BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum tentang ...eprints.umm.ac.id/42283/3/BAB II.pdf ·...

32
15 BAB II TINJAUAN PUSTAKA Dalam penulisan tugas akhir ini akan digunakan beberapa terminologi guna mempermudah penulis dalam menjabarkan fokus permasalahan, yang akan dijelaskan sebagai berikut : A. Tinjauan Umum tentang Prejudiciel Geschill 1. Pengertian Prejudiciel Geschill Menurut Fockema Andrea, Prejudiciel Geschill berarti sengketa yang diputuskan lebih dahulu dan membawa suatu keputusan untuk perkara di belakang. Di Indonesia, ketentuan prejudiciel geschill diatur dalam Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 4 Tahun 1980. SEMA itu membagi prejudiciel geschill menjadi dua 8 . Pertama, prejudiciel au action, yaitu perbuatan pidana tertentu yang disebut dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), antar lain Pasal 84 KUHP, dimana disebutkan ketentuan perdata diputus lebih dulu sebelum mempertimbangkan penuntutan pidana. Kedua, question prejudiciel au jugement, yaitu menyangkut permasalahan yang diatur dalam pasal 81 KUHP. Pasal tersebut sekedar memberi kewenangan, bukan kewajiban kepada hakim pidana untuk menangguhkan pemeriksaan menunggu adanya putusan hakim perdata mengenai persengketaan. Lebih 8 Moeljatno, 1987. Asas-asas Hukum Pidana. Bina Aksara, Jakarta. hlm. 37

Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum tentang ...eprints.umm.ac.id/42283/3/BAB II.pdf ·...

Page 1: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum tentang ...eprints.umm.ac.id/42283/3/BAB II.pdf · bagian/sub-sub dari salah satu amar ... Jadi syarat pokok putusan perkara pidana menjadi

15

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Dalam penulisan tugas akhir ini akan digunakan beberapa terminologi guna

mempermudah penulis dalam menjabarkan fokus permasalahan, yang akan

dijelaskan sebagai berikut :

A. Tinjauan Umum tentang Prejudiciel Geschill

1. Pengertian Prejudiciel Geschill

Menurut Fockema Andrea, Prejudiciel Geschill berarti sengketa

yang diputuskan lebih dahulu dan membawa suatu keputusan untuk

perkara di belakang. Di Indonesia, ketentuan prejudiciel geschill diatur

dalam Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 4 Tahun 1980.

SEMA itu membagi prejudiciel geschill menjadi dua8.

Pertama, prejudiciel au action, yaitu perbuatan pidana tertentu

yang disebut dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), antar

lain Pasal 84 KUHP, dimana disebutkan ketentuan perdata diputus lebih

dulu sebelum mempertimbangkan penuntutan pidana. Kedua, question

prejudiciel au jugement, yaitu menyangkut permasalahan yang diatur

dalam pasal 81 KUHP. Pasal tersebut sekedar memberi kewenangan,

bukan kewajiban kepada hakim pidana untuk menangguhkan pemeriksaan

menunggu adanya putusan hakim perdata mengenai persengketaan. Lebih

8 Moeljatno, 1987. Asas-asas Hukum Pidana. Bina Aksara, Jakarta. hlm. 37

Page 2: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum tentang ...eprints.umm.ac.id/42283/3/BAB II.pdf · bagian/sub-sub dari salah satu amar ... Jadi syarat pokok putusan perkara pidana menjadi

16

lanjut, jika hakim hendak menggunakan lembaga ini, hakim pidana tidak

terikat pada putusan hakim perdata bersangkutan9.

Demikian bunyi Perma No. 1 Tahun 1956. Meski nota keberatan

tidak menunjuk lebih lanjut prejudiciel jenis mana yang dimaksud, namun

argumentasi ini pada akhirnya dipertimbangkan juga oleh majelis hakim.

Merujuk pada SEMA No. 4 Tahun 1980, majelis hakim memasukkan

perkara ini dalam prejudiciel geschill berupa question prejudiciel au

jugement.

Prejudiciel geschill adalah sengketa pengadilan yang timbul dari

sengketa yang diperiksa di mana pengadilan yang sedang memeriksa tidak

berwenang untuk memutus perkara yang baru timbul tersebut, sehingga

diperlukan pengadilan lain yang berwenang terlebih dahulu. Terjadi ketika

pengadilan pidana sedang berjalan diperlukan adanya penetapan dari

pengadilan perdata, sehingga ditempuh terlebih dahulu pengadilan

perdata.10

2. Ketentuan Hukum adanya Prejudiciel geschill

a. Pidana Ditunda Menunggu Putusan Perdata

Laporan atau proses pidana apabila tergantung dari proses

perdata yang sedang bergulir di pengadiulan maka proses pidana

harus menunggu putusan sengketa perdata tersebut. Misalnya

merngenai sengketa harta waris, tiba-tiba ada laporan tentang

penggelapan harta waris padahal harta tersebut bukan atau belum

9 Wirjono Prodjodikoro, 1989. Asas-asas Hukum Pidana Indonesia, PT. Eresco, Bandung,

hlm. 1

10 John Thamrun. 2016. Perselisihan Prayudisial. Jakarta : Sinar Grafika. Hal 85-86

Page 3: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum tentang ...eprints.umm.ac.id/42283/3/BAB II.pdf · bagian/sub-sub dari salah satu amar ... Jadi syarat pokok putusan perkara pidana menjadi

17

harta waris maka proses pidana harus ditunda dahulu hingga ada

putusan tentang kepastian ‘harta waris” atau bukan. Jika yang dijual

terbukti bukan harta warisan maka proses pidana harus dihentikan

dengan SP-3 (Surat Perintah Penundaan Penyidikan).11

Perkara pidana yang di dalamnya terdapat suatu sengketa

perdata, bukanlah hal yang janggal apbila suatu sengketa yang pada

dasarnya masuk dalam ranah hukum keperdataan kemudian dibawa

kedalam ranah hukum pidana.

Pada dasarnya penyidik merupakan gerbang terdepan pada

proses penengakan hukum pidana di Indonesia sebelum melanjutkan

atau menentuka dugaan perkara tindak pidana yang didalamnya

terdapatanasir atau unsur perdata, sudah sewajarnya terlebih dahulu

mengkaji secara mendalam tentang semua hal terkait fakta-fakta

hukum yang dilaporkan tersebut sehingga memberikan keadilan bagi

semua pihak.12

b. Penundaan Pemeriksaan Perkara Pidana

Penundaan pemeriksaan perkara pidana adalah konsep yang

sesuai dengan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1956

tentang Hubungan Perkara Pidana dan Perdata yang menyatakan

bahwa penundaan pemeriksaan perkara pidana dapat ditunda untuk

menunggu putusan perkara perdata yang berkekuatan hukum tetap.

11 Melisa Ifityanti. 2010. Analisis Yuridis terhadap Kewenangan Penyidik Mengeluarkan

Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP-3) Pada Perkara Tindak Pidana Korupsi. Medan :

Fakulutas Hukum Universitas Sumatra Utara 12 John Thamrun. Op.cit

Page 4: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum tentang ...eprints.umm.ac.id/42283/3/BAB II.pdf · bagian/sub-sub dari salah satu amar ... Jadi syarat pokok putusan perkara pidana menjadi

18

Hakikat Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1956

adalah agar tidak menimbulkan keragu-raguan bagi hakim untuk

memutus perkara pidana namun saat pemeriksaan di proses

persidangan ditemukan fakta-fakta bahwa terdapat sengketa

keperdataan di dalam perkara pidana tersebut. Peraturan ini dijadikan

pedoman bagi hakim dalam mengeluarkan putusan sela untuk

menunda perkara pidana sampai dengan perkara perdata berkekuatan

hukum tetap dengan jangka waktu selama daluwarsa (pasal 81

KUHP).

