BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Psychological Well-Being II.pdf · kepada orang lain, tertutup, tidak...

39
19 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Psychological Well-Being 1. Definisi Psychological Well-Being Menurut Ryff (1989), psychological well-being adalah kondisi dimana seseorang memiliki kemampuan menerima diri sendiri maupun kehidupannya di masa lalu, pengembangan diri, keyakinan bahwa hidupnya bermakna, memiliki tujuan, memiliki kualitas hubungan positif dengan orang lain, kapasitas untuk mengatur kehidupan di lingkungan secara efektif dan kemampuan menentukan tindakan sendiri. Ryff (1989) merumuskan teori psychological well-being pada konsep kriteria kesehatan mental yang positif. Ryan dan Deci (dalam Singh, Mohan, & Anasseri, 2012) menyatakan bahwa psychological well-being adalah sebuah konstruksi yang berkaitan dengan berfungsinya seseorang secara optimal dan positif. Ryff (dalam Papalia, Olds & Feldman, 2009) mendasari cakupan psychological well-being berdasarkan cakupan teori para ahli seperti Erikson hingga Maslow, lalu berdasarkan cakupan tersebut mengembangkan sebuah model baru yang mencakup enam aspek untuk mengukur psychological well-being. Berdasarkan evaluasi yang dilakukan Ryff dan Keyes (1995) terhadap studi-studi mengenai psychological well being, Ryff dan Keyes berusaha mengajukan konsep psychological well-being yang bersifat multidimensional yaitu, konsep yang mengupas enam aspek tentang aktualisasi

Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Psychological Well-Being II.pdf · kepada orang lain, tertutup, tidak...

19

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Psychological Well-Being

1. Definisi Psychological Well-Being

Menurut Ryff (1989), psychological well-being adalah kondisi dimana

seseorang memiliki kemampuan menerima diri sendiri maupun kehidupannya di

masa lalu, pengembangan diri, keyakinan bahwa hidupnya bermakna, memiliki

tujuan, memiliki kualitas hubungan positif dengan orang lain, kapasitas untuk

mengatur kehidupan di lingkungan secara efektif dan kemampuan menentukan

tindakan sendiri. Ryff (1989) merumuskan teori psychological well-being pada

konsep kriteria kesehatan mental yang positif.

Ryan dan Deci (dalam Singh, Mohan, & Anasseri, 2012) menyatakan

bahwa psychological well-being adalah sebuah konstruksi yang berkaitan dengan

berfungsinya seseorang secara optimal dan positif. Ryff (dalam Papalia, Olds &

Feldman, 2009) mendasari cakupan psychological well-being berdasarkan

cakupan teori para ahli seperti Erikson hingga Maslow, lalu berdasarkan cakupan

tersebut mengembangkan sebuah model baru yang mencakup enam aspek untuk

mengukur psychological well-being. Berdasarkan evaluasi yang dilakukan Ryff

dan Keyes (1995) terhadap studi-studi mengenai psychological well being, Ryff

dan Keyes berusaha mengajukan konsep psychological well-being yang bersifat

multidimensional yaitu, konsep yang mengupas enam aspek tentang aktualisasi

20

diri manusia yang terdiri dari kemandirian, pertumbuhan pribadi, penerimaan

diri, tujuan hidup, penguasaan lingkungan, dan hubungan yang positif.

Deskripsi orang yang memiliki psychological well-being yang baik adalah

orang yang mampu merealisasikan potensi dirinya secara kontinyu, mampu

membentuk hubungan yang hangat dengan orang lain, memiliki kemandirian

terhadap tekanan sosial, maupun menerima diri apa adanya, memiliki arti dalam

hidup, serta mampu mengontrol lingkungan eksternal (Papalia, dkk 2009).

Berdasarkan definisi yang sudah dipaparkan diatas, dapat ditarik

kesimpulan bahwa psychological well-being adalah sebuah konsep tentang

kriteria kesehatan mental untuk menggambarkan seseorang yang mampu

berfungsi secara optimal dan positif, yang ditunjukkan melalui evaluasi-evaluasi

pengalaman hidup dimana hal tersebut dipengaruhi oleh berfungsinya fungsi

psikologis secara positif seperti, penerimaan diri, mampu membuat hubungan

yang hangat dengan orang lain, memiliki kemandirian dalam mengatur

kehidupan, mampu mengontrol dan menguasai lingkungan eksternal, memiliki

tujuan hidup, dan pertumbuhan pribadi.

2. Aspek-aspek Psychological well-being

Menurut Ryff (1989) terdapat enam aspek dari psychological well-being,

yaitu:

a. Self Acceptance (penerimaan diri)

Sebuah ciri khas dari karakteristik kriteria kesehatan secara mental yaitu

dimana, seseorang bisa menerima apa yang terjadi pada kehidupannya saat

21

ini maupun kehidupannya di masa lalu. Seseorang yang memiliki skor self

acceptance (penerimaan diri) yang tinggi memiliki sebuah sikap yang

positif terhadap dirinya sendiri, mengakui dan menerima berbagai aspek

tentang dirinya yang mencakup kualitas hal yang baik dan buruk,

merasakan hal yang positif tentang kehidupan di masa lalunya. Sedangkan

seseorang yang memiliki skor self acceptance (penerimaan diri) yang

rendah merasa tidak puas terhadap dirinya, merasa kecewa dengan apa

yang telah terjadi di kehidupan masa lalu, bermasalah dengan hal-hal

yang ada di dalam dirinya, berharap untuk menjadi orang berbeda dari

dirinya saat ini (Ryff, 1989).

b. Positive relations with others (hubungan yang positif dengan orang lain)

Mempunyai perasaan empati, kasih sayang, cinta yang besar, persahabatan

yang lebih mendalam, dan lebih bisa menyatukan diri terhadap sesama.

Membangun hubungan yang hangat dan positif merupakan salah satu

kriteria dari kematangan (maturity), dari segi teori perkembangan juga

menekankan untuk membangun hubungan yang dekat (intimacy) sekaligus

mampu mengarahkan dan membimbing orang lain (generativity).

Seseorang yang mempunyai skor tinggi pada dimensi ini menunjukkan

mampu membina hubungan yang hangat, kepuasan, percaya terhadap orang

lain, memiliki kepedulian terhadap kesejahteraan orang lain, dapat

menunjukkan empati, afeksi, dan keintiman, serta memahami prinsip

memberi dan menerima dalam hubungan antar sesama manusia. Seseorang

yang mempunyai skor yang rendah pada dimensi ini menunjukkan perilaku

tertutup terhadap hubungannya dengan orang lain, sulit bersikap hangat

22

kepada orang lain, tertutup, tidak peduli terhadap sesama, terisolasi dan

merasa frustrasi dalam hubungan dengan sesama orang lain, tidak ada

kemauan untuk berkompromi dalam mempertahakan hubungan dengan

orang lain (Ryff, 1989).

c. Autonomy (kemandirian)

Mampu menentukan nasib sendiri dan bisa mengatur perilaku sesuai

dengan kemauan diri sendiri. Orang yang mampu berfungsi secara positif

dan optimal, dideskripsikan dengan mampu menunjukkan kemandirian dan

resisten terhadap enkulturasi, memiliki evaluasi lokus secara internal yang

berarti tidak meniru tindakan orang lain untuk mendapatkan persetujuan

tetapi mengevaluasi diri sesuai dengan standar personal yang dimiliki.

