BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum tentang ...eprints.umm.ac.id/42283/3/BAB II.pdf ·...
-
Upload
hoangkhanh -
Category
Documents
-
view
219 -
download
0
Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum tentang ...eprints.umm.ac.id/42283/3/BAB II.pdf ·...
15
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Dalam penulisan tugas akhir ini akan digunakan beberapa terminologi guna
mempermudah penulis dalam menjabarkan fokus permasalahan, yang akan
dijelaskan sebagai berikut :
A. Tinjauan Umum tentang Prejudiciel Geschill
1. Pengertian Prejudiciel Geschill
Menurut Fockema Andrea, Prejudiciel Geschill berarti sengketa
yang diputuskan lebih dahulu dan membawa suatu keputusan untuk
perkara di belakang. Di Indonesia, ketentuan prejudiciel geschill diatur
dalam Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 4 Tahun 1980.
SEMA itu membagi prejudiciel geschill menjadi dua8.
Pertama, prejudiciel au action, yaitu perbuatan pidana tertentu
yang disebut dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), antar
lain Pasal 84 KUHP, dimana disebutkan ketentuan perdata diputus lebih
dulu sebelum mempertimbangkan penuntutan pidana. Kedua, question
prejudiciel au jugement, yaitu menyangkut permasalahan yang diatur
dalam pasal 81 KUHP. Pasal tersebut sekedar memberi kewenangan,
bukan kewajiban kepada hakim pidana untuk menangguhkan pemeriksaan
menunggu adanya putusan hakim perdata mengenai persengketaan. Lebih
8 Moeljatno, 1987. Asas-asas Hukum Pidana. Bina Aksara, Jakarta. hlm. 37
16
lanjut, jika hakim hendak menggunakan lembaga ini, hakim pidana tidak
terikat pada putusan hakim perdata bersangkutan9.
Demikian bunyi Perma No. 1 Tahun 1956. Meski nota keberatan
tidak menunjuk lebih lanjut prejudiciel jenis mana yang dimaksud, namun
argumentasi ini pada akhirnya dipertimbangkan juga oleh majelis hakim.
Merujuk pada SEMA No. 4 Tahun 1980, majelis hakim memasukkan
perkara ini dalam prejudiciel geschill berupa question prejudiciel au
jugement.
Prejudiciel geschill adalah sengketa pengadilan yang timbul dari
sengketa yang diperiksa di mana pengadilan yang sedang memeriksa tidak
berwenang untuk memutus perkara yang baru timbul tersebut, sehingga
diperlukan pengadilan lain yang berwenang terlebih dahulu. Terjadi ketika
pengadilan pidana sedang berjalan diperlukan adanya penetapan dari
pengadilan perdata, sehingga ditempuh terlebih dahulu pengadilan
perdata.10
2. Ketentuan Hukum adanya Prejudiciel geschill
a. Pidana Ditunda Menunggu Putusan Perdata
Laporan atau proses pidana apabila tergantung dari proses
perdata yang sedang bergulir di pengadiulan maka proses pidana
harus menunggu putusan sengketa perdata tersebut. Misalnya
merngenai sengketa harta waris, tiba-tiba ada laporan tentang
penggelapan harta waris padahal harta tersebut bukan atau belum
9 Wirjono Prodjodikoro, 1989. Asas-asas Hukum Pidana Indonesia, PT. Eresco, Bandung,
hlm. 1
10 John Thamrun. 2016. Perselisihan Prayudisial. Jakarta : Sinar Grafika. Hal 85-86
17
harta waris maka proses pidana harus ditunda dahulu hingga ada
putusan tentang kepastian ‘harta waris” atau bukan. Jika yang dijual
terbukti bukan harta warisan maka proses pidana harus dihentikan
dengan SP-3 (Surat Perintah Penundaan Penyidikan).11
Perkara pidana yang di dalamnya terdapat suatu sengketa
perdata, bukanlah hal yang janggal apbila suatu sengketa yang pada
dasarnya masuk dalam ranah hukum keperdataan kemudian dibawa
kedalam ranah hukum pidana.
Pada dasarnya penyidik merupakan gerbang terdepan pada
proses penengakan hukum pidana di Indonesia sebelum melanjutkan
atau menentuka dugaan perkara tindak pidana yang didalamnya
terdapatanasir atau unsur perdata, sudah sewajarnya terlebih dahulu
mengkaji secara mendalam tentang semua hal terkait fakta-fakta
hukum yang dilaporkan tersebut sehingga memberikan keadilan bagi
semua pihak.12
b. Penundaan Pemeriksaan Perkara Pidana
Penundaan pemeriksaan perkara pidana adalah konsep yang
sesuai dengan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1956
tentang Hubungan Perkara Pidana dan Perdata yang menyatakan
bahwa penundaan pemeriksaan perkara pidana dapat ditunda untuk
menunggu putusan perkara perdata yang berkekuatan hukum tetap.
11 Melisa Ifityanti. 2010. Analisis Yuridis terhadap Kewenangan Penyidik Mengeluarkan
Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP-3) Pada Perkara Tindak Pidana Korupsi. Medan :
Fakulutas Hukum Universitas Sumatra Utara 12 John Thamrun. Op.cit
18
Hakikat Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1956
adalah agar tidak menimbulkan keragu-raguan bagi hakim untuk
memutus perkara pidana namun saat pemeriksaan di proses
persidangan ditemukan fakta-fakta bahwa terdapat sengketa
keperdataan di dalam perkara pidana tersebut. Peraturan ini dijadikan
pedoman bagi hakim dalam mengeluarkan putusan sela untuk
menunda perkara pidana sampai dengan perkara perdata berkekuatan
hukum tetap dengan jangka waktu selama daluwarsa (pasal 81
KUHP).
Penundaan pemeriksaan perkara pidana dilakukan agar
gugatan perdata yang timbul saat proses hukum pidana dilaksanakan
dapat diselesaikan terlebih dahulu. Hal ini disebabkan karena
putusan hukum perdata sebagai hukum privat dapat mempengaruhi
putusan hukum pidana sebagai hukum publik dan bukan
sebaliknya.13
c. Dikeluarkannya PERMA RI No. 1 Tahun 1956 Tentang
Hubungan Antara Prejudiciel Geschill
Berdasarkan pasal 76 KUHP bahwa perbuatan yang tidak
dapat dituntut dua kali (nebis in idem), adalah terhadap perbuatan
yang sama dari suatu tindak pidana yang telah diperiksa dan diputus
pengadilan dengan putusan yang telah bersifat tetap (in krachtvan
gewijsde zaak). Putusan terhadap perbuatan (dalam tindak pidana
13 Ibid
19
yang menjadi pokok dakwaan) yang dimaksud Pasal 76 KUHP
tersebut, adalah putusan yang amarnya adalah:
1. Pemidanaan, termasuk tindakan (maatregelen),
2. Pembebasan, serta
3. pelepasan dari segala tuntutan hukum.
