BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kesepian pada Lansia 1...
Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kesepian pada Lansia 1...
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kesepian pada Lansia
1. Pengertian Kesepian
Penelitian tentang kesepian mulai banyak dilakukan pada awal tahun
70-an. Pengertian kesepian masih masih sangat beragam dari berbagai
perspektif dn pendekatan. Para ahli psikologi berusaha memberikan defenisi
kesepian yang didasari oleh orientasi teoritis masing-masing. Sullivan
memandang kesepian sebagai pengalaman subjektif yang tidak
menyenangkan dan yang bersifat menekan. Keadaan ini disebabkan oleh
tidak terpenuhinya kebutuhan akan keakraban secara adekuat, khususnya
keakraban interpersonal (Feist & Feist, 2006). Kesepian tidak sama dengan
sendiri, ttapi sendiri dapat menjadi awal dari kesepian. Individu dapat terlihat
di kerumunan, tengah-tengah banyak orang, tetapi tetap merasa kesepian.
Kesepian adalah kondisi subjektif individu saat merasa kebutuhan
sosialnya tidak terpenuhi seperti yang diharapkan. Manusia dinyatakan
sebagai makhluk sosial, sehingga hubungan emosional dengan orang lain
merupakan hal yang penting bagi kebanyakan individu (Hughes, Waite,
Hawkley, & Cacioppo, 2004). Bila individu secara subjektif mempersepsikan
bahwa hubungannya dengan orang lain terbatas, mereka biasanya merasakan
kesepian. Kesepian melibatkan rasa terisolasi dan minimnya keterhubungan
secara relasional dan juga koloktif (Russell, Peplau, & Cutrona, dalam
Hughes, Waite, Hawkley, & Cacioppo, 2004). Rasa kesepian tidaklah berarti
17
18
merasa sendiri, namun melibatkan rasa terisolasi, tidak terhubung, dan
minimnya kebersamaan. Perasaan tersebut merefleksikan perbedaan antara
harapan dan juga hubungan sosial yang dimiliki. Beberapa individu akan
tetap merasa kesepian meskipun sebenarnya memiliki network sosial yang
besar, hal inilah yang disebut dengan konsep alienasi (Brennan, shaver, dalam
Tomaka, Thompson, & Palacios, 2006).
Menurut Myers (2012), kesepian merupakan sebuah kesadaran yang
penuh perasaan sakit mengenai hubungan sosial yang kurang banyak atau
kurang berarti dibandingkan dengan yang diharapkan. Yang dan Viktor (2008)
mendefinisikan kesepian sebagai adanya penurunan atau ketidak sesuaian
antara keadaan yang sebenarnya dan yang diinginkan dri hubungan sosial
dalam kehidupan seseorang. Sears, dkk (Santrock, 2002) mengatakan
kesepian sebagai suatu pengalaman subjektif yang tidak menyenangkan
dalam berinteraksi dengan orang lain baik dalam segi kuantitas maupun
kualitas. Kesepian adalah suatu keadaan mental dan emosional yang terutama
dicirikan oleh adanya perasaan-perasaan terasing dan kurangnya hubungan
yang bermakna dengan orang lain (dalam Frank, 2000).
Kesepian merupakan suatu keadaan yang menyakitkan dan akan
muncul jika seseorang tersebut merasa tersisih dari kelompoknya, tidak
diperhatikan oleh orang-orang disekitarnya, terisolasi dari lingkungan, tidak
ada seseorang tempat berbagi rasa dan pengalaman, dan tidak mempunyai
pilihan (Suardiman, 2011). Kesepian sendiri merupakan suatu keadaan mental
19
dan emosional yang terutama dicirikan oleh adanya perasaan terasing dan
kurangnya hubungan yang bermakna dengan orang lain (Bruno, 2000).
Berdasarkan uraian diatas, kesepian dapat disimpulkan bahwa suatu
keadaan mental dan emosi yang muncul jika seseorang merasa terasing dan
kurangnya hubungan yang bermakna dengan orang lain.
2. Aspek kesepian
Menurut Bruno (2000) yang menjadi aspek-aspek kesepian, yaitu:
a) Isolasi
Suatu keadaan dimana seseorang merasa terasing dari tujuan-tujuan
hidup, dijauhkan dari masyarakat, keluarga dan lingkungan sekitar
sehingga seseorang tersebut merasa sendirian.
b) Penolakan
Penolakan adalah suatu keadaan dimana seseorang tidak diterima, diusir
dan dihalau oleh lingkungannya. Seseorang yang kesepian akan merasa
dirinya ditolak dan ditinggalkan walaupun berada ditengah-tengah
keramaian.
c) Merasa disalah mengerti
Suatu keadaan dimana seseorang merasa seakan-akan dirinya
disalahkan dan tidak berguna. Seseorang yang selalu merasa disalah
mengerti dapat menimbulkan rasa rendah diri, rasa tidak percaya diri
dan merasa tidak mampu untuk bertindak.
20
d) Merasa tidak dicintai
Adalah suatu keadaan dimana seseorang tidak mendapatkan kasih
sayang, tidak diperlukan secara lembut dan tidak dihormati, merasa
tidak dicintai akan jauh dari persahabatan dan kerjasama.
e) Tidak mempunyai sahabat
Tidak ada seseorang yang berada disampingnya, tidak ada hubungan,
tidak dapat berbagi.
f) Malas membuka diri
Suatu keadaan dimana seseorang malas menjalin keakraban, takut
terluka, senantiasa merasa cemas dan takut jangan-jangan orang lain
akan melukainya.
g) Bosan
Suatu perasaan seseorang yang merasa jenuh tidak menyenangkan tidak
menarik, merasa lemah, orang-orang yang pembosan biasanya orang-
orang yang tidak pernah menikmati keadaan-keadaan yang ada.
h) Gelisah
Suatu keadaan dimana seseorang merasa resah, tidak nyaman dan
tentram didalam hati atau merasa selalu khawatir, tidak senang, dan
perasaan galau dilanda kecemasan.
Menurut Galanaki (2004) ada 3 aspek dari kesepian itu:
a. Aspek emosi yaitu kesepian yang merupakan rasa sakit secara
emosional yang diasosiasikan dengan kesedihan dan kebosanan.
21
b. Aspek kognitif yaitu kesepian yang merupakan hasil persepsi mengenai
adanya kekurangan baik secara kuatitatif dan kualitatif dalam hubungan
interpersonal dan kepuasan dalam terhadap kebutuhan sosial dan
interpersonal dasar yaitu pertemanan, inklusi, dukungan emosional,
afeksi, persekutuan yang dapat dipercaya, peningkatan harga diri dan
kasih sayang.
c. Aspek interpersonal merupakan kesepian yang dikaitkan dengan
berbagai macam konteks yang bersentuhan dengan keterpisahan secara
fisik dan jarak psikologis.
Melihat kedua aspek kesepian di atas dan berdasarkan kondisi lansia
yang ditemukan peneliti di lapangan, yaitu banyak para lansia yang merasa
dirinya tidak dicintai, gelisah, dan lain sebagainya sehingga aspek yang
dipakai dalam penelitian ini menggunakan aspek menurut Bruno (2000) yang
dapat disimpulkan bahwa aspek-aspek kesepian merupakan suatu keadaan
yang meliputi keterasingan (isolasi), tidak diterima orang lain (merasa ada
penolakan), merasa disalah mengertikan, merasa tidak dicintai, tidak
mempunyai sahabat, malas membuka diri, bosan, gelisah.