Seseorang yang memiliki nilai tinggi pada dimensi ini menunjukkan bahwa

dapat menentukan tentang sesuatu seorang diri, mampu melawan tekanan

sosial untuk berpikir dan bertindak dengan cara-cara tertentu, mengatur

perilaku dari dalam, mengevaluasi diri dengan standar pribadi. Sedangkan

seseorang yang memiliki nilai rendah pada dimensi ini menunjukkan

bahwa orang tersebut terlalu peduli terhadap harapan dan penilaian dari

orang lain, berpegang pada penilaian orang lain untuk membuat keputusan

penting bagi dirinya, menyesuaikan diri sesuai dengan tekanan sosial untuk

berpikir dan bertindak dengan cara tertentu (Ryff, 1989).

d. Environtmental mastery (penguasaan lingkungan)

Kemampuan seseorang untuk memilih dan membuat lingkungan menjadi

cocok dengan kondisi psikologisnya. Perkembangan selama rentang

kehidupan juga menggambarkan kemampuan untuk memanipulasi dan

23

mengontrol lingkungan yang kompleks. Teori ini menekankan kemampuan

seseorang untuk beradaptasi di lingkungannya dan mengubahnya secara

kreatif dengan aktivitas fisik maupun mental, mengambil kesempatan-

kesempatan yang ada di dalam lingkungan merupakan hal yang penting

dalam psychological well-being seseorang. Seseorang yang memiliki skor

yang tinggi pada dimensi ini mempunyai penguasaan dan kemampuan

dalam mengatur lingkungan, dapat mengendalikan berbagai aktivitas

eksternal yang berada di lingkungannya termasuk mengatur dan

mengendalikan situasi kehidupan sehari-hari, memanfaatkan kesempatan

yang ada di lingkungannya, mampu memilih atau membuat konteks yang

sesuai dengan kebutuhan pribadi dan nilai-nilai. Seseorang yang memiliki

skor yang rendah pada dimensi ini mengalami kesulitan dalam mengatur

kehidupan sehari-hari, merasa tidak mampu untuk mengubah dan

memperbaiki lingkungan sekitar, serta kurangnya kontrol terhadap dunia

luar (Ryff, 1989).

e. Purpose in life (tujuan hidup)

Keyakinan yang memberikan seseorang perasaan bahwa ada tujuan dan arti

dari kehidupan. Definisi dari kematangan juga menekankan sebuah

pemahaman yang jernih tentang tujuan dari kehidupan, kemampuan untuk

mengarahkan, dan memiliki tujuan. Teori perkembangan rentang

kehidupan mengacu pada sebuah variasi dalam perubahan tujuan selama

hidup, seperti menjadi produktif dan kreatif, atau mencapai integrasi secara

emosional di kemudian hari. Seseorang yang berfungsi dengan positif

mempunyai tujuan, mempunyai niatan, dan kemampuan untuk

24

mengarahkan, yang semuanya berkontribusi terhadap perasaan bahwa

hidup adalah bermakna. Seseorang yang memiliki skor tinggi pada dimensi

ini mempunyai tujuan-tujuan dalam hidup dan kemampuan untuk

mengarahkannya, dapat merasakan keberadaan akan arti hidup saat ini dan

masa lalu, berpegang pada keyakinan bahwa memberi tujuan dan target

yang ingin dicapai dalam hidup. Seseorang yang memiliki skor rendah

pada dimensi ini sedikit memiliki pemaknaan terhadap kehidupan,

memiliki sedikit tujuan, memiliki sedikit cita-cita, tidak melihat makna dan

tujuan di kehidupan masa lalu, tidak memiliki pandangan atau kepercayaan

yang memberi arti pada kehidupan (Ryff, 1989).

f. Personal growth (pertumbuhan pribadi)

Fungsi psikologis yang positif tidak hanya membutuhkan karakteristik-

karakteristik yang telah disebutkan diatas, tapi juga membutuhkan

pengembangan potensi dari seseorang, untuk tumbuh, dan

mengembangkannya sebagai seorang individu. Kebutuhan untuk

aktualisasi diri dan sadar akan potensi yang ada di dalam diri merupakan

pandangan yang penting dalam pertumbuhan pribadi. Individu akan terus

menghadapi tugas-tugas baru pada periode kehidupan yang berbeda.

Pertumbuhan yang berkelanjutan dan realisasi diri merupakan hal yang

penting bagi psychological well-being. Seseorang yang mempunyai skor

yang tinggi pada dimensi ini mempunyai sebuah perasaan untuk

melanjutkan pengembangan, melihat dirinya sebagai individu yang terus

tumbuh dan berkembang, terbuka terhadap berbagai pengalaman baru,

mempunyai keinginan untuk merealisasikan potensinya, melihat bahwa diri

25

dan perilakunya terus mengalami peningkatan, berubah secara efektif dan

mencerminkan kemampuan tentang diri. Skor yang rendah pada dimensi ini

menunjukkan bahwa individu mengalami stagnansi atau tidak adanya

kemajuan pada individu, tidak adanya peningkatan dan pengembangan

pada individu, merasa bosan dan tidak tertarik dengan kehidupan, merasa

tidak mampu untuk mengembangkan sikap dan perilaku baru yang lebih

baik (Ryff, 1989).

Berdasarkan uraian yang dijelaskan diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa

kriteria orang yang memiliki psychological well-being yang baik setidaknya

harus memenuhi enam aspek yang dikemukakan oleh Ryff (1989) yaitu, self

acceptance (penerimaan diri), positive relations with others (hubungan yang

positif dengan orang lain), autonomy (kemandirian), environtmental mastery

(penguasaan lingkungan), purpose in life (tujuan hidup), dan personal growth

(pertumbuhan pribadi).

3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Psychological Well-Being

Salah satu cara untuk semakin memahami konsep tentang psychological

well-being adalah dengan mempelajari faktor-faktor yang berhubungan dengan

psychological well-being itu sendiri. Singh, Mohan, dan Anasseri (2012) dalam

bukunya, menjelaskan faktor-faktor yang dapat mempengaruhi psychological

well-being. Faktor-faktor tersebut antara lain:

26

a. Usia (age)

Ryff dan Keyes (dalam Singh, Mohan & Anasseri, 2012) menganggap

bahwa orang tua mengalami penurunan dalam pertumbuhan pribadi. Akan

tetapi individu di usia tuanya menunjukkan peningkatan pada kemampuan

menguasai lingkungan dan kemandirian dikarenakan individu mencapai

tahap yang lebih tinggi dari rentang kehidupan. Kemampuan menguasai

lingkungan cenderung lebih baik di usia paruh baya dan lanjut usia

daripada saat individu berada di usia muda, tetapi tetap stabil dari usia

menengah ke usia yang lebih tua. Dimensi penerimaan diri dan hubungan

positif dengan orang lain tampaknya tidak terlalu dipengaruhi oleh usia.

Oleh karena itu, pengalaman individu selama hidupnya dapat mengubah

cita-citanya dan cara dia menilai kesejahteraan dirinya sendiri.

Orang-orang yang berusia muda menganggap dirinya telah membuat

kemajuan yang signifikan sejak masa remaja, dan memiliki harapan besar

untuk masa depan, sehingga nilai untuk aspek tujuan hidup dan

pertumbuhan pribadi menjadi lebih tinggi. Orang-orang di usia pertengahan

cenderung tetap dalam proses yang berkesinambungan yaitu perbaikan dari

masa lalu ke masa kini dan mempertahankan tingkat kesejahteraan yang

tinggi dalam dimensi yang berbeda yang membentuk kesejahteraan.

Akhirnya, orang tua terus menganggap diri mereka dalam kaitannya

dengan masa lalu dan tidak menganggap sensasi berkembang menuju masa

depan. Dilihat dari sisi positif, orang tua cenderung menguasai lingkungan

lebih baik dari kelompok usia lainnya.

27

b. Jenis kelamin (gender)

Beberapa studi dalam meta-analisis oleh Pinquart dan Sorensen (dalam

Singh, Mohan & Anasseri, 2012) dimana pesertanya mulai dari remaja

sampai usia tua, menyimpulkan bahwa tidak ada perbedaan psychological

well-being antara jenis kelamin. Dalam beberapa kasus, harga diri dan

kesejahteraan psikologis ditemukan sedikit lebih tinggi di kalangan pria

daripada wanita. Hal itu juga ditemukan di semua penelitian yang termasuk

dalam meta-analisis bahwa wanita yang lebih tua menunjukkan tingkat

kepuasan yang lebih rendah terhadap kehidupan, kebahagiaan dan harga

diri jika dibandingkan dengan pria. Perbedaan gender dalam hal

kesejahteraan psikologis bisa lebih besar pada usia lebih tua, karena wanita

mengalami penurunan lebih besar dalam ambisi saat tumbuh dewasa.

