BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. TINJAUAN UMUM MENGENAI … · 2020. 3. 6. · 12 BAB II TINJAUAN PUSTAKA...
Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. TINJAUAN UMUM MENGENAI … · 2020. 3. 6. · 12 BAB II TINJAUAN PUSTAKA...
12
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. TINJAUAN UMUM MENGENAI GATT/WTO
1. Sejarah World Trade Organization
Perhatian dunia terhadap kegiatan internasional semakin meningkat, terlihat
dari semakin berkembangnya arus peredaran barang, jasa, modal, dan
tenaga kerja antarnegara. Kegiatan tersebut dapat berupa ekspor impor,
investasi, perdagangan jasa, lisensi, dan waralaba (license and franchise),
hak atas kekayaan intelektual; atau kegiatan-kegiatan bisnis lainnya yang
terkait dengan perdagangan internasional, seperti perbankan, asuransi,
perpajakan, dan sebagainya.1
Perdagangan internasional pertama kali berkembang di Benua
Eropa yang kemudian berkembang di Benua Asia dan Afrika. Akibat dari
karena adanya hubungan perdagangan antar negara atau perdagangan
internasional negara-negara maju maupun negara-negara berkembang
memerlukan peraturan internasional dan yang membantu menghentikan
tindakan yang menghambat dalam perdagangan dan memberikan rasa aman
dan kepastian kepada pedagang-pedagang sehubung dengan peraturan-
peraturan nasional yang diterapkan kepada perdagangan internasional atas
barang dan jasa. Atas dasar memiliki ketergantungan satu sama lain, negara-
negara yang berhimpun kemudian dalam perdagangan internasional
1 Muhammad Sood, Hukum Perdagangan Internasional, PT RajaGrafindo Persada,
Cetakan ke-1, Jakarta, 2011, hlm. 1.
13
bergerak membentuk suatu persetujuan dagang dan tarif atau yang disebut
General Agreement on Tariff and Trade (GATT). Gagasan untuk
mendirikan suatu organisasi perdagangan multilateral telah mulai dirintis
dengan disepakatinya General Agreement on Tariffs and Trade (GATT)
pada tahun 1947, sebagai awal dari rencana pembentukan International
Trade Organization (ITO), yang merupakan satu dari 3 (tiga) kerangka
Bretton Woods Institution. Kedua organisasi lainnya adalah International
Monetary Fund (IMF) dan International Bank for Reconstruction and
Development (IBRD) yang sering dikenal dengan World Bank.
Wacana mengenai organisasi perdagangan dunia tersebut menjadi
awal baru dari evolusi rezim perdagangan global yang belum ada
sebelumnya. Setidaknya terdapat dua keuntungan yang dapat diambil dari
adanya kerjasama perdagangan internasonal sehingga liberalisasi
perdagangan dapat dilaksanakan. Pertama, perundingan yang saling
menguntungkan akan mendukung tercapainya perdagangan yang lebih
bebas. Kedua, perjanjian yang negoisasikan akan membantu pemerintah
menghindari terjadinya perang dagang dapat merugikan.2 Perundingan di
Jenewa Swiss pada tanggal 10 April 1947-30 Oktober 1947, di mana mulai
dari tanggal 10 April sampai dengan 22 Agustus panitia komisi membuat
rancangan piagam International Trade Organisation (ITO), perundingan ini
merupakan perundingan yang penting karena menghasilkan konsesi timbal
balik dibidang tarif (reciprocal tariffs concession) yang dicantumkan dalam
2 Paul R Krugman & Obstfeld, Maurice, International Economics Theory and Policy, Fifth
Edition, NJ; Addisan-Wesley Publishing Company, hlm. 235.
14
General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) yang ditandatangani pada
tanggal 30 Oktober 1947 dan selain itu berdasarkan persyaratan-persyaratan
protokol tanggal 30 Oktober 1947 tersebut, GATT ditetapkan sebagai suatu
kesepakatan umum sementara sejak tanggal 1 Januari 1948 hingga
dibentuknya suatu Internasional Trade Organisation (ITO).3 Sejarah ITO
sendiri didorong oleh sejumlah peristiwa penting bahkan sejak The World
Economy Conference dilaksanakan pada tahun 19274. GATT sebenarnya
hanya salah satu dari IX Chapters yang direncanakan menjadi isi dari
Havana Charter mengenai pembentukan International Trade Organization
(ITO) pada tahun 1947, yaitu Chapter IV: Commercial Policy.5
Namun International Trade Organization (ITO) tidak berhasil
didirikan, walaupun Havana Charter sudah disepakati dan ditandatangani
oleh 53 negara pada Maret 1948. Hal tersebut dikarenakan Amerika Serikat
menolak untuk meratifikasinya di mana Kongres Amerika Serikat khawatir
wewenangnya dalam menentukan kebijakan Amerika Serikat semakin
berkurang. GATT kemudian dimasukkan hanya sebagai perjanjian
sementara (interim) melalui sebuah Protocol of Provisional Application
sampai Havana Charter dapat diberlakukan dan sebagai badan pelaksana
GATT adalah Committee-ITO/GATT.6 Disepakati GATT disadarkan pada
3 Hata, Perdagangan internasional dalam sistem GATT dan WTO-Aspek-aspek Hukum dan
Non Hukum, Cetakan Pertama, PT Refika Aditama, Bandung, September 2006, hlm,130.
4 Douglas Irwin, C. Mavroidis dan Alan O. Sykes, The Genesis of the GATT, UK:
Cambridge University Press. 2008, hlm. 5.
5 T. N. Srinivasan, 2004, The Future of the Global Trading System: Doha Round Cancún
Ministerial, and Beyond Connecticut: Yale University, 2004, hlm. 4.
6 Ibid, hlm. 6.
15
pertimbangan bahwa hubungan antar negara di bidang perdagangan dan
ekonomi harus dijalankan dengan sasaran untuk meningkatkan standar
hidup, menjamin lapangan kerja dan mengingkatkan penghasilan dan
pemenuhan kebutuhan, pemanfaatan sumber-sumber daya dunia
sepenuhnya, serta memperluas produksi serta pertukaran barang.
Cara untuk mencapai tujuan-tujuan ini adalah dengan mengadakan
pengaturan timbal balik dan saling menguntungkan untuk mengurangi tarif
hambatan-hambatan perdagangan lain, serta menghilangkan diskriminasi
dalam perdagangan internasional.7 GATT memuat peraturan-peraturan
mengenai perdagangan dunia dan menghasilkan pertumbuhan perdagangan
internasional tertinggi sejak tahun 1947-1994. Dalam perjalanannya GATT
telah memiliki beberapa tambahan dan penyempurnaan melalui berbagai
perundingan yang biasa disebut putaran perundingan (Trade Round)8,
sebagai upaya untuk mendorong liberalisasi perdagangan internasional.
Sebagai upaya memperbaiki perekonomian dunia yang hancur
akibat Perang Dunia ke-II. GATT telah melakukan beberapa perundingan
pertama kali di lakukan di Jenewa, Swiss (1947), kemudian Annecy,
Perancis (1949), Torquay, Swiss (1950-1951), Jenewa, Swiss (1953-1956),
The Dillon Round (1960-1961), The Kennedy Round (1964-1967), Tokyo
Round (1973-1979), dan terakhir Uruguay Round Marrakesh (1986-1994).
Perundingan terakhir Uruguay inilah yang dianggap salah satu
perundingan yang paling menentukan perkembangan GATT di masa
7 Ibid, Pembukaan GATT 1947.
8 Hata, Op. Cit, hlm. 2.
16
yang akan datang. Putaran Uruguay merupakan putaran perundingan
yang berlangsung paling lama dan mencangkup segi-segi pengaturan
yang lebih luas.
Pada tanggal 15 Desember 1993, Putaran Uruguay berakhir dengan
disepakatinya Final Act dari perjanjian dagang multilateral ini oleh para
utusan negara, dan teks akhirnya ditandatangani tanggal 15 April 1994
setelah lebih dari tujuh tahun mengagadakan perundingan putaran Uruguay
tersebut. Perjanjian utama yang telah berhasil disepakati adalah perjanjian
pembentukan Agreement Establishing The World Trade Oragnization
(WTO). Sama halnya juga dengan GATT 1947, para pendiri WTO
menambahkan peningkatan standar hidup sebagai tujuan utama melalui
cara-cara yang serupa dengan GATT 1947. Agenda Putaran Uruguay
dikenal sebagai putaran yang sangat bersejarah dalam sejarah GATT.
