas
barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan;
6. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian
akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa
yang diperdagangkan;
7. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang
dan/atau jasa yang dterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan
perjanjian.
Ketentuan mengenai kewajiban pelaku usaha dalam Undang-Undang
Perlindungan Konsumen disebutkan cukup jelas, hanya ketentuan huruf c dan
huruf e yang diberi penjelasan. Penjelasan mengenai huruf c dan huruf e Pasal 7
Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen:
Huruf c
“Pelaku usaha dilarang membeda-bedakan konsumen dalam memberikan pelayanan. Pelaku usaha dilarang membeda-bedakan mutu pelayanan kepada konsumen.”
Huruf e
� ��
Yang dimaksud dengan barang dan/atau jasa tertentu adalah barang yang dapat diuji atau dicoba tanpa mengakibatkan kerusakan atau kerugian.”
Pelaku usaha wajib untuk beritikad baik dalam menjalankan usahanya.
Kewajiban pelaku usaha untuk beritikad baik merupakan salah satu asas
yangterdapat dalam hukum perjanjian, yang diatur dalam Pasal 1338 ayat (3)
KUHPerdata. Dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen tampak bahwa
itikad baik lebih ditekankan kepada pelaku usaha, karena meliputi semua tahapan
dalam melakukan kegiatan usahanya, sehingga dapat diartikan bahwa kewajiban
pelaku usaha untuk beritikad baik dimulai sejak barang dirancang/
diproduksisampai pada tahap purna jual, sebaliknya konsumen hanya diwajibkan
beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/ atau jasa.19
Kewajiban dari pelaku usaha untuk memberikan informasi yang benar, jelas dan
jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi
penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan, merupakan hal yang
penting bagi konsumen. Karena dengan adanya informasi yang benar, jelas dan
jujur tersebut, konsumen dapat memilih barang dan/atau jasa sesuai dengan
kebutuhan konsumen. Menurut Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, informasi
yang tidak memadai dari pelaku usaha merupakan salah satu jenis cacat produk
(cacat informasi), yang akan sangat merugikan konsumen20. Melihat hak dan
kewajiban yang terdapat dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen, yang
diberikan kepada konsumen dan pelaku usaha nampak bahwa perlindungan
konsumen diberikan secara langsung dan secara tidak langsung kepada pelaku
usaha. Pengaturan yang lebih banyak bersifat melindungi konsumen namun pada
akhirnya, secara tidak langsung juga akan melindungi kepentingan pelaku usaha.
���������������������������������������� ���������������������Ibid , halaman 54
���Ibid, halaman 55�
� ��
C. Penyelesaian Sengketa Konsumen
1. Pengertian Penyelesaian Sengketa Konsumen
Sengketa (konflik) konsumen adalah suatu kondisi di mana pihak
konsumen menghedaki agar pihak pelaku usaha berbuat atau tidak berbuat sesuai
yang diinginkan, tetapi pihak pelaku usaha menolak keinginan itu.21
Romy Hanitijo memberikan pengertian sengketa sebagai situasi (keadaan) di
mana dua atau lebih pihak-pihak memperjuangkan tujuan mereka masing-masing
yang tidak dapat dipersatukan dan di mana tiap-tiap pihak mencoba meyakinkan
pihak lain mengenai kebenaran tujuannya masing-masing.22
Joni Emerzon memberikan pengertian konflik/perselisihan adalah adanya
pertentangan atau ketidaksesuaian antara para pihak yang akan dan sedang
mengadakan hubungan atau kerjasama.23
Keputusan Memperindag Nomor 350/MPP/Kep/12/2001 memberikan
definisi sengketa konsumen adalah sengketa antara pelaku usaha dengan
konsumen yang menuntut ganti rugi atas kerusakan, pencemaran dan/atau yang
menderita kerugian atas kerusakan, pencemaran, dan/atau yang menderita
kerugian akibat mengkonsumsi barang dan/atau memanfaatkan jasa.
