BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Teori 1. Otonomi Daerah · Kedua, otonomi daerah dan...

39
10 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Teori 1. Otonomi Daerah a. Pengertian Otonomi Daerah Berdasarkan UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, yaitu pada pasal 1 angka 6 yang dimaksud dengan Otonomi Derah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri Urusan Pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sedangkan yang dimaksud daerah otonom adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sindiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesaia. Pada hakikatnya Otonomi Daerah diberikan kepada rakyat sebagai satu kesatuan masyarakat hukum yang diberi kewenangan untuk mengatur dan mengurus sendiri Urusan Pemerintahan yang diberikan oleh Pemerintah Pusat kepada Daerah dan dalam pelaksanaannya dilakukan oleh kepala daerah dan DPRD dengan dibantu oleh Perangkat Daerah. Kebijakan otonomi daerah merupakan langkah strategis dalam dua hal. Pertama, otonomi daerah dan desentralisasi

Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Teori 1. Otonomi Daerah · Kedua, otonomi daerah dan...

10

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Landasan Teori

1. Otonomi Daerah

a. Pengertian Otonomi Daerah

Berdasarkan UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan

Daerah, yaitu pada pasal 1 angka 6 yang dimaksud dengan Otonomi

Derah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk

mengatur dan mengurus sendiri Urusan Pemerintahan dan

kepentingan masyarakat setempat dalam sistem Negara Kesatuan

Republik Indonesia. Sedangkan yang dimaksud daerah otonom

adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas

wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan

pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut

prakarsa sindiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem

Negara Kesatuan Republik Indonesaia. Pada hakikatnya Otonomi

Daerah diberikan kepada rakyat sebagai satu kesatuan masyarakat

hukum yang diberi kewenangan untuk mengatur dan mengurus

sendiri Urusan Pemerintahan yang diberikan oleh Pemerintah Pusat

kepada Daerah dan dalam pelaksanaannya dilakukan oleh kepala

daerah dan DPRD dengan dibantu oleh Perangkat Daerah.

Kebijakan otonomi daerah merupakan langkah strategis

dalam dua hal. Pertama, otonomi daerah dan desentralisasi

11

merupakan jawaban atas permasalahan lokal bangsa Indonesia

berupa ancaman disintegrasi bangsa, kemiskinan, ketidakmerataan

pembangunan, rendahnya kualitas hidup masyarakat, dan masalah

pembangunan sumber daya manusia. Kedua, otonomi daerah dan

desentralisasi merupakan langkah strategis bangsa Indonesia untuk

menyongsong era globalisasi ekonomi dengan memperkuat

perekonomian daerah (Mardiasmo, 2002).

b. Tujuan Otonomi Daerah

Adapun tujuan diselenggarakan otonomi daerah adalah untuk

meningkatkan pelayanan publik dan memajukan perekonomian

daerah. Pasa dasarnya terkandung tiga visi utama pelaksanaan

otonomi daerah dan desentralisasi fiskal, yaitu: (1) meningkatkan

kualitas dan kuantitas pelayanan publik dan kesejahteraan

masyarakat, (2) menciptakan efisiensi dan efektivitas pengelolaan

sumber daya daerah, dan (3) memperdayakan dan menciptakan

ruang bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam proses

pembangunan (Mardiasmo, 2002).

Dari kepentingan Pemerintah Pusat tujuan utamanya adalah

pendidikan politik, pelatihan kepemimpinan, menciptakan stabilitas

politik dan mewujudkan demokratisasi sistem pemerintahan di

daerah. Sementara bila dilihat sisi kepentingan Pemerintah Daerah

ada tiga tujuan yaitu:

1) Untuk mewujudkan apa yang disebut sebagai political equality,

artinya melalui otonomi daerah diharapkan akan lebih membuka

12

kesempatan bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam

berbagai aktivitas politik di tingkat lokal atau daerah.

2) Untuk menciptakan local accountability, artinya dengan

otonomi akan meningkatkan kemampuan pemerintah daerah

dalam memperhatikan hak-hak masyarakat.

3) Untuk mewujudkan local responsiveness, artinya dengan

otonomi daerah diharapkan akan mempermudah antisipasi

terhadap berbagai masalah yang muncul sekaligus

meningkatkan akselerasi pembangunan sosial dan ekonomi

daerah.

2. Keuangan Daerah

a. Pengertian Keuangan Daerah

Keuangan daerah adalah semua hak dan kewajiban daerah

dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah yang dapat

dinilai dengan uang termasuk didalamnya segala bentuk kekayaan

yang berhubungan dengan hak dan kewajiban daerah tersebut (Pasal

1 ayat 5 PP No. 58 Tahun 2005).

Dari pengertian di atas dapat dilihat bahwa dalam keuangan

daerah terdapat dua unsur penting yaitu :

1) Semua hak dimaksudkan sebagai hak untuk memungut pajak

daerah, retribusi daerah dan/atau penerimaan dan sumber-

sumber lain sesuai ketentuan yang berlaku merupakan

penerimaaan daerah sehingga menambah kekayaan daerah.

13

2) Kewajiban daerah dapat berupa kewajiban untuk membayar atau

sehubungan adanya tagihan kepada daerah dalam rangka

pembiayaan rumah tangga daerah serta pelaksanaan tugas umum

dan tugas pembangunan oleh daerah yang bersangkutan.

Menurut Halim (dalam Wijayanti, 2012), ciri utama suatu

daerah mampu melaksanakan otonomi daerah yaitu, (1)

kemampuan keuangan daerah, yang berarti daerah tersebut memiliki

kemampuan dan kewenangan untuk menggali sumber-sumber

keuangan, mengelola dan menggunakan keuangannya sendiri untuk

membiayai penyelenggaraan pemerintahan; (2) ketergantungan

kepada bantuan pusat harus seminimal mungkin, oleh karena itu

PAD harus menjadi sumber keuangan terbesar yang didukung oleh

kebijakan perimbangan keuangan pusat dan daerah. Untuk melihat

kemampuan daerah dalam menjalankan otonomi daerah, salah

satunya yaitu dapat diukur melalui kinerja keuangan daerah.

Semakin tinggi derajat kemandirian suatu daerah,

menunjukkan bahwa suatu daerah akan semakin mampu dalam

membiayai pengeluarannya sendiri tanpa bantuan dari pemerintah

pusat. Dengan melihat kontribusi pendapatan asli daerah terhadap

pendapatan daerah secara keseluruhan, maka akan dapat terlihat

kinerja keuangan daerah secara utuh.

b. Asas Umum Keuangan Daerah

Berdasarkan Pasal 66 UU No. 33 Tahun 2004, asas umum

pengelolaan keuangan daerah adalah sebagai berikut :

14

1) Keuangan Daerah dikelola secara tertib, taat pada peraturan

perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan, dan

bertanggung jawab dengan memperhatikan keadilan, kepatutan,

dan manfaat untuk masyarakat.

2) APBD, Perubahan APBD, dan pertanggungjawaban pelaksanaan

APBD setiap tahun ditetapkan dengan Peraturan Daerah.

3) APBD mempunyai fungsi otorisasi, perencanaan, pengawasan,

alokasi, dan distribusi.

4) Semua Penerimaan dan Pengeluaran Daerah dalam tahun

anggaran yang bersangkutan harus dimasukkan dalam APBD.

5) Surplus APBD dapat digunakan untuk membiayai pengeluaran

Daerah tahun anggaran berikutnya.