Negara-negara yang ikut dalam GATT semula dapat menjadi
perserta dalam suatu perjanjian atau tidak tanpa mempengaruhi status
keanggotaannya dalam GATT. Dengan demikian maka bisa dilihat hal
tersebut sangat tidak mendukung tegaknya sistem perdagangan multilateral
yang universal. Oleh sebab itu pada Final Act Uruguay Round para anggota
kemudian mengambil pendekatan yang berbeda dari sebelumnya.9 GATT
berkembang menjadi suatu organisasi perdagangan internasional yang
sekarang lebih dikenal dengan sebutan Organisasi Perdagangan Dunia
(World Trade Organization).
9 Hata, Op. Cit, hlm. 42.
17
World Trade Organization (WTO) kini merupakan satu-satunya
badan internasional yang secara khusus mengatur masalah perdagangan
antar negara. Sejarah mencatat bahwa sistem dan pedoman menjalankan
kegiatan perdagangan yang berlaku multilateral secara resmi baru terjadi
sejak tanggal 1 Januari 1995 sebagai organisasi perdagangan dunia penerus
GATT 1947. Tanggal tersebut adalah sejarah awal dari peresmian
berdirinya Organisasi Perdagangan Dunia yang kini disebut World Trade
Organization (WTO).10
Saat ini, WTO menjadi wadah negosiasi sejumlah perjanjian baru
di bawah Doha Development Agenda (DDA) yang dimulai tahun
Pengambilan keputusan di WTO umumnya dilakukan berdasarkan
konsensus oleh seluruh negara anggota. Lembaga ini menjadi forum
negosiasi perdagangan dan merupakan organisasi yang secara sistematis
berupaya untuk menghilangkan pembatas dalam hubungan perdagangan
antara negara. Khusunya negara berkembang yang cenderung sering
dipojokan pada posisi yang dalam banyak hal cenderung menyulitkan bagi
mereka untuk mencoba melaksanakan pembangunan secara otonom
(autonomous development)11, mengingat keterikatan dan keikutsertaan
Indonesia pada WTO berimplikasi pada perumusan dan pelaksanaan
10 Uraian keterangan tentang latar belakang pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia
dapat dilihat antara lain di Article Widayanto Sulistyo, “Negosiasi untuk Mengamankan
Kepentingan Nasional di Bidang Perdagangan (Bagian ke 1)”, Bulletin Direktorat Kerjasama
Perdagangan Internasional, Kementerian Perdagangan EDISI-43/KPI/2007, Tahun 2007 dalam
website Direktorat Jenderal Kerjasama Perdagangan Internasional, Kementerian Perdagangan pada
http://ditjenkpi.kemendag.go.id/website_kpi/images/Bulletin/Buletin43.pdf (diakses pada 12
November 2018).
11 Ibid.
18
pembangunan dalam negeri yang ditujukan bagi kepentingan ekonomi
domestik. WTO harapkan untuk menghasilkan kondisi-kondisi yang bersifat
timbal balik dan saling menguntungkan, serta dapat menciptakan sistem
perdagangan dunia yang mengatur masalah-masalah perdagangan agar lebih
bersaing secara terbuka, adil dan sehat sehingga semua negara dapat
menarik manfaatnya. Dalam melaksanakan kegiatan perdagangannya,
sangatlah besar kemungkinannya terjadi permasalahan, bahkan terjadi
sengketa didalamnya. Begitu pula dalam permasalahan perdagangan antar
negara anggota WTO. Salah satu yang juga menjadi kelebihan dari WTO
adalah karena WTO tidak berdasarkan dari kekuatan (power), tetapi
berdasarkan peraturan. Hal ini membantu beberapa pihak seperti negara-
negara berkembang ataupun kecil untuk mendapatkan kedudukan dan
bargaining power12 yang sama dengan negara besar. Dan sebaliknya, hal
tersebut juga sangat membantu pihak negara besar untuk tidak terjebak
dalam negosiasi bilateral yang kompleks dengan tiap-tiap negara mitra
dagangnya.
2. Fungsi World Trade Organization
World Trade Organization berfungsi melaksanakan berbagai perjanjian
sebagaimana yang terkandung dalam Final Act Uruguay. Putaran Uruguay
sendiri memiliki tujuan yaitu untuk menciptakan sistem perdagangan
intrnasional yang lebih bebas dan adil dengan tetap memperhatikan
12 Munif Fuady, Hukum Dagang Internasional, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2004,
hlm. 34.
19
kepentingan negara-negara berkembang.13 Tidak hanya itu juga mengawasi
proses implementasi pengurangan tarif, ataupun meminimalisirkan tarif
ataupun hambatan non-tarif yang disepakati dalam perundingan-
perundingan dan secara teratur mengawasi pengaturan perdagangan
internasional para negara anggota secara individual. WTO mengambil alih
peranan GATT yang bertujuan untuk memelihara sistem perdagangan
internasional yang terbuka dan bebas. WTO bertanggung jawab atas
implementasi ketentuan multilateral tentang perdagangan internasional yang
terdiri atas tiga perangkat hukum yang utama dan mekanisme penyelesaian
sengketa.14 Ada tiga (3) fungsi utama GATT dalam mencapai tujuannya.15
Pertama, sebagai suatu pengatur ketentuan multilateral yang mengatur
tindak perdagangan yang dilakukan oleh pemerintah dengan memberikan
suatu perangkat ketentuan perdagangan (the rules of the road for trade).
Kedua, sebagai suatu forum (wadah) perundingan perdagangan. Forum
tersebut diupayakan untuk membantu praktek perdagangan dapat
dibebaskan dari rintagan-rintangan yang menggangu perdagangan
(liberalisasi perdagangan). Ketiga, sebagai suatu tempat penegak keadilan
internasional dimana para anggotanya dapat menyelesaikan sengketanya
dengan anggota-anggota GATT/WTO lainnya.
13 Undang-Undang No. 7 Tahun 1994 Tentang Pengesahaan Agreement Esthablishing The
World Trade Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia).
14 Uraian keterangan pada latar belakang jurnal, Zulkarnain Sitompul, Masih Perlukah
WTO Bagi Negara Berkembang, diakses dari http://zulsitompul.files.wordpress.com/, (diakses
pada tanggal 4 Januari) 2019, hlm. 2.
15 Huala Adolf dan A. Chandrawulan, Masalah-Masalah Hukum dalam Perdagangan
Internasional, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1994, hlm. 4.
20
Tertulis pula dalam latar belakang undang-undang Pengesahan
WTO, bahwa GATT berfungsi sebafai forum penyelesaian sengketa
dibidang perdagangan antar negara-negara anggota dan juga merupakan
forum untuk mengadukan keberatan dari suatu negara anggota bila merasa
dirugikan oleh negara anggota lainnya. Pada prinsipnya GATT mencoba
menyelesaikan masalah-masalah yang timbul dan diselesaikan secara
bilateral. Komponen-komponen utama GATT/WTO adalah: sebagai
perjanjian internasional, sebagai forum pemgambilan keputusan; sebagai
forum penyelesaian sengketa ;sebagai forum negosiasi; sebagai organisasi
internasional; dan sebagai sekretariat internasional.16
3. Struktur Organisasi World Trade Organization
Dalam strukturnya organisasinya Ministerial Conference memilki hak
tertinggi dalam struktur badan WTO. Ministerial Conference adalah organ
utama yang keanggotaannya adalah seluruh negara anggota. Organ inilah
yang akan melaksanakan fungsi-fungsi WTO dalam menjalankan tugasnya
dan mengambil tindakan yang diperlukan untuk menjalankan fungsi
tersebut. Ministerial Conference mempunyai kekuasaan untuk mengambil
kekuasaan atas segala kekuasaan untuk mengambil keputusan atas segala
persoalan yang diatur Multilateral Trade Agreement, jika dikehendai oleh
seluruh anggota, sesuai dengan persyaratan khusus, dan relevan. Ministerial
Conference melakukan pertemuan minimal 2 (dua) tahun sekali. Diikuti
oleh General Council yang juga terdiri oleh negara-negara anggota. General
16 Syahmin AK, Hukum Dagang Internasional, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2006.
hlm. 44.
