BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Penelitian...
Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Penelitian...
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Penelitian Terdahulu
Ardhini dan Handayani (2011), alat analisis yang digunakan untuk mengukur
pengaruh rasio keuangan daerah terhadap belanja modal untuk pelayanan publik
dalam perspektif teori keagenan di kabupaten/kota di Jawa Tengah yaitu rasio
kinerja keuangan dan regresi linier berganda. Hasil yang didapat yaitu rasio
kemandirian dan rasio efisiensi keuangan daerah tidak berpengaruh terhadap
jumlah realisasi belanja modal untuk pelayanan publik. Sedangkan rasio efektivitas
dan Sisa Lebih Anggaran Tahun Sebelumnya (SiLPA) berpengaruh terhadap
jumlah belanja modal untuk pelayanan publik.
Gerungan dkk (2013), alat analisis yang digunakan untuk mengukur pengaruh
kinerja keuangan terhadap alokasi belanja modal sektor publik adalah rasio
keuangan, analisis regresi sederhana dan regresi linier berganda. Hasil yang didapat
dalam penelitian tersebut adalah tingkat kemandirian, efektivitas PAD, efisiensi
keuangan daerah, dan tingkat keserasian belanja daerah berpengaruh terhadap
seberapa besar alokasi belanja modal yang digunakan sebagai pembangunan
sedangkan tingkat ketergantungan daerah, dan efektivitas belanja modal tidak
mempengaruhi besarnya alokasi belanja modal di Provinsi Sulawesi Utara.
Sari dkk (2016), alat analisis yang digunakan untuk mengukur pengaruh
kinerja keuangan terhadap pertumbuhan ekonomi perkotaan di Sulawesi Utara
tahun 2004-2014 yaitu rasio kinerja keuangan dan analisis regresi linier berganda.
7
Hasil yang didapat dari penelitian adalah kemandirian keuangan dan efektivitas
keuangan memengaruhi pertumbuhan ekonomi sedangkan keterantungan keuangan
suatu daerah tidak memperngaruhi pertumbuhan ekonomi perkotaan di Sulawesi
Utara.
Sularso dan Restianto (2011), alat analisis yang digunakan untuk mengukur
pengaruh kinerja keuangan terhadap alokasi belanja modal dan pertumbuhan
ekonomi kabupatem/kota di Jawa Tengah adalah rasio kinerja keuangan, Strucural
Equation Modeling (SEM), dan analisis regresi sederhana. Hasil yang didapat yaitu
pengalokasian belanja modal di Kabupaten/Kota di Jawa Tengah tidak di pengaruhi
oleh derajat desentralisasi dengan rata-rata alokasi belanja modal yang dilakukan
pemerintah kabupaten/kota di Jawa Tengah (21%) masih lebih rendah jika
dibandingkan dengan rata-rata pemerintah kabupaten/kota secara nasional (28,8%).
Tamawiwy, dkk (2016), alat analisis yang digunakan untuk mengukur kinerja
keuangan pemerintah daerah terhadap belanja modal adalah rasio keuangan dan
regresi linear berganda. Hasil yang didapat dalam penelitian tersebut adalah
pertumbuhan PAD, efektivitas PAD dan efisiensi keuangan berpengaruh terhadap
belanja modal sedangkan desentralisasi fiskal tidak berpengaruh terhadap belanja
modal.
B. Landasan Teori
1. Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah (APBD)
Berdasarkan Pasal 64 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang
pokok-pokok Pemerintahan di Daerah, APBD dapat didefinisikan sebagai rencana
operasional keuangan Pemerintahan Daerah, dimana di satu pihak menggambarkan
8
perkiraan pengeluaran setinggi-tingginya guna membiayai kegiatan-kegiatan dan
proyek-proyek daerah dalam 1 tahun anggaran tertentu, dan di pihak lain
menggambarkan perkiraan penerimaan dan sumber-sumber penerimaan daerah
guna menutupi pengeluaran-pengeluaran dimaksud (Mamesah, 1995 : 20 dalam
Halim 2004).