Putusan perkara perdata tidak dapat dijadikan landasan/dasar nebis
in idem terhadap perkara pidana yang sedang diperiksa dalam segala
tingkatan. Amar putusan dalam perkara perdata (secara umum)
adalah:
1. gugatan dikabulkan,
2. gugatan ditolak,
3. gugatan tidak dapat diterima.
Sementara secara khusus, setiap amar yang menjadi
bagian/sub-sub dari salah satu amar (terutama amar yang
mengabulkan gugatan) adalah bergantung dari petitum yang
dimohonkan.
Putusan perkara perdata meskipun telah in kracht van
gewijsde tidak dapat dijadikan alasan atau dasar perkara pidana.
Suatu putusan perkara perdata sekedar mencerminkan kebenaran
formil belaka, dan tidak mencerminkan kebenaran materiil atau
kebenaran sejati karena kebenaran yang dicari dalam pemeriksaan
perkara perdata sudah cukup pada kebenaran formil semata.
Sementara putusan perkara pidana mencerminkan kebenaran materiil
20
atau kebenaran yang sesungguhnya sejati karena yang dicari dalam
proses pemeriksaan dan persidangan perkara pidana adalah suatu
kebenaran sejati.
Obyek pemeriksaan perkara perdata perdata berbeda
dengan obyek pemeriksaan perkara pidana. Obyek pemeriksaan
perkara perdata ialah mengenai isi akta. Oleh karena itu,substansi
atau fokus pembuktiannya oleh penggugat pada bentuknya akta in
casu autentik yang menurut hukum (1868 BW) bagi para pihak yang
membuatnya merupakan alat bukti sempurna, kecuali dapat
dibuktikan sebaliknya. Sementara obyek pemeriksaan perkara pidana
adalah perbuatan karena kebenaran materiil tentang isinya tidak
cukup dicari pada kebenaran formil, yakni pada bentuknya akta in
casu autentik, melainkan pada perbuatan-perbuatan yang dilakukan
sebelum akta autentik dikeluarkan. Oleh karena itu, hubungan dan
kedudukan timbal balik antara kedua perkara (perdata dan pidana),
adalah bahwa kebenaran materiil yang didapat dari pemeriksaan
perkara pidana akan mempengaruhi dan menentukan kedudukan dari
perkara perdatanya bukan sebaliknya.
Kedudukan kedua perkara ini ialah putusan perkara pidana
akan menentukan terhadap perkara perdatanya. Jika terdakwa
dibebaskan maka membuktikan secaramateriil kesepakatan
keperdataan. Sebaliknya jika putusan perkara pidana mempidana
terdakwa in krachtvan gewijsde maka putusan tersebut membuktikan
21
bahwa kebenaran formil dalam putusan perdata bertentangan dengan
kebenaran yang sesungguhnya. Putusan perkara pidana ini berfungsi
membatalkan putusan perkara perdata. Oleh karena itu, digunakan
sebagai alasan mengajukan upaya hukum melawan putusan perkara
perdata.
Berdasarkan Pasal 76 KUHP, sudah pasti putusan yang
inkracht van gewijsde yang dimaksud adalah putusan perkara pidana,
bukan putusan perkara perdata. Jadi syarat pokok putusan perkara
pidana menjadi nebis in idem adalah apabila perbuatan (dalam suatu
tindak pidana) telah diputus dengan putusan inkracht van gewijsde.
Terhadap putusan perkara pidana tersebut tidak boleh dituntut kedua
kalinya. Tujuan dan latar belakang atau rasio dibentuknya ketentuan
ini adalah untuk atau demi kepastian hukum dan keadilan, di mana
terdakwa yang sudah diputus dengan putusan tetap tidak boleh
negara secara terus-menerus melakukan penuntutan pidana14.
Berdasarkan Pasal 76 KUHP bahwa perbuatan yang tidak
dapat dituntut dua kali (nebis in idem), adalah terhadap perbuatan
yang sama dari suatu tindak pidana yang telah diperiksa dan diputus
pengadilan dengan putusan (tiga macam amarnya tersebut) yang
telah bersifat tetap (inkracht van gewijsde zaak). Putusan perkara
perdata tidak dapat dijadikan landasan/dasar ne bis in idem terhadap
perkara pidana yang sekarang diperiksa dalam segala tingkatan.
14 Zainal Abidin, 2005. Pemidanaan, Pidana dan Tindakan dalam Rancangan KUHP.
ELSAM, Jakarta. hlm. 18-19
22
Adapun alasan dan logika ketentuan dari Pasal 76 KUHP ini ialah
suatu putusan perkara perdata sekedar mencerminkan kebenaran
formil belaka dan tidak mencerminkan kebenaran materiil atau
kebenaran sejati karena kebenaran yang dicari dalam pemeriksaan
perkara perdata sudah cukup pada kebenaran formil semata.
Sementara putusan perkara pidana mencerminkan kebenaran
materiil.
Hal itu pula yang menjadi latar belakang dari
dikeluarkannya Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 1
Tahun1956 tentang Hubungan antara Peradilan Perdata dengan
Peradilan Pidana. Pada Pasal 3 secara tegas dinyatakan bahwa
“pengadilan dalam pemeriksaan perkara pidana tidak terikat oleh
suatu putusan pengadilan dalam pemeriksaan perdata tentang adanya
atau tidak adanya suatu hal perdata”. Oleh karena itu hubungan dan
kedudukan timbal balik antara kedua perkara (perdata dan pidana),
adalah bahwa kebenaran materiil yang didapat dari pemeriksaaan
perkara pidana akan mempengaruhi dan menentukan kedudukan
terhadap perkara perdatanya, bukan sebaliknya. Dengan demikian,
maka kedudukan kedua perkara ini ialah putusan perkara pidana
akan menentukan terhadap putusan perkara perdatanya15.
Hubungan antara perkara perdata dan perkara pidana, harus
dibedakan antara persoalan ne bis in idem dalam Pasal 76 KUHP
15 A. Ridwan Halim, 1982. Hukum Pidana dan Tanya Jawab. Ghalia Indonesia, Jakarta. hlm.
31
23
dengan persoalan adanya perselisihan prayudisial (prejudiciel
geschill) dalam Pasal 81 KUHP . Tidak boleh dicampuradukkan.