Penundaan pemeriksaan perkara pidana dilakukan agar

gugatan perdata yang timbul saat proses hukum pidana dilaksanakan

dapat diselesaikan terlebih dahulu. Hal ini disebabkan karena

putusan hukum perdata sebagai hukum privat dapat mempengaruhi

putusan hukum pidana sebagai hukum publik dan bukan

sebaliknya.13

c. Dikeluarkannya PERMA RI No. 1 Tahun 1956 Tentang

Hubungan Antara Prejudiciel Geschill

Berdasarkan pasal 76 KUHP bahwa perbuatan yang tidak

dapat dituntut dua kali (nebis in idem), adalah terhadap perbuatan

yang sama dari suatu tindak pidana yang telah diperiksa dan diputus

pengadilan dengan putusan yang telah bersifat tetap (in krachtvan

gewijsde zaak). Putusan terhadap perbuatan (dalam tindak pidana

13 Ibid

Page 5: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum tentang ...eprints.umm.ac.id/42283/3/BAB II.pdf · bagian/sub-sub dari salah satu amar ... Jadi syarat pokok putusan perkara pidana menjadi

19

yang menjadi pokok dakwaan) yang dimaksud Pasal 76 KUHP

tersebut, adalah putusan yang amarnya adalah:

1. Pemidanaan, termasuk tindakan (maatregelen),

2. Pembebasan, serta

3. pelepasan dari segala tuntutan hukum.

Putusan perkara perdata tidak dapat dijadikan landasan/dasar nebis

in idem terhadap perkara pidana yang sedang diperiksa dalam segala

tingkatan. Amar putusan dalam perkara perdata (secara umum)

adalah:

1. gugatan dikabulkan,

2. gugatan ditolak,

3. gugatan tidak dapat diterima.

Sementara secara khusus, setiap amar yang menjadi

bagian/sub-sub dari salah satu amar (terutama amar yang

mengabulkan gugatan) adalah bergantung dari petitum yang

dimohonkan.

Putusan perkara perdata meskipun telah in kracht van

gewijsde tidak dapat dijadikan alasan atau dasar perkara pidana.

Suatu putusan perkara perdata sekedar mencerminkan kebenaran

formil belaka, dan tidak mencerminkan kebenaran materiil atau

kebenaran sejati karena kebenaran yang dicari dalam pemeriksaan

perkara perdata sudah cukup pada kebenaran formil semata.

Sementara putusan perkara pidana mencerminkan kebenaran materiil

Page 6: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum tentang ...eprints.umm.ac.id/42283/3/BAB II.pdf · bagian/sub-sub dari salah satu amar ... Jadi syarat pokok putusan perkara pidana menjadi

20

atau kebenaran yang sesungguhnya sejati karena yang dicari dalam

proses pemeriksaan dan persidangan perkara pidana adalah suatu

kebenaran sejati.

Obyek pemeriksaan perkara perdata perdata berbeda

dengan obyek pemeriksaan perkara pidana. Obyek pemeriksaan

perkara perdata ialah mengenai isi akta. Oleh karena itu,substansi

atau fokus pembuktiannya oleh penggugat pada bentuknya akta in

casu autentik yang menurut hukum (1868 BW) bagi para pihak yang

membuatnya merupakan alat bukti sempurna, kecuali dapat

dibuktikan sebaliknya. Sementara obyek pemeriksaan perkara pidana

adalah perbuatan karena kebenaran materiil tentang isinya tidak

cukup dicari pada kebenaran formil, yakni pada bentuknya akta in

casu autentik, melainkan pada perbuatan-perbuatan yang dilakukan

sebelum akta autentik dikeluarkan. Oleh karena itu, hubungan dan

kedudukan timbal balik antara kedua perkara (perdata dan pidana),

adalah bahwa kebenaran materiil yang didapat dari pemeriksaan

perkara pidana akan mempengaruhi dan menentukan kedudukan dari

perkara perdatanya bukan sebaliknya.

Kedudukan kedua perkara ini ialah putusan perkara pidana

akan menentukan terhadap perkara perdatanya. Jika terdakwa

dibebaskan maka membuktikan secaramateriil kesepakatan

keperdataan. Sebaliknya jika putusan perkara pidana mempidana

terdakwa in krachtvan gewijsde maka putusan tersebut membuktikan

Page 7: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum tentang ...eprints.umm.ac.id/42283/3/BAB II.pdf · bagian/sub-sub dari salah satu amar ... Jadi syarat pokok putusan perkara pidana menjadi

21

bahwa kebenaran formil dalam putusan perdata bertentangan dengan

kebenaran yang sesungguhnya. Putusan perkara pidana ini berfungsi

membatalkan putusan perkara perdata. Oleh karena itu, digunakan

sebagai alasan mengajukan upaya hukum melawan putusan perkara

perdata.

Berdasarkan Pasal 76 KUHP, sudah pasti putusan yang

inkracht van gewijsde yang dimaksud adalah putusan perkara pidana,

bukan putusan perkara perdata. Jadi syarat pokok putusan perkara

pidana menjadi nebis in idem adalah apabila perbuatan (dalam suatu

tindak pidana) telah diputus dengan putusan inkracht van gewijsde.

Terhadap putusan perkara pidana tersebut tidak boleh dituntut kedua

kalinya. Tujuan dan latar belakang atau rasio dibentuknya ketentuan

ini adalah untuk atau demi kepastian hukum dan keadilan, di mana

terdakwa yang sudah diputus dengan putusan tetap tidak boleh

negara secara terus-menerus melakukan penuntutan pidana14.

Berdasarkan Pasal 76 KUHP bahwa perbuatan yang tidak

dapat dituntut dua kali (nebis in idem), adalah terhadap perbuatan

yang sama dari suatu tindak pidana yang telah diperiksa dan diputus

pengadilan dengan putusan (tiga macam amarnya tersebut) yang

telah bersifat tetap (inkracht van gewijsde zaak). Putusan perkara

perdata tidak dapat dijadikan landasan/dasar ne bis in idem terhadap

perkara pidana yang sekarang diperiksa dalam segala tingkatan.

14 Zainal Abidin, 2005. Pemidanaan, Pidana dan Tindakan dalam Rancangan KUHP.

ELSAM, Jakarta. hlm. 18-19

Page 8: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum tentang ...eprints.umm.ac.id/42283/3/BAB II.pdf · bagian/sub-sub dari salah satu amar ... Jadi syarat pokok putusan perkara pidana menjadi

22

Adapun alasan dan logika ketentuan dari Pasal 76 KUHP ini ialah

suatu putusan perkara perdata sekedar mencerminkan kebenaran

formil belaka dan tidak mencerminkan kebenaran materiil atau

kebenaran sejati karena kebenaran yang dicari dalam pemeriksaan

perkara perdata sudah cukup pada kebenaran formil semata.

Sementara putusan perkara pidana mencerminkan kebenaran

materiil.