APBD adalah suatu Anggaran Daerah. Kedua definisi APBD diatas
menunjukkan bahwa suatu Anggaran Daerah, termasuk APBD, memiliki unsur-
unsur sebagai berikut :
a. Rencana kegiatan suatu daerah, beserta uraiannya secara rinci.
b. Adanya sumber penerimaan yang merupakan target minimal untuk menutupi
biaya-biaya sehubungan dengan aktivitas-aktivitas tersebut, dan adanya
biaya-biaya yang merupakan batas maksimal pengeluaran-pengaluaran yang
akan dilaksanakan.
c. Jenis kegiatan dan proyek yang dituangkan dalam bentuk angka.
d. Periode anggaran, yaitu biasanya 1(satu) tahun.
2. Keuangan Daerah
Mamesah dalam (Halim,2012:25) mengatakan keuangan daerah secara
sederhana dapat diartikan sebagai semua hak dan kewajiban ya ng dapat dinilai
dengan uang, demikian pula segala sesuatu baik berupa uang maupun barang yang
dapat dijadikan kekayaan daerah sepanjang sebelum dimiliki/dikuasai oleh negara
atau daerah yang lebih tinggi serta pihak-pihak lain sesuai dengan
ketentuan/peraturan perundangan yang berlaku.
9
Keuangan daerah memiliki ruang lingkup yang terdiri atas keuangan daerah
yang dikelola langsung dan keuangan daerah yang dipisahkan. Yang termasuk
keuangan daerah yang dikelola langsung adalah Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah (APBD) dan barang-barang investasi milik Negara. Di lain pihak, keuangan
daerah yang dipisahkan meliputi Badan Usaha Milik Daerah (BUMD).
Keuangan daerah dikelola melalui manajemen keuangan daerah. Oleh karena
itu, manajemen keuangan daerah adalah pengorganisasian dan pengelolaan sumber-
sumber daya atau kekayaan yang ada pada suatu daerah untuk mencapai tujuan yang
dikehendaki daerah tersebut (Halim,2001). Oleh karena itu pemerintah daerah
dalam membelanjakan dana yang dimiliki sesuai dengan kebutuhan dan
karakteristik daerah tersebut dan dalam mendapatkan dana yang dibutuhkan untuk
membiayai pengeluaran tersebut.
3. Laporan Realisasi Anggaran
Menurut Mursyidi (2009) Laporan Realisasi Anggaran (LRA) adalah laporan
yang disusun secara sistematis tentang realisasi pendapatan, belanja, dan
pembiayaan selama suatu periode tertentu. Laporan Realisasi Anggaran
menggambarkan perbandingan antara anggaran dengan realisasinya dalam satu
periode pelaporan.
Perbandingan tersebut menunjukkan pencapaian dari target yang telah
disepakati sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Laporan Realisasi
Anggaran memberikan manfaat bagi para pengguna laporan untuk melihat dan
mengevaluasi mengenai alokasi sumber-sumber daya ekonomi.
10
Permendagri Nomor 59 Tahun 2007 menjelaskan tentang Pedoman
Pengelolaan Keuangan Daerah dan unsur yang dicakup dalam Laporan Realisasi
Anggaran terdiri dari :
a. Pendapatan adalah semua penerimaan kas daerah yang menambah ekuitas
dana dalam periode tahun anggaran yang bersangkutan yang menjadi hak
Pemda, dan tidak perlu dibayar kembali oleh Pemda. Pendapatan dibagi
menjadi 3 kategori:
1) Pendapatan Asli Daerah (PAD), merupakan semua penerimaan yang berasal
dari sumber ekonomi asli daerah.
2) Dana Perimbangan, merupakan dana yang bersumber dari penerimaan
anggaran pendapatan belanja negara yang dialokasikan pada daerah untuk
membiayai kebutuhan dananya.
3) Lain-lain pendapatan yang sah, adalah pendapatan lain-lain yang dihasilkan
dari dana bantuan dan dana penyeimbang dari Pemerintah Pusat.
b. Belanja adalah semua pengeluaran kas daerah yang mengurangi ekuitas dana
dalam periode tahun anggaran yang bersangkutan, dan tidak akan diperoleh
kembali pembayarannya oleh Pemda. Belanja dibagi menjadi 3 jenis yaitu :
1) Belanja aparatur daerah, yaitu belanja yang manfaatnya tidak secara langsung
dinikmati oleh masyarakat tetapi dirasakan secara langsung oleh aparatur.
2) Belanja pelayanan publik, merupakan belanja yang manfaatnya dapat
dinikmati secara langsung oleh masyarakat umum.
