BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Komitmen Organisasi 1. …eprints.mercubuana-yogya.ac.id/5289/3/BAB...

43
22 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Komitmen Organisasi 1. Pengertian Komitmen Organisasi Ada berbagai macam definisi yang dikemukakan oleh para ahli mengenai komitmen karyawan terhadap organisasi Mowday, Porter, & Steers (1996) mendefinisikan komitmen organisasi sebagai identification (kepercayaan terhadap nilai-nilai organisasi), job involvement (kesediaan untuk berusaha sebaik mungkin demi kepentingan organisasi) dan loyalty (keinginan untuk tetap menjadi anggota organisasi yang bersangkutan) yang dinyatakan oleh karyawan terhadap organisasi. Komitmen organisasi artinya lebih dari sekedar keanggotaan format karena meliputi sikap menyukai organisasi dan kesediaan mengusahakan tingkat upaya yang tinggi bagi kepentingan organisasi mencakup unsur loyalitas terhadap organisasi, keterlibatan dalam bekerja dan identifikasi terhadap nilai-nilai dan tujuan organisasi. Tanpa adanya komitmen organisasi yang kuat dalam diri individu tidak akan mungkin suatu organisasi dapat berjalan dengan maksimal. Penelitian dari Baron dan Greenbeg (1993) menyatakan bahwa komitmen memiliki arti penerimaan yang kuat pada individu terhadap tujuan dan nilai-nilai perusahaan, dimana individu akan berusaha dan berkarya serta memiliki hasrat yang kuat untuk tetap bertahan diperusahaan tersebut. Ahli yang lain yaitu Salancik & Staw (1977) menyatakan bahwa komitmen organisasi adalah suatu tahap pada saat individu menjadi terikat karena tindakan-tindakannya dan dengan

Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Komitmen Organisasi 1. …eprints.mercubuana-yogya.ac.id/5289/3/BAB...

  • 22

    BAB II

    TINJAUAN PUSTAKA

    A. Komitmen Organisasi

    1. Pengertian Komitmen Organisasi

    Ada berbagai macam definisi yang dikemukakan oleh para ahli mengenai

    komitmen karyawan terhadap organisasi Mowday, Porter, & Steers (1996)

    mendefinisikan komitmen organisasi sebagai identification (kepercayaan terhadap

    nilai-nilai organisasi), job involvement (kesediaan untuk berusaha sebaik mungkin

    demi kepentingan organisasi) dan loyalty (keinginan untuk tetap menjadi anggota

    organisasi yang bersangkutan) yang dinyatakan oleh karyawan terhadap

    organisasi. Komitmen organisasi artinya lebih dari sekedar keanggotaan format

    karena meliputi sikap menyukai organisasi dan kesediaan mengusahakan tingkat

    upaya yang tinggi bagi kepentingan organisasi mencakup unsur loyalitas terhadap

    organisasi, keterlibatan dalam bekerja dan identifikasi terhadap nilai-nilai dan

    tujuan organisasi. Tanpa adanya komitmen organisasi yang kuat dalam diri

    individu tidak akan mungkin suatu organisasi dapat berjalan dengan maksimal.

    Penelitian dari Baron dan Greenbeg (1993) menyatakan bahwa komitmen

    memiliki arti penerimaan yang kuat pada individu terhadap tujuan dan nilai-nilai

    perusahaan, dimana individu akan berusaha dan berkarya serta memiliki hasrat

    yang kuat untuk tetap bertahan diperusahaan tersebut. Ahli yang lain yaitu

    Salancik & Staw (1977) menyatakan bahwa komitmen organisasi adalah suatu

    tahap pada saat individu menjadi terikat karena tindakan-tindakannya dan dengan

  • 23

    tindakan tersebut tumbuh keyakinan untuk tetap mempertahankan aktivitas dan

    keterlibatannya.

    Komitmen organisasi merupakan suatu keadaan dimana pegawai

    mengidentifikasi sebuah organisasi, tujuan serta harapannya untuk tetap menjadi

    anggota (Robbins & Judge, 2015). Sedangkan menurut Meyer dan Hercovitch

    (2001), komitmen adalah kekuatan yang mengikat individu untuk melakukan

    suatu tindakan yang relevan dengan target tertentu. Adapun definisi komitmen

    organisasi menurut Hall, Schneider & Nygren (1970 dalam Suseno dan sugiyanto.

    2010) merupakan proses agar tujuan organisasi dan tujuan individu lebih

    terintegrasi dan kongruen.

    Luthans (2006) mengartikan komitmen organisasi sebagai 1) keinginan

    kuat untuk tetap sebagai anggota organisasi tertentu; 2) keinginan untuk berusaha

    keras sesuai keinginan organisasi; dan 3) keyakinan tertentu, dan penerimaan nilai

    dan tujuan organisasi. Dengan kata lain, komitmen organisasi merupakan sikap

    yang merefleksikan loyalitas pegawai pada organisasi dan proses berkelanjutan

    dimana anggota organisasi mengekspresikan perhatian mereka terhadap organisasi

    dan keberhasilan serta kemajuan yang berkelanjutan.

    Menurut Allen & Mayer (1990), komitmen organisasi merupakan kondisi

    psikologis yang menunjukkan karakaristik hubungan antara pekerja dan organisasi

    dan mempunyai pengaruh dalam keputusan untuk tetap melanjutkan

    keanggotaannya didalam organisasi tersebut. Meyer & Alen (1997) juga

    menyatakan bahwa karyawan yang memiliki komitmen organisasi akan bekerja

    dengan penuh dedikasi karena karyawan yang memiliki komitmen tinggi

  • 24

    menganggap bahwa hal yang penting yang harus dicapai adalah pencapaian tugas

    dalam organisasi. Karyawan yang memiliki komitmen organisasi yang tinggi akan

    memiliki pandangan yang positif dan akan melakukan yang terbaik untuk

    kepentingan organisasi. Hal ini membuat karyawan untuk memiliki keinginan

    untuk memberikan tenaga dan tanggung jawab yang lebih menyokong

    kesejahteraan dan keberhasilan organisasi tempatnya bekerja.

    Model Meyer dan Allen telah dikritik khususnya oleh tiga psikolog yaitu,

    Solinger, Olffen, dan Roe (2007) karena model ini tidak konsisten dengan temuan

    empiris. Secara pengertian, model ini menjelaskan mengapa orang harus tinggal

    dengan organisasi, apakah itu karena ingin, perlu, atau seharusnya. Namun TCM

    (Three-Component Model) Meyer dan Allen tersebut menggabungkan fenomena

    sikap yang berbeda, yaitu komitmen afektif yang sama dengan sikap terhadap

    suatu target dengan komitmen continuence dan normatif. Sedangkan komitmen

    continuence dan normatif yang mewakili konsep yang berbeda itu mengacu pada

    hasil perilaku yang diantisipasi, khususnya tentang tinggal atau meninggalkan

    organisasi.

    Dengan kata lain dapat disimpulkan bahwa TCM telah gagal untuk

    memenuhi syarat sebagai model umum dari komitmen organisasi, dan lebih

    sebagai model untuk memprediksi turnover (Solinger, Olffen, & Roe, 2007).

    Meskipun TCM adalah cara yang baik untuk memprediksi turnover, model ini

    tidak harus menjadi model umum dalam mengukur komitmen organisasi.

    Penelitian harus kembali pada pemahaman asli komitmen organisasi sebagai sikap

    terhadap organisasi dan melakukan pengukuran yang sesuai dengan itu.

  • 25

    Berdasarkan berbagai definisi mengenai komitmen organisasi diatas, maka

    dapat disimpulkan bahwa komitmen organisasi merupakan sikap keyakinan atasan

    yang kuat terhadap terhadap tujuan dan nilai organisasi, dengan direfleksikan

    suatu tindakan dan berusaha bekerja keras demi pencapaian tujuan organisasi dan

    keinginan kuat untuk mempertahankan keanggotaan dalam organisasi.

    2. Aspek-aspek Komitmen Organisasi

    Menurut Miner (1992) komitmen organisasi ditandai oleh tiga aspek

    diantaranya :

    a. Kepercayaan yang kuat dan penerimaan dari tujuan dan nilai-nilai

    organisasi

    b. Kesediaan untuk menggunakan usaha yang sungguh-sungguh atas nama

    organisasi

    c. Keinginan yang kuat untuk mempertahankan keanggotaan dalam

    organisasi.

    Selain itu, Argyris (Soetjipto,dkk,.2000) membagi komitmen menjadi dua

    yaitu :

    a. Komitmen Eksternal dibentuk oleh lingkungan kerja. Komitmen ini muncul

    karena adanya tuntutan terhadap penyelesaian tugas dan tanggung jawab

    yang harus diselesaikan oleh para karyawan yang menghasilkan adanya

    reward dan punishment.

    b. Komitmen Internal merupakan komitmen yang berasal dari seseorang

    untuk menyelesaikan berbagai tugas, tanggung jawab dan wewenang

    berdasarkan pada alasan dan motivasi yang dimilikinya.

