BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Perilaku Altruisme pada ...eprints.mercubuana-yogya.ac.id/3640/3/BAB...

12
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Perilaku Altruisme pada Mahasiswa Psikologi 1. Pengertian Perilaku Altruisme Istilah altruisme (altruism) digunakan pertama kali pada abad ke-19 oleh filsuf Auguste Comte. Altruisme berasal dari kata Yunani “alteriyang berarti orang lain. Penggunaan istilah “alteri” oleh Comte pada dasarnya untuk menjelaskan bahwa setiap orang yang hidup di muka bumi ini memiliki sebuah tanggung jawab moral untuk melayani umat manusia sepenuhnya, sehingga setiap orang harus memiliki sikap dan perilaku yang tidak hanya mementingkan diri sendiri, tetapi lebih mengutamakan kepentingan orang lain. Altruisme adalah sebuah bentuk yang spesifik dari perilaku yang menguntungkan orang lain tapi tidak ada ekspektasi akan memperoleh keuntungan pribadi (Crisp dan Turner, 2007). Contoh dari altruisme adalah menyelamatkan seseorang dari tertabrak kereta api secara spontan. Usaha menolong ini memng menguntungkan bagi orang lain, namun tidak dapat dipungkiri menyisakan kemungkinan adanya resiko bagi penolong. Batson (1943) menyatakan bahwa altruisme adalah keadaan termotivasi yang dilakukan untuk mencapai kesejahteraan orang lain. Perilaku atau tindakan altruisme merupakan bentuk perilaku sosial yang ditujukan untuk kebaikan orang lain. Pernyataan ini seperti diungkap oleh Walstern dan Piliavin (Huffman dkk, 1997) perilaku altruisme adalah

Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Perilaku Altruisme pada ...eprints.mercubuana-yogya.ac.id/3640/3/BAB...

Page 1: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Perilaku Altruisme pada ...eprints.mercubuana-yogya.ac.id/3640/3/BAB II.pdfaltruisme, namun ia akan melakukan kerja nyata didalam kehidupannya, sebagai contoh:

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Perilaku Altruisme pada Mahasiswa Psikologi

1. Pengertian Perilaku Altruisme

Istilah altruisme (altruism) digunakan pertama kali pada abad ke-19

oleh filsuf Auguste Comte. Altruisme berasal dari kata Yunani “alteri”

yang berarti orang lain. Penggunaan istilah “alteri” oleh Comte pada

dasarnya untuk menjelaskan bahwa setiap orang yang hidup di muka bumi

ini memiliki sebuah tanggung jawab moral untuk melayani umat manusia

sepenuhnya, sehingga setiap orang harus memiliki sikap dan perilaku yang

tidak hanya mementingkan diri sendiri, tetapi lebih mengutamakan

kepentingan orang lain.

Altruisme adalah sebuah bentuk yang spesifik dari perilaku yang

menguntungkan orang lain tapi tidak ada ekspektasi akan memperoleh

keuntungan pribadi (Crisp dan Turner, 2007). Contoh dari altruisme

adalah menyelamatkan seseorang dari tertabrak kereta api secara spontan.

Usaha menolong ini memng menguntungkan bagi orang lain, namun tidak

dapat dipungkiri menyisakan kemungkinan adanya resiko bagi penolong.

Batson (1943) menyatakan bahwa altruisme adalah keadaan

termotivasi yang dilakukan untuk mencapai kesejahteraan orang lain.

Perilaku atau tindakan altruisme merupakan bentuk perilaku sosial yang

ditujukan untuk kebaikan orang lain. Pernyataan ini seperti diungkap oleh

Walstern dan Piliavin (Huffman dkk, 1997) perilaku altruisme adalah

Page 2: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Perilaku Altruisme pada ...eprints.mercubuana-yogya.ac.id/3640/3/BAB II.pdfaltruisme, namun ia akan melakukan kerja nyata didalam kehidupannya, sebagai contoh:

perilaku menolong (perilaku altruisme) yang timbul bukan karena adanya tekanan

atau kewajiban, melainkan tindakan tersebut bersifat suka rela dan tidak berdasarkan

norma–norma tertentu, tindakan tersebut juga dapat merugikan penolong, karena

meminta pengorbanan waktu, usaha, uang dan tidak ada imbalan atau pun reward dari

semua tindakan tersebut.