6) Penggunaan surplus APBD sebagaimana dimaksud pada ayat (5)

untuk membentuk Dana cadangan atau penyertaan dalam

Perusahaan Daerah harus memperoleh persetujuan terlebih

dahulu dari DPRD.

c. Prinsip Pengelolaan Keuangan Daerah

Pengelolaan keuangan daerah adalah keseluruhan kegiatan

yang meliputi perencanaan, pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan,

pertanggungjawaban dan pengawasan keuangan daerah (Pasal 1

angka 6 PP No. 58 Tahun 2005).

Pengelolaan keuangan daerah menganut prinsip transparansi,

akuntabilitas, dan value for money. Transparansi merupakan wujud

adanya keterbukaan dalam proses perencanaan, penyusunan, dan

15

pelaksanaan anggaran daerah. Dalam prinsip ini, anggota masyarakat

memiliki hak dan akses yang sama untuk mengetahui proses

anggaran karena menyangkut aspirasi dan kepentingan bersama,

terutama pemenuhan hidup masyarakat. Adapun prinsip akuntabilats

terkait dengan pertanggungjawaban publik yang berarti bahwa

proses penganggaran, mulai dari perencanaan, penyusunan, hingga

pelaksanaan harus benar-benar dapat dilaporkan dan

dipertanggungjawabkan kepada DPRD dan masyarakat.

3. Pendapatan Asli Daerah

Pendapatan Asli Daerah (PAD) adalah pendapatan yang diperoleh

daerah yang dipungut berdasarkan Peraturan Daerah sesuai dengan

peraturan perundang-undangan. PAD merupakan salah satu sumber

pendapatan suatu daerah yang dapat dijadikan sebagai tolak ukur kinerja

perekonomian. PAD merupakan pendapatan yang diperoleh daerah,

pemungutannya berdasarkan pada peraturan daerah sesuai perundang-

undangan yang berlaku, bertujuan memberikan kewenangan kepada

pemerintah daerah mendanai pelaksanaan otonomi daerah sesuai dengan

potensi daerah sebagai perwujudan dari sistem desentralisasi (Pasal 1,

angka 18, UU Nomor 33 Tahun 2004).

Pendapatan Asli Daerah (PAD) adalah salah satu sumber yang

harus selalu dan terus menerus di picu pertumbuhannya, karena PAD

merupakan indikator penting untuk memenuhi tingkat kemandirian

pemerintah di bidang keuangan. Semakin tinggi peranan PAD terhadap

APBD maka akan semakin berhasil usaha pemerintah daerah dalam

16

membiayai penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah

(Wijayanti, 2012).

Adapun sumber-sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) menurut

UU Nomor 23 Tahun 2014 adalah sebagai berikut:

a. Pajak Daerah

Pajak daerah merupakan pajak yang pemungutannya

dilakukan pemerintah daerah yang hasilnya digunakan untuk

pengeluaran umum yang balas jasanya tidak langsung diberikan, dan

pelaksanaannya dapat dipaksakan. Menurut Pasal 1 angka 10 dalam

UU Nomor 28 tahun 2009, Pajak Daerah adalah kontribusi wajib

kepada Daerah yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang

bersifat memaksa berdasarkan Undang-undang, dengan tidak

mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk

keperluan Daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Berdasarkan UU tersebut, pajak daerah terbagi menjadi 2 (dua) jenis,

yaitu pajak berdasarkan Provinsi dan juga berdasarkan Kabupaten/

Kota. Pajak berdasarkan Provinsi meliputi Pajak Kendaraan

Bermotor; Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor; Pajak Bahan

Bakar Kendaraan Bermotor; Pajak Air Permukaan dan Pajak Rokok.

Sementara yang termasuk kedalam pajak Kabupaten/kota

meliputi Pajak Hotel; Pajak Restoran; Pajak Hiburan; Pajak

Reklame; Pajak Penerangan Jalan; Pajak Parkir; Pajak Mineral

Bukan Logam dan Batuan; Pajak Air Tanah; Pajak Sarang Burung

17

walet; Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan; dan PBB

Perkotaan dan Pedesaan.

b. Retribusi Daerah

Sebagaimana dengan Pajak Daerah, ketentuan mengenai

Retribusi Daerah juga ditetapkan dalam UU Nomor 28 Tahun 2009.

Pengertian Retribusi Daerah dalam Undang-udang tersebut

khususnya pada Pasal 1 angka 64, Retribusi adalah pungutan Daerah

sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang

khusus disediakan dan/atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk

kepentingan orang pribadi atau Badan. Dalam Pasal 108 ayat (1)

dijelaskan bahwa Retribusi itu digolongkan menjadi 3 (tiga) jenis,

yaitu:

1) Retribusi Jasa Umum

Objek Retribusi Jasa Umum adalah pelayanan yang

disediakan atau diberikan Pemerintah Daerah untuk tujuan

kepentingan dan kemanfaatan umum serta dapat dinikmati oleh

orang pribadi atau Badan (Pasal 109, UU Nomor 28 Tahun

2009).

2) Retribusi Jasa Usaha

Berdasarkan Pasal 1 angka 67, Retribusi Jasa Usaha

adalah Jasa yang disediakan oleh Pemerintah Daerah dengan

menganut prinsip-prinsip komersial karena pada dasarnya dapat

pula disediakan oleh sektor swasta.

18

3) Retribusi Perizinan Tertentu

Sesuai pasal 1 angka 68, Retribusi Perizinan Tertentu

diartikan sebagai retribusi atas kegiatan tertentu Pemerintah

Daerah dalam rangka pemberian izin kepada orang pribadi atau

Badan yang dimaksudkan untuk pembinaan, pengaturan,

pengendalian dan pengawasan atas kegiatan, pemanfaatan ruang,

serta penggunaan sumber daya alam,barang, prasarana, sarana

atau fasilitas tertentu guna melindungi kepentingan umum dan

menjaga kelestarian lingkungan.

c. Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah yang Dipisahkan

Menurut Pasal 26 ayat (3) Permendagri Nomor 13 Tahun

2006, jenis Hasil Pengelolaan Kekyaaan Daerah yang Dipisahkan

adalah sebagai berikut:

1) Bagian laba atas penyertaan modal pada perusahaan

milik daerah/BUMD;

2) Bagian laba atas penyertaan modal pada perusahaan

milik pemerintah/BUMN; dan

3) Bagian laba atas penyertaan modal pada perusahaan

milik swasta atau kelompok usaha masyarakat.

d. Lain-lain Pendapatan Asli Daerah yang Sah

Sesuai dengan Pasal 26 ayat (4) Permendagri Nomor 13

Tahun 2006, Jenis Lain-lain Pendapatan Asli Daerah yang Sah

adalah:

1) Hasil penjualan kekayaan daerah yang tidak dipisahkan;

19

2) Jasa giro;

3) Pendapatan bunga;

4) Penerimaan atas tuntutan ganti kerugian daerah;

5) Penerimaan komisi, potongan ataupun bentuk lain sebagai

akibat dari penjualan dan/atau pengadaan barang dan/atau jasa

oleh daerah;

6) Penerimaan keuntungan dari selisih nilai tukar rupiah terhadap

mata uang asing;

7) Pendapatan denda atas keterlambatan pelaksanaan pekerjaan;

8) Pendapatan denda pajak;

9) Pendapatan denda retribusi;

10) Pendapatan hasil eksekusi atas jaminan;

11) Pendapatan dari pengembalian;

12) Fasilitas sosial dan fasilitas umum;

13) Pendapatan dari penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan; dan

14) Pendapatan dari angsuran/cicilan penjualan.