3. Lansia
a. Pengertian Lansia
Masa dewasa akhir atau lanjut usia adalah periode perkembangan
yang bermula pada usia 60 tahun yang berakhir dengan kematian. Masa
ini adalah masa pemyesuaian diri atas berkurangnya kekuatan dan
kesehatan, menatap kembali kehidupan, masa pensiun dan penyesuaian
22
diri dengan peran-peran sosial (Santrock, 2006). Lansia merupakan usia
yang mendekati akhir siklus kehidupan manusia di dunia. Usia tahap ini
dimulai pada usia 60 tahun sampai akhir kehidupan (Hasan, 2006). Masa
lansia dibagi dalam tiga kategori yaitu: orang tua muda (young old) (65-74
tahun) , orang tua tua (old-old) (75-84 tahun) dan orang tua yang sangat
tua (oldest old) (85 tahun ke atas) (Papalia, 2005).
Tahap usia lanjut adalah tahap dimana terjadi penuaan dan penurunan.
Penurunan lebih jelas dan lebih dapat diperhatikan pada usia lanjut
daripada pada usia tengah baya. Penuaan merupakan perubahan kumulatif
pada makhluk hidup, termasuk tubuh, jaringan dan sel yang mengalami
kapasitas fungsional. Pada manusia, penuaan dihubungkan dengan
perubahan degeneratif pada kulit, tulang, jantung, pembuluh darah, paru-
paru, syaraf dan jaringan tubuh lainnya (Hasan, 2006). Penuaan terbagi
atas penuaan primer (primary aging) dan penuaan sekunder (secondary
aging). Pada penuaan primer tubuh melemah dan mengalami penurunan
karena proses normal yang alamiah. Pada penurunan sekunder terjadi
proses penuaan karena faktor-faktor ekstrinsik seperti lingkungan atau
perilaku (Hasan, 2006).
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa lansia
yang akan peneliti ambil adalah lansia menurut Santrock yaitu lansia
adalah orang-orang yang sudah berumur 60 tahun keatas sampai akhir
kehidupan. Masa lansia juga merupakan masa penyesuaian diri dimana
23
terjadi kurangnya kekuatan dan kesehatan, menatap kembali kehidupan,
dan penyesuaian diri terhadap lingkungan sosial.
b. Ciri-ciri lansia
Menurut Mubin dan Cahyadi (2006), fase lanjut usia ditandai
dengan perubahan-perubahan sebagai berikut :
a. Perubahan yang bersifat fisik :
1) Kekuatan fisik & motorik yang sangat kurang, terkadang ada
sebagian fungsi organ tubuhnya tidak dapat dipertahankan lagi.
2) Kesehatan sangat menurun sehingga sering sakit-sakitan.
b.Perubahan yang bersifat psikis :
1) Munculnya rasa kesepian, yang mungkin disebabkan karena putra
atau putrinya sudah besar dan berkeluarga,sehingga tidak tinggal
serumah lagi. Lansia biasanya suka memelihara cucu-cucu untuk
mengatasi rasa kesepian tersebut.
2) Berkurangnya kontak sosial dan tugas-tugas sosial akibat kondisi
fisik yang menurun.
3) Lekas merasa jenuh dan kadang-kadang menjadi cerewet.
4) Mengalami penurunan dalam hal ingatan, penglihatan atau
pendengaran dan kadang-kadang dapat menjadi pikun.
5) Suka bercerita atau bernostalgia tentang kehebatannya di masa
lampau.
6) Kehidupan keagamaan sangat baik, terutama dalam hal beribadah
dan beramal, karena dari segi usia rata-rata lansia sudah mendekati
24
kematian yang pasti datang menjemputnya. Lansia atau Masa
dewasa akhir jugaditandai dengan berbagai tantangan. Tantangan
ini termasuk penyesuaian pada masa pensiun, menyesuaikan diri
dengan perubahan dalam jaringan dukungan sosial, mengatasi
masalah kesehatan dan menghadapi kematian (Wayne & Llyod,
2006). Selain menghadapi kematian diri sendiri, lansia juga
kemungkinan menghadapi kematian pasangan, saudara kandung,
teman dan individu lain yang penting dalam hidupnya (Corr, Nabe
& Corr, 2003).
Menurut Erikson (dalam Haditono, 2004), tantangan dalam tahap
akhir perkembangan manusia adalah mencapai integritas ego. Individu yang
mencapai integritas (integrity) mampu untuk melihat masa lalu dengan
perasaan puas, menemukan makna dan tujuan hidup, sebaliknya
keputusasaan (despair) adalah kecenderungan untuk tinggal dalam
kesalahan masa lalu, meratapi pilihan yang tidak diambil dan merenung
tentang kematian yang semakin dekat dengan kepahitan. Erikson
menekankan bahwa lebih baik menghadapi masa depan dengan penerimaan
daripada tenggelam dalam penyesalan dan kesedihan.
Hasil yang diharapkan pada usia ini adalah pemenuhan dan
kepuasan hidup dan kesediaan untuk menghadapi kematian (Wayne &
Llyod, 2006). Tujuan tugas perkembangan lansia adalah menyelesaikan
konflik pada masa lalu & meraih makna hidup yang baru, baiksebagai
penerimaan akan masa lalu lansia maupun sebagai persiapan untuk
25
menghadapi kematian. Jika proses ini berhasil, hasilnya adalah integritas
(Integrity) dan kebijaksanaan (Wisdom) (Erickson & Erickson dalam Corr,
Nabe & Corr, 2003). Jika tidak berhasil, maka lansia akan merasa tidak puas
dengan hal yang telah dilakukan dalam hidupnya (Corr, Nabe & Corr,
2003).
Erickson (dalam Haditono, 2004) memandang bahwa lansia mencoba
untuk menemukan makna dalam hidup yang akan membantu lansia untuk
menghadapi kematian yang tidak dapat dielakkan. Ahli gerontologi Robert
Butler mengatakan bahwa lansia terlibat dalam proses yang disebut
meninjau kehidupan atau life review dimana lansia merefleksikan konflik
yang tidak dapat diselesaikan pada masa lalu untuk mendapatkan makna
bagi diri sendiri, menemukan makna hidup yang baru dan sesuai serta
mempersiapkan diri untuk kematian (Sigelman & Rider, 2003). Integritas
mengarah pada kemampuan untuk melihat kembali kehidupan seseorang
dan melihatnya sebagai hal yang memuaskan dan bermakna. Kemampuan
melihat hidup sebagai sesuatu yang memuaskan dan bermakna mengarah
pada penerimaan kematian. Individu yang putus asa (despair) memandang
hidup sebagai hal yang tidak memuaskan, mengalami penyesalan yang
besar, menghindari perubahan serta mengalami ketakutan akan kematian
(Lemme, 1995). Integritas sebagaimana yang digunkan dalam teori Erickson
merupakan kemampuan untuk menerima kenyataan hidup dan menghadapi
kematian tanpa rasa takut (Newman & Newman, 2006).
26
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa ciri-ciri
lansia yang akan diambil oleh peneliti berdasarkan ciri-ciri menurut Mubin
dan Cahyadi (2006), meliputi yaitu perubahan yang bersifat fisik dan
perubahan yang bersifat psikis.
4. Kesepian pada lansia
Kesepian pada lansia adalah dimana orang lanjut usia merasa
sendirian, merasa terisolasi, merasa tidak memiliki seorangpun untuk
dijadikan pelarian saat dibutuhkan serta kurangnya waktu untuk
berhubungan dengan lingkungannya (lingkungan sosial) baik dalam
keluarga ataupun disekitar tempat tinggal mereka (Santrock, 2002).
Pada umumnya masalah psikologis yang paling banyak terjadi pada
lansia adalah kesepian, kesepian merupakan perasaan terasing (terisolasi
atau kesepian) adalah perasaan tersisihkan, terpencil dari orang lain,
karena merasa berbeda dengan orang lain (Probosuseno, 2007). Kesepian
merupakan hal yang bersifat pribadi dan akan ditanggapi berbeda oleh
setiap orang, bagi sebagian orang kesepian merupakan yang bisa diterima
secara normal namun bagi sebagian orang kesepian bisa menjadi sebuah
kesedihan yang mendalam (Probosuseno, 2007).
