BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pelanggaran Lalu Lintaseprints.umm.ac.id/39936/3/BAB II.pdf ·...
Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pelanggaran Lalu Lintaseprints.umm.ac.id/39936/3/BAB II.pdf ·...
15
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pelanggaran Lalu Lintas
Di dalam KUHP tidak dijelaskan mengenai arti pelanggaran.
Pelanggaran dapat dibedakan dengan kejahatan melalui sanksi yang diberikan.
Sanksi bagi pelaku pelanggaran umumnya lebih ringan dari pelaku kejahatan.
Istilah “pelanggaran” adalah delik undang-undang (wetsdelicten) yaitu
perbuatan yang sifat melawan hukumnya baru dapat diketahui setelah ada
undang-undang yang mengaturnya.10
Maka suatu tindakan dinyatakan telah melanggar apabila akibat dari
perbuatan itu menimbulkan adanya sifat melawan hukum dan telah ada aturan
atau telah ada undang-undang yang mengaturnya. Walaupun perbuatan itu
telah menimbulkan suatu sifat melawan hukum namun belum dapat dinyatakan
sebagai suatu bentuk pelanggaran sebelum diatur dalam peraturan perundang-
undangan.11
Pelanggaran menurut Sudarto,12 “wetsdelict, yakni perbuatan yang oleh
umum baru disadari sebagai tindak pidana, karena undang-undang
menyebutnya sebagai delik, jadi karena ada undang-undang mengancam
dengan pidana, misalnya memparkir motor di sebelah kanan jalanan”.
10 Rusli Effendy dan Poppy Andi Lolo, Asas-asas Hukum Pidana, Ujung Pandang: Umithohs Press,
1989, hlm 74 11 Gusti Ngurah Alit Ardiyasa, Kajian Kriminologis Mengenai Pelanggaran Lalu Lintas yang
Dilakukan oleh Anak, https://media.neliti.com/media/publications/149603-ID-kajian-kriminologis-
mengenai-pelanggaran.pdf 12 Sudarto, Hukum Pidana I, Semarang: Yayasan Sudarto, 1990, hlm. 57.
16
Pengertian pelanggaran tersebut berbeda dengan pendapat Wirjono
Prodjodikoro,13 yang mengartikan pelanggaran sebagai “perbuatan melanggar
sesuatu dan berhubungan dengan hukum, yang berarti lain dari pada perbuatan
melanggar hukum”.
Adapun pengertian lalu lintas angkutan jalan di dalam Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dirumuskan
tentang pengertian lalu lintas angkutan jalan secara sendiri-sendiri yakni
sebagai berikut: Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009
tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan:
“Lalu lintas dan Angkutan Jalan adalah satu kesatuan sistem yang
terdiri atas Lalu Lintas, Angkutan Jalan, jaringan Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan, Prasana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, kendaraan,
Pengemudi, Pengguna Jalan, serta pengelolanya”.
Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu
Lintas dan Angkutan Jalan:
“Lalu Lintas adalah gerak Kendaraan dan orang di ruang Lalu Lintas
Jalan”.
Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu
Lintas dan Angkutan Jalan:
“Angkutan adalah perpindahan orang dan/atau barang dari satu tempat
ke tempat lain dengan menggunakan Kendaraan di Ruang Lalu Lintas
Jalan”.
Melihat rumusan Pasal 1 ayat (1), (2) dan (3) tersebut di atas dapat
disimpulkan bahwa lalu lintas angkutan jalan adalah gerak pindah orang atau
barang dari satu tempat ke tempat lain dengan menggunakan kendaraan dan
13 Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia, Bandung, Eresco, 1981, hlm. 28.
17
sarana jalan yang diperuntukkan bagi umum. Kendaraan yang dimaksud adalah
meliputi baik kendaraan bermotor maupun kendaraan tidak bermotor.
Sementara itu pengertian secara limitative tentang apa yang dimaksud
dengan pelanggaran lalu lintas tidak ditemukan di dalam pengertian umum
yang diatur Pasal 1 UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan
Jalan. Menurut Awaloedin bahwa pelanggaran lalu lintas adalah perbuatan atau
tindakan seseorang yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan
lalu lintas jalan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 32 (1) dan (2), Pasal
33 (1) huruf a dan b, Undang-Undang No. 14 Tahun 2002 atau peraturan
perundang-undangan yang lainnya.14
Definisi pelanggaran lalu lintas yang dikemukakan oleh Awaloedin
tersebut di atas ternyata masih menggunakan rujukan atau dasar perundang-
undangan yang lama yakni UU No 14 Tahun 1992 yang telah diganti dengan
UU No. 22 Tahun 2009, akan tetapi hal tersebut dapat dijadikan suatu masukan
berharga dalam membahas tentang pengertian pelanggaran lalu lintas.
Ramdlon Naning sendiri menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan
pelanggaran lalu lintas jalan adalah perbuatan atau tindakan yang bertentangan
dengan ketentuan-ketentuan peraturan perundang-undangan lalu lintas.15
Pelanggaran yang dimaksud adalah sebagaimana diatur dalam Pasal 105
Undang-undang Nomor 22 tahun 2009 yang berbunyi: Setiap orang yang
menggunakan Jalan Wajib:
14 Naning Rondlon, Menggairahkan Kesadaran Hukum Masyarakat dan Disiplin Penegak Hukum
dan Lalu Lintas, Jakarta: Bina Ilmu, 1983, hlm. 19. 15 Ibid.
18
1. Berperilaku tertib; dan/atau
2. Mencegah hal-hal yang dapat merintangi, membahayakan keamanan
dan keselamatan lalu lintas dan angkutan jalan, atau yang dapat
menimbulkan kerusakan jalan
Jika ketentuan tersebut di atas dilanggar maka akan dikualifikasikan
sebagai suatu pelanggaran yang terlibat dalam kecelakaan.