Hal itu pula yang menjadi latar belakang dari

dikeluarkannya Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 1

Tahun1956 tentang Hubungan antara Peradilan Perdata dengan

Peradilan Pidana. Pada Pasal 3 secara tegas dinyatakan bahwa

“pengadilan dalam pemeriksaan perkara pidana tidak terikat oleh

suatu putusan pengadilan dalam pemeriksaan perdata tentang adanya

atau tidak adanya suatu hal perdata”. Oleh karena itu hubungan dan

kedudukan timbal balik antara kedua perkara (perdata dan pidana),

adalah bahwa kebenaran materiil yang didapat dari pemeriksaaan

perkara pidana akan mempengaruhi dan menentukan kedudukan

terhadap perkara perdatanya, bukan sebaliknya. Dengan demikian,

maka kedudukan kedua perkara ini ialah putusan perkara pidana

akan menentukan terhadap putusan perkara perdatanya15.

Hubungan antara perkara perdata dan perkara pidana, harus

dibedakan antara persoalan ne bis in idem dalam Pasal 76 KUHP

15 A. Ridwan Halim, 1982. Hukum Pidana dan Tanya Jawab. Ghalia Indonesia, Jakarta. hlm.

31

Page 9: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum tentang ...eprints.umm.ac.id/42283/3/BAB II.pdf · bagian/sub-sub dari salah satu amar ... Jadi syarat pokok putusan perkara pidana menjadi

23

dengan persoalan adanya perselisihan prayudisial (prejudiciel

geschill) dalam Pasal 81 KUHP . Tidak boleh dicampuradukkan.

Persoalan ne bis in idem adalah mengenai hal tidak dapat dapat lagi

dilakukan penuntutan atas suatu perbuatan dalam tindak pidana yang

sudah diputus dengan putusan tetap, sebagaimana pada alasan

penyidik yang hendak menghentikan penyidikan pada perkara pidana

ini. Sementara adanya perselisihan prayudisial adalah masalah

menghentikan sementara penuntutan oleh hakim disidang pengadilan

dengan alasan adanya perselisihan prayudisial dengan perkara lain

yang bisa terjadi dalam hal ada hubungannya dengan perkara lain

(bisa pidana atau perdata) yang sudah lebih dulu diperiksa namun

belum diputus. Sifat hubungan kedua perkara sekedar hanya

mempengaruhi, tidak bersifat menutup hak penuntutan bagi perkara

pidana. Namun berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor

1 Tahun 1956, dalam hal perselisihan prayudisial dengan perkara

perdata hakim pidana tidak perlu memperhatikan perkara perdata

tersebut. Hal ini sesuai dengan pengertian perselisihan prayudisial

menurut Pasal 81 KUHP tersebut yang sejak semula dimaksudkan

sebagai hak hakim saja, dimana hakim wajib menghentikan

pwenuntutan perkara pidana dengan menunggu putusnya perkara

perdata terlebih dahulu. 16

16 R. Soeroso. 1993. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Sinar Grafika. Hal. 269

Page 10: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum tentang ...eprints.umm.ac.id/42283/3/BAB II.pdf · bagian/sub-sub dari salah satu amar ... Jadi syarat pokok putusan perkara pidana menjadi

24

B. Tinjauan Umum Tentang Penahanan

Pengertian Penahanan dapat dilihat dalam Pasal 1 butir 21 KUHAP

yang menyatakan bahwa penahanan merupakan penempatan tersangka atau

terdakwa di tempat tertentu oleh penyidik, atau penuntut umum atau hakim

dengan penetapannya, dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam

undang-undang ini.

Berdasarkan ketentutan di atas terlihat bahwa substansi dari

pengertian penahanan ialah menempatkan sesorang di tempat tertentu.

Menurut Andi Hamzah penahanan merupakan salah satu bentuk perampasan

kemerdekaan17 Hal ini senada dengan pendapat Lamintang yang mengatakan

bahwa Penahanan pada dasarnya adalah suatu tindakan yang membatasi

kebebasan kemerdekaan seseorang18 Seseorang di sini bukanlah setiap orang

melainkan orang-orang yang menurut undang-undang dapat dikenakan

penahanan. Orang yang menurut undang-undang dapat dikenakan penahanan

berdasarkan pasal di atas ialah seorang yang telah ditetapkan sebagai

tersangka maupun terdakwa.

Berbeda dengan bentuk perampasan kemerdekaan yang lain yaitu

penangkapan yang hanya dapat dilakukan oleh penyidik saja maka penahanan

dapat dilakukan oleh pejabat yang berwenang dalam setiap jenjang tahapan

sistem peradilan pidana. Pada tahap penyidikan penyidik dapat melakukan

penahanan, dalam tahap penuntutan penuntut umum dapat melakukan

17 Andi Hamzah. Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana. Ghalia Indonesia Jakarta.

2001. hlm. 19

18 P.A.F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia. PT. Citra Adityta Bakti.Bandung.

1996. hlm. 16.

Page 11: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum tentang ...eprints.umm.ac.id/42283/3/BAB II.pdf · bagian/sub-sub dari salah satu amar ... Jadi syarat pokok putusan perkara pidana menjadi

25

penahanan dan tahap pemeriksaan di Pengadilan mulai dari Pengadilan

Negeri, Pengadilan Tinggi (Pengadilan Banding) dan Mahkamah Agung

(Pengadilan Kasasi), hakim dapat melakukan penahanan yang lamanya telah

diatur dalam Pasal 24 sampai Pasal 29 KUHAP

Sebagai bentuk perampasan kemerdekaan penahanan seperti halnya

penangkapan pada prinsipnya bertentangan dengan hak kebebasan bergerak

yang merupakan hak asasi manusia yang harus dihormati. Oleh karena itu

demi kepentingan umum penahanan dapat dilakukan dengan persyaratan yang

ketat. Persyaratan yang ketat tersebut dapat dilihat pada alasan untuk

melakukan penahanan. Alasan penahanan yang bersifat subjektif yaitu alasan

penahanan yang digantungkan pada pandangan/penilaian pejabat yang

menahan terhadap tersangka atau terdakwa. Alasan ini diatur dalam Pasal 21

Ayat (1) di mana pejabat yang berwenang menahan dapat menahan

tersangka/terdakwa apabila menurut penilaiannya si tersangka/terdakwa di

kwatirkan hendak melarikan diri, menghilangkan barang bukti serta

dikuatirkan mengulangi tindak pidana lagi

KUHP selain mengatur alasan penahanan yang bersifat subjektif,

juga mengatur alasan penahanan yang bersifat objektif dalam Pasal 21 Ayat

(4). Alasan penahanan objektif yaitu alasan penahanan yang didasarkan pada

jenis tindak pidana apa yang dapat dikenakan penahanan. Dari alasan objektif

ini jelas bahwa tidak semua tindak pidana dapat dikenakan penahanan

terhadap tersangka atau terdakwa. Adapun tindak pidana yang dapat

dikenakan penahanan yaitu tindak pidana yang ancaman pidananya maksimal

Page 12: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum tentang ...eprints.umm.ac.id/42283/3/BAB II.pdf · bagian/sub-sub dari salah satu amar ... Jadi syarat pokok putusan perkara pidana menjadi

26

5 ke atas serta tindak pidana sebagaimana disebutkan secara limitatis dalam

Pasal 21 Ayat (4) sub d.