Persoalan ne bis in idem adalah mengenai hal tidak dapat dapat lagi
dilakukan penuntutan atas suatu perbuatan dalam tindak pidana yang
sudah diputus dengan putusan tetap, sebagaimana pada alasan
penyidik yang hendak menghentikan penyidikan pada perkara pidana
ini. Sementara adanya perselisihan prayudisial adalah masalah
menghentikan sementara penuntutan oleh hakim disidang pengadilan
dengan alasan adanya perselisihan prayudisial dengan perkara lain
yang bisa terjadi dalam hal ada hubungannya dengan perkara lain
(bisa pidana atau perdata) yang sudah lebih dulu diperiksa namun
belum diputus. Sifat hubungan kedua perkara sekedar hanya
mempengaruhi, tidak bersifat menutup hak penuntutan bagi perkara
pidana. Namun berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor
1 Tahun 1956, dalam hal perselisihan prayudisial dengan perkara
perdata hakim pidana tidak perlu memperhatikan perkara perdata
tersebut. Hal ini sesuai dengan pengertian perselisihan prayudisial
menurut Pasal 81 KUHP tersebut yang sejak semula dimaksudkan
sebagai hak hakim saja, dimana hakim wajib menghentikan
pwenuntutan perkara pidana dengan menunggu putusnya perkara
perdata terlebih dahulu. 16
16 R. Soeroso. 1993. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Sinar Grafika. Hal. 269
24
B. Tinjauan Umum Tentang Penahanan
Pengertian Penahanan dapat dilihat dalam Pasal 1 butir 21 KUHAP
yang menyatakan bahwa penahanan merupakan penempatan tersangka atau
terdakwa di tempat tertentu oleh penyidik, atau penuntut umum atau hakim
dengan penetapannya, dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam
undang-undang ini.
Berdasarkan ketentutan di atas terlihat bahwa substansi dari
pengertian penahanan ialah menempatkan sesorang di tempat tertentu.
Menurut Andi Hamzah penahanan merupakan salah satu bentuk perampasan
kemerdekaan17 Hal ini senada dengan pendapat Lamintang yang mengatakan
bahwa Penahanan pada dasarnya adalah suatu tindakan yang membatasi
kebebasan kemerdekaan seseorang18 Seseorang di sini bukanlah setiap orang
melainkan orang-orang yang menurut undang-undang dapat dikenakan
penahanan. Orang yang menurut undang-undang dapat dikenakan penahanan
berdasarkan pasal di atas ialah seorang yang telah ditetapkan sebagai
tersangka maupun terdakwa.
Berbeda dengan bentuk perampasan kemerdekaan yang lain yaitu
penangkapan yang hanya dapat dilakukan oleh penyidik saja maka penahanan
dapat dilakukan oleh pejabat yang berwenang dalam setiap jenjang tahapan
sistem peradilan pidana. Pada tahap penyidikan penyidik dapat melakukan
penahanan, dalam tahap penuntutan penuntut umum dapat melakukan
17 Andi Hamzah. Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana. Ghalia Indonesia Jakarta.
2001. hlm. 19
18 P.A.F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia. PT. Citra Adityta Bakti.Bandung.
1996. hlm. 16.
25
penahanan dan tahap pemeriksaan di Pengadilan mulai dari Pengadilan
Negeri, Pengadilan Tinggi (Pengadilan Banding) dan Mahkamah Agung
(Pengadilan Kasasi), hakim dapat melakukan penahanan yang lamanya telah
diatur dalam Pasal 24 sampai Pasal 29 KUHAP
Sebagai bentuk perampasan kemerdekaan penahanan seperti halnya
penangkapan pada prinsipnya bertentangan dengan hak kebebasan bergerak
yang merupakan hak asasi manusia yang harus dihormati. Oleh karena itu
demi kepentingan umum penahanan dapat dilakukan dengan persyaratan yang
ketat. Persyaratan yang ketat tersebut dapat dilihat pada alasan untuk
melakukan penahanan. Alasan penahanan yang bersifat subjektif yaitu alasan
penahanan yang digantungkan pada pandangan/penilaian pejabat yang
menahan terhadap tersangka atau terdakwa. Alasan ini diatur dalam Pasal 21
Ayat (1) di mana pejabat yang berwenang menahan dapat menahan
tersangka/terdakwa apabila menurut penilaiannya si tersangka/terdakwa di
kwatirkan hendak melarikan diri, menghilangkan barang bukti serta
dikuatirkan mengulangi tindak pidana lagi
KUHP selain mengatur alasan penahanan yang bersifat subjektif,
juga mengatur alasan penahanan yang bersifat objektif dalam Pasal 21 Ayat
(4). Alasan penahanan objektif yaitu alasan penahanan yang didasarkan pada
jenis tindak pidana apa yang dapat dikenakan penahanan. Dari alasan objektif
ini jelas bahwa tidak semua tindak pidana dapat dikenakan penahanan
terhadap tersangka atau terdakwa. Adapun tindak pidana yang dapat
dikenakan penahanan yaitu tindak pidana yang ancaman pidananya maksimal
26
5 ke atas serta tindak pidana sebagaimana disebutkan secara limitatis dalam
Pasal 21 Ayat (4) sub d.