Lansia yang mengalami kesepian seringkali merasa jenuh dan bosan
dengan hidupnya, sehingga dirinya berharap agar kematian segera datang
menjemputnya. Hal itu karena dirinya tidak ingin menyusahkan keluarga
dan orang-orang disekitarnya (Gunarsa, 2004). Pada saat lansia mengalami
kesepian, maka lansia tersebut akan merasa ketidakpuasan, kehilangan dan
27
ditress, namun hal ini berarti bahwa perasaan ini sama setiap waktu.
Kesepian adalah perasaan tersisihkan, ter-pencil dari orang lain karena
merasa berbeda dengan orang lain, tersisih dari kelompoknya, merasa
tidak diperhatikan oleh orang-orang disekitarnya, terisolasi dari
lingkungan, serta tidak ada seseorang tempat berbagi rasa dan pengalaman.
Kondisi ini menimbulkan perasaan tidak berdaya, kurang percaya diri,
ketergantungan, dan keterlantaran. Seseorang yang menyatakan dirinya
kesepian cenderung menilai dirinya sebagai individu yang tidak berharga,
tidak diperhatikan dan tidak dicintai. Rasa kesepian akan semakin
dirasakan oleh lanjut usia yang sebelumnya adalah seseorang yang aktif
dalam berbagai kegiatan yang menghadirkan atau berhubungan dengan
orang banyak (Hurlock, 2000).
Fenomena kesepian pada lanjut usia yang merupakan masalah
psikologis dapat dilihat dari: sudah berkurangnya kegiatan dalam
mengasuh anak-anak, berkurangnya teman atau relasi akibat kurangnya
aktifitas di luar rumah, kurangnya aktifitas sehingga waktu luang
bertambah banyak, meninggalnya pasangan hidup, ditinggalkan anak-
anak karena menempuh pendidikan yang lebih tinggi, atau meninggalkan
rumah untuk bekerja, anak-anak telah dewasa dan membentuk keluarga
sendiri (Baron & Byrne, 2005).
5. Faktor Penyebab Kesepian pada Lansia
Kesepian yang dialami oleh usia lanjut (Suardiman, 2011)
bersumber dan lebih terkait dengan:
28
a. Berkurangnya kontak sosial. Kontak sosial merupakan suatu hubungan
yang terjalin antara individu dengan yang lain atau lebih. Kontak sosial
yang dijalani oleh para lansia adalah suatu hubungan yang saling
ketergantungan dengan lain. Ketika para lansia mengalami suatu
peristiwa seperti ditinggalkan oleh orang yang dicintai membuat para
lansia tersebut tidak mau berinteraksi dengan yang lain dikarenakan
para lansia tersebut merasa tidak ada lagi yang bisa mengerti dirinya
sehingga para lansia tersebut merasa kesepian.
b. Absennya atau berkurangnya peran sosial, baik dengan anggota
keluarga, anggota masyarakat maupun teman kerja sebagai akibat
terputusnya hubungan kerja atau karena pensiun. Peran sosial bagi para
lansia sangat penting dalam melangsungkan kehidupannya tersebut.
Akan tetapi ketika lansia tersebut ditinggalkan oleh anak-anaknya
karena masing-masing sudah membentuk keluarga dan tinggal terpisah
di rumah atau di kota yang lain, berhenti dari pekerjaannya karena
pansiun sehingga kontak dengan teman kerja yang terputus dan
berkurang, dan kurang dilibatkannya para lansia dalam berbagai
kegiatan sehingga membuat para lansia tersebut merasa kesepian
dikarekakan para lansia tidak memiliki peran yang bisa menjadi
aktivitasnya.
c. Kehilangan perhatian dan dukungan dari lingkungan sosial yang
biasanya berkaitan dengan hilangnya kedudukan dapat menimbulkan
konflik atau keguncangan. Para lansia yang sudah berhenti dari
29
pekerjaannya kareena pansiun sehingga kontak dengan teman
bekerjanya juga terputus atau berkurang, dan mundur dari kegiatan
yang memungkinkan bertemu dengan orang banyak membuat para
lansia tersebut akan kehilangan perhatian dan dukungan dari
lingkungan sosial yang menganggap para lansia sudah tidak bisa
melakukan kegiatan lagi dikarenakan para lansia tersebut sudah ua dan
hal tersebut akan membuat para lansia tersebut merasa kesepian.
Dukungan sosial merupakan faktor utama yang melawan kesepian
(Tomaka, Thompson, & Palacios, 2006). Seperti yang telah disebutkan
sebelumnya, lansia yang merasa kesepian diakibatkan oleh kurangnya
dukungan sosial yang memadai. Maka, lansia dengan dukungan sosial
yang besar kemungkinan besar memiliki tingkat kesepian yang lebih
sedikit. Dukungan sosial mengarah pada pengalaman subjektif maupun
obgjektif dimana para lansia merasa terhubung secara sosial, memiliki
sumber daya sosial yang memadai, kedekatan dengan orang lain, atau juga
suatu rasa kebersamaan dalam kelompok.
Menurut Brehm (2002) ada empat hal yang menyebabkan seseorang
mengalami kesepian, yaitu :
a) Ketidakadekuatan dalam hubungan yang dimiliki seseorang
Menurut Brehm (2002) hubungan seseorang yang tidak adekuat
akan menyebabkan seseorang tidak puas akan hubungan yang
dimiliki. Ada banyak alasan seseorang merasa tidak puas dengan
hubungan yang tidak adekuat. Rubenstein dan Shaver (1982)
30
menyimpulkan beberapa alasan yang banyak dikemukakan oleh orang
yang kesepian, yaitu sebagai berikut :
1) Being unattached; tidak memiliki pasangan, tidak memiliki
partnern seksual, berpisah dengan pasangannya atau pacarnya.
2) Alienation; merasa berbeda, merasa tidak dimengerti, tidak
dibutuhkan dan tidak memiliki teman dekat.
3) Being Alone; pulang ke rumah tanpa ada yang menyambut,
selalu sendiri.
4) Forced isolation; dikurung di dalam rumah, dirawat inap di
rumah sakit, tidak bisa kemana-mana.
5) Dislocation; jauh dari rumah (merantau), memulai pekerjaan
atau sekolah baru, sering pindah rumah, sering melakukan
perjalanan (dalam Brehm 1992).
b) Terjadi perubahan terhadap apa yang diinginkan seseorang dari suatu
hubungan Menurut Brehm (1992) kesepian juga dapat muncul karena
terjadi perubahan terhadap apa yang diinginkan seseorang dari suatu
hubungan. Pada saat tertentu hubungan sosial yang dimiliki seseorang
cukup memuaskan. Sehingga orang tersebut tidak mengalami kesepian.
Tetapi disaat lain hubungan tersebut tidak lagi memuaskan karena orang
itu telah merubah apa yang diinginkannya dari hubungan tersebut.
Menurut Peplau (dalam Brehm, 1992), perubahan itu dapat muncul dari
beberapa sumber yaitu :
31
1) Perubahan mood seseorang. Jenis hubungan yang diinginkan
seseorang ketika sedang senang berbeda dengan jenis
hubungan yang diinginkan ketika sedang sedih. Bagi beberapa
orang akan cenderung membutuhkan orangtuanya ketika
sedang senang dan akan cenderung membutuhkan teman-
temannya ketika sedang sedih.
2) Usia. Seiring dengan bertambahnya usia, perkembangan
seseorang membawa berbagai perubahan yang akan
mempengaruhi harapan atau keinginan orang itu terhadap suatu
hubungan. Jenis persahabatan yang cukup memuaskan ketika
seseorang berusia 15 tahun mungkin tidak akan memuaskan
orang tersebut saat berusia 25 tahun.