11
3) Belanja bagi hasil dan bantuan keuangan.
c. Pembiayaan adalah setiap penerimaan yang perlu dibayar kembali dan/atau
pengeluaran yang akan diterima kembali, baik pada tahun anggaran yang
bersangkutan maupun tahun-tahun anggaran berikutnya, yang dalam
penganggaran Pemda terutama dimaksudkan untuk menutupi defisit atau
memanfaatkan surplus anggaran. Pembiayaan dikategorikan menjadi 2,
antara lain :
1) Sumber Penerimaan Daerah, yaitu :
a) Sisa Lebih Penerimaan Anggaran (SILPA) tahun lalu
b) Penerimaan pinjaman dan obligasi
c) Hasil penjualan aset daerah yang dipisahkan
d) Transfer dari dana cadangan.
2) Sumber Pengeluaran Daerah, yaitu :
a) Pembayaran utang pokok yang telah jatuh tempo
b) Penyertaan modal
c) Transfer ke dana cadangan
d) Sisa Lebih Anggaran tahun sekarang.
4. Kinerja Keuangan Daerah
Menurut Agustina (2013) Kinerja keuangan pemerintah daerah adalah tingkat
pencapaian dari suatu hasil kerja di bidang keuangan daerah yang meliputi
penerimaan dan belanja daerah dengan menggunakan indikator keuangan yang
ditetapkan melalui suatu kebijakan atau ketentuan perundang-undangan selama satu
periode anggaran. Bentuk kinerja tersebut berupa rasio keuangan yang terbentuk
12
dari unsur Laporan Pertanggungjawaban Kepala Daerah berupa perhitungan
APBD. Rasio yang dikembangkan berdasarkan data keuangan dari APBD adalah
sebagai berikut :
a. Rasio Ketergantungan Keuangan
Rasio ketergantungan keuangan daerah dihitung dengan cara
membandingkan jumlah pendapatan transfer yang diterima oleh penerimaan daerah
dengan total penerimaan daerah . Semakin tinggi rasio ini maka semakin besar
tingkat ketergantungan pemerintah daerah terhadap pemerintah pusat atau
pemerintahan provinsi. Adapun kriteria untuk menetapkan tingkat ketergantungan
daerah seperti pada Tabel 2.1 berikut :
Tabel 2.1
Kriteria Penilaian Ketergantungan Keuangan Daerah
Standar Prosentase Pendapatan
Transfer Terhadap Penerimaan Daerah Kriteria
0,00% – 10,00% Sangat Rendah
10,01% – 20,00% Rendah
20,01% – 30,00% Sedang
30,01% – 40,00% Cukup
40,01% – 50,00% Tinggi
> 50,00% Sangat Tinggi
Sumber: Tim Litbang Depdagri – Fisipol UGM, 1991 dalam (Bisma, 2010)
b. Rasio Efektivitas PAD
Pengukuran tingkat efektivitas ini menggambarkan kemampuan pemerintah
daerah dalam merealisasi Pendapatan Asli Daerah yang direncanakan dibandingkan
13
dengan target yang ditetapkan. Adapun kriteria untuk menetapkan Efektivitas
pengelolaan keuangan daerah seperti pada Tabel 2.2 berikut :
Sumber : Mahmudi (2010)
c. Rasio Efisiensi Keuangan
Rasio efisiensi digunakan untuk mengetahui seberapa besar efisiensi dari
pelaksanaan suatu kegiatan dengan mengukur input yang digunakan dan
membandingkan dengan output yang dihasilkan yang memerlukan data-data
realisasi belanja dan realisasi pendapatan.
Adapun kriteria untuk menetapkan Efisiensi pengelolaan keuangan daerah
seperti pada Tabel 2.3 berikut :
Tabel 2.3 Kriteria Penilaian Efisiensi Pengelolaan Keuangan Daerah
Standar Prosentase Pengeluaran Belanja Terhadap
Pendapatan Kriteria
> 40% Tidak Efisien 31% - 40% Kurang Efisien 21% - 30% Cukup Efisien 10% - 20% Efisien
< 10% Sangat Efisien Sumber : Mahmudi (2010)
Tabel 2.2 Kriteria Penilaian Efektivitas Pengelolaan Keuangan Daerah
Standar Prosentase Realisasi Pendapatan PAD Terhadap Target Pendapatan PAD
Kriteria
> 100% Sangat Efektivitas 100% Efektif
90% - 99% Cukup Efektif 75% - 89% Kurang Efektif
< 75% Tidak Efektif
14
d. Rasio Pertumbuhan PAD
Rasio Pertumbuhan Pendapatan Asli Daerah bermanfaat untuk mengetahui
apakah pemerintah daerah dalam tahun anggaran bersangkutan atau selama
beberapa periode anggaran, kinerja anggarannya mengalami pertumbuhan
pendapatan secara positif ataukah negatif.
