BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Komitmen Organisasi 1. …eprints.mercubuana-yogya.ac.id/5289/3/BAB...
Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Komitmen Organisasi 1. …eprints.mercubuana-yogya.ac.id/5289/3/BAB...
-
22
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Komitmen Organisasi
1. Pengertian Komitmen Organisasi
Ada berbagai macam definisi yang dikemukakan oleh para ahli mengenai
komitmen karyawan terhadap organisasi Mowday, Porter, & Steers (1996)
mendefinisikan komitmen organisasi sebagai identification (kepercayaan terhadap
nilai-nilai organisasi), job involvement (kesediaan untuk berusaha sebaik mungkin
demi kepentingan organisasi) dan loyalty (keinginan untuk tetap menjadi anggota
organisasi yang bersangkutan) yang dinyatakan oleh karyawan terhadap
organisasi. Komitmen organisasi artinya lebih dari sekedar keanggotaan format
karena meliputi sikap menyukai organisasi dan kesediaan mengusahakan tingkat
upaya yang tinggi bagi kepentingan organisasi mencakup unsur loyalitas terhadap
organisasi, keterlibatan dalam bekerja dan identifikasi terhadap nilai-nilai dan
tujuan organisasi. Tanpa adanya komitmen organisasi yang kuat dalam diri
individu tidak akan mungkin suatu organisasi dapat berjalan dengan maksimal.
Penelitian dari Baron dan Greenbeg (1993) menyatakan bahwa komitmen
memiliki arti penerimaan yang kuat pada individu terhadap tujuan dan nilai-nilai
perusahaan, dimana individu akan berusaha dan berkarya serta memiliki hasrat
yang kuat untuk tetap bertahan diperusahaan tersebut. Ahli yang lain yaitu
Salancik & Staw (1977) menyatakan bahwa komitmen organisasi adalah suatu
tahap pada saat individu menjadi terikat karena tindakan-tindakannya dan dengan
-
23
tindakan tersebut tumbuh keyakinan untuk tetap mempertahankan aktivitas dan
keterlibatannya.
Komitmen organisasi merupakan suatu keadaan dimana pegawai
mengidentifikasi sebuah organisasi, tujuan serta harapannya untuk tetap menjadi
anggota (Robbins & Judge, 2015). Sedangkan menurut Meyer dan Hercovitch
(2001), komitmen adalah kekuatan yang mengikat individu untuk melakukan
suatu tindakan yang relevan dengan target tertentu. Adapun definisi komitmen
organisasi menurut Hall, Schneider & Nygren (1970 dalam Suseno dan sugiyanto.
2010) merupakan proses agar tujuan organisasi dan tujuan individu lebih
terintegrasi dan kongruen.
Luthans (2006) mengartikan komitmen organisasi sebagai 1) keinginan
kuat untuk tetap sebagai anggota organisasi tertentu; 2) keinginan untuk berusaha
keras sesuai keinginan organisasi; dan 3) keyakinan tertentu, dan penerimaan nilai
dan tujuan organisasi. Dengan kata lain, komitmen organisasi merupakan sikap
yang merefleksikan loyalitas pegawai pada organisasi dan proses berkelanjutan
dimana anggota organisasi mengekspresikan perhatian mereka terhadap organisasi
dan keberhasilan serta kemajuan yang berkelanjutan.
Menurut Allen & Mayer (1990), komitmen organisasi merupakan kondisi
psikologis yang menunjukkan karakaristik hubungan antara pekerja dan organisasi
dan mempunyai pengaruh dalam keputusan untuk tetap melanjutkan
keanggotaannya didalam organisasi tersebut. Meyer & Alen (1997) juga
menyatakan bahwa karyawan yang memiliki komitmen organisasi akan bekerja
dengan penuh dedikasi karena karyawan yang memiliki komitmen tinggi
-
24
menganggap bahwa hal yang penting yang harus dicapai adalah pencapaian tugas
dalam organisasi. Karyawan yang memiliki komitmen organisasi yang tinggi akan
memiliki pandangan yang positif dan akan melakukan yang terbaik untuk
kepentingan organisasi. Hal ini membuat karyawan untuk memiliki keinginan
untuk memberikan tenaga dan tanggung jawab yang lebih menyokong
kesejahteraan dan keberhasilan organisasi tempatnya bekerja.
Model Meyer dan Allen telah dikritik khususnya oleh tiga psikolog yaitu,
Solinger, Olffen, dan Roe (2007) karena model ini tidak konsisten dengan temuan
empiris. Secara pengertian, model ini menjelaskan mengapa orang harus tinggal
dengan organisasi, apakah itu karena ingin, perlu, atau seharusnya. Namun TCM
(Three-Component Model) Meyer dan Allen tersebut menggabungkan fenomena
sikap yang berbeda, yaitu komitmen afektif yang sama dengan sikap terhadap
suatu target dengan komitmen continuence dan normatif. Sedangkan komitmen
continuence dan normatif yang mewakili konsep yang berbeda itu mengacu pada
hasil perilaku yang diantisipasi, khususnya tentang tinggal atau meninggalkan
organisasi.
Dengan kata lain dapat disimpulkan bahwa TCM telah gagal untuk
memenuhi syarat sebagai model umum dari komitmen organisasi, dan lebih
sebagai model untuk memprediksi turnover (Solinger, Olffen, & Roe, 2007).
Meskipun TCM adalah cara yang baik untuk memprediksi turnover, model ini
tidak harus menjadi model umum dalam mengukur komitmen organisasi.
Penelitian harus kembali pada pemahaman asli komitmen organisasi sebagai sikap
terhadap organisasi dan melakukan pengukuran yang sesuai dengan itu.
-
25
Berdasarkan berbagai definisi mengenai komitmen organisasi diatas, maka
dapat disimpulkan bahwa komitmen organisasi merupakan sikap keyakinan atasan
yang kuat terhadap terhadap tujuan dan nilai organisasi, dengan direfleksikan
suatu tindakan dan berusaha bekerja keras demi pencapaian tujuan organisasi dan
keinginan kuat untuk mempertahankan keanggotaan dalam organisasi.
2. Aspek-aspek Komitmen Organisasi
Menurut Miner (1992) komitmen organisasi ditandai oleh tiga aspek
diantaranya :
a. Kepercayaan yang kuat dan penerimaan dari tujuan dan nilai-nilai
organisasi
b. Kesediaan untuk menggunakan usaha yang sungguh-sungguh atas nama
organisasi
c. Keinginan yang kuat untuk mempertahankan keanggotaan dalam
organisasi.
Selain itu, Argyris (Soetjipto,dkk,.2000) membagi komitmen menjadi dua
yaitu :
a. Komitmen Eksternal dibentuk oleh lingkungan kerja. Komitmen ini muncul
karena adanya tuntutan terhadap penyelesaian tugas dan tanggung jawab
yang harus diselesaikan oleh para karyawan yang menghasilkan adanya
reward dan punishment.
b. Komitmen Internal merupakan komitmen yang berasal dari seseorang
untuk menyelesaikan berbagai tugas, tanggung jawab dan wewenang
berdasarkan pada alasan dan motivasi yang dimilikinya.
-
26
Menurut Alen dan Mayer (1990) terdapat tiga komponen dalam komitmen
organisasi yaitu :
a. Komponen Afective
Komponen ini menunjukkan kelekatan emosional pekerja,
mengidentifikasikan dirinya dan menunjukkan keterlibatan didalam
organisasi tersebut. Karyawan yang memiliki komponen afektif yang
tinggi melanjutkan keanggotaannya kedalam organisasi karena memang hal
itulah yang mereka inginkan untuk tetap barada didalam organisasi.
b. Komponen Continuance
Komponen ini menunjukkan kesadaran tentang kerugian yang dihadapi
seorang pekerja bila dia meninggalkan pekerjaannya. Karyawan yang mau
tetap berada didalam organisasi berdasarkan komponen continuance karena
memang mereka membutuhkan organisasi.
c. Komponen Normative
Komponen ini mencerminkan perasaan tentang kewajiban untuk tetap
bekerja di organisasi, karyawan dengan komponen normative yang tinggi
merasa mereka harus tetap berada di organisasi.
Berdasarkan penjelasan diatas, Alen & Mayer (1990) berpendapat bahwa
masing-masing komponen memiliki dasar yang berbeda. Karyawan yang
memiliki komponen yang afektif yang tinggi akan tetap bergabung dengan
organisasi karena memiliki keinginan dan ikatan emosi untuk mempertahankan
keanggotaannya. Sementara itu, karyawan yang memiliki komponen kontunians
yang tinggi akan tetap bergabung dengan organisasinya karena karyawan tersebut
-
27
membutuhkan organisasi tersebut sedangkan karyawan yang memiliki komponen
normative yang tinggi akan tetap menjadi anggota dalam suatu organisasi tersebut
karena hal itu merupakan suatu keharusan atau kewajiban.