Untuk memberikan penjelasan tentang pelanggaran lalu lintas yang
lebih terperinci, maka perlu dijelaskan lebih dahulu mengenai pelanggaran itu
sendiri. Dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) tindak pidana
dibagi atas kejahatan (misdrijve) dan pelanggaran (overtredingen). Mengenai
kejahatan itu sendiri dalam KUHP diatur pada Buku II yaitu tentang Kejahatan.
Sedangkan pelanggaran diatur dalam Buku III yaitu tentang Pelanggaran.
Dalam hukum pidana terdapat dua pandangan mengenai criteria pembagian
tindak pidana kejahatan dan pelanggaran, yaitu bersifat kualitatif dan
kuantitatif.
Menurut pandangan yang bersifat kualitatif didefinisikan bahwa suatu
perbuatan dipandang sebagai tindak pidana setelah adanya undang-undang
yang mengatur sebagai tindak pidana. Sedangkan kejahatan bersifat recht
delicten yang berarti suatu yang dipandang sebagai perbuatan yang
bertentangan dengan keadilan, terlepas apakah perbuatan itu diancam pidana
dalam suatu undang-undang atau tidak. Menurut pandangan yang bersifat
kualitatif bahwa terhadap ancaman pidana pelanggaran lebih ringan dari
kejahatan. Menurut JM Van Bemmelen dalam bukunya “Handen Leer Boek
19
Van Het Nederlandse Strafrecht” menyatakan bahwa perbedaan antara kedua
golongan tindak pidana ini (kejahatan dan pelanggaran) tidak bersifat
kualitatif, tetapi hanya kuantitatif, yaitu kejahatan pada umumnya diancam
dengan hukuman yang lebih berat dari pada pelanggaran dan nampaknya ini
didasarkan pada sifat lebih berat dari kejahatan.16
Apabila pernyataan tersebut di atas dihubungkan dengan kenyataan
praktek yang dilakukan sehari-hari dimana pemberian sanksi terhadap pelaku
kejahatan memang pada umumnya lebih berat dari pada sanksi yang diberikan
kepada pelaku pelanggaran. Untuk menguraikan pengertian pelanggaran, maka
diperlukan para pendapat Sarjana Hukum. Menurut Wirjono Prodjodikoro,17
pengertian pelanggaran adalah “overtredingen” atau pelanggaran berarti suatu
perbutan yang melanggar sesuatu dan berhubungan dengan hukum, berarti
tidak lain dari pada perbuatan melawan hukum. Sedangkan menurut Bambang
Poernomo,18 mengemukakan bahwa pelanggaran adalah politis-on recht dan
kejahatan adalah crimineel-on recht. Politis-on recht itu merupakan perbuatan
yang tidak mentaati larangan atau keharusan yang ditentukan oleh penguasa
negara. Sedangkan crimineel-on recht itu merupakan perbuatan yang
bertentangan dengan hukum.
Dari berbagai definisi pelanggaran tersebut diatas maka dapat
disimpulkan bahwa unsur-unsur pelanggaran adalah sebagai berikut:
1. Adanya perbuatan yang bertentangan dengan perundang-undangan
16 Bambang Poernomo, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta: Ghalia Indonesia, 2002, hlm.40. 17 Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Pidana, Bandung: Refika Aditama, 2003, hlm.33. 18 Bambang Poernomo, Op.cit, hlm.40.
20
2. Menimbulkan akibat hukum
Maka dari berbagai pengertian di atas maka dapat mengambil
kesimpulan bahwa pelanggaran adalah suatu perbuatan atau tindakan yang
bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Berpedoman pada pengertian tentang pelanggaran dan pengertian lalu
lintas diatas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan
pelanggaran lalu lintas adalah suatu perbuatan atau tindakan yang dilakukan
seseorang yang mengemudi kendaraan umum atau kendaraan bermotor juga
pejalan kaki yang bertentangan dengan peaturan perundang-undangan lalu
lintas yang berlaku.19
Ketertiban lalu lintas adalah salah satu perwujudan disiplin nasional
yang merupakan cermin budaya bangsa karena itulah setiap insan wajib turut
mewujudkannya. Untuk menghindari terjadinya pelanggaran lalu lintas maka
diharapkan masyarakat dapat mengetahui dan melaksanakan serta patuh
terhadap peraturan lalu lintas yang terdapat pada jalan raya.
Di wilayah hukum Kota Malang, kesadaran pengguna kendaraan
bermotor untuk tertib berlalu lintas di Kota Malang ternyata masih rendah.
Indikasinya, angka pelanggaran lalu lintas cenderung mengalami peningkatan
setiap bulannya. Jumlah pelanggaran lalu lintas dari bulan Juli hingga 22
Agustus 2017 mengalami peningkatan signifikan. Data sidang lalu lintas di PN
Malang menunjukkan pada bulan Juli 2017, jumlah pelanggaran total adalah
1.813. Sedangkan jumlah pelanggaran hingga 22 Agustus 2017, mencapai
19 Ramdlon Naning, Menggairahkan Kesadaran Hukum Masyarakat dan Disiplin Penegak Hukum
Dalam Lalu Lintas, Surabaya: Bina Ilmu, 1983, hlm. 23.