21
Council melaksanakan fungsi Ministerial Conference pada waktu-waktu
diantara pertemuan-pertemuan Ministerial Conference dan akan
menetapkan prosedurnya sendiri serta menyetujui peraturan prosedural dari
Committee-committe WTO. General Council juga akan melaksanakan tugas
Badan Pneyelesaian Sengketa (Dispute Setlement Body). Disamping itu
struktur badan General Council juga dilengkapi sejumlah dewan lain
yaitu:17
1) Council For Trade in Goods (CTG) memiliki tugas yaitu
mengawasi pelaksanaan perjanjian (Multilateral Trade Agreement)
dalam Annex 1A. Badan yang menangani masalah perdagangan
barang, yang membawahi berbagai Komite ditambah Kelompok
Kerja (Working Group) serta badan yang khusus menangani masalah
texstil dan pakaian jadi yaitu Textiles Monitoring Body (TMB).
Committee dibawah CTG adalah Committee Market Access,
Committee Agriculture, Committee Sanitary and Phytosanitary,
Committee Rules of Origin, Committee Subsidiesand Countervailing
Measures, Committee Custom Valuation, Committee Technical
Barriers to Trade, Committee Anti-dumping Practices, Committee
Import Licencing dan Committee Safeguard.
2) Council For Trade in Services (CTS), memiliki tugas yaitu
mengawasi pelaksanaan General on Trade In Service (GATS) pada
Annex 1B. Council For Trade in Services hanya membawahi satu
17 WTO Organization Chart,
https://www.wto.org/english/thewto_e/whatis_e/tif_e/org2_e.htm, (diakses pada 6 Januari 2019)
22
Komite yaitu Committee Trade in Financial Services ditambah
dengan tiga Negotiating Group (NG) yaitu NG on Maritime
Transport Services, NG. On Basic Telecommunication dan NG on
Movement of Natural Persons ditambah lagi dengan satu Working
Party (WP) yaitu WP on Professional Services.
3) Council For Trade Related Aspects of Intellectual Property
Rights (Council For TRIPs.)
4) Dispute Setlement Body (Badan Penyelesaian Sengketa)
5) Trade Policy Review Body (Badan Peninjau Kebijakan Perdagangan)
yaitu bertugas menyelenggarakan mekanisme pemantauan kebijakan
dibidang perdagangan.
B. PRINSIP DASAR DALAM WTO
Pada prinsipnya World Trade Organization (WTO) merupakan suatu sarana
untuk mendorong terjadinya suatu perdagangan bebas yang tertib dan adil di
dunia perdagangan internasional. Dalam menjalankan tugasnya untuk
mendorong terciptanya perdagangan bebas yang adil dan tentram tersebut,
WTO memberlakukan beberapa prinsip yang menjadi pilar-pilar WTO,
beberapa diantaranya yaitu; prinsip Most Favoured Nations (MFN) dan
National Treatment (NT). Dalam kelangsungannya prinsip-prinsip utama
dalam WTO tersebut ada sebagai ketentuan hukum yang megatur
perdagangan barang, karena sebagian besar kasus-kasus yang ada biasanya
berkaitan dengan perdagangan barang. Dan tidak jarang pula prinsip-prinsip
tersebut dilanggar dan di salah gunakan untuk kepentingan sendiri.
23
1. Most Favoured Nations (MFN)
Prinsip Most Favoured Nations (MFN) merupakan prinsip dasar yang
terdapat dicukup banyak ketentuan WTO dan secara khusus dimuat
dalam Article I GATT. Prinsip ini mensyaratkan bahwa ketentuan yang
sudah disepakati negara anggota harus diperlakukan secara sama
kepada semua negara anggota WTO ataupun di jalankan berdasarkan
asas non-diskriminatif. Perlakuan yang sama tersebut harus dijalankan
dengan segera dan tanpa syarat (immediately and unconditionally)18
terhadap produk yang berasal atau yang diajukan kepada semua anggota
GATT. Para anggota tersebut tidak boleh membeda-bedakan antara
anggota yang satu dengan anggota yang lainnya atau tidak boleh
memberikan kemudahan hanya kepada satu anggota saja tanpa
perlakuan yang sama dengan anggota yang lainya baik itu berkenaan
dengan tarif ataupun batasan perdagangan lainnya. Keberadaan prinsip
MFN sangat penting untuk memastikan kesetaraan antara semua
mitra dagang dan karena itu menjadi pilar utama dari sistem
perdagangan internasional. Misalnya suatu negara tidak diperkenankan
untuk menerapkan tingkat tarif yang berbeda kepada suatu negara
dibandingkan dengan negara lainnya. Prinsip ini menyatakan bahwa
suatu kebijakan perdagangan harus dilaksanakan atas dasar non-
diskriminatif. Menurut prinsip ini, semua negara anggota terikat untuk
memberikan negara-negara lainnya perlakuan yang sama dalam
pelaksanaan dan kebijakan impor dan ekspor serta yang menyangkut
18 Part II Chapter 1 Most-Favoured-Nation Treatment Principle.
24
biaya-biaya lainnya dalam arti yakni semua negara harus
diperlakukan atas dasar yang sama dan semua negara menikmati
keuntungan dari suatu kebijaksanaan perdagangan.
2. National Treatment (NT)
Prinsip National Treatment terdapat dalam Article III GATT 1997 yang
berjudul “National Treatment on International Taxation and
Regulation”. Ketentuan prinsip ini menjelaskan bahwa tidak
diperkenankannya adanya diskriminasi antar produk dalam negeri
dengan produk serupa dari luar negeri. Dalam arti, apabila suatu produk
impor telah memasuki wilayah suatu negara karena diimpor, maka
produk impor itu harus mendapatkan perlakuan yang sama, seperti
halnya pemerintah terhadap produk dalam negeri yang sejenis,19
khusunya jika berasal dari negara anggota WTO tersebut.
Menurut prinsip ini, produk dari suatu negara yang diimpor ke
dalam suatu negara harus diperlakukan sama seperti halnya produk
dalam negeri, prinsip ini sifatnya berlaku luas. Prinsip ini juga berlaku
terhadap semua macam pajak dan pungutan-pungutan lainnya. Prinsip
ini melarang perbedaan perlakuan antara produk asing dan produk
domestik yang berarti bahwa suatu saat barang impor telah masuk ke
pasar dalam negeri suatu negara anggota, dan setelah melalui daerah
pabean serta membayar bea masuk barang impor tersebut harus
diberlakukan sama dengan barang dalam domestik.
19 Muhamaad Sood, Loc. Cit, hal. 43.
25
Prinsip National Treatment juga telah diperkuat dalam hukum
positif di Indonesia yang terdapat dalam Undang-Undang No. 25 tahun
2007 Tentang Penanaman Modal pasal 6 ayat (2) bahwa tidak berlaku
bagi penanam modal dari suatu negara yag memperbolehkan hak
istimewa berdasarkan perjanjian dengan Indonesia. Pasal tersebut telah
dijelaskan terdapat hak istimewa. Hak istimewa yang dimaksud adalah
hak yang berkaitan dengan kesatuan kepabean, wilayah perdagangan
bebas, pasar bersama (common market), kesatuan moneter,
kelembagaan yang sejenis, dan perjanjian antara Pemerintah Indonesia
dan pemerinta asing yang bersifat bilateral, regional, multilateral yang
berkaitan dengan hak istimewa tertentu dalam penyyelenggaran
penanaman modal.20
C. HAMBATAN-HAMBATAN PERDAGANGAN (TRADE BARRIER)
Hambatan-hambatan terhadap kegiatan perdagangan internasional yang
dialami oleh suatu negara biasanya timbul dari adanya kebijakan-
kebiajakan yang dibuat oleh suatu pemerintahan negara. Penerapan
kebijakan dagang oleh negara akan dapat membebani negara-negara lain
yang terikat dengan perjanjian internasional antar negara. Sebenarnya
hambatan ini merupakan rangka dalam mengatur dan melindungi ekpnomi
suatu negara agar tetap stabil dan aman. Karena apabila tidak diatur maka
produk-produk luar negeri akan membanjiri pasar dan mematikan industri
20 Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal.