Menurut Cohen (Sampson, 1976) perilaku altruisme diawali adanya suatu

keinginan untuk memberikan memberikan pertolongan tanpa mengharapkan imbalan.

Lebih lanjut Bartal, dkk (dalam Desmita, 2010) mendefinisikan altruisme sebagai

tahap dimana individu melakukan tindakan menolong secara sukarela. Perilaku

altruisme yang motifnya untuk mengurangi atau menghilangkan perasaan sedih atau

tekanan personal, maka akan menimbulkan perilaku altruisme yang bersifat egoistik.

Berdasarkan beberapa pengertian yang sudah dipaparkan diatas, dapat

disimpulkan bahwa perilaku altruisme adalah perilaku menolong yang sengaja

ditujukan untuk menguntungkan orang lain yang dilakukan secara suka rela tanpa

adanya imbalan yang dapat menyebabkan kerugian waktu, usaha, uang pada si

penolong dari semua tindakan tersebut.

2. Aspek-aspek Perilaku Altruisme

Menurut Cohen (dalam Sampson, 1976) altruisme terdiri atas aspek – aspek

sebagai berikut:

a. Sifat suka memberi

Perilaku untuk mememnuhi keinginan orang lain, perilaku ini menguntungkan

orang lain yang mendapatkan perlakuan. Contoh: berbagi rezeki dengan orang

yang lebih membutuhkan.

b. Empati

Page 3: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Perilaku Altruisme pada ...eprints.mercubuana-yogya.ac.id/3640/3/BAB II.pdfaltruisme, namun ia akan melakukan kerja nyata didalam kehidupannya, sebagai contoh:

Suatu kemampuan untuk merasakan keadaan orang lain, kepekaan perasaan yang

dicerminkan dalam perhatian terhadap penderitaan orang lain dan merupakan

dasar untuk melakukan tindakan pertolongan bagi orang lain. Contoh : ikut merasa

sedih ketika teman mengalami musibah dan memberi pertolongan.

c. Sukarela

Tindakan yang dilakukan tanpa adanya keinginan untuk mendapatkan imbalan

apapun dengan perasaan ikhlas untuk kepentingan orang lain. Contoh : menolong

orang lain tanpa mengharapkan balasan dari orang yang ditolong.

Menurut teori Myers (2012) membagi perilaku altruisme dalam tiga aspek yaitu:

a. Memberi perhatian terhadap orang lain

Individu membantu orang lain karena adanya kasih sayang. Pengabdian, kesetiaan

yang diberikan tanpa ada keinginan untuk memperoleh imbalan untuk dirinya

sendiri.

b. Membantu orang lain

Individu dalam membantu orang lain disadari oleh keinginan yang tulus dan hati

nurani dari orang tersebut, tanpa adanya penagruh dari orang lain.

c. Mengutamakan kepentingan orang lain

Dalam membantu orang lain, kepentingan yang bersifat pribadi dikesampingkan

dan lebih mementingkan kepentingan orang lain.

Berdasarkan uraian aspek-aspek perilaku altruisme dari kedua tokoh diatas dapat

disimpulkan bahwa peneliti memilih aspek-aspek sesuai dengan teori Cohen (dalam

Sampson, 1976), yaitu: sifat suka memberi, empati, sukarela. Peneliti memilih ketiga

aspek tersebut karena aspek tersebut lebih rinci untuk menjelaskan altruisme secara

menyeluruh melalui ketiga aspek yang telah dipaparkan diatas.