Pada prinsipnya penahanan merupakan pembatasan terhadap
kebebasan seseorang yaitu kebebasan bergerak di mana hal ini merupakan
salah satu hak asasi manusia yang harus dihormati. Berdasaarkan prinsip hak
asasi manusia tersebut maka perampasan kemerdekaan dapat dilakukan
apabila didasarkan pada hukum yang berlaku. Oleh karena itu pada
prinsipnya pengaturan tentang kewenangan penahanan hendaknya didasarkan
pada landasan filosofis bahwa kemerdekaan seseorang adalah merupakan hak
asasi manusia yang mendasar, yang tidak dapat dikurangi dibatasi oleh
siapapun dalam bentuk apapun (non derogable rights). Berdasarkan landasan
filosofis tersebut maka tepatlah kalau KUHAP memandang penahanan
bukanlah suatu keharusa (imperatif) melainkan suatu kebolehan (fakultatif)
yaitu penahanan boleh dilakukan asal memenuhi syarat yang ditentukan oleh
undang-undang19
C. Tinjauan Umum Tentang Putusan Hakim
1. Pengertian Putusan Hakim
Pengertian Putusan Hakim Putusan Hakim merupakan tindakan
akhir dari Hakim di dalam persidangan, menentukan apakah di hukum atau
tidak si pelaku, jadi putusan Hakim adalah pernyataan dari seorang hakim
dalam memutuskan suatu perkara di dalam persidangan dan memiliki
kekuatan hukum tetap. Berlandaskan pada visi teoritik dan praktik
19 Andi Hamzah. Op cit. hlm. 23
27
peradilan maka putusan Hakim itu merupakan: “Putusan yang di ucapkan
oleh hakim karena jabatannya dalam persidangan perkara pidana yang
terbuka untuk umum setelah melalui proses dan prosedural hukum acara
pidan pada umumnya berisikan amar pemidanaan atau bebas atau
pelepasan dari segala tuntutan hukum dibuat dalam bentuk tertulis dengan
tujuan menyelesaikan perkara.20
Putusan hakim pada dasarnya adalah suatu karya menemukan
hukum, yaitu menetapkan bagaimanakah seharusnya menurut hukum
dalam setiap peristiwa yang menyangkut kehidupan dalam suatu negara
hukum Pengertian lain mengenai putusan hakim adalah hasil musyawarah
yang bertitik tolak dari surat dakwaan dengan segala sesuatu yang terbukti
dalam pemeriksaan Disidang pengadilan. Dalam Pasal 1 butir 11 Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana disebutkan bahwa Putusan
pengadilan adalah pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang
pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas
dari segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur
dalam Undang-undang ini. Isi putusan pengadilan diatur dalam Pasal 25
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman
yang menyatakan bahwa:
1. Segala putusan pengadilan selain harus memuat alasan-alasan dan dasar-
dasar putusan itu, juga harus menuat pula pasal-pasal tertentu dari
20 Lilik Mulyadi. . 2007. Kompilasi hukum pidana dalam perspektif teoritis dan prakter
pradilan. Mandar Maju. hal 127
28
peraturan-peraturan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis
yang dijadikan dasar untuk mengadili.
2. Tiap putusan pengadilan ditandatangani oleh ketua serta hakim-hakim
yang Memutuskan dan panitera yang ikut serta bersidang.
3. Penetapan-penetapan, ikhtiar-ikhtiar rapat permusyawaratan dan berita-
berita acara tentang pemeriksaan sidang ditandatangani oleh ketua dan
panitera.
2. Jenis-jenis Putusan Hakim
Ada berbagai jenis Putusan Hakim dalam pengadilan sesuai dengan sudut
pandang yang kita lihat. Dari segi fungsinya dalam mengakhiri perkara
putusan hakim adalah sebagai berikut :
a. Putusan Akhir
Putusan Akhir adalah putusan yang mengakhiri pemeriksaan di
persidangan, baik telah melalui semua tahapan pemeriksaan maupun
yang tidak/belum menempuh semua tahapan pemeriksaan. Putusan
yang dijatuhkan sebelum tahap akhir dari tahap-tahap pemeriksaan,
tetapi telah mengakhiri pemeriksaan yaitu :
1. putusan gugur
2. putusan verstek yang tidak diajukan verzet
3. putusan tidak menerima
4. putusan yang menyatakan pengadilan agama tidak berwenang
memeriksa Semua putusan akhir dapat dimintakan akhir, kecuali bila
undang undang menentukan lain .
29
b. Putusan Sela
Putusan sela merupakan putusan yang dijatuhkan masih dalam
proses pemeriksaan perkara dengan tujuan untuk memperlancar
jalannya pemeriksaan.putusan sela tidak mengakhiri pemeriksaan,
tetapi akan berpengaruh terhadap arah dan jalannya pemeriksaan.
Putusan sela dibuat seperti putusan biasa, tetapi tidak dibuat secara
terpisah, melainkan ditulis dalam berita acara persidangan saja.
Putusan sela harus diucapkan di depan sidang terbuka untuk umum
serta ditanda tangani oleh majelis hakim dan panitera yang turut
bersidang.Putusan sela selalu tunduk pada putusan akhir karena tidak
berdiri sendiri dan akhirnya dipertimbangkan pula pada putusan akhir.
Hakim tidak terikat pada putusan sela, bahkan hakim dapat
merubahnya sesuai dengan keyakinannya. Putusan sela tidak dapat
dimintakan banding kecuali bersama-sama dengan putusan akhir. Para
pihak dapat meminta supaya kepadanya diberi salinan yang sah dari
putusan itu dengan biaya sendiri.
Kemudian putusan Hakim dalam acara pidana terbagi menjadi
tiga macam putusan yaitu:
1. Putusan Bebas (Pasal 191 ayat (1) KUHAP Putusan Bebas
merupakan Putusan Pengadilan yang di jatuhkan kepada terdakwa
karena dari hasil pemeriksaan sidang kesalahan terdakwa atas
perbuatan yang di dakwakan kepadanya dinyatakan tidak terbukti
sacara sah dan meyakinkan. Selanjutnya dalam Penjelasan Pasal 191
30
ayat (1) KUHAP dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan “
perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan
meyakinkan ” adalah tidak cukup terbukti menurut penilaian hakim
atas dasar pembuktian dengan menggunakan alat bukti menurut
ketentuan hukum acara pidana. Dari ketentuan tersebut di atas,
berarti putusan bebas ditinjau dari segi yuridis ialah putusan yang
dinilai oleh majelis hakim tidak memenuhi asas pembuktian menurut
Undang-Undang secara negatif, artinya dari pembuktian yang
diperoleh di persidangan, tidak cukup membuktikan kesalahan
terdakwa dan hakim tidak yakin atas kesalahan terdakwa yang tidak
cukup terbukti itu. Selain itu juga tidak memenuhi memenuhi asas
batas minimum pembuktian, artinya kesalahan yang didakwakan
kepada terdakwa hanya didukung oleh satu alat bukti saja, sedang
menurut ketentuan Pasal 183 KUHAP, agar cukup membuktikan
kesalahan seorang terdakwa, harus dibuktikan dengan sekurang-
kurangnya dua alat bukti yang sah.21
2. Putusan Lepas dari segala Tuntutan Hukum Merupakan Putusan
yang di jatuhkan kepada terdakwa yang setelah melalui pemeriksaan
ternyata menurut pendapat pengadilan, perbuatan yang didakwakan
kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan satu
tindak pidana.(Pasal 191 ayat (2) KUHAP) Jenis putusan ini dasar
hukumnya dapat di temukan dalam Pasal 191 ayat (2) KUHAP yang
21 M Yahya Harahap . 2005.Pembahasan dan Peenrapan KUHAP. Sinar Grafika. hal 358
31
menyebutkan: “Jika pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang
di dakwakan kepada terdakwa terbukti,tetapi perbuatan itu tidak
merupakan suatu tindak pidana, maka terdakwa di putus lepas dari
segala tuntutan”.