Menurut Mowday, Porter, & Steers (1996) komitmen karyawan terhadap
organisasi memiliki tiga aspek utama, yaitu:
a. Identifikasi, merupakan keyakinan dan penerimaan terhadap serangkaian nilai
dan tujuan organisasi. Dimensi ini tercermin dalam beberapa perilaku seperti
adanya kesamaan nilai dan tujuan pribadi dengan nilai dan tujuan organisasi,
penerimaan terhadap kebijakan organisasi serta adanya kebanggaan menjadi
bagian dari organisasi. Aspek identifikasi ini dapat dikembangkan dengan
dengan memodifikasi tujuan organisasi, sehingga mencakup beberapa tujuan
pribadi para karyawan ataupun dengan kata lain organisasi memasukkan pula
kebutuhan dan keinginan karyawan dalam tujuan organisasinya sehingga
akan membuahkan suasana saling mendukung diantara para karyawan dengan
organisasi. Lebih lanjut dijelaskan bahwa suasana tersebut akan membawa
karyawan dengan rela menyumbangkan sesuatu bagi tercapainya tujuan
organisasi, karena karyawan menerima tujuan organisasi yang dipercayai
telah disusun demi memenuhi kebutuhan pribadi mereka pula.
b. Job involvement yaitu keinginan yang kuat untuk berusaha demi kepentingan
organisasi. Hal ini tercermin dari usaha karyawan untuk menerima dan
melaksanakan setiap tugas dan kewajiban yang dibebankan kepadanya.
Karyawan bukan hanya sekedar melaksanakan tugas-tugasnya melainkan
selalu berusaha melebihi standar minimal yang ditentukan oleh organisasi.
-
28
Karyawan akan terdorong pula untuk melakukan pekerjaan diluar tugas dan
peran yang dimilikinya apabila bantuannya dibutuhkan oleh organisasi. Salah
satu cara yang dapat dipakai untuk memancing keterlibatan karyawan. Oleh
Steers, Ongson & Mowday (1985) dikatakan bahwa tingkat kehadiran mereka
yang memiliki rasa keterlibatan tinggi umumnya tinggi pula. Mereka hanya
absen dan datang kerja jika mereka sakit hingga benar-benar tidak dapat
masuk kerja. Jadi, tingkat kemangkiran yang disengaja pada individu tersebut
lebih rendah dibandingkan dengan pekerja yang keterlibatannya lebih tinggi.
c. Loyalitas karyawan terhadap organisasi memiliki makna kesediaan seorang
karyawan untuk melanggengkan hubungannya dengan organisasi, kalau perlu
dengan mengorbankan kepentingan pribadinya demi mencapai kesuksesan
dan keberhasilan organisasi tersebut. Kesediaan karyawan untuk
mempertahankan diri bekerja dalam organisasi adalah hal yang penting dalam
menunjang komitmen karyawan terhadap organisasi dimana mereka bekerja.
Hal ini dapatan diupayakan bila karyawan merasakan adanya keamanan dan
kepuasan didalam organisasi tempat ia bergabung untuk bekerja.
Peneliti menggunakan tiga aspek komitmen organisasi dari Mowday,
Porter, & Steers (1996) yakni identification (kepercayaan terhadap nilai-nilai
organisasi), job involvement (kesediaan untuk berusaha sebaik mungkin demi
kepentingan organisasi) dan loyalty (keinginan untuk tetap menjadi anggota
organisasi yang bersangkutan) karena aspek ini merupakan yang paling sesuai
digunakan untuk penelitian ini yang mengacu pada permasalahan komitmen
organisasi yang ada di PT. X.
-
29
3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Komitmen Organisasi
Komitmen didalam suatu organisasi dapat dipengaruhi oleh beberapa
faktor. Pendekatan multidimensional akan lebih menjelaskan hubungan pekerja
dengan organisasi yang mempekerjakannya. Van Dyne dan Graham (dalam,
Coetzee, 2005) menyebutkan beberapa faktor yang mempengaruhi komitmen
organisasi seseorang berdasarkan pendekatan multidimensional yaitu :
a. Personal Faktors (Karateristik Pribadi)
Ada beberapa faktor personal yang mempengaruhi latar belakang pekerja
antara lain usia, latar belakang pekerja, sikap dan nilai serta kebutuhan
intrinsic pekerja. Ada banyak penelitian yang menunjukkan bahwa
beberapa tipe pekerja memiliki komitmen yang lebih tinggi pada
organisasi yang mempekerjakannya. Berdasarkan hasil penelitian tersebut,
pekerja yang lebih teliti, ekstrovet dan mempunyai pandangan positif
terhadap hidupnya (optimis) cenderung lebih berkomitmen. Selain itu,
pekerja yang berorientasi kepada kelompok memiliki tujuan serta
menunjukkan kepedulian terhadap kelompok, juga merupakan tipe pekerja
yang lebih terikat kepada keanggotaannya. Sama halnya dengan pekerja
yang berempati, mau menolong sesame (altruistic) juga lebih cenderung
menunjukkan perilaku sebagai anggota kelompok pada pekerjaannya.
b. Situational Faktors (Faktor Situasional)
1) Workplace values (Nilai-Nilai Organisasi)
Pembagian nilai merupakan komponen yang penting dalam setiap
hubungan atau perjanjian. Nilai yang tidak terlalu kontroversial
-
30
(kualitas, inovasi, kerjasama, partisipasi) akan lebih mudah dibagi dan
akan membangun hubungan yang lebih dekat. Jika pekerja percaya
pada nilai kualitas produk organisasi, mereka akan terikat pada
perilaku yang berperan dalam meningkatkan kualitas. Jika pekerja
yakin pada nilai partisipasi organisasi, mereka akan lebih merasakan
bahwa partisipasi mereka akan membuat suatu perbedaan.
Konsekuensinya, mereka akan lebih bersedia untuk mencari solusi dan
membuat saran untuk kesuksesan suatu organisasi.
2) Subordinate-supervisor interpersonal relationship (Hubungan antara
atasan dan bawahan)
Perilaku dari atasan merupakan suatu hal yang mendasar dalam
menentukan tingkat kepercayaan interpersonal dalam unit pekerjaan.
Perilaku dari atasan yang termasuk kedalamnya seperti berbagi
informasi yang penting membuat pengaruh yang baik, menyadari dan
menghargai unjuk kerja yang baik dan tidak melukai orang lain. Butler
(dalam Coetze,2005) mengidentifikasi 11 perilaku atasan untuk
memfasilitasi kepercayaan interpersonal yaitu kesediaan, kompetensi,
konsistensi, bijaksana, adil, jujur, loyalitas, terbuka, menepati janji,
mau menerima dan kepercayaan. Secara lebih luas apabila atasan
menunjukkan perilaku yang disebutkan ini maka akan mempengaruhi
tingkat kepercayaan bawahannya.
-
31
3) Job characteristic (Karateristik Pekerjaan)
Menurut Jemigen Beggs dan Kohul (dalam Coetzee, 2005) kepuasan
terhadap ekonomi, status dan kepuasan terhadap otonomi, status dan
kepuasaan terhadap organisasi adalah prediktor yang signifikan
terhadap komitmen organisasi. Hal inilah yang merupakan karateristik
pekerjaan yang dapat meningkatkan perasaan individu terhadap
tanggung jawabnya dan keterikatan terhadap organisasi.
4) Organizational support (Dukungan Organisasi)
Ada hubungan yang signifikan antara komitmen pekerja dan
kepercayaan pekerja terhadap keterikatan dengan organisasinya.
Berdasarkan penelitian pekerja akan lebih bersedia untuk memenuhi
panggilan diluar tugasnya, ketika mereka bekerja di organisasi yang
memberikan dukungan serta keseimbangan tanggung jawab pekerja
dan keluarga akan menjadi lebih mudah, mendampingi mereka
menghadapi masa sulit, menyediakan keuntungan bagi mereka dan
membantu anak mereka melakukan sesuatu yang mereka tidak dapat
lakukan.
c. Positional Faktors (Faktor- faktor yang berkaitan dengan posisi)
1) Organizational tenure (Masa Kerja)
Beberapa penelitian menyebutkan adanya hubungan antara masa
jabatan dan hubungan pekerja dengan organisasi. Penelitian
menunjukkan bahwa pekerja yang telah lama bekerja diorganisasi akan
lebih mempunyai hubungan yang kuat dengan organisasi tersebut.
-
32
2) Hierarchical job level (Tingkat Jabatan)
Peneliatian menunjukkan bahwa status sosial ekonomi menjadi satu-
satunya prediktor yang kuat dalam komitmen organisasi. Hal ini terjadi
karena status yang tinggi akan merujuk pada peningkatan motivasi dan
kemampuan untuk terlibat secara aktif. Secara umum, pekerja yang
jabatannya yang lebih tinggi akan memiliki tingkat komitmen
organisasi yang lebih tinggi pula bila dibandingkan dengan para
pekerja yang jabatannya lebih rendah. Ini dikarenakan posisi atau
kedudukan yang tinggi membuat pekerja dapat mempengaruhi
keputusan organisasi, mengindikasikan status yang tinggi, menyadari
kekuasaan formal dan kompetensi yang mungkin, serta menunjukkan
bahwa organisasi sadar bahwa pekerjanya memiliki nilai dan
kompetensi dalam kontribusi mereka.