Sengketa konsumen dimaksudkan bukan sebagai sengketa dalam arti
luas, yakni sengketa yang melingkup hukum pidana dan hukum administrasi
Negara karena UUPK mengatur penyelesaian sengketa bersifat ganda dan
���������������������������������������� ���������������������Soemali, Mekanisme Penyelesaian Sengketa Konsumen Melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen.Disampaikan dalam seminar Penyelesaian Sengketa Konsumen Melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, Fakultas Hukum, Universitas Airlangga, Surabaya 5 Mei 2010.����Ronny Hanitijo, Hukum dan Masalah Penyelesaian Konflik, Majalah Fakutas Hukum UNDIP,
Semarang, 1984, hal. 22.����Joni Emerson, Alternatif Penyelesaian Sengketa di luar Pengadilan (negosiasi, mediasi, konsiliasi
dan arbitrasi), Gramedia Pustaka, Jakarta, 2001, hal. 21.���
� �
alternative. Pengertian bersifat ganda disini ialah penyelesaian sengketa dengan
berbagai system, yakni
• Penyelesaian sengketa perdata di pengadilan ( in court resolution ) ( pasal 45,
46 dan 48 );
• Penyelesaian sengketa perdata diluar pengadilan ( out court resolution atau
disebut juga alternative dispute resolution ) ( pasal 45, 46, 47);
• Penyelesaian perkara secara pidana ( criminal court resolution) (pasal 59, 61
s/d 63);
• Penyelesaian perkara secara administrative ( administrative court resolution )
(pasal 60)
a. Penyelesaian Sengketa di Peradilan Umum
Pasal 45 ayat 1 UUPK menyatakan “setiap konsumen yang dirugikan
dapat menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan
sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan yang berada
dilingkungan peradilan umum.” Ketentuan ayat berikutnya mengatakan,
“penyelesaian sengketa konsumen dapat ditempuh melalui pengadilan atau diluar
pengadilan berdasarkan pilihan sukarela para piihak yang bersengketa.”
Ayat pertama itu tidak jelas jelas benar. Disitu hanya dikatakan, setiap konsumen
yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha. Apakah secara a-contrario dapat
ditafsirkan, hak itu tidak diberikan kepada pelaku usaha ? tentu, jika melihat
kedalam asas-asas hokum acara, hak yang sama semua diberikan kepada semua
pihak yang berkepentingan. Kemudian pasal 45 ayat 3 UUPK
menyebutkan,”penyelesaian sengketa diluar pengadilan sebagaimana dimaksud
� ��
pada ayat 2 tidak menghilangkan tanggung jawab pidana sebagaimana diatur
dalam undang-undang.” Jelas seharusnya bukan hanya tanggung jawab pidana
yang tetap dibuka kesempatannya untuk diperkarakan, melainkan juga tanggung
jawab lainnya, missalnya dibidang administrasi Negara.
Konsumen yang dirugikan haknya, tidaak hanya diwakilkan oleh jaksa
dalam penuntutan diperadilan umum kasus pidana, tetapi ia sendiri dapat juga
menggugat pihak lain dilingkungan peradilan tata usaha Negara jika terdapat
sengketa administratif didalamnya. Hal ini dikemukakan terakhir ini dapat terjadi,
misalnya dalam kaitannya dengan kebijakan aparat pemerintah yang ternyata
dipandang merugikan konsumen secara individual. Bahkan, mengingat makin
banyaknya perusahaan multinasional yang beroperasi di Indonesia, juga tidak
tertutup kemungkinan ada konsumen yang menggugat pelaku usaha di peradilan
Negara lain, sehingga sengketa konsumen inipun dapat bersifat transnasional
b. Penyelesaian sengketa di Peradilan Tata Usaha Negara
Pasal 45 ayat 1 dan pasal 46 ayat 2 UUPK terkesan hanya membolehkan
gugatan konsumen diajukan kelingkungan peradilan umum. Pembatasan ini jelas
menghalangi konsumen yang perkaranya mungkin menyentuh kompetensi
peradilan tata usaha Negara. Kendati demikian, jika konsumen diartikan secara
luas yakni mencakup juga penerimaan jasa layanan publik, tentu peradilan tata
usaha Negara seharusnya patut juga melayani gugatan tersebut. Untuk itu perlu
diperhatikan, bahwa syarat-syarat, bahwa sengketa itu berawal dari adanya
penetapan tertulis, bersifat konkret, individual dan final, harus tetap terpenuhi.