4. Pajak

a. Pengertian Pajak

Secara umum pajak diartikan sebagai pungutan wajib dari

negara kepada rakyatnya yang sifatnya memaksa. Menurut Soemitro

(dalam Mardiasmo, 2013:1), Pajak adalah iuran rakyat kepada kas

negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan

tiada mendapat jasa timbal (kontraprestasi) yang langsung dapat

20

ditunjukkan dan yang digunakan untuk membiayai pengeluaran

umum.

b. Fungsi Pajak

Ada 2 (dua) fungsi pajak (Mardiasmo, 2013:1) yaitu:

1) Fungsi Budgetair

Pajak sebagai sumber dana bagi pemerintah untuk

membiayai pengeluarannya.

2) Fungsi Mengatur

Pajak sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan

kebijaksanaan pemerintah dalam bidang sosial dan ekonomi.

c. Syarat Pemungutan Pajak

Agar pemungutan pajak tidak menimbulkan hambatan atau

perlawanan, maka pemungutan pajak harus memenuhi syarat

(Mardiasmo, 2013:2) sebagai berikut:

1) Pemungutan pajak harus adil (Syarat Keadilan)

Sesuai dengan tujuan hukum, yakni mencapai keadilan,

undang-undang dan pelaksanaan pemungutan harus adil. Adil

dalam perundang-undangan diantaranya mengenakan pajak

secara umum dan merata, serta disesuaikan dengan kemampuan

masing-masing. Sedang adil dalam pelaksanaannya yakni

dengan memberikan hak bagi Wajib Pajak untuk mengajukan

keberatan, penundaan dalam pembayaran dan mengajukan

banding kepada Majelis Pertimbangan Pajak.

21

2) Pemungutan pajak harus berdasarkan undang-undang (Syarat

Yuridis)

Di Indonesia, pajak diatur dalam UUD 1945 pasal 23

ayat 2. Hal ini memberikan jaminan hukum untuk menyatakan

keadilan, baik bagi negara maupun warganya.

3) Tidak mengganggu perekonomian (Syarat Ekonomis)

Pemungutan tidak boleh mengganggu kelancaran

kegiatan produksi maupun perdagangan, sehingga tidak

menimbulkan kelesuan perekonomian masyarakat.

4) Pemungutan pajak harus efisien (Syarat Finansiil)

Sesuai fungsi budgetair, biaya pemungutan pajak harus

dapat ditekan sehingga lebih rendah dari hasil pemungutannya.

5) Sistem pemungutan pajak harus sederhana

Sistem pemungutan yang sederhana akan memudahkan

dan mendorong masyarakat dalam memenuhi kewajiban

perpajakannya. Syarat ini telah dipenuhi oleh undang-undang

perpajakan yang baru.

d. Lembaga Pemungut Pajak

Menurut lembaga yang memungut pajak, terdapat 2 (dua)

jenis pajak (Mardiasmo, 2013:6)yaitu:

1) Pajak Pusat, yaitu pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat

dan digunakan untuk membiayai rumah tangga negara.

2) Pajak Daerah, yaitu pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah

dan digunakan untuk membiayai rumah tangga daerah.

22

e. Asas Pemungutan Pajak

Menurut Mardiasmo dalam bukunya yang berjudul

Perpajakan (2013:7), asas di dalam pemungutan pajak antara lain:

1) Asas domisili

Negara berhak mengenakan pajak atas seluruh

penghasilan Wajib Pajak yang bertempat tinggal di wilayahnya,

baik penghasilan yang berasal dari dalam maupun dari luar

negeri. Asas ini berlaku untuk Wajib Pajak dalam negeri.

2) Asas sumber

Negara berhak mengenakan pajak atas penghasilan yang

bersumber di wilayahnya tanpa memperhatikan tempat tinggal

Wajib Pajak.

3) Asas kebangsaan

Pengenaan pajak dihubungkan dengan kebangsaan

suatu negara. Misalnya pajak bangsa asing di Indonesia

dikenakan pada setiap orang yang bukan berkebangsaan

Indonesia yang bertempat tinggal di Indonesia. Asas ini berlaku

untuk Pajak Luar Negeri.

f. Sistem Pemungutan Pajak

Menurut Mardiasmo (2013:7) ada 3 (tiga) jenis dalam sistem

pemungutan pajak, yaitu:

23

1) Official Assessment System

Suatu sistem pemungutan yang memberi wewenang

kepada pemerintah (fiskus) untuk mementukan besarnya pajak

yang terutang oleh Wajib Pajak.

2) Self Assessment System

Suatu sistem pemungutan pajak yang memberi

wewenang kepada Wajib Pajak untuk menentukan sendiri

besarnya pajak yang terutang.

3) With Holding System

Suatu sistem pemungutan pajak yang memberi

wewenang kepada pihak ketiga (bukan fiskus dan wajib pajak

yang bersangkutan) untuk mementukan besarnya pajak yang

terutang oleh wajib pajak.

5. Pajak Daerah

Jenis pajak daerah yang di pungut oleh Pemerintah Daerah

Kabupaten Ngawi sesuai dalam Undang-undang No. 28 Tahun 2009

yaitu meliputi:

1) Pajak Hotel

Pajak hotel adalah pajak atas pelayanan yang disediakan oleh

hotel. Objek pajak hotel adalah pelayanan yang disediakan oleh hotel

dengan pembayaran, termasuk jasa penunjang sebagai kelengkapan

hotel yang sifatnya memberikan kemudahan dan kenyamaan,

termasuk fasilitas olahraga dan hiburan. Dalam Peraturan Daerah

24

Kabupaten Ngawi Nomor 24 Tahun 2011, dijelaskan bahwa yang

termasuk objek pajak hotel diantaranya:

a) Motel;

b) Losmen;

c) Gubuk Pariwisata;

d) Wisma Pariwisata;

e) Pesanggrahan atau sejenisnya;

f) Rumah penginapan atau sejenisnya; dan/atau

g) Rumah kos dengan jumlah kamar lebih dari 10 (sepuluh) kamar.

Sementara jasa penujang hotel adalah telepon, faksimile,

teleks, internet, fotokopi, pelayanan cuci, seterika, transportasi, dan

fasilitas sejenis lainnya yang disediakan atau dikelola hotel. Namun

ada beberapa objek yang tidak termasuk kedalam objek pajak hotel

diantaranya:

a) Jasa tempat tinggal asrama yang diselenggarakan oleh

Pemerintah atau Pemerintah Daerah;

b) Jasa sewa apartemen, kondominium, dan sejenisnya;

c) Jasa tempat tinggal di pusat pendidikan atau kegiatan

keagamaan;

d) Jasa tempat tinggal di rumah sakit, asrama perawat, panti jompo,

panti asuhan, dan panti sosial lainnya yang sejenis; dan

e) Jasa biro perjalanan atau perjalanan wisata yang

diselenggarakan oleh hotel yang dapat dimanfaatkan oleh umum.

25

Subjek yang termasuk kedalam pajak hotel adalah orang

pribadi Badan yang melakukan pembayaran kepada orang pribadi

atau Badan yang mengusahakan hotel. Sementara wajib pajak hotel

tersebut adalah orang pribadi atau Badan yang mengusahakan hotel.

Dasar pengenaan pajak hotel adalah jumlah pembayaran atau yang

seharusnya dibayar kepada hotel. Besarnya tarif pajak hotel

ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen).

2) Pajak Restoran

Menurut Perda Kabupaten Ngawi Nomor 25 Tahun 2011,

Pengertian pajak restoran adalah pajak atas setiap pelayanan di

restoran. Pelayanan yang disediakan restoran meliputi penjualan

makanan dan/atau minuman yang dikonsumsi di tempat pelayanan

maupun di tempat lain. Namun yang bukan termasuk kedalam

pelayanan tersebut yaitu pelayanan yang disediakan oleh warung

yang keadaanya sederhana dan nilai penjualannya tidak melebihi Rp

1.000.000,00 (satu juta rupiah) dalam 1 (satu) bulan. Subjek dari

pajak restoran adalah orang pribadi atau badan yang mengusahakan

restoran. Sementara untuk wajib pajaknya adalah orang pribadi atau

badan yang mengusahakan restoran.