3. Faktor-faktor yang mempengaruhi Perilaku Altruisme

Page 4: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Perilaku Altruisme pada ...eprints.mercubuana-yogya.ac.id/3640/3/BAB II.pdfaltruisme, namun ia akan melakukan kerja nyata didalam kehidupannya, sebagai contoh:

Menurut Myers (2012) faktor-faktor altruisme adalah sebagai berikut :

a. Faktor yang mempertimbangkan pengaruh-pengaruh internal terhadap

keputusan menolong, hal ini juga termasuk menggambarkan situasi suasana

hati, pencapaian reward, empati, mood seseorang.

b. Faktor eksternal seperti jenis kelamin, kesamaan karakteristik, kedekatan

hubungan, daya tarik antar penolong dan yang ditolong, jumlah pengamatan

lain, tekanan waktu, kondisi lingkungan dan antribusi.

c. Faktor personal, yaitu mempertimbangkan sifat dari penolong, hal ini

mencakup sifat-sifat kepribadian, gender, dan religiusitas subyek (kepercayaan

religius).

Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku altruisme menurut Sarwono (1999)

adalah:

a. Pengaruh situasi, merupakan pengaruh eksternal yang diperlukan sebagai

motivasi yang mungkin timbul dalam diri individu pada situasi itu pengaruh

ini terdiri atas : (1.) Kehadiran orang lain; (2.) Menolong jika orang lain

menolong; (3.) Desakan waktu; (4.) Kemampuan yang dimiliki

b. Pengaruh dari dalam diri individu, sangat berperan pada perilaku individu

dalam menolong yang dapat dibagi dalam : (1.) Perasaan dari dalam diri

individu dapat mempengaruhi perilaku menolong artinya baik perasaan

kasihan maupun perasaan antipasti dapat berpengaruh terhadap motivasi

individu dalam menolong; (2.) faktor sifat-sifat individu memiliki ciri-ciri dan

kualitas yang khas, setiap individu memiliki sifat yang unik dan berbeda

dengan sifat individu yang lain; (3.) Agama, ternyata juga dapat

mempengaruhi perilaku menolong. Menurut penelitian Sappington dan Baker

(dalam Sarwono, 1999), yang berpengaruh pada perilaku menolong bukanlah

Page 5: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Perilaku Altruisme pada ...eprints.mercubuana-yogya.ac.id/3640/3/BAB II.pdfaltruisme, namun ia akan melakukan kerja nyata didalam kehidupannya, sebagai contoh:

seberapa kuatnya ketaatan beragama itu sendiri, melainkan bagaimana

kepercayaan atau keyakinan orang bersangkutan tentang pentingnya menolong

yang lemah seperti yang diajarkan oleh agama.

c. Karakter orang yang ditolong, individu kadang-kadang dipengaruhi oleh

karakteristik orang yang membutuhkan pertolongan apakah orang itu menarik

secara fisik atau ada hal-hal lain yang membuat individu merasa tertarik untuk

memberikan pertolongan.

Berdasarkan uraian faktor-faktor yang dapat mempengaruhi perilaku altruisme

yaitu diantaranya: situasi suasana hati, pencapaian reward, empati, mood seseorang,

jenis kelamin, kesamaan karakteristik, kedekatan hubungan, dan daya tarik antar

penolong dan yang ditolong, jumlah pengamatan lain, tekanan waktu, kondisi

lingkungan dan antribusi, sifat-sifat kepribadian, gender, dan religiusitas. Peneliti

memilih faktor religiusitas, karena religiusitas merupakan keberagamaan yang

dilakukan oleh individu lewat suatu tindakan salah satunya adalah dengan berbuat

baik kepada sesama dengan cara memberikan bantuan tanpa mengharapkan imbalan

atau disebut juga dengan perilaku altruisme.

B. Religiusitas

1. Pengertian Religiusitas

Menurut Ancok dan Suroso (1994) religiusitas adalah keberagaman yang berarti

meliputi berbagai macam sisi atau dimensi yang bukan hanya terjadi ketika seseorang

melakukan perilaku ritual (beribadah), namun juga ketika melakukan aktivitas lain yang

didorong oleh kekuatan supranatural. Sedangkan Nashori dan Mucharam (2002)

mendefinisikan religiusitas sebagai seberapa jauh pengetahuan, seberapa kokoh

keyakinan, seberapa pelaksanaan ibadah dan kaidah, dan seberapa dalam penghayatan

atas agama yang dianut.

