BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Teori Tujuan Hukum · 2016. 9. 5. · 1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Teori...

54
1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Teori Tujuan Hukum Dalam fungsinya sebagai perlindungan kepentingan manusia, hukum mempunyai tujuan. Hukum mempunyai sasaran yang hendak dicapai. Tujuan pokok hukum adalah menciptakan tatanan masyarakat yang tertib, menciptakan ketertiban dan keseimbangan. Dengan tercapainya ketertiban di dalam masyarakat diharapkan kepentingan manusia akan terlindungi. Dalam mencapai tujuan ini hukum bertugas membagi wewenang dan mengatur cara memecahkan masalah hukum serta memelihara kepastian hukum. 1 Terdapat berbagai teori yang membahas alasan-alasan yang membenarkan (justification) penjatuhan hukuman (sanksi). Di antaranya adalah teori absolut dan teori relatif sebagai berikut : 2 a. Teori Absolut (Vergeldingstheorie) Menurut teori ini hukuman itu dijatuhkan sebagai pembalasan para pelaku karena telah melakukan kejahatan 1 Sudikno Mertokusumo, 1986, Mengenal Hukum, Yogyakarta: Liberty, hal. 57 2 Leden Marpaung, 2009, Asas, Teori, Praktek Hukum Pidana, Jakarta: Sinar Grafika, hal. 4

Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Teori Tujuan Hukum · 2016. 9. 5. · 1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Teori...

  • 1

    BAB II

    TINJAUAN PUSTAKA

    A. Teori Tujuan Hukum

    Dalam fungsinya sebagai perlindungan kepentingan

    manusia, hukum mempunyai tujuan. Hukum mempunyai

    sasaran yang hendak dicapai. Tujuan pokok hukum adalah

    menciptakan tatanan masyarakat yang tertib, menciptakan

    ketertiban dan keseimbangan. Dengan tercapainya ketertiban di

    dalam masyarakat diharapkan kepentingan manusia akan

    terlindungi. Dalam mencapai tujuan ini hukum bertugas

    membagi wewenang dan mengatur cara memecahkan masalah

    hukum serta memelihara kepastian hukum.1

    Terdapat berbagai teori yang membahas alasan-alasan

    yang membenarkan (justification) penjatuhan hukuman (sanksi).

    Di antaranya adalah teori absolut dan teori relatif sebagai berikut

    : 2

    a. Teori Absolut (Vergeldingstheorie)

    Menurut teori ini hukuman itu dijatuhkan sebagai

    pembalasan para pelaku karena telah melakukan kejahatan

    1 Sudikno Mertokusumo, 1986, Mengenal Hukum, Yogyakarta: Liberty, hal. 57

    2 Leden Marpaung, 2009, Asas, Teori, Praktek Hukum Pidana, Jakarta: Sinar

    Grafika, hal. 4

  • 2

    yang mengakibatkan kesengsaraan terhadap orang lain atau

    anggota masyarakat.

    b. Teori Relatif

    Teori ini dilandasi oleh tujuan (doel) sebagai berikut :

    1) Menjerakan;

    Dengan penjatuhan hukuman, diharapkan pelaku atau

    terpidana menjadi jera dan tidak mengulangi lagi

    perbuatannya (speciale preventie) serta masyarakat

    umum mengetahui bahwa apabila melakukan suatu

    perbuatan sebagaimana dilakukan terpidana, mereka

    akan mengalami hukuman yang serupa (generale

    preventie);

    2) memperbaiki pribadi terpidana;

    Berdasarkan perlakukan dan pendidikan yang

    diberikan selama menjalani hukuman, terpidana

    merasa menyesal sehingga ia tidak akan mengulangi

    perbuatannya dan kembali kepada masyarakat sebagai

    orang yang baik dan berguna;

    3) membinasakan atau membuat terpidana tidak berdaya;

    Membinasakan berarti menjatuhkan hukuman mati,

    sedangkan membuat terpidana tidak berdaya

  • 3

    dilakukan dengan menjatuhkan hukuman seumur

    hidup.

    Dalam literatur dikenal juga tentang teori tujuan hukum

    yakni teori etis, teori utilitis dan teori campuran. Teori etis

    sebagaimana didukung oleh Geny L.J. Van Apeldorn,

    memandang hukum semata-mata bertujuan keadilan. Teori

    utilitas yang didukung oleh Jeremy Bentham memandang bahwa

    tujuan hukum adalah menjamin kebahagiaan yang terbesar bagi

    manusia dalam jumlah hidup yang sebanyak-banyaknya.

    Sedangkan teori campuran sebagaimana didukung oleh Mochtar

    Kusumaatmadja menyatakan bahwa tujuan hukum selain

    ketertiban juga keadilan yang berbeda-beda isi dan ukurannya

    menurut masyarakat dan zamannya3

    Sama halnya dengan teori tentang tujuan hukum, teori

    tentang fungsi hukum juga beragam sebagaimana dipaparkan

    sebagai berikut : 4

    Menurut pandangan AG Peters, paling tidak ada 3 (tiga)

    perspektif fungsi hukum, yakni perspektif social control, social

    engineering dan emansipasif.

    3 Ibid, hal. 57-71

    4 Satjipto Rahardjo, 1980, Hukum dan Masyarakat, Bandung: Angkasa, hal. 117

  • 4

    Dalam kerangka perspektif social control, fungsi utama

    sistem hukum bersifat integratif, maksudnya hukum untuk

    mengatur dan memelihara regulasi sosial. Tanpa hukum,

    masyarakat bisa menjadi homo homini lupus (manusia yang satu

    menjadi serigala bagi manusia lainnya). Tiada masyarakat yang

    bisa hidup lama tanpa kontrol sosial dari hukum sebagai

    sarananya.

    Satjipto Rahardjo menyatakan bahwa hukum sebagai

    sarana kontrol sosial mengandung arti bahwa hukum bertugas

    untuk menjaga masyarakat tetap berada di dalam pola-pola

    tingkah laku yang telah diterima olehnya.

    Konsep hukum sebagai tool of social engineering

    memberikan dasar bagi kemungkinan hukum dipergunakan

    untuk mengadakan perubahan masyarakat. Hukum sebagai

    perspektif social engineering lah yang paling banyak

    dipergunakan oleh para pejabat untuk menggali sumber-sumber

    kekuasaan yang dapat dimobilisasikan dengan menggunakan

    hukum sebagai mekanismenya. Upaya pengendalian sosial

    dengan menggunakan hukum sebagai sarananya itulah yang oleh

  • 5

    Roscou Pound disebut sebagai Social engineering (rekayasa

    sosial)5

    Konsep hukum perspektif emansipatif merupakan tinjauan

    dari bawah terhadap hukum (the bottom up view of the law).

    Hukum dalam perspektif ini meliputi objek studi, misalnya

    bagaimana hukum sebagai sarana penunjang aspirasi

    masyarakat, budaya hukum, kesadaran hukum, penegakkan

    hukum dan lain-lain.6

    Berbagai pakar di bidang ilmu hukum maupun di bidang

    sosial lainnya mengemukakan pandangannya masing-masing

    tentang tujuan hukum, sesuai dengan titik tolak serta sudut

    pandang mereka.. Tujuan hukum Kodrat dari Thomas Aquino

    ialah hukum yang terlepas dari kehendak manusia, terlepas dari

    positivering oleh manusia, berlaku pada semua zaman dan

    disemua tempat. Ajaran Hukum Thomas Aquino, meliputi

    beberapa unsur yaitu Lex aeterna ialah hukum abadi, Lex

    naturalis (hukum kodrat), Lex positive (hukum positif) dan Lex

    Divina (hukum Tuhan). Tujuan hukum menurut Paul Scholten

    adalah mencari keseimbangan antara Persoonlijkheid

    5 Ronny Hanitijo Soemitro, 1985, Studi Hukum dan Masyarakat, Bandung;

    Alumni. Hal. 46 6 Edi Setiadi, 2004, Pemberdayaan Peran dan Kompleksitas Interaksi Advokat

    dalam Proses Penegakan Hukum untuk Mewujudkan Keadilan, Disertasi Program

    Doktor Ilmu Hukum UNDIP, Semarang: hal. 69

  • 6

    (kepribadian) dan gemeenchap (masyarakat), yang kedua

    mencari keseimbangan antara gelijkheid en gezag (kesamaan

    manusia dan kewibawaan) dan yang terakhir memisahkan goed

    en kwaad (baik dan jahat). Tujuan hukum menurut Radbruch

    berorientasi pada kepastian hukun, keadilan dan daya guna.

    Achmad Ali mengemukakan bahwa dalam persoalan

    tujuan hukum, dapat dikaji melalui tiga sudut pandang, masing-

    masing adalah sebagai berikut:

    1. Dari sudut pandang ilmu hukum positif normatif atau

    yuridis dogmatik, di mana tujuan hukum dititikberatkan

    pada segi kepastian hukumnya;

    2. Dari sudut pandang filsafat hukum, di mana tujuan hukum

    dititikberatkan pada segi keadilan;

    3. Dari sudut pandang sosiologi hukum, tujuan hukum

    dititikberatkan pada segi kemanfaatannya7.