3. Putusan yang mengandung pemidanaan Merupakan putusan yang
membebankan suatu pidana kepada terdakwa karena perbuatan yang
didakwakan terbukti secara sah dan meyakinkan bahwa terdakwa
bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan itu.(Pasal 193 ayat
(1) KUHAP). Dasar putusan ini adalah Pasal 193 ayat (3) KUHAP
yang berbunyi: “Jika pengadilan berpendapat bahwa terdakwa
bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya,
maka pengadilan menjatuhkan pidana”.
3. Teori-Teori Pembuktian Dalam Hukum Pidana
Sistem pembuktian adalah pengaturan tentang macam-macam alat
bukti yang boleh dipergunakan, penguraian alat bukti, dan dengan cara-
cara bagaimana alat-alat bukti itu dipergunakan serta dengan cara
bagaimana haim harus membentuk keyakinannya di depan sidang
pengadilan. 22
Sistem pembuktian adalah sistem yang berisi terutama tentang alat-
alat bukti apa yang boleh digunakan untuk membuktian, cara bagaimana
alat bukti itu boleh dipergunakan, dan nilai kekuatan dari alat-alat bukti
tersebut serta standar/kriteria yang menjadi ukuran dalam mengambil
22 Alfitra, 2011, Hukum Pembuktian dalam beracara Pidana, Perdata dan Korupsi di
Indonesia, Jakarta : Raih Asa Sukses, Hlm 28.
32
kesimpulan tentang terbuktinya sesuatu (objek) yang dibuktikan. Sistem
pembuktian merupakan suatu kebulatan atau keseluruhan dari berbagai
ketentuan perihal kegiatan pembuktian yang saling berkaitan dan
berhubungan satu dengan yang lain yang tidak terpisahkan dan menjadi
satu kesatuan yang utuh. 23
Hukum acara pidana mengenal beberapa macam teori pembuktian
yang menjadi pegangan bagi hakim dalam melakukan pemeriksaan
terhadap di sidang pengadilan. Sejalan dengan perkembangan waktu, teori
atau sistem pembuktian mengalami perkembangan dan perubahan.
Demikian pula penerapan sistem pembuktian di suatu negara dengan
negara lain dapat berbeda. Adapun sistem atau teori pembuktian yang
dikenal dalam dunia hukum pidana yaitu conviction intime atau teori
pembuktian berdasarkan keyakinan hakim semata-mata, conviction
rasionnee atau teori pembuktian berdasarkan keyakinan hakim dalam
batas-batas tertentu atas alasan yang logis, positif wettelijk bewijstheorie
atau teori Pembuktian yang hanya berdasarkan kepada alat-alat
pembuktian yang disebut oleh undang-undang secara positif, dan negatief
wettelijk bewijstheorie atau teori pembuktian berdasarkan keyakinan
hakim yang timbul dari alat-alat bukti dalam undang-undang secara
negatif. 24
23 Adhami Chazawi, 2008, Hukum Pembuktian Tindak Pidana Korupsi, Bandung :
Alumni, Hlm 24. 24 Hendar Soetarna, 2011, Hukum Pembuktian dalam Acara Pidana, Bandung : Alumni,
Hlm 11.
33
a. Conviction intime atau Teori pembuktian berdasaran keyakinan hakim
semata-mata
Conviction intime diartikan sebagai pembuktian berdasarkan
keyakinan hakim belaka. Teori pembuktian ini lebih memberikan
kebebasan kepada hakim untuk menjatuhkan suatu putusan berdasarkan
keyakinan hakim, artinya bahwa jika dalam pertimbangan putusan hakim
telah menganggap terbukti suatu perbuata sesuai dengan keyakinan yang
timbul dari hati nurani, terdakwa yang diajukan kepadanya dapat
dijatuhkan putusan. Keyakinan hakim pada teori ini adalah menetukan
dan mengabaikan hal-hal lainnya jika sekiranya tidak sesuai atau
bertentangan dengan keyakinan hakim tersebut. 25
Sistem ini pernah diterapkan di Indonesia, yaitu pada pengadilan
distrik dan pengadilan kabupaten. Sistem ini memungkinkan hakim
menyebut apa saja sebagai dasar keyakinannya, termasuk bisikan dukun.
Hal tersebut juga terjadi pada pengadilan adat dan swapraja yang para
hakimnya terdiri atas orang-orang yang bukan ahli hukum. Sistem ini
merugikan dalam hal pengawasan terhadap hakim dan merugikan
terdakwa dan penasihat hukum karena tidak jelas patokan dan ukuran
suatu keyakinan hakim. 26
Sistem ini mengandung kelemahan yang besar, karena sebagai
manusia biasa, hakim bisa salah keyakinan yang telah dibentuknya,
berhubung tidak ada kriteria, alat-alat bukti tertentu yang harus
25 Rusli Muhammad, 2007, Hukum Acara Pidana Kontemporer, Bandung : Citra Aditya
Bakti, Hlm 186-187. 26 Hendar Soetarna, Op cit, Hlm 39-40.
34
dipergunakan dan syarat serta cara-cara hakim dalam membentuk
keyakinannya itu. Di samping itu, pada sistem ini terbuka peluang yang
besar untuk terjadi praktik penegakan hukum yang sewenang-wenang,
dengan bertumpa pada alasan keyakinan hakim.27
b. Conviction Rasionnee atau Teori pembuktian berdasarkan keyakinan
hakim dalam batas-batas tertentu atas alasan yang logis
Sistem pembuktian conviction rasionnee adalah sistem
pembuktian yang tetap menggunakan keyakinan hakim, tetapi keyakinan
hakim didasarkan pada alasan-alasan (reasoning) yang rasional. Dalam
sistem ini hakim tidak dapat lagi memiliki kebebasan untuk menentukan
keyakinannya, tetapi keyakinannya harus diikuti dengan alasan-alasan
yang reasonable yakni alasan yang dapat diterima oleh akal pikiran yang
menjadi dasar keyakinannya itu.