Steers dan Porter (1987), mengemukakan tiga faktor yang mempengaruhi
komitmen pada organisasi yaitu :
a. Faktor pribadi (personal faktors) yang meliputi job expectations,
psychological contract, job choice factors, karateristik personal
keseluruhan faktor ini membentuk komitmen awal.
b. Faktor organisasi (organizational faktors): meliputi initial works
experiences job scope, supervision, goal consistency organizational. Semua
faktor itu akan membentuk atau memunculkan tanggung jawab.
c. Faktor non organisasi (non organizational faktors) yang meliputi
availability of alternatif job. Faktor yang bukan berasal dari dalam
-
33
organisasi, misalnya ada tidaknya alternatif pekerjaan lain. Jika ada dan
lebih baik tentu karyawan akan meninggalkannya.
Faktor kepemimpinan yang berasal dari organisasi yaitu hubungan atasan
dan bawahan serta supervisi merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi
komitmen karyawan terhadap organisasi. Beberapa hasil penelitian menunjukkan
bahwa salah satu faktor yang dianggap penting yang mempengaruhi organisasi
adalah kepemimpinan (Mowday et al, dalam Avolio et al, 2004). Sebagai bagian
dari organisasi kepemimpinan ikut mempengaruhi komitmen melalui hubungan
antara atasan dengan bawahan, antara karyawan dengan pimpinannya (Meyer &
Allen, 1997).
Beberapa peneliti mengasumsikan bahwa kepemimpinan yang
mempengaruhi timbulnya komitmen organisasi adalah kepemimpinan
transformasional (Raja & Palanichamy, 2011; Yacchouchi, 2009). Karena dalam
kepemimpinan transformasional tidak menuntut adanya untung rugi ataupun
timbal balik jasa antara pemenuhan kebutuhan pekerja dalam upaya pencapaian
tujuan organisasi yang setara dengan konsep teori komitmen dimana pekerja
bekerja tidak sekedar memandang untung rugi, namun juga berkaitan secara
emosional dan terlibat dalam kegiatan organisasi. Hal ini diperkuat oleh hasil
penelitian sebelumnya bahwa kepemimpinan transformasional lebih dapat
dikaitkan dengan komitmen organisasi dibandingkan kepemimpinan transaksional
(Emery & Barker, 2007. Lo Ramayah & Min, 2009).
Berdasarkan uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa dari hasil-hasil
penelitian yang telah dilakukan, komitmen organisasi dipengaruhi faktor-faktor 1)
-
34
karateristik individu : meliputi usia, latar belakang pekerja, sikap dan kebutuhan
nilai intrinsik pekerja, harapan terhadap pekerjaan, kontrak psikologis dan faktor
pemilihan pekerjaan, 2) Nilai-nilai organisasi : meliputi hubungan atasan dan
bawahan, karateristik pekerjaan, dukungan organisasi, masa kerja, level jabatan,
pengalaman kerja sebelumnya, cakupan pekerjaan, supervisi, dan konsistensi
terhadap tujuan organisasi, 3) Faktor non organisasional yakni ada tidaknya
alternatif pekerjaan lain.
Salah satu faktor telah disimpulkan yaitu nilai-nilai organisasi, dimana
faktor ini meliputi hubungan atasan dan bawahan merupakan suatu hal yang
mendasari peneliti untuk menggunakan interpersonal trust sebagai variabel
kontrol, karena perilaku atasan merupakan suatu hal yang mendasar dalam
menentukan tingkat kepercayaan bawahannya sehingga semakin tinggi tingkat
kepercayaan semakin berkomitmen terhadap organisasi.
B. Interpersonal Trust
1. Definisi Interpersonal Trust
Interpersonal Trust (kepercayaan interpersonal) adalah keadaan
psikologis yang terdiri dari niat untuk menerima kerentanan terhadap tindakan
pihak lain berdasarkan harapan bahwa yang lain akan melakukan tindakan
tertentu, terlepas dari kemampuan untuk memantau atau mengontrol pihak lain
(Mayer & Rousseau, 1995).
Interpersonal Trust (kepercayaan interpersonal) adalah ekspektasi
umum yang dipegang atau dimiliki oleh individu atau kelompok bahwa kata-
-
35
kata, janji, pernyataan secara verbal atau tertulis dari orang lain atau kelompok
lain dapat diandalkan atau dipercaya (Rotter, dalam Feist & Feist, 2008).
Interpersonal Trust (kepercayaan interpersonal) adalah kemauan
seseorang (trustor) untuk mempercayai individu lain yang dalam hal ini adalah
atasan atau rekan kerja (trustee) dimana kepercayaan tersebut didasarkan atas
pengalaman sebelumnya, tindakan dan perilaku trustee (McAllister, 1995).
Paine (2003) menungkapkan bahwa Interpersonal Trust (kepercayaan
interpersonal) merupakan kesediaan seseorang untuk mempercayai segala
tingkah laku baik tindakan maupun ucapan orang lain.
Menurut Cook dan Wall (1980) kepercayaan merupakan tingkat dimana
seseorang berkeinginan untuk menerima niat baik orang lain dan yakin pada kata
dan tindakan orang lain. Percaya pada orang lain berarti individu bahwa hasil dari
perkataan dan tindakan tersebut berdampak baik bagi dirinya,
Eby dkk (2000) mengemukakan bahwa karyawan yang memiliki
kepercayaan dan keyakinan pada rekan ditempat kerjanya, maka akan
berdampak positif bagi organisasi. Kepercayaan diantara sesama rekan kerja
akan berdampak pada hubungan sosial, menumbuhkan kepercayaan saling
berbagi, saling membantu dan pada akhirnya akan berdampak pada output
organisasi.
Berdasarkan beberapa pengertian yang telah dikemukakan para ahli
maka dapat disimpulkan bahwa Interpersonal Trust adalah suatu keyakinan
dan kemauan dari individu untuk mempercayai pada individu lain atau
-
36
kelompok lain akan perkataan atau tindakannya yang memberikan harapan dan
prediksi positif, sehingga individu mau menerimanya.
2. Dimensi Interpersonal Trust
Dalam model teori yang dikemukakan oleh Rottenberg (2010), untuk
memahami konsep tentang kepercayaan interpersonal dia mengajukan sebuah
kerangka kerja Interpersonal Trust dalam model BDT (Bases, Domains, dan
Target). Berdasarkan model ini, menurut Rottenberg (2010) ada 3 dimensi
dasar dari Interpersonal Trust, yaitu:
a. Keterandalan (Reliability) : dimensi ini mengarah kepada individu yang
dapat memenuhi dan membuktikan perkataan dan janjinya melalui
perilaku. Hal ini bermakna bahwa seseorang tidak hanya berucap
mengenai kemampuan yang dia miliki namun mengimplementasikan
dalam tindakan sehingga ucapannya dapat dipercaya.
b. Emosi (Emotional) : dimensi ini mengarah kepada individu yang dapat
menahan diri supaya tidak menyakiti perasaan mereka, seperti mau
menerima sebagai tempat mengungkapkan perasaan (disclosure), dapat
dipercaya untuk menyimpan rahasia, memberikan kritik yang
membangun, menahan diri untuk tidak menyakiti perasaan orang lain,
dan menghindari tindakan yang dapat menimbulkan rasa malu.
c. Kejujuran (Honesty) : dimensi ini mengarah kepada individu yang
menceritakan kebenaran dan mengelola perilaku berdasar pada niat
yang baik daripada niat jahat dan dengan cara-cara yang lebih tulus
daripada manipulatif.
-
37
Ketiga dimensi di atas mendasari terciptanya Interpersonal Trust.