3) Perubahan situasi. Banyak orang tidak mau menjalain hubungan
emosional yang dekat dengan orang lain ketika mereka sedang
membina karir. Namun, ketika karir sudah mapan orang tersebut
akan dihadapkan pada kebutuhan yang besar akan suatu
hubungan yang memiliki komitmen secara emosional.
Jadi, menurut Brehm (1992), pemikiran, harapan dan
keinginan seseorang terhadap hubungan yang dimiliki dapat
berubah. Jika hubungan yang dimiliki orang tersebut tidak ikut
berubah sesuai dengan pemikiran, harapan dan keinginannya maka
orang itu akan mengalami kesepian.
32
c) Self-esteem dan causal attribution
Kesepian berhubungan dengan self-esteem yang rendah. Orang yang
memiliki self-esteem yang rendah cenderung merasa tidak nyaman
pada situasi yang beresiko secara sosial (misalnya berbicara didepan
umum dan berada di kerumunan orang yang tidak dikenal). Dalam
keadaan seperti ini orang tersebut akan menghindari kontak-kontak
sosial tertentu secara terus menerus akibatnya akan mengalami
kesepian.
d) Perilaku interpersonal
Perilaku interpersonal seseorang yang kesepian akan menyelidiki
orang itu untuk membangun suatu hubungan dengan orang lain.
Dibandingkan dengan orang yang tidak mengalami kesepian, orang
yang mengalami kesepian akan menilai orang lain secara negatif,
mereka tidak begitu menyukai orang lain, tidak mempercayai orang
lain, menginterpretasikan tindakan dan intensi (kecenderungan untuk
berperilaku) orang lain secara negatif, dan cenderung memegang
sikap-sikap yang bermusuhan.
Berdasarkan uraian di atas didapat bahwa faktor penyebab kesepian
yang dialami oleh para lansia berdasarkan Suardiman (2011) yaitu
berkurangnya kontak sosial, kurangnya peran sosial baik dengan anggota
keluarga atau anggota masyarakat maupun teman kerja sebagai akibat
terputusnya hubungan kerja atau karena pansiun, dan kehilangan perhatian
dan dukungan dari lingkungan sosial yang biasanya berkaitan dengan
33
hilangya dapat menimbulkan konflik atau keguncangan. Sedangkan
menurut Brehm (2002) faktor yang menyebabkan lansia kesepian ada 4
(empat) faktor yaitu: ketidakadekuatan dalam hubungan yang dimiliki
seseorang, terjadi perubahan terhadap apa yang diinginkan seseorang dari
suatu hubungan, self-esteem dan causal attribution, dan perilaku
interpersonal. Setelah dijelaskan tentang faktor penyebab kesepian pada
lansia berdasarkan dua pendapat maka dapat disimpulkan bahwa faktor
penyebab kesepian pada lansia untuk penelitian ini adalah menurut
Suardiman (2011) yaitu berkurangnya kontak sosial, kurangnya peran
sosial baik dengan anggota keluarga atau anggota masyarakat maupun
teman kerja sebagai akibat terputusnya hubungan kerja atau karena
pansiun, dan kehilangan perhatian dan dukungan dari lingkungan sosial
yang biasanya berkaitan dengan hilangya dapat menimbulkan konflik atau
keguncangan.
4) Upaya untuk mengatasi kesepian
Kesepian disebabkan oleh banyak faktor, peristiwa dan keadaan,
baik yang berasal dari luar maupun dari dalam diri individu. Upaya
untuk mengatasi kesepian tersebut berdasarkan diri lansia itu sendiri,
banyak cara untuk mengatasi kesepian yaitu dengan:
a. Dukungan sosial
Dukungan sosial adalah suatu dorongan atau bantuan nyata
seperti kenyamanan, perhatian, penghargaan, serta hal-hal yang
dapat memberikan keuntungan yang diberikan oleh orang-orang
34
disekitar individu (pasangan, teman dekat, tetangga, saudara, anak,
keluarga, dan masyarakat sekitar) kepada individu yang sedang
mengalami kesulitan, agar individu tersebut merasa dicintai,
diperhatikan, dihargai dan bernilai. Untuk memperoleh dukungan
sosial tersebut para lansia perlu berinteraksi dengan orang lain
seperti membuat kontak sosial. (Marini & Hayati, 2009)
b. Latihan Keterampilan Sosial
Latihan keterampilan sosial yaitu suatu kegiatan untuk melatih para
lansia dalam keterampilan sosial sehingga para lansia merasa
nyaman dalam situasi sosial dan melakukan interaksi sosial. Latihan
keterampilan sosial merupakan suatu intervensi dengan teknik
modifikasi perilaku didasarkan prinsip-prinsip bermain peran,
praktek dan umpan balik guna meningkatkan kemampuan klien
dalam menyelesaikan masalah pada klien yang kesepian (Mashitoh,
2011).
c. Terapi musik angklung
Latihan musik angklung adalah sebuah terapi yang menggunakan
alat musik tradisional yang memiliki alunan suara yang lembut yang
dapat memberi pengaruh terhadap fungsi fisiologi dan psikologis
terutama pada lansia yang mengalami kesepian (Ariani, 2012).
d. Terapi aktivitas kelompok merupakan upaya yang dapat mengurangi
kesepian yaitu melakukan kegiatan yang terkait hobi dan lain-lain.
Terapi aktivitas kelompok adalah metode pemberian terapi yang
35
menggunakan beberapa bentuk yang dilakukan secara bersama-
sama dan untuk menguatkan hubungan interpersonal antar individu
(Setyoadi & Kushariyadi, 2011).
Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa upaya
yang akan dilakukan untuk mengurangi kesepian pada lansia dapat
dilakukan dengan beberapa cara yaitu dukungan sosial adalah suatu
dorongan atau bantuan nyata seperti kenyamanan, perhatian, penghargaan,
serta hal-hal yang dapat memberikan keuntungan yang diberikan oleh
orang-orang disekitar individu (pasangan, teman dekat, tetangga, saudara,
anak, keluarga, dan masyarakat sekitar) kepada individu yang sedang
mengalami kesulitan, agar individu tersebut merasa dicintai, diperhatikan,
dihargai dan bernilai (Marini & Hayati, 2009). Latihan keterampilan sosial
yaitu suatu kegiatan untuk melatih para lansia dalam keterampilan sosial
sehingga para lansia merasa nyaman dalam situasi sosial dan melakukan
interaksi sosial (Mashitoh, 2011). Latihan musik angklung adalah sebuah
terapi yang menggunakan alat musik tradisional yang memiliki alunan
suara yang lembut yang dapat memberi pengaruh terhadap fungsi fisiologi
dan psikologis terutama pada lansia yang mengalami kesepian (Ariani,
2012). Terapi kelompok untuk mengurangi kesepian dan menurunkan
tekanan darah pada lansia penderita hipertensi yaitu terapi yang
menggunakan pendekatan interaktif, maksud pendekatan interaktif adalah
terapis mengangkat sebuat tema dan kemudian tema tersebut didiskusikan
lebih luas dalam kelompok, faktor-faktor penyebab kesepian pada lansia
36
dijadikan landasan untuk menentukan tema-tema apa yang akan diangkat
dalam terapi kelompok (Putra, Nashori, dan Sulistyarini, 2012). Terapi
aktivitas kelompok adalah metode pemberian terapi yang menggunakan
beberapa bentuk yang dilakukan secara bersama-sama dan untuk
menguatkan hubungan interpersonal antar individu (Setyoadi &
Kushariyadi, 2011).