Conviction rasionnee sebagai jalan tengah antara teori
pembuktian berdasarkan undang-undang dan teori pembuktian semata-
mata berdasar keyakinan hakim. Dalam teori ini, hakim dapat
memutuskan terdakwa bersalah berdasarkan keyakinannya, namun tidak
semata-mata keyakinan yang diciptakan oleh hakim sendiri, tetapi
keyakinan hakim sampai batas tertentu, yaitu keyakinan hakim yang
didasarkan kepada dasar-dasar pembuktian dengan suatu kesimpulan
(conclusive) yang berlandaskan kepada ketentuan pembuktian tertentu. 28
27 Adhami Chazawi, Op cit, Hlm 25.
28 Hendar Soetarna, Op cit, Hlm 40.
35
c. Positif Wettelijk Bewijstheorie atau Teori Pembuktian yang hanya
berdasarkan kepada alat-alat pembuktian yang disebut oleh undang-
undang secara positif
Sistem pembuktian positif wettelijk bewijstheorie adalah
pembuktian berdasarkan alat bukti menurut undang-undang secara positif
atau pembuktian dengan menggunakan alat-alat bukti yang sebelumnya
telah ditentukan dalam undang-undang. Untuk menentukan kesalahan
seseorang, hakim harus mendasarkan pada alat-alat bukti yang tersebut
dalam undang-undang, jika alat-alat bukti tersebut telah terpenuhi, hakim
sudah cukup beralasan untuk menjatuhkan putusannya tanpa harus timbul
keyakinan terlebih dahulu atas kebenaran alat-alat bukti yang ada.
Dengan kata lain, keyakinan hakim tidak diberi kesempatan dalam
menentukan ada tidaknya kesalahan seseorang, keyakinan hakim harus
dihindari dan tidak dapat dijadikan sebagai pertimbangan dalam
menentukan kesalahan seseorang.
Sistem ini hanya sesuai dengan pemeriksaan yang bersifat
inkuisitor yang dulu pernah dianut di Eropa yang saat ini sudah tidak
digunakan lagi karena bertentangan dengan hak-hak asasi manusia yang
saat ini sangat diperhatikan dalam hal pemeriksaan tersangka atau
terdakwa oleh negara. Sistem ini sama sekali mengabaikan perasaan hati
nurani hakim, di mana hakim bekerja menyidangkan terdakwa seperti
robot yang tingkah lakunya sudah diprogram melalui undang-undang. 29
29 Adhami Chazawi, Op cit, Hlm 27-28.
36
Wirjono Prodjodikoro, menolak teori ini untuk dianut di Indonesia,
karena menurutnya bagaimana hakim dapat menetapkan kebenaran
selain dengan cara menyatakan kepada keyakinannya tentang hal
kebenaran itu, lagi pula keyakinan seorang hakim yang jujur dan
berpengalaman mungkin sekali adalah sesuai dengan keyakinan
masyarakat. 30
d. Negatief Wettelijk Bewijstheorie atau Teori pembuktian berdasarkan
keyakinan hakim yang timbul dari alat-alat bukti dalam undang-undang
secara negatif
Pembuktian negatief wettelijk bewijstheorie atau pembuktian
berdasarkan undang-undang secara negatif adalah pembuktian yang
selain menggunakan alat-alat bukti yang dicantumkan di dalam undang-
undang, juga menggunakan keyakinan hakim. Sekalipun menggunakan
keyakinan hakim, namun keyakinan hakim terbatas pada alat-alat bukti
yang ditentukan dalam undang-undang. Sistem pembuktian ini
menggabungkan antara sistem pembuktian menurut undang-undang
secara positif dan sistem pembuktian menurut keyakinan hakim sehingga
sistem pembuktian ini disebut pembuktian berganda (doubelen
grondslag).
Negatief wettelijk bewijstheorie memadukan dua unsur yaitu
ketentuan pembuktian berdasarkan undang-undang dan unsur keyakinan
hakim menjadi satu unsur yang tidak dapat terpisahkan. Keyakinan
30 Andi Hamzah, 2014, Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta : Sinar Grafika, Hlm
251.
37
hakim dipandang tidak ada apabila keyakinan tersebut tidak diperoleh
dari sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, dan dua alat bukti yang
sah dipandang nihil bila tidak dapat menciptakan keyakinan hakim.
Dari hasil penggabungan kedua sistem dari yang saling bertolak
belakang itu, terwujudlah suatu sistem pembuktian menurut undang-
undang secara negatif. Di mana rumusannya bahwa salah tidaknya
seorang terdakwa ditentukan oleh keyakinan hakim yang didasarkan
kepada cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang.
Sistem pembuktian negatief wettelijk bewijstheorie mempunyai
persamaan dan perbedaan dengan sistem conviction rasionalee.
Persamaannya adalah kedua teori tersebut sama-sama menggunakan
keyakinan hakim dan kedua-duanya sama-sama membatasi keyakinan
hakim. Sedangkan perbedaannya bahwa sistem conviction rasionalee
berpangkal tolak pada keyakinan hakim yang didasarkan pada suatu
kesimpulan atau alasan-alasan yang logis yang diterima oleh akal pikiran
yang tidak didasarkan pada ungna-undang, sedangkan pembuktian
negatief wettelijk bewijstheorie berpangkal tolak pada alat-alat bukti
yang ditetapkan secara limitatif oleh undang-undang dan harus mendapat
keyakinan hakim. 31
Sistem pembuktian yang dianut oleh KUHAP sebagaimana diatur
dalam Pasal 183 KUHAP memadukan unsur-unsur objektif dan subjektif
dalam menentukan salah tidaknya terdakwa. tidak ada yang paling
31 Rusli Muhammad, Hukum. Op cit, Hlm 190-191.
38
dominan diantara kedua unsur tersebut, keduanya saling berkaitan. Jika
suatu perkara terbukti secara sah (sah dalam arti alat-alat bukti menurut
undang-undang), akan tetapi tidak meyakinkan hakim akan adanya
kesalahan tersebut, maka hakim tidak dapat menjatuhkan putusan pidana
pemidanaan terhadap terdakwa.32
P.A.F Lamintang menyatakan bahwa sistam pembuktian dalam
KUHAP, disebut :
1. Wettelijk atau menurut undang-undang karena untuk pembuktian
undang-undanglah yang menentukan tentang jenis dan banyaknya alat
bukti yang harus ada.
2. Negatief, karena adanya jenis-jenis dan banyaknya alat-alat bukti yang
ditentukan oleh undang-undang itu belum dapat membuat hakim harus
menjatuhkan putusan pidana bagi seorang terdakwa apabila jenis-jenis
dan banyaknya alat-alat bukti itu belum dapat menimbulkan keyakinan
pada dirinya bahwa suatu tindak pidana itu benar-benar telah terjadi dan
bahwa terdakwa telah bersalah melakukan tindak pidana tersebut.33
Sistem menurut undang-undang secara negatif yang diatur dalam
Pasal 183 KUHAP, mempunyai pokok-pokok sebagai berikut :
1. Tujuan akhir pembuktian untuk memutus perkara pidana, yang jika
memenuhi syarat pembuktian dapat menjatuhkan pidana. Dengan kata
lain bahwa pembuktian ditujukan untuk memutus perkara pidana, dan
bukan semata-mata untuk menjatuhkan pidana.