Disamping itu setiap dimensi memiliki tiga ranah yang mendukung yaitu:
a. Cognitive/affective : ranah ini terdiri dari kepercayaan dan perasaan
indivudu yang ditunjukkan sesuai dengan 3 dimensi Interpersonal
Trust. Jadi masing-masing dimensi keterandalan (reliability), emosi
(emotionality) dan kejujuran (honesty) memiliki hal ini. Dalam dimensi
keterandalan diperlukan ranah cognitive/affective yang mencakup
kemampuan berfikir dan bagaimana cara seseorang bersikap dan
menilai. Begitu pula pada dimensi emosi dan kejujuran.
b. Behavior-dependent : ranah ini terdiri dari perilaku individu yang
mengandalkan dan mempercayakan orang lain untuk bertindak sesuai
dengan setiap dimensi dalam Interpersonal Trust. Masing-masing
dimensi keterandalan (reliability), emosi (emotionality) dan kejujuran
(honesty) memiliki hal ini. Ketika seseorang telah mengandalkan,
mengungkapkan emosi, dan bertindak jujur kepada orang lain maka dia
memiliki kecenderungan untuk bergantung kepada orang yang
bersangkutan.
c. Behavior-enacting (trustworthiness) : ranah ini terdiri dari perilaku
individu yang terikat pada 3 dimensi Interpersonal Trust. Dimana
seseorang telah memutuskan apakah orang lain layak untuk dipercaya
atau tidak. Tiap-tiap dimensi keterandalan (reliability), emosi
(emotionality) dan kejujuran (honesty) memiliki hal ini. Seseorang tidak
mungkin mengandalkan orang lain ketika dia merasa bahwa orang
-
38
tersebut tidak layak untuk dipercaya dan sebaliknya. Begitu pula ketika
seseorang telah terikat secara emosional dan terbuka secara jujur
terhadap orang lain. Individu tidak akan semudah itu untuk
mempercayakan hal-hal yang bersifat pribadi jika orang lain tersebut
tidak layak dipercaya.
Aspek Interpersonal Trust ditempat kerja menurut Cook dan Wall (1980)
dapat dibedakan menjadi empat hal sebagai berikut :
a. Percaya pada rekan kerja
Kepercayaan yang secara langsung dengan pimpinan akan mempengaruhi
kinerja (Dirks & Ferrin dalam Thompson, 2008). Hal ini bermakna bahwa
hubungan langsung dengan atasan dapat memberikan dukungan dan
menciptakan kepuasan yang ditandai penerimaan atas dirinya sehingga
individu merasa dihargai dan hal tersebut membuat individu termotivasi dalam
melaksanakan tugasnya.
b. Percaya pada manajemen
Weber dan Weber (2001) menemukan bahwa kepercayaan pada managemen
dapat mengurangi perasaan ketidakyakinan dan minimnya informasi tentang
perubahan sehingga mengurangi spekulasi dan rasa takut yang tidak
beralasan.kepercayaan kepada managemen memberikan peran penting dalam
memberikan informasi dan arahan yang dilakukan karyawan. Dengan adanya
arahan tersebut maka karyawan tidak mengalami kebingungan dalam
menghadapi berbagai persoalan karena adanya dukungan pihak manajemen.
-
39
c. Percaya pada kemampuan rekan kerja
Thompson (2008) mengemukakan bahwa belum tentu dalam diri seseorang
sekaligus memiliki aspek kognitif dan afektif, misalnya saja seseorang bisa
diandalkan kemampuan dan tanggungjawabnya dalam menyelesaikan suatu
tugas yang dibebankan namun belum tentu juga individu tersebut memiliki
aspek afektif begitu juga sebaliknya.
d. Percaya pada kemampuan managemen
Lewicki dan Bungker (dalam Popa, 2005) mengemukakan bahwa kepercayaan
merupakan harapan positif pada perilaku orang lain dalam situasi yang
berisiko. Hal ini berarti ketika individu berada dalam situasi yang tidak
nyaman dan individu tersebut tidak memiliki kemampuan untuk
menyelelesaikannya apalagi menyangkut isu-isu besar yang dihadapi
organisasi, maka hal yang bisa dilakukan adalah percaya kepada pihak yang
memiliki kemampuan untuk menyelesaikannya, dalam hal ini percaya pada
pihak managemen. Jika karyawan menginginkan adanya kondisi yang lebih
baik dan ingin mencapai kesuksesan organisasi, maka kepercayaan pada pihak
managemen menjadi hal yang sangat penting bagi kelanjutan organisasi.
Selanjutnya bagian terakhir dalam kerangka kerja Interpersonal Trust
adalah mengenai target atau subjek dari Interpersonal Trust yaitu dapat berupa
sekelompok orang maupun individual. Kerangka kerja menyoroti kualitas
timbal balik Interpersonal Trust dimana kepercayaan individu dipelihara
kepada orang lain sebagai dasar untuk membina hubungan yang baik dengan
pihak lain.
-
40
C. Pelatihan Kepemimpinan Transformasional
1. Definisi Kepemimpinan Transformasioanal
Konsep awal tentang kepemimpinan transformasional dicetuskan oleh
Burns dari penelitian deskriptif mengenai pemimpin-pemimpin politik (Yukl,
2010) konsep kepemimpinan menurut Burn tersebut dikembangkan dengan
landasan teori kebutuhan dari Maslow. Bass (dalam Yukl, 2010) mengatakan
bahwa hirarki kebutuhan Maslow dianggap oleh Burns sebagai hal yang
fundamental untuk proses transformasi, dimana para pemimpin berusaha
mengerakkan kebutuhan-kebutuhan tingkatan yang lebih tinggi.
Menurut Danim (2004), kepemimpinan transformasional adalah
kemampuan seseorang pemimpin dalam bekerja dengan dan/atau melalui orang
lain untuk mentransformasikan, secara optimal sumber daya organisasi dalam
rangka mencapai tujuan yang bermakna sesuai dengan target capaian yang telah
ditetapkan.
Burns (dalam Bass & Riggio, 2006) menyatakan bahwa transformasi dapat
dicapai dengan menggunakan salah satu dari ketiga cara yang saling berhubungan
dibawah ini :
a. Dengan meningkatkan kesadaran bawahan akan kepentingan dan nilai dari
hasil kerja mereka yang ditetapkan dan cara mencapainya.
b. Dengan membuat bawahan melebihi minat-minat pribadi mereka demi
kepentingan tim, organisasi/masyarakat yang lebih besar.
c. Dengan mengubah tingkat kebutuhan atau memperluas kebutuhan dan
keinginan bawahan.
-
41
Menurut O’Leary (2010) kepemimpinan transformasional adalah gaya
kepemimpinan yang digunakan oleh manajer bila ia ingin suatu kelompok
melebarkan batas dan memiliki kinerja melampaui status quo atau mencapai
serangkaian sasaran organisasi yang sepenuhnya baru kepemimpinan
transformasional pada prinsipnya memotivasi bawahan untuk berbuat lebih baik
dari apa yang bisa dilakukan dengan kata lain dapat meningkatkan kepercayaan
atau keyakinan dari bawahan yang akan berpengaruh terhadap peningkatan kerja.
Robbins dan Judge (2008) menyebutkan pemimpin transformasional adalah
pemimpin yang menginspirasi para pengikutnya untuk menyampingkan
kepentingan pribadi mereka demi kebaikan organisasi dan mampu memiliki
pengaruh yang luar biasa pada diri para pengikutnya.
Menurut Burns (1978 dalam Yukl, 2010), faktor kepemimpinan
transformasional terpisah dengan kepemimpinan transaksional. Jadi satu
pemimpin hanya akan memiliki satu tipe yaitu transformasional atau transaksional
saja. Kepemimpinan transformasional memberikan karateristik yang
menghasilkan tenaga dan memicu perubahan baru bagi organisasi yang tidak
dapat dihasilkan pada kepemimpinan transaksioanal. Pemimpin transformasional
yang bagus menggunakan kewenangan dan kekuasaan untuk memberikan
semangat dan motivasi orang agar percaya dan mengikuti teladannya (Muhtar,
2010).
Lebih lanjut Bass (dalam Yukl, 2010) menyebutkan bahwa kepemimpinan
tranformasional efektif diterapkan dalam berbagai situasi, kondisi serta budaya.
Dengan kata lain teori mengenai kepemimpinan transformasional tidak
-
42
mengkhususkan suatu kondisi tertentu. Bass (dalam Yukl, 2010) mengungkapkan
adanya korelasi positif antara kepemimpinan transformasional terhadap efektivitas
organisasi/perusahaan dapat dibuktikan dengan keberhasilan banyak pemimpin
yang menerapkan pendekatan kepemimpinan ini dalam berbagai organisasi pada
level otoritas yang berbeda-beda diberbagai Negara.
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa kepemimpinan
transformasional adalah gaya kepemimpinan yang mencakup upaya perubahan
terhadap bawahan untuk dapat berbuat lebih positif atau lebih baik dari apa yang
biasa dikerjakan dan berpengaruh terhadap peningkatan kinerjanya.
