BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kesepian pada Lansia 1...

51
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kesepian pada Lansia 1. Pengertian Kesepian Penelitian tentang kesepian mulai banyak dilakukan pada awal tahun 70-an. Pengertian kesepian masih masih sangat beragam dari berbagai perspektif dn pendekatan. Para ahli psikologi berusaha memberikan defenisi kesepian yang didasari oleh orientasi teoritis masing-masing. Sullivan memandang kesepian sebagai pengalaman subjektif yang tidak menyenangkan dan yang bersifat menekan. Keadaan ini disebabkan oleh tidak terpenuhinya kebutuhan akan keakraban secara adekuat, khususnya keakraban interpersonal (Feist & Feist, 2006). Kesepian tidak sama dengan sendiri, ttapi sendiri dapat menjadi awal dari kesepian. Individu dapat terlihat di kerumunan, tengah-tengah banyak orang, tetapi tetap merasa kesepian. Kesepian adalah kondisi subjektif individu saat merasa kebutuhan sosialnya tidak terpenuhi seperti yang diharapkan. Manusia dinyatakan sebagai makhluk sosial, sehingga hubungan emosional dengan orang lain merupakan hal yang penting bagi kebanyakan individu (Hughes, Waite, Hawkley, & Cacioppo, 2004). Bila individu secara subjektif mempersepsikan bahwa hubungannya dengan orang lain terbatas, mereka biasanya merasakan kesepian. Kesepian melibatkan rasa terisolasi dan minimnya keterhubungan secara relasional dan juga koloktif (Russell, Peplau, & Cutrona, dalam Hughes, Waite, Hawkley, & Cacioppo, 2004). Rasa kesepian tidaklah berarti 17

Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kesepian pada Lansia 1...

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kesepian pada Lansia

1. Pengertian Kesepian

Penelitian tentang kesepian mulai banyak dilakukan pada awal tahun

70-an. Pengertian kesepian masih masih sangat beragam dari berbagai

perspektif dn pendekatan. Para ahli psikologi berusaha memberikan defenisi

kesepian yang didasari oleh orientasi teoritis masing-masing. Sullivan

memandang kesepian sebagai pengalaman subjektif yang tidak

menyenangkan dan yang bersifat menekan. Keadaan ini disebabkan oleh

tidak terpenuhinya kebutuhan akan keakraban secara adekuat, khususnya

keakraban interpersonal (Feist & Feist, 2006). Kesepian tidak sama dengan

sendiri, ttapi sendiri dapat menjadi awal dari kesepian. Individu dapat terlihat

di kerumunan, tengah-tengah banyak orang, tetapi tetap merasa kesepian.

Kesepian adalah kondisi subjektif individu saat merasa kebutuhan

sosialnya tidak terpenuhi seperti yang diharapkan. Manusia dinyatakan

sebagai makhluk sosial, sehingga hubungan emosional dengan orang lain

merupakan hal yang penting bagi kebanyakan individu (Hughes, Waite,

Hawkley, & Cacioppo, 2004). Bila individu secara subjektif mempersepsikan

bahwa hubungannya dengan orang lain terbatas, mereka biasanya merasakan

kesepian. Kesepian melibatkan rasa terisolasi dan minimnya keterhubungan

secara relasional dan juga koloktif (Russell, Peplau, & Cutrona, dalam

Hughes, Waite, Hawkley, & Cacioppo, 2004). Rasa kesepian tidaklah berarti

17

18

merasa sendiri, namun melibatkan rasa terisolasi, tidak terhubung, dan

minimnya kebersamaan. Perasaan tersebut merefleksikan perbedaan antara

harapan dan juga hubungan sosial yang dimiliki. Beberapa individu akan

tetap merasa kesepian meskipun sebenarnya memiliki network sosial yang

besar, hal inilah yang disebut dengan konsep alienasi (Brennan, shaver, dalam

Tomaka, Thompson, & Palacios, 2006).

Menurut Myers (2012), kesepian merupakan sebuah kesadaran yang

penuh perasaan sakit mengenai hubungan sosial yang kurang banyak atau

kurang berarti dibandingkan dengan yang diharapkan. Yang dan Viktor (2008)

mendefinisikan kesepian sebagai adanya penurunan atau ketidak sesuaian

antara keadaan yang sebenarnya dan yang diinginkan dri hubungan sosial

dalam kehidupan seseorang. Sears, dkk (Santrock, 2002) mengatakan

kesepian sebagai suatu pengalaman subjektif yang tidak menyenangkan

dalam berinteraksi dengan orang lain baik dalam segi kuantitas maupun

kualitas. Kesepian adalah suatu keadaan mental dan emosional yang terutama

dicirikan oleh adanya perasaan-perasaan terasing dan kurangnya hubungan

yang bermakna dengan orang lain (dalam Frank, 2000).

Kesepian merupakan suatu keadaan yang menyakitkan dan akan

muncul jika seseorang tersebut merasa tersisih dari kelompoknya, tidak

diperhatikan oleh orang-orang disekitarnya, terisolasi dari lingkungan, tidak

ada seseorang tempat berbagi rasa dan pengalaman, dan tidak mempunyai

pilihan (Suardiman, 2011). Kesepian sendiri merupakan suatu keadaan mental

19

dan emosional yang terutama dicirikan oleh adanya perasaan terasing dan

kurangnya hubungan yang bermakna dengan orang lain (Bruno, 2000).

Berdasarkan uraian diatas, kesepian dapat disimpulkan bahwa suatu

keadaan mental dan emosi yang muncul jika seseorang merasa terasing dan

kurangnya hubungan yang bermakna dengan orang lain.

2. Aspek kesepian

Menurut Bruno (2000) yang menjadi aspek-aspek kesepian, yaitu:

a) Isolasi

Suatu keadaan dimana seseorang merasa terasing dari tujuan-tujuan

hidup, dijauhkan dari masyarakat, keluarga dan lingkungan sekitar

sehingga seseorang tersebut merasa sendirian.

b) Penolakan

Penolakan adalah suatu keadaan dimana seseorang tidak diterima, diusir

dan dihalau oleh lingkungannya. Seseorang yang kesepian akan merasa

dirinya ditolak dan ditinggalkan walaupun berada ditengah-tengah

keramaian.

c) Merasa disalah mengerti

Suatu keadaan dimana seseorang merasa seakan-akan dirinya

disalahkan dan tidak berguna. Seseorang yang selalu merasa disalah

mengerti dapat menimbulkan rasa rendah diri, rasa tidak percaya diri

dan merasa tidak mampu untuk bertindak.

20

d) Merasa tidak dicintai

Adalah suatu keadaan dimana seseorang tidak mendapatkan kasih

sayang, tidak diperlukan secara lembut dan tidak dihormati, merasa

tidak dicintai akan jauh dari persahabatan dan kerjasama.

e) Tidak mempunyai sahabat

Tidak ada seseorang yang berada disampingnya, tidak ada hubungan,

tidak dapat berbagi.

f) Malas membuka diri

Suatu keadaan dimana seseorang malas menjalin keakraban, takut

terluka, senantiasa merasa cemas dan takut jangan-jangan orang lain

akan melukainya.

g) Bosan

Suatu perasaan seseorang yang merasa jenuh tidak menyenangkan tidak

menarik, merasa lemah, orang-orang yang pembosan biasanya orang-

orang yang tidak pernah menikmati keadaan-keadaan yang ada.

h) Gelisah

Suatu keadaan dimana seseorang merasa resah, tidak nyaman dan

tentram didalam hati atau merasa selalu khawatir, tidak senang, dan

perasaan galau dilanda kecemasan.

Menurut Galanaki (2004) ada 3 aspek dari kesepian itu:

a. Aspek emosi yaitu kesepian yang merupakan rasa sakit secara

emosional yang diasosiasikan dengan kesedihan dan kebosanan.

21

b. Aspek kognitif yaitu kesepian yang merupakan hasil persepsi mengenai

adanya kekurangan baik secara kuatitatif dan kualitatif dalam hubungan

interpersonal dan kepuasan dalam terhadap kebutuhan sosial dan

interpersonal dasar yaitu pertemanan, inklusi, dukungan emosional,

afeksi, persekutuan yang dapat dipercaya, peningkatan harga diri dan

kasih sayang.

c. Aspek interpersonal merupakan kesepian yang dikaitkan dengan

berbagai macam konteks yang bersentuhan dengan keterpisahan secara

fisik dan jarak psikologis.

Melihat kedua aspek kesepian di atas dan berdasarkan kondisi lansia

yang ditemukan peneliti di lapangan, yaitu banyak para lansia yang merasa

dirinya tidak dicintai, gelisah, dan lain sebagainya sehingga aspek yang

dipakai dalam penelitian ini menggunakan aspek menurut Bruno (2000) yang

dapat disimpulkan bahwa aspek-aspek kesepian merupakan suatu keadaan

yang meliputi keterasingan (isolasi), tidak diterima orang lain (merasa ada

penolakan), merasa disalah mengertikan, merasa tidak dicintai, tidak

mempunyai sahabat, malas membuka diri, bosan, gelisah.

3. Lansia

a. Pengertian Lansia

Masa dewasa akhir atau lanjut usia adalah periode perkembangan

yang bermula pada usia 60 tahun yang berakhir dengan kematian. Masa

ini adalah masa pemyesuaian diri atas berkurangnya kekuatan dan

kesehatan, menatap kembali kehidupan, masa pensiun dan penyesuaian

22

diri dengan peran-peran sosial (Santrock, 2006). Lansia merupakan usia

yang mendekati akhir siklus kehidupan manusia di dunia. Usia tahap ini

dimulai pada usia 60 tahun sampai akhir kehidupan (Hasan, 2006). Masa

lansia dibagi dalam tiga kategori yaitu: orang tua muda (young old) (65-74

tahun) , orang tua tua (old-old) (75-84 tahun) dan orang tua yang sangat

tua (oldest old) (85 tahun ke atas) (Papalia, 2005).

Tahap usia lanjut adalah tahap dimana terjadi penuaan dan penurunan.