  • 26

    Menurut Alen dan Mayer (1990) terdapat tiga komponen dalam komitmen

    organisasi yaitu :

    a. Komponen Afective

    Komponen ini menunjukkan kelekatan emosional pekerja,

    mengidentifikasikan dirinya dan menunjukkan keterlibatan didalam

    organisasi tersebut. Karyawan yang memiliki komponen afektif yang

    tinggi melanjutkan keanggotaannya kedalam organisasi karena memang hal

    itulah yang mereka inginkan untuk tetap barada didalam organisasi.

    b. Komponen Continuance

    Komponen ini menunjukkan kesadaran tentang kerugian yang dihadapi

    seorang pekerja bila dia meninggalkan pekerjaannya. Karyawan yang mau

    tetap berada didalam organisasi berdasarkan komponen continuance karena

    memang mereka membutuhkan organisasi.

    c. Komponen Normative

    Komponen ini mencerminkan perasaan tentang kewajiban untuk tetap

    bekerja di organisasi, karyawan dengan komponen normative yang tinggi

    merasa mereka harus tetap berada di organisasi.

    Berdasarkan penjelasan diatas, Alen & Mayer (1990) berpendapat bahwa

    masing-masing komponen memiliki dasar yang berbeda. Karyawan yang

    memiliki komponen yang afektif yang tinggi akan tetap bergabung dengan

    organisasi karena memiliki keinginan dan ikatan emosi untuk mempertahankan

    keanggotaannya. Sementara itu, karyawan yang memiliki komponen kontunians

    yang tinggi akan tetap bergabung dengan organisasinya karena karyawan tersebut

  • 27

    membutuhkan organisasi tersebut sedangkan karyawan yang memiliki komponen

    normative yang tinggi akan tetap menjadi anggota dalam suatu organisasi tersebut

    karena hal itu merupakan suatu keharusan atau kewajiban.

    Menurut Mowday, Porter, & Steers (1996) komitmen karyawan terhadap

    organisasi memiliki tiga aspek utama, yaitu:

    a. Identifikasi, merupakan keyakinan dan penerimaan terhadap serangkaian nilai

    dan tujuan organisasi. Dimensi ini tercermin dalam beberapa perilaku seperti

    adanya kesamaan nilai dan tujuan pribadi dengan nilai dan tujuan organisasi,

    penerimaan terhadap kebijakan organisasi serta adanya kebanggaan menjadi

    bagian dari organisasi. Aspek identifikasi ini dapat dikembangkan dengan

    dengan memodifikasi tujuan organisasi, sehingga mencakup beberapa tujuan

    pribadi para karyawan ataupun dengan kata lain organisasi memasukkan pula

    kebutuhan dan keinginan karyawan dalam tujuan organisasinya sehingga

    akan membuahkan suasana saling mendukung diantara para karyawan dengan

    organisasi. Lebih lanjut dijelaskan bahwa suasana tersebut akan membawa

    karyawan dengan rela menyumbangkan sesuatu bagi tercapainya tujuan

    organisasi, karena karyawan menerima tujuan organisasi yang dipercayai

    telah disusun demi memenuhi kebutuhan pribadi mereka pula.

    b. Job involvement yaitu keinginan yang kuat untuk berusaha demi kepentingan

    organisasi. Hal ini tercermin dari usaha karyawan untuk menerima dan

    melaksanakan setiap tugas dan kewajiban yang dibebankan kepadanya.

    Karyawan bukan hanya sekedar melaksanakan tugas-tugasnya melainkan

    selalu berusaha melebihi standar minimal yang ditentukan oleh organisasi.

  • 28

    Karyawan akan terdorong pula untuk melakukan pekerjaan diluar tugas dan

    peran yang dimilikinya apabila bantuannya dibutuhkan oleh organisasi. Salah

    satu cara yang dapat dipakai untuk memancing keterlibatan karyawan. Oleh

    Steers, Ongson & Mowday (1985) dikatakan bahwa tingkat kehadiran mereka

    yang memiliki rasa keterlibatan tinggi umumnya tinggi pula. Mereka hanya

    absen dan datang kerja jika mereka sakit hingga benar-benar tidak dapat

    masuk kerja. Jadi, tingkat kemangkiran yang disengaja pada individu tersebut

    lebih rendah dibandingkan dengan pekerja yang keterlibatannya lebih tinggi.

    c. Loyalitas karyawan terhadap organisasi memiliki makna kesediaan seorang

    karyawan untuk melanggengkan hubungannya dengan organisasi, kalau perlu

    dengan mengorbankan kepentingan pribadinya demi mencapai kesuksesan

    dan keberhasilan organisasi tersebut. Kesediaan karyawan untuk

    mempertahankan diri bekerja dalam organisasi adalah hal yang penting dalam

    menunjang komitmen karyawan terhadap organisasi dimana mereka bekerja.

    Hal ini dapatan diupayakan bila karyawan merasakan adanya keamanan dan

    kepuasan didalam organisasi tempat ia bergabung untuk bekerja.

    Peneliti menggunakan tiga aspek komitmen organisasi dari Mowday,

    Porter, & Steers (1996) yakni identification (kepercayaan terhadap nilai-nilai

    organisasi), job involvement (kesediaan untuk berusaha sebaik mungkin demi

    kepentingan organisasi) dan loyalty (keinginan untuk tetap menjadi anggota

    organisasi yang bersangkutan) karena aspek ini merupakan yang paling sesuai

    digunakan untuk penelitian ini yang mengacu pada permasalahan komitmen

    organisasi yang ada di PT. X.

  • 29

    3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Komitmen Organisasi

    Komitmen didalam suatu organisasi dapat dipengaruhi oleh beberapa

    faktor. Pendekatan multidimensional akan lebih menjelaskan hubungan pekerja

    dengan organisasi yang mempekerjakannya. Van Dyne dan Graham (dalam,

    Coetzee, 2005) menyebutkan beberapa faktor yang mempengaruhi komitmen

    organisasi seseorang berdasarkan pendekatan multidimensional yaitu :

    a. Personal Faktors (Karateristik Pribadi)

    Ada beberapa faktor personal yang mempengaruhi latar belakang pekerja

    antara lain usia, latar belakang pekerja, sikap dan nilai serta kebutuhan

    intrinsic pekerja. Ada banyak penelitian yang menunjukkan bahwa

    beberapa tipe pekerja memiliki komitmen yang lebih tinggi pada

    organisasi yang mempekerjakannya. Berdasarkan hasil penelitian tersebut,

    pekerja yang lebih teliti, ekstrovet dan mempunyai pandangan positif

    terhadap hidupnya (optimis) cenderung lebih berkomitmen. Selain itu,

    pekerja yang berorientasi kepada kelompok memiliki tujuan serta

    menunjukkan kepedulian terhadap kelompok, juga merupakan tipe pekerja

    yang lebih terikat kepada keanggotaannya. Sama halnya dengan pekerja

    yang berempati, mau menolong sesame (altruistic) juga lebih cenderung

    menunjukkan perilaku sebagai anggota kelompok pada pekerjaannya.

    b. Situational Faktors (Faktor Situasional)

    1) Workplace values (Nilai-Nilai Organisasi)

    Pembagian nilai merupakan komponen yang penting dalam setiap

    hubungan atau perjanjian. Nilai yang tidak terlalu kontroversial

  • 30

    (kualitas, inovasi, kerjasama, partisipasi) akan lebih mudah dibagi dan

    akan membangun hubungan yang lebih dekat. Jika pekerja percaya

    pada nilai kualitas produk organisasi, mereka akan terikat pada

    perilaku yang berperan dalam meningkatkan kualitas. Jika pekerja

    yakin pada nilai partisipasi organisasi, mereka akan lebih merasakan

    bahwa partisipasi mereka akan membuat suatu perbedaan.

    Konsekuensinya, mereka akan lebih bersedia untuk mencari solusi dan

    membuat saran untuk kesuksesan suatu organisasi.

    2) Subordinate-supervisor interpersonal relationship (Hubungan antara

    atasan dan bawahan)

    Perilaku dari atasan merupakan suatu hal yang mendasar dalam

    menentukan tingkat kepercayaan interpersonal dalam unit pekerjaan.

    Perilaku dari atasan yang termasuk kedalamnya seperti berbagi

    informasi yang penting membuat pengaruh yang baik, menyadari dan

    menghargai unjuk kerja yang baik dan tidak melukai orang lain. Butler

    (dalam Coetze,2005) mengidentifikasi 11 perilaku atasan untuk

    memfasilitasi kepercayaan interpersonal yaitu kesediaan, kompetensi,

    konsistensi, bijaksana, adil, jujur, loyalitas, terbuka, menepati janji,

    mau menerima dan kepercayaan. Secara lebih luas apabila atasan

    menunjukkan perilaku yang disebutkan ini maka akan mempengaruhi

    tingkat kepercayaan bawahannya.

  • 31

    3) Job characteristic (Karateristik Pekerjaan)

    Menurut Jemigen Beggs dan Kohul (dalam Coetzee, 2005) kepuasan

    terhadap ekonomi, status dan kepuasan terhadap otonomi, status dan

    kepuasaan terhadap organisasi adalah prediktor yang signifikan

    terhadap komitmen organisasi. Hal inilah yang merupakan karateristik

    pekerjaan yang dapat meningkatkan perasaan individu terhadap

    tanggung jawabnya dan keterikatan terhadap organisasi.

    4) Organizational support (Dukungan Organisasi)

    Ada hubungan yang signifikan antara komitmen pekerja dan

    kepercayaan pekerja terhadap keterikatan dengan organisasinya.