26
yang ada di dalam negeri. Berikut merupakan bentuk dari hambatan-
hambatan dalam perdagangan:
1. Hambatan Tarif (Tariff Binding)
Suatu kebijakan proteksionis terhadap barang-barang produksi dalam
negeri dari ancaman membanjirnya barang-barang sejenis yang diimpor
dari luar negeri adalah merupakan pembatasan. Pembatasan
perdagangan bebas dengan menggunakan tarif dipandang sebagai satu-
satunya pembatasan perdagangan yang diperbolehkan utnuk di
berlakukan dan diharapkan untuk dapat mengurangi besarnya tarif
maksimum yang diberlakukan negara-negara poleh WTO dan tentunya
saja dengan beberapa pengecualian.
Tarif adalah hambatan perdagangan yang berupa penetapan pajak
atas barang-barang impor atau barang-barang dagangan yang melintasi
daerah pabean (custom area). Sementara itu, barang-barang yang
masuk ke wilayah negara dikenakan bea masuk. Efek kebijakan ini
terlihat langsung pada kenaikan harga barang. Dengan pengenaan bea
masuk yang besar, pendapatan negara akan meningkat sekaligus
membatasi permintaan konsumen terhadap produk impor dan
mendorong konsumen menggunakan produk domestik. Yang dimaksud
dengan tarif tidak lain dari suatu pajak yang ditarik oleh pemerintah
atas barang-barang impor, yang menyebabkan menjadi semakin
tingginya harga barang tersebut di dalam pasar domestik.21 Macam-
macam Penentuan Tarif, yaitu:
21 Munir Fuady, Loc. Cit, hlm. 72.
27
i. Bea Ekspor (export duties) adalah pajak/bea yang dikenakan
terhadap barang yang diangkut menuju negara lain (di luar
custom area).
ii. Bea Transito (transit duties) adalah pajak/bea yang dikenakan
terhadap barang-barang yang melalui batas wilayah suatu negara
dengan tujuan akhir barang tersebut negara lain.
iii. Bea Impor (import duties) adalah pajak/bea yang dikenakan
terhadap barang-barang yang masuk dalam suatu negara (custom
area).
WTO juga menjelaskan mengenai tata cara bagaimana bea masuk harus
diterapkan. Penerapan bea masuk dapat mensyaratkan tiga penentuan
untuk dibuat:22
a. Penetuan atas klasifikasi yang seharusnya atas barang impor;
b. Penentuan atas nilai pajak atas barang impor; dan
c. Penentuan asal dari barang impor.
2. Hambatan Non-Tariff (Non-tariff Barriers)
Hambatan non-tarif adalah suatu hambatan dalam perdagangan yang
tidak berupa tarif atau penarikan dalam bentuk apapun. Dalam arti yang
dimaksud untuk melindungi industri dalam negeri melalui perlindungan
tertentu yang tidak dengan bersifat tariff measures. Contohnya adalah
seperti sistem kuota atau rektriksi kuantatif tidak hanya itu regulasi
kesehatan, hewan, tanaman, hak buruh, hak asasi manusia dan keamaan
nasional. Aturan-aturan mengenai hambatan non-tarif diatur di dalam
22 Peter van den Bossche, Loc. Cit, hlm. 29.
28
Annex 1A GATT. Yang termasuk tindakan hambatan non-tarif adalah
sebagai berikut:
a. Pembatasan dalam bentuk yang spesifik yang berupa larangan
ekspor (pemasukan)/impor (pengeluaran) dalam jumlah tertentu
(kuota).
b. Peraturan atau ketentua dalam hal teknis untuk impor produk
tertentu.
c. Penerapan hukum dan regulasi perdagangan yang tidak adil dan
subyektif.
d. Prosedur dan tata cara impor tertentu (procedure).
e. Kebijakan atas ikut campur tangan oleh pemerintah negara.
3. Article XI (General Elimination Of Quantitative Restrictions)
Hambatan kuantitatif adalah aturan yang membatasi jumlah
(kuantiti/kuota) atas sebuah barang yang akan diimpor atau diekspor.
Hambatan kuantitatif dapat berupa kuota tapi dapat pula berbentuk
larangan impor atau ekspor. Ruang lingkup ketentuan ini mencakup
semua larangan atau pembatasan selain dari tarif atau pajak lain yang
diperkenankan oleh WTO dan cenderung pada batasan impor atau
ekspor barang, yang dapat dibuat efektif melalui kuota, prosedur lisensi
impor atau ekspor, atau tindakan lain. Larangan restriksi kuantitatif
merupakan rintangan terbesar dalam GATT/WTO. Namun, restriksi
(pembatasan) kuantitatif terhadap ekspor atau impor dalam bentuk
apapun (misalnya penetapan kuota impor atau ekspor, restriksi
penggunaan lisensi impor atau ekspor, pengawasan pembayaran
29
produk-produk impor atau ekspor), pada umumnya dilarang. Hal ini
disebabkan karena praktek tersebut dianggap mengganggu praktek
perdagangan dunia. Sebagaimana diatur dalam Article XI ayat 1 WTO
1994:
“No prohibitions or restrictions other than duties, taxes or
other charges, whether madeeffective through quotas, import
or export licences or other measures, shall be instituted or
maintained by any contracting party on the importation of any
product of the territory of any other contracting party or on
the exportation or sale for export ofany product destined for
the territory of any other contracting party”.
Prinsip Article XI ayat 1 GATT 1994 mensyaratkan bahwa hanya
memperkenankan tindakan proteksi terhadap industri domestik
melalui tarif (menaikkan tingkat tarif bea masuk) dan tidak melalui
upaya-upaya perdagangan lainnya (non-tariff commercial measures).
Meskipun demikian restriksi tersebut tidak boleh diterapkan di luar
yang diperlukan untuk melindungi neraca pembayarannya. Restriksi
dapat dilakukan umumnya namun dalam beberapa pengecualian, bisa
dilihat dalam sistem tariff binding, yang dalam beberapa putaran
perundingan besarnya tarif telah diminimalisirkan. Restriksi itu pun
secara progesif harus dikurangi bahkan dihilangkan apabila tidak
dibutuhkan kembali. Sebagian dari negara-negara anggota GATT/WTO
sendiri adalah merupakan negara yang sedang berkembang, termasuk
Indonesia, atau yang masih berada dalam tahap awal pembangunan
ekonominya. Untuk membantu pembangunan mereka, Pasal tersebut
memiliki beberapa pengecualian, pengecualiannya adalah dalam hal
quantitive restriction, hal tersebut dapat dilakukan dalam hal:
30
a) Untuk mencegah terkurasnya atau terekpoiltasi habis-habisan
produk-produk esensial di negara pengekspor;
b) Untuk melindungi peraturan dalam negeri khususnya yang
melindungi produk pertanian dan perikanan;
c) Untuk mengamankan, berdasarkan escape clause23,
meningkatnya impor yang berlebihan (increase of imports) di
dalam negeri sebagai upaya untuk melindungi, misalnya,
terancamnya produksi industri dalam negeri;
d) Untuk melindungi neraca pembayaran.24
D. PERJANJIAN DALAM KERANGKA GATT/WTO YANG
MENGIKAT INDONESIA
1. General Agreement on Tariff and Trade (GATT)
General Agreement on Trade and Tariff (GATT) mengatur aturan yang
khusus di bidang perdagangan internasional. GATT telah berdiri sejak
sebelum konvensi pendirian WTO ditandatangani dan GATT
merupakan rancangan yang berkembang dari statuta Internasional
Trade Oragnization (ITO) yang gagal terbentuk pada tahun 1948 tetap
merupakan salah satu bagian dari hasil perundingan dibawah WTO
bersama General Agreement on Trade and Service (GATS), Agreement
on trade Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIP’s) dan
23 “Escape Clause" Actions under Article XIX of the General Agreement
24 Ibid, Article XII GATT 1994.
31
Agreement Trade Related Investment Measures (TRIM’s).25 Secara
substantif GATT bertujuan untuk menciptakan suatu lingkungan
perdagangan yang aman dan proses liberalisasi perdangangan berlanjut
yang mampu menciptakan investasi, lapangangan kerja, dan kegiatan
perdagangan. GATT merupakan perwujudan keinginan negara-negara
untuk menciptakan peraturan yang dapat menertibkan perdagangan
dunia. Pengaturan mengenai tarif dalam perdagangan internasional
terletak didalam GATT Agreement dan sesuai pada prinsip-prinsip
perdagangan internasional yang sudah diatur dalam ketentuan GATT.26
Prinsip dasar tersebut menjadi landasan bagi jalannya arus perdagangan
internasional, sebagai suatu sistem yang berdasarkan atas serangkaian
pemikiran atau konsepsi yang integral. Komponen komponen dari
prinsip prinsip GATT tersebut diatur dalam persetujuan bersama
(General Agreement) sebagai sumber yuridis utama dari GATT yang
harus diterima oleh negara-negara anggota GATT / WTO.