Pada prinsipnya penahanan merupakan pembatasan terhadap

kebebasan seseorang yaitu kebebasan bergerak di mana hal ini merupakan

salah satu hak asasi manusia yang harus dihormati. Berdasaarkan prinsip hak

asasi manusia tersebut maka perampasan kemerdekaan dapat dilakukan

apabila didasarkan pada hukum yang berlaku. Oleh karena itu pada

prinsipnya pengaturan tentang kewenangan penahanan hendaknya didasarkan

pada landasan filosofis bahwa kemerdekaan seseorang adalah merupakan hak

asasi manusia yang mendasar, yang tidak dapat dikurangi dibatasi oleh

siapapun dalam bentuk apapun (non derogable rights). Berdasarkan landasan

filosofis tersebut maka tepatlah kalau KUHAP memandang penahanan

bukanlah suatu keharusa (imperatif) melainkan suatu kebolehan (fakultatif)

yaitu penahanan boleh dilakukan asal memenuhi syarat yang ditentukan oleh

undang-undang19

C. Tinjauan Umum Tentang Putusan Hakim

1. Pengertian Putusan Hakim

Pengertian Putusan Hakim Putusan Hakim merupakan tindakan

akhir dari Hakim di dalam persidangan, menentukan apakah di hukum atau

tidak si pelaku, jadi putusan Hakim adalah pernyataan dari seorang hakim

dalam memutuskan suatu perkara di dalam persidangan dan memiliki

kekuatan hukum tetap. Berlandaskan pada visi teoritik dan praktik

19 Andi Hamzah. Op cit. hlm. 23

Page 13: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum tentang ...eprints.umm.ac.id/42283/3/BAB II.pdf · bagian/sub-sub dari salah satu amar ... Jadi syarat pokok putusan perkara pidana menjadi

27

peradilan maka putusan Hakim itu merupakan: “Putusan yang di ucapkan

oleh hakim karena jabatannya dalam persidangan perkara pidana yang

terbuka untuk umum setelah melalui proses dan prosedural hukum acara

pidan pada umumnya berisikan amar pemidanaan atau bebas atau

pelepasan dari segala tuntutan hukum dibuat dalam bentuk tertulis dengan

tujuan menyelesaikan perkara.20

Putusan hakim pada dasarnya adalah suatu karya menemukan

hukum, yaitu menetapkan bagaimanakah seharusnya menurut hukum

dalam setiap peristiwa yang menyangkut kehidupan dalam suatu negara

hukum Pengertian lain mengenai putusan hakim adalah hasil musyawarah

yang bertitik tolak dari surat dakwaan dengan segala sesuatu yang terbukti

dalam pemeriksaan Disidang pengadilan. Dalam Pasal 1 butir 11 Kitab

Undang-Undang Hukum Acara Pidana disebutkan bahwa Putusan

pengadilan adalah pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang

pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas

dari segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur

dalam Undang-undang ini. Isi putusan pengadilan diatur dalam Pasal 25

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman

yang menyatakan bahwa:

1. Segala putusan pengadilan selain harus memuat alasan-alasan dan dasar-

dasar putusan itu, juga harus menuat pula pasal-pasal tertentu dari

20 Lilik Mulyadi. . 2007. Kompilasi hukum pidana dalam perspektif teoritis dan prakter

pradilan. Mandar Maju. hal 127

Page 14: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum tentang ...eprints.umm.ac.id/42283/3/BAB II.pdf · bagian/sub-sub dari salah satu amar ... Jadi syarat pokok putusan perkara pidana menjadi

28

peraturan-peraturan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis

yang dijadikan dasar untuk mengadili.

2. Tiap putusan pengadilan ditandatangani oleh ketua serta hakim-hakim

yang Memutuskan dan panitera yang ikut serta bersidang.

3. Penetapan-penetapan, ikhtiar-ikhtiar rapat permusyawaratan dan berita-

berita acara tentang pemeriksaan sidang ditandatangani oleh ketua dan

panitera.

2. Jenis-jenis Putusan Hakim

Ada berbagai jenis Putusan Hakim dalam pengadilan sesuai dengan sudut

pandang yang kita lihat. Dari segi fungsinya dalam mengakhiri perkara

putusan hakim adalah sebagai berikut :

a. Putusan Akhir

Putusan Akhir adalah putusan yang mengakhiri pemeriksaan di

persidangan, baik telah melalui semua tahapan pemeriksaan maupun

yang tidak/belum menempuh semua tahapan pemeriksaan. Putusan

yang dijatuhkan sebelum tahap akhir dari tahap-tahap pemeriksaan,

tetapi telah mengakhiri pemeriksaan yaitu :

1. putusan gugur

2. putusan verstek yang tidak diajukan verzet

3. putusan tidak menerima

4. putusan yang menyatakan pengadilan agama tidak berwenang

memeriksa Semua putusan akhir dapat dimintakan akhir, kecuali bila

undang undang menentukan lain .

Page 15: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum tentang ...eprints.umm.ac.id/42283/3/BAB II.pdf · bagian/sub-sub dari salah satu amar ... Jadi syarat pokok putusan perkara pidana menjadi

29

b. Putusan Sela

Putusan sela merupakan putusan yang dijatuhkan masih dalam

proses pemeriksaan perkara dengan tujuan untuk memperlancar

jalannya pemeriksaan.putusan sela tidak mengakhiri pemeriksaan,

tetapi akan berpengaruh terhadap arah dan jalannya pemeriksaan.

Putusan sela dibuat seperti putusan biasa, tetapi tidak dibuat secara

terpisah, melainkan ditulis dalam berita acara persidangan saja.

Putusan sela harus diucapkan di depan sidang terbuka untuk umum

serta ditanda tangani oleh majelis hakim dan panitera yang turut

bersidang.Putusan sela selalu tunduk pada putusan akhir karena tidak

berdiri sendiri dan akhirnya dipertimbangkan pula pada putusan akhir.

Hakim tidak terikat pada putusan sela, bahkan hakim dapat

merubahnya sesuai dengan keyakinannya. Putusan sela tidak dapat

dimintakan banding kecuali bersama-sama dengan putusan akhir. Para

pihak dapat meminta supaya kepadanya diberi salinan yang sah dari

putusan itu dengan biaya sendiri.

Kemudian putusan Hakim dalam acara pidana terbagi menjadi

tiga macam putusan yaitu:

1. Putusan Bebas (Pasal 191 ayat (1) KUHAP Putusan Bebas

merupakan Putusan Pengadilan yang di jatuhkan kepada terdakwa

karena dari hasil pemeriksaan sidang kesalahan terdakwa atas

perbuatan yang di dakwakan kepadanya dinyatakan tidak terbukti

sacara sah dan meyakinkan. Selanjutnya dalam Penjelasan Pasal 191

Page 16: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum tentang ...eprints.umm.ac.id/42283/3/BAB II.pdf · bagian/sub-sub dari salah satu amar ... Jadi syarat pokok putusan perkara pidana menjadi

30

ayat (1) KUHAP dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan “

perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan

meyakinkan ” adalah tidak cukup terbukti menurut penilaian hakim

atas dasar pembuktian dengan menggunakan alat bukti menurut

ketentuan hukum acara pidana. Dari ketentuan tersebut di atas,

berarti putusan bebas ditinjau dari segi yuridis ialah putusan yang

dinilai oleh majelis hakim tidak memenuhi asas pembuktian menurut

Undang-Undang secara negatif, artinya dari pembuktian yang

diperoleh di persidangan, tidak cukup membuktikan kesalahan

terdakwa dan hakim tidak yakin atas kesalahan terdakwa yang tidak

cukup terbukti itu. Selain itu juga tidak memenuhi memenuhi asas

batas minimum pembuktian, artinya kesalahan yang didakwakan

kepada terdakwa hanya didukung oleh satu alat bukti saja, sedang

menurut ketentuan Pasal 183 KUHAP, agar cukup membuktikan

kesalahan seorang terdakwa, harus dibuktikan dengan sekurang-

kurangnya dua alat bukti yang sah.21

2. Putusan Lepas dari segala Tuntutan Hukum Merupakan Putusan

yang di jatuhkan kepada terdakwa yang setelah melalui pemeriksaan

ternyata menurut pendapat pengadilan, perbuatan yang didakwakan

kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan satu

tindak pidana.(Pasal 191 ayat (2) KUHAP) Jenis putusan ini dasar

hukumnya dapat di temukan dalam Pasal 191 ayat (2) KUHAP yang

21 M Yahya Harahap . 2005.Pembahasan dan Peenrapan KUHAP. Sinar Grafika. hal 358

Page 17: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum tentang ...eprints.umm.ac.id/42283/3/BAB II.pdf · bagian/sub-sub dari salah satu amar ... Jadi syarat pokok putusan perkara pidana menjadi

31

menyebutkan: “Jika pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang

di dakwakan kepada terdakwa terbukti,tetapi perbuatan itu tidak

merupakan suatu tindak pidana, maka terdakwa di putus lepas dari

segala tuntutan”.