    Berdasarkan penelitian pekerja akan lebih bersedia untuk memenuhi

    panggilan diluar tugasnya, ketika mereka bekerja di organisasi yang

    memberikan dukungan serta keseimbangan tanggung jawab pekerja

    dan keluarga akan menjadi lebih mudah, mendampingi mereka

    menghadapi masa sulit, menyediakan keuntungan bagi mereka dan

    membantu anak mereka melakukan sesuatu yang mereka tidak dapat

    lakukan.

    c. Positional Faktors (Faktor- faktor yang berkaitan dengan posisi)

    1) Organizational tenure (Masa Kerja)

    Beberapa penelitian menyebutkan adanya hubungan antara masa

    jabatan dan hubungan pekerja dengan organisasi. Penelitian

    menunjukkan bahwa pekerja yang telah lama bekerja diorganisasi akan

    lebih mempunyai hubungan yang kuat dengan organisasi tersebut.

  • 32

    2) Hierarchical job level (Tingkat Jabatan)

    Peneliatian menunjukkan bahwa status sosial ekonomi menjadi satu-

    satunya prediktor yang kuat dalam komitmen organisasi. Hal ini terjadi

    karena status yang tinggi akan merujuk pada peningkatan motivasi dan

    kemampuan untuk terlibat secara aktif. Secara umum, pekerja yang

    jabatannya yang lebih tinggi akan memiliki tingkat komitmen

    organisasi yang lebih tinggi pula bila dibandingkan dengan para

    pekerja yang jabatannya lebih rendah. Ini dikarenakan posisi atau

    kedudukan yang tinggi membuat pekerja dapat mempengaruhi

    keputusan organisasi, mengindikasikan status yang tinggi, menyadari

    kekuasaan formal dan kompetensi yang mungkin, serta menunjukkan

    bahwa organisasi sadar bahwa pekerjanya memiliki nilai dan

    kompetensi dalam kontribusi mereka.

    Steers dan Porter (1987), mengemukakan tiga faktor yang mempengaruhi

    komitmen pada organisasi yaitu :

    a. Faktor pribadi (personal faktors) yang meliputi job expectations,

    psychological contract, job choice factors, karateristik personal

    keseluruhan faktor ini membentuk komitmen awal.

    b. Faktor organisasi (organizational faktors): meliputi initial works

    experiences job scope, supervision, goal consistency organizational. Semua

    faktor itu akan membentuk atau memunculkan tanggung jawab.

    c. Faktor non organisasi (non organizational faktors) yang meliputi

    availability of alternatif job. Faktor yang bukan berasal dari dalam

  • 33

    organisasi, misalnya ada tidaknya alternatif pekerjaan lain. Jika ada dan

    lebih baik tentu karyawan akan meninggalkannya.

    Faktor kepemimpinan yang berasal dari organisasi yaitu hubungan atasan

    dan bawahan serta supervisi merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi

    komitmen karyawan terhadap organisasi. Beberapa hasil penelitian menunjukkan

    bahwa salah satu faktor yang dianggap penting yang mempengaruhi organisasi

    adalah kepemimpinan (Mowday et al, dalam Avolio et al, 2004). Sebagai bagian

    dari organisasi kepemimpinan ikut mempengaruhi komitmen melalui hubungan

    antara atasan dengan bawahan, antara karyawan dengan pimpinannya (Meyer &

    Allen, 1997).

    Beberapa peneliti mengasumsikan bahwa kepemimpinan yang

    mempengaruhi timbulnya komitmen organisasi adalah kepemimpinan

    transformasional (Raja & Palanichamy, 2011; Yacchouchi, 2009). Karena dalam

    kepemimpinan transformasional tidak menuntut adanya untung rugi ataupun

    timbal balik jasa antara pemenuhan kebutuhan pekerja dalam upaya pencapaian

    tujuan organisasi yang setara dengan konsep teori komitmen dimana pekerja

    bekerja tidak sekedar memandang untung rugi, namun juga berkaitan secara

    emosional dan terlibat dalam kegiatan organisasi. Hal ini diperkuat oleh hasil

    penelitian sebelumnya bahwa kepemimpinan transformasional lebih dapat

    dikaitkan dengan komitmen organisasi dibandingkan kepemimpinan transaksional

    (Emery & Barker, 2007. Lo Ramayah & Min, 2009).

    Berdasarkan uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa dari hasil-hasil

    penelitian yang telah dilakukan, komitmen organisasi dipengaruhi faktor-faktor 1)

  • 34

    karateristik individu : meliputi usia, latar belakang pekerja, sikap dan kebutuhan

    nilai intrinsik pekerja, harapan terhadap pekerjaan, kontrak psikologis dan faktor

    pemilihan pekerjaan, 2) Nilai-nilai organisasi : meliputi hubungan atasan dan

    bawahan, karateristik pekerjaan, dukungan organisasi, masa kerja, level jabatan,

    pengalaman kerja sebelumnya, cakupan pekerjaan, supervisi, dan konsistensi

    terhadap tujuan organisasi, 3) Faktor non organisasional yakni ada tidaknya

    alternatif pekerjaan lain.

    Salah satu faktor telah disimpulkan yaitu nilai-nilai organisasi, dimana

    faktor ini meliputi hubungan atasan dan bawahan merupakan suatu hal yang

    mendasari peneliti untuk menggunakan interpersonal trust sebagai variabel

    kontrol, karena perilaku atasan merupakan suatu hal yang mendasar dalam

    menentukan tingkat kepercayaan bawahannya sehingga semakin tinggi tingkat

    kepercayaan semakin berkomitmen terhadap organisasi.

    B. Interpersonal Trust

    1. Definisi Interpersonal Trust

    Interpersonal Trust (kepercayaan interpersonal) adalah keadaan

    psikologis yang terdiri dari niat untuk menerima kerentanan terhadap tindakan

    pihak lain berdasarkan harapan bahwa yang lain akan melakukan tindakan

    tertentu, terlepas dari kemampuan untuk memantau atau mengontrol pihak lain

    (Mayer & Rousseau, 1995).

    Interpersonal Trust (kepercayaan interpersonal) adalah ekspektasi

    umum yang dipegang atau dimiliki oleh individu atau kelompok bahwa kata-

  • 35

    kata, janji, pernyataan secara verbal atau tertulis dari orang lain atau kelompok

    lain dapat diandalkan atau dipercaya (Rotter, dalam Feist & Feist, 2008).

    Interpersonal Trust (kepercayaan interpersonal) adalah kemauan

    seseorang (trustor) untuk mempercayai individu lain yang dalam hal ini adalah

    atasan atau rekan kerja (trustee) dimana kepercayaan tersebut didasarkan atas

    pengalaman sebelumnya, tindakan dan perilaku trustee (McAllister, 1995).

    Paine (2003) menungkapkan bahwa Interpersonal Trust (kepercayaan

    interpersonal) merupakan kesediaan seseorang untuk mempercayai segala

    tingkah laku baik tindakan maupun ucapan orang lain.

    Menurut Cook dan Wall (1980) kepercayaan merupakan tingkat dimana

    seseorang berkeinginan untuk menerima niat baik orang lain dan yakin pada kata

    dan tindakan orang lain. Percaya pada orang lain berarti individu bahwa hasil dari

    perkataan dan tindakan tersebut berdampak baik bagi dirinya,

    Eby dkk (2000) mengemukakan bahwa karyawan yang memiliki

    kepercayaan dan keyakinan pada rekan ditempat kerjanya, maka akan

    berdampak positif bagi organisasi. Kepercayaan diantara sesama rekan kerja

    akan berdampak pada hubungan sosial, menumbuhkan kepercayaan saling

    berbagi, saling membantu dan pada akhirnya akan berdampak pada output

    organisasi.

    Berdasarkan beberapa pengertian yang telah dikemukakan para ahli

    maka dapat disimpulkan bahwa Interpersonal Trust adalah suatu keyakinan

    dan kemauan dari individu untuk mempercayai pada individu lain atau

  • 36

    kelompok lain akan perkataan atau tindakannya yang memberikan harapan dan

    prediksi positif, sehingga individu mau menerimanya.

    2. Dimensi Interpersonal Trust

    Dalam model teori yang dikemukakan oleh Rottenberg (2010), untuk

    memahami konsep tentang kepercayaan interpersonal dia mengajukan sebuah

    kerangka kerja Interpersonal Trust dalam model BDT (Bases, Domains, dan

    Target). Berdasarkan model ini, menurut Rottenberg (2010) ada 3 dimensi

    dasar dari Interpersonal Trust, yaitu:

    a. Keterandalan (Reliability) : dimensi ini mengarah kepada individu yang

    dapat memenuhi dan membuktikan perkataan dan janjinya melalui

    perilaku. Hal ini bermakna bahwa seseorang tidak hanya berucap

    mengenai kemampuan yang dia miliki namun mengimplementasikan

    dalam tindakan sehingga ucapannya dapat dipercaya.

    b. Emosi (Emotional) : dimensi ini mengarah kepada individu yang dapat

    menahan diri supaya tidak menyakiti perasaan mereka, seperti mau

    menerima sebagai tempat mengungkapkan perasaan (disclosure), dapat

    dipercaya untuk menyimpan rahasia, memberikan kritik yang

    membangun, menahan diri untuk tidak menyakiti perasaan orang lain,

    dan menghindari tindakan yang dapat menimbulkan rasa malu.

    c. Kejujuran (Honesty) : dimensi ini mengarah kepada individu yang

    menceritakan kebenaran dan mengelola perilaku berdasar pada niat

    yang baik daripada niat jahat dan dengan cara-cara yang lebih tulus

    daripada manipulatif.