Hukum administrasi Negara cukup penting didalam masalah perlindungan
konsumen. Aspek hukum administratif merupakan sarana alternatif publik
� ��
menuntut kebijakan pemerintah untuk meningkatkan perlindungan konsumen.
Aspek ini berkaitan dengan perizinan yang diberikan pemerintah kepada pelaku
usaha. Sanksi administratif sebenarnya lebih efektif dari pada sanksi perdata dan
pidana karena dapat diterapkan langsung dan sepihak. Pemerintah misalnya
secara sepihak dapat menjatuhkan sanksi untuk membatalkan izin yang diberikan
tanpa meminta persetujuan pihak lain.
Perkembangan baru dibidang hukum administrative menurut UUPK
tercantum dalam pasal 60 ayat 1 tentang sanksi administratif. Ayat ini
menentukan, BPSK berwenang menjatuhkan sanksi administrative terhada pelaku
usaha. Seperti diketahui, BPSK adalah lembaga alternatif penyelesaian sengketa
konsumen yang dibentuk sebagai organ pemerintah hingga ketingkat kabupaten
atau pemerintah kota. Dengan demikian, organ pemerintah yang berwenang
melembaga-lembaga administrative telah bertambah diamping lembaga-lembaga
teknis (jika bersifat non litigatif) juga PTUN dan BPSK (litigatif).
c. Penyelesaian Sengketa Konsumen di Luar Pengadilan
Alternative dispute resolution (ADR) disebut juga dengan Alternatif
Penyelesaian Sengketa (APS) dalam arti luas adalah proses penyelesaian
sengketa dibidang perdata diluar pengadilan melalui cara-cara arbitrase,
negoisasi, konsultasi, mediasi, konsiliasi yang disepakati pihak-pihak. Menurut
Undang-undang Perlindungan Konsumen, penyelesaian dari permasalahan
konsumen dapat dipecahkan melalui jalan peradilan maupun non-peradilan.
Mereka yang bermasalah harus memilih jalan untuk memecahkan permasalahan
mereka. Penyelesaian dengan cara non-peradilan bisa dilakukan melalui
Alternatif Resolusi Masalah (ARM) di BPSK, LPKSM, Direktorat Perlindungan
� ��
Konsumen atau lokasi-lokasi lain baik untuk kedua belah pihak yang telah
disetujui, ketika kedua pihak telah memutuskan untuk melakukan penyelesaian
non-peradilan, nantinya ketika mereka akan pergi ke pengadilan (lembaga
peradilan) untuk masalah yang sama, mereka hanya dapat mengakhiri tuntutan
mereka di pengadilan jika penyelesaian non peradilan gagal. ARM berdasarkan
pertimbangan bahwa penyelesaian peradilan di Indonesia memiliki
kecenderungan proses yang sangat formal.
d. Penyelesaian melalui LPKSM (Lembaga Perlindungan Konsumen
Swadaya Masyarakat)
Proses penyelesaian sengketa melalui LPKSM menurut Undang-
Undang Perlindungan Konsumen dapat dipilih dengan cara mediasi, konsiliasi
dan arbitrase. Dalam prosesnya para pihak yang bersengketa/bermasalah
bersepakat memilih cara penyelesaian tersebut. Hasil proses penyelesaiannya
dituangkan dalam bentuk kesepakatan (Agreement) secara tertulis, yang wajib
ditaati oleh kedua belah pihak dan peran LPKSM hanya sebagai mediator,
konsiliator dan arbiter. Penentuan butir-butir kesepakatan mengacu pada
peraturan yang dimuat dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen serta
undang-undang lainnya yang mendukung.