3. Putusan yang mengandung pemidanaan Merupakan putusan yang

membebankan suatu pidana kepada terdakwa karena perbuatan yang

didakwakan terbukti secara sah dan meyakinkan bahwa terdakwa

bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan itu.(Pasal 193 ayat

(1) KUHAP). Dasar putusan ini adalah Pasal 193 ayat (3) KUHAP

yang berbunyi: “Jika pengadilan berpendapat bahwa terdakwa

bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya,

maka pengadilan menjatuhkan pidana”.

3. Teori-Teori Pembuktian Dalam Hukum Pidana

Sistem pembuktian adalah pengaturan tentang macam-macam alat

bukti yang boleh dipergunakan, penguraian alat bukti, dan dengan cara-

cara bagaimana alat-alat bukti itu dipergunakan serta dengan cara

bagaimana haim harus membentuk keyakinannya di depan sidang

pengadilan. 22

Sistem pembuktian adalah sistem yang berisi terutama tentang alat-

alat bukti apa yang boleh digunakan untuk membuktian, cara bagaimana

alat bukti itu boleh dipergunakan, dan nilai kekuatan dari alat-alat bukti

tersebut serta standar/kriteria yang menjadi ukuran dalam mengambil

22 Alfitra, 2011, Hukum Pembuktian dalam beracara Pidana, Perdata dan Korupsi di

Indonesia, Jakarta : Raih Asa Sukses, Hlm 28.

Page 18: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum tentang ...eprints.umm.ac.id/42283/3/BAB II.pdf · bagian/sub-sub dari salah satu amar ... Jadi syarat pokok putusan perkara pidana menjadi

32

kesimpulan tentang terbuktinya sesuatu (objek) yang dibuktikan. Sistem

pembuktian merupakan suatu kebulatan atau keseluruhan dari berbagai

ketentuan perihal kegiatan pembuktian yang saling berkaitan dan

berhubungan satu dengan yang lain yang tidak terpisahkan dan menjadi

satu kesatuan yang utuh. 23

Hukum acara pidana mengenal beberapa macam teori pembuktian

yang menjadi pegangan bagi hakim dalam melakukan pemeriksaan

terhadap di sidang pengadilan. Sejalan dengan perkembangan waktu, teori

atau sistem pembuktian mengalami perkembangan dan perubahan.

Demikian pula penerapan sistem pembuktian di suatu negara dengan

negara lain dapat berbeda. Adapun sistem atau teori pembuktian yang

dikenal dalam dunia hukum pidana yaitu conviction intime atau teori

pembuktian berdasarkan keyakinan hakim semata-mata, conviction

rasionnee atau teori pembuktian berdasarkan keyakinan hakim dalam

batas-batas tertentu atas alasan yang logis, positif wettelijk bewijstheorie

atau teori Pembuktian yang hanya berdasarkan kepada alat-alat

pembuktian yang disebut oleh undang-undang secara positif, dan negatief

wettelijk bewijstheorie atau teori pembuktian berdasarkan keyakinan

hakim yang timbul dari alat-alat bukti dalam undang-undang secara

negatif. 24

23 Adhami Chazawi, 2008, Hukum Pembuktian Tindak Pidana Korupsi, Bandung :

Alumni, Hlm 24. 24 Hendar Soetarna, 2011, Hukum Pembuktian dalam Acara Pidana, Bandung : Alumni,

Hlm 11.

Page 19: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum tentang ...eprints.umm.ac.id/42283/3/BAB II.pdf · bagian/sub-sub dari salah satu amar ... Jadi syarat pokok putusan perkara pidana menjadi

33

a. Conviction intime atau Teori pembuktian berdasaran keyakinan hakim

semata-mata

Conviction intime diartikan sebagai pembuktian berdasarkan

keyakinan hakim belaka. Teori pembuktian ini lebih memberikan

kebebasan kepada hakim untuk menjatuhkan suatu putusan berdasarkan

keyakinan hakim, artinya bahwa jika dalam pertimbangan putusan hakim

telah menganggap terbukti suatu perbuata sesuai dengan keyakinan yang

timbul dari hati nurani, terdakwa yang diajukan kepadanya dapat

dijatuhkan putusan. Keyakinan hakim pada teori ini adalah menetukan

dan mengabaikan hal-hal lainnya jika sekiranya tidak sesuai atau

bertentangan dengan keyakinan hakim tersebut. 25

Sistem ini pernah diterapkan di Indonesia, yaitu pada pengadilan

distrik dan pengadilan kabupaten. Sistem ini memungkinkan hakim

menyebut apa saja sebagai dasar keyakinannya, termasuk bisikan dukun.

Hal tersebut juga terjadi pada pengadilan adat dan swapraja yang para

hakimnya terdiri atas orang-orang yang bukan ahli hukum. Sistem ini

merugikan dalam hal pengawasan terhadap hakim dan merugikan

terdakwa dan penasihat hukum karena tidak jelas patokan dan ukuran

suatu keyakinan hakim. 26

Sistem ini mengandung kelemahan yang besar, karena sebagai

manusia biasa, hakim bisa salah keyakinan yang telah dibentuknya,

berhubung tidak ada kriteria, alat-alat bukti tertentu yang harus

25 Rusli Muhammad, 2007, Hukum Acara Pidana Kontemporer, Bandung : Citra Aditya

Bakti, Hlm 186-187. 26 Hendar Soetarna, Op cit, Hlm 39-40.

Page 20: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum tentang ...eprints.umm.ac.id/42283/3/BAB II.pdf · bagian/sub-sub dari salah satu amar ... Jadi syarat pokok putusan perkara pidana menjadi

34

dipergunakan dan syarat serta cara-cara hakim dalam membentuk

keyakinannya itu. Di samping itu, pada sistem ini terbuka peluang yang

besar untuk terjadi praktik penegakan hukum yang sewenang-wenang,

dengan bertumpa pada alasan keyakinan hakim.27

b. Conviction Rasionnee atau Teori pembuktian berdasarkan keyakinan

hakim dalam batas-batas tertentu atas alasan yang logis

Sistem pembuktian conviction rasionnee adalah sistem

pembuktian yang tetap menggunakan keyakinan hakim, tetapi keyakinan

hakim didasarkan pada alasan-alasan (reasoning) yang rasional. Dalam

sistem ini hakim tidak dapat lagi memiliki kebebasan untuk menentukan

keyakinannya, tetapi keyakinannya harus diikuti dengan alasan-alasan

yang reasonable yakni alasan yang dapat diterima oleh akal pikiran yang

menjadi dasar keyakinannya itu.