2. Dimensi Kepemimpinan Transformasional
Menurut Bass dan Avolio (1993), kepemimpinan transformasional
mengandung empat dimensi yang disebut sebagai “The Four I’s”, yaitu Idealized
Influenced, Inspirational Motivation, Intellectual Simulation dan Individualized
Consideration. Menurut Bass dan Avolio, masing-masing dimensi tersebut
memiliki empat indikator yang dijelaskan sebagai berikut :
a. Idealized Influence (Pengaruh Ideal/Kharismatik)
Pemimpin transformasional berperilaku sebagai pemimpin yang dapat
dijadikan panutan oleh bawahannya. Bawahan ingin menyerupai dan
mengidentifikasikan diri mereka pada atasannya. Hal-hal yang dilakukan
oleh pemimpin untuk memperoleh pengakuan dari bawahannya adalah
dengan memprioritaskan kebutuhan bawahannya dibandingkan
kebutuhannya sendiri. Pemimpin konsisten berbagi resiko dengan
bawahannya sesuai dengan etik, prinsip-prinsip dan nilai dasar yang
-
43
berlaku. Dimensi ini terbagi menjadi dua sub dimensi yang terdiri dari
atribut (attribute) dan perilaku (behaviour). Sub dimensi atribut memiliki
pengertian kemampuan pemimpin untuk mendapatkan pengakuan,
penghargaan dan kepercayaan dari bawahannya. Sub dimensi perilaku
memiliki pengertian perilaku pemimpin yang mampu memunculkan
perilaku identifikasi bawahan terhadap pemimpinnya.
b. Inspirational Motivation (Motivasi Inspirasional)
Pemimpin transformasional berperilaku sebagai motivator dan inspirator
dimata bawahan, yaitu dengan memberikan makna dan tantangan pada
pekerjaan bawahannya. Semangat individu dan tim dimunculkan.
Antusiasme dan optimisme juga ditampilkan. Pemimpin mendorong
bawahan untuk mewujudkan situasi yang paling menguntungkan dimasa
mendatang. Pemimpin juga secara jelas menyampaikan harapan yang ingin
dicapai sehingga bawahan terdorong dan berkomitmen untuk
mewujudkannya.
c. Intellectual Simulation (Simulasi Intelektual)
Pemimpin transformasional menstimulasi kinerja bawahan agar inovatif
dan kreatif dengan cara mempertanyakan asumsi, memetakan kembali
masalah dan melakukan pendekatan baru pada situasi lama. Pemimpin
mendukung munculkan kreativitas bawahan. Kesalahan bawahan tidak
dijadikan bahan ejekan dan kritik didepan public, ide baru dan solusi
kreatif untuk menyelesaikan masalah muncul dari bawahan dengan
melibatkan bawahan dalam proses pemecahan masalah. Pemimpin tipe ini
-
44
mendorong bawahan untuk mencoba pendekatan baru, menghargai
masukan dan ide bawahan termasuk perbedaan pandangan dan kritik.
d. Individual Consideration (Perhatian Individu)
Pemimpin transformasional memberikan perhatian khusus pada setiap
kebutuhan bawahannya untuk berprestasi dan berkembang dengan
bertindak sebagai fasilitator atau mentor. Bawahan didorong untuk
mencapai level yang lebih tinggi secara berkesinambungan. Pemimpin
menciptakan kesempatan belajar yang baru dalam iklim suportif agar
bawahan lebih berkembang. Selain itu, pemimpin seperti ini mengenal
perbedaan kebutuhan dan keinginan individual bawahannya.
3. Pengertian Pelatihan Kepemimpinan Transformasional
Cummings & Worley (2005) menyatakan bahwa pelatihan dapat
membantu karyawan mendapatkan ketrampilan dan pengetahuan. Sementara Noe
(2010), menyatakan pelatihan adalah suatu usah terencana dari suatu perusahaan
untuk memfasilitasi pembelajaran karyawan dalam hal kompetensi yang berkaitan
dengan pekerjaan. Kompetensi tersebut dapat berupa pengetahuan, ketrampilan
atau tingkah laku yang penting untuk dapat melakukan pekerjaan dengan efektif.
sedangkan menurut Skula (1976 dalam Munandar 2001), pelatihan adalah proses
pendidikan jangka pendek yang menggunakan prosedur sistematis dan terorganisir
sehingga tenaga kerja dapat mempelajari pengetahuan dan ketrampilan untuk
tujuan tertentu.
Menurut Dessler (2006) pelatihan merupakan proses mengajar ketrampilan
yang dibutuhkan karyawan untuk melakukan pekerjaannya. Mangkuprawira
-
45
(2004) menjelaskan bahwa pelatihan adalah sebuah proses mengajarkan
pengetahuan dan keahlian tertentu serta sikap agar karyawan semakin terampil
dan mampu melaksanakan tanggung jawab dengan semakin baik, sesuai dengan
standar.
Suatu program pelatihan yang efektif terdiri dari beberapa tahapan Riggio
(2009) memaparkan tahapan tersebut antara lain melakukan analisa kebutuhan
pelatihan, menetapkan tujuan pelatihan, menetapkan kriteria keberhasilan,
penetapan metode pelatihan dan penyajiannya, mengembangkan dan menguji
coba materi pelatihan, mengimplementasikan program pelatihan dan yang terakhir
adalah melakukan evaluasi terhadap hasil penelitian yang sudah dilaksanakan
tersebut. Secara garis besar, pelatihan merupakan metode intervensi untuk
meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan serta kemampuan karyawan agar
dapat melaksanakan suatu tugas atau pekerjaan secara efektif dan efesien.
Berdasarkan uraian dari pelatihan dan sub bab definisi kepemimpinan
transformasional, penulis menyimpulkan bahwa pelatihan kepemimpinan
transformasional adalah metode intervensi yang diberikan kepada pimpinan yang
bertujuan agar pimpinan mampu menjadi panutan bagi bawahannya, mampu
menjadi sumber inspirasi bagi bawahannya, dapat membantu bawahannya untuk
melihat dunia dengan persfektif yang berbeda dan mampu mendiagnosa,
memenuhi serta meningkatkan kebutuhan setiap karyawan sehingga membantu
bawahan mengatasi setiap permasalahan yang ada.
Pelatihan kepemimpinan transformasional yang akan dilakukan
menggunakan pendekatan experiential learning, yaitu dengan cara melibatkan
-
46
peserta pelatihan secara langsung dengan mengalami dan merasakan akan lebih
mudah dipahami dan akan diingat lebih lama. Menurut Kolb dan Kolb (2015),
experiental learning terdiri dari empat tahap dasar pembelajaran dalam rangka
membangun pengetahuan yaitu experiencing (mengalami), reflecting
(merenungkan/merefleksikan). Thingking (berpikir), dan acting (bertindak).
Peserta pelatihan akan diarahkan untuk memiliki empat jenis kemampuan yang
berbeda namun tetap terikat yaitu concrete abilities (CE), reflect observation
abilities (RO), abstract conceptualization (AC), dan active experimentation (AE).
Pelatihan kepemimpinan transformasional pada penelitian ini
menggunakan metode pelatihan dari Hardjana (2012) yang terdiri dari tiga tahap
yaitu tahap awal, tahap tengah dan tahap akhir. Materi yang diberikan dalam
kepemimpinan transformasional terdiri dari ceramah (lecture), permainan (game),
simulasi, brainstorming dan audio visual. Sesi-sesi pada pelatihan
transformasional mengacu pada dimensi kepemimpinan transformasional yang
dikemukakan oleh Bass dan Avolio (1993) yang meliputi Idealized Influence
(Pengaruh Ideal), Inspirational Motivation (Motivasi Inspirasional ), Intelecctual
Stimulation (Stimulasi Intelektual) dan Individual Consideration (Perhatian
Individual).