Whitbourne dan Powers (dalam Singh, Mohan & Anasseri, 2012)

menyatakan bahwa wanita berhubungan lebih dekat dengan peristiwa

dalam sistem sosial, sedangkan laki-laki lebih dipengaruhi oleh lingkungan

profesional mereka. Pinquart dan Sorensen (dalam Singh, Mohan &

Anasseri, 2012) mengungkapkan oleh karena itu, perempuan lebih

terintegrasi secara sosial dan memiliki skor yang lebih tinggi dalam

hubungan yang positif dengan orang lain jika dibandingkan dengan laki-

laki. Dennerstein, Lehnert, dan Guthrie (dalam Singh, Mohan & Anasseri)

melakukan studi yang dilakukan di Australia pada 226 wanita untuk

menilai tingkat kepuasan dan variabel yang lain selama satu periode

kehidupan, yaitu proses menopause. Hasil penelitian menemukan bahwa

kesejahteraan psikologis perempuan meningkat secara signifikan setelah

28

melewati tahap awal menopause ke tahap selanjutnya. Berdasarkan hasil

penelitian tersebut disimpulkan bahwa kesejahteraan psikologis perempuan

meningkat saat memasuki tahap akhir transisi menopause.

c. Kelas sosial ekonomi (socioeconomic level)

Diener (dalam Singh, Mohan & Anasseri, 2012) mengemukakan aspek lain

yang berdampak penting pada kesejahteraan psikologis yaitu situasi sosial

ekonomi, yang juga mencakup beberapa kondisi objektif seperti akses ke

perumahan, sistem kesehatan, pendidikan, pekerjaan dan kegiatan rekreasi.

Haan, Kaplan, dan Syme (dalam Singh, Mohan & Anasseri, 2012)

menyatakan bahwa kesuksesan atau kegagalan dari segi finansial

berkombinasi dengan sumber daya lingkungan, bisa memiliki efek penting

pada perasaan seseorang dari segi prestasi, penguasaan lingkungan dan

penerimaan diri, dan hal ini cenderung berkembang ketika seseorang

bertambah tua.

Secara keseluruhan, ketika situasi keuangan sedang dalam kondisi yang

baik direpresentasikan oleh keseimbangan ekonomi yang positif, maka

kesejahteraan psikologis juga akan meningkat. Ketika situasi keuangan ini

menjadi lebih buruk, dan dengan itu jumlah dirasakan dari kecilnya

pendapatan, maka tingkat kesejahteraan psikologis menjadi turun. Oleh

karena itu, Hence, Steptoe dan Feldman (dalam Singh, Mohan & Anasseri,

2012) mengamati bahwa adanya kondisi lingkungan yang negatif di sekitar

tempat tinggal dikaitkan dengan persepsi kesehatan yang buruk dan dengan

kecemasan psikologis.

29

d. Relasi sosial (social relations)

Seseorang harus memiliki hubungan sosial yang stabil dan memiliki teman-

teman yang dapat mereka percayai. Menurut Blanco dan Diaz (dalam

Singh, Mohan & Anasseri, 2012) kesejahteraan jelas dipengaruhi oleh

kontak sosial dan hubungan interpersonal. Hal itu telah terbukti lewat

hubungan berupa kontak di masyarakat, pola aktif persahabatan dan

partisipasi sosial. Penelitian oleh Diener dan Diener (dalam Singh, Mohan

& Anasseri, 2102) menunjukkan pentingnya konteks sosial dan budaya

dalam penilaian seseorang terhadap kesejahtreraan psikologis dirinya

sendiri. Faktor lain yang penting di tingkat kesejahteraan psikologis pada

orang tua adalah kepuasan orang tua terhadap teman hidupnya. Aspek ini

sangat penting bagi kesehatan dan kesejahteraan lansia, untuk siapakah

keluarga menjadi sebuah faktor protektif untuk kesehatan para orang tua.

Keluarga mengakuisisi peran penting dalam kehidupan saat ini dan menjadi

sumber penting dari kesejahteraan psikologis.

e. Faktor kepribadian (personality factors)

Costa dan Mcrae (dalam Singh, Mohan & Anasseri, 2012) mengemukakan

bahwa telah ada bukti yang berulang-ulang selama beberapa dekade

terakhir bahwa variabel kepribadian berkaitan erat dengan kesejahteraan

psikologis. Neurotisisme dan extrovertisme berhubungan dengan afek

negatif dan afek positif. Umumnya, orang-orang dengan kecenderungan

neurotik yang sistematis merasa lebih tertekan. Sebaliknya, ekstroversi

mempengaruhi emosi positif, sedangkan neurotisisme secara independen

mempengaruhi emosi negatif. Oleh karena itu, orang yang sering

30

mengekspresikan perasaan kesejahteraan psikologis akan cenderung

ditandai dengan stabilitas emosi dan ekstroversi. Ekstrovert belajar untuk

menjadi bahagia lebih cepat dan tidak mudah untuk menjadi sedih.

Sebaliknya dapat diamati pada orang dengan kecenderungan neurotik lebih

cepat menjadi sedih tapi lebih sulit untuk menjadi bahagia. Jelas, lebih

mudah untuk ekstrovert mengalami emosi positif, tapi dia juga lebih

mungkin terlibat dalam situasi yang memfasilitasi emosi positif.

Landau dan Litwin (dalam Singh, Mohan & Anasseri, 2012) telah

membuktikan dalam studi terbaru dalam hubungan antara interaksi sosial

dan kesejahteraan pada orang yang berumur panjang. Mayer, Roberts dan

Barsade (dalam Singh, Mohan & Anasseri, 2012) menyatakan bahwa selain

faktor kepribadian yang disebutkan di atas, kita tidak bisa mengabaikan

fakta bahwa selama dekade terakhir telah ada bukti yang konsisten untuk

hubungan antara kecerdasan emosional yang lebih besar, dipahami sebagai

sebuah kemampuan untuk memahami dan mengelola sendiri kondisi

emosional seseorang, dan sebuah tingkat kesejahteraan psikologis yang

lebih tinggi dan sebuah penyesuaian psikologis yang lebih baik untuk

lingkungan.

Orang dengan kecerdasan emosional yang lebih besar memiliki penguasaan

yang lebih baik terhadap tugas-tugas yang telah ditetapkan dan sebagai

hasil pengalaman sebuah tingkatan kesejahteraan psikologis yang lebih

tinggi. Pada akhirnya, kemampuan untuk mengelola emosi dengan baik

dikaitkan dengan penyesuaian psikologis yang lebih baik terhadap

31

lingkungan. Individu dengan kemampuan mengelola emosi yang baik

memiliki tingkat kesejahteraan psikologis yang lebih tinggi.

B. Rasa Syukur

1. Definisi Rasa Syukur

Kamus Bahasa Inggris Oxford (dalam Emmons & McCullough, 2004)

mendefinisikan rasa syukur sebagai “kualitas atau kondisi berterima kasih;

apresiasi pada sebuah keinginan untuk berbuat kebaikan”. Rasa syukur tidak

hanya disebut kebaikan yang tertinggi, tetapi adalah orang tua dari semua yang

lain, ingatan moral dari umat manusia, kekuatan yang menarik pada arah

perubahan pada alam semesta, kunci yang akan membuka semua pintu, kualitas

yang menjaga kita tetap awet muda.

Pruyser (dalam Emmons & McCullough, 2004) menyatakan kata gratitude

berasal dari bahasa latin yaitu gratia yang berarti kelembutan, kebaikan hati atau

terima kasih. Carman dan Streng (dalam Emmons & McCullough, 2004)

menyatakan bahwa rasa syukur tidak hanya anugerah tertinggi manusia dalam

ajaran agama Yahudi, Kristen, Muslim, Buddha, dan Hindu tetapi juga dianggap

sebagai kualitas yang tiada tara dalam tradisi mereka, yang bernilai fundamental

untuk hidup yang lebih baik. Harned (dalam Emmons & McCullough, 2004)

menyatakan rasa syukur dikatakan untuk menggambarkan sebuah sikap terhadap

pemberi, dan sebuah sikap terhadap hadiah, sebuah kepastian untuk memakai

pemberian tersebut dengan baik, untuk mempergunakannya dengan

32

menggunakan daya khayal dan dengan akal sehat sesuai persetujuan dengan niat

dari pemberi.