Berdasarkan beberapa terapi yang dapat digunakan untuk
menurunkan kesepian, dan untuk penelitian ini menggunakan terapi
aktivitas kelompok. Alasan peneliti mengambil penelitian dengan
menggunakan terapi aktivitas kelompok untuk penurunan kesepian pada
lansia, karena terapi aktivitas kelompok yang lebih efektif dan diperkuat
denan penelitian yang telah dilakukan oleh Putra, Nashori, dan Sulistyarini
(2012) tentang terapi kelompok untuk mengurangi kesepian dan
menurunkan tekanan darah pada lansia penderita hipertensi. Terapi
aktivitas kelompok adalah metode pemberian terapi yang menggunakan
beberapa bentuk yang dilakukan secara bersama-sama dan untuk
menguatkan hubungan interpersonal antar individu (Setyoadi &
Kushariyadi, 2011). Terapi aktivitas kelompok merupakan suatu
psikoterapi yang dilakukan sekelompok lansia secara bersama-sama
dengan para lansia yang lain yang dipimpin oleh seorang terapis, petugas
kesehatan jiwa ataupun psikolog. Bertujuan untuk memberikan stimulus
bagi lansia yang mengalami gangguan interpersonal atau kesepian (Keliat
& Wiyono, 2005). Di dalam terapi kelompok terdapat juga beberapa
37
kegiatan yang yang dapat mengurangi kesepian pada lansia antara lain,
senam lansia, terapi okupasi, Life Review Terapi, dan psikodrama
(Setyoadi & Kushariyadi, 2011).
Berdasarkan uraian di atas maka terapi aktivitas kelompok yang
cocok untuk menjadi intervensi pada penelitian ini yaitu dengan melihat
kondisi para lansia yang akan diteliti adanya terisolasi, adanya rasa
penolakan, merasa tidak dicintai, merasa disalah mengerti, tidak memiliki
sahabat, malas membuka diri, bosan, dan gelisah sehingga pada penelitian
ini terapi yang digunakan untuk menurunkan kesepian pada lansia adalah
terapi aktivitas kelompok.
B. Terapi Aktivitas kelompok
1. Pengertian Terapi Aktivitas Kelompok
Terapi aktivitas merupakan suatu kegiatan yang diberikan kepada
lansia dan untuk dilakukan secara bersama-sama. Terapi aktivitas
kelompok ini lebih mengarah terhadap kegiatan-kegiatan seperti senam
bersama, melakukan keterampilan bersama-sama, sehingga individu atau
lansia lebih bersemangat dan untuk melatih gerakan fisik yang sudah
menurun pada lansia (Keliat, 2005). Terapi aktivitas kelompok adalah
sebuah treatment yang dilakukan dengan cara menyertakan beberapa orang
dalam sebuah kelompok kecil yang didampingi oleh satu terapis atau lebih
yang terlatih dalam proses terapi aktivitas kelompok (Brabendem, Fallon,
& Smolar, 2004). Menurut Yalom dalam Stuaart & Laraia (2001), terapi
38
aktivitas kelompok adalah suatu kegiatan yang anggota kelompok
mungkin datang dari berbagai latar belakang yang harus ditangani sesuai
dengan keadaan psikis seperti agresif, takut, kebencian, kompetitif,
kesamaan, ketidaksamaan, kesukaan, kesepian, dan menarik. Semua
kondisi ini akan mempengaruhi dinamika kelompok, ketika anggota
kelompok memberi dan menerima umpan balik yang berarti dalam
berbagai interaksi yang terjadi dalam kelompok.
Terapi aktivitas kelompok ini merupakan suatu kegiatan yang
dilakukan untuk menciptakan hubungan yang harmonis antar individu lain
dengan melakukan kegiatan bersama-sama dengan individu yang lain,
guna untuk meningkatkan dan membangun hubungan yang baik dengan
orang lain secara sosial (Kelliat dan wiyono, 2005). Terapi aktivitas
kelompok ini merupakan kumpulan individu yang saling berhubungan dan
memiliki masalah yang sama dengan menggunakan aktivitas sebagai terapi
(Kelliat dan wiyono, 2005). Terapi kelompok merupakan suatu psikoterapi
yang dilakukan sekelompok individu secara bersama-sama dengan jalan
berdiskusi satu sama lain yang dipimpin atau diarahkan oleh seorang
therapist atau petugas kesehatan jiwa yang telah terlatih (Yosep, 2007).
Terapi kelompok adalah terapi psikologi yang dilakukan secara kelompok
untuk memberikan stimulasi bagi individu dengan gangguan interpersonal
(Yosep, 2008). Terapi aktivitas kelompok adalah bentuk terapi yang
diberikan kepada individu yang dibentuk dalam kelompok, dan merupakan
39
suatu pendekatan perubahan perilaku melalui media kelompok (Lundry &
Jenes dalam Setyoadi & Kushariyadi, 2011).
Terapi aktivitas kelompok merupakan salah satu terapi modalitas
yang dilakukan perawat kepada sekelompok pasien yang mempunyai
masalah keperawatan yang sama (Keliat dalam Sumaila, 2015). Terapi
modalitas adalah terapi utama dalam keperawatan jiwa. Terapi ini
diberikan dalam upaya mengubah perilaku pasien dari perilaku maladaptif
menjadi perilaku adaptif (2004). Terapi modalitas adalah terapi dalam
keperawatan jiwa, dimana perawat mendasarkan potensi yang dimiliki
pasien (modal-modality) sebagai titik tolak terapi atau penyembuhannya
(Sarka, 2008).
Terapi aktivitas kelompok ini diberikan kepada lansia yang
mengalami kesepian yaitu guna lansia tersebut merasakan kebahagiaan,
tidak merasa sendiri dengan melakukan kegiatan secara bersama-sama
sehingga dapat menurunkan kesepian yang terjadi pada lansia tersebut
(Keliat, 2005). Terapi aktivitas kelompok merupakan salah satu bentuk
kegiatan terapi psikologik yang dilakukan dalam sebuah aktivitas dan
diselenggarakan secara kolektif dalam rangka pencapaian penyesuaian
psikologis, perilaku dan pencapaian adaptasi optimal pada individu
(Maryam & Siti, 2008).
Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa terapi
aktivitas kelompok merupakan suatu kegiatan yang diberikan kepada
individu dan dilakukan secara bersama-sama dengan individu yang lain,
40
guna untuk meningkatkan dan membangun hubungan yang baik dengan
orang lain secara sosial. Terapi aktivitas kelompok ini merupakan
kumpulan individu yang saling berhubungan dan memiliki masalah yang
sama dengan menggunakan aktivitas sebagai terapi.
2. Bentuk Terapi Aktivitas Kelompok
Bentuk-bentuk aktivitas kelompok yang akan diberikan adalah
berdasarkan bentuk-bentuk dari terapi modalitas. Bentuk-bentuk aktivitas
yang akan diberikan tersebut dapat dilakukan untuk menyibukkan
seseorang secara produktif yaitu sebagai suatu media untuk belajar,
bersosialisasi dan berkembang, sekaligus sebagai sumber kepuasan
emosional maupun fisik (Setyoadi & Kushariyadi, 2011). Bentuk-bentuk
terapi aktivitas kelompok berdasarkan terapi modalitas (Setyoadi &
Kushariyadi, 2011) yang digunakan oleh para lansia sebagai berikut:
a. Life Review Therapy
Life Review Therapy ini akan membawa seseorang untuk bisa
menjadi lebih akrab pada realita kehidupan. Life Review Therapy
membantu seseorang untuk mengaktifkan ingatan jangka panjang di
mana akan terjadi mekanisme recall tentang kejadian pada kehidupan
masa lalu hingga sekarang. Dengan cara seperti ini lansia akan lebih
mengenal siapa dirinya dan dengan recall tersebut. Haight dan Dias
dalam (Setyoadi & Kushariyadi, 2011) menguji proses dan hasil dari
life review therapy tersebut dapat mengurangi depresi, mengurangi
kesepian, meningkatkan kepercayaan diri, dan meningkatkan
41
kemampuan individu untuk beraktivitas sehari-hari. Terapi ini juga
bertujuan untuk meningkatkan gairah hidup dan harga diri dengan
menceritakan pengalaman hidupnya. Misalnya bercerita di masa
mudanya.
b. Psikodrama
Psikodrama adalah metode psikoterapi kelompok di mana susunan
kepribadian, hubungan interpersonal, konflik, dan masalah emosional
digali dengan menggunakan metoda dramatik spesifik (Pramesti, dalam
Setyoadi & Kushariyadi, 2011). Psikodrama merupakan upaya
pemecahan masalah melalui drama, di mana masalah yang didramakan
adalah masalah psikis yang dialami oleh individu (Utama, dalam
Setyoadi & Kushariyadi, 2011). Terapi psikodrama diciptakan oleh
Moreno, seorang dokter psikiatri dari Vienna. Terapi psikodrama
bermanfaat terutama bagi individu yang sulit menyatakan suatu
peristiwa atau perasaan secara verbal (Kurniadi, dalam Setyoadi &
Kushariyadi, 2011) dan lansia yang mengalami kesepian dan depresi.