    Namun dari keseluruhan pendapat tentang apa yang

    merupakan tujuan hukum itu sendiri, Achmad Ali

    mengklasifikasikannya ke dalam dua kelompok teori masing-

    masing8

    7 Achmad Ali, 2002, Menguak Tabir Hukum, (Suatu Kajian Fiolosofis dan

    Sosiologis), Jakarta: Penebrit PT Toko Gunung Agung, Tbk, hal. 72 8 Ibid, hal. 73-85

  • 7

    1. Ajaran Konvensional

    a. Ajaran Etis, yang menganggap bahwa pada asasnya

    tujuan hukum adalah semata-mata untuk mencapai

    keadilan;

    b. Aliran utilitis yang menganggap bahwa pada asasnya

    tujuan hukum adalah semata-mata untuk menciptakan

    kemanfaatan atau kebahagiaan warga;

    c. Ajaran normatif-dogmatik, yang menganggap bahwa

    pada asasnya tujuan hukum adalah semata-mata untuk

    menciptakan kepastian hukum.

    2. Ajaran Modern

    a. Ajaran Prioritas Baku

    Gustav Radbruch, seorang filosof Jerman mengajarkan

    konsep tiga ide unsur hukum yang oleh sebagian pakar

    diidentikkan juga sebagai tiga tujuan hukum. Dengan

    perkataan lain tujuan hukum adalah keadilan,

    kemanfaatan dan kepastian hukum. Radbruch

    mengajarkan bahwa kita harus menggunakan asas

    prioritas di mana prioritas pertama selalu keadilan,

    barulah kemanfaatan dan terakhir barulah kepastian,

    jadi asas prioritas yang ditawarkan Radbruch

  • 8

    merupakan asas prioritas baku di mana yang prioritas

    nomor satu selalu keadilan, kemudian kemanfaatan dan

    terakhir barulah kepastian.

    b. Ajaran Prioritas yang Kasuistis

    Pada mulanya ajaran prioritas baku dari Gustav

    Radbruch dirasakan jauh lebih maju ketimbang ajaran

    etis, utilitas dan normatif dogmatik, tetapi lama

    kelamaan, karena semakin kompleksnya kehidupan

    manusia di era multi modern, pilihan prioritas yang

    sudah dibakukan seperti ajaran Radbruch kadang-

    kadang justru bertentangan dengan kebutuhan hukum

    dalam kasus-kasus tertentu, sebab ada kalanya untuk

    suatu jenis kasus memang yang tepat adalah keadilan

    yang diprioritaskan ketimbang kemanfaatan dan

    kepastian, tetapi ada kalanya tidak mesti demikian.

    Mungkin untuk kasus-kasus lain justru kebutuhan

    menuntut kemanfaatan lah yang diprioritaskan

    ketimbang keadilan dan kepastian.

  • 9

    A. Teori Pertanggungjawaban Korporasi

    Korporasi, menurut Kamus Hukum Fockema Andreae

    disebut sebagai Corporatie, dengan istilah ini kadang-kadang

    dimaksudkan suatu badan hukum, sekumpulan manusia yang

    menurut hukum terikat mempunyai tujuan yang sama, atau

    berdasarkan sejarah menjadi bersatu, yang memperlihatkan

    sebagai subjek hukum tersendiri dan oleh hukum dianggap

    sebagai suatu kesatuan.9

    Sedangkan menurut The Council Dictionary of Law,

    Corporation (body corporate) adalah An entity that has legal

    personality, i.e. it is capable of enjoying and being subject to

    legal right and duties10

    .

    Kata korporasi itu sendiri sebenarnya merupakan sebutan

    yang digunakan para pakar hukum pidana untuk menyebut apa

    yang lazim dalam hukum perdata sebagai badan hukum

    (rechtpersoon, legal entities). Sama halnya dengan yayasan,

    korporasi adalah badan hukum karena keduanya memiliki unsur-

    unsur sebagai berikut :

    a. Mempunyai harta sendiri yang terpisah;

    9 N.E. Algra, H.W. Gokkel, Saleh Adiwinata, A. Teloeki, Boehanoeddin St.

    Batoeah, 1983, Kamus Istilah Hukum Fockema Andreae Belanda-Indonesia,

    Bandung: Binacipta, hal. 83 10

    Elizabeth a. Martin (ed.), Martin R. Baham dkk, 1988, The Concise Dictionary of

    Law, Grew Britain, Oxford Univerity Press, hal. 89

  • 10

    b. Ada suatu organisasi yang ditetapkan oleh suatu tujuan

    dimana kekayaan terpisah itu diperuntukkan;

    c. Ada pengurus yang menguasai dan mengurusnya11.

    Teori mengenai pertanggungjawaban korporasi terdiri dari

    beberapa teori sebagai berikut : 12

    1. Teori Identifikasi

    Barda Nawawi Arief mengatakan bahwa korporasi bisa

    melakukan sejumlah delik secara langsung melalui orang-

    orang yang berhubungan erat dengan korporasi dan

    dipandang sebagai perusahaan itu sendiri. Dalam keadaan

    demikian mereka tidak sebagai pengganti dan oleh karena

    itu, pertanggungjawaban korporasi tidak bersifat

    pertanggungjawaban pribadi;

    2. Strict LiabilityTeory

    Strict liability diartikan sebagai suatu pertanggungjawaban

    pidana dengan tidak mensyaratkan adanya kesalahan pada

    diri pelaku terhadap satu atau lebih dari actus reus, Strict

    Liablity ini merupakan pertanggungjawaban tanpa

    11

    Rudy Prasetyo, Perkembangan Korporasi dalam Proses Modernisasi dan

    Penyimpangan-penyimpangannya, makalah pada Seminar Nasional Kejahatan

    Korporasi, diselenggarakan Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Semarang,

    23-24 November 1989, hal. 2 12

    Barda Nawawi Arief, 2002, Sari Kuliah Perbandingan Hukum Pidana, PT Raja

    Grafindo Persada, Jakarta: hal. 154

  • 11

    kesalahan. Di sini pelaku tindak pidana sudah dapat

    dipidana manakala ia telah melakukan perbuatan yang telah

    dirumuskan dalam undang-undang tanpa melihat sikap batin

    si pelaku.

    Strict Liability adalah pertanggungjawaban tanpa

    kesalahan, ini berarti bahwa pembuat sudah dapat dipidana

    jika ia telah melakukan perbuatan sebagaimana yang

    dirumuskan dalam undang-undang tanpa melihat bagaimana

    sikap batinnya. Menurut L.B. Curzon, doktrin strict liability

    didasarkan pada alasan-alasan sebagai berikut:

    a. adalah sangat esensial untuk menjamin dipatuhinya

    peraturan penting tertentu;

    b. pembuktian adanya unsur mens rea akan menjadi

    lebih sulit dalam pelanggaran yang berhubungan

    dengan kesejahteraan masyarakat;

    c. tingginya tingkat bahaya sosial yang ditimbulkan oleh

    perbuatan yang bersangkutan.

    3. Vicarious Liability Teory

    Dalam teori ini dikatakan bahwa pertanggungjawaban

    menurut hukum seseorang atas perbuatan salah yang

    dilaukan orang lain, kedua orang tersebut harus mempunyai

  • 12

    hubungan yaitu hubungan atasan dan bawahan atau

    hubungan majikan dan buruh atau hubungan pekerjaan.

    Perbuatan yang dilakukan oleh pekerja harus masih dalam

    ruang lingkup pekerjaannya. Secara singkat

    pertanggungjawaban ini disebut pertanggungjawaban

    pengganti.

    Undang-Undang dapat menentukan Vicarious

    Liability, jika terjadi hal-hal sebagai berikut:

    a. Seseorang dapat dipertanggungjawabkan atas

    perbuatan-perbuatan yang dilakukan orang lain,

    apabila seseorang itu telah mendelegasikan

    kewenangannya menurut undang-undang kepada

    orang lain. Dalam hal ini diperlukan suatu

    syarat/prinsip tanggung jawab yang bersifat

    dilimpahkan (the delegation principle).

    b. Seorang majikan dipertanggungjawabkan atas

    perbuatan yang secara fisik atau jasmaniah dilakukan

    oleh buruhnya atau pekerjanya, jika menurut hukum

    perbuatan buruhnya itu dipandang sebagai perbuatan

    majikan.

  • 13

    Penerapan doktrin ini hanya dapat dilakukan setelah

    dapat dibuktikan bahwa memang terdapat hubungan

    subordinasi antara pemberi kerja (employer) dan orang yang

    melakukan tindak pidana tersebut.

    “Vicarious Liability” yang merupakan suatu

    pertanggung jawaban pidana dibebankan kepada seseorang

    atas perbuatan orang lain, misalnya dalam hubungan kerja

    antara pekerja atau buruh dengan majikan. Dengan

    demikian dalam pengertian “Vicarious Liability” ini,

    walaupun seseorang tidak melakukan sendiri suatu tindak

    pidana dan tidak mempunyai kesalahan dalam arti yang

    biasa, ia masih tetap dapat dipertanggungjawabkan.