e. Penyelesaian melalui BPSK (Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen)
BPSK adalah institusi non struktural yang memiliki fungsi sebagai
“institusi yang menyelesaikan permasalahan konsumen diluar pengadilan secara
murah, cepat dan sederhana”. Badan ini sangat penting dibutuhkan di daerah dan
kota di seluruh Indonesia. Anggota-anggotanya terdiri dari perwakilan aparatur
� ��
pemerintah, konsumen dan pelaku usaha. Konsumen yang bermasalah terhadap
produk yang dikonsumsi akan dapat memperoleh haknya secara lebih mudah dan
efisien melalui peranan BPSK. Selain itu bisa juga menjadi sebuah akses untuk
mendapatkan infomasi dan jaminan perlindungan hukum yang sejajar baik untuk
konsumen maupun pelaku usaha..
Dalam menangani dan mengatur permasalahan konsumen, BPSK memiliki
kewenangan untuk melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan dan
keterangan dari para pihak yang bersengketa.. Tagihan, hasil test lab dan bukti-
bukti lain oleh konsumen dan pengusaha dengan mengikat penyelesaian akhir.
2. Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen
Dari permasalahan yang muncul dalam kaitannya dengan perlindungan
konsumen, maka melalui UUPK pasal 49 ayat (1) “pemerintah membentuk
Badan penyelesaian Sengketa Konsumen di Daerah tingkat II untuk penyelesaian
sengketa di luar pengadilan”.
Ketentuan pasal 49 ayat (1) UUPK, yang menetapkan pembentukan
Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) hanya pada daerah tingkat II
memperlihatkan maksud pembuat undang-undang bahwa putusan BPSK sebagai
badan penyelaesaian konsumen di luar pengadilan tidak ada upaya banding atau
kasasi. Rumusan dalam pasal 49 ayat (1) diatas menyangkut tugas BPSK “untuk
penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan” adalah tugas pokok, sebab
masih ada tugas lain dari BPSK yang memberikan konsultasi perlindungan
konsumen, melakukan pengawasan terhadap pencantuman klausula baku, dan
menerima pengaduan konsumen, serta tugas-tugas lainnya.24
���������������������������������������� �������������������24 Ahmadi miru dan Sutarman Yodo. Hukum Perlindungan Konsumen. Raja Grafindo Persada, Jakarta Hal 242
� �
Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) merupakan suatu
lembaga khusus yang dibentuk oleh pemerintah di Ibu Kota Daerah Kabupaten
atau Daerah Kota untuk menangani dan menyelesaiakan sengketa konsumen di
luar pengadilan. Menurut pasal 1 angka 11 Undang-Undang Perlindungan
Konsumen, yang dimaksud dengan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen
adalah badan yang bertugas menangani dan menyelesaikan sengketa antara
pelaku usaha dan konsumen. Lembaga ini juga memiliki kewenangan
menyelesaikan sengketa dan memberikan denda kepada penjual atau produsen
yang merugikan masyarakat.
Penyelesaian sengketa di luar pengadilan (BPSK) ini, dikhususkan bagi
konsumen perorangan yang memiliki perselisihan dengan pelaku usaha. Sifat
penyelesaian sengketa yang cepat dan murah, yang memang dibutuhkan oleh
konsumen, terutama konsumen perorangan.
3. Bentuk-Bentuk Penyelesaian Sengketa
Sesuai ketentuan Pasal 52 huruf a Undang – Undang Nomor 8 Tahun
1999 ditegaskan bahwa tugas dan wewenang badan penyelesaian sengketa
konsumen melaksanakan penanganan dan penyelesaian sengketa dengan cara
melalui mediasi atau arbitrasi atau konsiliasi.