Rasio ini mengukur seberapa besar kemampuan pemerintah daerah dalam
mempertahankan dan meningkatkan keberhasilannya yang telah dicapai dari satu
periode ke periode berikutnya. Dengan diketahuinya pertumbuhan untuk masing-
masing komponen sumber pendapatan dan pengeluaran, dapat digunakan untuk
mengevaluasi potensi-potensi mana yang perlu mendapatkan perhatian. Adapun
kriteria untuk menetapkan Efisiensi pengelolaan keuangan daerah seperti pada
Tabel 2.4 berikut :
Tabel 2.4
Kriteria Penilaian Pertumbuhan PAD
Standar Prosentase Pertumbuhan PAD Kriteria
0,00% – 10,00% Sangat Rendah 10,01% – 20,00% Rendah 20,01% – 30,00% Sedang 30,01% – 40,00% Cukup 40,01% – 50,00% Tinggi > 50,00% Sangat Tinggi
Sumber : Tim Litbang Depdagri (1991) dalam Tamawiwy, dkk (2016)
5. Belanja Modal
Menurut (Hoesada, 2016) Kekuatan utama bangsa besar adalah prasarana
lengkap dan modern, sebagai syarat peningkatan PDB daerah. Kualitas jalan raya,
15
pelabuhan (darat, sungai, laut, udara) dan pasar adalah utama bagi pemerintah
daerah. Untuk itu perlu adanya pengalokasian belanja yang dikhususkan untuk
pengadaan sarana dan prasaran tersebut. Belanja yang dimaksud adalah belanja
modal.
Belanja Modal adalah belanja barang modal (barang bukan persediaan, tidak
habis pakai, berumur pakai lebih dari setahun) untuk penggunaan sendiri
K/L/Pemda (untuk operasi sesuai tupoksi K/L) atau untuk diserahkan untuk tujuan
mengurangi risiko social (bantuan social, bantuan beupa rumah penduduk
pascabencana), di serahkan kepada anggota masyarakat yang tidak berisiko social
(hibah, bantuan masjid, bantuan tanah bagi pemda untuk pemakaman). (Hoesada,
2016)
Belanja Modal adalah pengeluaran anggaran untuk perolehan asset tetap dan
asset lainnya yang memberi manfaat lebih dari satu periode akuntansi. Belanja
modal meliputi antara lain belanja modal untuk perolehan tanah, gedung dan
bangunan, peralatan, dan asset tak berwujud.
Peraturan Pemerintah No. 58 tahun 2005 menyebutkan bahwa belanja modal
adalah pengeluaran yang dilakukan dalam rangka pembelian/pengadaan asset tetap
dan asset lainnya yang mempunyai masa manfaat lebih dari 12 (dua belas) bulan
untuk digunakan dalam kegiatan pemerintahan, seperti dalam bentuk tanah,
peralatan dan mesin, gedung dan bangunan, jaringan, buku perpustakaan dan
hewan.
Permendagri No. 13 tahun 2006 mendefinisikan belanja modal sebagai
pengeluaran yang dilakukan dalam rangka pembelian/pengadaan atau
16
pembangunan asset tetap berwujud yang mempunyai nilai manfaat lebih dari 12
(dua belas) bulan untuk digunakan dalam kegiatan pemerintahan, seperti dalam
bentuk tanah, peralatan dan mesin, gedung dan bangunan, jalan, irigasi dan
jaringan, dan asset tetap lainnya.
Menurut Sularso dan Restianto (2011), belanja modal di klasifikasikan dalam
dua kelompok, kelompok pertama adalah belanja publik yaitu belanja yang
manfaatnya dapat langsung dinikmati masyarakat misalnya : pembangunan
jembatan, pembelian mobil ambulan untuk umum dan lain-lain. Kelompok kedua
adalah belanja aparatur yaitu belanja yang manfaatnya tidak dinikmati langsung
oleh masyarakat tetapi dapat dirasakan langsung oleh aparatur misalnya :
pembangunan gedung dewan, pembelian mobil dinas, dan lain-lain.