Penurunan lebih jelas dan lebih dapat diperhatikan pada usia lanjut

daripada pada usia tengah baya. Penuaan merupakan perubahan kumulatif

pada makhluk hidup, termasuk tubuh, jaringan dan sel yang mengalami

kapasitas fungsional. Pada manusia, penuaan dihubungkan dengan

perubahan degeneratif pada kulit, tulang, jantung, pembuluh darah, paru-

paru, syaraf dan jaringan tubuh lainnya (Hasan, 2006). Penuaan terbagi

atas penuaan primer (primary aging) dan penuaan sekunder (secondary

aging). Pada penuaan primer tubuh melemah dan mengalami penurunan

karena proses normal yang alamiah. Pada penurunan sekunder terjadi

proses penuaan karena faktor-faktor ekstrinsik seperti lingkungan atau

perilaku (Hasan, 2006).

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa lansia

yang akan peneliti ambil adalah lansia menurut Santrock yaitu lansia

adalah orang-orang yang sudah berumur 60 tahun keatas sampai akhir

kehidupan. Masa lansia juga merupakan masa penyesuaian diri dimana

23

terjadi kurangnya kekuatan dan kesehatan, menatap kembali kehidupan,

dan penyesuaian diri terhadap lingkungan sosial.

b. Ciri-ciri lansia

Menurut Mubin dan Cahyadi (2006), fase lanjut usia ditandai

dengan perubahan-perubahan sebagai berikut :

a. Perubahan yang bersifat fisik :

1) Kekuatan fisik & motorik yang sangat kurang, terkadang ada

sebagian fungsi organ tubuhnya tidak dapat dipertahankan lagi.

2) Kesehatan sangat menurun sehingga sering sakit-sakitan.

b.Perubahan yang bersifat psikis :

1) Munculnya rasa kesepian, yang mungkin disebabkan karena putra

atau putrinya sudah besar dan berkeluarga,sehingga tidak tinggal

serumah lagi. Lansia biasanya suka memelihara cucu-cucu untuk

mengatasi rasa kesepian tersebut.

2) Berkurangnya kontak sosial dan tugas-tugas sosial akibat kondisi

fisik yang menurun.

3) Lekas merasa jenuh dan kadang-kadang menjadi cerewet.

4) Mengalami penurunan dalam hal ingatan, penglihatan atau

pendengaran dan kadang-kadang dapat menjadi pikun.

5) Suka bercerita atau bernostalgia tentang kehebatannya di masa

lampau.

6) Kehidupan keagamaan sangat baik, terutama dalam hal beribadah

dan beramal, karena dari segi usia rata-rata lansia sudah mendekati

24

kematian yang pasti datang menjemputnya. Lansia atau Masa

dewasa akhir jugaditandai dengan berbagai tantangan. Tantangan

ini termasuk penyesuaian pada masa pensiun, menyesuaikan diri

dengan perubahan dalam jaringan dukungan sosial, mengatasi

masalah kesehatan dan menghadapi kematian (Wayne & Llyod,

2006). Selain menghadapi kematian diri sendiri, lansia juga

kemungkinan menghadapi kematian pasangan, saudara kandung,

teman dan individu lain yang penting dalam hidupnya (Corr, Nabe

& Corr, 2003).

Menurut Erikson (dalam Haditono, 2004), tantangan dalam tahap

akhir perkembangan manusia adalah mencapai integritas ego. Individu yang

mencapai integritas (integrity) mampu untuk melihat masa lalu dengan

perasaan puas, menemukan makna dan tujuan hidup, sebaliknya

keputusasaan (despair) adalah kecenderungan untuk tinggal dalam

kesalahan masa lalu, meratapi pilihan yang tidak diambil dan merenung

tentang kematian yang semakin dekat dengan kepahitan. Erikson

menekankan bahwa lebih baik menghadapi masa depan dengan penerimaan

daripada tenggelam dalam penyesalan dan kesedihan.

Hasil yang diharapkan pada usia ini adalah pemenuhan dan

kepuasan hidup dan kesediaan untuk menghadapi kematian (Wayne &

Llyod, 2006). Tujuan tugas perkembangan lansia adalah menyelesaikan

konflik pada masa lalu & meraih makna hidup yang baru, baiksebagai

penerimaan akan masa lalu lansia maupun sebagai persiapan untuk

25

menghadapi kematian. Jika proses ini berhasil, hasilnya adalah integritas

(Integrity) dan kebijaksanaan (Wisdom) (Erickson & Erickson dalam Corr,

Nabe & Corr, 2003). Jika tidak berhasil, maka lansia akan merasa tidak puas

dengan hal yang telah dilakukan dalam hidupnya (Corr, Nabe & Corr,

2003).

Erickson (dalam Haditono, 2004) memandang bahwa lansia mencoba

untuk menemukan makna dalam hidup yang akan membantu lansia untuk

menghadapi kematian yang tidak dapat dielakkan. Ahli gerontologi Robert

Butler mengatakan bahwa lansia terlibat dalam proses yang disebut

meninjau kehidupan atau life review dimana lansia merefleksikan konflik

yang tidak dapat diselesaikan pada masa lalu untuk mendapatkan makna

bagi diri sendiri, menemukan makna hidup yang baru dan sesuai serta

mempersiapkan diri untuk kematian (Sigelman & Rider, 2003). Integritas

mengarah pada kemampuan untuk melihat kembali kehidupan seseorang

dan melihatnya sebagai hal yang memuaskan dan bermakna. Kemampuan

melihat hidup sebagai sesuatu yang memuaskan dan bermakna mengarah

pada penerimaan kematian. Individu yang putus asa (despair) memandang

hidup sebagai hal yang tidak memuaskan, mengalami penyesalan yang

besar, menghindari perubahan serta mengalami ketakutan akan kematian

(Lemme, 1995). Integritas sebagaimana yang digunkan dalam teori Erickson

merupakan kemampuan untuk menerima kenyataan hidup dan menghadapi

kematian tanpa rasa takut (Newman & Newman, 2006).

26

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa ciri-ciri

lansia yang akan diambil oleh peneliti berdasarkan ciri-ciri menurut Mubin

dan Cahyadi (2006), meliputi yaitu perubahan yang bersifat fisik dan

perubahan yang bersifat psikis.

4. Kesepian pada lansia

Kesepian pada lansia adalah dimana orang lanjut usia merasa

sendirian, merasa terisolasi, merasa tidak memiliki seorangpun untuk

dijadikan pelarian saat dibutuhkan serta kurangnya waktu untuk

berhubungan dengan lingkungannya (lingkungan sosial) baik dalam

keluarga ataupun disekitar tempat tinggal mereka (Santrock, 2002).

Pada umumnya masalah psikologis yang paling banyak terjadi pada

lansia adalah kesepian, kesepian merupakan perasaan terasing (terisolasi

atau kesepian) adalah perasaan tersisihkan, terpencil dari orang lain,

karena merasa berbeda dengan orang lain (Probosuseno, 2007). Kesepian

merupakan hal yang bersifat pribadi dan akan ditanggapi berbeda oleh

setiap orang, bagi sebagian orang kesepian merupakan yang bisa diterima

secara normal namun bagi sebagian orang kesepian bisa menjadi sebuah

kesedihan yang mendalam (Probosuseno, 2007).

Lansia yang mengalami kesepian seringkali merasa jenuh dan bosan

dengan hidupnya, sehingga dirinya berharap agar kematian segera datang

menjemputnya. Hal itu karena dirinya tidak ingin menyusahkan keluarga

dan orang-orang disekitarnya (Gunarsa, 2004). Pada saat lansia mengalami

kesepian, maka lansia tersebut akan merasa ketidakpuasan, kehilangan dan

27

ditress, namun hal ini berarti bahwa perasaan ini sama setiap waktu.

Kesepian adalah perasaan tersisihkan, ter-pencil dari orang lain karena

merasa berbeda dengan orang lain, tersisih dari kelompoknya, merasa

tidak diperhatikan oleh orang-orang disekitarnya, terisolasi dari

lingkungan, serta tidak ada seseorang tempat berbagi rasa dan pengalaman.

Kondisi ini menimbulkan perasaan tidak berdaya, kurang percaya diri,

ketergantungan, dan keterlantaran. Seseorang yang menyatakan dirinya

kesepian cenderung menilai dirinya sebagai individu yang tidak berharga,

tidak diperhatikan dan tidak dicintai. Rasa kesepian akan semakin

dirasakan oleh lanjut usia yang sebelumnya adalah seseorang yang aktif

dalam berbagai kegiatan yang menghadirkan atau berhubungan dengan

orang banyak (Hurlock, 2000).

Fenomena kesepian pada lanjut usia yang merupakan masalah

psikologis dapat dilihat dari: sudah berkurangnya kegiatan dalam

mengasuh anak-anak, berkurangnya teman atau relasi akibat kurangnya

aktifitas di luar rumah, kurangnya aktifitas sehingga waktu luang

bertambah banyak, meninggalnya pasangan hidup, ditinggalkan anak-

anak karena menempuh pendidikan yang lebih tinggi, atau meninggalkan

rumah untuk bekerja, anak-anak telah dewasa dan membentuk keluarga

sendiri (Baron & Byrne, 2005).

5. Faktor Penyebab Kesepian pada Lansia

Kesepian yang dialami oleh usia lanjut (Suardiman, 2011)

bersumber dan lebih terkait dengan:

28

a. Berkurangnya kontak sosial. Kontak sosial merupakan suatu hubungan

yang terjalin antara individu dengan yang lain atau lebih. Kontak sosial

yang dijalani oleh para lansia adalah suatu hubungan yang saling

ketergantungan dengan lain. Ketika para lansia mengalami suatu

peristiwa seperti ditinggalkan oleh orang yang dicintai membuat para

lansia tersebut tidak mau berinteraksi dengan yang lain dikarenakan

para lansia tersebut merasa tidak ada lagi yang bisa mengerti dirinya

sehingga para lansia tersebut merasa kesepian.

b. Absennya atau berkurangnya peran sosial, baik dengan anggota

keluarga, anggota masyarakat maupun teman kerja sebagai akibat

terputusnya hubungan kerja atau karena pensiun. Peran sosial bagi para

lansia sangat penting dalam melangsungkan kehidupannya tersebut.