Emmons dan McCullough (2003) menemukan bahwa orang-orang yang

bersyukur tidak hanya menunjukkan keadaan mental yang lebih positif seperti

antusias, tekun, dan penuh perhatian tetapi juga lebih murah hati, peduli, dan

membantu orang lain. Fitzgerald (dalam Emmons & McCullough, 2004)

mengidentifikasi tiga komponen rasa syukur, yaitu perasaan hangat dan memberi

apresiasi terhadap orang lain atau sesuatu, memiliki niat baik kepada seseorang

atau sesuatu, serta kecenderungan untuk bertindak melakukan sesuatu seperti

beribadah kepada Tuhan, menolong orang lain, dan membalas kebaikan orang

lain.

Rasa syukur adalah sesuatu yang menyenangkan. Rasa syukur juga

memberikan motivasi. Ketika kita merasa bersyukur, kita tergerak untuk

membagikan kebaikan yang telah kita dapatkan kepada orang lain. Rasa syukur

adalah sebuah kesadaran bahwa seseorang adalah hanya penerima dari sebuah

kebaikan. Merasa bersyukur membuat seseorang menjadi ingat pertolongan yang

orang lain telah berikan untuk kepentingan kesejahteraan dirinya (Emmons,

2007).

Menurut McCullough, Emmons, dan Tsang (2002) syukur mempengaruhi

afeksi, mood, dan emosi. Rasa syukur sebagai sifat yang lebih mengarah kepada

afeksi ini disebut sebagai disposisi dari rasa syukur. Disposisi rasa syukur

didefinisikan sebagai kecenderungan umum orang untuk mengenali dan

menanggapi emosi berterima kasih atas kebaikan orang lain. Istilah yang

33

digunakan untuk menyebut dimensi diganti oleh istilah yang disebut faset karena

elemen-elemen disposisi rasa syukur berdiri sebagai sebuah kesatuan dan muncul

secara bersama-sama. Faset dari disposisi rasa syukur antara lain: intensity,

frequency, span, dan density.

Menurut Emmons dan McCullough (2003) dengan bersyukur tidak hanya

menunjukkan keadaan mental yang lebih positif (seperti antusias, tekun, dan

penuh perhatian), tetapi juga lebih murah hati, peduli, dan membantu orang lain.

Berdasarkan uraian yang dijelaskan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa

rasa syukur adalah kualitas dan kondisi berterima kasih yang membawa kebaikan

bagi setiap orang yang senantiasa mengamalkannya serta dianggap sebagai

anugerah tertinggi dari Tuhan kepada setiap umat manusia yang bernilai

fundamental untuk kehidupan seseorang agar senantiasa lebih baik. Rasa syukur

juga menimbulkan keinginan untuk membantu orang lain yang kesusahan,

perasaan takjub, berterima kasih dan apresiasi untuk kehidupan. Rasa syukur

memiliki korelasi yang kuat dengan kesejahteraan psikologis.

2. Aspek-aspek Rasa Syukur

Fiztgerald (1998) mengidentifikasi aspek- aspek dari rasa syukur, yaitu :

a. A Warm Sense of Appreciation for somebody or something

Penilaian yang positif dan penghargaan terhadap seseorang atau sesuatu

meliputi perasaan cinta dan kasih sayang.

34

b. A Sense of Goodwill toward that person or thing

Kehendak yang baik (goodwill) yang ditujukan kepada seseorang atau

sesuatu, meliputi keinginan untuk membantu orang lain yang kesusahan

dan keinginan untuk berbagi.

c. A Disposition to Act that flows from appreciation and goodwill

Kecenderungan untuk bertindak positif dengan memberi penilaian positif,

penghargaan, dan berkehendak baik kepada orang lain, lingkungan dan

Tuhan, meliputi intensi menolong orang lain, membalas kebaikan orang

lain, dan beribadah.

McCullough, Emmons, dan Tsang (2002) menyatakan terdapat empat

elemen yang muncul bersamaan dengan munculnya rasa syukur yaitu:

a. Intensity: Kekuatan seseorang untuk merasakan perasaan rasa syukur.

Individu yang memiliki disposisi rasa syukur yang baik akan merasakan

rasa syukur yang sifatnya lebih intens daripada individu dengan disposisi

syukur yang rendah

b. Frequency: Seseorang dengan disposisi syukur yang baik akan lebih

merasa bersyukur setiap harinya dan dapat muncul walau hanya dari

kebaikan orang lain yang sifatnya sederhana.

c. Span: Individu dengan disposisi rasa syukur akan merasa banyak bersyukur

terhadap berbagai hal dan aspek dalam hidupnya. Contohnya seseorang

akan bersyukur atas kesehatan yang dia peroleh, keluarga yang dia miliki,

pekerjaan yang sedang dia lakukan dan kehidupannya sendiri.

d. Density: Mengacu kepada jumlah orang yang individu syukuri atas suatu

manfaat positif yang individu dapatkan. Contohnya saat seseorang diterima

35

di sebuah perguruan tinggi bergengsi maka seseorang tersebut bersyukur

atas anugerah dari Tuhan, dukungan dari orang tuanya, saudaranya, guru,

dan teman-temannya. Orang dengan disposisi syukur yang rendah mungkin

hanya berterima kasih pada orang tuanya saja.

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Rasa Syukur

Menurut McCullough, Emmons, dan Tsang (2002) faktor-faktor yang

mempengaruhi rasa syukur adalah :

a) Emotionality

Satu kecenderungan atau tingkatan dimana seseorang bereaksi secara

emosional dan merasa menilai kepuasan hidupnya.

b) Prosociality

Kecenderungan seseorang untuk diterima oleh lingkungan sosialnya.

c) Religiousness

Berkaitan dengan keagamaan, keimanan, yang menyangkut nilai-nilai

transendental.

C. Perilaku Prososial

1. Definisi Perilaku Prososial

Lewin (1936) melihat perilaku sebagai sebuah fungsi dari seseorang dan

situasi. Menurut Staub, Baron, dan Byrne (dalam Dayakisni & Hudaniah, 2006)

perilaku prososial dapat diartikan sebagai perilaku yang menguntungkan

penerima, tetapi tidak memiliki keuntungan bagi pelakunya. Perilaku yang

36

menghasilkan keuntungan yang substansial bagi orang yang menerima

pertolongan dan perilaku yang membutuhkan pengorbanan dari penolong, dan

keuntungan hanya ditujukan pada orang yang hendak ditolong bukan kepada

penolong. Oleh karena itu perilaku prososial tidak membutuhkan penilaian dari

maksud perilaku tersebut, atau seberapa besar keuntungan atau pengorbanan dari

penolong atau penerima pertolongan tersebut yang terpenting adalah orang yang

menerima pertolongan tersebut telah tertolong.

William (dalam Dayakisni & Hudaniah, 2006) membatasi perilaku

prososial secara lebih rinci sebagai perilaku yang memiliki intensi untuk

mengubah keadaan fisik atau psikologis penerima bantuan dari kurang baik

menjadi lebih baik, dalam arti secara material maupun psikologis, dapat

dikatakan bahwa perilaku prososial bertujuan untuk membantu meningkatkan

well-being orang lain. Batson (dalam Taylor, Peplau & Sears, 2009) menyatakan

perilaku prososial yaitu mencakup setiap tindakan yang membantu atau

dirancang untuk membantu orang lain, terlepas dari motif penolong. Perilaku

prososial bisa dimulai dari tindakan yang sifatnya altruisme yaitu tanpa pamrih

sampai tindakan yang dimotivasi oleh pamrih atau kepentingan pribadi.