32 Tolib Efendi, 2014, Dasar-Dasar Hukum Acara Pidana ; Perkembangan Dan
Pembaharuanya di Indonesia, Malang : Setara Press, Hlm 172. 33 Rusli Muhammad, Hukum. Op cit, Hlm 192.
39
2. Standar/syarat tentang hasil pembuktian untuk menjatuhkan pidana
dengan dua syarat yang saling berhubungan dan tidak terpisahkan, yaitu :
a. Harus menggunakan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah.
b. Dengan menggunakan sekurang-kurangnya dua alat bukti hakim
memperoleh keyakinan.
Berkaitan dengan keyakinan hakim dalam pembuktian, haruslah
dibentuk atas dasar fakta-fakta hukum yang diperoleh dari minimal dua
alat bukti yag sah. Adapun keyakinan hakim yang harus didapatkan dalam
proses pembuktian untuk dapat menjatuhkan pidana yaitu :
1. Keyakinan bahwa telah terjadi tindak pidana sebagaimana yang
didakwakan oleh JPU, artinya fakta-fakta yang didapat dari dua alat bukti
itu (suatu yang obyektif) yang membentuk keyakinan hakim bahwa
tindak pidana yang didakwakan benar-benar telah terjadi. Dalam praktik
disebut bahwa tindak pidana yang didakwakan JPU telah terbukti secara
sah dan meyakinkan. Secara sah maksudnya telah menggunakan alat-alat
bukti yang memenuhi syarat minimal yakni dari dua alat bukti.
Keyakinan tentang telah terbukti tindak pidana sebagaimana didakwakan
JPU tidaklah cukup untuk menjatuhkan pidana, tetapi diperlukan pula
dua keyakinan lainnya.
2. Keyakinan tentang terdakwa yang melakukannya, adalah juga
keyakinan terhadap sesuatu yang objektif. Dua keyakinan itu dapat
disebut sebagai hal yang objektif yang disubyektifkan. Keyakinan adalah
sesuatu yang subyetif yang didapatkan hakim atas sesuatu yang obyektif.
40
3. Keyakinan tentang terdakwa bersalah dalam hal melakukan tindak
pidana, bisa terjadi terhadap dua hal/unsur, yaitu pertama hal yang
bersifat objektif adalah tiadanya alasan pembenar dalam melakukan
tindak pidana. Dengan tidak adanya alasan pembenar pada diri terdakwa,
maka hakim yakin kesalahan terdakwa. Sedangkan keyakinan hakim
tentang hal yang subyektif adalah keyakinan hakim tentang kesalahan
terdakwa yang dibentuk atas dasar-dasar hal mengenai diri terdakwa.
Maksudnya, adalah ketika melakukan tindak pidana pada diri terdakwa
tidak terdapat alasan pemaaf (fait d’excuse). Bisaj jadi terdakwa benar
melakukan tindak pidana dan hakim yakin tentang itu, tetapi setelah
mendapatkan fakta-fakta yang menyangkut keadaan jiwa terdakwa dalam
persidangan, hakim tidak terbentuk keyakinannya tentang kesalahan
terdakwa melakukan tindak pidana tersebut.
Dengan demikian, maksud dilakukannya kegiatan pembuktian
sebagaimana diatur dalam Pasal 183 KUHAP adalah untuk menjatuhkan
atau mengambil putusan in casu menarik amar putusan oleh majelis hakim.
Pembuktian dilakukan terlebih dahulu dalam usaha mencapai derajat
keadilan dan kepastian hukum yang setinggi-tingginya dalam putusan
hakim. Sehigga pembuktian tidak hanya ditujukan untuk menjatuhkan
pidana saja berdasarkan syarat minimal dua alat bukti yang harus dipenuhi
dalam hal pembuktian untuk menjatuhkan pidana. 34
34 Adhami Chazawi, Op cit, Hlm 30.
41
D. Tinjauan Umum Tentang Aspek Kepastian Hukum
Kepastian hukum merupakan salah satu dari tujuan hukum yang ada di
Indonesia. Kepastian hukum merupakan termometer penerapan hukum di
Indonesia, banyaknya permasalahan hukum di Indonesia menyebabkan
ketidakpastian penerapan hukum, sehingga seringkali penerapan hukum dalam
kenyataan tidak sesuai bahkan jauh berbeda dengan teori yang ada. Semakin
baik suatu negara hukum berfungsi, maka semakin tinggi tingkat kepastian
hukumnyata. Sebaliknya bila suatunegara tidak memiliki sistem hukum yang
berfungsi secara otonom, maka kecil pulsa tingkat kepastian hukum35
Sejak mengumandangkan kemerdekaan Indonesia sejak 70 tahun lalu
hingga saat ini Indonesia masih dirasa kurang produktif dalam membuat
hukum bagi masyarakat. Tidak sedikit peraturan yang dibuat oleh pemerintah,
akan tetapi hal tersebut dirasa semakin lama menjadi semakin tumpang tindih
sehingga membingungkan masyarakat. Indonesia sebagai negara berkembang
tidak luput dari permasalahan hukum terutama dalam penerapannya.