21
2.295. Kenaikan pelanggaran lalu lintas ini mencapai 26 persen.20 Kemudian
sepanjang Oktober 2017, angka pelanggaran lalu lintas bahkan menjadi yang
tertinggi selama kalender 2017. Satlantas Polres Malang Kota mencatat ada
3.960 pelanggaran lalu lintas yang terjadi di bulan itu. Dari angka itu, sebanyak
1.216 pelanggaran di antaranya dilakukan oleh pengendara berusia 21–30
tahun. Rentang usia itu dikategorikan sebagai generasi milenial (kelahiran
tahun 1980 hingga 1997).21
B. Balap Mobil Liar
Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia, balap diartikan sebagai
(lomba) adu kecepatan.22 Balapan (race) mengandung pengertian balapan
kendaraan bermotor baik roda dua (sepeda motor) maupan roda empat (mobil)
yang dilangsungkan di trek aspal.23
Adapun liar diartikan sebagai tidak teratur; tidak menurut aturan
(hukum); tidak resmi ditunjuk atau diakui oleh yang berwenang; tanpa izin
resmi dari yang berwenang.24 Pengertian liar adalah tidak resmi ditunjuk atau
tidak diakui oleh yang berwenang, tanpa izin resmi dari yang berwenang, tidak
memiliki izin usaha, mendirikan atau membagun. Kata liar memang identik
dengan binatang, seperti singa liar, sapi liar, kambing liar, dan lain sebagainya.
Pengertiannya adalah binatang-binatang tersebut hidup dengan bebas dan tidak
20 Malang Post, 23 Agustus 2017, Pelanggaran Lalin Capai 2295 Orang, https://www.malang-
post.com/kriminal/pelanggaran-lalin-capai-2295-orang 21 Fajrus Shiddiq, 2 November 2017, Generasi Milenial Kok Langgar Lalu Lintas?,
http://www.radarmalang.id/generasi-milenial-kok-langgar-lalu-lintas/ 22 KBBI Daring, Balap, https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/balap 23 Ash Habul Kahfi, Sirkuit Balap Nasional di Semarang, Canopy: Journal of Architecture, Vol. 2
(1), 2013: 21-31. 24 KBBI Daring, Liar, https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/liar
22
ada pemiliknya atau tidak ada yang memelihara. Bisa juga dimaknai sebagai
binatang yang belum jinak, yang tidak kalah umum, mungkin kita biasa
menyebut tumbuhan yang tidak terawat dengan istilah tumbuhan atau tanaman
liar, ini jamak digunakan. Hal yang tidak kalah umum, mungkin kita biasa
menyebut tumbuhan yang tidak terawat dengan istilah tumbuhan atau tanaman
liar, ini telah jamak digunakan. Sekarang ini dapat dengan mudah menemukan
kata liar yang digunakan untuk berbagai macam istilah, seperti mata liar yang
diperuntukan bagi mata-mata yang menatap penuh waspada, atau pandangan
yang tanpa kontrol.25
Balap liar adalah kegiatan beradu cepat kendaraan, baik sepeda motor
maupun mobil, yang dilakukan diatas lintasan umum. Artinya kegiatan ini
sama sekali tidak digelar di lintasan balap resmi, melainkan di jalan raya.26
Balap liar merupakan suatu ajang peraduan balap dimana balapan ini dilakukan
tanpa izin resmi dan diselenggarakan di jalan raya yang termasuk fasilitas
umum yang tentunya juga banyak dilalui oleh kendaraan umum lainnya.27
Menurut Kartini Kartono,28 kebut-kebutan atau balapan liar di jalanan
yang mengganggu keamanan lalulintas dan membahayakan jiwa sendiri serta
orang lain adalah salah satu wujud atau bentuk perilaku delinkuen atau nakal.
Pada umumnya mereka tidak memiliki kesadaran sosial dan kesadaran moral.
25 Dimas Prasetiya, Respon Masyarakat Terhadap Balap Liar di Kalangan Remaja (Studi di PKOR
Way Halim Bandar Lampung), Skripsi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Lampung,
2016. 26 Lismaharia Febry, Balapan Liar di Kalangan Remaja (Studi Kasus Pelajar SMP-SMA Kelurahan
Sri Meranti Kecamatan Rumbai Kota Pekanbaru), JOM: Jurnal Online Mahasiswa FISIP, Vol. 4,
No. 1, Februari 2017, 1-13. 27 Dimas Prasetiya, Op.cit., hlm. 24. 28 Kartini Kartono, Patologi Sosial 3 (Gangguan-Gangguan Kejiwaan), Jakarta, PT.RajaGrafindo
Persada, 1997, hlm.21.
23
Tidak ada pembentukan ego dan super-ego, karena hidupnya didasarkan pada
basis instinktif yang primitif. Mental dan kemauannya jadi lemah, hingga
impuls-impuls, dorongan-dorongan dan emosinya tidak terkendali lagi seperti
tingkah lakunya liar berlebih-lebihan. Tingkah laku yang dilakukan remaja
tersebut dengan maksud mempertahankan harga dirinya dan untuk membeli
status sosial untuk mendapatkan perhatian lebih dan penghargaan dari
lingkungan.29
Faktor-faktor penyebab seseorang melakukan balap liar adalah faktor
karena hobi, karena faktor taruhan (judi), faktor lingkungan, faktor keluarga
dan faktor pengaruh teknologi.30 Selain itu ada faktor-faktor lain yang menjadi
pendorong terjadinya balap liar, yaitu: 31
a. Ketiadaan fasilitas sirkuit untuk balapan membuat pencinta otomotif
ini memilih jalan raya umum sebagai gantinya, jikapun tersedia,
biasanya harus melalui proses yang panjang.
b. Gengsi dan nama besar, selain itu ternyata balap liar juga merupakan
ajang adu gengsi dan pertaruhan nama besar.
c. Kemudian uang taruhan juga menjadi faktor yang membuat balap
liar menjadi suatu hobi.
d. Kesenangan dan memacu adrenalin. Bagi pelaku pembalap liar
mengemukakan mereka mendapatkan kesenangan dari sensasi balap
liar, ada rasa yang luar biasa yang tak dapat digambarkan ketika usai
balapan.
e. Keluarga dan lingkungan. Kurangnya perhatian orang tua, terjadi
masalah dalam keluarga atau ketika terlalu berlebihannya perhatian
orang tua kepada anak dan sebagainya juga dapat menjadi faktor
pendorang anak melakukan aktivitas-aktivitas negatif seperti balap
liar. Selain itu pengaruh atau ajakan teman juga dapat menjadi
faktor.