Akan tetapi ketika lansia tersebut ditinggalkan oleh anak-anaknya

karena masing-masing sudah membentuk keluarga dan tinggal terpisah

di rumah atau di kota yang lain, berhenti dari pekerjaannya karena

pansiun sehingga kontak dengan teman kerja yang terputus dan

berkurang, dan kurang dilibatkannya para lansia dalam berbagai

kegiatan sehingga membuat para lansia tersebut merasa kesepian

dikarekakan para lansia tidak memiliki peran yang bisa menjadi

aktivitasnya.

c. Kehilangan perhatian dan dukungan dari lingkungan sosial yang

biasanya berkaitan dengan hilangnya kedudukan dapat menimbulkan

konflik atau keguncangan. Para lansia yang sudah berhenti dari

29

pekerjaannya kareena pansiun sehingga kontak dengan teman

bekerjanya juga terputus atau berkurang, dan mundur dari kegiatan

yang memungkinkan bertemu dengan orang banyak membuat para

lansia tersebut akan kehilangan perhatian dan dukungan dari

lingkungan sosial yang menganggap para lansia sudah tidak bisa

melakukan kegiatan lagi dikarenakan para lansia tersebut sudah ua dan

hal tersebut akan membuat para lansia tersebut merasa kesepian.

Dukungan sosial merupakan faktor utama yang melawan kesepian

(Tomaka, Thompson, & Palacios, 2006). Seperti yang telah disebutkan

sebelumnya, lansia yang merasa kesepian diakibatkan oleh kurangnya

dukungan sosial yang memadai. Maka, lansia dengan dukungan sosial

yang besar kemungkinan besar memiliki tingkat kesepian yang lebih

sedikit. Dukungan sosial mengarah pada pengalaman subjektif maupun

obgjektif dimana para lansia merasa terhubung secara sosial, memiliki

sumber daya sosial yang memadai, kedekatan dengan orang lain, atau juga

suatu rasa kebersamaan dalam kelompok.

Menurut Brehm (2002) ada empat hal yang menyebabkan seseorang

mengalami kesepian, yaitu :

a) Ketidakadekuatan dalam hubungan yang dimiliki seseorang

Menurut Brehm (2002) hubungan seseorang yang tidak adekuat

akan menyebabkan seseorang tidak puas akan hubungan yang

dimiliki. Ada banyak alasan seseorang merasa tidak puas dengan

hubungan yang tidak adekuat. Rubenstein dan Shaver (1982)

30

menyimpulkan beberapa alasan yang banyak dikemukakan oleh orang

yang kesepian, yaitu sebagai berikut :

1) Being unattached; tidak memiliki pasangan, tidak memiliki

partnern seksual, berpisah dengan pasangannya atau pacarnya.

2) Alienation; merasa berbeda, merasa tidak dimengerti, tidak

dibutuhkan dan tidak memiliki teman dekat.

3) Being Alone; pulang ke rumah tanpa ada yang menyambut,

selalu sendiri.

4) Forced isolation; dikurung di dalam rumah, dirawat inap di

rumah sakit, tidak bisa kemana-mana.

5) Dislocation; jauh dari rumah (merantau), memulai pekerjaan

atau sekolah baru, sering pindah rumah, sering melakukan

perjalanan (dalam Brehm 1992).

b) Terjadi perubahan terhadap apa yang diinginkan seseorang dari suatu

hubungan Menurut Brehm (1992) kesepian juga dapat muncul karena

terjadi perubahan terhadap apa yang diinginkan seseorang dari suatu

hubungan. Pada saat tertentu hubungan sosial yang dimiliki seseorang

cukup memuaskan. Sehingga orang tersebut tidak mengalami kesepian.

Tetapi disaat lain hubungan tersebut tidak lagi memuaskan karena orang

itu telah merubah apa yang diinginkannya dari hubungan tersebut.

Menurut Peplau (dalam Brehm, 1992), perubahan itu dapat muncul dari

beberapa sumber yaitu :

31

1) Perubahan mood seseorang. Jenis hubungan yang diinginkan

seseorang ketika sedang senang berbeda dengan jenis

hubungan yang diinginkan ketika sedang sedih. Bagi beberapa

orang akan cenderung membutuhkan orangtuanya ketika

sedang senang dan akan cenderung membutuhkan teman-

temannya ketika sedang sedih.

2) Usia. Seiring dengan bertambahnya usia, perkembangan

seseorang membawa berbagai perubahan yang akan

mempengaruhi harapan atau keinginan orang itu terhadap suatu

hubungan. Jenis persahabatan yang cukup memuaskan ketika

seseorang berusia 15 tahun mungkin tidak akan memuaskan

orang tersebut saat berusia 25 tahun.

3) Perubahan situasi. Banyak orang tidak mau menjalain hubungan

emosional yang dekat dengan orang lain ketika mereka sedang

membina karir. Namun, ketika karir sudah mapan orang tersebut

akan dihadapkan pada kebutuhan yang besar akan suatu

hubungan yang memiliki komitmen secara emosional.

Jadi, menurut Brehm (1992), pemikiran, harapan dan

keinginan seseorang terhadap hubungan yang dimiliki dapat

berubah. Jika hubungan yang dimiliki orang tersebut tidak ikut

berubah sesuai dengan pemikiran, harapan dan keinginannya maka

orang itu akan mengalami kesepian.

32

c) Self-esteem dan causal attribution

Kesepian berhubungan dengan self-esteem yang rendah. Orang yang

memiliki self-esteem yang rendah cenderung merasa tidak nyaman

pada situasi yang beresiko secara sosial (misalnya berbicara didepan

umum dan berada di kerumunan orang yang tidak dikenal). Dalam

keadaan seperti ini orang tersebut akan menghindari kontak-kontak

sosial tertentu secara terus menerus akibatnya akan mengalami

kesepian.

d) Perilaku interpersonal

Perilaku interpersonal seseorang yang kesepian akan menyelidiki

orang itu untuk membangun suatu hubungan dengan orang lain.

Dibandingkan dengan orang yang tidak mengalami kesepian, orang

yang mengalami kesepian akan menilai orang lain secara negatif,

mereka tidak begitu menyukai orang lain, tidak mempercayai orang

lain, menginterpretasikan tindakan dan intensi (kecenderungan untuk

berperilaku) orang lain secara negatif, dan cenderung memegang

sikap-sikap yang bermusuhan.

Berdasarkan uraian di atas didapat bahwa faktor penyebab kesepian

yang dialami oleh para lansia berdasarkan Suardiman (2011) yaitu

berkurangnya kontak sosial, kurangnya peran sosial baik dengan anggota

keluarga atau anggota masyarakat maupun teman kerja sebagai akibat

terputusnya hubungan kerja atau karena pansiun, dan kehilangan perhatian

dan dukungan dari lingkungan sosial yang biasanya berkaitan dengan

33

hilangya dapat menimbulkan konflik atau keguncangan. Sedangkan

menurut Brehm (2002) faktor yang menyebabkan lansia kesepian ada 4

(empat) faktor yaitu: ketidakadekuatan dalam hubungan yang dimiliki

seseorang, terjadi perubahan terhadap apa yang diinginkan seseorang dari

suatu hubungan, self-esteem dan causal attribution, dan perilaku

interpersonal. Setelah dijelaskan tentang faktor penyebab kesepian pada

lansia berdasarkan dua pendapat maka dapat disimpulkan bahwa faktor

penyebab kesepian pada lansia untuk penelitian ini adalah menurut

Suardiman (2011) yaitu berkurangnya kontak sosial, kurangnya peran

sosial baik dengan anggota keluarga atau anggota masyarakat maupun

teman kerja sebagai akibat terputusnya hubungan kerja atau karena

pansiun, dan kehilangan perhatian dan dukungan dari lingkungan sosial

yang biasanya berkaitan dengan hilangya dapat menimbulkan konflik atau

keguncangan.

4) Upaya untuk mengatasi kesepian

Kesepian disebabkan oleh banyak faktor, peristiwa dan keadaan,

baik yang berasal dari luar maupun dari dalam diri individu. Upaya

untuk mengatasi kesepian tersebut berdasarkan diri lansia itu sendiri,

banyak cara untuk mengatasi kesepian yaitu dengan:

a. Dukungan sosial

Dukungan sosial adalah suatu dorongan atau bantuan nyata

seperti kenyamanan, perhatian, penghargaan, serta hal-hal yang

dapat memberikan keuntungan yang diberikan oleh orang-orang

34

disekitar individu (pasangan, teman dekat, tetangga, saudara, anak,

keluarga, dan masyarakat sekitar) kepada individu yang sedang

mengalami kesulitan, agar individu tersebut merasa dicintai,

diperhatikan, dihargai dan bernilai. Untuk memperoleh dukungan

sosial tersebut para lansia perlu berinteraksi dengan orang lain

seperti membuat kontak sosial. (Marini & Hayati, 2009)

b. Latihan Keterampilan Sosial

Latihan keterampilan sosial yaitu suatu kegiatan untuk melatih para

lansia dalam keterampilan sosial sehingga para lansia merasa

nyaman dalam situasi sosial dan melakukan interaksi sosial. Latihan

keterampilan sosial merupakan suatu intervensi dengan teknik

modifikasi perilaku didasarkan prinsip-prinsip bermain peran,

praktek dan umpan balik guna meningkatkan kemampuan klien

dalam menyelesaikan masalah pada klien yang kesepian (Mashitoh,

2011).

c. Terapi musik angklung

Latihan musik angklung adalah sebuah terapi yang menggunakan

alat musik tradisional yang memiliki alunan suara yang lembut yang

dapat memberi pengaruh terhadap fungsi fisiologi dan psikologis

terutama pada lansia yang mengalami kesepian (Ariani, 2012).

d. Terapi aktivitas kelompok merupakan upaya yang dapat mengurangi

kesepian yaitu melakukan kegiatan yang terkait hobi dan lain-lain.

Terapi aktivitas kelompok adalah metode pemberian terapi yang

35

menggunakan beberapa bentuk yang dilakukan secara bersama-

sama dan untuk menguatkan hubungan interpersonal antar individu

(Setyoadi & Kushariyadi, 2011).

Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa upaya

yang akan dilakukan untuk mengurangi kesepian pada lansia dapat

dilakukan dengan beberapa cara yaitu dukungan sosial adalah suatu

dorongan atau bantuan nyata seperti kenyamanan, perhatian, penghargaan,

serta hal-hal yang dapat memberikan keuntungan yang diberikan oleh

orang-orang disekitar individu (pasangan, teman dekat, tetangga, saudara,

anak, keluarga, dan masyarakat sekitar) kepada individu yang sedang

mengalami kesulitan, agar individu tersebut merasa dicintai, diperhatikan,

dihargai dan bernilai (Marini & Hayati, 2009). Latihan keterampilan sosial

yaitu suatu kegiatan untuk melatih para lansia dalam keterampilan sosial

sehingga para lansia merasa nyaman dalam situasi sosial dan melakukan

interaksi sosial (Mashitoh, 2011). Latihan musik angklung adalah sebuah

terapi yang menggunakan alat musik tradisional yang memiliki alunan

suara yang lembut yang dapat memberi pengaruh terhadap fungsi fisiologi

dan psikologis terutama pada lansia yang mengalami kesepian (Ariani,

2012). Terapi kelompok untuk mengurangi kesepian dan menurunkan

tekanan darah pada lansia penderita hipertensi yaitu terapi yang

menggunakan pendekatan interaktif, maksud pendekatan interaktif adalah

terapis mengangkat sebuat tema dan kemudian tema tersebut didiskusikan

lebih luas dalam kelompok, faktor-faktor penyebab kesepian pada lansia

36

dijadikan landasan untuk menentukan tema-tema apa yang akan diangkat

dalam terapi kelompok (Putra, Nashori, dan Sulistyarini, 2012). Terapi

aktivitas kelompok adalah metode pemberian terapi yang menggunakan

beberapa bentuk yang dilakukan secara bersama-sama dan untuk

menguatkan hubungan interpersonal antar individu (Setyoadi &

Kushariyadi, 2011).

Berdasarkan beberapa terapi yang dapat digunakan untuk

menurunkan kesepian, dan untuk penelitian ini menggunakan terapi

aktivitas kelompok. Alasan peneliti mengambil penelitian dengan

menggunakan terapi aktivitas kelompok untuk penurunan kesepian pada

lansia, karena terapi aktivitas kelompok yang lebih efektif dan diperkuat

denan penelitian yang telah dilakukan oleh Putra, Nashori, dan Sulistyarini

(2012) tentang terapi kelompok untuk mengurangi kesepian dan

menurunkan tekanan darah pada lansia penderita hipertensi. Terapi

aktivitas kelompok adalah metode pemberian terapi yang menggunakan

beberapa bentuk yang dilakukan secara bersama-sama dan untuk

menguatkan hubungan interpersonal antar individu (Setyoadi &

Kushariyadi, 2011). Terapi aktivitas kelompok merupakan suatu

psikoterapi yang dilakukan sekelompok lansia secara bersama-sama

dengan para lansia yang lain yang dipimpin oleh seorang terapis, petugas

kesehatan jiwa ataupun psikolog. Bertujuan untuk memberikan stimulus

bagi lansia yang mengalami gangguan interpersonal atau kesepian (Keliat

& Wiyono, 2005). Di dalam terapi kelompok terdapat juga beberapa

37

kegiatan yang yang dapat mengurangi kesepian pada lansia antara lain,

senam lansia, terapi okupasi, Life Review Terapi, dan psikodrama

(Setyoadi & Kushariyadi, 2011).

Berdasarkan uraian di atas maka terapi aktivitas kelompok yang

cocok untuk menjadi intervensi pada penelitian ini yaitu dengan melihat

kondisi para lansia yang akan diteliti adanya terisolasi, adanya rasa

penolakan, merasa tidak dicintai, merasa disalah mengerti, tidak memiliki

sahabat, malas membuka diri, bosan, dan gelisah sehingga pada penelitian

ini terapi yang digunakan untuk menurunkan kesepian pada lansia adalah

terapi aktivitas kelompok.

B. Terapi Aktivitas kelompok

1. Pengertian Terapi Aktivitas Kelompok

Terapi aktivitas merupakan suatu kegiatan yang diberikan kepada

lansia dan untuk dilakukan secara bersama-sama. Terapi aktivitas

kelompok ini lebih mengarah terhadap kegiatan-kegiatan seperti senam

bersama, melakukan keterampilan bersama-sama, sehingga individu atau

lansia lebih bersemangat dan untuk melatih gerakan fisik yang sudah

menurun pada lansia (Keliat, 2005). Terapi aktivitas kelompok adalah

sebuah treatment yang dilakukan dengan cara menyertakan beberapa orang

dalam sebuah kelompok kecil yang didampingi oleh satu terapis atau lebih

yang terlatih dalam proses terapi aktivitas kelompok (Brabendem, Fallon,

& Smolar, 2004). Menurut Yalom dalam Stuaart & Laraia (2001), terapi

38

aktivitas kelompok adalah suatu kegiatan yang anggota kelompok

mungkin datang dari berbagai latar belakang yang harus ditangani sesuai

dengan keadaan psikis seperti agresif, takut, kebencian, kompetitif,

kesamaan, ketidaksamaan, kesukaan, kesepian, dan menarik. Semua

kondisi ini akan mempengaruhi dinamika kelompok, ketika anggota

kelompok memberi dan menerima umpan balik yang berarti dalam

berbagai interaksi yang terjadi dalam kelompok.

Terapi aktivitas kelompok ini merupakan suatu kegiatan yang

dilakukan untuk menciptakan hubungan yang harmonis antar individu lain

dengan melakukan kegiatan bersama-sama dengan individu yang lain,

guna untuk meningkatkan dan membangun hubungan yang baik dengan

orang lain secara sosial (Kelliat dan wiyono, 2005). Terapi aktivitas

kelompok ini merupakan kumpulan individu yang saling berhubungan dan

memiliki masalah yang sama dengan menggunakan aktivitas sebagai terapi

(Kelliat dan wiyono, 2005). Terapi kelompok merupakan suatu psikoterapi

yang dilakukan sekelompok individu secara bersama-sama dengan jalan

berdiskusi satu sama lain yang dipimpin atau diarahkan oleh seorang

therapist atau petugas kesehatan jiwa yang telah terlatih (Yosep, 2007).

Terapi kelompok adalah terapi psikologi yang dilakukan secara kelompok

untuk memberikan stimulasi bagi individu dengan gangguan interpersonal

(Yosep, 2008). Terapi aktivitas kelompok adalah bentuk terapi yang

diberikan kepada individu yang dibentuk dalam kelompok, dan merupakan

39

suatu pendekatan perubahan perilaku melalui media kelompok (Lundry &

Jenes dalam Setyoadi & Kushariyadi, 2011).

Terapi aktivitas kelompok merupakan salah satu terapi modalitas

yang dilakukan perawat kepada sekelompok pasien yang mempunyai

masalah keperawatan yang sama (Keliat dalam Sumaila, 2015). Terapi

modalitas adalah terapi utama dalam keperawatan jiwa. Terapi ini

diberikan dalam upaya mengubah perilaku pasien dari perilaku maladaptif

menjadi perilaku adaptif (2004). Terapi modalitas adalah terapi dalam

keperawatan jiwa, dimana perawat mendasarkan potensi yang dimiliki

pasien (modal-modality) sebagai titik tolak terapi atau penyembuhannya

(Sarka, 2008).

Terapi aktivitas kelompok ini diberikan kepada lansia yang

mengalami kesepian yaitu guna lansia tersebut merasakan kebahagiaan,

tidak merasa sendiri dengan melakukan kegiatan secara bersama-sama

sehingga dapat menurunkan kesepian yang terjadi pada lansia tersebut

(Keliat, 2005). Terapi aktivitas kelompok merupakan salah satu bentuk

kegiatan terapi psikologik yang dilakukan dalam sebuah aktivitas dan

diselenggarakan secara kolektif dalam rangka pencapaian penyesuaian

psikologis, perilaku dan pencapaian adaptasi optimal pada individu

(Maryam & Siti, 2008).

Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa terapi

aktivitas kelompok merupakan suatu kegiatan yang diberikan kepada

individu dan dilakukan secara bersama-sama dengan individu yang lain,

40

guna untuk meningkatkan dan membangun hubungan yang baik dengan

orang lain secara sosial. Terapi aktivitas kelompok ini merupakan

kumpulan individu yang saling berhubungan dan memiliki masalah yang

sama dengan menggunakan aktivitas sebagai terapi.

2. Bentuk Terapi Aktivitas Kelompok

Bentuk-bentuk aktivitas kelompok yang akan diberikan adalah

berdasarkan bentuk-bentuk dari terapi modalitas. Bentuk-bentuk aktivitas

yang akan diberikan tersebut dapat dilakukan untuk menyibukkan

seseorang secara produktif yaitu sebagai suatu media untuk belajar,

bersosialisasi dan berkembang, sekaligus sebagai sumber kepuasan

emosional maupun fisik (Setyoadi & Kushariyadi, 2011). Bentuk-bentuk

terapi aktivitas kelompok berdasarkan terapi modalitas (Setyoadi &

Kushariyadi, 2011) yang digunakan oleh para lansia sebagai berikut:

a. Life Review Therapy

Life Review Therapy ini akan membawa seseorang untuk bisa

menjadi lebih akrab pada realita kehidupan. Life Review Therapy

membantu seseorang untuk mengaktifkan ingatan jangka panjang di

mana akan terjadi mekanisme recall tentang kejadian pada kehidupan

masa lalu hingga sekarang. Dengan cara seperti ini lansia akan lebih

mengenal siapa dirinya dan dengan recall tersebut. Haight dan Dias

dalam (Setyoadi & Kushariyadi, 2011) menguji proses dan hasil dari

life review therapy tersebut dapat mengurangi depresi, mengurangi

kesepian, meningkatkan kepercayaan diri, dan meningkatkan

41

kemampuan individu untuk beraktivitas sehari-hari. Terapi ini juga

bertujuan untuk meningkatkan gairah hidup dan harga diri dengan

menceritakan pengalaman hidupnya. Misalnya bercerita di masa

mudanya.

b. Psikodrama

Psikodrama adalah metode psikoterapi kelompok di mana susunan

kepribadian, hubungan interpersonal, konflik, dan masalah emosional

digali dengan menggunakan metoda dramatik spesifik (Pramesti, dalam

Setyoadi & Kushariyadi, 2011). Psikodrama merupakan upaya

pemecahan masalah melalui drama, di mana masalah yang didramakan

adalah masalah psikis yang dialami oleh individu (Utama, dalam

Setyoadi & Kushariyadi, 2011). Terapi psikodrama diciptakan oleh

Moreno, seorang dokter psikiatri dari Vienna. Terapi psikodrama

bermanfaat terutama bagi individu yang sulit menyatakan suatu

peristiwa atau perasaan secara verbal (Kurniadi, dalam Setyoadi &

Kushariyadi, 2011) dan lansia yang mengalami kesepian dan depresi.