Kepastian hukum merupan suatu tujuan hukum yang mengutamakan kepada
kumpulan peraturan tanpa melihat keadilan maupun kemanfaatan. Menurut
Utrecht, kepastian hukum mengandung dua pengertian, yaitu pertama, adanya
aturan yang bersifat umum membuat individu mengetahui perbuatan apa yang
boleh atau tidak boleh dilakukan, dan kedua, berupa keamanan hukum bagi
individu dari kesewenangan pemerintah karena dengan adanya aturan yang
35 Jan Michiel Otto. 2003. Kepastian Hukum di Negara Berkembang. Jakarta: Komisi
Hukum Nasional Republik Indonesia. hal.5-6
42
bersifat umum itu individu dapat mengetahui apa saja yang boleh dibebankan
atau dilakukan oleh negara terhadap individu36
Kepastian hukum termasuk dalam aliran normatif yuridis. Aliran
normatif yuridis, yang menganggap bahwa pada prinsipnya tujuan hukum itu
adalah untuk menciptakan kepastian hukum Aliran normatif/yuridis dogmatis
yang pemikirannya bersumber pada positivistis yang beranggapan bahwa
hukum sebagai sesuatu yang otonom dan mandiri, tidak lain hanyalah
kumpulan aturan yang terdapat dalam ketentuan peraturan perundang-
undangan atau hukum yang tertulis saja, dan tujuan pelaksanaan hukum dalam
hal ini untuk sekadar menjamin terwujudnya kepastian hukum. Menurut aliran
ini selanjutnya, walaupun aturan hukum atau penerapan hukum terasa tidak
adil dan tidak memberikan manfaat yang besar bagi mayoritas warga
masyarakat, hal tersebut tidaklah menjadi masalah, asalkan kepastian hukum
dapat ditegakkan
E. Tinjauan Umum Tentang Asas Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan
Pengertian sederhana mengacu pada “complicated” penyelesaian suatu
perkara, perkataan cepat atau “dalam tenggang waktu yang pantas” mengacu
pada “tempo”, cepat atau lambatnya, penyelesaian suatu perkara; sedangkan
perkataan “biaya ringan“ mengacu pada banyak atau sedikitnya biaya yang
harus dikeluarkan oleh para pencari keadilan dalam menyelesaikan
sengketanya didepan peradilan. Pasal 1 Undang- Undang Nomor 4 Tahun
2004 tentang Kekuasaan Kehakiman menentukan bahwa: “Kekuasaan
36 Riduan Syahrani. 1999. Rangkuman Intisari Ilmu Hukum. Bandung: Aditya Bakti. Hal.23
43
Kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan
peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi
terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia”. Hukum hanya dapat
ditegakkan dan keadilan hanya bisa dirasakan apabila proses pemeriksaan
didepan pengadilan dilakukan dengan kecermatan dan ketelitian, sehingga
dihasilkan putusan hakim yang secara kualitatif benar bermutu dan memenuhi
rasa keadilan masyarakat.
Asas sederhana, cepat, dan biaya ringan merupakan asas yang tidak
kalah pentingnya dengan asas- asas lain yang terdapat dalam Pasal 4 ayat (2)
Undang- Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Menurut Sudikno Mertokusumo pengertian asas sederhana, cepat, dan
biaya ringan, yaitu:
1) Kata cepat menunjuk kepada jalannya peradilan, terlalu banyak formalitas
merupakan hambatan bagi jalannya peradilan. Dalam hal ini bukan hanya
jalannya peradilan dalam pemeriksaan di muka persidangan saja, tetapi
juga penyelesaian berita acara pemeriksaan di persidangan sampai dengan
penandatanganan oleh hakim dan pelaksanaannya. Tidak jarang perkara
tertunda- tunda sampai bertahun- tahun karena saksi tidak datang atau para
pihak bergantian tidak datang, bahkan perkaranya sampai dilanjutkan oleh
para ahli warisnya. Dapat disimpulkan bahwa cepatnya proses peradilan
akan meningkatkan kewibawaan pengadilan dan menambah kepercayaan
masyarakat kepada Pengadilan.
44
2) Asas sederhana adalah acara yang jelas, mudah difahami dan tidak berbelit
-belit, dan cukup one stop service (penyelesaian sengketa cukup
diselesaikan melalui satu lembaga peradilan). Semakin sedikit dan
sederhana formalitas-formalitas yang diwajibkan atau diperlukan dalam
beracara di muka pengadilan, semakin baik. Terlalu banyak formalitas
yang sukar difahami, sehinggga memungkinkan timbulnya berbagai
penafsiran, kurang menjamin adanya kepastian hukum dan menyebabkan
keengganan atau ketakutan untuk beracara di muka pengadilan.
3) Ditentukan biaya ringan dalam beracara di pengadilan maksudnya agar
terpikul atau dijangkau oleh rakyat. Biaya yang tinggi kebanyakan
menyebabkan pihak yang berkepentingan enggan untuk mengajukan
tuntutan hak kepada pengadilan.
Asas peradilan sederhana, cepat, dan biaya ringan terdapat dalam Pasal
4 ayat (2) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan
Kehakiman. Asas sederhana adalah acara yang jelas, mudah difahami dan
tidak berbelit-belit, dan cukup one stop service (penyelesaian sengketa cukup
diselesaikan melalui satu lembaga peradilan). Semakin sedikit dan sederhana
formalitas-formalitas yang diwajibkan atau diperlukan dalam beracara di
muka pengadilan, semakin baik. Terlalu banyak formalitas yang sukar
difahami, sehinggga memungkinkan timbulnya berbagai penafsiran, kurang
menjamin adanya kepastian hukum dan menyebabkan keengganan atau
ketakutan untuk beracara di muka pengadilan ringan.37
37 Sudikno Mertokusumo, Op.Cit, Hlm.36
45
Makna dan tujuan asas peradilan cepat, sederhana dan biaya ringan
bukan hanya sekedar menitik beratkan unsur kecepatan dan biaya ringan.
Bukan berarti pemeriksaan perkara dilakukan seperti ban berputar. Tidak
demikian maknanya, asas ini bukan bertujuan untuk menyuruh hakim untuk
memeriksa dan memutus perkara dalam tempo satu atau setengah jam. Yang
dicita-citakan ialah seatu proses yang relatif tidak memakan jangka waktu
lama sampai bertahun-tahun sesuai dengan kesederhanaan hokum acara itu
sendiri. Apa yang sudah memang sederhana, jangan dipersulit oleh hakim ke
arah proses yang berbelit-belit dan tersendat-sendat.
Dalam hal ini yang dituntut dari hakim dalam penerapan asas ini ialah
sikap “moderasi”. Tidak cenderung secara ekstrim melakukan pemeriksaan
yang tergipoh-gopoh tak ubahnya sebuah mesin, sehingga jalannya
pemeriksaan meninggalkan harkat dan derajat kemanusiaan. Tetapi jangan
dilambat-lambatkan. Lakukan pemeriksaan yang seksama dan wajar, rasional
dan objektif dengan cara memberi kesempatan yang berimbang dan
sepatutnya kepada masing-masing pihak yang berperkara sesuai asas “Audi
alteram Paterm.38
Dalam Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman yang dimaksud dengan sederhana adalah pemeriksaan dan
penyelesaian perkara dilakukan dengan cara efesien dan efektif. Biaya ringan”
adalah biaya perkara yang dapat dijangkau oleh masyarakat. Namun demikian,
asas sederhana, cepat, dan biaya ringan dalam pemeriksaan dan penyelesaian
38 M. Yahya Harahap, Op.cit, Hlm.70-71
46
perkara di pengadilan tidak mengesampingkan ketelitian dan kecermatan
dalam mencari kebenaran dan keadilan.39
39 Brama Kuncoro, 2010, Penerapan asas, cepat, sederhana, dan biaya ringan dalam
penyelesaian perkara cerai talak di Pengadilan Agama Mungkid Magelang, Surakarta: Skripsi
Fakultas Hukum Universitas Surakarta, Hal 17