Berdasarkan uraian diatas diketahui bahwasannya belanja modal merupakan
belanja yang memiliki peranan penting bagi pembangunan suatu daerah, dimana
pengalokasian dari belanja modal digunakan untuk pelayanan publik yang
bertujuan untuk mensejahterakan masyarakat. Sehingga porsi dari belanja modal
seharusnya lebih diutamakan. Karena semakin besar rasio belanja modal dalam
struktur APBD diharapkan akan semakin baik pengaruhnya bagi pembangunan dan
pertumbuhan ekonomi suatu daerah.
Alokasi belanja modal pada pemerintah daerah dapat bersumber dari berbagai
pendapatan dan pembiayaan. Sumber-sumber pendapatan pemerintah daerah
adalah Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Perimbangan, dan Lain-lain
Pendapaan yang Sah.
17
Pemerintah daerah yang memiliki peran sebagai organisasi sektor publik
mempunyai sumber pendapatan, baik dari pemerintah pusat yang dalam bentuk
dana perimbangan dan yang berasal dari daerah itu sendiri yaitu pendapatan asli
daerah. Pendapatan pemerintah daerah tersebut digunakan untuk pelayanan umum
kepada masyarakat dan untuk pembangunan yang disebut sebagai belanja modal.
6. Hubungan Ketergantungan Keuangan Daerah dengan Belanja Modal
Keberhasilan otonomi daerah tidak terlepas dari kemampuan dalam bidang
keuangan yang merupakan salah satu indikator penting dalam menghadapi otonomi
daerah. Untuk melihat ketergantungan pemerintah daerah dapat dilakukan dengan
mengukur kinerja/kemampuan keuangan pemerintah daerah dan mengukur
kesiapan pemerintah daerah dalam menghadapi otonomi daerah khususnya
dibidang keuangan, dapat diukur dari seberapa jauh kemampuan pembiayaan bila
didanai sepenuhnya oleh Pendapatan Asli Daerah dan Bagi Hasil.
Menurut Halim (2001), ciri utama suatu daerah mampu melaksanakan
otonomi adalah (1) kemampuan keuangan daerah, yang berarti daerah tersebut
memiliki kemampuan dan kewenangan untuk menggali sumber-sumber keuangan,
mengelola dan menggunakan keuangannya sendiri untuk membiayai
penyelenggaraan pemerintahan; (2) Ketergantungan kepada bantuan pusat harus
seminimal mungkin, oleh karena itu, PAD harus menjadi sumber keuangan terbesar
yang didukung oleh kebijakan perimbangan keuangan pusat dan daerah.
Penyelenggaraan tugas pemerintah daerah otonom berbasis APBD,
bersumber dari PAD, pinjaman daerah dan lain-lain penerimaan yang sah, serta
dana peimbangan. Dana perimbangan adalah bagian daerah atas Pajak Bumi dan
18
Bangunan (PBB), Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, Penerimaan dari
Sumber Daya Alam, Dana Alokasi Umum dan Dana Alokasi Khusus. (Hoesada,
2016)
Menurut Ditjen Keuangan Daerah Kemendagri (2013) mayoritas dana
transfer yang diberikan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah digunakan
untuk mensejahterakan pegawai negeri sipil (PNS). Hal tersebut terlihat dari data
yang diformulasi oleh Institute for Development of Economics and Finance (Indef)
yang dikutip oleh Ditjen Keuangan Daerah Kemendagri (2013) bahwa pada tahun
2013, rata-rata belanja pegawai pemerintah kabupaten/kota sebesar sebesar 49
persen, sedangkan rata-rata belanja modal hanya 25,3 persen. Hal tersebut
mengindikasikan bahwa dana transfer daerah yang jumlahnya terus meningkat tidak
dapat mendorong pertumbuhan ekonomi secara signifikan karena habis untuk
belanja pegawai.
Menurut Yustikasari dan Darwanto (2007) dalam Novianto dan Hanafiah
(2015), faktor-faktor fundamental yang mempengaruhi keputusan dalam
pengalokasian belanja daerah, termasuk pengalokasian belanja modal dibagi
menjadi 2 variabel, yakni variabel non keuangan dan variabel keuangan.