29 Kartini Kartono, Op.cit, hlm. 209. 30 Ni Putu Rai Yuliartini, Kajian Kriminologis Kenakalan Anak Dalam Fenomena Balapan Liar di
Wilayah Hukum Polres Buleleng, Jurnal Psikologi, Vol. 7, No. 3, 2014. 31 Kartini Kartono, Patologi Sosial Kenakalan Remaja, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2010, hlm
44
24
Sesuai dengan Undang-Undang No. 22 Tahun 2009 tentang lalu lintas
dan angkutan jalan, ketentuan pidana mengenai pelanggaran yang terkait
dengan balapan liar diatur dalam Pasal 57 angka (1) dan (3), Pasal 115, Pasal
283, Pasal 284, Pasal 287 Ayat (5), Pasal 297, Pasal 311 Ayat (1). Adapun
rinciannya adalah sebagai berikut:
Pasal 57 angka (1) dan (3)
(1) Setiap Kendaraan Bermotor yang dioperasikan di Jalan wajib
dilengkapi dengan perlengkapan Kendaraan Bermotor.
(3) Perlengkapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi
Kendaraan Bermotor beroda empat atau lebih sekurang-kurangnya
terdiri atas:
a. sabuk keselamatan;
b. ban cadangan;
c. segitiga pengaman;
d. dongkrak;
e. pembuka roda;
f. helm dan rompi pemantul cahaya bagi Pengemudi Kendaraan
Bermotor beroda empat atau lebih yang tidak memiliki rumah-
rumah; dan
g. peralatan pertolongan pertama pada Kecelakaan Lalu Lintas.
Pasal 106 angka (4)
(4) Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di Jalan
wajib mematuhi ketentuan:
a. rambu perintah atau rambu larangan;
b. Marka Jalan;
c. Alat Pemberi Isyarat Lalu Lintas;
d. gerakan Lalu Lintas;
e. berhenti dan Parkir;
f. peringatan dengan bunyi dan sinar;
g. kecepatan maksimal atau minimal; dan/atau
h. tata cara penggandengan dan penempelan dengan Kendaraan
lain.
25
Pasal 115
Pengemudi Kendaraan Bermotor di Jalan dilarang:
a. mengemudikan Kendaraan melebihi batas kecepatan paling tinggi
yang diperbolehkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21;
dan/atau
b. berbalapan dengan Kendaran Bermotor lain.
Pasal 311 angka (1)
(1) Setiap orang yang dengan sengaja mengemudikan Kendaraan
Bermotor dengan cara atau keadaan yang membahayakan bagi
nyawa atau barang dipidana dengan pidana penjara paling lama 1
(satu) tahun atau denda paling banyak Rp.3.000.000,00 (tiga juta
rupiah).
C. Kewenangan Kepolisian
Pasal 1 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang
Kepolisian Negara Republik Indonesia atau disebut dengan Undang-Undang
Kepolisian Negara Republik Indonesia, menyebutkan bahwa, “Kepolisian
adalah segala hal ihwal yang berkaitan dengan fungsi dan lembaga polisi sesuai
dengan peraturan perundang-undangan.”
Selanjutnya Pasal 5 Undang-Undang Kepolisian Negara Republik
Indonesia disebutkan bahwa:
1. Kepolisian Negara Republik Indonesia merupakan alat negara yang
berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat,
menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman,
dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya
keamanan dalam negeri. 2. Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah Kepolisian Nasional
yang merupakan satu kesatuan dalam melaksanakan peran
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
Fungsi polisi diatur dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, yaitu:
26
Fungsi kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan negara di
bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan
hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.
Adapun tugas pokok dan wewenang polisi diatur dalam Pasal 13, 14
ayat (1), dan 15 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian
Negara Republik Indonesia, yaitu:
Pasal 13
Tugas pokok Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah:
a. memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat; b. menegakkan hukum; dan
c. memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada
masyarakat.
Pasal 14 Ayat (1)
(1) Dalam melaksanakan tugas pokok sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 13, Kepolisian Negara Republik Indonesia bertugas:
a. melaksanakan pengaturan, penjagaan, pengawalan, dan patroli
terhadap kegiatan masyarakat dan pemerintah sesuai kebutuhan;
b. menyelenggarakan segala kegiatan dalam menjamin keamanan,
ketertiban, dan kelancaran lalu lintas di jalan;
c. membina masyarakat untuk meningkatkan partisipasi
masyarakat, kesadaran hukum masyarakat serta ketaatan warga
masyarakat terhadap hukum dan peraturan perundang-
undangan;
d. turut serta dalam pembinaan hukum nasional;
e. memelihara ketertiban dan menjamin keamanan umum;
f. melakukan koordinasi, pengawasan, dan pembinaan teknis
terhadap kepolisian khusus, penyidik pegawai negeri sipil, dan
bentuk-bentuk pengamanan swakarsa;
g. melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak
pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan
perundang-undangan lainnya;
h. menyelenggarakan identifikasi kepolisian, kedokteran
kepolisian, laboratorium forensik dan psikologi kepolisian
untuk kepentingan tugas kepolisian;
i. melindungi keselamatan jiwa raga, harta benda, masyarakat, dan
lingkungan hidup dari gangguan ketertiban dan/atau bencana
termasuk memberikan bantuan dan pertolongan dengan
menjunjung tinggi hak asasi manusia;
27
j. melayani kepentingan warga masyarakat untuk sementara
sebelum ditangani oleh instansi dan/atau pihak yang berwenang;
k. memberikan pelayanan kepada masyarakat sesuai dengan
kepentingannya dalam lingkup tugas kepolisian; serta
l. melaksanakan tugas lain sesuai dengan peraturan perundang-
undangan.