  • 37

    Ketiga dimensi di atas mendasari terciptanya Interpersonal Trust.

    Disamping itu setiap dimensi memiliki tiga ranah yang mendukung yaitu:

    a. Cognitive/affective : ranah ini terdiri dari kepercayaan dan perasaan

    indivudu yang ditunjukkan sesuai dengan 3 dimensi Interpersonal

    Trust. Jadi masing-masing dimensi keterandalan (reliability), emosi

    (emotionality) dan kejujuran (honesty) memiliki hal ini. Dalam dimensi

    keterandalan diperlukan ranah cognitive/affective yang mencakup

    kemampuan berfikir dan bagaimana cara seseorang bersikap dan

    menilai. Begitu pula pada dimensi emosi dan kejujuran.

    b. Behavior-dependent : ranah ini terdiri dari perilaku individu yang

    mengandalkan dan mempercayakan orang lain untuk bertindak sesuai

    dengan setiap dimensi dalam Interpersonal Trust. Masing-masing

    dimensi keterandalan (reliability), emosi (emotionality) dan kejujuran

    (honesty) memiliki hal ini. Ketika seseorang telah mengandalkan,

    mengungkapkan emosi, dan bertindak jujur kepada orang lain maka dia

    memiliki kecenderungan untuk bergantung kepada orang yang

    bersangkutan.

    c. Behavior-enacting (trustworthiness) : ranah ini terdiri dari perilaku

    individu yang terikat pada 3 dimensi Interpersonal Trust. Dimana

    seseorang telah memutuskan apakah orang lain layak untuk dipercaya

    atau tidak. Tiap-tiap dimensi keterandalan (reliability), emosi

    (emotionality) dan kejujuran (honesty) memiliki hal ini. Seseorang tidak

    mungkin mengandalkan orang lain ketika dia merasa bahwa orang

  • 38

    tersebut tidak layak untuk dipercaya dan sebaliknya. Begitu pula ketika

    seseorang telah terikat secara emosional dan terbuka secara jujur

    terhadap orang lain. Individu tidak akan semudah itu untuk

    mempercayakan hal-hal yang bersifat pribadi jika orang lain tersebut

    tidak layak dipercaya.

    Aspek Interpersonal Trust ditempat kerja menurut Cook dan Wall (1980)

    dapat dibedakan menjadi empat hal sebagai berikut :

    a. Percaya pada rekan kerja

    Kepercayaan yang secara langsung dengan pimpinan akan mempengaruhi

    kinerja (Dirks & Ferrin dalam Thompson, 2008). Hal ini bermakna bahwa

    hubungan langsung dengan atasan dapat memberikan dukungan dan

    menciptakan kepuasan yang ditandai penerimaan atas dirinya sehingga

    individu merasa dihargai dan hal tersebut membuat individu termotivasi dalam

    melaksanakan tugasnya.

    b. Percaya pada manajemen

    Weber dan Weber (2001) menemukan bahwa kepercayaan pada managemen

    dapat mengurangi perasaan ketidakyakinan dan minimnya informasi tentang

    perubahan sehingga mengurangi spekulasi dan rasa takut yang tidak

    beralasan.kepercayaan kepada managemen memberikan peran penting dalam

    memberikan informasi dan arahan yang dilakukan karyawan. Dengan adanya

    arahan tersebut maka karyawan tidak mengalami kebingungan dalam

    menghadapi berbagai persoalan karena adanya dukungan pihak manajemen.

  • 39

    c. Percaya pada kemampuan rekan kerja

    Thompson (2008) mengemukakan bahwa belum tentu dalam diri seseorang

    sekaligus memiliki aspek kognitif dan afektif, misalnya saja seseorang bisa

    diandalkan kemampuan dan tanggungjawabnya dalam menyelesaikan suatu

    tugas yang dibebankan namun belum tentu juga individu tersebut memiliki

    aspek afektif begitu juga sebaliknya.

    d. Percaya pada kemampuan managemen

    Lewicki dan Bungker (dalam Popa, 2005) mengemukakan bahwa kepercayaan

    merupakan harapan positif pada perilaku orang lain dalam situasi yang

    berisiko. Hal ini berarti ketika individu berada dalam situasi yang tidak

    nyaman dan individu tersebut tidak memiliki kemampuan untuk

    menyelelesaikannya apalagi menyangkut isu-isu besar yang dihadapi

    organisasi, maka hal yang bisa dilakukan adalah percaya kepada pihak yang

    memiliki kemampuan untuk menyelesaikannya, dalam hal ini percaya pada

    pihak managemen. Jika karyawan menginginkan adanya kondisi yang lebih

    baik dan ingin mencapai kesuksesan organisasi, maka kepercayaan pada pihak

    managemen menjadi hal yang sangat penting bagi kelanjutan organisasi.

    Selanjutnya bagian terakhir dalam kerangka kerja Interpersonal Trust

    adalah mengenai target atau subjek dari Interpersonal Trust yaitu dapat berupa

    sekelompok orang maupun individual. Kerangka kerja menyoroti kualitas

    timbal balik Interpersonal Trust dimana kepercayaan individu dipelihara

    kepada orang lain sebagai dasar untuk membina hubungan yang baik dengan

    pihak lain.

  • 40

    C. Pelatihan Kepemimpinan Transformasional

    1. Definisi Kepemimpinan Transformasioanal

    Konsep awal tentang kepemimpinan transformasional dicetuskan oleh

    Burns dari penelitian deskriptif mengenai pemimpin-pemimpin politik (Yukl,

    2010) konsep kepemimpinan menurut Burn tersebut dikembangkan dengan

    landasan teori kebutuhan dari Maslow. Bass (dalam Yukl, 2010) mengatakan

    bahwa hirarki kebutuhan Maslow dianggap oleh Burns sebagai hal yang

    fundamental untuk proses transformasi, dimana para pemimpin berusaha

    mengerakkan kebutuhan-kebutuhan tingkatan yang lebih tinggi.

    Menurut Danim (2004), kepemimpinan transformasional adalah

    kemampuan seseorang pemimpin dalam bekerja dengan dan/atau melalui orang

    lain untuk mentransformasikan, secara optimal sumber daya organisasi dalam

    rangka mencapai tujuan yang bermakna sesuai dengan target capaian yang telah

    ditetapkan.

    Burns (dalam Bass & Riggio, 2006) menyatakan bahwa transformasi dapat

    dicapai dengan menggunakan salah satu dari ketiga cara yang saling berhubungan

    dibawah ini :

    a. Dengan meningkatkan kesadaran bawahan akan kepentingan dan nilai dari

    hasil kerja mereka yang ditetapkan dan cara mencapainya.

    b. Dengan membuat bawahan melebihi minat-minat pribadi mereka demi

    kepentingan tim, organisasi/masyarakat yang lebih besar.

    c. Dengan mengubah tingkat kebutuhan atau memperluas kebutuhan dan

    keinginan bawahan.

  • 41

    Menurut O’Leary (2010) kepemimpinan transformasional adalah gaya

    kepemimpinan yang digunakan oleh manajer bila ia ingin suatu kelompok

    melebarkan batas dan memiliki kinerja melampaui status quo atau mencapai

    serangkaian sasaran organisasi yang sepenuhnya baru kepemimpinan

    transformasional pada prinsipnya memotivasi bawahan untuk berbuat lebih baik

    dari apa yang bisa dilakukan dengan kata lain dapat meningkatkan kepercayaan

    atau keyakinan dari bawahan yang akan berpengaruh terhadap peningkatan kerja.

    Robbins dan Judge (2008) menyebutkan pemimpin transformasional adalah

    pemimpin yang menginspirasi para pengikutnya untuk menyampingkan

    kepentingan pribadi mereka demi kebaikan organisasi dan mampu memiliki

    pengaruh yang luar biasa pada diri para pengikutnya.

    Menurut Burns (1978 dalam Yukl, 2010), faktor kepemimpinan

    transformasional terpisah dengan kepemimpinan transaksional. Jadi satu

    pemimpin hanya akan memiliki satu tipe yaitu transformasional atau transaksional

    saja. Kepemimpinan transformasional memberikan karateristik yang

    menghasilkan tenaga dan memicu perubahan baru bagi organisasi yang tidak

    dapat dihasilkan pada kepemimpinan transaksioanal. Pemimpin transformasional

    yang bagus menggunakan kewenangan dan kekuasaan untuk memberikan

    semangat dan motivasi orang agar percaya dan mengikuti teladannya (Muhtar,

    2010).

    Lebih lanjut Bass (dalam Yukl, 2010) menyebutkan bahwa kepemimpinan

    tranformasional efektif diterapkan dalam berbagai situasi, kondisi serta budaya.

    Dengan kata lain teori mengenai kepemimpinan transformasional tidak

  • 42

    mengkhususkan suatu kondisi tertentu. Bass (dalam Yukl, 2010) mengungkapkan

    adanya korelasi positif antara kepemimpinan transformasional terhadap efektivitas

    organisasi/perusahaan dapat dibuktikan dengan keberhasilan banyak pemimpin

    yang menerapkan pendekatan kepemimpinan ini dalam berbagai organisasi pada

    level otoritas yang berbeda-beda diberbagai Negara.

    Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa kepemimpinan

    transformasional adalah gaya kepemimpinan yang mencakup upaya perubahan

    terhadap bawahan untuk dapat berbuat lebih positif atau lebih baik dari apa yang

    biasa dikerjakan dan berpengaruh terhadap peningkatan kinerjanya.

    2. Dimensi Kepemimpinan Transformasional

    Menurut Bass dan Avolio (1993), kepemimpinan transformasional

    mengandung empat dimensi yang disebut sebagai “The Four I’s”, yaitu Idealized

    Influenced, Inspirational Motivation, Intellectual Simulation dan Individualized

    Consideration. Menurut Bass dan Avolio, masing-masing dimensi tersebut

    memiliki empat indikator yang dijelaskan sebagai berikut :

    a. Idealized Influence (Pengaruh Ideal/Kharismatik)

    Pemimpin transformasional berperilaku sebagai pemimpin yang dapat

    dijadikan panutan oleh bawahannya. Bawahan ingin menyerupai dan

    mengidentifikasikan diri mereka pada atasannya. Hal-hal yang dilakukan

    oleh pemimpin untuk memperoleh pengakuan dari bawahannya adalah

    dengan memprioritaskan kebutuhan bawahannya dibandingkan

    kebutuhannya sendiri. Pemimpin konsisten berbagi resiko dengan

    bawahannya sesuai dengan etik, prinsip-prinsip dan nilai dasar yang

  • 43

    berlaku. Dimensi ini terbagi menjadi dua sub dimensi yang terdiri dari

    atribut (attribute) dan perilaku (behaviour). Sub dimensi atribut memiliki

    pengertian kemampuan pemimpin untuk mendapatkan pengakuan,

    penghargaan dan kepercayaan dari bawahannya. Sub dimensi perilaku

    memiliki pengertian perilaku pemimpin yang mampu memunculkan

    perilaku identifikasi bawahan terhadap pemimpinnya.

    b. Inspirational Motivation (Motivasi Inspirasional)

    Pemimpin transformasional berperilaku sebagai motivator dan inspirator

    dimata bawahan, yaitu dengan memberikan makna dan tantangan pada

    pekerjaan bawahannya. Semangat individu dan tim dimunculkan.

    Antusiasme dan optimisme juga ditampilkan. Pemimpin mendorong

    bawahan untuk mewujudkan situasi yang paling menguntungkan dimasa

    mendatang. Pemimpin juga secara jelas menyampaikan harapan yang ingin

    dicapai sehingga bawahan terdorong dan berkomitmen untuk

    mewujudkannya.

    c. Intellectual Simulation (Simulasi Intelektual)

    Pemimpin transformasional menstimulasi kinerja bawahan agar inovatif

    dan kreatif dengan cara mempertanyakan asumsi, memetakan kembali

    masalah dan melakukan pendekatan baru pada situasi lama. Pemimpin

    mendukung munculkan kreativitas bawahan. Kesalahan bawahan tidak

    dijadikan bahan ejekan dan kritik didepan public, ide baru dan solusi

    kreatif untuk menyelesaikan masalah muncul dari bawahan dengan

    melibatkan bawahan dalam proses pemecahan masalah. Pemimpin tipe ini

  • 44

    mendorong bawahan untuk mencoba pendekatan baru, menghargai

    masukan dan ide bawahan termasuk perbedaan pandangan dan kritik.

    d. Individual Consideration (Perhatian Individu)

    Pemimpin transformasional memberikan perhatian khusus pada setiap

    kebutuhan bawahannya untuk berprestasi dan berkembang dengan

    bertindak sebagai fasilitator atau mentor. Bawahan didorong untuk

    mencapai level yang lebih tinggi secara berkesinambungan. Pemimpin

    menciptakan kesempatan belajar yang baru dalam iklim suportif agar

    bawahan lebih berkembang. Selain itu, pemimpin seperti ini mengenal

    perbedaan kebutuhan dan keinginan individual bawahannya.

    3. Pengertian Pelatihan Kepemimpinan Transformasional

    Cummings & Worley (2005) menyatakan bahwa pelatihan dapat

    membantu karyawan mendapatkan ketrampilan dan pengetahuan. Sementara Noe

    (2010), menyatakan pelatihan adalah suatu usah terencana dari suatu perusahaan

    untuk memfasilitasi pembelajaran karyawan dalam hal kompetensi yang berkaitan

    dengan pekerjaan. Kompetensi tersebut dapat berupa pengetahuan, ketrampilan

    atau tingkah laku yang penting untuk dapat melakukan pekerjaan dengan efektif.

    sedangkan menurut Skula (1976 dalam Munandar 2001), pelatihan adalah proses

    pendidikan jangka pendek yang menggunakan prosedur sistematis dan terorganisir

    sehingga tenaga kerja dapat mempelajari pengetahuan dan ketrampilan untuk

    tujuan tertentu.

    Menurut Dessler (2006) pelatihan merupakan proses mengajar ketrampilan

    yang dibutuhkan karyawan untuk melakukan pekerjaannya. Mangkuprawira

  • 45

    (2004) menjelaskan bahwa pelatihan adalah sebuah proses mengajarkan

    pengetahuan dan keahlian tertentu serta sikap agar karyawan semakin terampil

    dan mampu melaksanakan tanggung jawab dengan semakin baik, sesuai dengan

    standar.

    Suatu program pelatihan yang efektif terdiri dari beberapa tahapan Riggio

    (2009) memaparkan tahapan tersebut antara lain melakukan analisa kebutuhan

    pelatihan, menetapkan tujuan pelatihan, menetapkan kriteria keberhasilan,

    penetapan metode pelatihan dan penyajiannya, mengembangkan dan menguji

    coba materi pelatihan, mengimplementasikan program pelatihan dan yang terakhir

    adalah melakukan evaluasi terhadap hasil penelitian yang sudah dilaksanakan

    tersebut. Secara garis besar, pelatihan merupakan metode intervensi untuk

    meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan serta kemampuan karyawan agar

    dapat melaksanakan suatu tugas atau pekerjaan secara efektif dan efesien.

    Berdasarkan uraian dari pelatihan dan sub bab definisi kepemimpinan

    transformasional, penulis menyimpulkan bahwa pelatihan kepemimpinan

    transformasional adalah metode intervensi yang diberikan kepada pimpinan yang

    bertujuan agar pimpinan mampu menjadi panutan bagi bawahannya, mampu

    menjadi sumber inspirasi bagi bawahannya, dapat membantu bawahannya untuk

    melihat dunia dengan persfektif yang berbeda dan mampu mendiagnosa,

    memenuhi serta meningkatkan kebutuhan setiap karyawan sehingga membantu

    bawahan mengatasi setiap permasalahan yang ada.

    Pelatihan kepemimpinan transformasional yang akan dilakukan

    menggunakan pendekatan experiential learning, yaitu dengan cara melibatkan

  • 46

    peserta pelatihan secara langsung dengan mengalami dan merasakan akan lebih

    mudah dipahami dan akan diingat lebih lama. Menurut Kolb dan Kolb (2015),

    experiental learning terdiri dari empat tahap dasar pembelajaran dalam rangka

    membangun pengetahuan yaitu experiencing (mengalami), reflecting

    (merenungkan/merefleksikan). Thingking (berpikir), dan acting (bertindak).

    Peserta pelatihan akan diarahkan untuk memiliki empat jenis kemampuan yang

    berbeda namun tetap terikat yaitu concrete abilities (CE), reflect observation

    abilities (RO), abstract conceptualization (AC), dan active experimentation (AE).

    Pelatihan kepemimpinan transformasional pada penelitian ini

    menggunakan metode pelatihan dari Hardjana (2012) yang terdiri dari tiga tahap

    yaitu tahap awal, tahap tengah dan tahap akhir. Materi yang diberikan dalam

    kepemimpinan transformasional terdiri dari ceramah (lecture), permainan (game),

    simulasi, brainstorming dan audio visual. Sesi-sesi pada pelatihan

    transformasional mengacu pada dimensi kepemimpinan transformasional yang

    dikemukakan oleh Bass dan Avolio (1993) yang meliputi Idealized Influence

    (Pengaruh Ideal), Inspirational Motivation (Motivasi Inspirasional ), Intelecctual

    Stimulation (Stimulasi Intelektual) dan Individual Consideration (Perhatian

    Individual).