Conviction rasionnee sebagai jalan tengah antara teori

pembuktian berdasarkan undang-undang dan teori pembuktian semata-

mata berdasar keyakinan hakim. Dalam teori ini, hakim dapat

memutuskan terdakwa bersalah berdasarkan keyakinannya, namun tidak

semata-mata keyakinan yang diciptakan oleh hakim sendiri, tetapi

keyakinan hakim sampai batas tertentu, yaitu keyakinan hakim yang

didasarkan kepada dasar-dasar pembuktian dengan suatu kesimpulan

(conclusive) yang berlandaskan kepada ketentuan pembuktian tertentu. 28

27 Adhami Chazawi, Op cit, Hlm 25.

28 Hendar Soetarna, Op cit, Hlm 40.

Page 21: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum tentang ...eprints.umm.ac.id/42283/3/BAB II.pdf · bagian/sub-sub dari salah satu amar ... Jadi syarat pokok putusan perkara pidana menjadi

35

c. Positif Wettelijk Bewijstheorie atau Teori Pembuktian yang hanya

berdasarkan kepada alat-alat pembuktian yang disebut oleh undang-

undang secara positif

Sistem pembuktian positif wettelijk bewijstheorie adalah

pembuktian berdasarkan alat bukti menurut undang-undang secara positif

atau pembuktian dengan menggunakan alat-alat bukti yang sebelumnya

telah ditentukan dalam undang-undang. Untuk menentukan kesalahan

seseorang, hakim harus mendasarkan pada alat-alat bukti yang tersebut

dalam undang-undang, jika alat-alat bukti tersebut telah terpenuhi, hakim

sudah cukup beralasan untuk menjatuhkan putusannya tanpa harus timbul

keyakinan terlebih dahulu atas kebenaran alat-alat bukti yang ada.

Dengan kata lain, keyakinan hakim tidak diberi kesempatan dalam

menentukan ada tidaknya kesalahan seseorang, keyakinan hakim harus

dihindari dan tidak dapat dijadikan sebagai pertimbangan dalam

menentukan kesalahan seseorang.

Sistem ini hanya sesuai dengan pemeriksaan yang bersifat

inkuisitor yang dulu pernah dianut di Eropa yang saat ini sudah tidak

digunakan lagi karena bertentangan dengan hak-hak asasi manusia yang

saat ini sangat diperhatikan dalam hal pemeriksaan tersangka atau

terdakwa oleh negara. Sistem ini sama sekali mengabaikan perasaan hati

nurani hakim, di mana hakim bekerja menyidangkan terdakwa seperti

robot yang tingkah lakunya sudah diprogram melalui undang-undang. 29

29 Adhami Chazawi, Op cit, Hlm 27-28.

Page 22: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum tentang ...eprints.umm.ac.id/42283/3/BAB II.pdf · bagian/sub-sub dari salah satu amar ... Jadi syarat pokok putusan perkara pidana menjadi

36

Wirjono Prodjodikoro, menolak teori ini untuk dianut di Indonesia,

karena menurutnya bagaimana hakim dapat menetapkan kebenaran

selain dengan cara menyatakan kepada keyakinannya tentang hal

kebenaran itu, lagi pula keyakinan seorang hakim yang jujur dan

berpengalaman mungkin sekali adalah sesuai dengan keyakinan

masyarakat. 30

d. Negatief Wettelijk Bewijstheorie atau Teori pembuktian berdasarkan

keyakinan hakim yang timbul dari alat-alat bukti dalam undang-undang

secara negatif

Pembuktian negatief wettelijk bewijstheorie atau pembuktian

berdasarkan undang-undang secara negatif adalah pembuktian yang

selain menggunakan alat-alat bukti yang dicantumkan di dalam undang-

undang, juga menggunakan keyakinan hakim. Sekalipun menggunakan

keyakinan hakim, namun keyakinan hakim terbatas pada alat-alat bukti

yang ditentukan dalam undang-undang. Sistem pembuktian ini

menggabungkan antara sistem pembuktian menurut undang-undang

secara positif dan sistem pembuktian menurut keyakinan hakim sehingga

sistem pembuktian ini disebut pembuktian berganda (doubelen

grondslag).

Negatief wettelijk bewijstheorie memadukan dua unsur yaitu

ketentuan pembuktian berdasarkan undang-undang dan unsur keyakinan

hakim menjadi satu unsur yang tidak dapat terpisahkan. Keyakinan

30 Andi Hamzah, 2014, Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta : Sinar Grafika, Hlm

251.

Page 23: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum tentang ...eprints.umm.ac.id/42283/3/BAB II.pdf · bagian/sub-sub dari salah satu amar ... Jadi syarat pokok putusan perkara pidana menjadi

37

hakim dipandang tidak ada apabila keyakinan tersebut tidak diperoleh

dari sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, dan dua alat bukti yang

sah dipandang nihil bila tidak dapat menciptakan keyakinan hakim.

Dari hasil penggabungan kedua sistem dari yang saling bertolak

belakang itu, terwujudlah suatu sistem pembuktian menurut undang-

undang secara negatif. Di mana rumusannya bahwa salah tidaknya

seorang terdakwa ditentukan oleh keyakinan hakim yang didasarkan

kepada cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang.

Sistem pembuktian negatief wettelijk bewijstheorie mempunyai

persamaan dan perbedaan dengan sistem conviction rasionalee.

Persamaannya adalah kedua teori tersebut sama-sama menggunakan

keyakinan hakim dan kedua-duanya sama-sama membatasi keyakinan

hakim. Sedangkan perbedaannya bahwa sistem conviction rasionalee

berpangkal tolak pada keyakinan hakim yang didasarkan pada suatu

kesimpulan atau alasan-alasan yang logis yang diterima oleh akal pikiran

yang tidak didasarkan pada ungna-undang, sedangkan pembuktian

negatief wettelijk bewijstheorie berpangkal tolak pada alat-alat bukti

yang ditetapkan secara limitatif oleh undang-undang dan harus mendapat

keyakinan hakim. 31

Sistem pembuktian yang dianut oleh KUHAP sebagaimana diatur

dalam Pasal 183 KUHAP memadukan unsur-unsur objektif dan subjektif

dalam menentukan salah tidaknya terdakwa. tidak ada yang paling

31 Rusli Muhammad, Hukum. Op cit, Hlm 190-191.

Page 24: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum tentang ...eprints.umm.ac.id/42283/3/BAB II.pdf · bagian/sub-sub dari salah satu amar ... Jadi syarat pokok putusan perkara pidana menjadi

38

dominan diantara kedua unsur tersebut, keduanya saling berkaitan. Jika

suatu perkara terbukti secara sah (sah dalam arti alat-alat bukti menurut

undang-undang), akan tetapi tidak meyakinkan hakim akan adanya

kesalahan tersebut, maka hakim tidak dapat menjatuhkan putusan pidana

pemidanaan terhadap terdakwa.32

P.A.F Lamintang menyatakan bahwa sistam pembuktian dalam

KUHAP, disebut :

1. Wettelijk atau menurut undang-undang karena untuk pembuktian

undang-undanglah yang menentukan tentang jenis dan banyaknya alat

bukti yang harus ada.

2. Negatief, karena adanya jenis-jenis dan banyaknya alat-alat bukti yang

ditentukan oleh undang-undang itu belum dapat membuat hakim harus

menjatuhkan putusan pidana bagi seorang terdakwa apabila jenis-jenis

dan banyaknya alat-alat bukti itu belum dapat menimbulkan keyakinan

pada dirinya bahwa suatu tindak pidana itu benar-benar telah terjadi dan

bahwa terdakwa telah bersalah melakukan tindak pidana tersebut.33

Sistem menurut undang-undang secara negatif yang diatur dalam

Pasal 183 KUHAP, mempunyai pokok-pokok sebagai berikut :

1. Tujuan akhir pembuktian untuk memutus perkara pidana, yang jika

memenuhi syarat pembuktian dapat menjatuhkan pidana. Dengan kata

lain bahwa pembuktian ditujukan untuk memutus perkara pidana, dan

bukan semata-mata untuk menjatuhkan pidana.