Pasal 15
(1) Dalam rangka menyelenggarakan tugas sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 13 dan 14 Kepolisian Negara Republik Indonesia
secara umum berwenang:
a. menerima laporan dan/atau pengaduan;
b. membantu menyelesaikan perselisihan warga masyarakat yang
dapat mengganggu ketertiban umum;
c. mencegah dan menanggulangi tumbuhnya penyakit masyarakat;
d. mengawasi aliran yang dapat menimbulkan perpecahan atau
mengancam persatuan dan kesatuan bangsa;
e. mengeluarkan peraturan kepolisian dalam lingkup kewenangan
administratif kepolisian;
f. melaksanakan pemeriksaan khusus sebagai bagian dari tindakan
kepolisian dalam rangka pencegahan;
g. melakukan tindakan pertama di tempat kejadian;
h. mengambil sidik jari dan identitas lainnya serta memotret
seseorang;
i. mencari keterangan dan barang bukti;
j. menyelenggarakan Pusat Informasi Kriminal Nasional;
k. mengeluarkan surat izin dan/atau surat keterangan yang
diperlukan dalam rangka pelayanan masyarakat;
l. memberikan bantuan pengamanan dalam sidang dan
pelaksanaan putusan pengadilan, kegiatan instansi lain, serta
kegiatan masyarakat;
m. menerima dan menyimpan barang temuan untuk sementara
waktu.
(2) Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai dengan peraturan
perundang-undangan lainnya berwenang :
a. memberikan izin dan mengawasi kegiatan keramaian umum dan
kegiatan masyarakat lainnya;
b. menyelenggarakan registrasi dan identifikasi kendaraan
bermotor;
c. memberikan surat izin mengemudi kendaraan bermotor;
d. menerima pemberitahuan tentang kegiatan politik;
e. memberikan izin dan melakukan pengawasan senjata api, bahan
peledak, dan senjata tajam;
f. memberikan izin operasional dan melakukan pengawasan
terhadap badan usaha di bidang jasa pengamanan;
28
g. memberikan petunjuk, mendidik, dan melatih aparat kepolisian
khusus dan petugas pengamanan swakarsa dalam bidang teknis
kepolisian;
h. melakukan kerja sama dengan kepolisian negara lain dalam
menyidik dan memberantas kejahatan internasional;
i. melakukan pengawasan fungsional kepolisian terhadap orang
asing yang berada di wilayah Indonesia dengan koordinasi
instansi terkait;
j. mewakili pemerintah Republik Indonesia dalam organisasi
kepolisian internasional;
k. melaksanakan kewenangan lain yang termasuk dalam lingkup
tugas kepolisian.
Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 7 ayat (e) Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Jalan Raya, bahwa urusan
pemerintahan di bidang registrasi dan identifikasi kendaraan bermotor dan
pengemudi, penegakan hukum, operasional manajemen dan rekayasa lalu
lintas, serta pendidikan berlalu lintas, diselenggarakan oleh Kepolisian Negara
Republik Indonesia. Tugas Kepolisian di bidang lalu lintas tersebut meliputi:
(a) pengujian dan penerbitan Surat Izin Mengemudi (SIM) Kendaraan
Bermotor;
(b) pelaksanaan registrasi dan identifikasi Kendaraan Bermotor
(BPKB, STNK, TNBK);
(c) pengumpulan, pemantauan, pengolahan, dan penyajian data Lalu
Lintas dan Angkutan Jalan;
(d) pengelolaan pusat pengendalian Sistem Informasi dan Komunikasi
Lalu Lintas dan Angkutan Jalan;
(e) pengaturan, penjagaan, pengawalan, dan patroli Lalu Lintas;
(f) penegakan hukum yang meliputi penindakan pelanggaran dan
penanganan Kecelakaan Lalu Lintas;
(g) pendidikan berlalu lintas;
(h) pelaksanaan Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas; dan
(i) pelaksanaan manajemen operasional Lalu Lintas.
Sesuai dengan Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia
Nomor 23 Tahun 2010 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Pada
Tingkat Kepolisian Resort dan Kepolisian kedudukan polres berada di ibukota
29
kabupaten/kota di daerah hukum masing-masing. Berdasarkan Pasal 4 ayat (2)
Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 23 Tahun
2010 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Pada Tingkat Kepolisian
Resort dan Kepolisian disebutkan bahwa, Polres terdiri dari:
a. Tipe Metropolitan; b. Tipe Polrestabes; c. Tipe Polresta; dan d. Tipe Polres.