    Kepemimpinan tranformasional ini tidak berdiri sendiri tiap sesinya

    melainkan saling berkaitan satu sama lain untuk mendapatkan hasil yang

    maksimal untuk mendapatkan hasil maksimal dalam upaya meningkatkan

    kepemimpinan transformasional. Metode yang digunakan akan terurai dalam

  • 47

    beberapa sesi pelatihan Kepemimpinan Transformasional berdasarkan dimensi

    yang dikemukakan oleh Bass & Avoloio (1993), yaitu :

    a. Babak Awal

    Pada babak awal merupakan cara untuk mengawali pelatihan dimulai dari

    registrasi dimana para peserta mengisi absensi dan akan diberikan name tag

    lalu dilanjutkan dengan pembukaan pelatihan. Kegiatan pembukaan pelatihan

    terdiri dari pembukaan secara resmi pelatihan dimana para peserta akan

    diberikan penjelasan mengenai rangkaian pelatihan, kemudian peserta

    pelatihan mengisi biodata, pengisian lembar informed consent dan kontrak

    pelatihan. Tujuan dari pembukaan pelatihan adalah agar peserta pelatihan

    mampu mengetahui tujuan pelatihan. Menumbuhkan rasa tanggung jawab,

    komitmen dan keseriusan dalam mengikuti pelatihan. Sesi selanjutnya setelah

    pembukaan pelatihan yaitu ice breaking yang merupakan tahap pemanasan

    untuk mengkondisikan suasana agar peserta tertarik untuk mengikuti pelatihan,

    tidak mengalami kebosanan dan menjalin hubungan yang baik antar peserta

    dan antara peserta dan instruktur atau trainer (Soenarno, 2005)

    b. Babak Tengah

    Babak tengah pada pelatihan ini meliputi dimensi-dimensi kepemimpinan

    transformasional yaitu :

    1) Idealized Influence (Pengaruh Ideal)

    Sesi Idealized Influence terdiri dari sub-sub sesi yang berupa permainan

    tentang kepemimpinan, pemberian materi mengenai karakter pemimpin

  • 48

    yang kharismatik, dilanjutkan dengan pengisian skla potensi kepemimpinan

    dan skala ekspresi emosi, indikator yang diharapkan dari sesi ini adalah :

    a) Peserta mampu memahami secara umum konsep pemimpin yang

    memiliki cirri kharismatik

    b) Peserta mampu menerapkan ciri pemimpin kharismatik dalam

    melaksanakan kepemimpinannya

    2) Inspirational Motivation (Motivasi Inspirasional)

    Pada sesi ini, peserta diberikan materi mengenai karateristik motivasi

    inspirasional lalu peserta diajak untuk berbagi pengalamannya dalam

    memberikan motivasi kepada bawahannya selama ini melalui kegiatan

    sharing session. Indikator yang diharapkan dalam sesi ini adalah :

    a) Peserta mampu memahami secara umum konsep pemimpin yang

    memiliki ciri sebagai motivator dan inspirator bagi bawahannya

    b) Peserta mampu menerapkan cara pemimpin motivasi inspirasional

    dalam melaksanakan kepemimpinannya

    3) Intellectual Stimulation (Simulasi Intelektual)

    Pada sesi ini peserta diberikan permainan atau games out of the box yang

    bertujuan agar peserta mendapatkan pengalaman dan berlatih ide berpikir

    diluar kebiasaan. Setelah itu dilanjutkan dengan pemberian materi dan

    pemberian studi kasus mengenai bawahan yang kemudian didiskusikan

    dalam bentuk diskusi kelompok (FGD). Indikator yang diharapkan muncul

    pada sesi ini adalah :

  • 49

    a) Peserta mampu memahami secara umum konsep pemimpin yang

    memiliki ciri stimulasi intelektual bagi bawahannya

    b) Peserta mampu menerapkan ciri pemimpin yang memberikan stimulasi

    intelektual dalam melaksanakan kepemimpinanya

    4) Individual Consideration (Perhatian Individual)

    Pada sesi ini peserta merasakan peran sebagai pemimpin yang mampu

    memberikan perhatian khusus terhadap bawahan melalui kegiatan role play

    atau bermain peran. Pelatih memberikan contoh pemberian perhatian

    terhadap beberapa peserta kemudian peserta lain memberikan evaluasi

    kepada yang bersangkutan. Indikator yang diharapkan muncul pada sesi ini

    adalah :

    a) Peserta mampu memahami secara umum konsep pemimpin yang

    memiliki ciri perhatian individual bagi bawahannya

    b) Peserta mampu menerapkan ciri pemimpin yang memberikan perhatian

    individual dalam melaksanakan kepemimpinannya

    c. Babak akhir

    Pada babak akhir berupa penyimpulan dari seluruh rangkaian kegiatan

    pelatihan. Penyimpulan ini berisi harapan-harapan dari peserta, evaluasi

    dilaksanakan untuk melihat seberapa besar pengaruh pelatihan yang diberikan

    bagi karyawan terhadap peningkatan pengetahuan, kecakapan dan keterampilan

    serta pembentukan sikap kearah yang lebih transformasional ataupun

    kemungkinan- kemungkinan tindak lanjut. Tahap akhir juga berupa penutupan

    pelatihan dengan menyampaikan ucapan terima kasih kepada pimpinan

  • 50

    perusahaan yang telah memberikan kepercayaan dan kesempatan, peserta

    perusahaan dan kepada semua pihak-pihak yang telah membantu berjalannya

    proses pelatihan dengan harapan semoga pelatihan dapat memberikan manfaat

    yang diharapkan.

    D. Hubungan Komitmen Organisasi terhadapa Interpersonal Trust

    Perilaku karyawan yang mempunyai komitmen organisasi terjadi bukanlah

    tanpa sebab, hal ini dibuktikan dengan adanya fenomena yang ada di lingkungan

    kerja Indonesia. Banyak perusahaan yang menganggap bahwa perusahaan telah

    melakukan manajemen SDM yang baik dengan indikatornya adalah karyawan

    tersebut memiliki komitmen organisasi yang tinggi terhadap perusahaan, namun

    pada kenyataan masih banyak kinerja yang belum memuaskan. Hal ini perlu

    disadari karena ukuran komitmen organisasi tidaklah hanya sekedar loyal dan turn

    over yang rendah saja (Ancok, 2005).

    Secara persfektif berpikir secara logika, komitmen organisasi baru akan

    terjadi manakala karyawan dipandang sebagai sosok yang berarti atau eksistensi

    di perusahaanya dianggap penting. Hal ini wajar karena karyawan dianggap

    sebagai aset yang memiliki investasi dalam perusahaan. Pada konteks ini,

    investasi yang diberikan berupa kompetensi dan kemauan untuk berkembang.

    Kondisi ini tentu sangat berkaitan dengan permasalahan kepercayaan terhadap

    dinamika komitmen organisasi yang berkembang dalam perusahaan. Komitmen

    organisasi baru akan terbentuk manakala karyawan sebagai anggota perusahaan

    merasa percaya bahwa segala peraturan perusahaan yang ada mendukung situasi

  • 51

    dan kondisi yang memungkinkan untuk munculnya kinerja optimal (Ancok,

    2005).

    Menurut McShane & Von Gilnow (2002), cara untuk membangun

    loyalitas yang menjadi bagian dari komitmen organisasi salah satunya adalah

    kepercayaan. Kepercayaan mengacu pada harapan positif seseorang terhadap

    orang lain dalam situasi yang melibatkan risiko. Ini merupakan kegiatan timbal

    balik, untuk menerima kepercayaan, anda harus menunjukkan kepercayaan.

    Karyawan mengetahui bersama dan merasa berkewajiban untuk bekerja pada

    sebuah organisasi hanya ketika mereka percaya pada pemimpinnya. Hal ini

    menjelaskan mengapa pemutusan hubungan kerja adalah salah satu pukulan

    terbesar bagi loyalitas karyawan, dengan mengurangi keamanan kerja, perusahaan

    mengurangi kepercayaan karyawan dan hubungan kerja.

    E. Pengaruh Pelatihan Kepemimpinan Transformasional pada Atasan

    terhadap Komitmen Organisasi dengan Interpersonal Trust sebagai

    Variabel Kontrol

    Dalam rangka mengantisipasi perubahan pada organisasi yang bersifat

    dinamis dan kompleks dibutuhkan banyak pembelajaran dan perhatian yang serius

    terhadap hal-hal penting didalam organisasi yang dilakukan secara berkelanjutan.

    Salah satu hal penting yang perlu mendapatkan perhatian utama bagi organisasi

    adalah keberadaan sumber daya manusia (human capital) yang merupakan aset

    berharga didalam organisasi. Kesuksesan organisasi dapat dihasilkan melalui

    kontribusi dari pengetahuan, pengalaman, dan komitmen dari para anggota yang

  • 52

    dimilikinya (Schermerhorn, 2010). Setiap organisasi membutuhkan anggota yang

    merasa terikat atau berkomitmen untuk membantu organisasi untuk mencapai

    tujuan secara efektif dan efesien (Stowers, 2010).

    Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa salah satu faktor yang

    dianggap penting yang mempengaruhi komitmen organisasi adalah kepemimpinan

    (Mowdayet al, dalam Avolio et al, 2004). Sebagai bagian dari organisasi

    kepemimpinan ikut mempengaruhi komitmen melalui hubungan antara atasan

    dengan bawahan atau antara karyawan dengan pemimpinnya (Meyer & Allen,

    1997). Kepemimpinan berpengaruh kuat terhadap jalannya organisasi dan

    kelangsungan hidup organisasi. Keberhasilan sebuah organisasi dapat tercapai

    apabila pemimpin dapat mempengaruhi bawahannya untuk memberikan kinerja

    terbaik kepada organisasi. Menurut House et al, (1999) dalam Yulk (2010),

    kepemimpinan merupakan kemampuan seseorang untuk mempengaruhi,

    memotivasi dan membuat orang lain mampu memberikan kontrbusinya demi

    efektivitas dan keberhasilan organisasi.

    Dalam memelihara komitmen organisasi, peran seorang pemimpin yang

    sangat dibutuhkan adalah pemimpin yang transformasional. Kepemimpinan

    transformasional merupakan suatu keadaan dimana seorang pemimpin memiliki

    karisma atau pengaruh. Pemimpin mempunyai visi dan menggunakannya untuk

    mentransformasikan anggota organisasi, dalam hal ini anggota terinspirasi,

    percaya dan yakin pada kepentingan dan nilai-nilai dalam pekerjaannya untuk

    mencapai tujuan bersama. Kepemimpinan transformasional terbagi kedalam

  • 53

    empat dimensi yaitu idealized influence, inspirational motivation, intellectual

    stimulation dan individual consideration (Bass & Avolio, 1993).