Terapi psikodrama ini juga bertujuan untuk mengekspresikan

perasaan lansia. Tema dapat dipilih sesuai dengan masalah lansia

yaitu kesepian.

c. Terapi Okupasi

Setyoadi & Kushariyadi (2011) menyatakan bahwa, terapi

okupasi adalah suatu ilmu dan seni pengarahan partisipasi seseorang

untuk melaksakan suatu tugas tertentu yang telah ditentukan dengan

42

maksud untuk memperbaiki, memperkuat, meningkatkan kemampuan,

serta mempermudah belajar keahlian atau fungsi yang dibutuhkan

dalam proses penyesuaian diri dengan lingkungan. Terapi okupasi lebih

dititikberatkan pada pengenalan kemampuan yang masih ada pada

seseorang kemudian memelihara atau meningkatkannya sehingga

mampu mengatasi masalah-masalah yang diharapkan oleh seseorang

tersebut. Berdasarkan penelitian dalam Kaharingan, Bidjuni, &

Karundeng (2015) menyatakan bahwa Menjadi seseorang yang berarti

dalam hidup tampaknya sangat penting saat memasuki periode lansia.

Pada masa ini, lansia harus dapat menerima, bersikap positif serta dapat

menjalani masa tuanya dengan tenang. Lansia akan menghadapi

berbagai persoalan seperti perasaan kesepian, menurunnya kondisi fisik

dan kognitif, perasaan tidak mampu, kematian pasangan atau orang-

orang terdekat, hilangnya dukungan sosial dan penurunan kesempatan

dalam hal ekonomi karena tidak bekerja atau pensiun (Suprapto, 2013).

Terapi okupasi ini baik diberikan kepada seseorang yang

mengalami kurangnya konsentrasi, mengalami kesepian, depresi. Terapi

okupasi ini juga bertujuan untuk memanfaatkan waktu luang dan

meningkatkan produktivitas dengan membuat atau menghasilkan karya

dari bahan yang telah disediakan. Misalnya: membuat kipas, membuat

keset, membuat bunga dari bahan yang mudah didapatkan (pelepah

pisang, sedotan, botol bekas, dan lain-lain), menjahit dari kain, merajut

dari benang, kerja bakti yaitu membersihkan lingkungan sekitar. Pada

43

penelitian ini bentuk terapi okupasi yang akan dilakukan adalah

membuat bunga dari sedotan, dan untuk membuat sedotan tersebut

adalah lansia yang tidak mengalami kekakuan pada jari tangan, tidak

mengalami tremor berat, dan lansia yang tidak memiliki gangguan

penglihatan. Alasan peneliti menggunakan sedotan untuk membuat

bunga, dilihat dari kondisi fisik yang dimiliki oleh para lansia. Kondisi

fisik yang dialami oleh para lansia mengalami penurunan terutama pada

gerakan motoriknya. Kegiatan okupasi tersebut para lansia dapat

bersosialisasi dan agar memilki kegiatan sehingga tidak merasa sendiri.

d. Terapi Tertawa

Terapi tertawa merupakan suatu terapi untuk mencapai

kegembiraan di dalam hati yang dikeluarkan melalui mulut dalam

bentuk suara tawa, senyuman yang menghias wajah, perasaan hati yang

lepas dan gembira, dada yang lapang, peredaran darah yang lancar

sehingga dapat mencegah penyakit, memelihara kesehatan, serta

menghilangkan stres (Robinson, 1990; Dahl dan O’Neal, 1993 dalam

Setyoadi & Kushariyadi, 2011).

Hipotesis fisiologis menyatakan bahwa tertawa melepaskan

hormon endorfin ke dalam sirkulasi sehingga tubuh menjadi lebih

nyaman dan rileks. Saat tertawa, tidak hanya hormon endorfin saja yang

keluar tetapi banyak hormon positif lainnya yang muncul. Keluarnya

hormon positif ini akan menyebabkan lancarnya peredaran darah dalam

tubuh sehingga fungsi kerja organ berjalan dengan normal.

44

Simon (dalam Setyoadi & Kushariyadi, 2011) menunjukkan bahwa

hormon dapat memengaruhi persepsi individu lansia tentang kesehatan

dan moral, berkaitan dengan proses penuaan yang lancar. Peneliti dari

Loma Linda University, California, mengungkapkan bahwa tertawa

dapat dijadikan terapi untuk sejumlah penyakit, diantaranya serangan

jantung dan juga diabetes. Terapi tertawa diberikan pada klien untuk

meringankan penyakit bronkitis, asma, dan migren. Tertawa juga bisa

meningkatkan kapasitas paru-paru dan kadar oksigen dalam darah.

e. Terapi Rekreasi

Terapi rekreasi adalah kegiatan penyegaran kembali tubuh dan

pikiran dan kegiatan yang menggembirakan hati seperti hiburan atau

piknik. Rekreasi dapat meningkatkan daya kreasi manusia dalam

mencapai keseimbangan antara bekerja dan beristirahat. Terapi rekreasi

pada lansia adalah aktivitas yang dilakukan pada waktu senggang yang

bertujuan untuk membentuk serta meningkatkan kembali kesegaran

fisik, mental, pikiran, dan daya rekreasi (individul maupun kelompok)

yang hilang akibat aktivitas rutinitas sehari-hari dengan dengan cara

mencari kesenangan, hiburan, dan kesibukan yang berbeda.

Terapi rekreasi yang diberikan kepada lansia akan memengaruhi

kondisi fisik dan psikis lansia. Secara fisik terapi rekreasi mampu

membantu lansia dalam mengembalikan atau memperbaiki kondisi fisik

yang sudah lama jarang di gerakkan akibat hospitalisasi yang lama.

Secara psikis terapi rekreasi akan memengaruhi psikis lansia seperti

45

membantu menyegarkan otak dan pikiran, membuat perasaan perasaan

menjadi tenang, senang, serta nyaman.

Dengan demikian, lansia tidak akan merasa cemas, stres, maupun

depresi. Terapi rekreasi bertujuan untuk menciptakan dan membina

hubungan manusia, mempertahankan nilai-nilai budaya, menimbulkan

kesenangan dan kepuasan karena dapat memenuhi rasa ingin tahu, dan

memulihkan kesehatan jasmani dan rohani. Terapi rekreasi ini cocok

diberikan kepada lansia yang baru keluar dari rumah sakit setelah

perawatan selama lebih dari dua minggu, lansia yang sedang

mengalami cemas, stres, maupun depresi, dan lansia yang mempunyai

penyakit kronis.

f. Terapi Hewan

Terapi hewan (animal therapy) adalah terapi modalitas/terapi

aktivitas kelompok yang menggunakan hewan peliharaan sebagai

medianya. Hewan yang digunakan adalah hewan yang berfungsi khusus

sebagai teman sehari-hari, setia pada majikan, dan memiliki

kemampuan menarik tertentu seterti menyanyi, misalnya kucing dan

burung. Dr. L. Suryantha Chandra, psikiater dan Direktur Utama

Sanatorium Dharmawangsa Jakarta, mengatakan bahwa mempunyai

hewan peliharaan bisa menjadi salah satu unsur dalam terapi pada

gangguan jiwa. Dengan demikian, dianjurkan orang yang mengalami

gangguan jiwa (depresi), agar mempunyai hewan peliharaan.

46

Hewan peliharaan mempunyai fungsi untuk memenuhi kebutuhan

jiwa manusia, mengisi rasa kesepian, dan juga sebagai tempat untuk

mencurahkan perasaan. Terapi hewan ini juga bertujuan untuk dapat

menyembuhkan hati yang patah, impian yang hilang, serta ide dan

pikiran yang buruk, dapat membantu seseorang untuk mengurangi

kecemasan melawan penyakit, mengusir kesepian, dan depresi,

meningkatkan interaksi sosial, bahkan dapat memperpanjang umur.

Selain itu terapi hewan dapat juga untuk membuat seseorang menjadi

tenang dan menanggulangi depresi, melawan penyakit jantung,

meningkatkan sistem kekebalan tubuh, dan meningkatkan kepercayaan

diri dan harga diri individu dengan gangguan fisik dan seksual.

g. Terapi Spiritual

Terapi spiritual adalah terapi dengan pendekatan terhadap

kepercayaan yang dianut oleh klien dengan cara memberikan

pencerahan. WHO menetapkan unsur spiritual (agama) sebagai salah

satu dari empat unsur kesehatan. Keempat unsur kesehatan tersebut

adalah sehat fisik, sehat psikis, sehat sosial, dan sehat spiritual.

Pendekatan ini diadopsi oleh psikiater Amerika Serikat (The American

Psychiatric Association, 1992) yang dikenal dengan pendekatan bio-

psiko-sosio-spiritual. Dari sudut ilmu kedokteran jiwa atau kesehatan

jiwa, doa dan zikir (psikoreligius terapi) merupakan terapi psikiatri

setingkat lebih tinggi daripada psikoterapi biasa.

47

Hal ini dikarenakan doa dan zikir mengandung unsur spiritual yang

dapat membangkitkan harapan (hope) dan rasa percaya diri (self

confidence) pada diri seseorang yang sedang sakit sehingga kekebalan

tubuh serta proses penyembuhan dapat meningkat. Penelitian Young

(1993) dalam (Setyoadi & Kushariyadi, 2011) menunjukkan bahwa

praktik spiritual klien lansia dapat meningkatkan perasaan produktivitas

dan kemampuan beradaptasi yang membantu dalam menghadapi

individu yang sakit kronis.