Sengketa konsumen tersebut dapat diselesaikan melalui Badan
Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) atau mengajukan ke badan peradilan
di tempat kedudukan konsumen. Penyelesaian sengketa ini seperti terdapat dalam
Pasal 23 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 menyatakan pelaku usaha yang
menolak dan/atau tidak memberi tanggapan dan atau tidak memenuhi ganti rugi
atas ketentuan konsumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1), ayat
� �
(2) dan ayat (4) dapat digugat melalui badan penyelesaian sengketa konsumen
atau mengajukan ke badan peradilan di tempat kedudukan konsumen.
Penyelesaian sengketa konsumen juga diatur dalam Pasal 45 menyatakan:
1. Setiap konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui
lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku
usaha atau melalui peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum;
2. Penyelesaian sengketa konsumen dapat ditempuh melalui pengadilan atau di
luar pengadilan berdasarkan pilihan suka rela para pihak yang bersengketa;
3. Penyelesaian sengketa di luar pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) tidak menghilangkan tanggung jawab pidana sebagaimana diatur dalam
undang-undang;
Apabila tidak dipilih upaya penyelesaian sengketa di luar pengadilan,
gugatan melalui pengadilan kiranya dapat ditempuh apabila upaya tersebut
dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu pihak atau oleh para pihak yang
bersengketa.
Tata cara penyelesaian sengketa konsumen melalui BPSK diatur dalam Surat
Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 350/MPP/Kep/2002.
Penyelesaian sengketa konsumen oleh BPSK melalui cara mediasi atau
konsiliasi atau arbitrasi dilakukan atas pilihan dan persetujuan para pihak yang
bersangkutan. Penyelesaian sengketa konsumen ini bukan merupakan proses
penyelesaian sengketa secara berjenjang.
Adapun proses penyelesaian sengketa:25
1. Konsiliasi:
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, konsiliasi diartikan sebagai
“usaha mempertemukan keinginan pihak yang berselisih untuk mencapai ���������������������������������������� ����������������������http://www.bpsksolo.com/2011/05/tata-cara-penyelesaian-sengketa.html �
� �
persetujuan dan menyelesaikan perselisihan.”26 Menurut Oppenheim, konsiliasi
adalah “proses penyelesaian sengketa dengan menyerahkannya kepada suatu
komisi orang-orang yang bertugas untuk menguraikan atau menjelaskan fakta-
fakta dan (biasanya setelah mendengar para pihak dan mengupayakan agar
mereka mencapai suatu kesepakatan), membuat usulan-usulan untuk suatu
penyelesaian, namun keputusan tersebut tidak mengikat.”27
Di dalam konsiliasi, seorang konsiliator akan mengklarifikasikan
masalah-masalah yang terjadi dan bergabung di tengah-tengah para pihak, tetapi
kurang aktif dibandingkan dengan seorang mediator dalam menawarkan pilihan-
pilihan penyelesaian sengketa. Konsiliasi menyatakan, secara tidak langsung
suatu kebersamaan para pihak dimana pada akhirnya kepentingan-kepentingan
bergerak mendekat dan selanjutnya dicapai suatu penyelesaian yang memuaskan
kedua belah pihak.
a. BPSK membentuk sebuah badan sebagai pasif fasilitator;
b. Badan yang membiarkan yang bermasalah untuk menyelesaikan masalah
mereka secara menyeluruh oleh mereka sendiri untuk bentuk dan jumlah
kompensasi;
c. Ketika sebuah penyelesaian dicapai, itu akan dinyatakan sebagai
persetujuan rekonsiliasi yang diperkuat oleh keputusan BPSK;
d. Penyelesaian dilaksanakan paling lama 21 hari kerja.