Brigham (dalam Dayakisni & Hudaniah, 2006) menyatakan bahwa perilaku

prososial mempunyai maksud untuk menyokong kesejahteraan orang lain,

dengan demikian kedermawanan, persahabatan, kerjasama, menolong,

menyelamatkan, dan pengorbanan merupakan bentuk-bentuk perilaku prososial.

37

Staub (dalam Dayaksini & Hudaniah, 2006) mengatakan bahwa ada tiga

indikator yang menjadi tindakan prososial, yaitu:

1. Tindakan itu berakhir pada dirinya dan tidak menuntut keuntungan pada

pihak pelaku

2. Tindakan itu dilahirkan secara sukarela

3. Tindakan itu menghasilkan kebaikan

Berdasarkan uraian yang telah disebutkan diatas maka dapat ditarik

kesimpulan bahwa perilaku prososial adalah segala bentuk perilaku yang

ditujukan untuk menolong orang lain, dengan tanpa mengharapkan imbalan dari

pertolongannya sehingga orang yang ditolong bisa tertolong dan mendapatkan

keuntungan baik secara materi, fisik maupun psikologis.

2. Aspek-aspek Perilaku Prososial

Aspek-aspek perilaku prososial menurut Eisenberg dan Musen (dalam

Dayakisni & Hudaniah, 2006) adalah:

a. Berbagi

Kesediaan untuk berbagi perasaan dengan orang lain baik dalam suasana

suka maupun duka.

b. Kerjasama

Kesediaan untuk saling bekerja sama dengan orang lain untuk meraih dan

mencapai tujuan.

c. Menolong

Kesediaan untuk menolong orang lain yang sedang mengalami kesulitan.

38

d. Bertindak jujur

Kesediaan untuk melakukan sesuatu apa adanya tanpa berbuat curang.

e. Berderma

Kesediaan untuk memberikan sebagian barang miliknya kepada orang lain

yang membutuhkan secara sukarela.

Aspek-aspek perilaku prososial yang dipakai dalam penelitian ini adalah

berbagi, kerjasama, menolong, berbuat jujur, dan berderma.

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perilaku Prososial

Taylor, Peplau, dan Sears (2009) menyatakan faktor-faktor yang dapat

mempengaruhi seseorang melakukan perilaku prososial. Faktor-faktor tersebut

diantaranya:

1. Karakteristik dari Penolong

a. Mood dan Menolong

Isen dan Levin (dalam Taylor dkk, 2009) mengatakan banyak bukti

yang menunjukkan bahwa orang akan bersedia menolong apabila berada

dalam keadaan good mood, misalnya setelah menemukan uang, baru

mendapat hadiah, atau setelah mendengar musik yang menyenangkan.

Nampaknya perasaan positif menaikkan kesediaan seseorang untuk

melakukan tindakan prososial. Kemungkinan lainnya adalah keadaan

mood positif mungkin menyebabkan kita punya pikiran yang lebih

positif. Sedangkan Carlson dan Miller (dalam Taylor dkk, 2009)

mengatakan untuk efek bad mood terhadap tindakan menolong ternyata

39

lebih kompleks dan riset menunjukkan hasil yang tidak konsisten. Jika

mood buruk membuat kita lebih fokus pada diri dan kebutuhan kita,

maka ini akan menurunkan kemungkinan kita untuk membantu orang

lain. Ciadini (dalam Taylor dkk, 2009) mengatakan di sisi lain, jika kita

menganggap tindakan membantu orang lain menyebabkan diri kita

merasa lebih baik dan mengurangi mood negatif, maka kita lebih

mungkin untuk memberi bantuan. Tindakan membantu orang lain dalam

mood negatif dikarenakan negative-state relief model (model peredaan

keadaan negatif) untuk menjelaskan mengapa mood negatif justru

meningkatkan tindakan membantu. Menurut pendapat ini, orang dalam

keadaan mood buruk termotivasi untuk meredakan

ketidaknyamanannya. Jika ada kesempatan membantu dan kita

menganggap itu dapat memperbaiki mood kita, maka kita akan

menawarkan bantuan.

b. Motif Pemberian Pertolongan: Empati dan Kesedihan Personal

Kesedihan personal adalah reaksi emosional kita terhadap penderitaan

orang lain seperti perasaan terkejut, ngeri, waspada, prihatin, atau tak

berdaya. Kesedihan personal terjadi ketika menyaksikan suatu kejadian

yang membuat kita tenggelam dalam reaksi emosional sedangkan

empati adalah perasaan simpati dan perhatian kepada orang lain,

khususnya pada orang yang menderita. Kesedihan personal

menyebabkan kita cemas dan prihatin; empati menyebabkan kita merasa

simpati dan sayang. Lebih jauh, keinginan membantu yang dimotivasi

oleh keinginan untuk mereduksi ketidaknyamanan pribadi adalah

40

tindakan egoistis, bukan altruistik. Sebaliknya empati biasanya

memotivasi kita untuk menolong karena tujuan empati adalah

memperbaiki keadaan orang lain, empati merupakan motif altruistik.

c. Karakteristik Personal

Knight (dalam Taylor dkk, 2009) menyatakan ada ciri tertentu dari

personalitas orang dalam membantu pada situasi spesifik. Sebuah studi

menemukan bahwa orang dewasa dengan kebutuhan tinggi untuk

mendapat persetujuan sosial lebih mungkin untuk menyumbangkan

uang ketimbang individu dengan kebutuhan persetujuan sosial yang

rendah. Menurut Satow (dalam Taylor dkk, 2009) individu dengan

kebutuhan tinggi untuk mendapat persetujuan sosial menyumbang hanya

jika ada orang lain yang melihatnya. Orang dengan kebutuhan

persetujuan sosial yang tinggi mungkin termotivasi oleh keinginan

mendapat pujian dari orang lain, karena itulah individu bertindak

prososial ketika tindakan baik itu dilihat oleh orang lain.

d. Gender dan Tindakan Menolong

Sesuai peran tradisional pria sebagai pelindung, laki-laki lebih mungkin

untuk memberi bantuan pada tindakan yang dianggap heroik seperti

menyelamatkan orang yang tenggelam atau seseorang yang diserang.

Kekuatan fisik dan latihan olahraga mungkin mempengaruhi perbedaan

jenis kelamin ini. Laki-laki dalam setting yang lebih umum cenderung

lebih mungkin membantu orang asing yang sedih atau tertekan

ketimbang perempuan. Secara umum peran sosial wanita cenderung

pada perilaku prososial pengasuhan, seperti merawat anak kecil,

41

menghibur teman, atau berbicara dengan orang lanjut usia. Crawford

dan Unger (dalam Taylor dkk, 2009) menyatakan wanita lebih mungkin

ketimbang pria untuk memberi perawatan pada keluarga, mengambil

tanggung jawab merawat anak dan orang tua, dengan kata lain pria dan

wanita cenderung terspesialisasi dalam tipe pemberian bantuan yang

berbeda-beda.

2. Karakteristik Situasi

a. Kehadiran Orang Lain

Latane dan Darley (dalam Taylor dkk, 2009) menyatakan kehadiran

orang lain mengurangi kemungkinan setiap orang akan memberi

bantuan pada orang asing yang kesulitan. Ini disebut sebagai bystander

effect (efek orang sekitar). Semakin banyak orang yang hadir, semakin

kecil kemungkinan individu akan memberi bantuan, dan semakin lama

jeda sebelum bantuan diberikan.

b. Kondisi Lingkungan

Setting fisik mempengaruhi tindakan menolong. Banyak riset telah

mendokumentasikan dampak dari kondisi lingkungan terhadap tindakan

membantu. Ahmed (dalam Taylor dkk, 2009) dalam risetnya

menunjukkan bahwa orang lebih mungkin membantu pengendara motor

yang jatuh pada cuaca cerah ketimbang pada cuaca hujan. Ringkasnya,

cuaca mempengaruhi tindakan menolong. Levine (dalam Taylor dkk,

2009) dalam studinya menemukan bahwa tindakan menolong lebih

sering terjadi di kota dengan kepadatan penduduk rendah dan dengan

tingkat kejahatan yang rendah.