Variabel non keuangan meliputi: kebijakan pemerintahan dan kondisi
makroekonomi, sedangkan variabel keuangan meliputi: ukuran-ukuran atau jenis-
jenis penerimaan pemerintah daerah lainnya. Variabel non keuangan yang
digunakan adalah pertumbuhan ekonomi sebagai cerminan kondisi makroekonomi
daerah yang diteliti, sedangkan variabel keuangan yang digunakan adalah beberapa
19
ukuran atau jenis penerimaan daerah meliputi Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan
Dana Alokasi Umum (DAU).
Pertumbuhan DAU menuju 75% atau lebih, dari seluruh jumlah transfer ke
daerah, risiko pertumbuhan nisbah (rasio, perbandingan) belanja pegawai dalam
DAU menuju 100% dan risiko alokasi DAU yang melanggar asas keadilan
distribusi kepada 17.504 pulau. (Hoesada, 2016)
Risiko fiskal berbentuk menguatnya mental ketergantungan pemerintah
daerah kepada DAU, tidak ada pertanggungjawaban peningkatan kualitas layanan
publik berdasarkan peningkatan DAU, dan risiko DAU meningkat karena
perubahan nisbah (rasio) DAU terhadap Penerimaan Dalam Negeri.
Risiko transfer ke daerah berbentuk (1) alokasi transfer kurang adil dan
bijaksana, misalnya daerah dengan senjang fiskal (fiscal gap) yang kapasitas
fiskalnya tidak memperoleh dana transfer memadai dan (2) transfer salah sasaran
dikarenakan : kesalahan formulasi alokasi, data tentang daerah tidak valid atau
kurang tepat.
Sejarah mencatat bahwa PAD tertinggi mencapai hanya 20% belanja
pemerintah daerah. Sekitar 75% transfer APBN kepada APBD digunakan untuk
belanja pegawai pemerintah daerah. Hanya sebagian kecil APBD berbentuk belanja
modal. Belum ada kesadaran nasional bahwa pemeliharaan dan pembangunan
prasarana perekonomian daerah berhubungan langsung dengan pertumbuhan PDB
daerah, kesempatan kerja dan pendapatan perkapita daerah (Hoesada, 2016).
20
7. Hubungan Efektivitas PAD dengan Belanja Modal
Menurut Halim dan Kusufi (2014) Efektivitas adalah ukuran berhasil
tidaknya suatu organisasi mencapai tujuannya. Apabila suatu organisasi berhasil
mencapai tujuan, maka organisasi tersebut telah berjalan dengan efektif. Efekivitas
hanya melihat apakah suatu program atau kegiatan telah mencapai kegiatan yang
telah ditetapkan. Pengukuran efektivitas mengukur hasil akhir dari suatu pelayanan
dikaitkan dengan outputnya (cost of outcome).
Menurut Abdullah (1983) efektivitas berhubungan dengan tindakan-tindakan
dan pengeluaran-pengeluaran pemerintah, yang berhasil dalam mencapai tujuan-
tujuan yang telah ditetapkan. Sebagai suatu indikator untuk mengukur tindakan
pemerintah daerah dalam suatu bidang tertentu, maka perlu dikaitkan antara
pengeluaran dan tindakan dengan hasil-hasil yang dicapai. Jika dari suatu tindakan
itu hasil-hasil tidak tercapai, maka pengeluaran tidak efektif.
Efektivitas PAD merupakan perbandingan antara realisasi PAD dengan target
PAD yang ditetapkan (Gerungan, dkk 2013). Semakin tinggi rasio efektivitas
menggambarkan kemampuan daerah yang semakin baik dengan kata lain
pemerintah daerah dalam hal merealisasikan anggaran yang ditargetkan secara
optimal.
Menurut Fitri, dkk (2013) efektivitas PAD tidak berpengaruh terhadap
belanja modal. Hal ini disebabkan tuntutan dan kebutuhan masyarakat setempat
cenderung diabaikan sehingga pengalokasian belanja modal tidak terealisasi
dengan efektif dan dapat menghambat pembangunan untuk meningkatkan
pelayanan publik.
21
8. Hubungan Efisiensi Keuangan Daerah dengan Belanja Modal
Menurut Halim dan Kusufi (2014) Efisiensi merupakan perbandingan output
atau input yang dikaitkan dengan standar kinerja atau target yang telah ditetapkan.