���������������������������������������� ����������������������Pusat Pembinaan Dan Pengembangan Bahasa, Op.Cit., hal. 457
���Joni Emirzon, Alternatif Penyelesaian Sengketa Di Luar Pengadilan, Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta, 2001, hal. 91.�
� �
2.Mediasi:
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, mediasi diartikan sebagai
“proses pengikutsertaan pihak ketiga dalam penyelesaian suatu perselisihan
sebagai penasihat.”28Ada beberapa pengertian mediasi, yaitu:29
1. Mediasi adalah intervensi terhadap suatu sengketa atau negosiasi oleh pihak
ketiga yang dapat diterima, tidak berpihak dan netral yang tidak mempunyai
kewenangan untuk mengambil keputusan dalam membantu para pihak yang
berselisih dalam upaya mencapai kesepakatan secara sukarela dalam
penyelesaian permasalahan yang disengketakan.
2) Mediasi adalah suatu proses di mana para pihak dengan bantuan seseorang
atau beberapa orang, secara sistematis menyelesaikan permasalahan yang
disengketakan untuk mencari alternatif dan mencapai penyelesaian yang
dapat mengakomodasi kebutuhan mereka.
3) Mediasi adalah upaya penyelesaian sengketa para pihak dengan kesepakatan
bersama melalui mediator yang bersikap netral, dan tidak membuat
keputusan atau kesimpulan bagi para pihak tetapi menunjang fasilitator untuk
terlaksananya dialog antar pihak dengan suasana keterbukaan, kejujuran dan
tukar pendapat untuk tercapainya mufakat.
Pada dasarnya mediasi adalah suatu proses dimana pihak ketiga yaitu
suatu pihak luar yang netral terhadap sengketa, mengajak pihak yang
bersengketa pada suatu penyelesaian sengketa yang disepakati. Di sini
mediator berada ditengah-tengah dan tidak memihak pada salah satu pihak.
Peran mediator yaitu memantapkan garis-garis komunikasi dan dialog
diantara kedua belah pihak, yang akan mengantarkan pemahaman
���������������������������������������� ����������������������Pusat Pembinaan Dan Pengembangan Bahasa, Op.Cit., hal.569�
��Joni Emirzon., Op.Cit., hal. 67.�
� �
kebersamaan yang lebih besar. Pada akhirnya suatu kesepakatanakan tercipta
tanpa cara-cara merugikan.
Cara mediasi sama halnya dengan konsiliasi, cara mediasi ditempuh
atas inisiatif salah satu pihak atau para pihak. Bedanya dengan konsiliasi,
pada mediasi Majelis Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen bersikap aktif
sebagai perantara dan penasihat.
Keaktifan Majelis Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen sebagai perantara
dan penasihat, terlihat dari tugas Majelis Badan Penyelesaian Sengketa
Konsumen, yaitu:30
a) Memanggil konsumen dan pelaku usaha yang bersengketa.
b) Memanggil saksi dan saksi ahli bila diperlukan.
c) Menyediakan forum bagi konsumen dan pelaku usaha yang bersengketa.
d) Secara aktif mendamaikan konsumen dan pelaku usaha yang bersengketa.
e) Secara aktif memberikan saran atau anjuran penyelesaian sengketa
konsumen sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang
perlindungan konsumen.
3. Arbitrasi:
a. Yang bermasalah memilih badan CDSB sebagai arbiter dalam
menyelesaikan masalah konsumen;
b. Kedua belah pihak seutuhnya membiarkan badan tersebut menyelesaikan
permasalahan mereka
c. BPSK membuat sebuah penyelesaian final yang mengikat;
d. Penyelesaian harus diselesaikan dalam jangka waktu 21 hari kerja paling
lama.
���������������������������������������� ����������������������Yusuf Shofi, Pelaku Usaha ,Konsumen, dan Tindak Pidana Korporasi, Ghalia Indonesia, Jakarta,
2002, hal. 211.