    Menurut The Concise Dictionary of Law Corporation

    (body corporate) is an entity that has legal personality, I. eit is

    capable of enjoying and being subject to legal rights and

    duties.13

    Beberapa pengertian atau rumusan mengenai korporasi

    sebenarnya menggambarkan kenyataan sosiologis berbagai

    aktifitas ekonomi pada ratusan tahun yang lampau. Dapat

    disebut antara lain Generale Verenigde Geoctroyeerde Oost

    13

    Elizabeth A Martin (ed), Martin R. Baham dkk, 1988, The Concise Dictionary of

    Law Great Britain, Oxford University Press, hal, 89

  • 14

    Indische Compagine (Persatuan Umum Persekutuan Dagang

    Hindia Belanda) yang lazim disebut sebagai Verenigde Oos

    Indische Compagnie (VOC) sebagai korporasi yang sepak

    terjangnya luar biasa dalam sejarah kolonial Indonesia.

    Dalam kehidupan bisnis orang Cina di zaman Belanda,

    dikenal dengan pengertian Kongsi. Kongsi adalah pengelola (si)

    atas milik bersama atau usaha umum (kong). Dalam hukum

    dagang Hindia Belanda, kongsi dagang termasuk firma dan juga

    persekutuan komanditer.14

    Pengertian korporasi dalam hukum pidana positif di

    Indonesia lebih luas dari pengertian badan hukum sebagaimana

    dalam konsep yang dijelaskan di atas. Beberapa peraturan

    perundang-undangan di luar Kitab Undang-undang Hukum

    Pidana (KUHP) merumuskan pengertian korporasi yang

    beraneka ragam, misalnya pada Pasal 1 butir 19 Undang-

    Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika yang

    memberikan pengertian korporasi sebagai kumpulan yang

    terorganisir, orang dan atau kekayaan, baik merupakan badan

    hukum maupun bukan.

    14

    JI. Vleming Jr., 1988, Kongsi dan Spekulasi; Jaringan Kerja Bisnis Cina (Het

    Chineesche Zakenleven in Nederlandsch Indie) Disadur oleh Bob Widya Hartono)

    Grafiti, Jakarta, hal. 59

  • 15

    B. Korban

    Korban atau victim adalah orang yang telah mendapat

    penderitaan fisik atau penderitaan mental, kerugian harta benda

    atau mengakibatkan mati atas perbuatan atau usaha pelanggaran

    yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana dan lainnya. Di sini

    jelas yang dimaksud dengan orang yang mendapat penderitaan

    fisik dan seterusnya adalah korban dari pelanggaran atau tindak

    pidana.15

    Selaras dengan pendapat di atas, Arif Gosita menyatakan

    bahwa yang dimaksud dengan korban adalah mereka yang

    menderita jasmaniah dan rohaniah sebagai akibat tindakan orang

    lain yang mencari pemenuhan diri sendiri atau orang lain yang

    bertentangan dengan kepentingan dan hak asasi yang menderita.

    Ini menggunakan istilah penderitaan jasmani dan rohani (fisik

    dan mental) dari korban dan juga bertentangan dengan hak asasi

    manusia dari korban.16

    Selanjutnya secara yuridis pengertian korban termaktub

    di dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang

    Perlindungan Saksi dan Korban yang dinyatakan bahwa korban

    adalah seseorang yang mengalami penderitaan fisik, mental dan

    15

    Abdusalam, 2005, hal 5 16

    Arif Gosita, 1989, hal., 75

  • 16

    atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak

    pidana. Melihat rumusan tersebut, yang disebut korban adalah :

    1. Setiap orang;

    2. mengalami penderitaan fisik, mental dan atau;

    3. kerugian ekonomi;

    4. akibat tindak pidana.17

    Kongres PBB VII/1985 di Milan, Italia membahas

    mengenai The prevention Crime and the Treatment of Offenders

    mengemukakan bahwa hak-hak korban seyogyanya dilihat

    sebagai bagian integral dari keseluruhan sistem peradilan pidana

    (victims rights should be perceived as an integral aspects of the

    total criminal justice system)18

    Demikian besarnya perhatian dunia internasional

    terhadap masalah ini sehingga pada kongres ke-7 PBB

    mengajukan rancangan resolusi tentang perlindungan korban ke

    Majelis Umum PBB. Rancangan Resolusi ini kemudian menjadi

    Resulosi Majelis Umum PBB Nomor 40/34 tertanggal 29

    November 1985 tentang Declaration of Basic Principles of

    Justice for Victims of Crime and Abuse of Power”

    17

    Bambang Waluyo, 2011, Viktimologi; Perlindungan Korban dan Saksi, Jakarta:

    Sinar Grafika, hal. 10 18

    Barda Nawawi Arief, 1998, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan Hukum dan

    Pengembangan Hukum Pidana, Bandung: Citra Aditya Bhakti, hal. 53

  • 17

    Pengertian perlindungan korban menurut Barda Nawawi

    Arief, dapat dilihat dari 2 (dua) makna. Pertama, dapat diartikan

    sebagai perlindungan hukum untuk tidak menjadi korban tindak

    pidana” (berarti perlindungan Hak Asasi Manusia atau

    kepentingan hukum seseorang). Kedua, dapat diartikan sebagai

    „perlindungan untuk memperoleh jaminan/santunan hukum atas

    penderitaan/kerugian orang yang telah menjadi korban tindak

    pidana”, jadi identik dengan penyantunan korban. Bentuk

    santunan ini dapat berupa pemulihan nama baik atau rehabilitasi,

    pemulihan keseimbangan batin (antara lain dengan pemaafan),

    pemberian ganti rugi (restitusi, kompensasi, jaminan/santunan

    kesejahteraan sosial), dan sebagainya19

    .

    Restitusi dan kompensasi adalah salah satu bagian dalam

    upaya mengurangi kerugian dan atau penderitaan korban. Oleh

    Karmen dikatakan Restitution and Compensation are alternative

    methods of repaying losses”. Restitusi dan kompensasi

    merupakan suatu istilah yang sering dipakai secara bergantian

    yang sebenarnya menggambarkan dua titik pandang yang

    berbeda. Restitusi dalam perspektif viktimologi berkaitan

    dengan perbaikan atau restorasi perbaikan atas kerugian fisik,

    19

    Barda Nawawi Arief, 2001, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan

    Penanggulangan Kejahatan, Bandung: Citra Aditya Bhakti, hal. 56

  • 18

    moral maupun harta benda, kedudukan dan hak-hak korban atas

    serangan pelaku tindak pidana/kejahatan. Kompensasi dalam

    perspektif viktimologi berkaitan dengan keseimbangan korban

    akibat dari perbuatan jahat. Karena perbuatan jahat tersebut

    merugikan korban, oleh karena itu, dapat disebut kompensasi

    atas kerugian fisik, moral maupun hara benda yang diderita

    korban atas suatu tindak pidana. Kompensasi juga merupakan

    suatu indikasi pertanggungjawaban masyarakat atas tuntutan

    pembayaran kompensasi yang berkarakter berbeda. Dengan

    demikian tergambar suatu tujuan non pidana dalam kasus

    pidana.20

    Rincian tentang pengertian korban dalam Kamus Umum

    Bahasa Indonesia, korban diartikan sebagai : (1) pemberian

    untuk menyatakan kebaktian (kerelaan hati dan sebagainya.), (2)

    orang yang menderita kecelakaan karena perbuatan (hawa nafsu

    dan sebagainya.), (3) orang yang sudah mati, (4) orang yang mati

    karena menderita kecelakaan, karena tertimpa bencana alam

    seperti banjir, gempa bumi dan sebagainya.21

    20

    Angkasa, 2000, Kedudukan Korban Dalam Sistem Peradilan Pidana

    (Pendekatan Viktimologis terhadap Korban Tindak Pidana Perkosaan), Disertasi

    Universitas Diponegoro, Semarang: hal. 119 21

    WJS Poerwadarminta, 1983. Kamus Umum Bahasa Indonesia, diolah kembali

    oleh Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa dengan Departemen Pendidikan

  • 19

    Berdasarkan atas beberapa pengertian tentang korban

    sebagaimana di atas maka pada hakikatnya konsepsi tentang

    korban dapat diklasifikasikan berdasarkan hubungannya menjadi

    dua yakni korban yang berhubungan dengan hal-hal yang bersifat

    supranatural misalnya korban untuk persembahan para dewa atau

    dalam rangka ritual keagamaan dan yang tidak termasuk dalam

    pengertian pertama antara lain korban akibat tindak pidana,

    bencana alam, pelanggaran hak asasi manusia dan sebagainya.

    Konsepsi korban yang terakhir ini oleh Mendelson disebut

    sebagai korban dalam konsepsi keilmuan (scientific) atau

    victimological.22

    Selain dari kamus, para viktimolog juga memberikan

    pengertian tentang korban. Tampaknya terdapat aspek lain yang

    dinyatakan oleh para viktimolog, tidak hanya sebatas pengertian

    umum juga karakteristik yang melekat pada pengertian korban.