42

c. Tekanan Waktu

Menurut eksperimen yang dilakukan oleh Darley dan Batson (dalam

Taylor dkk, 2009) orang yang terburu-buru lebih kecil kemungkinannya

untuk menolong orang lain, terutama ketika seseorang dituntut untuk

datang tepat waktu.

Staub (dalam Dayakisni & Hudaniah 2006) mengemukakan beberapa

faktor yang mendasari seseorang untuk bertindak prososial, yaitu:

a. Self-gain

Harapan seseorang untuk mendapatkan sesuatu atau menghindari

kehilangan sesuatu, misalnya ingin mendapatkan pengakuan, pujian atau

takut dikucilkan.

b. Personal values and norms

Adanya nilai-nilai dan norma sosial yang diinternalisasikan oleh individu

selama bersosialisasi dan sebagian nilai-nilai dan norma tersebut berkaitan

dengan perilaku prososial, seperti kewajiban untuk menegakkan kebenaran

dan keadilan serta adanya timbal balik.

c. Empathy

Kemampuan seseorang untuk merasakan apa yang dirasakan oleh orang

lain. Prasyarat untuk bisa berempati individu harus memiliki kemampuan

untuk mengambil peran.

Berdasarkan penjelasan diatas faktor-faktor perilaku prososial yang

digunakan dalam penelitian ini adalah faktor-faktor perilaku prososial dari

Dayaksini & Hudaniah (2006) yang terdiri dari self-gain, personal values and

norms, dan emphaty.

43

D. Remaja Akhir

1. Definisi Remaja Akhir

Muss (dalam Sarwono, 2012) menyatakan bahwa remaja dalam bahasa

inggris yaitu adolescence berasal dari kata latin adolescere yang artinya tumbuh

kearah kematangan. Kematangan disini tidak hanya berarti kematangan fisik,

tetapi terutama kematangan sosial-psikologis. Hurlock (dalam Ali & Asrori,

2012) menyatakan dalam perkembangan lebih lanjut, istilah adolescence

sesungguhnya memiliki arti yang luas, mencakup kematangan mental, emosional,

sosial dan fisik. Pandangan ini didukung Piaget (dalam Ali & Asrori, 2012) yang

mengatakan bahwa secara psikologis, remaja adalah suatu usia dimana individu

menjadi terintegrasi ke dalam masyarakat dewasa, suatu usia dimana anak tidak

merasa bahwa dirinya berada di bawah tingkat orang yang lebih tua melainkan

merasa sama, atau paling tidak sejajar.

Shaw dan Constanzo (dalam Ali & Asrori, 2012) menyatakan bahwa

remaja sedang mengalami perkembangan pesat dalam aspek intelektual.

Transformasi intelektual dari cara berpikir remaja memungkinkan remaja tidak

hanya mampu mengintegrasikan dirinya ke dalam masyarakat dewasa, tapi juga

merupakan karakteristik yang paling menonjol dari semua periode

perkembangan. Mappiare dalam (Ali & Asrori, 2012) menyatakan masa remaja

dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu remaja awal dan remaja akhir. Hurlock

(dalam Sarwono, 2012) menyatakan remaja akhir adalah suatu masa dimana

individu telah mencapai transisi perkembangan yang mendekati masa dewasa.

44

Blos (dalam Sarwono, 2012) menyatakan bahwa remaja akhir adalah masa

konsolidasi menuju periode dewasa dan ditandai dengan pencapaian lima hal

yaitu minat yang makin mantap pada fungsi-fungsi intelektual, mencari

kesempatan untuk bisa bersatu dengan orang lain dan pengalaman-pengalaman

baru, terbentuk identitas seksual yang tidak akan berubah, mampu

menyeimbangkan antara kepentingan diri sendiri dengan orang lain, dan mampu

memisahkan antara diri pribadi dengan masyarakat umum.

Berdasarkan definisi yang sudah dipaparkan diatas, dapat ditarik

kesimpulan bahwa masa remaja akhir adalah masa transisi individu yang

semakin dekat untuk mencapai kedewasaan.

2. Pembagian Usia Remaja

Menurut Mappiare (dalam Ali & Asrori, 2012) rentang usia remaja ini

dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu usia 12-18 tahun adalah remaja awal dan

usia 18-22 tahun adalah remaja akhir.

Blos (dalam Sarwono, 2012) menyebutkan ada tiga tahap perkembangan

remaja, yaitu:

a. Remaja awal (early adolescence)

Seorang remaja pada tahap ini masih terheran-heran akan perubahan-

perubahan-perubahan yang terjadi pada tubuhnya sendiri dan dorongan-

dorongan yang menyertai perubahan-perubahan itu. Remaja awal

mengembangkan pikiran-pikiran baru, cepat tertarik pada lawan jenis, dan

mudah terangsang secara erotis. Remaja awal ketika bahunya dipegang oleh

lawan jenis, sudah membuatnya berfantasi erotis. Kepekaan yang berlebih-

45

lebihan ini ditambah dengan berkurangnya kendali terhadap “ego”

menyebabkan para remaja awal ini sulit mengerti dan dimengerti orang

dewasa.

b. Remaja madya ( middle adolescence)

Pada tahap ini remaja sangat membutuhkan kawan-kawan. Remaja

senang jika banyak teman yang menyukainya, ada kecenderungan

“narcistic”, yaitu mencintai diri sendiri, dengan menyukai teman-teman

yang punya sifat-sifat yang sama dengan dirinya. Remaja berada dalam

kondisi kebingungan karena tidak tahu harus memilih yang mana: peka atau

tidak peduli, ramai-ramai atau sendiri, optimis atau pesimistis, idealis atau

materialis, dan sebagainya. Remaja pria harus membebaskan diri dari

Oedipus Complex (perasaan cinta pada ibu sendiri pada masa kanak-kanak)

dengan mempererat hubungan dengan kawan-kawan dari lain jenis.

c. Remaja akhir (late adolescence)

Tahap ini adalah masa konsolidasi menuju periode dewasa dan

ditandai dengan pencapaian lima hal, yaitu: Minat yang makin mantap

terhadap fungsi-fungsi intelek, egonya mencari kesempatan untuk bersatu

dengan orang-orang lain dan dalam pengalaman-pengalaman baru, terbentuk

identitas seksual yang tidak akan berubah lagi, egosentrisme (terlalu

memusatkan perhatian pada diri sendiri) diganti dengan keseimbangan

antara kepentingan diri sendiri dengan orang lain, tumbuh “dinding” yang

memisahkan diri pribadinya (private self) dan masyarakat umum (the

public).

46

Said (2015) membagi usia remaja menjadi tiga fase dimana setiap fase

memiliki keistimewaannya sendiri-sendiri. Fase tingkatan umur remaja tersebut,

yaitu:

a. Remaja awal

Remaja berada pada rentang usia 12 sampai 15 tahun. Remaja pada

tahap ini umumnya sedang duduk di masa Sekolah Menengah Pertama

(SMP). Ciri khas remaja pada fase ini adalah berubahnya bentuk fisik

dengan cepat.

b. Remaja pertengahan

Remaja berada pada rentang usia 15 sampai 18 tahun. Remaja pada

tahap ini umumnya sedang duduk di masa Sekolah Menengah Atas (SMA).

Ciri khas remaja pada fase ini adalah mulai sempurnanya perubahan fisik

pada remaja sehingga fisiknya sudah menyerupai fisik orang dewasa.

c. Remaja akhir (late adolescence)

Remaja berada pada rentang usia 18 sampai 21 tahun. Remaja pada

tahap ini umumnya tengah menempuh pendidikan di perguruan tinggi, jika

tidak melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi remaja pada fase ini

biasanya sudah bekerja dan membantu menafkahi anggota keluarga. Ciri

khas pada fase ini adalah seorang remaja sudah menjadi seseorang yang

dewasa dari sisi bentuk fisik maupun sikap.