�
e. Ketika kedua belah pihak tidak puas pada penyelesaian tersebut, kedua
belah pihak dapat mengajukan keluhan kepada pengadilan negeri dalam
14 hari setelah penyelesaian di informasikan;
f. Tuntutan dari kedua belah pihak harus dipenuhi dengan persyaratan
sebagai berikut :
(1) Surat atau dokumen yang diberikan ke pengadilan adalah diakui atau
dituntut salah/palsu;
(2) Dokumen penting ditemukan dan di sembunyikan oleh lawan; atau;
(3) Penyelesaian dilakukan melalui satu dari tipuan pihak dalam
investigasi permasalahan di pengadilan.
g Pengadilan Negeri dari badan peradilan berkewajiban memberikan
penyelesaian dalam 21 hari kerja;
h. Jika kedua belah pihak tidak puas pada keputusan
pengadilan/penyelesaian, mereka tetap memberikan kesempatan untuk
mendapatkan sebuah kekuatan hukum yang cepat kepada pengadilan
tinggi dalam jangka waktu 14 hari.
i. Pengadilan Tinggi badan pengadilan berkewajiban memberikan
penyelesaian dalam jangka waktu 30 hari.
Penyelesaian sengketa konsumen dengan cara konsiliasi dilakukan
sendiri oleh para pihak yang bersengketa dengan didampingi oleh majelis
yang bertindak pasif sebagai konsiliator. Penyelesaian sengketa konsumen
dengan cara mediasi dilakukan sendiri oleh para pihak yang bersengketa
dengan didampingi oleh majelis yang bertindak aktif sebagai mediator.
Penyelesaian sengketa konsumen dengan cara arbitrasi dilakukan sepenuhnya
dan diputuskan oleh majelis yang bertindak sebagai arbiter.
� �
Majelis dibentuk oleh Ketua BPSK, yang jumlah anggotanya ganjil
dan sedikit-dikitnya 3 (tiga) yang memenuhi semua unsur, yang unsur
pemerintah, unsur pelaku usaha dan unsur konsumen, serta dibantu oleh
seorang panitera. Putusan majelis bersifat final dan mengikat.
Penyelesaian sengketa konsumen wajib dilaksanakan selambat-
lambatnya dalam waktu 21 (dua pulah satu) hari kerja, terhitung sejak
permohonan diterima oleh sekretariat BPSK. Terhadap putusan majelis, para
pihak yang bersengketa dapat mengajukan keberatan kepada pengadilan
negeri selambat-lambatnya dalam waktu 14 (empat belas) hari kerja terhitung
sejak pemberitahuan putusan majelis diterima oleh para pihak yang
bersengketa.
Keberatan terhadap putusan BPSK, tata cara pengajuannya diatur
dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 01 Tahun 2006. Keberatan adalah
upaya bagi pelaku usaha dan konsumen yang tidak menerima putusan BPSK.
Keberatan tersebut hanya dapat diajukan terhadap putusan arbitrasi yang
dikeluarkan oleh BPSK. Keberatan ini dapat diajukan baik oleh pelaku usaha
dan/atau konsumen kepada pengadilan negeri di tempat kedudukan hukum
konsumen. Keberatan terhadap putusan arbitrasi BPSK sesuai Pasal 6 ayat (3)
Perma Nomor 01 Tahun 2006 dapat diajukan apabila memenuhi persyaratan
pembatalan putusan arbitrasi sebagaimana diatur dalam Pasal 70 Undang-
Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa, yaitu:
a) Surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan
dijatuhkan, diakui palsu dan dinyatakan palsu;
� �
b) Setelah putusan arbitrase BPSK diambil, ditemukan dokumen yang
bersifat menentukan yang disembunyikan oleh pihak lawan, atau;
c) Putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu
pihak dalam pemeriksaan sengketa.