    Pelatihan kepemimpinan transformasional adalah metode intervensi yang

    diberikan kepada pimpinan yang bertujuan agar bawahan merasa bahwa

    pimpinannya merupakan sumber inspirasi bagi dirinya, mendiagnosa, memenuhi

    dan meningkatkan kebutuhan setiap karyawannya, membantu bawahannya untuk

    melihat dunia dengan sudut pandang yang berbeda dan membantu meningkatkan

    kepercayaan diri bawahannya sehingga membantu bawahan mengatasi setiap

    permasalahan yang ada.

    Pelatihan kepemimpinan transformasional pada penelitian ini

    menggunakan pendekatan experiential learning yaitu dengan cara melibatkan

    peserta pelatihan secara langsung dengan mengalami dan merasakan akan lebih

    mudah dipahami dan akan diingat lebih lama. Sesi-sesi pada pelatihan

    kepemimpinan transformasional mengacu pada kepemimpinan transformasional

    yang dikemukakan oleh Bass & Avolio (1993) yang meliputi idealized influence

    (pengaruh ideal), inspirational motivation (motivasi inspirasional), intellectual

    stimulation (stimulasi intelektual) dan individual consideration (perhatian

    individual).

    Untuk meningkatkan komitmen organisasi, perlu adanya pelatihan

    kepemimpinan transformasional bagi para pimpinan depertement di PT. X dengan

    tujuan agar para pimpinan mampu mengaplikasikan tujuan dari organisasi dengan

    cara menginternalisasi dan memprioritaskan kepentingan bersama yang lebih

    besar diatas kepentingan pribadi. Yukl (2010) mengemukakan bahwa pemimpin

  • 54

    transformasional membuat para pengikut menjadi lebih menyadari kepentingan

    dan nilai dari pekerjaan dan membujuk pengikut untuk tidak mendahulukan

    kepentingan diri sendiri demi organisasi. Para pemimpin mengembangkan

    ketrampilan dan keyakinan pengikut untuk menyiapkan mereka mendapatkan

    tanggung jawab yang lebih banyak dalam sebuah organisasi yang memberikan

    wewenang. Para pemimpin memberikan dukungan dan dorongan saat diperlukan

    untuk mempertahankan antusiasme dan upaya menghadapi halangan, kesulitan

    dan kelelahan. Dengan kepemimpinan transformasional para pengikut merasakan

    kepercayaan, kekaguman, kesetiaan dan penghormatan terhadap pemimpin serta

    mereka termotivasi untuk memiliki komitmen yang lebih kepada organisasi.

    Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Tarmizi (2008), pelatihan

    kepemimpinan transformasional terbukti mampu meningkatkan komitmen

    organisasi dan kepuasan kerja karyawan. Dalam penelitian Tarmizi, pelatihan

    kepemimpinan transformasional yang diberikan pada atasan terbukti secara

    signifikan dapat meningkatkan komitmen organisasi karyawan sedangkan pada

    karyawan yang atasannya tidak diberikan pelatihan kepemimpinan

    transformasional tidak menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan dalam

    peningkatan komitmen organisasi.

    Barlin, dkk (1996) melakukan penelitian field experiment mengenai

    pengaruh pelatihan kepemimpinan transformasional terhadap sikap dan aspek

    finansial. Pelatihan kepemimpinan transformasional terbukti dapat meningkatkan

    persepsi bawahan terhadap kepemimpinan atasan dan komitmen karyawan

    terhadap organisasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa persepsi karyawan

  • 55

    terhadap atasan yang diberikan pelatihan kepemimpinan transformasional

    meningkat dan juga secara signifikan meningkatkan komitmen organisasi

    karyawan yang menjadi subordinat dari atasan yang diberikan pelatihan.

    Penelitian ini memberikan pemahaman lebih lanjut kepada kita terhadap

    kepemimpinan transformasional dalam tiga hal ; pertama dan yang paling utama

    penelitian ini menterjemahkan hasil korelasi sebelumnya dan bersama dengan

    Kirkpactrick & Locke (1996) dan Howel & Frost (1989), hal ini menunjukkan

    bukti eksperimental bahwa kepemimpinan transformasional dapat menghasilkan

    perubahan pada persepsi bawahan atas perilaku kepemimpinan atasan, komitmen

    bawahan terhadap organisasi dan beberapa aspek dari penghasilan/finansial

    perusahaan.

    Selanjutnya pemimpin yang mempunyai aspek motivasi inspirasional akan

    menghadirkan keinginan bawahannya untuk tetap memotivasi untuk bekerja

    secara maksimal dan terinspirasi pada pemimpin mereka. Hal ini diwujudkan

    pemimpin dengan cara berperilaku dan menceritakan suatu kisah yang dapat

    menginspirasi para bawahannya agar tetap bekerja keras dalam perusahaan.

    Keinginan untuk mendukung organisasi dalam mencapai tujuannya termasuk

    dalam komitmen organisasi.

    Aspek stimulasi intelektual dapat menghadirkan komitmen organisasi pada

    karyawan. Pemimpin yang memiliki aspek ini akan menghadirkan komitmen

    dengan cara memberikan stimulasi-stimulasi atau rangsangan yang akan

    menghasilkan ide-ide kreatif baru serta peningkatan kemampuan para

    bawahannya. Hal ini secara tidak langsung akan menghasilkan suasana yang

  • 56

    kondusif serta menghasilkan rasa nyaman pada bawahannya. Selain itu hal ini

    juga menghasilkan adanya penerimaan nilai-nilai organisasi pada bawahannya.

    Aspek perhatian individual pada diri pemimpin memiliki dampak pada

    pembentukan komitment, terutama pada aspek komitmen afektif dan komitmen

    normatif. Pemimpin dengan karakteristik individual consideration akan

    memberikan perhatian kepada bawahannya secara personal. Pemberian perhatian

    ini akan menciptakan adanya hubungan emosional antara pimpinan dan bawahan

    serta adanya pemenuhan kebutuhan-kebutuhan pada diri bawahan. Adanya

    hubungan emosional antar pimpinan dan bawahan akan menghadirkan adanya

    identifikasi dan penerimaan pada nilai-nilai organisasi. Hubungan emosional yang

    baik antara pimpinan dan bawahan juga kan berdampak pada keinginan untuk

    tetap mempertahankan keanggotaannya. Jadi keempat aspek dalam kepemimpinan

    transformasional saling berhubungan dalam menciptakan aspek-aspek komitmen

    yang akan menjadi dasar pembentukan komitmen terhadap organisasi.

    Lebih lanjut dijelaskan bahwa komitmen merupakan suatu hal yang mudah

    rusak, maka ada kecenderungan untuk mencari partner yang benar-benar dapat

    dipercaya dalam membina suatu hubungan. Dengan ciri khas komitmen yang

    mudah rusak telah membuat individu berhati-hati dalam membina hubungan atau

    dengan kata lain, komitmen akan muncul apabila kepercayaan sudah dibangun.

    Ketidakpercayaan suatu pihak menimbulkan ketidakpercayaan dipihak

    lainnya. Dan hal tersebut akan mengurangi komitmen dalam suatu hubungan

    (Morgan dan Hunt, 1994). Juga diungkapkan bahwa kepercayaan merupakan

    faktor utama yang menentukan komitmen dalam suatu hubungan (Achrol, 1991).

  • 57

    Hasil studi telah menemukan bahwa kepercayaan mempunyai hubungan yang

    signifikan terhadap komitmen dalam suatu hubungan (Zaltman, 1992).

    Bakiev (2013) menguji pengaruh organizational social capital and

    organizational citizenship behavior pada persepsi kinerja organisasi. Kepercayaan

    interpersonal diterima sebagai atribut organizational social capital dan komitmen

    organisasi dianggap sebagai dimensi perilaku warga organisasi. Kepercayaan

    interpersonal antara petugas polisi di Kepolisian Nasional Kirgistan (KNP) dan

    komitmen mereka terhadap KNP dianalisis dengan analisis statistik dari penelitian

    ini. 400 survei dibagikan kepada petugas polisi dari KNP di 7 wilayah berbeda di

    Kyrgyzstan dan ibu kota Bishkek. Penelitian korelasional dan Structural Equation

    Modeling (SEM) digunakan untuk menganalisis hasil. Hasil penelitiannya

    menunjukkan bahwa variabel dari kepercayaan interpersonal dan komitmen

    organisasi berkorelasi positif satu sama lain dan memiliki bobot regresi 0,55.

    Rasio kritis dari korelasi ini adalah 6,640. Korelasi ini ditemukan signifikan

    secara statistik pada level 0,05. Akibatnya, korelasi antar penelitian ini

    menunjukkan dukungan statistik yang cukup untuk membuktikan bahwa petugas

    polisi di KNP memiliki tingkat kepercayaan antar pribadi yang lebih tinggi akan

    berkomitmen untuk organisasi mereka dan pekerjaan dan sebaliknya; petugas

    yang lebih berkomitmen memiliki tingkat kepercayaan interpersonal yang lebih

    tinggi.