Terapi psikodrama ini juga bertujuan untuk mengekspresikan
perasaan lansia. Tema dapat dipilih sesuai dengan masalah lansia
yaitu kesepian.
c. Terapi Okupasi
Setyoadi & Kushariyadi (2011) menyatakan bahwa, terapi
okupasi adalah suatu ilmu dan seni pengarahan partisipasi seseorang
untuk melaksakan suatu tugas tertentu yang telah ditentukan dengan
42
maksud untuk memperbaiki, memperkuat, meningkatkan kemampuan,
serta mempermudah belajar keahlian atau fungsi yang dibutuhkan
dalam proses penyesuaian diri dengan lingkungan. Terapi okupasi lebih
dititikberatkan pada pengenalan kemampuan yang masih ada pada
seseorang kemudian memelihara atau meningkatkannya sehingga
mampu mengatasi masalah-masalah yang diharapkan oleh seseorang
tersebut. Berdasarkan penelitian dalam Kaharingan, Bidjuni, &
Karundeng (2015) menyatakan bahwa Menjadi seseorang yang berarti
dalam hidup tampaknya sangat penting saat memasuki periode lansia.
Pada masa ini, lansia harus dapat menerima, bersikap positif serta dapat
menjalani masa tuanya dengan tenang. Lansia akan menghadapi
berbagai persoalan seperti perasaan kesepian, menurunnya kondisi fisik
dan kognitif, perasaan tidak mampu, kematian pasangan atau orang-
orang terdekat, hilangnya dukungan sosial dan penurunan kesempatan
dalam hal ekonomi karena tidak bekerja atau pensiun (Suprapto, 2013).
Terapi okupasi ini baik diberikan kepada seseorang yang
mengalami kurangnya konsentrasi, mengalami kesepian, depresi. Terapi
okupasi ini juga bertujuan untuk memanfaatkan waktu luang dan
meningkatkan produktivitas dengan membuat atau menghasilkan karya
dari bahan yang telah disediakan. Misalnya: membuat kipas, membuat
keset, membuat bunga dari bahan yang mudah didapatkan (pelepah
pisang, sedotan, botol bekas, dan lain-lain), menjahit dari kain, merajut
dari benang, kerja bakti yaitu membersihkan lingkungan sekitar. Pada
43
penelitian ini bentuk terapi okupasi yang akan dilakukan adalah
membuat bunga dari sedotan, dan untuk membuat sedotan tersebut
adalah lansia yang tidak mengalami kekakuan pada jari tangan, tidak
mengalami tremor berat, dan lansia yang tidak memiliki gangguan
penglihatan. Alasan peneliti menggunakan sedotan untuk membuat
bunga, dilihat dari kondisi fisik yang dimiliki oleh para lansia. Kondisi
fisik yang dialami oleh para lansia mengalami penurunan terutama pada
gerakan motoriknya. Kegiatan okupasi tersebut para lansia dapat
bersosialisasi dan agar memilki kegiatan sehingga tidak merasa sendiri.
d. Terapi Tertawa
Terapi tertawa merupakan suatu terapi untuk mencapai
kegembiraan di dalam hati yang dikeluarkan melalui mulut dalam
bentuk suara tawa, senyuman yang menghias wajah, perasaan hati yang
lepas dan gembira, dada yang lapang, peredaran darah yang lancar
sehingga dapat mencegah penyakit, memelihara kesehatan, serta
menghilangkan stres (Robinson, 1990; Dahl dan O’Neal, 1993 dalam
Setyoadi & Kushariyadi, 2011).
Hipotesis fisiologis menyatakan bahwa tertawa melepaskan
hormon endorfin ke dalam sirkulasi sehingga tubuh menjadi lebih
nyaman dan rileks. Saat tertawa, tidak hanya hormon endorfin saja yang
keluar tetapi banyak hormon positif lainnya yang muncul. Keluarnya
hormon positif ini akan menyebabkan lancarnya peredaran darah dalam
tubuh sehingga fungsi kerja organ berjalan dengan normal.
44
Simon (dalam Setyoadi & Kushariyadi, 2011) menunjukkan bahwa
hormon dapat memengaruhi persepsi individu lansia tentang kesehatan
dan moral, berkaitan dengan proses penuaan yang lancar. Peneliti dari
Loma Linda University, California, mengungkapkan bahwa tertawa
dapat dijadikan terapi untuk sejumlah penyakit, diantaranya serangan
jantung dan juga diabetes. Terapi tertawa diberikan pada klien untuk
meringankan penyakit bronkitis, asma, dan migren. Tertawa juga bisa
meningkatkan kapasitas paru-paru dan kadar oksigen dalam darah.
e. Terapi Rekreasi
Terapi rekreasi adalah kegiatan penyegaran kembali tubuh dan
pikiran dan kegiatan yang menggembirakan hati seperti hiburan atau
piknik. Rekreasi dapat meningkatkan daya kreasi manusia dalam
mencapai keseimbangan antara bekerja dan beristirahat. Terapi rekreasi
pada lansia adalah aktivitas yang dilakukan pada waktu senggang yang
bertujuan untuk membentuk serta meningkatkan kembali kesegaran
fisik, mental, pikiran, dan daya rekreasi (individul maupun kelompok)
yang hilang akibat aktivitas rutinitas sehari-hari dengan dengan cara
mencari kesenangan, hiburan, dan kesibukan yang berbeda.
Terapi rekreasi yang diberikan kepada lansia akan memengaruhi
kondisi fisik dan psikis lansia. Secara fisik terapi rekreasi mampu
membantu lansia dalam mengembalikan atau memperbaiki kondisi fisik
yang sudah lama jarang di gerakkan akibat hospitalisasi yang lama.
Secara psikis terapi rekreasi akan memengaruhi psikis lansia seperti
45
membantu menyegarkan otak dan pikiran, membuat perasaan perasaan
menjadi tenang, senang, serta nyaman.
Dengan demikian, lansia tidak akan merasa cemas, stres, maupun
depresi. Terapi rekreasi bertujuan untuk menciptakan dan membina
hubungan manusia, mempertahankan nilai-nilai budaya, menimbulkan
kesenangan dan kepuasan karena dapat memenuhi rasa ingin tahu, dan
memulihkan kesehatan jasmani dan rohani. Terapi rekreasi ini cocok
diberikan kepada lansia yang baru keluar dari rumah sakit setelah
perawatan selama lebih dari dua minggu, lansia yang sedang
mengalami cemas, stres, maupun depresi, dan lansia yang mempunyai
penyakit kronis.
f. Terapi Hewan
Terapi hewan (animal therapy) adalah terapi modalitas/terapi
aktivitas kelompok yang menggunakan hewan peliharaan sebagai
medianya. Hewan yang digunakan adalah hewan yang berfungsi khusus
sebagai teman sehari-hari, setia pada majikan, dan memiliki
kemampuan menarik tertentu seterti menyanyi, misalnya kucing dan
burung. Dr. L. Suryantha Chandra, psikiater dan Direktur Utama
Sanatorium Dharmawangsa Jakarta, mengatakan bahwa mempunyai
hewan peliharaan bisa menjadi salah satu unsur dalam terapi pada
gangguan jiwa. Dengan demikian, dianjurkan orang yang mengalami
gangguan jiwa (depresi), agar mempunyai hewan peliharaan.