2. General Agreement on Trade in Services (GATS)
WTO tidak hanya mengatur lalu lintas perdagangan barang, tetapi juga
menyususun aturan arus perdangan jasa. Salah satu aspek yang dicakup
oleh WTO adalah perdagangan jasa yang diatur dalam ANNEX 1B
General Agreement on Trade in Services (GATS) yang merupakan
salah satu lampiran (annex) dari Perjanjian Pembentukan WTO beserta
Schedule of Specific Commitments yang berisi daftar komitmen
25 Hata, Ibid. hlm. 9.
26 Ibid.
32
Indonesia yang sifatnya spesifik dan menjelaskan sektor dan transaksi
di bidang jasa mana saja yang terbuka bagi pihak asing serta kondisi-
kondisi khusus yang disyaratkannya.27 GATS merupakan perjanjian
yang masuk dalam kerangka WTO dikarenakan kepentingan dalam
perdagangan industri jasa yang berupa sektor perbankan,
telekomunikasi, transportasi udara, pariwisata, dan sektor-sektor
lainnya. GATT hanya mengatur perdagangan barang antar negara, dan
menurunkan hambatan tariff (tariff barrier) untuk memperlancarkan
jalan arus ekpor impor perdagangan internasional. Tujuan dibentuknya
GATS ditegaskan dalam Deklarasi Punta del Este, deklarasi yang
merupakan dasar dilaksanakannya perundingan Putaran Uruguay, yaitu
membentuk suatu kerangka multilater dari prinsip dan aturan tentang
perdagangan jasa.28 Ataupun memperluas tingkat liberalisasi sektor jasa
dalam negara-negara anggota. Termasuknya jasa dalam kerangka WTO
dilakukan karena sesuai dengan dasar dan dasar aturan WTO, seperti
adanya jalur sistem penyelesaian sengketa yang komprehensif dan
perjanjian yang mengikat di dalamnya. Jasa disini ditujukan dalam
pengertian yang luas dan didefinisikan sebagai “produk kegiatan
manusia yang tidak berwujud yang bertujuan memuaskan kebutuhan
manusia”29, yang dimaksud adalah produk barang yang tidak terlihat
27 Lutfiyah Hanim, Yanuar Nugroh, GATS Liberalisasi Kehidupan, The Institute for Global
Justice, Jakarta, 2008, hlm. 7.
28 GATT Activities 1986, An Annual Reviews of the Work of the GATT, Geneva, June 1987,
hlm. 26.
29 Lutfiyah Hanim & Yanuar Nugroh, Op. Cit. hlm. 8.
33
misalnya30, penyediaan jasa listrik, gas, jasa seperti salon kecantikan,
perbankan, asuransi, perawatan, dan sebagainya.
3. Agreement on Trade Related Property Rights (TRIP’s)
Perjanjian dibawah WTO lainnya, yang berkaitan dengan aspek-aspek
terkait perlindungan perdagangan dari hak atas kekayaan intelektual
yang termuat dalam ANNEX 1C Agreement On Trade-Related Aspects
Of Intellectual Property Rights (TRIP’s). TRIP’s Agreement berlaku
sejak tahun 1995, yang merupakan bagian dari pada kerangka WTO
yang ditandangani oleh negara-negara anggotanya untutk mewajibkan
seluruh anggotnya untuk membuat aturan-aturan mengenai hak
kekayaan intelektual di negara masing-masing. Perlindungan yang
dimaskud disini adalah hal-hal yang mempengaruhi keberadaan,
perolehan, lingkup, pelaksanaan dan penegakkan hak atas kekayaan
intelektual (HKI) secara keseluruhan serta hal-hal yang dapat
mempengaruhi penggunaan HKI termasuk didalamnya hak atas merek
terkenal.31 TRIP’s Agreement mempunyai tujuan untuk dapat
melindungi dan juga agar dapat menegakan hukum yang berkaitan
dengan hak milik kekayaan intelektual yang berguna untuk dapat
memotivasi timbulnya inovasi, pengalihan, serta penyebaran teknologi,
diperolehnya manfaat bersama pembuat dan pemakai pengetahuan
30 Ibid. hlm. 8.
31 Rahmi Jened, Hukum Trade (Trademark Law) Dalam Era Global dan Integrasi
Ekonomi, PT Kharisma Putra Utama, 2015, hlm 5.
34
teknologi, dengan cara yang membuat sebuah kesejahteraan sosial dan
ekonomi serta berkeseimbangan antara hak dan kewajiban.
4. Agreement on Trade Related Investment Measures (TRIM’s)
Trade Related Investment Measures (TRIMs) merupakan multilateral
trade agreements di bawah WTO. Perjanjian ini pertama kali di
negosiasikan pada Putaran Uruguay yang berkaitan dengan perjanjian
tentang aturan-aturan investasi yang menyangkut atau berkaitan dengan
perdagangan internasional. Perjanjian TRIMs dimaksudkan untuk
mengurangi atau menghapus kegiatan perdagangan dan meningkatkan
kebebasan kegiatan investasi antar negara dan berasal dari kesadaran
bahwa langkah-langkah investasi tertentu dapat memiliki efek
pembatasan perdagangan dan distorsi, dan menyatakan bahwa tidak ada
Anggota akan menerapkan tindakan yang dilarang oleh ketentuan
GATT Article III (National Treatment) atau Article XI (General
Elimination Of Quantitative Restrictions).32 Tujuan diaturnya masalah
penanaman modal asing dalam TRIMs adalah sebagai berikut:33
a. Karena adanya pengaturan tertentu dari masalah penanaman modal
asing di negara tertentu yang dapat menyebabkan pembatasan
perdagangan dan memiliki distorsi-distorsi tertentu.
32 Agreement on Trade-Related Investment Measures (TRIMs), “This Agreement,
negotiated during the Uruguay Round, applies only to measures that affect trade in goods.
Recognizing that certain investment measures can have trade-restrictive and distorting effects, it
states that no Member shall apply a measure that is prohibited by the provisions of GATT Article
III (national treatment) or Article XI (quantitative restrictions).”
https://www.wto.org/english/tratop_e/invest_e/trims_e.htm (diakses pada 5 Januari 2019)
33 Ibid.
35
b. Untuk melakukan elaborasi terhadap ketentuan GATT yang
berkenaan dengan efek retriktif terhadap perdagangan dari
pengaturan dan praktek tentang penanaman modal asing di negara-
negara anggota WTO.
c. Untuk mempromosikan dan memfasilitasi investasi di negara-
negara anggota WTO yang sesuai dengan liberalisaasi
perdagangan, sehingga diharapkan dapat meningkatkan
pertumbuhan ekonomi di masing-masing negara WTO.