Dasar pengenaan pajak restoran adalah jumlah pembayaran

yang diterima atau yang seharusnya diterima restoran. Besarnya tarif

pajak restoran ditetapkan:

a) 10% (sepuluh persen) untuk nilai penjualan di atas Rp

10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) setiap bulan.

26

b) 5% (lima persen) untuk nilai penjualan Rp 5.000.000,00 (lima

juta rupiah) sampai dengan Rp 10.000.000,00(sepuluh juta

rupiah) setiap bulan.

c) 3% (tiga persen) untuk nilai penjualan Rp. 1.000.000,00 (satu

juta rupiah sampai dengan Rp. 5.000.000,00 (lima juta rupiah)

setiap bulan.

3) Pajak Hiburan

Pajak hiburan merupakan pajak atas penyelenggaraan

hiburan. Yang termasuk dalam objek pajak hiburan yaitu : (i)

Pagelaran kesenian tradisonal; (ii) Pameran; (iii) Pertandingan olah

raga; (iv) permainan bilyard; (v) Pusat kebugaran (fitnes center); (vi)

Mandi uap/spa; (vii) Permainan ketangkasan; (viii) Tontonan film;

(ix) Pagelaran musik; (x) Pagelaran busana; (xi) Kontes kecantikan;

(xii) Kontes bina raga; (xiii) Sirkus, akrobat dan sulap; (xiv)

Permainan golf dan boling; (xv) Diskotik, karaoke, klab malam dan

panti pijat. Subjek dari pajak hiburan adalah orang pribadi atau

badan yang menonton dan/atau menikmati hiburan. Sementara wajib

pajak hiburan adalah orang pribadi atau badan yang

menyelenggarakan hiburan.

Dasar pengenaan pajak adalah jumlah uang yang diterima

atau yang seharusnya diterima oleh penyelenggara hiburan. Besarnya

tarif untuk setiap hiburan ditetapkan sebagai berikut:

a) Pagelaran kesenian tradisional, sebesar 10 %(sepuluh persen);

b) Pameran, sebesar 10 % (sepuluh persen);

27

c) Pertandingan olah raga, sebesar 10 % (sepuluh persen);

d) Permainan billyard, sebesar 10 % (sepuluh persen);

e) Pusat kebugaran (fitnes center), sebesar 10 % (sepuluh persen);

f) Mandi uap/spa, sebesar 10 % (sepuluh persen);

g) Permainan ketangkasan, sebesar 10 % (sepuluhpersen);

h) Tontonan film, sebesar 20 % ( dua puluh persen);

i) Pagelaran musik, sebesar 20 % (dua puluh persen);

j) Pagelaran busana, sebesar 20 % (dua puluh persen);

k) Kontes kecantikan, sebesar 20 % (dua puluh persen);

l) Kontes bina raga, sebesar 20 % (dua puluh persen);

m) Sirkus, akrobat dan sulap, sebesar 20 % (dua puluh persen);

n) Permainan golf dan boling, sebesar 20 % (dua puluh persen);

o) Diskotik, karaoke, klab malam dan panti pijat, sebesar 30 %

(tiga puluh persen).

4) Pajak Reklame

Pajak reklame adalah pajak atas penyelenggaraan reklame.

Sementara Reklame merupakan benda, alat, perbuatan, atau media

yang bentuk dan corak ragamnya dirancang untuk tujuan komersial

memperkenalkan, menganjurkan, mempromosikan, atau untuk

menarik perhatian umum terhadap barang, jasa, orang, atau badan,

yang dapat dilihat, dibaca, didengar, dirasakan, dan/atau dinikmati

oleh umum.

Dalam Perda Kabupaten Ngawi Nomor 30 Tahun 2011

tentang pajak reklame, disebutkan bahwa yang termasuk objek pajak

28

reklame yaitu: (1) Reklame Papan/ Billboard/ Videotron/ Megatron

dan sejenisnya; (2) Reklame Kain; (3) Reklame Melekat (Striker);

(4) Reklame Selebaran; (5) Reklame Berjalan, termasuk pada

kendaraan; (6) Reklame Udara; (7) Reklame Apung; (8) Reklame

Suara; (9) Reklame Film/Sigle; (10) Reklame Peragaan; dan (11)

Reklame Painting/Cat dinding.

Namun yang termasuk bukan objek pajak reklame adalah: (1)

penyelenggaraan reklame melalui internet, televisi, radio, warta

harian, warta mingguan, warta bulanan dan sejenisnya; (2)

label/merek produk yang melekat pada barang yang diperdagangkan,

yang berfungsi untuk membedakan dari produk lain; (3) nama

pengenal usaha atau profesi yang dipasang melekat pada bangunan

tempat usaha atau profesi, diselenggarakan sesuai dengan ketentuan

yang mengatur nama pengenal usaha atau profesi tersebut dan

ukuran luas media tidak melebihi 50 cm2

(lima puluh); (4) reklame

yang diselenggarakan oleh Pemerintah Provinsi atau Pemerintah

Daerah.

Dasar dari pengenaan pajak reklame adalah nilai sewa

reklame. Reklame yang diselenggarakan oleh Pihak ketiga, nilai

sewa reklame didasarkan pada nilai kontrak reklame. Sementara

reklame yang diselenggarakan oleh sendiri, nilai sewanya dihitung

dengan memperhatikan faktor jenis, bahan yang digunakan, lokasi

penempatan, waktu, jangka waktu, penyelengaraan, jumlah, dan

29

ukuran media reklame. Penghitungan nilai sewa ditetapkan dengan

rumus:

Nilai sewa reklame = Jenis reklame x jumlah reklame x indeks lokasi

(nilai strategis) x ukuran media reklame x

jangka waktu penyelenggaraan reklame

5) Pajak Penerangan Jalan

Pajak penerangan jalan adalah pajak atas penggunaan tenaga

listrik, baik yang dihasilkan sendiri maupun diperoleh dari sumber

lain. Pajak penerangan jalan ini diatur dalam Perda Kabupaten

Ngawi Nomor 28 Tahun 2011. Objek pajak perengan jalan adalah

penggunaan tenaga listrik yang dihasilkan sendiri (PLN) maupun

diperoleh dari sumber lain (bukan PLN), dikecualikan untuk: (1)

penggunaan tenaga listrik oleh Instansi Pemerintah, Pemerintah

Provinsi dan Pemerintah Daerah; (2) Penggunaan tenaga listrik yang

berasal dari bukan PLN dengan kapasitas tertentu yang tidak

memerlukan izin dari instansi teknis terkait; (3) Penggunaan tenaga

listrik yang khusus digunakan untuk tempat ibadah. Subjek pajaknya

adalah orang pribadi atau badan yang dapat menggunakan tenaga

listrik, dan wajib pajaknya yaitu orang pribadi atau badan yang

menggunakan tenaga listrik. Jika tenaga listrik yang disediakan

bukan dari PLN, maka wajib pajak adalah penyedia tenaga listrik.