    Peneliti memberikan variabel kontrol interpersonal dengan tujuannya

    variabel defenden menjadi nentral dari pengaruh-pengaruh faktor-faktor yang

    mempengaruhi komitmen organisasi. Arti netral di sini adalah sebelum variabel-

  • 58

    variabel defenden dimasukkan dalam analisis statistik, variabel interpersonal trust

    harus diuji dahulu pengaruhnya, sehingga ketika variabel interpersonal trust

    dimasukkan dalam pengujian, peneliti dapat mengetahui perubahan tingkat

    pengaruhnya terhadap variabel komitemen organisasi. Secara umum, peneliti

    menerapkan prosedur variabel kontrol adalah berdasarkan pada penelusuran

    penelitian terdahulu mengenai berbagai variabel interpersonal trust yang

    hubungan pengaruh positif terhadap variabel komitmen organiasi yang akan di uji.

    Biasanya, variabel kontrol tidak dimasukkan dalam model (kerangka bepikir)

    penelitian. Dalam beberapa literatur (Kerlinger & Lee,2000; Noe,1996) variabel

    kontrol sering juga disebut covariates.

    F. Landasan Teori

    Keberhasilan suatu organisasi tidak akan lepas dari kontribusi sumber

    daya manusia (SDM), karena SDM memiliki kemampuan untuk melakukan

    sesuatu yang bermanfaat melalui sumbangan melalui tenaga maupun pikiran-

    pikirannya. SDM sebagai anggota organisasi memegang peranan penting bagi

    usaha mencapai tujuan tersebut. Dalam hal ini dilihat seberapa jauh dukungan

    yang diberikan SDM tersebut kepada organisasi. Dukungan tersebut berupa

    komitmen yang tinggi kepada organisasi atau perusahaan (Suseno & Sugiyanto,

    2010)

    Komitmen karyawan merupakan salah satu kunci yang turut menentukan

    berhasil tidaknya suatu organisasi untuk mencapai tujuannya. Karyawan yang

    mempunyai komitmen kepada organisasi mampu menunjukkan sikap kerja yang

  • 59

    penuh perhatian terhadap tugasnya, mereka sangat memiliki tanggung jawab

    untuk melaksanakan tugas-tugas serta sangat loyal terhadap organisasi. Dalam

    komitmen terkandung keyakinan, pengikat yang akan menimbulkan energi untuk

    melakukan yang terbaik. Secara nyata komitmen berdampak kepada performansi

    kerja sumber daya manusia dan pada akhirnya juga sangat berpengaruh terhadap

    kinerja suatu organisasi.

    PT. X adalah salah satu perusahaan property di Yogyakarta yang

    beroperasional mulai tahun 2005. Saat ini PT. X memiliki pesaing yang tidak

    sedikit dengan semakin banyaknya perusahaan-perusahaan property di daerah

    Yogyakarta. Hal ini menimbulkan dampak tersendiri yaitu dengan semakin

    kompetitifnya pangsa pasar penjualan rumah, sehingga masing-masing

    perusahaan mempunyai kebijakan-kebijakan yang harus dilaksanakan agar

    tujuannya dalam penjualan produk meningkat dan pada akhirnya profit yang

    dihasilkan dapat dinikmati seluruh karyawan.

    Peneliti menggunakan tiga aspek komitmen organisasi dari Mowday,

    Porter, & Steers (1996) yakni identification (kepercayaan terhadap nilai-nilai

    organisasi), job involvement (kesediaan untuk berusaha sebaik mungkin demi

    kepentingan organisasi) dan loyalty (keinginan untuk tetap menjadi anggota

    organisasi yang bersangkutan), aspek ini merupakan yang paling sesuai digunakan

    untuk penelitian ini karena karyawan yang memiliki komitmen tinggi terhadap

    organisasi akan berusaha kerja keras dengan tindakan-tindakan yang relevan pada

    pencapaian yang diinginkan perusahaan.

  • 60

    Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa salah satu faktor yang

    dianggap penting yang berpengaruh komitmen organisasi adalah kepemimpinan

    (Mowday et al, dalam Avolio et al, 2004). Sebagai bagian dari organisasi,

    kepemimpinan ikut mempengaruhi komitmen melalui hubungan antara atasan

    dengan bawahan, antara karyawan dengan pemimpinnya (Meyer & Allen, 1997).

    Kepemimpinan berpengaruh kuat terhadap jalannya organisasi dan

    kelangsungan hidup organisasi. Keberhasilan sebuah organisasi dapat tercapai

    apabila pemimpin dapat mempengaruhi bawahannya untuk memberikan kinerja

    terbaik kepada organisasi. Menurut House et al., (1999) dalam Yukl (2010),

    kepemimpinan merupakan kemampuan seseorang untuk mempengaruhi,

    memotivasi, dan membuat orang lain mampu memberikan kontribusinya demi

    efektivitas dan keberhasilan organisasi.

    Penelitian membuktikan bahwa kepemimpinan transformasional

    berpengaruh terhadap peningkatan komitmen organisasi pada karyawan (Gao &

    Bai, 2011; Nurafiah, 2009). Bass dalam bukunya “Leadership and performance

    beyond expectations”(1985) menyatakan kepemimpinan transformasional akan

    mendorong karyawan untuk berpikir secara kritis dan mampu melihat cara-cara

    baru sehingga mereka memiliki kemampuan memecahkan masalah dengan

    metode yang baru. Situasi ini akan memotivasi dan membuat mereka lebih fokus

    terhadap pekerjaannya, sehingga akhirnya akan terbentuk komitmen organisasi.

    Pada penelitian ini, peneliti memberikan intervensi pelatihan

    kepemimpinan transformasional kepada para atasan di PT. X Yogyakarta dengan

    tujuan agar mampu mengembangkan kompetensi kepemimpinan mereka melalui

  • 61

    aspek-aspek kepemimpinan transformasional sehingga komitmen organisasi juga

    dapat lebih meningkat seiring dengan adanya pengetahuan tentang praktek-

    praktek kepemimpinan transformasional yang efektif diterapkan ditempat kerja

    setelah adanya pelatihan kepemimpinan transformasional.

    G. Kerangka Penelitian

    Keberhasilan suatu organisasi sangat ditentukan dari sumbangan sumber

    daya manusianya, karena manusia memiliki kemampuan untuk melakukan sesuatu

    yang bermanfaat melalui usaha-usaha yang berupa tenaga maupun pikiran-

    pikirannya. Manusia sebagai anggota organisasi memegang peranan penting bagi

    pencapaian tujuan organisasi. Dengan kata lain seberapa jauh support yang

    diberikan karyawan kepada organisasinya, support tersebut berupa komitmen

    yang tinggi kepada organisasi atau perusahaan. Terlebih lagi saat kinerja

    organisasi tersebut mempunyai permasalahan yang membutuhkan extra tenaga,

    pikiran maupun waktu untuk melakukan hal-hal yang relevan demi membantu

    permasalahan yang dihadapi perusahaan.

    Karyawan yang mempunyai komitmen tinggi kepada organisasi

    terkandung identifikasi terhadap serangkaian nilai dan tujuan organisasi perilaku

    seperti adanya penerimaan terhadap kebijakan organisasi, keinginan yang kuat

    untuk berusaha demi kepentingan organisasi dan mengorbankan kepentingan

    pribadinya demi mencapai keberhasilan organisasi tersebut.

    Untuk menjaga komitmen agar berada tetap pada puncak dibutuhkan

    dukungan pemimpin yang mampu mentransformasionalkan dengan aspek-aspek

  • 62

    didalamya yang memiliki dampak pada pertumbuhan komitmen organisasi.

    Pemimpin yang berkharisma dapat menjelaskan strategi-strategi untuk mencapai

    tujuan-tujuan organisasi serta menjabarkan visinya. Disamping itu sosok

    pemimpin yang memiliki kharisma akan menghadirkan rasa kebanggan pada

    karyawan dan pemimpin yang berkharisma akan menciptakan satu ikatan

    emosional yang baik pada bawahannya. Hal ini akan menghasilkan adanya

    penerimaan nilai-nilai organisasi pada diri karyawan serta keinginan yang kuat

    untuk mendukung organisasi tersebut dalam mencapai tujuannya.

    Namun ketidakpercayaan suatu pihak yaitu rekan kerja dan manajemen

    menimbulkan ketidakpercayaan dipihak lainnya. Dan hal tersebut akan

    mengurangi komitmen dalam suatu hubungan, juga diungkapkan bahwa

    kepercayaan merupakan faktor utama yang menentukan komitmen dalam suatu

    hubungan (Achrol, 1991). Hasil studi telah menemukan bahwa kepercayaan

    mempunyai hubungan yang signifikan terhadap komitmen dalam suatu hubungan

    (Zaltman, 1992). Berikut adalah kerangka berpikir penelitian yang digunakan

    dalam penelitian ini :

    Gambar 2.1

    Kerangka Berpikir Penelitian

    Interpersonal Trust

    Pelatihan Kepemimpinan Transformasional

    Komitemen Organisasi Rendah

    (Pretest) Komitemen Organisasi Tinggi

    (Posttest)

    Interpersonal Trust

  • 63

    H. Hipotesis

    Dari uraian diatas maka dapat diturunkan hipotesis dalam penelitian ini

    adalah ada perbedaan tingkat komitmen organisasi sebelum dan sesudah pelatihan

    kepemimpinan transformasional dengan mengendalikan variabel kontrol

    interpersonal trust.

  • 64