Hasil penelitian mengenai terapi psikoreligius menurut Larson

(1992) dalam (Setyoadi & Kushariyadi, 2011) yang melakukan studi

banding pada klien lansia dengan klien usia muda yang akan menjalani

operasi. Hasil dari studi tersebut menunjukkan bahwa klien lansia

dengan tingkat religius tinggi serta banyak berdoa atau berzikir kurang

mengalami ketakutan, kecemasan, tidak takut mati, dan tidak menunda-

nunda jadwal operasi, dibandingkan dengan klien usia muda yang

tingkat religiusnya rendah. Terapi spiritual ini juga bertujuan untuk

mereduksi lamanya waktu perawatan individu gangguan psikis,

memperkuat mentalitas dan konsep diri individu. Individu dengan

gangguan psikis berasal dari persepsi yang salah terkait dengan dirinya,

orang lain dan lingkungan, dengan terapi spiritual maka individu akan

dikembalikan persepsinya terkait dengan dirinya, orang lain dan

lingkungan. Terapi spiritual juga mempunyai efek positif dalam

menurunkan stres yang dialami oleh individu.

48

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa bentuk-

bentuk terapi aktivitas kelompok berupa terapi okupasi, life review

therapy, psikodrama, terapi tertawa, terapi rekreasi, terapi hewan, dan

terapi spiritual. Bentuk terapi aktivitas kelompok yang akan dipakai untuk

penelitian ini adalah terapi aktivitas kelompok yang diambil menurut

Setyoadi & Kushariyadi yaitu terapi okupasi, life review therapy, dan

psikodrama untuk menurunkan kesepian pada lansia. Alasan peneliti

menggunakan terapi okupasi, psikodrama dan life review karena terapi

yang lain seperti terapi spiritual, terapi rekreasi, terapi hewan sudah pernah

dilakukan seperti lansia mengikuti pengajian, pergi piknik bersama dan

mereka sudah memiliki hewan peliharaan di rumah. Sehingga ketiga

bentuk terapi yaitu terapi okupasi yaitu terapi ini diberikan kepada lansia

guna para lansia dapat mengisi waktu luang dengan berkumpul dan

bersosialisasi dengan lansia dan melatih motorik kasarnya dengan

membuat suatu karya seperti membuat bunga dari sedotan , life review

therapy yaitu suatu terapi yang diberikan kepada lansia guna para lansia

tersebut berbagi pengalaman hidupnya kepada para lansia yang lain, dan

psikodrama yaitu suatu terapi yang diberikan kepada para lansia guna para

lansia dapat mengekspresikan perasaan-perasaan yang ada didalam

dirinya, sehingga ketiga bentuk terapi tersebut yang efektif untuk

dilakukan berdasarkan kondisi lansia yang akan menjadi subjek penelitian

yaitu lansia yang memiliki aspek kesepian seperti terisolasi, merasa disalah

49

mengerti, merasa tidak dicintai, tidak memiliki sahabat, malas membuka

diri, bosan, dan gelisah.

3. Tujuan Terapi Aktivitas Kelompok

Tujuan terapi aktivitas kelompok yang akan diberikan kepada para lansia

yang kesepian menurut Yosep (2009) adalah:

a. Memantau dan meningkatkan hubungan interpersonal

Diharapkan lansia yang mengikuti terapi aktivitas kelompok ini, dapat

meningkatkan hubungan interpersonal terhadap orang lain dan

lingkungan sekitar.

b. Memberi tanggapan terhadap orang lain

Diharapkan subjek dapat bersosialisasi dan memberi tanggapan ketika

berinteraksi dengan orang lain.

c. Mengekspresikan ide dan tukar persepsi

Diharapkan lansia setelah mengikuti terapi aktivitas kelompok, lansia

dapat mengekspresikan ide ataupun perasaan yang negatif dan

mengubahnya menjadi persepsi yang positif.

d. Menerima stimulus eksternal yang berasal dari lingkungan

Diharapkan lansia mampu menerima stimulus yang berasal dari

lingkungan dengan baik sehingga tidak beranggapan negatif terhadap

lingkungan sekitar.

50

e. Mengekpresikan ide serta menerima stimulus eksternal.

Diharapkan lansia dapat mengekspresikan ide dan perasaannya dengan

baik dan lebih positif ketima lansia menerima stimulus dari

lingkungan sekitarnya.

4. Langkah Kegiatan Terapi Aktivitas Kelompok

Terapi aktivitas kelompok merupakan suatu kegiatan yang diberikan

kepada individu dan dilakukan secara bersama-sama dengan individu yang

lain, guna untuk meningkatkan dan membangun hubungan yang baik

dengan orang lain secara sosial (Keliat, 2005).

Individu mempunyai kapasitas untuk tumbuh dan berkembang.

Dalam kegiatan terapi aktivitas kelompok berdasarkan beberapa bentuk

yaitu terapi okupasi, life review therapy, dan psikodrama (Setyoadi &

Kushariyadi, 2011) ini akan diberikan beberapa langkah seperti berikut:

1) Semua lansia akan mengikuti kegiatan life review teraphy yang

akan dilaksanakan guna agar lansia yang satu dengan yang lain

mengenal dan dapat bersosialisasi. Life review teraphy bertujuan

untuk meningkatkan gairah hidup dan harga diri pada lansia. Dalam

kegiatan ini para lansia diminta untuk melihat kembali kehidupan

sebelumnya dengan meminta pada para lansia tersebut untuk

menceritakan pengalaman-pengalaman yang pernah terjadi dalam

hidup para lansia masing-masing.

51

2) Semua lansia akan mengikuti kegiatan psikodrama dengan

bertujuan agar para lansia dapat mengekspresikan perasaan terhadap

masalah yang sedang dialami oleh para lansia. Dengan kegiatan

psikodrama dilakukan dengan beberapa tahap yaitu tahap

sosiometri (intro), warming up (persiapan), tahap action (tahap

pelaksanaan) dengan menggunakan teknik monodrama, dan teknik

cermin. Tahap sosiometri (intro) yaitu pembukaan untuk

memperkenalkan diri dari masing-masing subjek lansia dan untuk

melihat seberapa besar kesediaan dalam mengikuti kegiatan

psikodrama ini, tahap persiapan (warming up) yaitu merupakan

tahap dimana untuk memotivasi setiap anggota kelompok agar setiap

anggota kelompok siap berpartisipasi secara aktif dalam permainan,

menentukan tujuan permainan, menciptakan perasaan aman dan saling

percaya pada antar anggota kelompok, tahap pelaksanaan (action) yaitu

tahap dimana kegiatan psikodrama akan mulai dinainkan dengan

menggunakan beberapa teknik antara lain: monodrama yaitu protagonis

memainkan semua bagian tindakan yang jelas dan tidak

menggunakan ego (peran) pembantu, dan teknik cerminan yaitu

protagonis memperhatikan dari luar tahap sementara seorang ego

pembantu mencerminkan kata-kata, mimik, dan postur protagonis

(Setyoadi & Kushariyadi, 2011).

Diharapkan para lansia tersebut dapat mengekspresikan

perasaan yang tidak dapat diluapkan dalam diri pada para lansia

masing-masing terhadap permasalahan yang sedang para lansia

52

hadapi. Dengan psikodrama ini para lansia dapat berbagi terhadap

lansia lainnya sehingga para lansia lainnya dapat merasakan yang

sedang dirasakan oleh para lansia yang memiliki masalah tersebut.

Kegiatan ini dapat membantu seseorang atau para lansia untuk

mengembangkan keterampilan personal sehingga dapat mengurangi

perasaan terisolasi.

3) Semua lansia mengikuti kegiatan aktivitas okupasi yang akan

diberikan kepada para lansia. Kegiatan aktivitas okupasi yang akan

dilakukan, diharapkan agar para lansia tersebut dapat berkumpul

dengan para lansia agar mereka dapat berbagi satu dengan yang

lain agar semua memahami dan sambil membuat bunga dari

sedotan. Menurut penelitian Graff (2007), salah satu cara untuk

mengoptimalkan fungsi kognitif yang berdampak terhadap

masalah psikologis yang dialami oleh lansia dengan menggunakan

terapi okupasi, sehingga terapi okupasi ini dapat membantu

mengurangi masalah psikologis seperti kesepian yang dialami oleh

para lansia. Terapi Okupasi merupakan suatu bentuk psikoterapi

suportif berupa aktivitas-aktivitas yang membangkitkan

kemandirian secara manual, kreatif dan edukasional untuk

menyesuaikan diri dengan lingkungan dan meningkatkan derajat

kesehatan fisik dan mental pasien serta kebermaknaan hidup

lansia, seperti merangkai bunga dari sedotan. Terapi okupasi

bertujuan mengembangkan, memelihara, memulihkan fungsi atau

53

mengupayakan kompensasi/adaptasi untuk aktifitas sehari-hari,

produktivitas dan luang waktu melalui pelatihan, remediasi,

stimulasi dan fasilitasi (dalam Kaharingan, Bidjuni, & Karundeng,

2015).

Berdasarkan uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa terapi

aktivitas kelompok yang dilakukan terhadap lansia kesepian memiliki

tujuan untuk meningkatkan hubungan interpersonal antar anggota

kelompok, berkomunikasi, saling memperhatikan, memberi tanggapan

terhadap orang lain, mengekpresikan ide serta menerima stimulus

eksternal. Terapi aktivitas kelompok juga memiliki langkah kerja yaitu

para lansia mengikuti kegiatan life review teraphy, psikodrama dan setelah

itu terapi okupasi.

C. Pengaruh Terapi Aktivitas Kelompok untuk Penurunan Kesepian

pada Lansia

Lanjut usia (Lansia) adalah periode penutup dalam rentang hidup

seseorang, yaitu periode dimana seseorang telah banyak jauh dari periode

terdahulu yang lebih menyenangkan, atau beranjak dari waktu yang penuh

manfaat (Hurlock, 2002). Hal tersebut ditandai dengan kemunduran dan

kehilangan seperti masa pensiun, kehilangan atau kematian pasangan

hidup dan sahabat, dan keterpisahan dari anak-anak yang sudah tidak

tinggal bersama lansia. Maka dalam keadaan seperti ini akan

menimbulkan perasaan kesepian pada lansia.