Pertimbangan-pertimbangan tersebut menjadi dasar perundingan yang
mengarahkan negara-negara penerima modal mengatur investasi asing
di negara tersebut. Peraturan penanaman modal internasional saat ini
diterapkan Indonesia dalam UU No. 25 Tahun 2007 Undang-Undang
Tentang Penanaman Modal (UUPM) sebagai bentuk kewajiban
Indonesia setelah meratifikasi Perjanjian Pembentukan WTO. UUPM
No. 25 Tahun 2007 tentunya diharapkan harus sesuai dengan
kesepakatan internasional yang diterima dalam pergaulannya pada
berbagai kerjasama internasional. Jika hal ini tidak dipenuhi, maka
Indonesia akan dibawa ke dalam penyelesaian sengketa oleh negara-
negara yang berkepentingan. Negara anggota WTO telah sepakat untuk
tidak menerapkan langkah-langkah investasi tertentu yang terkait
dengan perdagangan barang yang membatasi atau mendistorsi
perdagangan. Trade Related Investment Measures (TRIMs) yang sudah
diratifikasi oleh Indonesia memiliki konsekuensi yang bahwa adanya
kewajiban untuk mengharmonisasikan aturan atau kebijakannya dengan
36
perjanjian internasional tersebut dan menjadikannya salah satu landasan
atau sumber dalam pembuatan perundang-undangan yang berkaitan
dengan penanaman modal termasuk asas atau prinsip yang terkandung
didalamnya.
TRIMs melarang pengaturan-pengaturan penanaman modal asing
yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip GATT 1994, sebagai
instrumen untuk membatasi penanaman modal asing, namun ada
pengecualian-pengecualian tertentu asalkan memenuhi syarat-syarat
tertentu juga. TRIMs merupakan unsur penting yang diterapkan negara
penerima modal, terutama negara berkembang. Negara berkembang
lainnya menggunakan TRIMs ini untuk meminimalkan dampak dari
penanaman modal asing. Negara-negara ini telah pula menjadikan
upaya-upaya tersebut sebagai bagian dari pembangunan ekonominya
untuk mencapai tingkat pertumbuhan pembangunan negaranya.
Pembangunan tersebut merupakan upaya pemerintah setempat
untuk membangun masyarakatnya dalam hal penyediaan lapangan kerja
dan teknologi yang memang bermanfaat bagi pembangunan negara
tersebut. Negara juga terkadang menerapkan kebijakan penanaman
modal yang sifatnya membatasi ruang gerak penanaman modal asing
untuk mencegah dampak buruk terhadap perekonomian negara dari
penanaman modal asing. Perjanjian TRIMs melarang beberapa
tindakan-tindakan tertentu yang melanggar perlakuan nasional dan
37
persyaratan pembatasan kuantitatif dari GATT. Peraturan TRIMs yang
dilarang dapat mencakup beberapa persyaratan sebagai berikut untuk:34
1. Mencapai tingkat konten lokal tertentu.
2. Menghasilkan secara lokal.
3. Ekspor tingkat / persentase barang tertentu.
4. Menyeimbangkan jumlah / persentase impor dengan jumlah /
persentase ekspor.
5. Mentransfer teknologi atau informasi bisnis hak milik kepada
orang lokal
6. Menyeimbangkan arus masuk dan keluar mata uang asing.
Peraturan investasi secara multilateral merupakan salah satu isu yang
dimasukan dalam kerangka WTO. Tujuan dari adanya perundingan
TRIMs, yakni:35
1) Mengidentifikasi lebih lanjut dampak-dampak dari perdagangan
yang restriktif dan mengganggu upaya penanaman modal yang
dapat tercangkup dalam pasal-pasal GATT;
2) Mengidentifikasi dampak dari perdagangan yang bersifat
restriktif dan dampak merugikan dari upaya-upaya penanaman
modal yang baik tercakup dalam aturan-aturan GATT namun
relevan dengan mandat Putaran Uruguay;
34 WTO Agreement On Trade-Related Investment Measures,
https://tcc.export.gov/Trade_Agreements/Exporters_Guides/List_All_Guides/WTO_subsidies_TR
IMs.asp, diakses pada 20 Januari 2019
35 Huala Adolf, Ibid, hlm. 91.
38
3) Mengkaji kemungkinan pemberlakuan aspek-aspek
pembangunan dalam aturan-aturan penanaman modal (TRIMs
Agreement);
4) Upaya-upaya untuk mencegah adanya dampak perdagangan
yang merugikan, termasuk apabila dimungkinkan
dirumuskannya aturan-aturan baru apabila pasal-pasal GATT
tidak dapat mengatur upaya-upaya penanaman modal yang
terkait dengan perdagangan;
5) Masalah-masalah lainnya seperti bentuk-bentuk penanaman
modal dan implementasinya.
Prinsip “non-discrimination” dalam peraturan ini sebenarnya diambil
dalam arti pengertian National Treatment sebagai prinsip dasar
TRIMs/GATT. Agreement on TRIMs pada Article II pada prinsipnya
melarang semua persyaratan penanaman modal yang tidak konsisten
dengan Article III GATT 1994 tentang National Treatment yang
berbunyi sebagai berikut:
“The product of any contracting party imported into the territory
of any other contracting party shall be accorded treatment no less
favourable that accorded to like products of national origin in
respect of all laws, regulation and requirement affecting their
internal sale, purchase, transportation distribution of use”
Berdasarkan ketentuan TRIMs negara anggota dilarang utnuk
menerapkan lima jenis tindakan investasi yang terkait dengan
perdagangan yang tidak konsisten dengan ketentuan national treatment
sebagaimana terdapat dalam Article III (National Treatment) dan
ketentuan pelarangan penggunaan hambatan kuantitatif sebagaimana
39
terdapat dalam Article XI WTO (General Elimination Of Quantitative
Restrictions) mengatur restriksi atau pembatasan kuantitatif. Restriksi
kuantitatif yang sering dipraktekkan adalah pengenaan kuota, lisensi
impor atau ekspor atau upaya lainnya disamping bea masuk, pajak atau
pungutan lainnya. Kelima tindakan jenis tindakan tersebut dapat dilihat
dalam tabel berikut:36
Pasal GATT Tindakan yang tidak konsisten
National
Treatment
(Pasal 3)
Larangan
hambatan
kuantitatif
(Pasal 9)
Persyaratan local-content – jumlah tertentu input
produksi harus berasal dari lokal atau domestik.
Persyaratan trade-balancing – import harus senilai
proporsi tertentu dari ekspor.
Hambatan trade-balancing – import harus senilai
proporsi tertentu dari ekspor.
Hambatan foreign exchange balancing – foregein
exchange untuk impor dibatasi pada proporsi tertentu
foreign exchange yang diperoleh melalui ekpor atau
transfer.
Persyaratan domestic sales – proporsi produk
tertentu harus dicadangkan bagi pasar domestik.
36 Peter Gallagher, Guide to the WTO and Developing Countries, Cambridge: Kluwer Law
International, 2000, hlm. 56.
40
E. KEWAJIBAN INDONESIA SEBAGAI ANGGOTA WORLD TRADE
ORGANIZATION
Kegiatan internasional dalam bidang ekonomi ditandai dengan kerjasama
antar negara melalui kerja sama perdagangan internasional diatur oleh
lembaga internasional yang melaksanakan tugasnya untuk memfasilitasi
kegiatan perekonomian tersebut. Kebijakan perdagangan internasional
merupakan bagian dari pembangunan nasional yang dilakukan dengan
melihat perkembangan yang terjadi di dalam negara lain yang dianggap
dapat berpengaruh atau berguna terhadap perekonomian nasional.
Organisasi internasional adalah suatu organisasi yang dibentuk melalui
treaty dan anggota-anggotanya terdiri dari negara-negara yang bersatu untuk
menyepakati sebuah perjanjian internasional.