    Karakteristik yang dimaksud terdiri dari dua hal yakni adanya

    penderitaan (suffering) dan ketidakadilan (injustice). Hal ini

    tampak sebagaimana pendapat dari Stanciu yang menyatakan

    “..The victim in the broad sense, is he who suffer unjustice (from

    dan Kebudayaan Republik Indonesia Cetakan ke-6, Penerbit PN Balai Pustaka,

    Jakarta, hal. 523 22

    V.V. Stanciu, 1976. Victim-Producing Civilizations and Situations, dalam Victim

    and Society Part I (Consceptual Issues) Emilio C. Viano (ed) Visage

    Inc/Washington DD, hal. 29

  • 20

    the Land Victima, which signifies the creature offered in sacrifice

    to the gods),. Thus, the two characteristic traits of the victim are

    : suffering and unjustice, suffering must be unjust and not

    necessary illegal”.23

    Dari uraian di atas yang dimaksud dengan korban

    haruslah mengandung karakter adanya penderitaan dan

    ketidakadilan.

    Pengertian tentang korban khususnya korban kejahatan

    juga dirumuskan dalam instrumen internasional meliputi

    berbagai aspek sebagaimana tertuang dalam The Protection of

    Human Rights in the Administration of criminal Justice a

    Compendium of Unites National Norms and Standart.24

    Dalam Declaration of Basic Principles of Justice for

    Victims of Crime and abuse of Power dinyatakan sebagai berikut:

    1. Victims means persons who individually or collectively, have

    suffered harm, including physical or mental injury, emotional

    suffering, economi loss or substantial of their fundamental

    rights, through acts or omissions that are in violation of

    23

    Ibid 24

    M. Cherif Bassiouni, 1994. The Protection of Human Rights in the

    Administration of criminal Justice A Compendium of United Nations Norms and

    Standarts. Transnational Publishers, Inc. Irving on Hudson, New York,

  • 21

    criminal law operative within member states, including those

    law proscribing abuse of power

    2. A person may be considered a victim under this Declaration,

    regardless of whether the perpetrator is identified,

    apprehended, prosecuted or convicted and regardless of the

    familial relationship between the perpetrator and the victim.

    The terms victim also includes where appropriate, the

    immediate family or dependents of the victim and person who

    have suffered harm in interventing to assist victims in distress

    or to prevent victimization

    3. The provisions contained herein shall be applicable to all,

    without distinction of any kind such as race, colour, sex age,

    language, religion, nationallity, political or other opinion,

    cultural beliefs or practice, property, birth or family status,

    ethnic or social origin and disability25

    Berdasarkan atas definisi di atas maka dapat terlihat

    bahwa yang dimaksud dengan korban adalah seseorang baik

    sendiri ataupun bersama-sama menderita kerugian, termasuk luka

    fisik, maupun mental, penderitaan emosional, kerugian ekonomi

    ataupun kerusakan hak-hak dasarnya yang disebabkan karena

    25

    Ibid, hal. 276-277

  • 22

    perbuatan yang melanggar hukum pidana pada suatu negara baik

    disengaja maupun karena kelalaian.26

    Deklarasi tersebut tampaknya juga memasukkan orang

    sebagai korban tidak peduli apakah pelakunya diketahui, ditahan,

    dituntut hukum ataupun tidak dan tidak peduli apakah terdapat

    hubungan keluarga antara pelaku dengan korbannya ataupun

    tidak. Pengertian korban juga mencakup bilamana mungkin

    adalah keluarga dekat dari para pelaku serta orang-orang yang

    mengalami penderitaan dan atau kerugian yang disebabkan

    karena ikut serta dalam menolong seseorang korban yang

    kesulitan atau ketika mencegah terjadinya korban.

    Kongres PBB VII/1985 di Milan, Italia membahas

    mengenai The prevention Crime and the Treatment of Offenfers

    mengemukakan bahwa hak-hak korban seyogyanya dilihat

    sebagai bagian integral dari keseluruhan sistem peradilan pidana

    (victims rights should be perceived as an integral aspects of the

    total criminal justice system)27

    Proses pelaksanaan peradilan pidana menghendaki

    adanya proses hukum yang adil dan layak sebagai lawan dari

    26

    Angkasa, 2004, Op Cit, hal. 31 27

    Barda Nawawi Arief, 1998, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan Hukum dan

    Pengembangan Hukum Pidana, Bandung: Citra Aditya Bhakti, hal. 53

  • 23

    proses yang sewenang-wenang atau berdasarkan semata-mata

    kuasa penegak hukum. Pengalaman penegakkan hukum melalui

    peradilan menunjukkan bahwa proses hukum yang adil dan layak

    ini lebih ditekankan pada penghormatan hak-hak tersangka atau

    terdakwa dalam suatu rangkaian proses peradilan pidana sejak

    dimulainya tindakan-tindakan kepolisian berupa penyelidikan

    dan penyidikan sampai proses penuntutan, peradilan dan

    eksekusi pelaksanaan putusan pengadilan28

    .

    Menurut Reksodipuro, terdapat kekeliruan pemahaman

    proses hukum yang adil atau layak berupa pemahaman bahwa

    proses itu sering hanya dikaitkan pada penerapan aturan-aturan

    hukum acara pidana suatu negara pada tersangka atau terdakwa,

    padahal arti proses hukum yang adil atau layak lebih luas dari

    sekedar penerapan hukum atau peraturan perundang-undangan

    secara formal. Ada kesan bahwa proses hukum yang adil atau

    layak itu hanyalah berlaku bagi tersangka atau terdakwa.

    Sepanjang ketentuan-ketentuan hukum acara menyangkut

    tersangka atau terdakwa sudah diikuti atau dilaksanakan pada

    tahap-tahap penyidikan, penuntutan, peradilan dan eksekusi

    putusan peradilan, proses hukum yang adil atau layak dianggap

    28

    Yusuf Shofie, Op Cit, hal. 59

  • 24

    sudah dipenuhi. Di situ tidak dihiraukan sebab-sebab atau akibat-

    akibat tindak pidana (kejahatan) pada korban. Ada kesan proses

    itu sudah berhenti, ketika putusan pengadilan sudah dieksekusi.

    Sementara itu biaya-biaya sosial (social cost) akibat tindak

    pidana atau kejahatan itu misalnya penderitaan dan kerugian

    korban serta berbagai stigma terhadap korban, belum atau tidak

    diakomodasi. Selesainya proses peradilan pidana dianggap sudah

    memulihkan biaya-biaya sosial akibat tindak pidana itu29

    .

    Di mata hukum, peran korban yang diwakili oleh

    jaksa/penuntut umum hanyalah terbatas menjadi saksi korban,

    sebutan yang lazim digunakan dalam praktik penegakan hukum,

    baik pada proses penyidikan, penuntutan, dan peradilan. Sebutan

    dan batasan saksi korban ini tidak dikenal di dalam Hukum

    Acara Pidana. Pasal 108 KUHAP menyatakan bahwa setiap

    orang yang mengalami, melihat, menyaksikan dan atau menjadi

    korban peristiwa yang merupakan tindak pidana berhak untuk

    mengajukan laporan atau pengadilan kepada penyelidik dan

    penyidik baik lisan maupun tertulis.

    Sedangkan Pasal 160 ayat (1) butir b KUHAP

    menentukan bahwa yang pertama-tama didengar keterangannya

    29

    Mardjono Reksodipuro, Op Cit, hal. 39

  • 25

    adalah korban yang menjadi saksi. Keterangan saksi korban, baik

    di tingkat penyidikan, penuntutan dan peradilan mungkin

    merupakan bukti yang paling membahayakan bagi tersangka atau

    terdakwa. Seorang saksi korban yang memberikan keterangan

    dalam setiap tingkat proses peradilan pidana berarti sudah

    memperhitungkan untung-ruginya memberikan keterangan.

    Menurut Mulyana W. Kusumah, saksi korban semestinya

    diberikan hak untuk menolak memberikan kesaksian dengan

    dasar pembenaran sebagai berikut :

    1. Atas keterangan-keterangan/kesaksian yang diberikan, saksi

    korban mengambil risiko penderitaan fisik atau psikis yang

    mungkin dialaminya karena tindakan-tindakan pembalasan

    yang dilakukan pendukung-pendukung sub kebudayaan

    tertentu misalnya gang-gang;

    2. Pengungkapan di muka umum mengenai hal-hal yang

    berhubungan dengan tersangka atau terdakwa barangkali

    membawa akibat-akibat yang lebih jauh menimbulkan

    hambatan-hambatan masif bagi perkembangan psikologis

    saksi.30

    30

    Mulyana W. Kusumah, 1981, Aneka Permasalahan dalam ruang Lingkup

    Krominologi, Bandung: alumni, hal. 112

  • 26

    Sedangkan Reksodipuro mengemukakan lima macam

    korban sebagai berikut 31

    :

    1. Yang sama sekali tidak bersalah;

    2. Yang menjadi korban karena kelalaiannya;

    3. Yang sama salahnya dengan pelaku;

    4. Yang lebih bersalah daripada pelaku;

    5. Yang satu-satunya bersalah (dalam hal pelaku dibebaskan).

    Konsumen sebagai korban tindak pidana korporasi dapat

    menjadi salah satu dari kelima macam korban di atas, meskipun

    demikian ukuran konsumen menjadi korban di sini lebih pada

    perspektif hukum pidana.