Kepemimpinan tranformasional ini tidak berdiri sendiri tiap sesinya
melainkan saling berkaitan satu sama lain untuk mendapatkan hasil yang
maksimal untuk mendapatkan hasil maksimal dalam upaya meningkatkan
kepemimpinan transformasional. Metode yang digunakan akan terurai dalam
-
47
beberapa sesi pelatihan Kepemimpinan Transformasional berdasarkan dimensi
yang dikemukakan oleh Bass & Avoloio (1993), yaitu :
a. Babak Awal
Pada babak awal merupakan cara untuk mengawali pelatihan dimulai dari
registrasi dimana para peserta mengisi absensi dan akan diberikan name tag
lalu dilanjutkan dengan pembukaan pelatihan. Kegiatan pembukaan pelatihan
terdiri dari pembukaan secara resmi pelatihan dimana para peserta akan
diberikan penjelasan mengenai rangkaian pelatihan, kemudian peserta
pelatihan mengisi biodata, pengisian lembar informed consent dan kontrak
pelatihan. Tujuan dari pembukaan pelatihan adalah agar peserta pelatihan
mampu mengetahui tujuan pelatihan. Menumbuhkan rasa tanggung jawab,
komitmen dan keseriusan dalam mengikuti pelatihan. Sesi selanjutnya setelah
pembukaan pelatihan yaitu ice breaking yang merupakan tahap pemanasan
untuk mengkondisikan suasana agar peserta tertarik untuk mengikuti pelatihan,
tidak mengalami kebosanan dan menjalin hubungan yang baik antar peserta
dan antara peserta dan instruktur atau trainer (Soenarno, 2005)
b. Babak Tengah
Babak tengah pada pelatihan ini meliputi dimensi-dimensi kepemimpinan
transformasional yaitu :
1) Idealized Influence (Pengaruh Ideal)
Sesi Idealized Influence terdiri dari sub-sub sesi yang berupa permainan
tentang kepemimpinan, pemberian materi mengenai karakter pemimpin
-
48
yang kharismatik, dilanjutkan dengan pengisian skla potensi kepemimpinan
dan skala ekspresi emosi, indikator yang diharapkan dari sesi ini adalah :
a) Peserta mampu memahami secara umum konsep pemimpin yang
memiliki cirri kharismatik
b) Peserta mampu menerapkan ciri pemimpin kharismatik dalam
melaksanakan kepemimpinannya
2) Inspirational Motivation (Motivasi Inspirasional)
Pada sesi ini, peserta diberikan materi mengenai karateristik motivasi
inspirasional lalu peserta diajak untuk berbagi pengalamannya dalam
memberikan motivasi kepada bawahannya selama ini melalui kegiatan
sharing session. Indikator yang diharapkan dalam sesi ini adalah :
a) Peserta mampu memahami secara umum konsep pemimpin yang
memiliki ciri sebagai motivator dan inspirator bagi bawahannya
b) Peserta mampu menerapkan cara pemimpin motivasi inspirasional
dalam melaksanakan kepemimpinannya
3) Intellectual Stimulation (Simulasi Intelektual)
Pada sesi ini peserta diberikan permainan atau games out of the box yang
bertujuan agar peserta mendapatkan pengalaman dan berlatih ide berpikir
diluar kebiasaan. Setelah itu dilanjutkan dengan pemberian materi dan
pemberian studi kasus mengenai bawahan yang kemudian didiskusikan
dalam bentuk diskusi kelompok (FGD). Indikator yang diharapkan muncul
pada sesi ini adalah :
-
49
a) Peserta mampu memahami secara umum konsep pemimpin yang
memiliki ciri stimulasi intelektual bagi bawahannya
b) Peserta mampu menerapkan ciri pemimpin yang memberikan stimulasi
intelektual dalam melaksanakan kepemimpinanya
4) Individual Consideration (Perhatian Individual)
Pada sesi ini peserta merasakan peran sebagai pemimpin yang mampu
memberikan perhatian khusus terhadap bawahan melalui kegiatan role play
atau bermain peran. Pelatih memberikan contoh pemberian perhatian
terhadap beberapa peserta kemudian peserta lain memberikan evaluasi
kepada yang bersangkutan. Indikator yang diharapkan muncul pada sesi ini
adalah :
a) Peserta mampu memahami secara umum konsep pemimpin yang
memiliki ciri perhatian individual bagi bawahannya
b) Peserta mampu menerapkan ciri pemimpin yang memberikan perhatian
individual dalam melaksanakan kepemimpinannya
c. Babak akhir
Pada babak akhir berupa penyimpulan dari seluruh rangkaian kegiatan
pelatihan. Penyimpulan ini berisi harapan-harapan dari peserta, evaluasi
dilaksanakan untuk melihat seberapa besar pengaruh pelatihan yang diberikan
bagi karyawan terhadap peningkatan pengetahuan, kecakapan dan keterampilan
serta pembentukan sikap kearah yang lebih transformasional ataupun
kemungkinan- kemungkinan tindak lanjut. Tahap akhir juga berupa penutupan
pelatihan dengan menyampaikan ucapan terima kasih kepada pimpinan
-
50
perusahaan yang telah memberikan kepercayaan dan kesempatan, peserta
perusahaan dan kepada semua pihak-pihak yang telah membantu berjalannya
proses pelatihan dengan harapan semoga pelatihan dapat memberikan manfaat
yang diharapkan.
D. Hubungan Komitmen Organisasi terhadapa Interpersonal Trust
Perilaku karyawan yang mempunyai komitmen organisasi terjadi bukanlah
tanpa sebab, hal ini dibuktikan dengan adanya fenomena yang ada di lingkungan
kerja Indonesia. Banyak perusahaan yang menganggap bahwa perusahaan telah
melakukan manajemen SDM yang baik dengan indikatornya adalah karyawan
tersebut memiliki komitmen organisasi yang tinggi terhadap perusahaan, namun
pada kenyataan masih banyak kinerja yang belum memuaskan. Hal ini perlu
disadari karena ukuran komitmen organisasi tidaklah hanya sekedar loyal dan turn
over yang rendah saja (Ancok, 2005).
Secara persfektif berpikir secara logika, komitmen organisasi baru akan
terjadi manakala karyawan dipandang sebagai sosok yang berarti atau eksistensi
di perusahaanya dianggap penting. Hal ini wajar karena karyawan dianggap
sebagai aset yang memiliki investasi dalam perusahaan. Pada konteks ini,
investasi yang diberikan berupa kompetensi dan kemauan untuk berkembang.
Kondisi ini tentu sangat berkaitan dengan permasalahan kepercayaan terhadap
dinamika komitmen organisasi yang berkembang dalam perusahaan. Komitmen
organisasi baru akan terbentuk manakala karyawan sebagai anggota perusahaan
merasa percaya bahwa segala peraturan perusahaan yang ada mendukung situasi
-
51
dan kondisi yang memungkinkan untuk munculnya kinerja optimal (Ancok,
2005).
Menurut McShane & Von Gilnow (2002), cara untuk membangun
loyalitas yang menjadi bagian dari komitmen organisasi salah satunya adalah
kepercayaan. Kepercayaan mengacu pada harapan positif seseorang terhadap
orang lain dalam situasi yang melibatkan risiko. Ini merupakan kegiatan timbal
balik, untuk menerima kepercayaan, anda harus menunjukkan kepercayaan.
Karyawan mengetahui bersama dan merasa berkewajiban untuk bekerja pada
sebuah organisasi hanya ketika mereka percaya pada pemimpinnya. Hal ini
menjelaskan mengapa pemutusan hubungan kerja adalah salah satu pukulan
terbesar bagi loyalitas karyawan, dengan mengurangi keamanan kerja, perusahaan
mengurangi kepercayaan karyawan dan hubungan kerja.
E. Pengaruh Pelatihan Kepemimpinan Transformasional pada Atasan
terhadap Komitmen Organisasi dengan Interpersonal Trust sebagai
Variabel Kontrol
Dalam rangka mengantisipasi perubahan pada organisasi yang bersifat
dinamis dan kompleks dibutuhkan banyak pembelajaran dan perhatian yang serius
terhadap hal-hal penting didalam organisasi yang dilakukan secara berkelanjutan.
Salah satu hal penting yang perlu mendapatkan perhatian utama bagi organisasi
adalah keberadaan sumber daya manusia (human capital) yang merupakan aset
berharga didalam organisasi. Kesuksesan organisasi dapat dihasilkan melalui
kontribusi dari pengetahuan, pengalaman, dan komitmen dari para anggota yang
-
52
dimilikinya (Schermerhorn, 2010). Setiap organisasi membutuhkan anggota yang
merasa terikat atau berkomitmen untuk membantu organisasi untuk mencapai
tujuan secara efektif dan efesien (Stowers, 2010).
Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa salah satu faktor yang
dianggap penting yang mempengaruhi komitmen organisasi adalah kepemimpinan
(Mowdayet al, dalam Avolio et al, 2004). Sebagai bagian dari organisasi
kepemimpinan ikut mempengaruhi komitmen melalui hubungan antara atasan
dengan bawahan atau antara karyawan dengan pemimpinnya (Meyer & Allen,
1997). Kepemimpinan berpengaruh kuat terhadap jalannya organisasi dan
kelangsungan hidup organisasi. Keberhasilan sebuah organisasi dapat tercapai
apabila pemimpin dapat mempengaruhi bawahannya untuk memberikan kinerja
terbaik kepada organisasi. Menurut House et al, (1999) dalam Yulk (2010),
kepemimpinan merupakan kemampuan seseorang untuk mempengaruhi,
memotivasi dan membuat orang lain mampu memberikan kontrbusinya demi
efektivitas dan keberhasilan organisasi.
Dalam memelihara komitmen organisasi, peran seorang pemimpin yang
sangat dibutuhkan adalah pemimpin yang transformasional. Kepemimpinan
transformasional merupakan suatu keadaan dimana seorang pemimpin memiliki
karisma atau pengaruh. Pemimpin mempunyai visi dan menggunakannya untuk
mentransformasikan anggota organisasi, dalam hal ini anggota terinspirasi,
percaya dan yakin pada kepentingan dan nilai-nilai dalam pekerjaannya untuk
mencapai tujuan bersama. Kepemimpinan transformasional terbagi kedalam
-
53
empat dimensi yaitu idealized influence, inspirational motivation, intellectual
stimulation dan individual consideration (Bass & Avolio, 1993).