46
Hewan peliharaan mempunyai fungsi untuk memenuhi kebutuhan
jiwa manusia, mengisi rasa kesepian, dan juga sebagai tempat untuk
mencurahkan perasaan. Terapi hewan ini juga bertujuan untuk dapat
menyembuhkan hati yang patah, impian yang hilang, serta ide dan
pikiran yang buruk, dapat membantu seseorang untuk mengurangi
kecemasan melawan penyakit, mengusir kesepian, dan depresi,
meningkatkan interaksi sosial, bahkan dapat memperpanjang umur.
Selain itu terapi hewan dapat juga untuk membuat seseorang menjadi
tenang dan menanggulangi depresi, melawan penyakit jantung,
meningkatkan sistem kekebalan tubuh, dan meningkatkan kepercayaan
diri dan harga diri individu dengan gangguan fisik dan seksual.
g. Terapi Spiritual
Terapi spiritual adalah terapi dengan pendekatan terhadap
kepercayaan yang dianut oleh klien dengan cara memberikan
pencerahan. WHO menetapkan unsur spiritual (agama) sebagai salah
satu dari empat unsur kesehatan. Keempat unsur kesehatan tersebut
adalah sehat fisik, sehat psikis, sehat sosial, dan sehat spiritual.
Pendekatan ini diadopsi oleh psikiater Amerika Serikat (The American
Psychiatric Association, 1992) yang dikenal dengan pendekatan bio-
psiko-sosio-spiritual. Dari sudut ilmu kedokteran jiwa atau kesehatan
jiwa, doa dan zikir (psikoreligius terapi) merupakan terapi psikiatri
setingkat lebih tinggi daripada psikoterapi biasa.
47
Hal ini dikarenakan doa dan zikir mengandung unsur spiritual yang
dapat membangkitkan harapan (hope) dan rasa percaya diri (self
confidence) pada diri seseorang yang sedang sakit sehingga kekebalan
tubuh serta proses penyembuhan dapat meningkat. Penelitian Young
(1993) dalam (Setyoadi & Kushariyadi, 2011) menunjukkan bahwa
praktik spiritual klien lansia dapat meningkatkan perasaan produktivitas
dan kemampuan beradaptasi yang membantu dalam menghadapi
individu yang sakit kronis.
Hasil penelitian mengenai terapi psikoreligius menurut Larson
(1992) dalam (Setyoadi & Kushariyadi, 2011) yang melakukan studi
banding pada klien lansia dengan klien usia muda yang akan menjalani
operasi. Hasil dari studi tersebut menunjukkan bahwa klien lansia
dengan tingkat religius tinggi serta banyak berdoa atau berzikir kurang
mengalami ketakutan, kecemasan, tidak takut mati, dan tidak menunda-
nunda jadwal operasi, dibandingkan dengan klien usia muda yang
tingkat religiusnya rendah. Terapi spiritual ini juga bertujuan untuk
mereduksi lamanya waktu perawatan individu gangguan psikis,
memperkuat mentalitas dan konsep diri individu. Individu dengan
gangguan psikis berasal dari persepsi yang salah terkait dengan dirinya,
orang lain dan lingkungan, dengan terapi spiritual maka individu akan
dikembalikan persepsinya terkait dengan dirinya, orang lain dan
lingkungan. Terapi spiritual juga mempunyai efek positif dalam
menurunkan stres yang dialami oleh individu.
48
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa bentuk-
bentuk terapi aktivitas kelompok berupa terapi okupasi, life review
therapy, psikodrama, terapi tertawa, terapi rekreasi, terapi hewan, dan
terapi spiritual. Bentuk terapi aktivitas kelompok yang akan dipakai untuk
penelitian ini adalah terapi aktivitas kelompok yang diambil menurut
Setyoadi & Kushariyadi yaitu terapi okupasi, life review therapy, dan
psikodrama untuk menurunkan kesepian pada lansia. Alasan peneliti
menggunakan terapi okupasi, psikodrama dan life review karena terapi
yang lain seperti terapi spiritual, terapi rekreasi, terapi hewan sudah pernah
dilakukan seperti lansia mengikuti pengajian, pergi piknik bersama dan
mereka sudah memiliki hewan peliharaan di rumah. Sehingga ketiga
bentuk terapi yaitu terapi okupasi yaitu terapi ini diberikan kepada lansia
guna para lansia dapat mengisi waktu luang dengan berkumpul dan
bersosialisasi dengan lansia dan melatih motorik kasarnya dengan
membuat suatu karya seperti membuat bunga dari sedotan , life review
therapy yaitu suatu terapi yang diberikan kepada lansia guna para lansia
tersebut berbagi pengalaman hidupnya kepada para lansia yang lain, dan
psikodrama yaitu suatu terapi yang diberikan kepada para lansia guna para
lansia dapat mengekspresikan perasaan-perasaan yang ada didalam
dirinya, sehingga ketiga bentuk terapi tersebut yang efektif untuk
dilakukan berdasarkan kondisi lansia yang akan menjadi subjek penelitian
yaitu lansia yang memiliki aspek kesepian seperti terisolasi, merasa disalah
49
mengerti, merasa tidak dicintai, tidak memiliki sahabat, malas membuka
diri, bosan, dan gelisah.
3. Tujuan Terapi Aktivitas Kelompok
Tujuan terapi aktivitas kelompok yang akan diberikan kepada para lansia
yang kesepian menurut Yosep (2009) adalah:
a. Memantau dan meningkatkan hubungan interpersonal
Diharapkan lansia yang mengikuti terapi aktivitas kelompok ini, dapat
meningkatkan hubungan interpersonal terhadap orang lain dan
lingkungan sekitar.
b. Memberi tanggapan terhadap orang lain
Diharapkan subjek dapat bersosialisasi dan memberi tanggapan ketika
berinteraksi dengan orang lain.
c. Mengekspresikan ide dan tukar persepsi
Diharapkan lansia setelah mengikuti terapi aktivitas kelompok, lansia
dapat mengekspresikan ide ataupun perasaan yang negatif dan
mengubahnya menjadi persepsi yang positif.
d. Menerima stimulus eksternal yang berasal dari lingkungan
Diharapkan lansia mampu menerima stimulus yang berasal dari
lingkungan dengan baik sehingga tidak beranggapan negatif terhadap
lingkungan sekitar.
50
e. Mengekpresikan ide serta menerima stimulus eksternal.
Diharapkan lansia dapat mengekspresikan ide dan perasaannya dengan
baik dan lebih positif ketima lansia menerima stimulus dari
lingkungan sekitarnya.
4. Langkah Kegiatan Terapi Aktivitas Kelompok
Terapi aktivitas kelompok merupakan suatu kegiatan yang diberikan
kepada individu dan dilakukan secara bersama-sama dengan individu yang
lain, guna untuk meningkatkan dan membangun hubungan yang baik
dengan orang lain secara sosial (Keliat, 2005).
Individu mempunyai kapasitas untuk tumbuh dan berkembang.
Dalam kegiatan terapi aktivitas kelompok berdasarkan beberapa bentuk
yaitu terapi okupasi, life review therapy, dan psikodrama (Setyoadi &
Kushariyadi, 2011) ini akan diberikan beberapa langkah seperti berikut:
1) Semua lansia akan mengikuti kegiatan life review teraphy yang
akan dilaksanakan guna agar lansia yang satu dengan yang lain
mengenal dan dapat bersosialisasi. Life review teraphy bertujuan
untuk meningkatkan gairah hidup dan harga diri pada lansia. Dalam
kegiatan ini para lansia diminta untuk melihat kembali kehidupan
sebelumnya dengan meminta pada para lansia tersebut untuk
menceritakan pengalaman-pengalaman yang pernah terjadi dalam
hidup para lansia masing-masing.