Dasar pengenaan pajak adalah Nilai Jual Tenaga Listrik, yang

ditetapkan: (1) Dalam hal tenaga listrik berasal dari PLN, maka Nilai

Jual Tenaga Listrik adalah jumlah tagihan biaya beban/tetap

30

ditambah dengan biaya pemakaian KWh/Variabel yang ditagihkan

dalam rekening listrik; (2) Dalam hal tenaga listrik dihasilkan bukan

dari PLN, maka Nilai Jual Tenaga Listrik dihitung berdasarkan

kapasitas tersedia dan tingkat penggunaan listrik atau taksiran

penggunaan listrik serta harga satuan listrik yang berlaku di wilayah

daerah. Tarif pajak penerangan jalan ditetapkan sebesar 10%

(sepuluh persen). Penggunaan tenaga listrik dari sumber lain oleh

industri, pertambangan minyak bumi dan gas alam, tarif pajak

penerangan jalan ditetapkan sebesar 3 % (tiga persen). Sedangkan

Penggunaan tenaga listrik yang dihasilkan sendiri, tarif pajak

penerangan jalan ditetapkan sebesar 1,5% (satu koma lima persen).

6) Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan

Pajak mineral bukan logam dan batuan adalah pajak atas

kegiatan pengambilan mineral bukan logam dan batuan, baik dari

sumber alam di dalam dan/atau permukaan bumi untuk dimanfaatkan.

Pajak mineral bukan logam dan batuan diatur dalam Peraturan

Daerah Kabupaten Ngawi Nomor 29 Tahun 2011. Objek pajak

mineral bukan logam dan batuan meliputi Asbes, Batu tulis, Batu

setengah permata, Batu kapur, Batu apung, Batu permata, Bentomit,

Dolomit, Feldspar, Garam batu (halite), Grafit, Granit/andesit, Gips,

Kalsit, Kaolin, Leusit, Magnesit, Mika, Marmer, Nitrat, Opsidien,

Oker, Pasir dan kerikil, Pasir kuarsa, Perlit, Phospat, Talk, Tanah

serap (fullers earth), Tanah diatome, Tanah liat, Tawas (alum),Tras,

Yarosif, Zeolit, Basal, Trakkit, dan Mineral bukan logam dan batuan

31

lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan penrundang-undangan.

Dikecualikan untuk objek seperti: (1) kegiatan pengambilan mineral

bukan logam dan batuan yang nyata-nyata tidak dimanfaatkan secara

komersial, seperti kegiatan pengambilan tanah untuk keperluan

rumah tangga, pemancangan tiang listrik/telepon, penanaman kabel

listrik/telepon, penanaman pipa air/gas; (2) kegiatan pengambilan

mineral bukan logam dan batuan yang merupakan ikutan dari

kegiatan pertambangan lainnya, yang tidak dimanfaatkan secara

komersial.

Dasar pengenaan pajak adalah Nilai Jual Hasil pengambilan

mineral bukan logam dan batuan yang dihitung dengan mengalikan

volume/tonase hasil pengambilan dengan nilai pasar atau harga

standar masing-masing jenis mineral bukan logam dan batuan. Nilai

pasar adalah harga rata-rata yang berlaku dilokasi daerah setempat

yang bersangkutan yang telah ditetapkan oleh Bupati atas usul

pejabat yang berwenang dalam bidang pertambangan mineral bukan

logam dan batuan. Tarif pajak ditetapkan sebesar 20% (dua puluh

persen).

7) Pajak Parkir

Pajak parkir adalah pajak atas penyelenggaraan tempat parkir

di luar badan jalan oleh orang pribadi atau badan, yang objeknya

meliputi pelataran atau lingkungan parkir, taman parkir, gedung

parkir, dan tempat penitipan kendaraan bermotor dan tidak bermotor.

Sedangkan yang bukan termasuk objek pajak parkir adalah

32

penyelenggaraan tempat parkir oleh Pemerintah Provinsi, dan

Pemerintah Daerah; penyelenggaraan tempat parkir oleh perkantoran

yang hanya digunakan untuk karyawan sendiri; serta Parkir tempat-

tempat ibadah. Ketentuan mengenai pajak parkir ini diatur dalam

Perda Kabupaten Ngawi Nomor 27 Tahun 2011. Dasar pengenaan

Pajak Parkir ini adalah jumlah pembayaran atau yang seharusnya

dibayar kepada penyelenggara tempat parkir dengan besarnya tarif

pajak adalah 10% (sepuluh persen). Disediakan berkaitan dengan

pokok usaha maupun yang disediakan sebagai suatu usaha, termasuk

penyediaan tempat penitipan kendaraan bermotor. Parkir merupakan

keadaan tidak bergerak suatu kendaraan yang tidak bersifat

sementara.

8) Pajak Air Tanah

Pajak air tanah adalah pajak atas pengambilan dan/atau

pemanfaatan air tanah. Pajak tersebut diatur dalam Peraturan Daerah

Kabupaten Ngawi Nomor 9 Tahun 2011. Air tanah merupakan air

yang terdapat dalam lapisan tanah atau batuan di bawah permukaan

tanah. Pengambilan dan/atau pemanfaatan air tanah tidak akan

dikenakan pajak apabila: (1) pengambilan dan/atau pemanfaatan air

tanah untuk keperluan dasar rumah tangga, pengairan pertanian,

pengairan perikanan rakyat, dan peribadatan; dan/atau (2)

pengambilan dan/atau pemanfaatan air tanah untuk keperluan militer,

pemadam kebakaran, panti asuhan, atau untuk penelitian; dan (3)

Pengambilan dan/atau pemanfaatan air tanah oleh Pemeritah,

33

Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Daerah. Dasar pengenaanya

adalah Nilai Perolehan Air Tanah yang dinyatakan dalam rupiah,

dihitung dengan mempertimbangkan faktor-faktor seperti jenis

sumber air; lokasi sumber air; tujuan pengambilan; volume air yang

diambil dan/atau dimnafaatkan; kualitas air; dan tingkat kerusakan

lingkungan yang diakibatkan oleh pengambilan dan/atau

pemanfaatan air. Besarnya tarif pajak adalah 20% (dua puluh persen).

9) Pajak Sarang Burung Walet

Pajak sarang burung walet adalah pajak atas kegiatan

pengambilan dan/atau pengusahaan sarang burung walet. Burung

walet merupakan satwa yang termasuk marga collocalia, yaitu

collocalia fuchliap haga, collocalia maxina, collocalia esculanta,

dan collocalia linchi. Lokasi sarang burung walet dapat berada di

habitat alami maupun di luar habitat alaminya. Habitat alami bisa

berupa: (1) Kawasan Hutan Negara; (2) Kawasan Konservasi; dan

(3) Goa alam dan atau di luar kawasan yang tidak dibebani hak milik

perorangaan dan atau adat. Sementara yang diluar habitat alami

meliputi bangunan dan rumah atau gedung.

Objek pajak sarang burung walet adalah setiap pengambilan

dan/atau pengusahaan sarang burung walet, kecuali pada: (1)

pengambilan sarang burung walet yang telah dikenakan Penerimaan

Negara Bukan Pajak (PNPB); dan (2) Kegiatan pengambilan sarang

burung walet yang dipergunakan untuk tujuan penelitian ilmiah

dengan volume pengambilan tidak melebihi 100 (seratus) gram.

34

Sedangkan subjek pajaknya adalah orang pribadi atau badan yang

melakukan pengambilan dan/atau mengusahakan sarang burung

walet.

Dasar pengenaan pajak ini adalah nilai jual sarang burung

walet yang dihitung berdasarkan volume sarang walet dikalikan

dengan harga pasaran umum pada saat pengambilan dan/atau

pengusahaan. Tarif yang ditetapkan pada pajak sarang burung walet

ini adalah sebsar 10%.

10) Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan

Pajak bumi dan bangunan perdesaan dan perkotaan adalah

pajak atas bumi dan/atau bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan/atau

dimanfaatkan oleh orang pribadi atau Badan, kecuali kawasan yang

digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan, perhutanan, dan

pertambangan. Bumi adalah permukaan bumi yang meliputi tanah

dan perairan pedalaman serta laut wilayah kabupaten/kota.