    Kerugian yang dialami konsumen pada tindak pidana

    korporasi tak hanya dalam bentuk fisik, seperti biaya-biaya yang

    dikeluarkan untuk penyembuhan luka-luka fisik, hilangnya

    pendapatan/keuntungan yang akan diperoleh, melainkan juga non

    fisik, yang sulit dinilai dengan uang. Sementara itu

    perkembangan tindak pidana korporasi menunjukkan sistem

    peradilan pidana mengalami kesulitan menentukan secara pasti

    korbannya berikut kerugian-kerugian yang ditimbulkannya, yang

    sering disebut sebagai korban yang sifatnya abstrak (abstract

    31

    Mardjono reksodipuro, Op Cit, hal. 70

  • 27

    victims), sehingga terbuka peluang diskresi kepolisian bahkan

    peluang hukum untuk melakukan penghentian penyidikan.

    Hazel Croall mengemukakan betapa seriusnya kerugian-

    kerugian yang dialami korban tindak pidana korporasi ini, bahwa

    The phrase white collar is often associated with scandals in the

    financial and business world and the sophiscated frauds of

    senior executives. It also incorporated what is popularly known

    as corporate crime, which includes the many activities of

    powerful corporations which expoit relatively powerless

    consumers, workes and citizens.. criminologist have often argued

    that these kinds of crimes are made wide-spread, more serious,

    and more damaging to society than many other common crimes

    like robbery, burglary of theft32

    .

    C. Korporasi

    Kata korporasi sendiri sebenarnya merupakan sebutan yang

    digunakan para pakar hukum pidana untuk menyebut apa yang

    lazimnya didalam hukum perdata disebut sebagai badan hukum

    (rechtspersoon, legal entities) atau corporation. Namun demikian,

    korporasi sendiri tidak identik dengan badan hukum. Sama halnya

    32

    Hazel Croall, 1992, White Collar Crime: Criminal Justice and criminology,

    Buckingham, Philadelphia, Open University Press, hal. 3

  • 28

    dengan yayasan, korporasi adalah badan hukum karena keduanya

    memiliki unsur-unsur sebagai berikut : 33

    a. Mempunyai harta sendiri yang terpisah;

    b. Adanya suatu organisasi yang ditetapkan oleh suatu

    tujuan di mana kekayaan terpisah tersebut diperuntukan;

    c. Adanya pengurus yang menguasai serta mengurusi harta

    kekayaan tersebut.

    Penggunaan istilah badan hukum sebagai subjek

    hukum semata-mata untuk membedakan dengan manusia

    (natulijk persoon) sebagai subjek hukum. Dalam pada itu

    Undang-undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999

    tentang Perlindungan Konsumen sendiri mengatur sebutan

    korporasi dalam Penjelasan Pasal 1 butir 3 Undang-undang

    Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, tetapi

    tidak memberikan batasannya. Rumusan pasal tersebut

    adalah bahwa Pelaku usaha adalah setiap orang perseorangan

    atau badan usaha baik yang berbentuk badan hukum maupun

    bukan badan hukum yang melakukan kegiatan,

    menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang

    ekonomi”

    33

    Yusuf Shofie, Op cit, hal. 14

  • 29

    Korporasi, menurut Kamus Hukum Fockema Andreae

    disebut sebagai Corporatie, dengan istilah ini kadang-kadang

    dimaksudkan suatu badan hukum, sekumpulan manusia yang

    menurut hukum terikat mempunyai tujuan yang sama, atau

    berdasarkan sejarah menjadi bersatu, yang memperlihatkan

    sebagai subjek hukum tersendiri dan oleh hukum dianggap

    sebagai suatu kesatuan.34

    Sedangkan menurut The Council Dictionary of Law,

    Corporation (body corporate) adalah An entity that has legal

    personality, i.e. it is capable of enjoying and being subject to

    legal right and duties35

    .

    Kata korporasi itu sendiri sebenarnya merupakan sebutan

    yang digunakan para pakar hukum pidana untuk menyebut apa

    yang lazim dalam hukum perdata sebagai badan hukum

    (rechtpersoon, legal entities). Sama halnya dengan yayasan,

    korporasi adalah badan hukum karena keduanya memiliki unsur-

    unsur sebagai berikut :

    1. Mempunyai harta sendiri yang terpisah;

    34

    N.E. Algra, H.W. Gokkel, Saleh Adiwinata, A. Teloeki, Boehanoeddin St.

    Batoeah, 1983, Kamus Istilah Hukum Fockema Andreae Belanda-Indonesia,

    Bandung: Binacipta, hal. 83 35

    Elizabeth a. Martin (ed.), Martin R. Baham dkk, 1988, The Concise Dictionary of

    Law, Grew Britain, Oxford Univerity Press, hal. 89

  • 30

    2. Ada suatu organisasi yang ditetapkan oleh suatu tujuan di

    mana kekayaan terpisah itu diperuntukkan;

    3. Ada pengurus yang menguasai dan mengurusnya36.

    D. Kejahatan Korporasi

    Sebuah korporasi menurut hukum perdata adalah suatu

    legal person. Dengan demikian korporasi yang dalam hukum

    perdata merupakan badan hukum memiliki sifat sebagai legal

    personality, artinya suatu korporasi sebagai badan hukum dapat

    melakukan perbuatan hukum, memiliki harta kekayaan sendiri,

    memiliki hak dan kewajiban yaitu serupa halnya dengan seorang

    manusia sehingga oleh karena itu, pula korporasi dapat

    menggugat dan dapat digugat di pengadilan perdata atas

    namanya sendiri.

    Namun beberapa sarjana mengemukakan beberapa

    alasan mengenai perlunya pembebanan pertanggungjawaban

    pidana kepada korporasi. Pertanggungjawaban atas kejahatan

    36

    Rudy Prasetyo, Perkembangan Korporasi dalam Proses Modernisasi dan

    Penyimpangan-penyimpangannya, makalah pada Seminar Nasional Kejahatan

    Korporasi, diselenggarakan Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Semarang,

    23-24 November 1989, hal. 2

  • 31

    pidana kepada korporasi selain tanggung jawab dengan alasan-

    alasan sebagai berikut : 37

    1. Tanpa pertanggungjawaban pidana korporasi perusahaan-

    perusahaan bukan mustahil dapat menghindarkan diri dari

    peraturan pidana dan hanya para pegawainya yang dituntut

    karena telah melakukan tindakan pidana kejahatan yang

    sebenarnya merupakan kesalahan dari kegiatan usaha yang

    dilakukan oleh perusahaan;

    2. Dalam beberapa kasus, demi tujuan prosedural, lebih mudah

    untuk menuntut suatu perusahaan daripada para pegawainya;

    3. Dalam hal suatu tindak pidana yang serius, sebuah

    perusahaan atau korporasi lebih memiliki kemampuan untuk

    membayar pidana denda yang dijatuhkan daripada pegawai

    perusahaan tersebut;

    4. Ancaman tuntutan pidana terhadap perusahaan dapat

    mendorong para pemegang saham untuk melakukan

    pengawasan terhadap kegiatan-kehidupan di mana mereka

    telah menanamkan investasinya;

    5. Apabila sebuah perusahaan telah mengeruk keuntungan dari

    kegiatan usaha yang ilegal, maka seharusnya perusahaan itu

    37

    Sutan Remy Sjahdeni, 2007, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Jakarta:

    GrafitiPers, hal. 55-56

  • 32

    pula yang memikul sanksi atas tindak pidana yang telah

    dilakukan;

    6. Pertanggungjawaban korporasi dapat mencegah perusahaan-

    perusahaan untuk menekan para pegawainya baik secara

    langsung maupun tidak langsung agar para pegawainya

    mengusahakan perolehan laba tidak dari melakukan kegiatan

    usaha yang illegal;

    7. Publisitas yang merugikan dan pengenaan pidana denda

    terhadap perusahaan itu dapat berfungsi sebagai pencegah

    bagi perusahaan untuk melakukan kegiatan yang ilegal di

    mana hal ini tidak terjadi bila yang dituntut adalah para

    pegawainya.

    Pengertian kejahatan korporasi sering dikacaukan

    dengan berbagai macam istilah kejahatan seperti occupational

    crime (kejahatan jabatan), professional crime (kejahatan

    profesional), organized crime (kejahatan terorganisasi), crime

    against corporation (kejahatan terhadap korporasi) dan criminal

    corporation (korporasi sebagai sarana untuk melakukan

    kehatan). 38

    38

    Muladi, 1989, Fungsionalitas Hukum Pidana di dalam Kejahatan yang

    dilakukan oleh Korporasi, Makalah Seminar Nasional Kejahatan Korporasi.