32 Tolib Efendi, 2014, Dasar-Dasar Hukum Acara Pidana ; Perkembangan Dan

Pembaharuanya di Indonesia, Malang : Setara Press, Hlm 172. 33 Rusli Muhammad, Hukum. Op cit, Hlm 192.

Page 25: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum tentang ...eprints.umm.ac.id/42283/3/BAB II.pdf · bagian/sub-sub dari salah satu amar ... Jadi syarat pokok putusan perkara pidana menjadi

39

2. Standar/syarat tentang hasil pembuktian untuk menjatuhkan pidana

dengan dua syarat yang saling berhubungan dan tidak terpisahkan, yaitu :

a. Harus menggunakan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah.

b. Dengan menggunakan sekurang-kurangnya dua alat bukti hakim

memperoleh keyakinan.

Berkaitan dengan keyakinan hakim dalam pembuktian, haruslah

dibentuk atas dasar fakta-fakta hukum yang diperoleh dari minimal dua

alat bukti yag sah. Adapun keyakinan hakim yang harus didapatkan dalam

proses pembuktian untuk dapat menjatuhkan pidana yaitu :

1. Keyakinan bahwa telah terjadi tindak pidana sebagaimana yang

didakwakan oleh JPU, artinya fakta-fakta yang didapat dari dua alat bukti

itu (suatu yang obyektif) yang membentuk keyakinan hakim bahwa

tindak pidana yang didakwakan benar-benar telah terjadi. Dalam praktik

disebut bahwa tindak pidana yang didakwakan JPU telah terbukti secara

sah dan meyakinkan. Secara sah maksudnya telah menggunakan alat-alat

bukti yang memenuhi syarat minimal yakni dari dua alat bukti.

Keyakinan tentang telah terbukti tindak pidana sebagaimana didakwakan

JPU tidaklah cukup untuk menjatuhkan pidana, tetapi diperlukan pula

dua keyakinan lainnya.

2. Keyakinan tentang terdakwa yang melakukannya, adalah juga

keyakinan terhadap sesuatu yang objektif. Dua keyakinan itu dapat

disebut sebagai hal yang objektif yang disubyektifkan. Keyakinan adalah

sesuatu yang subyetif yang didapatkan hakim atas sesuatu yang obyektif.

Page 26: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum tentang ...eprints.umm.ac.id/42283/3/BAB II.pdf · bagian/sub-sub dari salah satu amar ... Jadi syarat pokok putusan perkara pidana menjadi

40

3. Keyakinan tentang terdakwa bersalah dalam hal melakukan tindak

pidana, bisa terjadi terhadap dua hal/unsur, yaitu pertama hal yang

bersifat objektif adalah tiadanya alasan pembenar dalam melakukan

tindak pidana. Dengan tidak adanya alasan pembenar pada diri terdakwa,

maka hakim yakin kesalahan terdakwa. Sedangkan keyakinan hakim

tentang hal yang subyektif adalah keyakinan hakim tentang kesalahan

terdakwa yang dibentuk atas dasar-dasar hal mengenai diri terdakwa.

Maksudnya, adalah ketika melakukan tindak pidana pada diri terdakwa

tidak terdapat alasan pemaaf (fait d’excuse). Bisaj jadi terdakwa benar

melakukan tindak pidana dan hakim yakin tentang itu, tetapi setelah

mendapatkan fakta-fakta yang menyangkut keadaan jiwa terdakwa dalam

persidangan, hakim tidak terbentuk keyakinannya tentang kesalahan

terdakwa melakukan tindak pidana tersebut.

Dengan demikian, maksud dilakukannya kegiatan pembuktian

sebagaimana diatur dalam Pasal 183 KUHAP adalah untuk menjatuhkan

atau mengambil putusan in casu menarik amar putusan oleh majelis hakim.

Pembuktian dilakukan terlebih dahulu dalam usaha mencapai derajat

keadilan dan kepastian hukum yang setinggi-tingginya dalam putusan

hakim. Sehigga pembuktian tidak hanya ditujukan untuk menjatuhkan

pidana saja berdasarkan syarat minimal dua alat bukti yang harus dipenuhi

dalam hal pembuktian untuk menjatuhkan pidana. 34

34 Adhami Chazawi, Op cit, Hlm 30.

Page 27: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum tentang ...eprints.umm.ac.id/42283/3/BAB II.pdf · bagian/sub-sub dari salah satu amar ... Jadi syarat pokok putusan perkara pidana menjadi

41

D. Tinjauan Umum Tentang Aspek Kepastian Hukum

Kepastian hukum merupakan salah satu dari tujuan hukum yang ada di

Indonesia. Kepastian hukum merupakan termometer penerapan hukum di

Indonesia, banyaknya permasalahan hukum di Indonesia menyebabkan

ketidakpastian penerapan hukum, sehingga seringkali penerapan hukum dalam

kenyataan tidak sesuai bahkan jauh berbeda dengan teori yang ada. Semakin

baik suatu negara hukum berfungsi, maka semakin tinggi tingkat kepastian

hukumnyata. Sebaliknya bila suatunegara tidak memiliki sistem hukum yang

berfungsi secara otonom, maka kecil pulsa tingkat kepastian hukum35

Sejak mengumandangkan kemerdekaan Indonesia sejak 70 tahun lalu

hingga saat ini Indonesia masih dirasa kurang produktif dalam membuat

hukum bagi masyarakat. Tidak sedikit peraturan yang dibuat oleh pemerintah,

akan tetapi hal tersebut dirasa semakin lama menjadi semakin tumpang tindih

sehingga membingungkan masyarakat. Indonesia sebagai negara berkembang

tidak luput dari permasalahan hukum terutama dalam penerapannya.

Kepastian hukum merupan suatu tujuan hukum yang mengutamakan kepada

kumpulan peraturan tanpa melihat keadilan maupun kemanfaatan. Menurut

Utrecht, kepastian hukum mengandung dua pengertian, yaitu pertama, adanya

aturan yang bersifat umum membuat individu mengetahui perbuatan apa yang

boleh atau tidak boleh dilakukan, dan kedua, berupa keamanan hukum bagi

individu dari kesewenangan pemerintah karena dengan adanya aturan yang

35 Jan Michiel Otto. 2003. Kepastian Hukum di Negara Berkembang. Jakarta: Komisi

Hukum Nasional Republik Indonesia. hal.5-6

Page 28: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum tentang ...eprints.umm.ac.id/42283/3/BAB II.pdf · bagian/sub-sub dari salah satu amar ... Jadi syarat pokok putusan perkara pidana menjadi