Sementara bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam atau

diletakkan secara tetap pada tanah dan/atau perairan pedalaman

dan/atau laut. Di kabupaten Ngawi pajak tersebut diatur dalam Perda

Kabupaten Ngawi Nomor 1 Tahun 2012.

Objek pajak bumi dan bangunan perdesaan dan perkotaan ini

adalah atas bumi dan/atau bangunan yang dimiliki, dikuasai,

dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau Badan, kecuali

kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan,

perhutanan, dan pertambangan. Bangunan yang dimaksud tersebut

35

termasuk: (1) Jalan lingkungan yang terletak dalam satu komplek

bangunan seperti hotel, pabrik, dan emplasemennya yang merupakan

suatu kesatuan dengan komplek bangunan tersebut; (2) Jalan tol; (3)

Kolam renang; (4) Pagar mewah; (5) Tempat olah raga; (6) Taman

mewah; (7) Tempat penampungan/kilang minyak, air dan gas, pipa

minyak; dan (8) Menara. Objek Pajak yang tidak dikenakan Pajak

Bumi dan Bangunan adalah objek yang berupa: (1) Digunakan oleh

Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Daerah

untuk penyelenggaraan pemerintahan; (2) Digunakan semata-mata

untuk melayani kepentingan umum di bidang ibadah, sosial,

kesehatan, pendidikan dan kebudayaan nasional, yang tidak

dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan; (3) Digunakan untuk

kuburan, peninggalan purbakala, atau yang sejenis dengan itu; dan

(4) Merupakan hutan lindung, hutan suaka alam, hutan wisata taman

nasional, tanah penggembalan yang dikuasai oleh desa, dan tanah

negara yang belum dibebani suatu hak.

Besarnya Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak

(NJOPTKP) ditetapkan sebesar Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta

rupiah) untuk setiap wajib pajak. Subjek pajak ini adalah orang

pribadi atau badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas

Bumi dan/atau memperoleh manfaat atas Bumi, dan/atau memiliki,

menguasai, dan/atau memperoleh manfaat atas Bangunan. Dasar

pengenaan pajak bumi dan bangunan perdesaan dan perkotaan

adalah Nilai Jual Objek Pajak (NJOP), yang besarnya ditetapkan

36

setiap 3 (tiga) tahun, kecuali untuk objek pajak tertentu dapat

ditetapkan setiap tahun sesaui dengan perkembangan wilayahnya.

Besarnya tarif Pajak Bumi dan Bangunan ditetapkan: (1) 0,2% (nol

koma dua persen) untuk NJOP Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar

rupiah) atau lebih; dan (2) 0,1% (nol koma satu persen) untuk NJOP

kurang dari Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).

11) Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan

Bea perolehan hak atas tanah dan bangunan adalah pajak atas

perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan. Perolehan hak atas

tanah dan/atau bangunan adalah perbuatan atau peristiwa hukum

yang mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah dan/atau bangunan

oleh orang pribadi atau badan. Dalam Perda Kabupaten Ngawi

Nomor 19 Tahun 2010 tentang pajak bea perolehan hak atas tanah

dan bangunan, di sebutkan bahwa perolehan hak atas tanah dan/atau

bangunan meliputi: (1) Pemindahan hak karena: (a) Jual-beli; (b)

Tukar menukar; (c) Hibah; (d) Hibah wasiat; (e) Waris; (f)

Pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya; (g)

Pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan; (h) Penunjukan

pembeli dalam lelang; (i) Pelaksanaan putusan hakim yang

mempunyai kekuatan hukum tetap; (j) Penggabungan usaha; (k)

Peleburan usaha; (l) Pemekaran usaha; dan (m) Hadiah. (2)

Pemberian hak baru karena: (a) Kelanjutan pelepasan hak; dan (b)

Diluar pelepasan hak. (3) Hak atas tanah meliputi: (a) Hak milik; (b)

37

Hak guna usaha; (c) Hak guna bangunan; (d) Hak pakai; (e) Hak

milik atas satuan rumah susun; dan (f) Hak pengelolaan.

Objek pajak yang tidak dikenakan bea perolehan hak atas

tanah dan bangunan ini adalah objek pajak yang diperoleh: (1)

Perwakilan diplomatik, konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal

balik; (2) Negara untuk penyelenggaraan pemerintahan dan/atau

untuk pelaksaan pembangunan guna kepentingan umum; (3) Badan

atau perwakilan organisasi internasional yang ditetapkan oleh

Menteri Keuangan; (4) Orang pribadi atau badan karena konversi

hak dan perbuatan hukum lain dengan tidak adanya perubahan nama;

(5) Orang pribadi atau badan karena wakaf; dan (6) Orang atau

badan yang digunakan untuk kepentingan ibadah. Objek pajak yang

diperoleh karena hibah wasiat dan hak pengelolaan, pengenaan pajak

nya diatur dengan Peraturan Bupati.

Dasar pengenaan bea perolehan hak atas tanah dan bangunan

adalah Nilai Perolehan Objek Pajak dalam hal: (1) Jual beli adalah

harga transaksi; (2) Tukar menukar adalah nilai pasar; (3) Hibah

adalah nilai pasar; (4) Hibah wasiat adalah nilai pasar; (5) Waris

adalah nilai pasar; (6) Pemasukan dalam peseroan atau badan

hukum lainnya adalah nilai pasar; (7) Pemisahan hak yang

mengakibatkan peralihan adalah nilai pasar; (8) Peralihan hak karena

pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap

adalah nilai pasar; (9) Pemberian hak baru atas sebagai kelanjutan

dari pelepasan hak adalah nilai pasar; (10) Pemberian hak baru atas

38

tanah di luar pelepasan hak adalah nilai pasar; (11) Penggabungan

usaha adalah nilai pasar; (12) Peleburan usaha adalah nilai pasar;

(13) Pemekaran usaha adalah nilai pasar; (14) Hadiah adalah nilai

pasar; dan (15) Penunjukan pembeli dalam lelang adalah harga

transaksi yang tercantum dalam risalah lelang. Namun apabila Nilai

Perolehan Objek Pajak tersebut tidak diketahui atau lebih rendah

daripada Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) yang digunakan dalam

pengenaan pajak bumi dan bangunan pada tahun terjadinya

perolehan, dasar pengenaan pajak yang dipakai adalah Nilai Jual

Beli Objek pajak bumi dan bangunan, dan jika NJOP pajak bumi dan

bangunan belum ditetapkan pada saat terutangnya pajak, NJOP pajak

bumi dan bangunan dapat didasarkan pada Surat Keterangan NJOP

pajak bumi dan bangunan. Surat Keterangan NJOP tersebut bersifat

sementara yang dapat diperoleh di Kantor Pelayanan Pajak atau

Instansi yang berwenang sesuai dengan peraturan perundang-

undangan yang berlaku.

Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak ditetapkan

sebsar Rp. 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah) untuk setiap

wajib pajak. Dalam hal perolehan hak karena waris atau hibah wasiat

yang diterima orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga

sedarah dalm garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu

derajat ke bawah dengan pemberi hibah wasiat, termasuk suami/istri,

Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak ditetapkan paling

rendah sebesar Rp. 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah). Tarif

39

pajak bea perolehan hak atas tanah dan bangunan ditetapkan sebesar

5% (lima persen). Besarnya pokok bea perolehan hak atas tanah dan

bangunan yang terutang dihitung dengan cara Nilai Perolehan Objek

Pajak dikurangi Nilai Perolehan Objek Tidak Kena Pajak dikalikan

dengan tarif pajak tersebut.