47

3. Kebutuhan Remaja Dalam Perkembangannya

Kebutuhan psikologis adalah kebutuhan yang paling penting bagi remaja

karena sangat berpengaruh terhadap perilaku seorang remaja dalam

kehidupannya. Adapun kebutuhan psikologis dari remaja menurut Said (2015)

antara lain:

a. Ketenangan, kedamaian, dan kestabilan jiwa

b. Kesempatan berekspresi dan mengembangkan potensi diri

c. Cinta dan kasih sayang

d. Pujian, motivasi, dan penghargaan yang tinggi

e. Dikenal oleh orang lain, diterima, dan dihargai oleh masyarakat di

sekitarnya

f. Kebebasan dan rasa merdeka

g. Sosialisasi dalam kehidupan dan kesetiakawanan

h. Kesuksesan dan prestasi

i. Pendidikan agama, pengarahan dan bimbingan

4. Tugas-Tugas Perkembangan Remaja

Havighurst (dalam Ali & Asrori, 2012) mendefinisikan tugas

perkembangan adalah tugas yang muncul pada saat atau sekitar suatu periode

tertentu dari kehidupan individu, yang jika berhasil akan menimbulkan fase

bahagia dan membawa kearah keberhasilan dalam melaksanakan tugas-tugas

berikutnya tetapi kalau gagal akan menimbulkan rasa tidak bahagia dan kesulitan

dalam menghadapi tugas-tugas berikutnya, ada sejumlah tugas perkembangan

remaja yang penting, yaitu:

48

a. Mencapai hubungan baru yang lebih matang dengan teman sebaya baik

pria maupun wanita.

b. Mencapai peran sosial pria dan wanita.

c. Menerima keadaan fisiknya dan menggunakannya secara efektif.

d. Mencari kemandirian emosional dari orang tua dan orang-orang dewasa

lainnya.

e. Mencapai jaminan kebebasan ekonomis.

f. Memilih dan menyiapkan lapangan pekerjaan.

g. Persiapan untuk memasuki kehidupan berkeluarga.

h. Mengembangkan ketrampilan intelektual dan konsep yang penting untuk

kompetensi kewarganegaraan.

i. Memperoleh himpunan nilai-nilai dan etika sebagai pedoman untuk

bertingkah laku.

E. IMA Fakultas Kedokteran Universitas Udayana

1. Latar Belakang Berdirinya IMA Fakultas Kedokteran Universitas Udayana

Islamic Medical Activists (IMA) awalnya terbentuk dari kesadaran mahasiswa

bahwa bangsa Indonesia berkewajiban mengisi kemerdekaan dalam wadah Negara

Kesatuan Republik Indonesia menuju masyarakat yang adil dan makmur yang

diridhoi oleh Tuhan Yang Maha Esa. Mahasiswa Indonesia yang termasuk di

dalamnya adalah mahasiswa Muslim merupakan bagian integral dari bangsa

Indonesia yang merupakan penerus dan pewaris masa depan bangsa guna

49

meneruskan pembangunan sebagai bagian dari perjuangan mengisi kemerdekaan

(Anggaran Dasar IMA, 2015).

Mahasiswa Muslim Indonesia, sebagai generasi muda yang sadar atas hak dan

kewajibannya, peranan dan tanggung jawabnya terhadap nusa dan bangsa bertekad

memberikan darma baktinya untuk mewujudkan nilai-nilai yang terdapat dalam

kitab suci Al-Qur’an. Bahwa untuk kesempurnaan pendidikan bagi mahasiswa

Muslim Indonesia dimanapun berada termasuk yang ada di Fakultas Kedokteran

Universitas Udayana Denpasar Bali sebagai generasi penerus perjuangan bangsa

yang bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, bernuansa sosial, berwawasan

cendekia, berdimensi menjangkau masa yang akan datang, maka sepatutnya

memperoleh jaminan kesejahteraan yang layak (anggaran dasar IMA, 2015).

Mahasiswa Muslim yang terdorong oleh hasrat yang luhur dan murni serta

meyakini bahwa tujuan ini hanya dapat dicapai dengan usaha-usaha yang teratur,

terencana dan penuh tanggung jawab, maka mahasiswa Muslim Fakultas

Kedokteran Universitas Udayana menghimpun diri dalam suatu organisasi yang

berdasarkan kekeluargaan yang didirikan di Denpasar, Bali tahun 1989 dengan

nama Islamic Medical Activists (IMA) Fakultas Kedokteran Universitas Udayana

(anggaran dasar IMA, 2015).

2. Azas, Tujuan, Sifat, dan Usaha-Usaha IMA Fakultas Kedokteran Universitas

Udayana

Islamic Medical Activists (IMA) sebagai sebuah organisasi memiliki azas,

tujuan, sifat dan usaha-usaha organisasi yang sudah tercantum secara sah dalam

anggaran dasar IMA tahun 2015. Organisasi IMA adalah organisasi yang

50

berazaskan nilai luhur yang terkandung dalam kitab suci Al-Qur’an (anggaran dasar

IMA, 2015).

Organisasi IMA memiliki tujuan-tujuan organisasi yang dimuat dalam

anggaran dasar IMA tahun 2015 antara lain:

a. Sebagai wadah untuk menanamkan nilai-nilai Islami dalam membentuk

individu Muslim dan generasi Islami yang diridhoi Tuhan Yang Maha Esa.

b. Sebagai wadah untuk mencetak kader pemimpin di bidang kesehatan.

c. Sebagai wadah untuk membangun silaturahmi dan persaudaraan sesama

mahasiswa Muslim.

Organisasi IMA adalah organisasi kemahasiswaan yang bersifat independen

dan kekeluargaan (anggaran dasar IMA, 2015).

Organisasi IMA juga memiliki usaha-usaha dalam organisasi yang dimuat

dalam anggaran dasar IMA tahun 2015 antara lain:

a. Meningkatkan kesejahteraan anggota.

b. Membina kepribadian anggota yang bermoral dan berakhlak Islami dan

profesionalitas dalam bidang Kedokteran melalui pembinaan yang

berkelanjutan.

c. Mengembangkan potensi kreatif dan keilmuan.

d. Membina kehidupan beragama, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

e. Berperan aktif dalam dunia pendidikan, serta berpartisipasi secara

konstruktif dan kreatif dalam pembangunan masyarakat.

51

3. Sumber Keuangan Organisasi IMA Fakultas Kedokteran Universitas Udayana

Sumber keuangan yang digunakan oleh organisasi IMA dalam menjalankan

program dari organisasi, seperti yang dimuat dalam anggaran dasar IMA tahun 2015

berasal dari:

a. Sumbangan sukarela dari alumni.

b. Sumbangan sukarela dari anggota IMA.

c. Sumbangan dari donator yang tidak mengikat.

d. Usaha-usaha lain yang sah dan halal.

e. Sisa dana dari kegiatan-kegiatan IMA yang telah lalu.

4. Keanggotaan Organisasi IMA Fakultas Kedokteran Universitas Udayana

Anggota IMA berdasarkan yang tercantum dalam anggaran rumah tangga

IMA tahun 2015 terdiri dari:

a. Anggota utama yaitu seluruh mahasiswa Muslim yang sedang menempuh

studi di Fakultas Kedokteran Universitas Udayana.

b. Anggota kehormatan yaitu dokter Muslim alumni Fakultas Kedokteran

Universitas Udayana.

c. Anggota utama IMA berkewajiban untuk mengikuti

pengkaderan/pembinaan organisasi secara berjenjang yang memiliki tujuan

untuk meningkatkan kualitas individu anggota IMA, meningkatkan

pengetahuan tentang organisasi IMA, dan membekali anggota IMA

pengetahuan tentang keorganisasian serta kepemimpinan.

d. Tahap pertama pengkaderan anggota IMA berupa pelaksanaan kajian rutin

dalam bentuk micro teaching secara berkelanjutan yang diawali dengan

52

temu warga baru (TAWABA) IMA Fakultas Kedokteran Universitas

Udayana. Muatan pengkaderan tahap pertama adalah melakukan kajian

rutin tentang keagamaan dan seluk beluk perkuliahan di Fakultas

Kedokteran.

e. Tahap kedua pengkaderan anggota IMA berupa annual training of Islamic

Medical Activists student intensively (ANIMASI). Muatan pengkaderan

tahap kedua adalah penanaman keimanan dan ketakwaan serta wawasan

organisasi IMA Fakultas Kedokteran Universitas Udayana.