    Semarang: Fakutas Hukum Universitas Diponegoro, hal. 1

  • 33

    Mendasarkan hal tersebut maka tepat jika dikatakan

    bahwa suatu perumusan tindak pidana korporasi (corporate

    crime) sampai saat ini masih suatu dilema, sama dilemanya

    dengan konsep white collar crime yang diperkenalkan pertama

    kali oleh Edwin H, Sutherland. Setelah pidato bersejarah

    Sutherland pada tahun 1939 . Menurut Sahetapy, muncul

    setumpuk istilah dengan makna dalam konteks yang berbeda

    dan dalam ruang lingkup yang tidak sama pula.39

    Terdapat tiga hal yang menjadi tujuan utama

    pengungkapan white collar crime dalam pidato Sutherland.

    Pertama, ia ingin menegaskan bahwa white collar criminality

    adalah kejahatan nyata. Kedua, ia mengingatkan bahwa yang

    melanggar hukum, melakukan kejahatan bukan saja mereka

    golongan kecil yang tidak mampu melainkan juga mereka dari

    kalangan atas yang terhormat dan berkedudukan sosial tinggi.

    Ketiga, ia ingin memberikan dasar yang lebih kokoh bertalian

    dengan teori yang telah dikembangkan yaitu teori asosiasi

    deferensial (Differential association)40

    Pemikiran Sutherland ini dikritik oleh Paul Tappan

    dalam sebuah tulisan yang berjudul Who is the criminal? Yang

    39

    JE Sahetaoy, 1994. Kejahatan Korporasi, Eresco Bandung: hal. 25 40

    Ibid

  • 34

    dimuat dalam American Sociological Review Vol. 12 Tahun

    1947, di mana ia mengatakan bahwa perbuatan-perbuatan yang

    tidak melanggar hukum bukanlah kejahatan dan orang-orang

    yang tidak dituduh melakukan kejahatan bukanlah penjahat.

    Tappan menggunakan kata-kata against the law, dan bukan

    against the criminal law. Bila semula Sutherland memberikan

    batasan bahwa white collar crime sebagai criminal acts

    committed by persons of the middle and upper socio economics

    group in connection with their occupations |(Sutherland, 1949),

    suatu pemikiran yang membatasi white collar crime pada tindak

    pidana, ternyata kemudian para ahli kriminologi termasuk

    Tappan memperluas batasan white collar crime keluar dari

    batasan hukum pidana.41

    Menanggapi Tappan, Sutherland mengakui bahwa

    meskipun pelanggaran-pelanggaran hukum administrasi

    (administrative law violations) bukanlah tuduhan kriminal itu

    sendiri, namun perintah/putusan lembaga administratif akibat

    adanya pelanggaran-pelanggaran hukum termasuk di dalamnya

    hukum pidana yang diterapkan pemerintah, dapat dibenarkan,

    41

    Loc Cit

  • 35

    jadi, pelanggaran yang dilakukan itu sama (equivalent) dengan

    kejahatan (crimes).42

    Dalam memahami perbedaan pendapat antara Sutherland

    dan Tappan ini, Sahetapy menggarisbawahi bahwa persoalan di

    sini sesungguhnya bukan permasalahan apakah pendirian

    Sutherland itu sosiologis dan Tappan itu yuridis, melainkan

    Sutherland mempersoalkan perbuatan (yang tidak bermoral dan

    tidak etis) dan Tappan menekankan pada aspek prosedur

    hukumnya, yaitu diadili dan dinyatakan bersalah atau tidak.43

    Menurut Sahetapy, pendapat Tappan tersebut tak

    disetujui oleh Ernest W. Burgess karena terlalu legalistik dan

    kurang sosiologis. Karena dengan pendapat Burgess ini

    perdebatan konsep white collar crime menjadi perdebatan

    segitiga. Pendirian Burgess ini meniadakan apa yang disebut

    white collar criminals, sebab mereka yang disebut kriminal ini

    adalah orang-orang yang terpandang di masyarakat, dihormati

    dan berkuasa.44

    Hazel Croal memulai uraiannya tentang white collar

    crime yang sering diasosiasikan dengan berbagai skandal dunia

    42

    JE Sahetapy, 1994, Op cit, hal. 21-22 43

    Loc cit 44

    Loc Cit

  • 36

    keuangan dan bisnis (financial and business world) dan

    penipuan canggih oleh para eksekutif senior (the sophicasted

    frauds of senior executive). Di dalamnya termasuk apa yang

    secara populer dikenal sebagai tindak pidana korporasi

    (corporate crime)45

    Reksodipuro berpendapat bahwa kejahatan korporasi

    yang diterjemahkan sebagai corporation crime merupakan

    sebagian dari white collar crime. Kejahatan korporasi selalu

    berhubungan dengan kehidupan ekonomi atau kegiatan yang

    berkaitan dengan dunia bisnis (business related activities). 46

    dan ditegaskan bahwa kejahatan korporasi sebagai bagian dari

    white collar crime harus dibedakan antara corporate crime

    dengan small business offenses (kejahatan-kejahatan yang

    dilakukan oleh perusahaan-perusahaan atau usaha-usaha dagang

    yang berlingkup kegiatan dengan skala kecil atau terbatas)

    sebagai mana pernyataan Reksodipuro bahwa konsepsi

    kejahatan korporasi hanya ditujukan kepada kejahatan yang

    dilakukan oleh big business dan jangan dikaitkan dengan

    kejahatan yang dilakukan oleh small scale business seperti

    45

    Hazel Croal, 1992. White Collar Crime : Criminal Justice and Criminology,

    Great Britain: hal. 3 46

    Mardjono Reksodipuro, 1995. Kemajuan Pembangunan Ekonomi Dan Kejahatan

    (Kumpulan Karangan Buku Kesatuan). Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian

    Hukum Lembaga Kriminologi Jakarta: hal. 66

  • 37

    penipuan yang dilakukan oleh warung atau toko di lingkungan

    pemukiman atau bengkel reparasi kendaraan bermotor dan

    sebagainya.47

    Kejahatan korporasi adalah kejahatan yang bersifat

    organisatoris. Begitu luasnya, penyebaran tanggung jawab serta

    struktur hirarkis dari korporasi besar dapat membantu

    berkembangnya kondisi-kondisi yang kondusif bagi kejahatan

    korporasi. Anatomi kejahatan korporasi yang sangat kompleks

    dan penyebaran tanggung jawab yang sangat luas bermuara pada

    motif-motif yang bersifat ekonomi, yaitu tercermin pada tujuan

    korporasi (organizational goal) dan kontradiksi antara tujuan

    korporasi dengan kepentingan berbagai pihak, seperti

    kompetitor (pesaing), buruh, konsumen, masyarakat dan negara.

    Berdasarkan motif-motif tersebut korban kejahatan korporasi

    tersebar pada spektrum yang amat luas.

    Marshall B. Clinard dan Peter C. Yeager memberikan

    pengertian kejahatan korporasi sebagai berikut : “A Corporate

    crime is any act commited by corporation that is punished by the

    state, regardless of wheather it is punished under

    administrative, civil or criminal law” (Kejahatan korporasi

    47

    Ibid

  • 38

    adalah setiap tindakan yang dilakukan oleh korporasi yang bisa

    diberi hukuman oleh negara, entah di bawah hukum administrasi

    negara, hukum perdata, maupun hukum pidana). Agar tidak

    terjadi kerancuan dengan berbagai istilah yang berkaitan dengan

    korporasi, maka harus diadakan perbedaan antara (1) crimes for

    corporation, (2) crimes against corporation dan (3) criminal

    corporation.48

    Crimes for corporation inilah yang merupakan kejahatan

    korporasi (corporate crime). Dalam hal ini dapat dikatakan

    bahwa corporate crime are clearly commited for the corporate

    and not against. Kejahatan korporasi dilakukan untuk

    kepentingan korporasi yang sering dinamakan dengan employee

    crimes, yaitu kejahatan yang dilakukan oleh para karyawan atau

    pekerja terhadap korporasi, misalnya penggelapan dana

    perusahaan oleh pejabat atau karyawan perusahaan tersebut.

    Pelaku kejahatan ini (crimes against corporation) tidak hanya

    terbatas pada pejabat atau karyawan dari badan hukum atau

    korporasi yang bersangkutan, tetapi masyarakat secara luas bisa

    menjadi pelaku kejahatan terhadap korporasi ini49

    .