6. Efektivitas

Efektivitas adalah keberhasilan dalam suatu organisasi dalam

mencapai tujuannya. Sedangkan menurut Handoko (dalam Santoso,

2011), efektivitas merupakan kemampuan memilih tujuan yang tepat atau

peralatan yang tepat untuk pencapaian tujuan yang telah ditetapkan.

Dengan kata lain, dikatakan efektif jika dapat memilih pekerjaan yang

harus dilakukan atau metode (cara) yang tepat untuk mencapai tujuan.

Menurut Halim (dalam Puspitasari, 2014), efektivitas pajak

daerah dan retribusi daerah menunjukkan kemampuan pemeritah daerah

dalam mengumpulkan pajak daerah dan retribusi daerah sesuai dengan

jumlah penerimaan pajak dan retribusi yang ditargetkan. Efektivitas

pajak daerah adalah nilai yang dihitung berdasarkan prosentase

perbandingan realisasi penerimaan pajak dengan target penerimaan pajak

(Puspitasari, 2014).

7. Kontribusi

Kontribusi digunakan untuk mengetahui sejauh mana Pajak

Daerah memberikan sumbangan dalam penerimaan PAD. Dalam

mengetahui kontribusi dilakukan dengan membandingkan penerimaan

pajak daerah periode tertentu dengan penerimaan PAD periode tertentu

40

pula. Semakin besar hasilnya berarti semakin besar pula peranan pajak

daerah terhadap PAD, begitu sebaliknya jika hasil perbandingannya

terlalu kecil berarti peranan pajak daerah terhadap PAD juga kecil

(Mahmudi dalam Kesek, 2013).

B. Penelitian Terdahulu

Untuk mendukung penelitian yang dilakukan, ada beberapa penelitian

terdahulu yang relevan dengan penelitian ini, yaitu tentang efektivitas,

kontribusi, dan proyeksi pajak daerah. Berikut ringkasan hasil dari berbagai

penelitian terdahulu:

1. Efektivitas Pajak Daerah

a. Kesek (2013)

Kesek (2013) melakukan penelitian terhadap pajak parkir di

Kota Manado dengan judul “Efektivitas dan Kontribusi Penerimaan

Pajak Parkir terhadap Pendapatan Asli Daerah Kota Manado”. Dari

hasil analisis menunjukkan bahwa secara keseluruhan tingkat

efektivitas penerimaan pajak parkir pada tahun 2009-2012 bervariasi

yaitu 117,36%, 69,14%, 89,23%, 155,80%. Penerimaan pajak parkir

yang sangat efektif terjadi pada tahun 2009 dan 2012.

b. Octovido et all (2014)

Dalam penelitian yang berjudul “Analisis Efektivitas dan

Kontribusi Pajak Daerah Sebagai Sumber Pendapatan Asli Daerah

Kota Batu (Studi pada Dinas Pendapatan Daerah Kota Batu Tahun

2009-2013)” oleh Octovido et all (2014), menunjukkan bahwa pada

41

tahun 2010 tingkat efektivitas pajak daerah merupakan yang

terendah dibandingkan dengan tahun-tahun yang lainnya yaitu hanya

69,30%. Sedangkan efektivitas yang tertinggi terjadi pada 2010

dengan sebesar 136,67%. Rendahnya efektivitas pada 2010

disebabkan pada tahun tersebut belum maksimalnya pihak Dinas

Pendapatan Daerah Kota Batu dalam melaksanakan intensifikasi dan

ekstensifikasi pajak daerah yang ada, namun target yang dibebankan

naikdengan cukup signifikan.

c. Lamia et all (2015)

Penelitian yang dilakukan oleh Lamia et all (2015), dengan

judul “Analisis Efektivitas dan Kontribusi Pemungutan Pajak

Restoran, Pajak Reklame, dan Pajak Penerangan Jalan pada

Pendapatan Asli Daerah Kabupaten Minahasa Utara”. Hasil dari

penelitian menunjukkan bahwa efektivitas untuk pajak restoran dan

pajak penerangan jalan dari tahun 2010-2014 secara rata-rata sudah

sangat efektif dengan besarnya masing-masing 100,48% dan

106,29%. Sementara pajak reklame secara rata-rata sudah efektif

dengan 90,25%.

d. Dotulong et all (2014)

Penelitian dengan judul “Analisis Potensi Penerimaan dan

Efektivitas Pajak Restoran di Kabupaten Minahasa Utara” oleh

Dotulong et all (2014), menunjukkan bahwa pemungutan dan

pengelolaan pajak restoran di Kabupaten Minahasa Utara pada 2010-

2012 belum efektif. Hal tersebut dapat dilihat dari tingkat efektivitas

42

pada 2010-2012 masing-masing hanya 1,85%, 6,01%, dan 11,22%.

Meskipun masih rendah akan tetapi dari tahun ke tahun selalu

mengalami kenaikan.

e. A.B, I Made (2013)

Penelitian yang dilakukan oleh A.B (2013) yang berjudul

“Analisis Efektivitas dan Efisiensi Pajak Reklame serta Prospeknya

di Kabupaten Badung”, menunjukka hasil bahwa rata-rata

efektivitas penerimaan pajak reklame tahun 2002-2011 adalah

110,10% atau sangat efektif. Hal tersebut menunjukkan kinerja

Pemerintah Kabupaten Badung dalam merealisasikan pajak reklame

sudah sangat baik.

f. Kustiyah dan Suryani (2014)

Penelitian yang dilakukan oleh Kustiyah dan Suryani (2014)

yang berjudul “Efektivitas Pajak Reklame terhadap Peningkatan

Pendapatan Asli Daerah di Kota Surakarta”, menunjukkan hasil

bahwa efektivitas pajak reklame Kota Surakarta dalam tahun

anggaran 2004 hingga tahun anggaran 2008 bersifat fluktuatif, pada

tahun 2004 hingga tahun 2005 efektivitas pajak reklame terus

mengalami peningkatan yaitu tahun 2004 sebesar 100,8% dan tahun

2005 meningkat menjadi 101,7%. Namun pada tahun 2006

mengalami penurunan yaitu sebesar 96,7%. Penurunan ini

disebabkan adanya krisis moneter yang mendorong para pelaku

bisnis sedikit mengurangi biaya promosi terutama pemasangan

reklame. Kemudian pada tahun 2007 kembali mengalami kenaikan

43

menjadi sebesar 100,8% dan pada tahun 2008 mengalami kenaikan

yang lebih tinggi yaitu sebesar 102,2%.

2. Kontribusi Pajak Daerah

a. Taluke (2013)

Taluke (2013) pernah melakukan penelitian berjudul

“Analisis Kontribusi Pajak Daerah dan Retribusi Daerah pada

Pendapatan Asli Daerah di Kabupaten Halmahera Barat”. Hasil

penelitian menunjukkan bahwa Pada tahun 2007-2011 kontribusi

pajak rata-rata sebesar 17,58%. Kontribusi tertinggi terjadi pada

2007 dengan 20%, sedangkan terendah pada 2010 yaitu dengan 13%.

Kontribusi pajak daerah terhadap PAD Kabupaten Halmahera Barat

periode 2007-2011 mengalami penurunan yang diakibatkan oleh

kurangnya partisipasi masyarakat dan pihak swasta dalam memenuhi

kewajibannya untuk membayar pajak.

b. Mustika dan Idayati (2014)

Penelitian yang sama pernah dilakukan oleh Mustika dan

Idayati (2014) berjudul “Kontribusi Pajak Daerah dan Retribusi

terhadap Pendapatan Asli Daerah di Pemerintahan Kota Surabaya.

Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa pada tahun 2009 sampai

dengan 2013 pajak daerah memberikan kontribusi yang fluktuatif.