54

Kesepian adalah kondisi subjektif individu saat merasa kebutuhan

sosialnya tidk terpenuhhi seperti yang diharapkan. Manusia dinyatakan

sebagai makhluk sosial, sehingga hubungan emosional dengan orang lain

merupakan hal yang penting bagi kebanyakan individu (Hughes, Waite,

Hawkley, & Cacioppo, 2004). Bila individu secara subjektif

mempersepsikan bahwa hubungannya dengan orang lain terbatas, mereka

biasanya merasakan kesepian. Kesepian melibatkan rasa terisolasi dan

minimnya keterhubungan secara relasional dan juga koloktif (Russell,

Peplau, & Cutrona, dalam Hughes, Waite, Hawkley, & Cacioppo, 2004).

Rasa kesepian tidaklah berarti merasa sendiri, namun melibatkan rasa

terisolasi, tidak terhubung, dan minimnya kebersamaan. Perasaan tersebut

merefleksikan perbedaan antara harapan dan juga hubungan sosial yang

dimiliki. Beberapa individu akan tetap merasa kesepian meskipun

sebenarnya memiliki network sosial yang besar, hal inilah yang disebut

dengan konsep alienasi (Brennan, shaver, dalam Tomaka, Thompson, &

Palacios, 2006).

Menurut Myers (2012), kesepian merupakan sebuah kesadaran

yang penuh perasaan sakit mengenai hubungan sosial yang kurang banyak

atau kurang berarti dibandingkan dengan yang diharapkan. Yang dan

Viktor (2008) mendefenisikan kesepian sebagai adanya penurunan atau

ketidak sesuaian antara keadaan yang sebenarnya dan yang diinginkan dri

hubungan sosial dalam kehidupan seseorang. Sears, dkk (Santrock, 2002)

mengatakan kesepian sebagai suatu pengalaman subjektif yang tidak

55

menyenangkan dalam berinteraksi dengan orang lain baik dalam segi

kuantitas maupun kualitas. Kesepian adalah suatu keadaan mental dan

emosional yang terutama dicirikan oleh adanya perasaan-perasaan terasing

dan kurangnya hubungan yang bermakna dengan orang lain (dalam Frank,

2000). Kesepian tersebut muncul jika seseorang merasa tersisih dari

kelomupoknya, tidak diperhatikan oleh orang-orang disekitarnya, terisolasi

dari lingkungan, tidak ada seseorang tempat berbagi rasa dan pengalaman,

dan tidak mempunyai pilihan (Suardiman, 2011).

Penelitian yang dilakukan Hawkley, dkk (2010) menemukan jka

interaksi dengan orang lain berhubungan erat dengan kesepian, semakin

berkualitas hubungan individu dengan orang lain, maka semakin kecil jika

individu tersebut mengalami kesepian. Menurut Bruno (2000) yang dapat

disimpulkan bahwa aspek-aspek kesepian merupakan suatu keadaan

mental dan emosional seseorang yang berhubungan dengan perasaan

kesepian, yang meliputi keterasingan, tidak diterima orang lain (merasa

ada penolakan), merasa disalah mengertikan, merasa tidak dicintai, tidak

mempunyai sahabat, bosan, gelisah.

Hasil penelitian oleh Pressman (2005) juga menunjukkan bahwa

semakin kurangnya hubungan sosial maka kemungkinan individu

mengalami kesepian akan lebih mudah. Dapat dikatakan bahwa akar

permasalahan psikologis bagi usia lanjut adalah kesepian, yang kemudian

memunculkan perasaan terasing dari lingkungan, ketidakberdayaan,

56

kurang percaya diri, perasaan tidak berguna, ketergantungan, post power

syndrome dan sebagainya (Suardiman, 2011).

Kesepian pada lansia adalah dimana orang lanjut usia merasa

sendirian, merasa terisolasi, merasa tidak memiliki seorangpun untuk

dijadikan pelarian saat dibutuhkan serta kurangnya waktu untuk

berhubungan dengan lingkungannya (lingkungan sosial) baik dalam

keluarga ataupun disekitar tempat tinggal mereka (Santrock, 2002).

Lansia yang mengalami kesepian seringkali merasa jenuh dan bosan

dengan hidupnya, sehingga dirinya berharap agar kematian segera datang

menjemputnya. Hal itu karena dirinya tidak ingin menyusahkan keluarga

dan orang-orang disekitarnya (Gunarsa, 2004).

Dalam mengatasi masalah kesepian (loneliness), setiap orang

memiliki cara yang berbeda-beda seperti dengan dukungan sosial, latihan

keterampilan sosial, dan terapi musik angklung. Selain itu salah satunya

adalah dengan menggunakan terapi aktivitas kelompok. Terapi aktivitas

kelompok mengajarkan individu untuk dapat berinteraksi dengan baik

terhadap orang lain dan lingkungan di sekitarnya dengan melakukan

beberapa kegiatan secara bersama-sama, sehingga individu tersebut tidak

akan merasa sendiri lagi dan merasa bahagia (Keliat, 2005). Menurut

Yalom (dalam Stuaart & Laraia, 2001), terapi aktivitas kelompok adalah

suatu kegiatan yang anggota kelompok mungkin datang dari berbagai latar

belakang yang harus ditangani sesuai dengan keadaan psikis seperti

agresif, takut, kebencian, kompetitif, kesamaan, ketidaksamaan, kesukaan,

57

kesepian, dan menarik. Semua kondisi ini akan mempengaruhi dinamika

kelompok, ketika anggota kelompok memberi dan menerima umpan balik

yang berarti dalam berbagai interaksi yang terjadi dalam kelompok.

Penggunaan terapi aktivitas kelompok dalam menurunkan kesepian

pada lansia didasarkan bahwa adanya perasaan yang tidak baik seperti

murung, tidak merasa bahagia, sedih, kurangnya hubungan emosional

yang akrab terhadap orang lain, adanya keterbatasan kemampuan fisik,

adanya perubahan status, berkurangnya kualitas keberadaan diri individu

tersebut, dan memiliki kualitas relasi yang rendah, sehingga individu dapat

hidup dengan tenang dan bahagia. Bentuk-bentuk terapi aktivitas

kelompok yang akan diberikan adalah terapi okupasi yaitu untuk

memanfaatkan waktu luang dan meningkatkan produktivitas. Kegiatan

aktivitas okupasi yang akan dilakukan oleh para lansia, diharapkan agar

para lansia tersebut dapat berkumpul dengan para lansia agar mereka dapat

berbagi satu dengan yang lain agar semua memahami dan sambil membuat

bunga dari sedotan. Selain itu, para lansia Life Review Teraphy untuk

meningkatkan gairah hidup dan harga diri dengan menceritakan

pengalaman hidupnya, psikodrama untuk mengekspresikan perasaan pada

para lansia (Setyoadi & Kushariyadi, 2011).

Menurut penelitian Graff (2007), salah satu cara untuk

mengoptimalkan fungsi kognitif lansia dengan menggunakan terapi

okupasi. Selain itu terapi okupasi ini dapat membantu lansia yang

mengalami kesepian yaitu ketika lansia hanya berdiam diri sendiri di

58

rumah, dan tidak mau berkomunikasi dengan ttangga dan lingkungan di

sekitarnya. Terapi Okupasi merupakan suatu bentuk psikoterapi suportif

berupa aktivitas-aktivitas yang membangkitkan kemandirian secara

manual, kreatif dan edukasional untuk menyesuaikan diri dengan

lingkungan dan meningkatkan derajat kesehatan fisik dan mental pasien

serta kebermaknaan hidup lansia, seperti merangkai bunga dari sedotan.

Terapi okupasi bertujuan mengembangkan, memelihara, memulihkan

fungsi atau mengupayakan kompensasi/adaptasi untuk aktifitas sehari-hari,

produktivitas dan luang waktu melalui pelatihan, remediasi, stimulasi dan

fasilitasi. Terapi okupasi tersebut dapat membantu para lansia untuk

membangun hubungan interpersonal terhadap lingkungan sekitar dan para

lansia tersebut juga tidak merasa sendiri, merasa terisolasi, merasa ada

penolakan, dan kesepian dengan melakukan kegiatan bersama-sama.

Sehingga terapi okupasi dapat juga untuk menurunkan kesepian terhadap

lansia (dalam Kaharingan, Bidjuni, & Karundeng, 2015).

Selanjutnya para lansia tersebut melakukan kegiatan life Review

Teraphy, setelah para lansia telah dapat memahami satu dengan lain

melalui kegiatan life Review Teraphy ini para lansia diharapkan dapat

berbagi pada para lansia dengan cerita-cerita tentang pengalaman hidup

pada saat masa muda, dengan begitu para lansia merasa dihargai dan dapat

meningkatkan gairah hidup para lansia sehingga para lansia tersebut tidak

merasa kesepian dikarekan ada teman cerita dan berbagi satu dengan yang

lainnya. Life review teraphy merupakan suatu teknik yang dapat membantu

59

seseorang untuk mengaktifkan ingatan jangka panjang di mana akan

terjadi mekanisme recall tentang kejadian pada kehidupan masa lalu

hingga sekarang (Setyoadi & Kushariyadi, 2011). Para lansia dapat

menceritakan pengalaman-pengalaman mereka pada saat muda sehingga

para lansia tersebut merasa diperhatikan, dicintai dan tidak merasa

kesepian lagi. Seperti penelitian yang dilakukan oleh Refai (2015),

menyatakan bahwa terapi life Review dapat membantu para lansia untuk

mengatasi stres dan perasaan kesepian yang dialami oleh lansia seperti

perasaan yang disalah mengerti, tidak dicintai, gelisah, dan bosan dengan

menceritakan pengalaman-pengalaman hidup dari para lansia.

Selain itu selanjutnya para lansia melakukan kegiatan psikodrama.

Melalui kegiatan psikodrama ini, para lansia diharapkan dapat

mengekspresikan perasaan dan emosi-emosi yang tidak dapat diluapkan

yang ada dalam diri pada para lansia masing-masing terhadap

permasalahan yang sedang para lansia hadapi. Menurut Bennet (Romlah,

2001), Psikodrama merupakan bagian dari permainan peranan (role

playing). Bennet membagi permainan peranan menjadi dua macam yaitu

sosiodrama dan psikodrama. Sosiodrama adalah permainan peranan yang

ditujukan untuk memecahkan masalah sosial yang timbul dalam hubungan

antar manusia. Dengan psikodrama ini para lansia dapat berbagi terhadap

lansia lainnya sehingga para lansia lainnya dapat merasakan yang sedang

dirasakan oleh para lansia yang memiliki masalah tersebut. Lansia yang

tidak dapat mengungkapkan dan mengekspresikan perasaan-perasaan yang

60

ada di dalam dirinya, dengan psikodrama ini lansia diajarkan agar bisa

mengekspresikan perasaan-perasaan yang tidak dapat diungkapkan.