42

bersifat umum itu individu dapat mengetahui apa saja yang boleh dibebankan

atau dilakukan oleh negara terhadap individu36

Kepastian hukum termasuk dalam aliran normatif yuridis. Aliran

normatif yuridis, yang menganggap bahwa pada prinsipnya tujuan hukum itu

adalah untuk menciptakan kepastian hukum Aliran normatif/yuridis dogmatis

yang pemikirannya bersumber pada positivistis yang beranggapan bahwa

hukum sebagai sesuatu yang otonom dan mandiri, tidak lain hanyalah

kumpulan aturan yang terdapat dalam ketentuan peraturan perundang-

undangan atau hukum yang tertulis saja, dan tujuan pelaksanaan hukum dalam

hal ini untuk sekadar menjamin terwujudnya kepastian hukum. Menurut aliran

ini selanjutnya, walaupun aturan hukum atau penerapan hukum terasa tidak

adil dan tidak memberikan manfaat yang besar bagi mayoritas warga

masyarakat, hal tersebut tidaklah menjadi masalah, asalkan kepastian hukum

dapat ditegakkan

E. Tinjauan Umum Tentang Asas Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan

Pengertian sederhana mengacu pada “complicated” penyelesaian suatu

perkara, perkataan cepat atau “dalam tenggang waktu yang pantas” mengacu

pada “tempo”, cepat atau lambatnya, penyelesaian suatu perkara; sedangkan

perkataan “biaya ringan“ mengacu pada banyak atau sedikitnya biaya yang

harus dikeluarkan oleh para pencari keadilan dalam menyelesaikan

sengketanya didepan peradilan. Pasal 1 Undang- Undang Nomor 4 Tahun

2004 tentang Kekuasaan Kehakiman menentukan bahwa: “Kekuasaan

36 Riduan Syahrani. 1999. Rangkuman Intisari Ilmu Hukum. Bandung: Aditya Bakti. Hal.23

Page 29: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum tentang ...eprints.umm.ac.id/42283/3/BAB II.pdf · bagian/sub-sub dari salah satu amar ... Jadi syarat pokok putusan perkara pidana menjadi

43

Kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan

peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi

terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia”. Hukum hanya dapat

ditegakkan dan keadilan hanya bisa dirasakan apabila proses pemeriksaan

didepan pengadilan dilakukan dengan kecermatan dan ketelitian, sehingga

dihasilkan putusan hakim yang secara kualitatif benar bermutu dan memenuhi

rasa keadilan masyarakat.

Asas sederhana, cepat, dan biaya ringan merupakan asas yang tidak

kalah pentingnya dengan asas- asas lain yang terdapat dalam Pasal 4 ayat (2)

Undang- Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.

Menurut Sudikno Mertokusumo pengertian asas sederhana, cepat, dan

biaya ringan, yaitu:

1) Kata cepat menunjuk kepada jalannya peradilan, terlalu banyak formalitas

merupakan hambatan bagi jalannya peradilan. Dalam hal ini bukan hanya

jalannya peradilan dalam pemeriksaan di muka persidangan saja, tetapi

juga penyelesaian berita acara pemeriksaan di persidangan sampai dengan

penandatanganan oleh hakim dan pelaksanaannya. Tidak jarang perkara

tertunda- tunda sampai bertahun- tahun karena saksi tidak datang atau para

pihak bergantian tidak datang, bahkan perkaranya sampai dilanjutkan oleh

para ahli warisnya. Dapat disimpulkan bahwa cepatnya proses peradilan

akan meningkatkan kewibawaan pengadilan dan menambah kepercayaan

masyarakat kepada Pengadilan.

Page 30: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum tentang ...eprints.umm.ac.id/42283/3/BAB II.pdf · bagian/sub-sub dari salah satu amar ... Jadi syarat pokok putusan perkara pidana menjadi

44

2) Asas sederhana adalah acara yang jelas, mudah difahami dan tidak berbelit

-belit, dan cukup one stop service (penyelesaian sengketa cukup

diselesaikan melalui satu lembaga peradilan). Semakin sedikit dan

sederhana formalitas-formalitas yang diwajibkan atau diperlukan dalam

beracara di muka pengadilan, semakin baik. Terlalu banyak formalitas

yang sukar difahami, sehinggga memungkinkan timbulnya berbagai

penafsiran, kurang menjamin adanya kepastian hukum dan menyebabkan

keengganan atau ketakutan untuk beracara di muka pengadilan.

3) Ditentukan biaya ringan dalam beracara di pengadilan maksudnya agar

terpikul atau dijangkau oleh rakyat. Biaya yang tinggi kebanyakan

menyebabkan pihak yang berkepentingan enggan untuk mengajukan

tuntutan hak kepada pengadilan.

Asas peradilan sederhana, cepat, dan biaya ringan terdapat dalam Pasal

4 ayat (2) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan

Kehakiman. Asas sederhana adalah acara yang jelas, mudah difahami dan

tidak berbelit-belit, dan cukup one stop service (penyelesaian sengketa cukup

diselesaikan melalui satu lembaga peradilan). Semakin sedikit dan sederhana

formalitas-formalitas yang diwajibkan atau diperlukan dalam beracara di

muka pengadilan, semakin baik. Terlalu banyak formalitas yang sukar

difahami, sehinggga memungkinkan timbulnya berbagai penafsiran, kurang

menjamin adanya kepastian hukum dan menyebabkan keengganan atau

ketakutan untuk beracara di muka pengadilan ringan.37

37 Sudikno Mertokusumo, Op.Cit, Hlm.36

Page 31: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum tentang ...eprints.umm.ac.id/42283/3/BAB II.pdf · bagian/sub-sub dari salah satu amar ... Jadi syarat pokok putusan perkara pidana menjadi

45

Makna dan tujuan asas peradilan cepat, sederhana dan biaya ringan

bukan hanya sekedar menitik beratkan unsur kecepatan dan biaya ringan.

Bukan berarti pemeriksaan perkara dilakukan seperti ban berputar. Tidak

demikian maknanya, asas ini bukan bertujuan untuk menyuruh hakim untuk

memeriksa dan memutus perkara dalam tempo satu atau setengah jam. Yang

dicita-citakan ialah seatu proses yang relatif tidak memakan jangka waktu

lama sampai bertahun-tahun sesuai dengan kesederhanaan hokum acara itu

sendiri. Apa yang sudah memang sederhana, jangan dipersulit oleh hakim ke

arah proses yang berbelit-belit dan tersendat-sendat.

Dalam hal ini yang dituntut dari hakim dalam penerapan asas ini ialah

sikap “moderasi”. Tidak cenderung secara ekstrim melakukan pemeriksaan

yang tergipoh-gopoh tak ubahnya sebuah mesin, sehingga jalannya

pemeriksaan meninggalkan harkat dan derajat kemanusiaan. Tetapi jangan

dilambat-lambatkan. Lakukan pemeriksaan yang seksama dan wajar, rasional

dan objektif dengan cara memberi kesempatan yang berimbang dan

sepatutnya kepada masing-masing pihak yang berperkara sesuai asas “Audi

alteram Paterm.38

Dalam Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan

Kehakiman yang dimaksud dengan sederhana adalah pemeriksaan dan

penyelesaian perkara dilakukan dengan cara efesien dan efektif. Biaya ringan”

adalah biaya perkara yang dapat dijangkau oleh masyarakat. Namun demikian,

asas sederhana, cepat, dan biaya ringan dalam pemeriksaan dan penyelesaian

38 M. Yahya Harahap, Op.cit, Hlm.70-71

Page 32: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum tentang ...eprints.umm.ac.id/42283/3/BAB II.pdf · bagian/sub-sub dari salah satu amar ... Jadi syarat pokok putusan perkara pidana menjadi

46

perkara di pengadilan tidak mengesampingkan ketelitian dan kecermatan

dalam mencari kebenaran dan keadilan.39

39 Brama Kuncoro, 2010, Penerapan asas, cepat, sederhana, dan biaya ringan dalam

penyelesaian perkara cerai talak di Pengadilan Agama Mungkid Magelang, Surakarta: Skripsi

Fakultas Hukum Universitas Surakarta, Hal 17