    48

    Setiyono, 2003. Kejahatan Korporasi Analisis Viktimologis dan

    Pertanggungjawaban Korporasi dalam Hukum Pidana Indonesia, Bayumedia

    Publishing, Malang, hal. 20 49

    Ibid, hal. 20

  • 39

    Mengenai hal yang terakhir, yaitu criminal corporation

    adalah korporasi yang sengaja dibentuk dan dikendalikan untuk

    melakukan kejahatan. Kedudukan korporasi dalam criminal

    corporation hanyalah sebagai sarana melakukan kejahatan atau

    sebagai topeng untuk menyembunyikan wajah asli dari suatu

    kejahatan. Dikatakan masuk akal adalah bahwa badan hukum

    secara sah dapat ditentukan untuk melibatkan diri dalam

    kriminalitas, namun hal ini memerlukan adanya penipuan secara

    besar-besaran, begitu pula korupsi dengan skala yang sangat

    tinggi. Pola yang biasa adalah suatu badan hukum mencari agar

    ditentukan untuk tujuan-tujuan yang sah dan kemudian

    mengembangkan dalam batas-batasnya suatu organisasi yang

    tidak sah yang ditujukan untuk kejahatan. Penipuan-penipuan

    korporasi tersebut hanya sekedar melaksanakan tugas

    berdasarkan pembagian pekerjaan yang telah ditentukan para

    pejabat. Badan-badan hukum yang sah tersebut diatur oleh para

    penjahat sebagai benteng kegiatannya atau usahanya.50

    Hal penting untuk membedakan antara crime for

    corporation atau corporate crime atau kejahatan korporasi

    dengan criminal corporations adalah berkaitan dengan pelaku

    50

    Soedjono Dirjosisworo, 1985. Kuliah Prof Donald R. Cressy tentang Kejahatan

    Mafia. Armico, Bandung: hal. 55

  • 40

    dan hasil kejahatan yang diperoleh. Pelaku kejahatan dalam

    kejahatan korporasi adalah korporasi itu sendiri. Sedangkan

    pelaku dalam criminal corporation, utamanya adalah penjahat di

    luar korporasi dan korporasi itu hanya sebagai sarana untuk

    melakukan kejahatan. Hasil kejahatan dalam kejahatan korporasi

    adalah untuk kepentingan korporasi itu sendiri. Keadaan seperti

    ini tidak terjadi dalam criminal corporation, karena korporasi ini

    hanya sekedar sebagai alat untuk melakukan tindak kejahatan.51

    Atas dasar pembedaan ketiga pengertian hal tersebut,

    maka dapat ditarik kesimpulan bahwa kejahatan korporasi

    (crimes for corporation) adalah suatu perbuatan yang dilakukan

    korporasi yang dapat dijatuhi hukuman oleh negara, berdasarkan

    hukum administrasi negara, hukum perdata dan hukum pidana.

    Pengertian inilah yang dimaksud dalam fokus penelitian ini.

    Bentuk-bentuk kejahatan dan korban kejahatan korporasi

    ini sangat beraneka ragam. Pada umumnya kejahatan korporasi

    bernilai ekonomi. Bentuk-bentuk kejahatan tersebut antara lain

    adalah pelanggaran terhadap hak-hak konsumen, kejahatan

    lingkungan hidup, kejahatan di bidang perpajakan dengan sakala

    51

    Setiyono, 2003. Op Cit. hal. 21

  • 41

    dan ruang lingkup korban yang sangat luas, yaitu konsumen,

    masyarakat dan negara

    Melihat subjek tindak pidana yang terdapat dalam

    hukum pidana positif di Republik Indonesia yakni pada Pasal 15

    Undang-undang Darurat Nomor 7 Tahun 1955 tentang

    Pengusutan, Penuntutan dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi,

    Pasal 39 Undang-undang Nomor 3 Tahun 1989 tentang

    Telekomunikasi, Pasal 24 Undang-undang Nomor 2 Tahun 1992

    tentang Usaha Perasuransian, Pasal 108 Undang-undang Nomor

    10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan, Pasal 61 Undang-undang

    Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai, Pasal 46 Undang-undang

    Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup

    dan Pasal 20 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang

    Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana yang telah

    diubah dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang

    Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi), maka kejahatan

    korporasi ini bisa dilakukan oleh badan hukum, perseroan,

    perserikatan orang, yayasan atau organisasi-organisasi.

    Pengertian kejahatan korporasi tersebut merupakan pengertian

  • 42

    normatif, yaitu pengertian yang mendasarkan pada ketentuan-

    ketentuan hukum positif.52

    Kejahatan korporasi juga dimaknai secara lebih luas baik

    secara sosiologis, kriminologis dan viktimologis. Hal ini antara

    lain disampaikan oleh Sahetapy bahwa kejahatan korporasi

    merupakan suatu pengertian dan penamaan yang relatif dan

    mengandung variabilitas, dinamis serta bertalian dengan

    perbuatan atau tingkah laku (baik aktif maupun pasif) yang

    dinilai oleh sebagian mayoritas atau minoritas masyarakat

    sebagai suatu perbuatan antisosial, suatu perkosaan terhadap

    skala nilai sosial dan atau perasaan hukum yang hidup dalam

    masyarakat sesuai dengan ruang dan waktu 53

    Melihat pengertian kejahatan yang tidak terbatas pada

    pengertian normatif, maka ruang lingkup kejahatan korporasi itu

    lebih luas. Praktik-praktik korporasi sering bertentangan dengan

    nilai-nilai dalam masyarakat dan skala korban yang cukup luas

    dan kadang-kadang masih belum terjangkau oleh hukum. Oleh

    karena itu, tidak menutup kemungkinan jika dalam pembahasan

    kejahatan korporasi, kejahatan ini sering dilihat dalam

    pengertian yang terakhir.

    52

    Ibid, hal. 22 53

    JE Sahetapy, 1994. Kejahatan Korporasi, Eresco: Bandung,: hal. 23

  • 43

    Dengan kata lain kejahatan korporasi dalam perspektif

    sosiologis, kriminologis dan viktimologis adalah setiap kegiatan

    yang bertentangan dengan nilai-nilai dalam masyarakat dan

    skala korban yang cukup luas dan terlepas apakah tindakan

    tersebut sudah diatur dalam hukum positif ataupun belum.

    E. Tanggung Jawab Pelaku Usaha

    Dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 8

    Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen pada BAB VI

    Pasal 19 menjelaskan tentang Tanggung Jawab Pelaku Usaha

    yang dirumuskan sebagai berikut :

    a. Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi

    atas kerugian, pencemaran dan atau kerugian konsumen

    akibat mengkonsumsi barang dan atau jasa yang

    dihasilkan atau diperdagangkan;

    b. Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat

    berupa pengembalian uang atau penggantian barang dan

    atau jasa yang sejenis atau setara nilainya atau perawatan

    kesehatan dan atau pemberian santunan yang sesuai

    dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang

    berlaku;

  • 44

    c. Pemberian ganti rugi dilaksanakan dalam tenggang waktu

    7 (tujuh) hari setelah tanggal transaksi;

    d. Pemberian ganti rugi tersebut tidak menghapuskan

    kemungkinan adanya tuntutan pidana berdasarkan

    pembuktian lebih lanjut mengenai adanya unsur

    kesalahan;

    e. Ketentuan tersebut tidak berlaku apabila pelaku usaha

    dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut merupakan

    kesalahan konsumen.

    Secara umum, prinsip-prinsip tanggung jawab dalam hukum

    dapat dibedakan sebagai berikut :

    1. Prinsip tanggung jawab berdasarkan unsur kesalahan

    Prinsip tanggung jawab berdasarkan unsur kesalahan

    (fault liability atau liability based on fault) adalah prinsip

    yang cukup umum berlaku dalam hukum pidana dan perdata.

    Prinsip ini menyatakan, seseorang baru dapat dimintakan

    pertanggungjawabannya secara hukum jika ada unsur

    kesalahan yang dilakukannya.

    Pasal 1365 KUH Perdata yang lazim dikenal sebagai pasal

    tentang perbuatan melawan hukum mengharuskan

    terpenuhinya empat unsur pokok, yaitu :

  • 45

    a. adanya perbuatan;

    b. adanya unsur kesalahan;

    c. adanya unsur kerugian yang diderita;

    d. adanya hubungan kausalitas antara kesalahan dan

    kerugian.

    2. Prinsip praduga untuk selalu bertanggungjawab

    Prinsip ini menyatakan, tergugat selalu dianggap

    bertanggungjawab sampai ia dapat membuktikan bahwa ia

    tidak bersalah. Jadi beban pembuktian ada pada si tergugat.

    Tampak disini bahwa beban pembuktian terbalik

    diterima dalam prinsip tersebut. Dalam konteks hukum

    pidana di Indonesia, pembuktian hukum terbalik juga

    diterapkan dalam Undang-undang tentang Tindak Pidana

    Korupsi. Undang-undang Perlindungan Konsumen pun

    mengadopsi sistem pembuktian terbalik ini sebagaimana

    ditegaskan dalam Pasal 19, 22 dan 23 Undang-Undang

    Perlindungan Konsumen.

    3. Prinsip praduga untuk tidak selalu bertanggungjawab

    Prinsip ini adalah kebalikan dari prinsip kedua.

    Prinsip praduga untuk tidak selalu bertanggungjawab hanya

    dikenal dalam lingkup transaksi konsumen yang sangat

  • 46

    terbatas dan pembatasan demikian biasanya secara common

    sense dapat dibenarkan.

    4. Prinsip tanggung jawab mutlak

    Prinsip tanggung jawab mutlak sering diidentikkan

    dengan prinsip tanggung jawab absolut. Kendati demikian

    ada pula ahli yang membedakan kedua terminologi tersebut.

    Ada pendapat yang mengatakan bahwa prinsip tanggung

    jawab mutlak adalah prinsip tanggung jawab yang

    menetapkan kesalahan tidak sebagai faktor yang menentukan.

    Namun ada pengecualian-pengecualian yang memungkinkan

    untuk dibebaskan dari tanggung jawab misalnya keadaan

    force majeur. Sebaliknya prinsip tanggung jawab mutlak

    adalah prinsip tanggung jawab tanpa kesalahan dan tidak ada

    pengecualiannya.