Page 6: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Perilaku Altruisme pada ...eprints.mercubuana-yogya.ac.id/3640/3/BAB II.pdfaltruisme, namun ia akan melakukan kerja nyata didalam kehidupannya, sebagai contoh:

Sedangkan Pargament (1999) mendefinisikan religiusitas “is an organizational,

ritualistic, and ideological system“ adalah organisasi, ritualistik, dan sistem ideologis,

senada dengan Piedmont et al. (2009) menyebutkan religiusitas “is concerned with how

one’s experience of a transcendent being is shaped by, and expressed through, community

or social organization.” berhubungan dengan pengalaman manusia sebagai makhluk

transenden yang diekspresikan melalui komunitas/organisasi sosial.

Berdasarkan beberapa uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa religiusitas

adalah bagaimana cara individu dalam mewujudkan aktivitas yang didorong oleh

kekuatan supranatural, bukan hanya bagaimana menjalankan ibadahnya, namun

bagaimana individu tersebut berperilaku dalam kehidupannya melalui perbuatan-

perbuatan baik maupun beramal, seperti : mengutamakan kepentingan orang lain diatas

kepentingan diri sendiri, dan bersedia membantu orang secara sukarela tanpa ada paksaan

maupun imbalan yang diperoleh.

2. Aspek - aspek Religiusitas

Menurut Glock (dalam Ancok dan Suroso, 1994) religiusitas memilki lima aspek :

a. Aspek ideologis

Berisi tingkatan sejauh mana seseorang menerima hal‐hal yang dogmatik dalam

agamanya. Setiap agama mempertahankan seperangkat kepercayaan dimana para

penganutnya diharapkan taat. Misalnya: kepercayaan terhadap Tuhan, surga, dan

neraka.

b. Aspek intelektual

Tentang sejauh mana seseorang mengetahui tentang ajaran‐ajaran

agamanya,tradisi, terutama yang ada di dalam kitab suci.

c. Aspek ritualitas

Page 7: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Perilaku Altruisme pada ...eprints.mercubuana-yogya.ac.id/3640/3/BAB II.pdfaltruisme, namun ia akan melakukan kerja nyata didalam kehidupannya, sebagai contoh:

Mengacu pada tingkatan sejauh mana seseorang mengerjakan kewajiban‐

kewajiban ritual dalam agamanya dan hal-hal yang dilakukan untuk mewujudkan

komitmen terhadap agama yang dianut. Misalnya sembahyang, beramal, berpuasa.

d. Aspek pengalaman

Mengenai perasaan‐perasaan atau pengalaman-pengalaman keagamaan yang

pernah dialami dan dirasakan oleh individu. Misalnya perasan dekat dengan

Tuhan, merasa dilindungi Tuhan, merasa diberkati dan merasa doanya dikabulkan,

serta balasan dari perbuatan yang dilakukannya.

e. Aspek konsekuensi

Mengukur sejauh mana perilaku seseorang dimotivasi oleh ajaran agamanya di

dalam kehidupan sosial. Misalnya apakah dia menjenguk temannya yang sakit,

membantu orang lain yang sedang mengalami kesusahan, serta menolong tanpa

mengharapkan imbalan, dan mengutamakan kepentingan orang lain diatas

kepentingan pribadi.

Lebih lanjut, Ancok dan Nashori (2008) mengungkapkan religiusitas memiliki lima

aspek, yaitu :

a. Pertama akidah, yaitu tingkat keyakinan seorang Muslim terhadap kebenaran

ajaran-ajaran agama Islam.

b. Kedua syariah, yaitu tingkat kepatuhan Muslim dalam mengerjakan kegiatan-

kegiatan ritual sebagaimana disuruh dan dianjurkan dalam agama Islam.

c. Ketiga akhlak, yaitu tingkat perilaku seorang Muslim berdasarkan ajaran-ajaran

agama Islam, bagaimana berealisasi dengan dunia beserta isinya.

d. Keempat pengetahuan agama, yaitu tingkat pemahaman Muslim terhadap ajaran-

ajaran agama Islam, sebagaimana termuat dalam al-Qur’an.