Tugas polres adalah menyelenggarakan tugas pokok Polri dalam
memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta
memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat
dan melaksanakan tugas-tugas Polri lainnya dalam daerah hukum Polres,
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Sesuai dengan Pasal
6 Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 23 Tahun
2010 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Pada Tingkat Kepolisian
Resort dan Kepolisian Polres menyelenggarakan fungsi:
a. pemberian pelayanan kepolisian kepada masyarakat, dalam bentuk
penerimaan dan penanganan laporan/pengaduan, pemberian bantuan
dan pertolongan termasuk pengamanan kegiatan masyarakat dan
instansi pemerintah, dan pelayanan surat izin/keterangan, serta
pelayanan pengaduan atas tindakan anggota Polri sesuai dengan
ketentuan peraturan perundangundangan; b. pelaksanaan fungsi intelijen dalam bidang keamanan guna
terselenggaranya deteksi dini (early detection) dan peringatan dini
(early warning); c. penyelidikan dan penyidikan tindak pidana, fungsi identifikasi dan
fungsi laboratorium forensik lapangan dalam rangka penegakan
hukum, serta pembinaan, koordinasi, dan pengawasan Penyidik
Pegawai Negeri Sipil (PPNS); d. pembinaan masyarakat, yang meliputi pemberdayaan masyarakat
melalui perpolisian masyarakat, pembinaan dan pengembangan
bentuk-bentuk pengamanan swakarsa dalam rangka peningkatan
kesadaran dan ketaatan warga masyarakat terhadap hukum dan
30
ketentuan peraturan perundang-undangan, terjalinnya hubungan antara Polri dengan masyarakat, koordinasi dan pengawasan
kepolisian khusus; e. pelaksanaan fungsi Sabhara, meliputi kegiatan pengaturan,
penjagaan pengawalan, patroli (Turjawali) serta pengamanan
kegiatan masyarakat dan pemerintah, termasuk penindakan tindak
pidana ringan (Tipiring), pengamanan unjuk rasa dan pengendalian
massa, serta pengamanan objek vital, pariwisata dan Very Important
Person (VIP); f. pelaksanaan fungsi lalu lintas, meliputi kegiatan Turjawali lalu
lintas, termasuk penindakan pelanggaran dan penyidikan kecelakaan
lalu lintas serta registrasi dan identifikasi kendaraan bermotor dalam
rangka penegakan hukum dan pembinaan keamanan, keselamatan,
ketertiban, dan kelancaran lalu lintas; g. pelaksanaan fungsi kepolisian perairan, meliputi kegiatan patroli
perairan, penanganan pertama terhadap tindak pidana perairan,
pencarian dan penyelamatan kecelakaan di wilayah perairan,
pembinaan masyarakat perairan dalam rangka pencegahan
kejahatan, dan pemeliharaan keamanan di wilayah perairan; dan h. pelaksanaan fungsi-fungsi lain, sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan Polres memiliki beberapa unsur pelaksana
tugas pokok yang berada di bawah Kapolres.
Salah satu unsur pelaksana tugas pokok adalah Satlantas. Menurut Pasal
1 angka (20) Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor
23 Tahun 2010 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Pada Tingkat
Kepolisian Resort dan Kepolisian Sektor disebutkan bahwa, Satuan Lalu Lintas
yang selanjutnya disingkat Satlantas adalah unsur pelaksana tugas pokok
fungsi lalu lintas pada tingkat Polres yang berada di bawah Kapolres.
Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 59-62 Peraturan Kapolri Nomor
23 Tahun 2010 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja pada Tingkat Polres
dan Polsek, yaitu bahwa Satuan Lalu Lintas (Satlantas) adalah unsur pelaksana
tugas pokok fungsi lalu lintas pada tingkat Polres yang berada di bawah
Kapolres. Satlantas bertugas melaksanakan Turjawali lalu lintas, pendidikan
masyarakat lalu lintas (Dikmaslantas), pelayanan registrasi dan identifikasi
31
kendaraan bermotor dan pengemudi, penyidikan kecelakaan lalu lintas dan
penegakan hukum di bidang lalu lintas. Dalam melaksanakan tugas tersebut,
Satlantas menyelenggarakan fungsi:
(j) pembinaan lalu lintas kepolisian;
(k) pembinaan partisipasi masyarakat melalui kerja sama lintas
sektoral, Dikmaslantas, dan pengkajian masalah di bidang lalu
lintas; (l) pelaksanaan operasi kepolisian bidang lalu lintas dalam rangka
penegakan hukum dan keamanan, keselamatan, ketertiban,
kelancaran lalu lintas (Kamseltibcarlantas); (m) pelayanan administrasi registrasi dan identifikasi kendaraan
bermotor serta pengemudi; (n) pelaksanaan patroli jalan raya dan penindakan pelanggaran serta
penanganan kecelakaan lalu lintas dalam rangka penegakan
hukum, serta menjamin Kamseltibcarlantas di jalan raya; (o) pengamanan dan penyelamatan masyarakat pengguna jalan; dan (p) perawatan dan pemeliharaan peralatan dan kendaraan.
D. Penegakan Hukum
1. Pengertian Penegakan Hukum
Soerjono Soekanto mengemukakan bahwa penegakan hukum adalah
kegiatan menyerasikan hubungan nila-nilai yang terjabarkan dalam kaidah-
kaidah mantap dan sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir
untuk menciptakan, memelihara dan mempertahankan kedamaian pergaulan
hidup.32 Adapun menurut Purnadi Purbacaraka bahwa penegakan hukum dapat
dilakukan oleh subjek yang luas dan dapat pula diartikan sebagai upaya
penegakan hukum oleh subjek dalam arti yang terbatas atau sempit. Dalam arti
luas, proses penegakan hukum itu melibatkan semua subjek hukum dalam
setiap hubungan hukum. Dalam arti sempit, dari segi subjeknya itu, penegakan
32 Soerjono Soekanto, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Jakarta: Rajawali
Press, 2010, hlm. 35
32
hukum itu hanya diartikan sebagai upaya aparatur penegakan hukum tertentu
untuk menjamin dan memastikan bahwa suatu aturan hukum berjalan
sebagaimana seharusnya.33
Sementara menurut Barda Nawawi Arief bahwa penegakan hukum
adalah suatu usaha untuk menanggulangi kejahatan secara rasional, memenuhi
rasa keadilan dan berdaya guna. Dalam rangka menanggulangi kejahatan
terhadap berbagai sarana sebagai reaksi yang dapat diberikan kepada pelaku
kejahatan, berupa sarana pidana maupun non hukum pidana, yang dapat
diintegrasikan satu dengan yang lainnya. Apabila sarana pidana dipanggil
untuk menanggulangi kejahatan, berarti akan dilaksanakan politik hukum
pidana, yakni mengadakan pemilihan untuk mencapai hasil perundang-
undangan pidana yang sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu dan
untuk masa-masa yang akan datang.34
Berdasarkan pengertian-pengertian dari para ahli tersebut, maka dapat
disimpulkan bahwa penegakan hukum adalah sebagai suatu kegiatan yang
dilakukan secara bersengaja dalam upaya menyerasikan nilai-nilai yang
tercermin dalam perilaku masyarakat untuk menciptakan, memelihara dan
mempertahankan kedamaian pergaulan hidup.