Dimana ukuran efisiensi dapat dikembangkan dengan menghubungkan biaya yang
sesungguhnya dengan biaya standar yang telah ditetapkan sebelumnya (misalnya
anggaran).
Menurut Due (1984) Efisiensi sering juga disebut sebagai optimalitas pareto.
Optimalitas pareto menunjuk kepada keadaan dimana sumber-sumber daya
dialokasikan secara efisien. Suatu optimum pareto dikatakan terjadi apabila
sumber-sumber daya dialokasikan sedemikian rupa sehingga tidak seorangpun
dapat menjadi lebih baik keadaannya tanpa merugikan orang lain, dan produksi
suatu komoditi tidak dapat ditingkatkan tanpa mengurangi produksi komoditi lain.
Menurut Mahmudi (2011) Efisiensi juga mengandung beberapa pengertian
antara lain :
a. Efisiensi pada sektor usaha swasta. Efisiensi pada sektor usaha swasta
dijelaskan dengan konsep input output yaitu rasio dari output dan input.
b. Efisiensi pada sektor pelayanan masyarakat adalah suatu kegiatan yang
dilakukan dengan pengorbanan seminimal mungkin atau dengan kata lain
suatu kegiatan telah dikerjakan secara efisien jika pelaksanaan pekerjaan
tersebut telah mencapai sasaran dengan biaya yang terendah atau dengan
biaya minimal diperoleh hasil yang diinginkan.
c. Efisiensi penyelenggaraan pemerintahan daerah dapat dicapai dengan
memperhatikan aspek hubungan dan tata kerja antar instansi pemerintah
22
daerah dengan memanfaatkan potensi dan keanekaragaman suatu daerah.
Suatu kegiatan dikatakan telah dikerjakan secara efisien jika pelaksanaan
pekerjaan tersebut telah mencapai sasaran (output) dengan biaya (input) yang
terendah atau dengan biaya (input) minimal diperoleh hasil (output) yang
diinginkan.
Menurut Halim dan Kusufi (2014) Efisiensi merupakan hal penting dari
ketiga pokok bahasan value for money. Efisiensi diukur dengan rasio antara output
dan input. Semakin besar output dibanding input, maka semakin tinggi tingkat
efisiensi suatu organisasi. Ukuran efisiensi mengukur seberapa baik organisasi
mampu memanfaatkan sumber daya yang dimilikinya untuk menghasilkan output
(Mahmudi, 2007).
Pengukuran kinerja berdasarkan value for money, efisiensi dapat dibagi
menjadi dua, yaitu efisiensi alokasi dan efisiensi teknis atau manajerial. Efisiensi
alokasi terkait dengan kemampuan untuk mendayagunakan sumber daya input pada
tingkat kapasitas optimal. Efisiensi teknis (manajerial) terkait dengan kemampuan
mendayagunakan sumber daya input pada tingkat output tertentu. (Halim dan
Kusufi, 2014)
Rasio efisiensi keuangan daerah diukur dengan membandingkan pengeluaran
belanja daerah dengan pendapatan daerah (Gerungan dkk, 2013). Dimana jika nilai
rasio efisiensi yang didapatkan tinggi menandakan kinerja keungan pemerintah
daerah tidak berjalan secara efisien. Jika nilai efisiensi tinggi maka jumlah belanja
diindikasikan tinggi.
23
Semakin tinggi rasio efisiensi, pengeluaran daerah dalam hal ini belanja
modal semakin menurun. Penggunaan keuangan daerah yang tidak efisien dengan
angka rasio yang tinggi dapat disebabkan karena jumlah realisasi pengeluaran lebih
besar daripada jumlah penerimaan itu sendiri, sehingga terjadi pemborosan untuk
belanja daerah tetapi tidak digunakan secara maksimal untuk belanja modal. Hal
tersebut dikarenakan lebih besarnya belanja pegawai di daerah dibandingkan
belanja modal guna pengembangan dan pembangunan di daerah. (Martini, 2015)
9. Hubungan Pertumbuhan PAD dengan Belanja Modal
Menurut Halim dan Kusufi (2012 : 101) Pendapatan Asli Daerah merupakan
semua penerimaan daerah yang berasal dari sumber ekonomi asli daerah. Kelompok
pendapatan asli daerah dipisahkan menjadi empat jenis pendapatan, yakni sebagai
berikut :
a. Pajak daerah
Pajak daerah merupakan pendapatan daerah yang berasal dari pajak. Jenis
pajak kabupaten/kota tersusun dari pajak : pajak hotel, pajak restoran, pajak
hiburan, pajak reklame, pajak penerangan jalan, pajak pengambilan bahan
galian golongan c, dan pajak lingkungan.
b. Retribusi daerah
Retribusi merupakan pendapatan daerah yang berasal dari retribusi. Retribusi
daerah yang dapat dipungut oleh pemerintah provinsi dan kabupaten/kota
dibagi menjadi tiga yaitu retribusi jasa umum, retribusi jasa usaha, dan
retribusi perizinan tertentu.