Page 8: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Perilaku Altruisme pada ...eprints.mercubuana-yogya.ac.id/3640/3/BAB II.pdfaltruisme, namun ia akan melakukan kerja nyata didalam kehidupannya, sebagai contoh:

e. Kelima penghayatan, yaitu mengalami perasaan-perasaan dalam menjalankan

aktivitas beragama dalam agama Islam. Konsep dimensi-dimensi religisuitas yang

diungkapkan Ancok dan Nashori (2008), menggambarkan konsep religisuitas

menurut agama Islam.

Berdasarkan uraian aspek-aspek religiusitas dari beberapa tokoh diatas dapat

disimpulkan bahwa peneliti memlih aspek-aspek sesuai dengan teori menurut Glock (dalam

Ancok dan Suroso, 1994) meliputi: aspek ideologi, aspek inteklektual, aspek ritualitas, aspek

pengalaman, dan aspek konsekuensi.

Peneliti memilih menggunakan aspek dari menurut Glock (dalam Ancok dan Suroso,

1994) ini karena dari kelima aspek tersebut lebih mendalam dan menyeluruh yang lebih

dapat mengungkap religiusitas individu. Kelima dimensi tersebut nantinya akan peneliti

jadikan acuan dalam penyusunan alat ukur didalam penelitian.

C. Hubungan Religiusitas dengan Perilaku Altruisme

Setiap agama mengajarkan bahwa manusia harus selalu menjaga keharmonisan antara

makhluk hidup maupun dengan lingkungan sekitarnya agar manusia dapat melanjutkan

kehidupan, karena manusia merupakan makhluk sosial yang saling membutuhkan satu sama

lain di dalam kehidupan bermasyarakat sebagaimana setiap agama mengajarkan untuk

tolong-menolong terhadap sesama manusia sebagai salah satu aktivitas religiusitas.

Religiusitas adalah keberagaman yang berarti meliputi berbagai macam sisi atau dimensi

yang bukan hanya terjadi ketika seseorang melakukan perilaku ritual (beribadah), namun juga

ketika melakukan aktivitas lain yang didorong oleh kekuatan supranatural (Ancok Dkk, 2001)

Individu dengan religiusitas yang tinggi tidak hanya meyakini mengenai perbuatan baik

dan melakukan amal baik hanya dengan membaca dari kitab, mendengarkan ceramah oleh

pemuka agama, atau sekedar menyampaikan dengan ucapan bahwa ia akan berperilaku

altruisme, namun ia akan melakukan kerja nyata didalam kehidupannya, sebagai contoh:

Page 9: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Perilaku Altruisme pada ...eprints.mercubuana-yogya.ac.id/3640/3/BAB II.pdfaltruisme, namun ia akan melakukan kerja nyata didalam kehidupannya, sebagai contoh:

menolong orang lain tanpa mengharapkan imbalan atau balas budi yang akan diterimanya,

mementingkan kepentingan orang lain terlebih dahulu dan lain-lain.

Menurut Malhotra (2010), religiusitas merupakan pengaruh utama melakukan perilaku

altruisme, karena orang yang religius berkarakteristik lebih stabil sehingga spontanitas untuk

beramal lebih tinggi. Munculnya spontanitas untuk berperilaku altruisme merupakan pertanda

bahwa individu mampu menerapkan apa yang telah ia yakini sebagai religiusitas didalam

kehidupan sehari-harinya. Dengan kata lain individu tersebut mampu mewujudkan perilaku

altruisme karena motivasi dari religiusitas.

Hal tersebut juga dapat dilihat dari kelima aspek menurut Glock (dalam Ancok dan

Suroso, 1994) yang pertama aspek ideologis dimana individu mempercayai Tuhan serta

adanya surga dan neraka, Tuhan adalah sang pencipta kehidupan yang memiliki perintah

mengenai hal yang tidak boleh dilakukan dan apa yang boleh untuk dilakukan, apa yang baik

dan yang buruk. Individu dengan religiusitas tinggi akan melakukan perilaku altruisme

dengan menolong sesamanya yang sedang kesusahan dengan ikhlas dan percaya bahwa akan

mendapat pahala guna tabungan untuk menuju ke surga, karena merupakan perbuatan baik

yang telah dilakukan. Diperkuat oleh Sappington (dalam Sarwono 1999) yang berpengaruh

pada perilaku altruisme bukanlah seberapa kuatnya kepercayaan beragama itu sendiri

melainkan bagaimana implikasi seseorang tentang pentingnya perilaku menolong telah

diajarkan oleh agama (religiusitas).