    Selain itu ada pandangan yang agak mirip, yang

    mengaitkan perbedaan antara keduanya pada ada atau tidak

    adanya hubungan kausalitas antara subjek yang

    bertanggungjawab dan kesalahannya. Pada prinsip tanggung

    jawab, hubungan itu harus selalu ada, sementara pada

  • 47

    tanggung jawab mutlak hubungan itu tidak selalu ada54

    .

    Maksudnya pada tanggung jawab mutlak dapat saja pihak

    tergugat yang dimintai pertanggungjawaban itu bukan pihak

    pelaku langsung kesalahan tersebut (misalnya dalam kasus

    bencana alam).

    5. Prinsip tanggung jawab dengan pembatasan

    Prinsip tanggung jawab dengan pembatasan sangat

    disenangi oleh pelaku usaha untuk dicantumkan sebagai

    clausula eksonerasi dalam perjanjian standar yang dibuatnya.

    6. Product Liability : Professional Liability

    Dua prinsip penting dalam Undang-undang Nomor 8

    Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen adalah

    tanggung jawab produk dan tanggung jawab profesional.

    Kedua permasalahan ini sebenarnya termasuk dalam prinsip-

    prinsip tentang tanggung jawab, tetapi dibahas terpisah

    karena perlu diberikan penguraian tersebut.

    Agnes M. Toar mengartikan tanggung jawab produk

    sebagai tanggung jawab para produsen untuk produk yang

    dibawanya ke dalam peredaran yang menimbulkan atau

    menyebabkan kerugian karena cacat yang melekat pada

    54

    E. Saefullah Wirapradja, Tanggung jawab Pengangkut dalam Hukum Udara

    Internasional dan Nasional. Yogyakarta : Liberty, 1989. Hal. 51

  • 48

    produk tersebut55

    . Kata produk oleh Agnes M. Toar diartikan

    sebagai barang baik yang bergerak maupun yang tidak

    bergerak (tetap). Tanggung jawab itu dapat bersifat

    kontraktual (perjanjian) atau berdasarkan undang-undang

    (gugatannya atas dasar perbuatan melawan hukum), namun

    dalam tanggung jawab produk, penekanannya ada pada yang

    terakhir.

    F. Perlindungan Konsumen

    Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8

    Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen pada BAB VI

    Pasal 19 menjelaskan tentang Tanggung Jawab Pelaku Usaha

    yang dirumuskan sebagai berikut :

    1. Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas

    kerugian, pencemaran dan atau kerugian konsumen akibat

    mengkonsumsi barang dan atau jasa yang dihasilkan atau

    diperdagangkan;

    2. Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa

    pengembalian uang atau penggantian barang dan atau jasa

    yang sejenis atau setara nilainya atau perawatan kesehatan

    55

    Agnes M. Toar. Tanggung jawab produk dan Sejarah Perkembangannya di

    Beberapa Negara. Makalah dalam Penataran Hukum Perikatan II di Ujung

    Pandang, 17-19 Juli 1989. Hal. 1

  • 49

    dan atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan

    peraturan perundang-undangan yang berlaku;

    3. Pemberian ganti rugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7

    (tujuh) hari setelah tanggal transaksi;

    4. Pemberian ganti rugi tersebut tidak menghapuskan

    kemungkinan adanya tuntutan pidana berdasarkan

    pembuktian lebih lanjut mengenai adanya unsur kesalahan;

    5. Ketentuan tersebut tidak berlaku apabila pelaku usaha dapat

    membuktikan bahwa kesalahan tersebut merupakan

    kesalahan konsumen.

    Tanggung jawab produk oleh banyak ahli dimasukkan

    dalam sistematika hukum yang berbeda. Ada yang mengatakan

    tanggung jawab produk sebagai bagian dari hukum perikatan,

    hukum perbuatan melawan hukum, hukum kecelakaan dan ada

    yang menyebutkannya sebagai bagian dari hukum konsumen.

    Pandangan yang lebih maju menyatakan tanggung jawab produk

    ini sebagai bagian hukum tersendiri.

    Dasar gugatan untuk tanggung jawab produk dapat

    dilakukan atas landasan adanya hal-hal sebagai berikut :

    1. pelanggaran jaminan (breach of warranty);

    2. kelalaian (negligence);

  • 50

    3. tanggung jawab mutlak (strict liability).

    Pengertian tersebut memperlihatkan bahwa tanggung

    jawab produsen terhadap kerugian konsumen dapat terjadi

    karena perjanjian maupun karena perbuatan melawan hukum.

    Apabila ada hubungan kontraktual antara konsumen dengan

    pengusaha, maka kualifikasi gugatannya adalah wanprestasi.

    Menurut R. Setiawan, wanprestasi sama artinya dengan

    ingkar janji. Ada tiga bentuk ingkar janji, yaitu :

    1. tidak memenuhi prestasi sama sekali;

    2. terlambat memenuhi prestasi;

    3. memenuhi prestasi secara tidak baik.

    Dasar hukum pemberian ganti rugi akibat tidak

    dipenuhinya suatu perikatan adalah Pasal 1248 KUH Perdata,

    yaitu bahwa “Penggantian biaya, ganti rugi dan bunga karena

    tak dipenuhinya perikatan, barulah mulai diwajibkan, apabila

    pihak berhutang setelah dinyatakan lalai memenuhi

    perikatannya tetap melalaikannya atau jika sesuatu yang harus

    diberikan atau dibuatnya, hanya dapat diberikan atau dibuat

    dalam tenggang waktu yang telah dilampauinya”

  • 51

    Menurut Pasal 1246 KUH Perdata, ganti rugi terdiri atas dua

    faktor, yaitu :

    1. Kerugian yang nyata-nyata diderita; dan

    2. Keuntungan yang seharusnya diperoleh.

    Perlindungan hukum bagi konsumen akibat wanprestasi

    tercantum dalam Pasal 1267 KUH Perdata, yaitu : “Pihak

    terhadap siapa perikatan dipenuhi, dapat memilih apakah ia jika

    hal itu masih dapat dilaksanakan atau memaksa pihak yang lain

    untuk memenuhi persetujuan ataukah ia akan menuntut

    pembatalan persetujuan disertai penggantian biaya, kerugian dan

    bunga”.

    Kemudian Pasal 1365 KUH Perdata menyatakan “Tiap

    perbuatan melanggar hukum yang membawa kerugian kepada

    orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan

    kerugian itu, mengganti kerugian tersebut”

    Pasal 19 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999

    menyebutkan tentang tanggung jawab pelaku usaha dan

    pelaksanaannya, yaitu :

    1. Pelaku usaha bertanggungjawab memberikan ganti rugi atas

    kerusakan, pencemaran dan/atau kerugian konsumen akibat

  • 52

    mengkonsumsi barang dan/atau yang dihasilkan atau

    diperdagangkan;

    2. Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat

    berupa pengembalian uang atau penggantian barang

    dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya atau

    perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang

    sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan

    yang berlaku;

    3. Pemberian ganti rugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7

    (tujuh) hari setelah tanggal transaksi;

    4. Pemberian ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

    dan ayat (2) tidak mengharuskan kemungkinan adanya

    tuntutan pidana berdasarkan pembuktian lebih lanjut

    mengenai adanya unsur kesalahan;

    5. Ketentuan sebagaimana yang dimaksud ayat (1) dan ayat (2)

    tidak berlaku apabila pelaku usaha dapat membuktikan

    bahwa kesalahan tersebut merupakan kesalahan konsumen.

    Pasal 27 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 sendiri

    disebutkan bahwa pelaku usaha yang memproduksi barang

    dibebaskan dari tanggung jawab atas kerugian yang diderita

    konsumen, apabila :

  • 53

    1. Barang tersebut terbukti seharusnya tidak diedarkan atau

    tidak dimaksudkan untuk diedarkan;

    2. Cacat barang timbul pada kemudian hari;

    3. Cacat timbul akibat ditaatinya ketentuan mengenai

    kualifikasi barang;

    4. Kelalaian yang diakibatkan oleh konsumen;

    5. Lewatnya jangka waktu penuntutan 4 (empat) tahun sejak

    barang dibeli atau lewat jangka waktu yang telah

    ditentukan.

    H. Penyelesaian Sengketa

    Dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 8

    Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yakni pada BAB

    X Pasal 45, diatur mengenai Penyelesaian Sengketa yang

    mengatur sebagai berikut :

    a. Setiap konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku

    usaha melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan

    sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui

    peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum;

  • 54

    b. Penyelesaian sengketa konsumen dapat ditempuh melalui

    pengadilan atau diluar pengadilan berdasarkan pilihan

    sukarela para pihak yang bersengketa;

    c. Penyelesaian sengketa di luar pengadillan tersebut tidak

    menghilangkan tanggung jawab pidana sebagaimana diatur

    dalam Undang-undang;

    d. Apabila telah dipilih upaya penyelesaian sengketa konsumen

    di luar pengadilan, gugatan melalui pengadilan hanya dapat

    ditempuh apabila upaya tersebut dinyatakan tidak berhasil

    oleh salah satu atau oleh pihak yang bersengketa.