24
c. Hasil pengolahan kekayaan milij daerah yang dipisahkan
Hasil pengolahan kekayaan milik daerah yang dipisahkan merupakan
penerimaan daerah yang berasal dari pengelolaan kekayaan daerah yang
dipisahkan. Jenis pendapatan ini diperinci menurut objek pendapatan yang
mencakup : bagian laba atas penyertaan modal pada perusahaan milik
daerah/BUMD, bagian laba atas penyertaan modal pada perusahaan milik
Negara/BUMN, dan bagian laba atas penyertaan modal pada perusahaan
milik swasta atau kelompok usaha masyarakat.
d. Lain-lain PAD yang sah
Pendapatan ini merupakan penerimaan daerah yang berasal dari lain-lain
milik pemerintah daerah. Jenis pendapatan ini meliputi : hasil penjualan asset
daerah yang tidak dipisahkan, jasa giro, pendapatan bunga, penerimaan atas
tuntutan ganti kerugian daerah, dan lain-lain.
Pertumbuhan PAD ini digunakan mengukur seberapa besar kemampuan
pemerintah daerah dalam mempertahankan dan meningkatkan keberhasilannya
yang telah dicapai dari satu periode ke periode berikutnya. Dengan diketahuinya
pertumbuhan untuk masing-masing komponen sumber pendapatan dan
pengeluaran, dapat digunakan untuk mengevaluasi potensi-potensi mana yang perlu
mendapatkan perhatian (Halim, 2007:241).
Menurut Fitri dkk (2014) Pertumbuhan Pendapatan Asli Daerah berpengaruh
terhadap belanja modal. Hal ini terbukti semakin banyak PAD yang didapat
semakin memungkinkan daerah tersebut untuk memenuhi kebutuhan belanjanya
sendiri tanpa harus tergantung pada Pemerintah Pusat, yang berarti ini menunjukan
25
bahwa pemerintah daerah tersebut telah mampu untuk mandiri dengan manajemen
keuangan yang tranparasi, dan akuntabel.
C. Kerangka Pemikiran
Gambar 2.1 Kerangka Pemikiran
Sejak diberlakukannya otonomi daerah menyebabkan beberapa dampak salah
satunya yaitu adanya desentralisasi fiscal. Dimana pemerinah daerah mempunyai
wewenang lebih dalam pengelolaan keuangan daerah. Keuangan daerah yang baik
dapat ditunjukkan dengan kinerja keuangan yang baik pula. Kinerja keuangan dapat
diukur menggunakan beberapa rasio kinerja keuangan seperti : Rasio
ketergantungan daerah, rasio efektivitas PAD, rasio efisiensi, dan rasio
pertumbuhan. Kinerja keuangan dapat digunakan untuk meningkatkan alokasi
APBD
Laporan Realisasi Anggaran
Penilaian Kinerja Keuangan
Rasio
Efisiensi
Rasio
Ketergantun
gan Daerah
Rasio
Efektivitas PAD
Rasio
Pertumbuhan
PAD
Belanja Modal
26
belanja modal pemerintah daerah untuk pembangunan sarana dan prasarana yang
digunakan untuk kepentingan masyarakat dan menunjung pertumbuhan daerah.
D. Hipotesis Penelitian
H1 : Rasio ketergantungan keuangan daerah berpengaruh secara negatif signifikan
terhadap besarnya belanja modal
H2 : Rasio efektivitas PAD berpengaruh secara negatif signifikan terhadap
besarnya belanja modal
H3 : Rasio efisiensi keuangan daerah berpengaruh secara negatif signifikan
terhadap besarnya belanja modal
H4 : Rasio pertumbuhan PAD berpengaruh secara positif signifikan terhadap
besarnya belanja modal.