Seperti penelitian yang dilakukan oleh Priyono, Saraswati, & Junaid

(2015) menyatakan bahwa dengan psikodrama dapat mengurangi

kecemasan dan kesepian yang dialami oleh para lansia seperti perasaan

terisolasi, penolaka, disalah mengerti, merasa tidak dicintai, tidak memiliki

sahabat, malas membuka diri, bosan dan gelisah.

Melalui terapi aktivitas kelompok, lansia menentukan perasaan

yang diinginkan seperti lansia ingin bahagia dengan berkumpul dengan

orang yang ada disekirnya sehingga lansia tersebut tidak akan merasa

kesepian lagi. Oleh karena itu, terapi aktivitas kelompok ini dikembangkan

dengan harapan dapat membantu menurunkan kesepian terutama pada

lansia.

D. Landasan Teori

Lansia yang kesepian sering mengalami masalah psikologi dalam

dirinya dengan menunjukkan perasaan yang merasa dijauhkan dari

lingkungan, tidak ada yang mencintainya, merasa disalah mengerti, adanya

rasa gelisah dan bosan dalam diri lansia, dan merasa sendiri. Sehingga

kebanyakan lansia yang mengalami kesepian banyak berdiam diri di

rumah dan tidak mau bersosialisasi dengan lingkungan sekitar.

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan terapi aktivitas

kelompok untuk menurunkan kesepian pada lansia. Terapi aktivitas

kelompok adalah sebuah treatment yang dilakukan dengan cara

61

menyertakan beberapa orang dalam sebuah kelompok kecil yang

didampingi oleh satu terapis atau lebih yang terlatih dalam proses terapi

aktivitas kelompok (Brabendem, Fallon, & Smolar, 2004). Menurut Yalom

dalam Stuaart & Laraia (2001), terapi aktivitas kelompok adalah suatu

kegiatan yang anggota kelompok mungkin datang dari berbagai latar

belakang yang harus ditangani sesuai dengan keadaannnya seperti agresif,

takut, kebencian, kompetitif, kesamaan, ketidaksamaan, kesukaan,

kesepian, dan menarik. Terapi aktivitas kelompok merupakan suatu

kegiatan yang diberikan kepada individu dan dilakukan secara bersama-

sama dengan individu yang lain, guna untuk meningkatkan dan

membangun hubungan yang baik dengan orang lain secara sosial (Keliat,

2005).

Adapun bentuk-bentuk terapi aktivitas kelompok yang akan dipakai

untuk penelitian ini adalah terapi okupasi, life review teraphy, psikodrama

dan terapi keagamaan menurut Setyoadi & Kushariyadi (2011) untuk

menurunkan kesepian pada lansia. Tujuan terapi aktivitas kelompok yang

akan diberikan kepada para lansi yang kesepian adalah: memantau dan

meningkatkan hubungan interpersonal. Ketiga bentuk ini dapat

menurunkan kesepian yang dialami oleh para lansia, yaitu seperti terapi

okupasi adalah suatu ilmu dan seni pengarahan partisipasi seseorang untuk

melaksanakan suatu tugas tertentu yang telah ditentukan dengan maksud

untuk memperbaiki, memperkuat meningkatkan kemampuan, serta

62

mempermudah belajar keahlian atau fungsi yang dibutuhkan dalam proses

penyesuaian diri dengan lingkungan (Setyoadi & Kushariyadi, 2011).

Selain itu, terapi okupasi ini juga dapat meningkatkan produktivitas,

mengurangi atau memperbaiki ketidaknormalan (kecacatan), serta

memelihara dan meningkatkan derajat kesejahteraan (Setyoadi &

Kushariyadi, 2011). Life review teraphy merupakan suatu fenomena yang

luas sebagai gambaran pengalaman kejadian, di mana di dalamnya

seseorang akan melihat secara cepat tentang totalitas riwayat

kehidupannya (Setyoadi & Kushariyadi, 2011). Selain itu life review

teraphy merupakan suatu kegiatan yang dapat membawa seseorang untuk

bisa menjadi lebih akrab pada realita kehidupan dan kegiatan ini juga

dapat membantu seseorang untuk mengaktifkan ingatan jangka panjang di

mana akan terjadi mekanisme recall tentang kejadian pada kehidupan

masa lalu hingga sekarang, dengan cara ini lansia akan lebih mengenal

siapa dirinya dan dengan recall tersebut lansia akan dapat

mempertimbangkan untuk mengubah kualitas hidup dan cara pandang

tentang diri lansia menjadi lebih baik dibandingkan sebelumnya (Setyoadi

& Kushariyadi, 2011).

Terapi psikodrama menurut Pramesti (dalam Setyoadi &

Kushariyadi, 2011 ) menyatakan bahwa metode psikoterapi kelompok di

mana susunan kepribadian, hubungan interpersonal, konflik, dan masalah

emosional digali dengan menggunakan metoda dramatik spesifik.

Psikodrama ini juga merupakan upaya pemecahan masalah melalui drama,

63

di mana masalah yang didramakan adalah maalah psikis yang dialami

individu (Utama dalam Setyoadi & Kushariyadi, 2011). Psikodrama

adalah bentuk aktif dari kelompok psikoterapi dimana situasi kehidupan

individu disajikan di atas panggung dengan dukungan dari anggota

kelompok (Fatmah, 2014). Kegiatan psikodrama ini dilakukan dengan

beberapa tahap yaitu tahap sosiometri (intro) yaitu pembukaan untuk

memperkenalkan diri dari masing-masing subjek lansia dan untuk melihat

seberapa besar kesediaan dalam mengikuti kegiatan psikodrama ini, tahap

persiapan (warming up) yaitu merupakan tahap dimana untuk memotivasi

setiap anggota kelompok agar setiap anggota kelompok siap berpartisipasi

secara aktif dalam permainan, menentukan tujuan permainan, menciptakan

perasaan aman dan saling percaya pada antar anggota kelompok, tahap

pelaksanaan (action) yaitu tahap dimana kegiatan psikodrama akan mulai

dinainkan dengan menggunakan beberapa teknik antara lain: monodrama

yaitu protagonis memainkan semua bagian tindakan yang jelas dan tidak

menggunakan ego (peran) pembantu, dan teknik cerminan yaitu

protagonis memperhatikan dari luar tahap sementara seorang ego

pembantu mencerminkan kata-kata, mimik, dan postur protagonis

(setyoadi & kushariyadi, 2011).

Berdasarkan paparan di atas, maka dalam penelitian ini, lansia

yang mengalami kesepian dilihat dari aspek-aspek berdasarkan Bruno

(2000) yaitu keterasingan (isolasi), penolakan, tidak diterima orang lain,

merasa tidak dicintai, gelisah, bosan, tidak mempunyai sahabat, merasa

64

disalah mengertikan. para lansia yang mengalami kesepian berdasarkan

aspek-aspek tersebut akan diberikan terapi modalitas dengan bentuk-

bentuk yang meliputi life review teraphy, psikodrama dan terapi okupasi

menurut (Setyoadi & Kushariyadi, 2011) sehingga kesepian yang dialami

oleh para lansia dapat menurun. Lebih jelasnya, dapat dilihat dari gambar

di bawah ini:

65

Keterangan: : Menyebabkan : Intervensi Gambar 1. Pengaruh terapi aktivitas kelompok untuk menurunkan kesepian

pada lansia

Lansia

Terapi aktivitas kelompok:terapi okupasi, life rviewtherapy, dan psikodrama

Penurunan kesepian

(loneliness) pada lansia.

Ditandai dengan :- Tidak merasa terisolasi- Tidak merasa ditolak lagi- Komunikasi meningkat- Kepercayaan diri

meningkat dan merasa

disalah mengerti menurun- Merasa tidak dicintai

menurun- Memiliki sahabat- Dapat membuka diri- Hilangnya rasa bosan dan

gelisah

Penghayatan perasaankesepian (loneliness) padalansia, ditandai dengan:- Isolasi- Penolakan- Merasa disalah mengerti- Merasa tidak dicintai- Tidak mempunyai

sahabat- Malas membuka diri- Bosan- gelisah

66

Berdasarkan gambar di atas diketahui bahwa lansia yang memiliki

kurangnya hubungan emosional yang akrab terhadap orang yang berada

disekitarnya, keterbatasan kemampuan fisik, perubahan status, berkurangnya

kualitas keberadaan, dan memiliki kualitas relasi yang rendah membuat lansia

tersebut merasa kesepian yang sehingga akan mempengaruhi suasana hati,

sosialisasi, komunikasi, dan perilaku yang kurang baik. Lansia yang mengalami

kesepian yaitu dengan ditandai perasaan isolasi, penolakan, merasa disalah

mengerti, merasa tidak dicintai, merasa tidak mempunyai sahabat, malas

membuka diri, bosan dan gelisah akan diberikan terapi aktivitas kelompok untuk

menurunkan kesepian yang ada pada diri lansia tersebut.

Terapi aktivitas kelompok yang akan dilakukan tersebut akan membantu

lansia untuk menurunkan kesepiannya sehingga akan mempengaruhi suasana hati,

sosialisasi, komunikasi, dan perilaku menjadi lebih baik dari sebelumnya. Selain

itu para lansia tersebut sudah tidak merasa terisolasi, tidak merasa ditolak lagi,

Komunikasi meningkat, Kepercayaan diri meningkat dan merasa disalah mengerti

menurun, Merasa tidak dicintai menurun, Memiliki sahabat, dapat membuka diri,

hilangnya rasa bosan dan gelisah.

E. Hipotesis

berdasarkan uraian di atas, maka hipotesis pada penelitian ini adalah

bahwa “ada perbedaan kesepian pada lansia sebelum dengan setelah terapi

aktivitas kelompok. kesepian pada lansia kelompok ngudi waras yogyakarta lebih

rendah dari pretest setelah diberi terapi aktivitas kelompok daripada sebelum

diberi terapi aktivitas kelompok”.

67