Ke dua aspek intelektual sejauh mana individu mengetahui tentang ajaran‐ajaran

agamanya seperti berbuat baik kepada orang lain maka akan mendapatkan balasan yang baik

pula, maka invidu dalam kehidupannya berusaha berperilaku altruisme dengan berbuat baik

kepada orang lain seperti memberi bantuan kepada korban bencana alam baik berupa materi

maupun jasa menjadi seorang relawan. Seperti yang diungkapkan oleh Rogers (1977) bahwa

Page 10: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Perilaku Altruisme pada ...eprints.mercubuana-yogya.ac.id/3640/3/BAB II.pdfaltruisme, namun ia akan melakukan kerja nyata didalam kehidupannya, sebagai contoh:

penerimaan perilaku baru atau adopsi perilaku melalui proses yang didasari oleh pengetahuan

agama, maka perilaku tersebut akan berlangsung lama. Dimana dengan pengetahuan agama

yang baik akan membentuk religiusitas yang tinggi dalam diri individu untuk melakukan

perilaku yang tidak bertentangan dengan nilai norma dan melakukan tindakan postif untuk

dapat berperilaku altruisme.

Ke tiga aspek ritualitas dimana individu melaksanakan kewajiban sebagai orang

beragama mencakup ritual pemujaan, ketaatan, beramal yang dapat dicerminkan salah

satunya dengan berperilaku altruisme yakni beramal baik seperti berbagi rezeki kepada anak

yatim piatu sebagai cara untuk bersedekah. Ritualitas merupakan salah satu cara bagaimana

individu dapat mewujudkan apa yang ia percaya sesuai dengan tindakan nyata dalam

kehidupannya. Internalisasi ritualitas dalam setiap individu merupakan wujud nyata dari

kualitas keyakinan seseorang.

Ke empat aspek pengalaman yaitu seberapa jauh individu merasakan perasaan dan

pengalaman religius seperti: ketika ia mengalami kesusahan tanpa disangka-sangka ia

mendapat bantuan dari orang yang dulu telah ia bantu. Seperti yang diungkapkan oleh

(Ahyadi, 1995) individu akan mencoba menghayati, menginternalisasi dan menerapkan

religiusitas dalam dirinya untuk berperilaku sesuai dengan nilai-nilai yang ada salah satunya

perilaku altruisme.

Ke lima aspek konsekuensi individu merasa bersemangat dalam melakukan setiap

perilaku baik dihidupnya karena mengetahui jika perilaku yang dilakukannya didunia akan

mendapat balasan tidak hanya didunia namun juga di akhirat, jika berbuat baik mendapat

balasan yang baik pula begitupun sebaliknya, maka individu secara sadar berperilaku

altruisme seperti: menolong tanpa mengharapkan balas budi atau imbalan dari orang yang

telah ditolong. Individu yang mempunyai religiusitas tinggi mempunyai dasar keyakinan

yang akan membuatnya lebih mudah menentukan perilakunya mengenai yang harus

Page 11: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Perilaku Altruisme pada ...eprints.mercubuana-yogya.ac.id/3640/3/BAB II.pdfaltruisme, namun ia akan melakukan kerja nyata didalam kehidupannya, sebagai contoh:

dilakukan yaitu perilaku altruisme dan yang harus dihindari, karena pada dasarnya religiusitas

telah mencakup aturan tentang hal-hal yang boleh dilakukan dan tidak.