Pelatihan kepemimpinan transformasional adalah metode intervensi yang
diberikan kepada pimpinan yang bertujuan agar bawahan merasa bahwa
pimpinannya merupakan sumber inspirasi bagi dirinya, mendiagnosa, memenuhi
dan meningkatkan kebutuhan setiap karyawannya, membantu bawahannya untuk
melihat dunia dengan sudut pandang yang berbeda dan membantu meningkatkan
kepercayaan diri bawahannya sehingga membantu bawahan mengatasi setiap
permasalahan yang ada.
Pelatihan kepemimpinan transformasional pada penelitian ini
menggunakan pendekatan experiential learning yaitu dengan cara melibatkan
peserta pelatihan secara langsung dengan mengalami dan merasakan akan lebih
mudah dipahami dan akan diingat lebih lama. Sesi-sesi pada pelatihan
kepemimpinan transformasional mengacu pada kepemimpinan transformasional
yang dikemukakan oleh Bass & Avolio (1993) yang meliputi idealized influence
(pengaruh ideal), inspirational motivation (motivasi inspirasional), intellectual
stimulation (stimulasi intelektual) dan individual consideration (perhatian
individual).
Untuk meningkatkan komitmen organisasi, perlu adanya pelatihan
kepemimpinan transformasional bagi para pimpinan depertement di PT. X dengan
tujuan agar para pimpinan mampu mengaplikasikan tujuan dari organisasi dengan
cara menginternalisasi dan memprioritaskan kepentingan bersama yang lebih
besar diatas kepentingan pribadi. Yukl (2010) mengemukakan bahwa pemimpin
-
54
transformasional membuat para pengikut menjadi lebih menyadari kepentingan
dan nilai dari pekerjaan dan membujuk pengikut untuk tidak mendahulukan
kepentingan diri sendiri demi organisasi. Para pemimpin mengembangkan
ketrampilan dan keyakinan pengikut untuk menyiapkan mereka mendapatkan
tanggung jawab yang lebih banyak dalam sebuah organisasi yang memberikan
wewenang. Para pemimpin memberikan dukungan dan dorongan saat diperlukan
untuk mempertahankan antusiasme dan upaya menghadapi halangan, kesulitan
dan kelelahan. Dengan kepemimpinan transformasional para pengikut merasakan
kepercayaan, kekaguman, kesetiaan dan penghormatan terhadap pemimpin serta
mereka termotivasi untuk memiliki komitmen yang lebih kepada organisasi.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Tarmizi (2008), pelatihan
kepemimpinan transformasional terbukti mampu meningkatkan komitmen
organisasi dan kepuasan kerja karyawan. Dalam penelitian Tarmizi, pelatihan
kepemimpinan transformasional yang diberikan pada atasan terbukti secara
signifikan dapat meningkatkan komitmen organisasi karyawan sedangkan pada
karyawan yang atasannya tidak diberikan pelatihan kepemimpinan
transformasional tidak menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan dalam
peningkatan komitmen organisasi.
Barlin, dkk (1996) melakukan penelitian field experiment mengenai
pengaruh pelatihan kepemimpinan transformasional terhadap sikap dan aspek
finansial. Pelatihan kepemimpinan transformasional terbukti dapat meningkatkan
persepsi bawahan terhadap kepemimpinan atasan dan komitmen karyawan
terhadap organisasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa persepsi karyawan
-
55
terhadap atasan yang diberikan pelatihan kepemimpinan transformasional
meningkat dan juga secara signifikan meningkatkan komitmen organisasi
karyawan yang menjadi subordinat dari atasan yang diberikan pelatihan.
Penelitian ini memberikan pemahaman lebih lanjut kepada kita terhadap
kepemimpinan transformasional dalam tiga hal ; pertama dan yang paling utama
penelitian ini menterjemahkan hasil korelasi sebelumnya dan bersama dengan
Kirkpactrick & Locke (1996) dan Howel & Frost (1989), hal ini menunjukkan
bukti eksperimental bahwa kepemimpinan transformasional dapat menghasilkan
perubahan pada persepsi bawahan atas perilaku kepemimpinan atasan, komitmen
bawahan terhadap organisasi dan beberapa aspek dari penghasilan/finansial
perusahaan.
Selanjutnya pemimpin yang mempunyai aspek motivasi inspirasional akan
menghadirkan keinginan bawahannya untuk tetap memotivasi untuk bekerja
secara maksimal dan terinspirasi pada pemimpin mereka. Hal ini diwujudkan
pemimpin dengan cara berperilaku dan menceritakan suatu kisah yang dapat
menginspirasi para bawahannya agar tetap bekerja keras dalam perusahaan.
Keinginan untuk mendukung organisasi dalam mencapai tujuannya termasuk
dalam komitmen organisasi.
Aspek stimulasi intelektual dapat menghadirkan komitmen organisasi pada
karyawan. Pemimpin yang memiliki aspek ini akan menghadirkan komitmen
dengan cara memberikan stimulasi-stimulasi atau rangsangan yang akan
menghasilkan ide-ide kreatif baru serta peningkatan kemampuan para
bawahannya. Hal ini secara tidak langsung akan menghasilkan suasana yang
-
56
kondusif serta menghasilkan rasa nyaman pada bawahannya. Selain itu hal ini
juga menghasilkan adanya penerimaan nilai-nilai organisasi pada bawahannya.
Aspek perhatian individual pada diri pemimpin memiliki dampak pada
pembentukan komitment, terutama pada aspek komitmen afektif dan komitmen
normatif. Pemimpin dengan karakteristik individual consideration akan
memberikan perhatian kepada bawahannya secara personal. Pemberian perhatian
ini akan menciptakan adanya hubungan emosional antara pimpinan dan bawahan
serta adanya pemenuhan kebutuhan-kebutuhan pada diri bawahan. Adanya
hubungan emosional antar pimpinan dan bawahan akan menghadirkan adanya
identifikasi dan penerimaan pada nilai-nilai organisasi. Hubungan emosional yang
baik antara pimpinan dan bawahan juga kan berdampak pada keinginan untuk
tetap mempertahankan keanggotaannya. Jadi keempat aspek dalam kepemimpinan
transformasional saling berhubungan dalam menciptakan aspek-aspek komitmen
yang akan menjadi dasar pembentukan komitmen terhadap organisasi.
Lebih lanjut dijelaskan bahwa komitmen merupakan suatu hal yang mudah
rusak, maka ada kecenderungan untuk mencari partner yang benar-benar dapat
dipercaya dalam membina suatu hubungan. Dengan ciri khas komitmen yang
mudah rusak telah membuat individu berhati-hati dalam membina hubungan atau
dengan kata lain, komitmen akan muncul apabila kepercayaan sudah dibangun.
Ketidakpercayaan suatu pihak menimbulkan ketidakpercayaan dipihak
lainnya. Dan hal tersebut akan mengurangi komitmen dalam suatu hubungan
(Morgan dan Hunt, 1994). Juga diungkapkan bahwa kepercayaan merupakan
faktor utama yang menentukan komitmen dalam suatu hubungan (Achrol, 1991).
-
57
Hasil studi telah menemukan bahwa kepercayaan mempunyai hubungan yang
signifikan terhadap komitmen dalam suatu hubungan (Zaltman, 1992).
Bakiev (2013) menguji pengaruh organizational social capital and
organizational citizenship behavior pada persepsi kinerja organisasi. Kepercayaan
interpersonal diterima sebagai atribut organizational social capital dan komitmen
organisasi dianggap sebagai dimensi perilaku warga organisasi. Kepercayaan
interpersonal antara petugas polisi di Kepolisian Nasional Kirgistan (KNP) dan
komitmen mereka terhadap KNP dianalisis dengan analisis statistik dari penelitian
ini. 400 survei dibagikan kepada petugas polisi dari KNP di 7 wilayah berbeda di
Kyrgyzstan dan ibu kota Bishkek. Penelitian korelasional dan Structural Equation
Modeling (SEM) digunakan untuk menganalisis hasil. Hasil penelitiannya
menunjukkan bahwa variabel dari kepercayaan interpersonal dan komitmen
organisasi berkorelasi positif satu sama lain dan memiliki bobot regresi 0,55.
Rasio kritis dari korelasi ini adalah 6,640. Korelasi ini ditemukan signifikan
secara statistik pada level 0,05. Akibatnya, korelasi antar penelitian ini
menunjukkan dukungan statistik yang cukup untuk membuktikan bahwa petugas
polisi di KNP memiliki tingkat kepercayaan antar pribadi yang lebih tinggi akan
berkomitmen untuk organisasi mereka dan pekerjaan dan sebaliknya; petugas
yang lebih berkomitmen memiliki tingkat kepercayaan interpersonal yang lebih
tinggi.