33 Purnadi Purbacaraka, Penegakan Hukum dan Mensukseskan Pembangunan, Bandung: Alumni,
1977, hlm. 34 34 Barda Nawawi Arief, Kebijakan Hukum Pidana, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2002, hlm. 109
33
2. Teori Penegakan Hukum
Joseph Goldstein membedakan penegakan hukum pidana menjadi 3
bagian, yaitu:35
a. Total enforcement, yakni ruang lingkup penegakan hukum pidana
sebagaimana yang dirumuskan oleh hukum pidana substantif (subtantive
law of crime). Penegakan hukum pidana secara total ini tidak mungkin
dilakukan sebab para penegak hukum dibatasi secara ketat oleh hukum acara
pidana yang antara lain mencakup aturanaturan penangkapan, penahanan,
penggeledahan, penyitaan dan pemeriksaan pendahuluan. Di samping itu
mungkin terjadi hukum pidana substantif sendiri memberikan batasan-
batasan. Misalnya dibutuhkan aduan terlebih dahulu sebagai syarat
penuntutan pada delik-delik aduan (klacht delicten). Ruang lingkup yang
dibatasi ini disebut sebagai area of no enforcement.
b. Full enforcement, setelah ruang lingkup penegakan hukum pidana yang
bersifat total tersebut dikurangi area of no enforcement dalam penegakan
hukum ini para penegak hukum diharapkan penegakan hukum secara
maksimal.
c. Actual enforcement, menurut Joseph Goldstein full enforcement ini
dianggap not a realistic expectation, sebab adanya keterbatasan-
keterbatasan dalam bentuk waktu, personil, alat-alat investigasi, dana dan
sebagainya, yang kesemuanya mengakibatkan keharusan dilakukannya
discretion dan sisanya inilah yang disebut dengan actual enforcement.
35 Shant Dellyana, Konsep Penegakan Hukum, Yogyakarta: Liberty, 1988, hlm 39.
34
3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum
Penegakan hukum bukanlah semata-mata berarti hanya pada
pelaksanaan perundang-undangan saja atau berupa keputusan-keputusan
hakim. Masalah pokok yang melanda penegakan hukum yakni terdapat pada
faktor-faktor yang mempengaruhinya secara langsung maupun tidak langsung.
Faktor-faktor tersebut mempunyai arti yang netral sehingga dapat
menyebabkan dampak positif maupun dampak negatif dilihat dari segi faktor
penegakan hukum itu menjadikan agar suatu kaidah hukum benar-benar
berfungsi. Menurut Soerjono Soekanto faktor-faktornya adalah:36
a. Faktor hukumnya sendiri atau peraturan itu sendiri
Dapat dilihat dari adannya peraturan undang-undang, yang dibuat oleh
pemerintah dengan mengharapkan dampak positif yang akan didapatkan
dari penegakan hukum. Dijalankan berdasarkan peraturan undang-undang
tersebut, sehingga mencapai tujuan yang efektif. Di dalam undang-undang
itu sendiri masih terdapat permasalahan-permasalahan yang dapat
menghambat penegakan hukum, yakni:
1) Tidak diikuti asas-asas berlakunya undang-undang.
2) Belum adanya peraturan-pelaksanaan yang sangat dibutuhkan untuk
menerapkan undang-undang.
3) Ketidakjelasan arti kata-kata di dalam undang-undang yang
mengakibatkan kesimpangsiuran di dalam penafsiran serta
penerapannya.
36 Soerjono Soekanto, Op.cit.
35
b. Faktor penegak hukum, yaitu pihak-pihak yang membentuk dan
menerapkan hukum
Istilah penegakan hukum mencakup mereka yang secara langsung
maupun tidak langsung berkecimpung di bidang penegakan hukum, seperti:
di bidang kehakiman, kejaksaan, kepolisian, kepengacaraan dan
permasyarakatan. Penegak hukum merupakan golongan panutan dalam
masyarakat, yang sudah seharusnya mempunyai kemampuan-kemampuan
tertentu guna menampung aspirasi masyarakat. Penegak hukum harus peka
terhadap masalah-masalah yang terjadi di sekitarnya dengan dilandasi suatu
kesadaran bahwa persoalan tersebut ada hubungannya dengan penegakan
hukum itu sendiri.
c. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum
Kepastian penanganan suatu perkara senantiasa tergantung pada
masukan sumber daya yang diberikan di dalam program-program
pencegahan dan pemberantasan tindak pidana. Di dalam pencegahan dan
penanganan tindak pidana prostitusi yang terjadi melalui alat komunikasi,
maka diperlukan yang namanya teknologi deteksi kriminalitas guna
memberi kepastian dan kecepatan dalam penanganan pelaku prostitusi.