Konvensi Wina 1965 atau “Vienna Convention on The Law of
Treaties” yang ditandatangani pada 23 Mei 1969 merupakan pengaturan
dari pengesahan perjanjian internasional. Pasal 2 Konvensi Wina 1969
menyatakan bahwa treaties merupakan salah satu perjanjian antara dua atau
lebih negara yang mendirikan suatu hubungan diantara mereka dan diatur
oleh Hukum Internasional. Dalam Konvensi Wina 1969 mengatur mengenai
bagaimana pembuatan dan pengesahan perjanjian internasional baik
perjanjian bilateral maupun multilateral dapat dilakukan melalui tahap
diantaranya adalah sebagai berikut:37
a) Perundingan (Negotiation)
37 Vienna Convention on the Law of Treaties 1969.
41
Dalam perundingan akan dipilih siapakah yang dapat mewakili suatu
negara dalam suatu perundingan internasional. Hal tersebut merupakan
persoalan intern suatu negara yang bersangkutan, dan terlebihnya untuk
menghindari agar tidak terjadinya suatu tindakan yang tidak diinginkan
dari orang yang tidak berkenan untuk mewakili suatu negara dalam
sebuah konferensi internasional. Berdasarkan kertentuan ini, seseorang
yang ditunjuk biasainya yang dianggap mempunyai wewenang untuk
mewakili suatu perjanjian internasonal serta berwenang untuk
mengesahkan dan mengikat negara atas suatu naskah perjanjian
internasional adalah seseorang yang memiliki surat kuasa penuh (full
power) atau surat kepercayaan (credentials)38.
b) Penandatangangan (Signature)
Dalam Pasal 7 Ayat 2 (a) Konvensi Wina 1969 menyatakan bahwa
berhak menandatangi suatu perjanjian sebagai wakil negara adalah
kepala negara, kepala pemerintahan dan menteri luar negeri, yang
semuanya memiliki hak penuh yang berhubungan dengan penyimpulan
suatu perjanjian.39
c) Pengesahan (Ratification)
38 Pasal 27 Rules Of The General Assembly, Surat-surat kepercayaan deleasi suatu negara
ke sidang majelis umum PBB harus diserahkan ke Seketaris Jenderal seminggu sebelum sidang
dimulai. Oleh karena itu, yang diperlukan oleh PBB dan badan-badan subside lainnya adalah
surat-surat kepercayaan (credentials) dan bukan surat kuasa (full powers).
39 Pasal 7 Ayat 2 (a) Konvensi Wina 1969 berbunyi; In virtue of their funcion and without
having produce full powers, the following are considered as respresenting their state: (a) Heads of
State, Heads of Geverment and Minister for Foreign Affairs, for the purpose of the perfoming all
acts relating to the conclusion of treaty.
42
Kesepakatan untuk mengikatkan diri inilah merupakan tindakan lanjut
yang dilakukan oleh negara-negara setelah menyelesaikan suatu
perundingan untuk membentuk suatu perjanjian internasional. Dari
tindakan inilah lahir kewajiban-kewajiban tertentu bagi negara-negara
perundingan setelah menerima baik suatu naskah perjanjiannya, di
antaranya adalah kewajiban untuk tidak melaksanakan suatu kegiatan
yang bertentangan dengan esensi atau maksud dari tujuan tersebut.
Bisa dilihat diatas mengenai terikatnya suatu negara terhadap perjanjian
Internasional sebagaimana diatur dalam pasal 11 Konvensi Wina 1969,
hal ini sama sebagaimana tertulis dalam Undang-Undang No. 24 Tahun
2000 tentang Perjanjian Internasional di Indoneisa. Pemerintah
indonesia republik indonesia mengikatkan diri pada perjajian
internasional melalui cara-cara sebagai berikut yang tertulis dalam
Pasal 3:40
a) Penandatangan
b) Pengesahan
c) Pertukaran dokumen perjanjian diplomatik
d) Cara-cara lain sebagaimana mana disepakati para pihak dalam
perjanjian intenrasional
Dan tidak diragukan lagi bahwa World Trade Organization merupakan
suatu organisasi internasional dan sudah jelas-jelas diratifikasin oleh
Indonesia dalam guna mengikuti perkembangan ekonomi dunia yang
40 Undang-Undang No. 24 Tahun 2000 Tentang Perjanjian Internasional.
43
semakin meningkat, serta mendorong perdagangan antar bangsa serta
kebijakan pemebrintah yang menciptakan hubungan yang sehat dan
keaktifan antara negara untuk mencari dan memanfaatkan peluang satu
sama lain yang terbuka.
1. Ratifikasi Perjanjian Pembentukan World Trade Organization oleh
Indonesia
Indonesia secara resmi menjadi anggota World Trade Organization dan
meratifikasi seluruh perjanjian World Trade Organization dengan melalui
Undang-Undang No. 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement
Establishing The World Trade Organization (Persetujuan Pembentukan
Organisasi Perdagangan Dunia) yang menyatakan bahwa Indonesia
mengesahkan persetujuan pembentukan organisasi perdagangan dunia dan
bahwa Indonesia sudah mengintegrasikan diri dalam realitas perdagangan
global. Diundangkannya Undang-Undang No. 7 Tahun 1994 tentang
pengesahan Agreement Establishing The World Trade Organization, akan
membawa Indonesia kepada konsekuensi yang lebih besar dalam ranah
internasional, termasuk dalam cara Indonesia menyelesaikan sengketa-
sengketa dagangnya. Sebagai mana negara yang telah terikat oleh WTO
harus terikat oleh hampir semua Annex Perjanjian WTO (Multilateral Trade
Agreements) yakni Annex 1, 2 dan 3. Persetujuan-persetujuan annexnya
berhubungan antara lain dengan sektor-sektor di bawah ini:41
1) Perjanjian dalam bidang Pertanian (Agreement on Agriculture)
41 ANNEX 1A: The Multilateral Agreements On Trade In Goods
44
2) Perjanjian mengenai Penerapan Tindakan Sanitasi dan Phystosanitasi
(Agreement on thr Application of Sanitary and Phytosanitary
Measures)
3) Badan Pemantau Tekstil (Textiles and Clothing)
4) Standar Produk
5) Tindakan investasi yang terkait dengan perdagangan (Trade-Related
Investment Measures/TRIMs)
6) Tindakan anti-dumping (Anti-Dumping Agreement)
7) Penilaian Pabean (Customs Valuation Methods)
8) Pemeriksaan sebelum pengapalan (Preshipment Inspection)
9) Ketentuan asal barang (Rules of Origin)
10) Lisensi Impor (Imports Licencing)
11) Subsidi dan Tindakan Imbalan (Subsidies and Countervailing
Measures)
12) Tindakan Pengamanan (Agreement on Safeguards)
Negara anggota World Trade Organization wajib mentaati standar
perdagangan internasional yang sudah disepakati pada awal perjanjian
tersebut, namun walaupun begitu tetap diberikan pengecualian khususnya
bagi negara berkembang dan negara yang paling terbelakang untuk mengatur
secara khusus hal-hal yang dianggap penting dan sangat berkaitan dengan
kebutuhan negaranya dalam perkembangan perdagangan internasional.
Untuk menjadi anggota WTO, negara-negara diharuskan untuk menyepakati
hampir seluruh perjanjian yang ada dalam kerangka WTO.
45
Negara anggota yang turut serta menandatangani persetujuan WTO
termasuk Indonesia wajib melaksanakan seluruh hasil kesepakatan tersebut.
World Trade Organization (WTO) dibentuk dengan kualifikasi keanggotaan
yang sama dengan kulifikasi keanggotaan GATT 1947. Perjanjian WTO
mengikat secara hukum. Ratifiksi yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia
atas Agreement Establishing The World Trade Organization dilihat dari segi
hukum merupakan suatu tindakan dari Indonesia yang sadar akan keadaan
negaranya yang masih merupakan negara berkembang yang membutuhkan
bantuan negara lain untuk berkembang. Indonesia harus meletakkan tumpuan
pada suatu forum multilateral, yakni WTO sebagai wujud suatu kekuasaan
internasional di bidang perdagangan antar-negara, yang diharapkan
menegakkan rule of law dalam masyarakat global. Sebagai negara
berkembang Indonesia tentuya memerlukan kepastian hukum yang lebih
dibandingkan negara-negara maju lainnya guna menjamin kegiatan
perdagangan internasional yang terbuka dan adil dalam penyelenggarannya.