Peneliti memberikan variabel kontrol interpersonal dengan tujuannya
variabel defenden menjadi nentral dari pengaruh-pengaruh faktor-faktor yang
mempengaruhi komitmen organisasi. Arti netral di sini adalah sebelum variabel-
-
58
variabel defenden dimasukkan dalam analisis statistik, variabel interpersonal trust
harus diuji dahulu pengaruhnya, sehingga ketika variabel interpersonal trust
dimasukkan dalam pengujian, peneliti dapat mengetahui perubahan tingkat
pengaruhnya terhadap variabel komitemen organisasi. Secara umum, peneliti
menerapkan prosedur variabel kontrol adalah berdasarkan pada penelusuran
penelitian terdahulu mengenai berbagai variabel interpersonal trust yang
hubungan pengaruh positif terhadap variabel komitmen organiasi yang akan di uji.
Biasanya, variabel kontrol tidak dimasukkan dalam model (kerangka bepikir)
penelitian. Dalam beberapa literatur (Kerlinger & Lee,2000; Noe,1996) variabel
kontrol sering juga disebut covariates.
F. Landasan Teori
Keberhasilan suatu organisasi tidak akan lepas dari kontribusi sumber
daya manusia (SDM), karena SDM memiliki kemampuan untuk melakukan
sesuatu yang bermanfaat melalui sumbangan melalui tenaga maupun pikiran-
pikirannya. SDM sebagai anggota organisasi memegang peranan penting bagi
usaha mencapai tujuan tersebut. Dalam hal ini dilihat seberapa jauh dukungan
yang diberikan SDM tersebut kepada organisasi. Dukungan tersebut berupa
komitmen yang tinggi kepada organisasi atau perusahaan (Suseno & Sugiyanto,
2010)
Komitmen karyawan merupakan salah satu kunci yang turut menentukan
berhasil tidaknya suatu organisasi untuk mencapai tujuannya. Karyawan yang
mempunyai komitmen kepada organisasi mampu menunjukkan sikap kerja yang
-
59
penuh perhatian terhadap tugasnya, mereka sangat memiliki tanggung jawab
untuk melaksanakan tugas-tugas serta sangat loyal terhadap organisasi. Dalam
komitmen terkandung keyakinan, pengikat yang akan menimbulkan energi untuk
melakukan yang terbaik. Secara nyata komitmen berdampak kepada performansi
kerja sumber daya manusia dan pada akhirnya juga sangat berpengaruh terhadap
kinerja suatu organisasi.
PT. X adalah salah satu perusahaan property di Yogyakarta yang
beroperasional mulai tahun 2005. Saat ini PT. X memiliki pesaing yang tidak
sedikit dengan semakin banyaknya perusahaan-perusahaan property di daerah
Yogyakarta. Hal ini menimbulkan dampak tersendiri yaitu dengan semakin
kompetitifnya pangsa pasar penjualan rumah, sehingga masing-masing
perusahaan mempunyai kebijakan-kebijakan yang harus dilaksanakan agar
tujuannya dalam penjualan produk meningkat dan pada akhirnya profit yang
dihasilkan dapat dinikmati seluruh karyawan.
Peneliti menggunakan tiga aspek komitmen organisasi dari Mowday,
Porter, & Steers (1996) yakni identification (kepercayaan terhadap nilai-nilai
organisasi), job involvement (kesediaan untuk berusaha sebaik mungkin demi
kepentingan organisasi) dan loyalty (keinginan untuk tetap menjadi anggota
organisasi yang bersangkutan), aspek ini merupakan yang paling sesuai digunakan
untuk penelitian ini karena karyawan yang memiliki komitmen tinggi terhadap
organisasi akan berusaha kerja keras dengan tindakan-tindakan yang relevan pada
pencapaian yang diinginkan perusahaan.
-
60
Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa salah satu faktor yang
dianggap penting yang berpengaruh komitmen organisasi adalah kepemimpinan
(Mowday et al, dalam Avolio et al, 2004). Sebagai bagian dari organisasi,
kepemimpinan ikut mempengaruhi komitmen melalui hubungan antara atasan
dengan bawahan, antara karyawan dengan pemimpinnya (Meyer & Allen, 1997).
Kepemimpinan berpengaruh kuat terhadap jalannya organisasi dan
kelangsungan hidup organisasi. Keberhasilan sebuah organisasi dapat tercapai
apabila pemimpin dapat mempengaruhi bawahannya untuk memberikan kinerja
terbaik kepada organisasi. Menurut House et al., (1999) dalam Yukl (2010),
kepemimpinan merupakan kemampuan seseorang untuk mempengaruhi,
memotivasi, dan membuat orang lain mampu memberikan kontribusinya demi
efektivitas dan keberhasilan organisasi.
Penelitian membuktikan bahwa kepemimpinan transformasional
berpengaruh terhadap peningkatan komitmen organisasi pada karyawan (Gao &
Bai, 2011; Nurafiah, 2009). Bass dalam bukunya “Leadership and performance
beyond expectations”(1985) menyatakan kepemimpinan transformasional akan
mendorong karyawan untuk berpikir secara kritis dan mampu melihat cara-cara
baru sehingga mereka memiliki kemampuan memecahkan masalah dengan
metode yang baru. Situasi ini akan memotivasi dan membuat mereka lebih fokus
terhadap pekerjaannya, sehingga akhirnya akan terbentuk komitmen organisasi.
Pada penelitian ini, peneliti memberikan intervensi pelatihan
kepemimpinan transformasional kepada para atasan di PT. X Yogyakarta dengan
tujuan agar mampu mengembangkan kompetensi kepemimpinan mereka melalui
-
61
aspek-aspek kepemimpinan transformasional sehingga komitmen organisasi juga
dapat lebih meningkat seiring dengan adanya pengetahuan tentang praktek-
praktek kepemimpinan transformasional yang efektif diterapkan ditempat kerja
setelah adanya pelatihan kepemimpinan transformasional.
G. Kerangka Penelitian
Keberhasilan suatu organisasi sangat ditentukan dari sumbangan sumber
daya manusianya, karena manusia memiliki kemampuan untuk melakukan sesuatu
yang bermanfaat melalui usaha-usaha yang berupa tenaga maupun pikiran-
pikirannya. Manusia sebagai anggota organisasi memegang peranan penting bagi
pencapaian tujuan organisasi. Dengan kata lain seberapa jauh support yang
diberikan karyawan kepada organisasinya, support tersebut berupa komitmen
yang tinggi kepada organisasi atau perusahaan. Terlebih lagi saat kinerja
organisasi tersebut mempunyai permasalahan yang membutuhkan extra tenaga,
pikiran maupun waktu untuk melakukan hal-hal yang relevan demi membantu
permasalahan yang dihadapi perusahaan.
Karyawan yang mempunyai komitmen tinggi kepada organisasi
terkandung identifikasi terhadap serangkaian nilai dan tujuan organisasi perilaku
seperti adanya penerimaan terhadap kebijakan organisasi, keinginan yang kuat
untuk berusaha demi kepentingan organisasi dan mengorbankan kepentingan
pribadinya demi mencapai keberhasilan organisasi tersebut.
Untuk menjaga komitmen agar berada tetap pada puncak dibutuhkan
dukungan pemimpin yang mampu mentransformasionalkan dengan aspek-aspek
-
62
didalamya yang memiliki dampak pada pertumbuhan komitmen organisasi.
Pemimpin yang berkharisma dapat menjelaskan strategi-strategi untuk mencapai
tujuan-tujuan organisasi serta menjabarkan visinya. Disamping itu sosok
pemimpin yang memiliki kharisma akan menghadirkan rasa kebanggan pada
karyawan dan pemimpin yang berkharisma akan menciptakan satu ikatan
emosional yang baik pada bawahannya. Hal ini akan menghasilkan adanya
penerimaan nilai-nilai organisasi pada diri karyawan serta keinginan yang kuat
untuk mendukung organisasi tersebut dalam mencapai tujuannya.
Namun ketidakpercayaan suatu pihak yaitu rekan kerja dan manajemen
menimbulkan ketidakpercayaan dipihak lainnya. Dan hal tersebut akan
mengurangi komitmen dalam suatu hubungan, juga diungkapkan bahwa
kepercayaan merupakan faktor utama yang menentukan komitmen dalam suatu
hubungan (Achrol, 1991). Hasil studi telah menemukan bahwa kepercayaan
mempunyai hubungan yang signifikan terhadap komitmen dalam suatu hubungan
(Zaltman, 1992). Berikut adalah kerangka berpikir penelitian yang digunakan
dalam penelitian ini :
Gambar 2.1
Kerangka Berpikir Penelitian
Interpersonal Trust
Pelatihan Kepemimpinan Transformasional
Komitemen Organisasi Rendah
(Pretest) Komitemen Organisasi Tinggi
(Posttest)
Interpersonal Trust
-
63
H. Hipotesis
Dari uraian diatas maka dapat diturunkan hipotesis dalam penelitian ini
adalah ada perbedaan tingkat komitmen organisasi sebelum dan sesudah pelatihan
kepemimpinan transformasional dengan mengendalikan variabel kontrol
interpersonal trust.
-
64