F. Hubungan Rasa Syukur dan Perilaku Prososial terhadap Psychological Well-Being

pada Remaja Akhir

Masa remaja adalah peralihan masa perkembangan antara masa kanak-kanak ke

masa dewasa yang meliputi perubahan besar pada aspek fisik, kognitif, dan psikososial

(Papalia dkk, 2009). Masa remaja dibagi menjadi tiga fase yaitu, remaja awal yang berada

pada rentang usia 12-15 tahun, remaja madya yang berada pada rentang usia 15-18 tahun,

dan remaja akhir yang berada pada rentang usia 18-21 tahun (Said, 2015). Tahap remaja

akhir adalah masa konsolidasi menuju kedewasaan yang ditandai dengan minat yang

makin mantap terhadap potensi yang dimiliki, menurunkan ego agar bisa bersatu dengan

orang lain dan pengalaman baru, terbentuk identitas seksual yang tidak akan berubah,

terjadinya keseimbangan antara kepentingan diri sendiri dan orang lain serta telah mampu

memisahkan diri pribadinya dan masyarakat umum (Sarwono, 2012).

53

Ciri khas dalam perkembangan pada fase remaja membawa pada konsekuensi

kebutuhan psikologis yang khas pula bagi remaja (Said, 2015). Remaja akhir yang

kebutuhan psikologisnya terpenuhi akan memperoleh suatu kepuasan hidup yang

membuat dirinya merasa gembira, harmonis, dan produktif. Selain kebutuhan psikologis

yang harus dipenuhi, remaja juga harus melakukan tugas-tugas pada fase

perkembangannya. Tugas perkembangan pada masa remaja difokuskan pada upaya

meninggalkan sikap dan perilaku kekanak-kanakan serta berusaha untuk mencapai

kemampuan bersikap dan berperilaku secara dewasa. Havighurts (dalam Ali & Asrori,

2012) menyatakan jika remaja berhasil menjalankan tugas-tugas perkembangannya maka

akan menimbulkan perasaan bahagia dan membawa ke arah keberhasilan dalam

melaksanakan tugas-tugas berikutnya.

Remaja akhir yang mampu memenuhi dan menyelesaikan kebutuhan psikologis

serta tugas perkembangan akan memperoleh kepuasan dan kebahagiaan. Sejalan dengan

pendapat Santrock (2002) bahwa kepuasan hidup merupakan bagian dari kesejahteraan

psikologis. Kondisi seperti ini mengarahkan remaja pada kesejahteraan secara psikologis

yang biasa disebut psychological well-being. Psychological well-being adalah kondisi

dimana seseorang memiliki kemampuan yang terdiri dari enam aspek yaitu, menerima diri

sendiri maupun kehidupannya di masa lalu, pengembangan diri, keyakinan bahwa

hidupnya bermakna, memiliki tujuan, memiliki kualitas hubungan positif dengan orang

lain, kapasitas untuk mengatur kehidupan di lingkungan secara efektif dan kemampuan

menentukan tindakan sendiri (Ryff, 1989).

Rasa syukur ternyata dapat mempengaruhi kesejahteraan psikologis seseorang.

Penelitian dari Wood, Joseph, dan Maltby (2008) yang melibatkan responden dengan

54

rentang usia 18-55 tahun menemukan bahwa rasa syukur berhubungan secara signifikan

dengan kepuasan hidup. Rasa syukur memiliki hubungan yang kuat dengan aspek

pertumbuhan pribadi, aspek hubungan positif dengan orang lain, dan aspek penerimaan

diri pada psychological well-being. Hubungan ini menunjukkan bahwa rasa syukur adalah

prediktor penting dari psychological well-being. Remaja akhir yang senantiasa mengenali

dan menanggapi emosi berterima kasih atas kebaikan orang lain yang dimanifestasikan

melalui perasaan bersyukur yang kuat (intensity), merasa bersyukur setiap hari

(frequency), banyak bersyukur terhadap berbagai aspek kehidupannya (span), dan

mengacu pada jumlah orang yang remaja syukuri atas suatu manfaat positif yang

didapatkannya (density) akan menyebabkan psychological well-being remaja meningkat.

Psychological well-being remaja akhir juga bisa ditingkatkan lewat pengembangan

perilaku-perilaku yang positif. Perilaku positif tersebut bisa berwujud perilaku prososial.

Menurut Santrock (2007) perilaku prososial banyak dilakukan di masa remaja

dibandingkan masa kanak-kanak. William (dalam Dayakisni & Hudaniah, 2006)

membatasi perilaku prososial secara lebih rinci sebagai perilaku yang memiliki intensi

untuk mengubah keadaan fisik atau psikologis penerima bantuan dari kurang baik menjadi

lebih baik, dalam arti secara material dan psikologis, dalam hal ini dapat dikatakan bahwa

perilaku prososial bertujuan untuk meningkatkan well-being orang lain.

Eisenberg dan Musen (dalam Dayakisni & Hudaniah, 2006) mengungkapkan aspek-

aspek perilaku prososial diantaranya berbagi, kerjasama, menolong, berbuat jujur dan

berderma. Hasil riset dari Williamson dan Clark (dalam Taylor dkk, 2009) menunjukkan

bahwa perasaan mahasiswa menjadi lebih senang ketika bisa memberi pertolongan kepada

orang lain dibandingkan mahasiswa yang tidak diberi kesempayan untuk menolong.

55

Mahasiswa yang memberi pertolongan juga mengatakan bahwa merasa dirinya lebih baik

seperti lebih sabar, tidak egois, dan dapat diandalkan. Riset membuktikan bahwa

seseorang yang melakukan perilaku prososial bisa membuat kondisi perasaannya menjadi

lebih baik yang tentu akan mempengaruhi psychological well-being seseorang.

Bagan hubungan antara rasa syukur dan perilaku prososial terhadap psychological

well-being pada remaja akhir bisa dilihat pada gambar 1.

56

Gambar 1. Bagan hubungan antar variabel.

Keterangan Gambar 1.

: Variabel yang diteliti

: Aspek dari variabel yang diteliti

: Hubungan variabel bebas terhadap variabel tergantung

: Garis aspek variabel yang diteliti

a. Intensity

b. Frequency

c. Span

d. Density

RASA SYUKUR

PERILAKU

PROSOSIAL

a. Berbagi

b. Kerjasama

c. Menolong

d. Berbuat jujur

e. Berderma

PSYCHOLOGICAL

WELL_BEING REMAJA

AKHIR ANGGOTA

ISLAMIC MEDICAL

ACTIVISTS

a. Self acceptance (penerimaan

diri)

b. Positive relations with others

(hubungan positif dengan orang

lain)

c. Autonomy (Kemandirian)

d. Environtmental mastery

(Penguasaan lingkungan)

e. Purpose in life (Tujuan hidup)

f. Personal growth

(Pertumbuhan pribadi)

REMAJA AKHIR

ANGGOTA ISLAMIC

MEDICAL ACTIVISTS

57

E.Hipotesis Penelitian

Hipotesis Mayor

1. Rasa syukur dan perilaku prososial diyakini memiliki hubungan fungsional terhadap

psychological well-being pada remaja akhir anggota Islamic medical activists

Fakultas Kedokteran Universitas Udayana.

Hipotesis Minor

1. Rasa syukur diyakini memiliki hubungan fungsional terhadap psychological well-

being pada remaja akhir anggota Islamic medical activists Fakultas Kedokteran

Universitas Udayana.

2. Perilaku prososial diyakini memiliki hubungan fungsional terhadap psychological

well-being pada remaja akhir anggota Islamic Medical Activists Fakultas

Kedokteran Universitas Udayana.