Perlu diketahui disini bahwa istilah anggota pada GATT bukan member,
tetapi contracting party.42 Karena itu pula negara-negara yang ikut serta
dalam GATT tidak tepat untuk disebut sebagai anggota karena memang
sebutan anggota hanya untuk menunjuk pada istilah peserta/pihak pada suatu
organisasi internasional, maka itu untuk istilah yang tepat adalah contracting
party. WTO didirikan negara anggotanya dengan maksud dan tujuan bersama
sebagaimana dicantumkan dalam pembukaan perjanjiannya sebagai berikut:
42 Text Of Article XXXII Contracting Parties.
46
“Bahwa hubungan-hubungan perdagangan dan kegiatan ekonomi
negara anggota harus dilaksanakan dengan maksud untuk meningkatkan
standar hidup, menjamin lapangan kerja sepenuhnya, peningkatan
penghasilan nyata, memperluas produksi dan perdagangan barang dan
jasa, dengan penggunaan optimal sumber-sumber daya dunia sesuai
dengan tujuan pembangunan berkelanjutan. Juga mengusahakan
perlindungan lingkungan hidup dan mengingkatkan cara-cara
pelaksanaannya dengan cara-cara yang sesuai dengan kebutuhan
masing-masing negara yang berada pada tingkat pembangunan ekonomi
yang berbeda.“
Dalam mengejar tujuan ini diakui adanya suatu kebutuhan akan langkah-
langkah positif untuk menjamin agar supaya negara berkembang, khususnya
negara yang paling terbelakang mendapat bagian dari pertumbuhan
perdagangan internasional sesuai dengan kebutuhan ekonominya masing-
masing. World Trade Organization memiliki 164 anggota.43 65 negara
lainnya pada sebelumnya adalah anggota GATT yang kemudian, ke-65
negara tersebut secara otomatis menjadi anggota WTO pada tanggal 1 Januari
1995. Negara anggota yang tidak mematuhi perjanjian bisa diadukan oleh
negara anggota lainnya jika merugikan mitra daganganya, serta mendapatkan
sanksi perdagangan yang sudah di disepakati diawal perjanjian WTO.
Sistem kerja WTO bisa dilihat sangat dominan dan mampu
memaksakan aturan-aturannya, karena anggota terikat secara legal (legally-
binding) dan keputusannya irreversible artinya tidak bisa ditarik kembali. Hal
ini bisa dilihat jelas berbeda dengan GATT yang sebelumnya tidak
mengharusnya semua negara turut serta dalam seluruh perjanjian yang ada.
Berdasarkan ratifikasi tersebut Indonesia berhak mendapat bagian dan
manfaat sebesar-besarnya perekonomian dunia untuk berbagai tujuan
43 Daftar Negara Anggota WTO https://www.zonareferensi.com/negara-anggota-wto/
(diakses pada 17 Febuari 2019)
47
meningkatkan kualitas hidup bangsa dan kesejahterahan negara. Maksud dan
tujuan Indonesia untuk masuk dalam perdagangan dunia tertuang jelas di
dalam bagian menimbang butir a, b dan c Undang-Undang No. 7 Tahun 1994
tentang Pengesahan Agreement Establishing The World Trade Organization
tersebut. Dasar pertimbangan meratifikasi WTO Agreement lainnya
tercantum dalam butir ’a’ menyebutkan pengamanan kepentingan Indonesia
dalam melaksanakan pembangunan ekonomi menuju masyarakat adil dan
makmur melalui pemanfaatan sumber daya luar negeri dengan menyebutkan;
“bahwa pembangunan nasional bertujuan untuk mewujudkan suatu
masyarakat adil dan makmur yang merata materil dan spiritual
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 dalam wadah
Negara Kesatuan Republik Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat
dan berkedaulatan rakyat dalam suasana perikehidupan bangsa yang
aman, tenteram, tertib, dan dinamis dalam lingkungan pergaulan dunia
yang merdeka, adil, bersahabat, tertib, dan damai.”
Oleh sebab itu anggota termasuk Indonesia dapat memanfaatkan WTO
sebagai wadah untuk merundingkan atau memperjuangkan disepakatinya
aturan-aturan yang sesuai dengan kebutuhan masing-masing. WTO lahir
untuk menerapkan aturan-aturan yang diharapkan dapat mengendalikan
perilaku anggota yang pada masa GATT lebih leluasa menerapkan
instrumen-instrumen penghambat impor/ekspor. WTO mendapat kekuasaan
dan mandat untuk menjadi pengawas dalam pelaksanaan aturannya secara
ketat. Lebih dari itu, WTO bisa menjatuhkan sanksi yang berat kepada
negara-negara yang dianggap menentang aturan-aturannya.
48
2. Kewajiban Indonesia Dalam Penerapan Prinsip World Trade
Organization
a) Most Favoured Nations (MFN)
Prinsip yang dimuat dalam Article I WTO Agreement ini, menyatakan
bahwa suatu kebijakan perdagangan harus dilaksanakan atas dasar non-
diskriminatif. Perlakuan yang sama tersebut harus dilaksanakan dengan
immedietly and uncondittionally atau dalam arti harus segera dan tanpa
diberlakukan syarat apapaun. Menurut prinsip ini, semua negara
anggota yang terikat harus memberikan negara-negara lainnya
perlakuan yang sama dalam pelaksanaan kebijaksanaan ekspor-impor
serta yang menyangkut biaya-biaya lainnya. Singkatnya, dalam
penerapannya Indonesia tidak boleh memberikan suatu hak istimewa
kepada salah satu negara dalam penyelenggaraan kegiatan ekpor/impor,
misal suatu hak istimewa tersebut diberikan kepada salah satu negara
maka hak istimewa tersebut juga harus dinikmati oleh negara anggota
yang lain. Namun, dengan adanya klausul dari MFN sangat membantu
proses terciptanya kesetaraan dalam memperoleh kesempatan dilapangan
yang sangat kompetitif antara investor dari negara-negara asing.
Definisi klausul MFN adalah:44
“a most-favoured-nation clause is a treaty provision whereby
a State undertakes an obligation towards another State to
accord most-favoure-nation treatment in an agreed sphere of
relations.”
Dengan berdasarkan prinsip MFN, negara-negara anggota tidak dapat
begitu saja mendiskriminasikan mitra-mitra dagangnya. Keinginan tarif
44 Draft Articles on Most-Favoured-Nation Clauses 1978, vol. II (1978), Article III.
49
impor yang diberikan pada produk suatu negara harus diberikan pula
kepada produk impor dari mitra dagang negara anggota lainnya. Prinsip
pembentukan dan dasar WTO adalah untuk mengupayakan keterbukaan
antar batas wilayah, memberikan jaminan atas "Most Favored-Nation
principle" (MFN) dan perlakuan non-diskriminasi oleh dan di antara
negara anggota, serta komitmen terhadap transparansi perdagangan
internasional dan dalam semua kegiatannya.
b) National Treatment (NT)
Prinsip ini menyatakan bahwa tidak boleh diberlakukan pembedaan
antara produk yang berasal dari negara lain untuk kelas barang yang
sama dengan produk yang berasal dari dalam negeri. Prinsip ini dimuat
dalam Article II WTO Agreement. Prinsip ini mensyaratkan bahwa suatu
negara tidak diperkenankan untuk memperlakukan secara diskriminasi
antara produk impor dengan produk dalam negeri (produk yang sama)
dengan tujuan untuk melakukan proteksi. Jenis-jenis tindakan yang
dilarang berdasarkan ketentuan ini antara lain, pungutan dalam negeri,
undang-undang, peraturan dan persyaratan yang mempengaruhi
penjualan, penawaran penjualan, pembelian, transportasi, distribusi atau
penggunaan produk, pengaturan tentang jumlah yang mensyaratkan
campuran, pemrosesan atau penggunaan produk-produk dalam negeri.
Prinsip ini cenderung menjadi permasalahan antar negara,
contohnya Indonesia melarang menjual sebuah produk karena diduga
memiliki pengawet yang membahayakan yang di produksi dalam negeri,
tetapi melarang barang sejenis yang di produksi dari negara Jepang
50
karena mengandung bahan yang berahaya. Dari kasus tersebut bisa
dilihat Indonesia melakukan tindakan diskrimansi. Sebagai negara
berkembang, Indonesia tentunya harus memperhatikan posisinya dalam
perdebatan tentang urgensi penerapan local content. Kebijakan hukum
investasi nasional harus mampu menjaga dan melindungi kepentingan
nasional (national protection) dalam era kompetitif yang terbuka antar
negara berkembang dalam perebutan investasi asing. Namun,
berdasarkan Article 2 Agreement on TRIMs, maka pengaturan local
content requirements tidak diperkenankan karena termasuk dalam
illustrative list TRIMs yang melanggar prinsip national treatment dalam
GATT 1994. Oleh sebab itu, Indonesia harus melakukan notifikasi
mengenai TRIMs yang bertentangan dengan GATT.