Religiusitas tidak dapat dipisahkan dari perilaku individu didalam kehidupan

bermasyarakat dan dalam prakteknya religiusitas memiliki beberapa fungsi antara lain fungsi

edukatif, fungsi kontrol sosial, fungsi pemupuk rasa solidaritas. Religiusitas menjadi faktor

integratif bagi individu dalam berperilaku altruisme dapat dilihat dari faktor kontrol sosial

yaitu adanya keterkaitan batin antara tuntutan ajaran religius dengan perwujudan

keberagamaan individu untuk melakukan perilaku altruisme dengan sesamanya.

Dapat disimpulkan bahwa perwujudan keberagamaan atau dengan kata lain religiusitas

adalah faktor dan pedoman individu dalam berperilaku altruisme dikehidupannya, individu

meyakini bahwa perilaku altruisme adalah suatu perbuatan baik sesuai dengan nilai-nilai

moral yang akan ia lakukan sebagai salah satu cara penerapan atas apa yang telah ia percaya

dan yakini sebagai kepercayaan religius dan mengaplikasikan keberagamaannya (religiusitas)

yang dapat menjadi motivasi untuk terus melakukan perilaku altruisme. Seperti yang

diungkapkan oleh Coles (2000) bahwa perilaku yang sesuai dengan nilai moral diungkapkan

dalam tingkat orang harus berperilaku dan bersikap kepada orang lain. Perilaku tersebut

muncul karena adanya pertimbangan kesejahteraan orang lain diatas kepentingan atau

keuntungan pribadi (perilaku altruisme) yang berusaha diamalkan atau diwujudkan dalam

kehidupan sehari-hari dengan nilai religi yang dianut (religiusitas).

Dari keterkaitan diatas semakin memperjelas bahwa religiusitas mempengaruhi individu

dalam berperilaku altruisme seperti yang diungkapkan Sarwono (1999) bahwa religiusitas

mempengaruhi seseorang untuk menolong, karena ada nilai-nilai religi yang dianut sehingga

seseorang mau menolong orang lain. Peneliti juga menyertakan penelitian sebelumnya yang

telah dilakukan oleh peneliti terdahulu mengenai religiusitas dan perilaku altruisme guna

memperkuat penjelasan.

Page 12: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Perilaku Altruisme pada ...eprints.mercubuana-yogya.ac.id/3640/3/BAB II.pdfaltruisme, namun ia akan melakukan kerja nyata didalam kehidupannya, sebagai contoh:

Penelitian tentang altruisme pernah dilakukan oleh Shah dan Ali (2012) dengan judul

Altruism and Belief in just world in young adults: relationship with Religiosity yang

bertujuan mengeskplorasikan antara altruisme dan kepercayaan dunia dengan religiusitas

pada orang dewasa dan dihasilkan bahwa religiusitas yang tinggi berhubungan positif dengan

altruisme yang tinggi pula.

Dengan demikian individu yang mempunyai religiusitas tinggi tidak hanya melakukan

ritual-ritual keagamaan saja seperti sembahyang dan puasa tetapi hal lain yang juga harus

dilakukan adalah menjalin hubungan dan berbuat baik kepada orang lain atau dapat juga

dikatakan sebagai beramal baik. Amal baik salah satunya adalah melakukan perilaku

altruisme seperti menolong, bekerja sama, berbagi, dan menyumbang (Ancok dan Suroso,

1994).

Berdasarkan penjelasan yang sudah disampaikan dapat ditarik kesimpulan adanya

hubungan yang positif antara religiusitas dengan perilaku altruisme sehingga semakin tingggi

religiusitas, maka perilaku altruisme cenderung semakin tinggi, dan juga sebaliknya semakin

rendah religiusitas, maka perilaku altruisme cenderung semakin rendah.

D. Hipotesis

Berdasarkan uraian diatas maka hipotesis penelitian dapat dirumuskan bahwa, ada

hubungan positif antara religiusitas dengan perilaku altruisme mahasiswa psikologi

Universitas Mercubuana Yogyakarta. Artinya, semakin tinggi religiusitas maka semakin

tinggi pula perilaku altruisme pada mahasiswa psikologi Universitas Mercubuana

Yogyakarta. Sebaliknya semakin rendah religiusitas maka semakin rendah pula perilaku

altruisme pada mahasiswa psikologi Universitas Mercubuana Yogyakarta.