Tidak mungkin penegakan hukum akan berjalan dengan lancar tanpa adanya
sarana atau fasilitas tertentu yang ikut mendukung dalam pelaksanaannya.
Maka menurut Purnadi Purbacaraka,37 dan Soerjono Soekanto,38 sebaiknya
37 Purnadi Purbacaraka, Op.cit. 38 Soerjono Soekanto, Op.cit.
36
untuk melengkapi sarana dan fasilitas dalam penegakan hukum perlu dianut
jalan pikiran sebagai berikut:
1) Yang tidak ada, harus diadakan dengan yang baru
2) Yang rusak atau salah, harus diperbaiki atau dibetulkan.
3) Yang kurang, harus ditambah
4) Yang macet harus dilancarkan
5) Yang mundur atau merosot, harus dimajukan dan ditingkatkan.
d. Faktor masyarakat, yaitu faktor lingkungan dimana hukum tersebut berlaku
dan diterapkan.
Penegakan hukum berasal dari masyarakat dan bertujuan untuk
mencapai kedamaian di dalam masyarakat itu sendiri. Secara langsung
masyarakat dapat mempengaruhi penegakan hukum. Hal ini dapat dilihat
dari pendapat masyarakat mengenai hukum. Maka muncul kecendrungan
yang besar pada masyarakat untuk mengartikan hukum sebagai petugas,
dalam hal ini adalah penegak hukumnya sendiri. Ada pula dalam golongan
masyarakat tertentu yang mengartikan hukum sebagai tata hukum atau
hukum positif tertulis. Pada setiap tindak pidana atau usaha dalam rangka
penegakan hukum, tidak semuanya diterima masyarakat sebagai sikap
tindak yang baik, ada kalanya ketaatan terhadap hukum yang dilakukan
dengan hanya mengetengahkan sanksi-sanksi negatif yang berwujud
hukuman atau penjatuhan pidana apabila dilanggar. Hal itu hanya
menimbulkan ketakutan masyarakat terhadap para penegak hukum semata
atau petugasnya saja.
37
Faktor-faktor yang memungkinkan mendekatnya penegak hukum pada
pola isolasi adalah:39
1) Pengalaman dari warga masyarakat yang pernah berhubungan dengan
penegak hukum dan merasakan adanya suatu intervensi terhadap
kepentingan-kepentingan pribadinya yang dianggap sebagai gangguan
terhadap ketentraman (pribadi).
2) Peristiwa-peristiwa yang terjadi yang melibatkan penegak hukum dalam
tindakan kekerasan dan paksaan yang menimbulkan rasa takut.
3) Pada masyarakat yang mempunyai taraf stigmatisasi yang relatif tinggi
atau cap yang negatif pada warga masyarakat yang pernah berhubungan
dengan penegak hukum.
4) Adanya haluan tertentu dari atasan penegak hukum agar membatasi
hubungan dengan warga masyarakat, oleh karena ada golongan tertentu
yang diduga akan dapat memberikan pengaruh buruk kepada penegak
hukum.
Misalnya penanggulangan atau pemberantasan tindak pidana prostitusi
melalui alat komunikasi harus ditujukan kepada pelaku pembuat konten
terlebih dahulu. Hal ini dimaksudkan agar ia bertanggung jawab atas
perbuatannya. Bagi para gadis-gadis yang ikut dijajakan di dalam konten
dapat diberi efek jera meskipun tidak berupa penjatuhan pidana, tetapi lebih
cenderung pada hukuman non pidana.
39 Ibid, hlm. 70
38
e. Faktor kebudayaan, yaitu sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang
didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.
Kebudayaan atau sistem hukum pada dasarnya mencakup nilai-nilai
yang mendasari hukum yang berlaku bagi pelaksana hukum maupun pencari
keadilan. Nilai-nilai yang merupakan konsepsi-konsepsi abstrak mengenai
apa yang dianggap baik seharusnya diikuti dan apa yang dianggap buruk
seharusnya dihindari. Mengenai faktor kebudayaan terdapat pasangan nilai-
nilai yang berpengaruh dalam hukum, yakni:
1) Nilai ketertiban dan nilai ketentraman
2) Nilai jasmaniah dan nilai rohaniah (keakhlakan).
3) Nilai konservatisme dan nilai inovatisme.
Kelima faktor-faktor tersebut mempunyai pengaruh terhadap
penegakan hukum, baik pengaruh positif maupun pengaruh yang bersifat
negatif. Dalam hal ini factor penegak hukum bersifat sentral. Hal ini
disebabkan karena undang-undang yang disusun oleh penegak hukum,
penerapannya dilaksanakan oleh penegak hukum itu sendiri dan penegak
hukum dianggap sebagai golongan panutan hukum oleh masyarakat luas.
Hukum yang baik adalah hukum yang mendatangkan keadilan dan
bermanfaat bagi masyarakat. Penetapan tentang perilaku yang melanggar
hukum senantiasa dilengkapi dengan pembentukan organ-organ
penegakannya. Hal ini tergantung pada beberapa faktor, di antaranya:
a. Harapan masyarakat yakni apakah penegakan tersebut sesuai atau tidak
dengan nilai-nilai masyarakat.
39
b. Adanya motivasi warga masyarakat untuk melaporkan terjadinya perbuatan
melanggar hukum kepada organ-organ penegak hukum tersebut.
c. Kemampuan dan kewibawaan dari pada organisasi penegak hukum.40
40 M. Husen Harun, Kejahatan dan Penegakan Hukum di Indonesia, Jakarta: Rineka Cipta, 1990,
hlm. 41