Pajak daerah memberikan kontribusi yang sangat tinggi terhadap

PAD dengan sebesar 81,63% pada 2012. Hal tersebut disebabkan

karena dari Dinas Pendapatan Asli Daerah Kota Surabaya mulai

sering melakukan pemantauan obyek pajak (terumata Pajak Bumi

44

dan Bangunan) dengan cara melakukan survey lapangan. Secara

rata-rata besarnya kontribusi pajak daerah mencapai 69,97%.

Tingginya kontribusi tersebut, selain adanya survey lapangan

terhadap Pajak Bumi dan Bangunan juga dikarenakan adanya

permudahan dalam pembayaran pajak bagi wajib pajak serta adanya

tambahan pengenaan jenis pajak dan kenaikan tarif pajak trutama

setelah ditetapkannya Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009.

c. Octovido et all (2014)

Penelitian oleh Octovido et all (2014), yang berjudul

“Analisis Efektivitas dan Kontribusi Pajak Daerah Sebagai Sumbeer

Pendapatan Asli Daerah Kota Batu (Studi pada Dinas Pendapatan

Daerah Kota Batu Tahun 2009-2013)”. Hasil penelitian tersebut

adalah kontribusi pajak daerah pada 2009adalah yang terkecil

dengan 45,21%, sementara yang terbesarpada 2012 dengan 72,66%.

Kontribusi yang kecil pada 2009, dikarenakan jumlah objek pajak

dan potensi pajak yang lebih sedikit. Akan tetapi secara umum dapat

dikatakan sudah sangat baik, hal tersebut didukung dengan adanya

ekstensifikasi pajak daerah dari 6 obyek pajak menjadi 9 obyek pada

2013.

d. Fery dan Devianty (2013)

Fery dan Devianty (2013) dalam menganalisis kontribusi

pajak daerah terhadap PAD, melihat bahwa Pajak penerangan jalan

merupakan pajak yang berkontribusi paling besar terhadap PAD di

Kabupaten Musi Banyuasin dengan rata-rata kontribusinya sebesar

45

6,92% dari total penerimaan PAD. Penerimaan PAD dari Pajak

Daerah terus mengalami peningkatan yang cukup signifikan selama

kurun waktu enam tahun terakhir, walaupun peningkatan yang

terjadi selama kurun waktu tersebut pajak daerah hanya memiliki

kontribusi rata-rata sebesar 12,84% dari total Penerimaan PAD. Hal

tersebut disebabkan karena masih rendahnya penerimaan di sektor

pajak daerah dibandingkan dengan sektor lainnya yang diakibatkan

karena belum maksimalnya komponen/unsur-unsur pajak daerah

yang dipungut di Kabupaten Musi Banyuasin.

e. Kesek (2013)

Kesek (2013) melakukan penelitian dengan judul “Efektivitas

dan Kontribusi Penerimaan Pajak Parkir terhadap Pendapatan Asli

Daerah Kota Manado”. Hasilnya menunjukkan kontribusi pajak

parkir selama tahun 2009-2012 rata-rata sebesar 1,65% yang berarti

masih kurang. Meskipun persentasinya masih kecil, akan tetapi

secara nominal menunjukkan peningkatan yang signifikan terutama

pada tahun 2011 dan 2012. Selain itu masih terdapat beberapa

tempat dan kawasan yang memerlukan lahan parkir serta fasilitas

untuk dikembangkan dan dimanfaatkan dengan baik.

f. Rooy dan Budiarso (2015)

Selanjutnya ada penelitian Rooy dan Budiarso (2015),

dengan judul “Analisis Kontribusi Penerimaan Pajak Daerah

terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD) di Kabupaten Raja Ampat”,

menunjukkan kontribusi pajak daerah terhadap PAD pada 2010

46

sampai 2014 berfluktuasi. Kontribusi terkecil terjadi pada 2011

dengan 10% yang mengalami penurunan dari tahun sebelumnya

yang mencapai 11,10% pada 2010. Sementara kontribusi terbesar

pada 2014 yaitu dengan 65,16%. Tingginya kontribusi pada 2014,

dikarenakan sudah masuknya Pajak Bumi dan Bangunan menjadi

pajak daerah di Kabupaten Raja Ampat.

g. Lamia et all (2015)

Penelitian yang dilakukan oleh Lamia et all (2015), dengan

judul “Analisis Efektivitas dan Kontribusi Pemungutan Pajak

Restoran, Pajak Reklame, dan Pajak Penerangan Jalan pada

Pendapatan Asli Daerah Kabupaten Minahasa Utara”. Hasil dari

penelitian menunjukkan bahwa kontribusi pajak restoran, pajak

reklame, dan pajak penerangan jalan terhadap PAD, kontribusi pajak

penerangan jalan adalah yang paling tinggi diantara yaitu dengan

rata-rata sebesar 24,70% untuk tahun 2010-2014. Sedangkan rata-

rata pajak restoran dan pajak reklame masing-masing adalah 2,79%

dan 0,53%.

3. Proyeksi Pajak Daerah

a. A.B, I Made (2013)

Penelitian yang dilakukan oleh A.B (2013) yang berjudul

“Analisis Efektivitas dan Efisiensi Pajak Reklame serta Prospeknya

di Kabupaten Badung”, menunjukkan hasil bahwa proyeksi

penerimaan pajak reklame di Kabupaten Badung pada tahun 2012-

2015 akan selalu mengalami kenaikan. Pada 2013 diprediksikan

47

penerimaan mencapai 8,71 milyar rupiah dan pada 2015

diprediksikan sebesar 10,82 milyar rupiah.

C. Kerangka Pemikiran

Secara sederhana kerangka pemikiran dalam penelitian ini dapat

digambarkan sebagai berikut:

Gambar 2.1 Kerangka Pemikiran

Pendapatan Asli Daerah (PAD) terdiri dari, (i) Pajak Daerah; (ii)

Retribusi Daerah; (iii) Hasil Pengelolaan Kekayaan yang dipisahkan; dan (iv)

Lain-lain Pendapatan Asli Daerah yang Sah. Dari berbagai sumber

penerimaan tersebut, pajak daerah adalah sumber utama dari pendapatan

Proyeksi

Pendapatan

Asli Daerah

Kontribusi Efektivitas

Realisasi Target

Pajak Daerah

48

suatu daerah, karena berasal dari potensi-potensi yang dimiliki oleh masing-

masing daerah.

Fokus utama dalam penelitian ini adalah pada Pendapatan Asli Daerah

(PAD) yang khususnya bersumber dari pajak daerah. Setiap tahunnya daerah

akan menetapkan target pajak daerah yang dasar penetapannya adalah

realisasi dari penerimaan pada periode sebelumnya. Untuk mengetahui

seberapa besar kemampuan pemerintah daerah dalam merealisasikan

pendapatan daerah, maka dilakukan penghitungan efektivitas pada

penerimaan pajak daerah yang diperoleh dengan membandingkan antara

realisasi dan target pada penerimaan pajak daerah. Sedangkan untuk

mengetahui seberapa besar sumbangan atau kontribusi dari penerimaan pajak

terhadap pendapatan asli daerah (PAD), maka dilakukan penghitungan nilai

kontribusi dengan membandingkan penerimaan pajak daerah terhadap PAD.

Dengan melihat besarnya kontribusi penerimaan pajak daerah, diharapkan

dapat berpengaruh dalam meningkatkan penerimaan daerah khususnya dari

pendapatan asli daerah (PAD). Kemudian untuk dapat mengetahui bagaimana

penerimaan dari pajak daerah pada periode-periode selanjutnya, maka

dilakukan suatu peramalan dengan proyeksi terhadap pajak daerah.