Dalam hal keberatan diajukan atas dasar syarat tersebut di atas, majelis
hakim dapat mengeluarkan pembatalan putusan BPSK. Dalam hal keberatan
diajukan atas dasar alasan lain di luar syarat tersebut, majelis hakim dapat
mengadili sendiri konsumen yang bersangkutan. Dalam mengadili sendiri,
majelis hakim wajib memperhatikan ganti rugi sebagaimana diatur dalam
Pasal 19 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999. Majelis hakim harus
memberikan putusan dalam waktu 21 (dua puluh satu) hari sejak sidang
pertama dilakukan.
D. Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM)
Dilihat dari sejarahnya, gerakan perlindungan konsumen di Indonesia
baru benar-benar dipopulerkan sekitar 20 tahun lalu, yakni dengan berdirinya
suatu lembaga swadaya masyarakat (non governmental organization) yang
bernama Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI). YLKI muncul dari
sekelompok kecil anggota masyarakat yang semula justru bertujuan
mempromosikan hasil produksi Indonesia. Ajang promosi yang diberi nama
pekan swakarsa ini kemudian menimbulkan ide untuk mendirikan wadah bagi
gerakan perlindungan konsumen di Indonesia.31
���������������������������������������� �������������������31 Shidarta, 2004, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta, hlm. 49
� �
1. Kaedah Hukum LPKSM
Adapun aturan mengenai LPKSM diatur dalam beberapa peraturan
perundang-undangan dan aturan-aturan, antara lain :
1. Undang-undang Nomor 8 tahun 1985 tentang Organisasi Massa (Ormas).
2. UU No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
3. Undang-undang Nomor 16 tahun 2001 tentang Yayasan
4. Peraturan Pemerintah Nomor 58 tahun 2001 TentangPembinaan Dan
Pengawasan Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen
5. Peraturan Pemerintah Nomor 59 tahun 2001 Tentang Lembaga
Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat:
6. Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan
No.302/MPP/Kep/10/2001 Tentang Pendaftaran Lembaga Perlindungan
Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM).
7. Permendagri Nomor 33 tahun 2012 tentang Pedoman Pendaftaran
Organisasi Kemasyarakatan Di Lingkungan Kementerian Dalam Negeri
Dan Pemerintah Daerah.
2. Tugas LPKSM
Pasal 3 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 59 Tahun 2001
Tentang Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat.
Tugas LPKSM meliputi kegiatan :
a. menyebarkan informasi dalam rangka meningkatkan kesadaran atas
hak dan kewajiban serta kehati hatian konsumen, dalam mengkonsumsi
barang dan/atau jasa;
b. memberikan nasihat kepada konsumen yang memerlukan;
� �
c. melakukan kerja sama dengan instansi terkait dalam upaya
mewujudkan perlindungan konsumen;
d. membantu konsumen dalam memperjuangkan haknya, termasuk
menerimakeluhan atau pengaduan konsumen;
e. melakukan pengawasan bersama pemerintah dan masyarakat terhadap
pelaksanaan perlindungan konsumen.
3. YLKI
YLKI merupakan salah satu Lembaga Perlindungan Konsumen
Swadaya Masyarakat (LPKSM) yang diakui pemerintah, yang mempunyai
kegiatan menangani perlindungan konsumen. Sebagaimana diatur di dalam
pasal 44 ayat 1 UUPK Pemerintah mengakui lembaga perlindungan konsumen
swadaya masyarakat yang memenuhi syarat.
Adapun tugas dari LPKSM diatur dalam UUPK pasal 44 ayat 3 yang
kemudian dituangkan kedalam Peraturan Pemerintah RI No 59 Tahun 2001
Tentang Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat, Tugas
LPKSM meliputi kegiatan :
a) menyebarkan informasi dalam rangka meningkatkan kesadaran atas hak dan
kewajiban dan kehati-hatian konsumen dalam mengkonsumsi barang
dan/atau jasa;
b) memberikan nasihat kepada konsumen yang memerlukannya;
c) bekerjasama dengan instansi terkait dalam upaya mewujudkan perlindungan
konsumen;
d) membantu konsumen dalm memperjuangkan haknya, termasuk menerima
keluhan atau pengaduan konsumen