51
2) Semua lansia akan mengikuti kegiatan psikodrama dengan
bertujuan agar para lansia dapat mengekspresikan perasaan terhadap
masalah yang sedang dialami oleh para lansia. Dengan kegiatan
psikodrama dilakukan dengan beberapa tahap yaitu tahap
sosiometri (intro), warming up (persiapan), tahap action (tahap
pelaksanaan) dengan menggunakan teknik monodrama, dan teknik
cermin. Tahap sosiometri (intro) yaitu pembukaan untuk
memperkenalkan diri dari masing-masing subjek lansia dan untuk
melihat seberapa besar kesediaan dalam mengikuti kegiatan
psikodrama ini, tahap persiapan (warming up) yaitu merupakan
tahap dimana untuk memotivasi setiap anggota kelompok agar setiap
anggota kelompok siap berpartisipasi secara aktif dalam permainan,
menentukan tujuan permainan, menciptakan perasaan aman dan saling
percaya pada antar anggota kelompok, tahap pelaksanaan (action) yaitu
tahap dimana kegiatan psikodrama akan mulai dinainkan dengan
menggunakan beberapa teknik antara lain: monodrama yaitu protagonis
memainkan semua bagian tindakan yang jelas dan tidak
menggunakan ego (peran) pembantu, dan teknik cerminan yaitu
protagonis memperhatikan dari luar tahap sementara seorang ego
pembantu mencerminkan kata-kata, mimik, dan postur protagonis
(Setyoadi & Kushariyadi, 2011).
Diharapkan para lansia tersebut dapat mengekspresikan
perasaan yang tidak dapat diluapkan dalam diri pada para lansia
masing-masing terhadap permasalahan yang sedang para lansia
52
hadapi. Dengan psikodrama ini para lansia dapat berbagi terhadap
lansia lainnya sehingga para lansia lainnya dapat merasakan yang
sedang dirasakan oleh para lansia yang memiliki masalah tersebut.
Kegiatan ini dapat membantu seseorang atau para lansia untuk
mengembangkan keterampilan personal sehingga dapat mengurangi
perasaan terisolasi.
3) Semua lansia mengikuti kegiatan aktivitas okupasi yang akan
diberikan kepada para lansia. Kegiatan aktivitas okupasi yang akan
dilakukan, diharapkan agar para lansia tersebut dapat berkumpul
dengan para lansia agar mereka dapat berbagi satu dengan yang
lain agar semua memahami dan sambil membuat bunga dari
sedotan. Menurut penelitian Graff (2007), salah satu cara untuk
mengoptimalkan fungsi kognitif yang berdampak terhadap
masalah psikologis yang dialami oleh lansia dengan menggunakan
terapi okupasi, sehingga terapi okupasi ini dapat membantu
mengurangi masalah psikologis seperti kesepian yang dialami oleh
para lansia. Terapi Okupasi merupakan suatu bentuk psikoterapi
suportif berupa aktivitas-aktivitas yang membangkitkan
kemandirian secara manual, kreatif dan edukasional untuk
menyesuaikan diri dengan lingkungan dan meningkatkan derajat
kesehatan fisik dan mental pasien serta kebermaknaan hidup
lansia, seperti merangkai bunga dari sedotan. Terapi okupasi
bertujuan mengembangkan, memelihara, memulihkan fungsi atau
53
mengupayakan kompensasi/adaptasi untuk aktifitas sehari-hari,
produktivitas dan luang waktu melalui pelatihan, remediasi,
stimulasi dan fasilitasi (dalam Kaharingan, Bidjuni, & Karundeng,
2015).
Berdasarkan uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa terapi
aktivitas kelompok yang dilakukan terhadap lansia kesepian memiliki
tujuan untuk meningkatkan hubungan interpersonal antar anggota
kelompok, berkomunikasi, saling memperhatikan, memberi tanggapan
terhadap orang lain, mengekpresikan ide serta menerima stimulus
eksternal. Terapi aktivitas kelompok juga memiliki langkah kerja yaitu
para lansia mengikuti kegiatan life review teraphy, psikodrama dan setelah
itu terapi okupasi.
C. Pengaruh Terapi Aktivitas Kelompok untuk Penurunan Kesepian
pada Lansia
Lanjut usia (Lansia) adalah periode penutup dalam rentang hidup
seseorang, yaitu periode dimana seseorang telah banyak jauh dari periode
terdahulu yang lebih menyenangkan, atau beranjak dari waktu yang penuh
manfaat (Hurlock, 2002). Hal tersebut ditandai dengan kemunduran dan
kehilangan seperti masa pensiun, kehilangan atau kematian pasangan
hidup dan sahabat, dan keterpisahan dari anak-anak yang sudah tidak
tinggal bersama lansia. Maka dalam keadaan seperti ini akan
menimbulkan perasaan kesepian pada lansia.
54
Kesepian adalah kondisi subjektif individu saat merasa kebutuhan
sosialnya tidk terpenuhhi seperti yang diharapkan. Manusia dinyatakan
sebagai makhluk sosial, sehingga hubungan emosional dengan orang lain
merupakan hal yang penting bagi kebanyakan individu (Hughes, Waite,
Hawkley, & Cacioppo, 2004). Bila individu secara subjektif
mempersepsikan bahwa hubungannya dengan orang lain terbatas, mereka
biasanya merasakan kesepian. Kesepian melibatkan rasa terisolasi dan
minimnya keterhubungan secara relasional dan juga koloktif (Russell,
Peplau, & Cutrona, dalam Hughes, Waite, Hawkley, & Cacioppo, 2004).
Rasa kesepian tidaklah berarti merasa sendiri, namun melibatkan rasa
terisolasi, tidak terhubung, dan minimnya kebersamaan. Perasaan tersebut
merefleksikan perbedaan antara harapan dan juga hubungan sosial yang
dimiliki. Beberapa individu akan tetap merasa kesepian meskipun
sebenarnya memiliki network sosial yang besar, hal inilah yang disebut
dengan konsep alienasi (Brennan, shaver, dalam Tomaka, Thompson, &
Palacios, 2006).
Menurut Myers (2012), kesepian merupakan sebuah kesadaran
yang penuh perasaan sakit mengenai hubungan sosial yang kurang banyak
atau kurang berarti dibandingkan dengan yang diharapkan. Yang dan
Viktor (2008) mendefenisikan kesepian sebagai adanya penurunan atau
ketidak sesuaian antara keadaan yang sebenarnya dan yang diinginkan dri
hubungan sosial dalam kehidupan seseorang. Sears, dkk (Santrock, 2002)
mengatakan kesepian sebagai suatu pengalaman subjektif yang tidak
55
menyenangkan dalam berinteraksi dengan orang lain baik dalam segi
kuantitas maupun kualitas. Kesepian adalah suatu keadaan mental dan
emosional yang terutama dicirikan oleh adanya perasaan-perasaan terasing
dan kurangnya hubungan yang bermakna dengan orang lain (dalam Frank,
2000). Kesepian tersebut muncul jika seseorang merasa tersisih dari
kelomupoknya, tidak diperhatikan oleh orang-orang disekitarnya, terisolasi
dari lingkungan, tidak ada seseorang tempat berbagi rasa dan pengalaman,
dan tidak mempunyai pilihan (Suardiman, 2011).
Penelitian yang dilakukan Hawkley, dkk (2010) menemukan jka
interaksi dengan orang lain berhubungan erat dengan kesepian, semakin
berkualitas hubungan individu dengan orang lain, maka semakin kecil jika
individu tersebut mengalami kesepian. Menurut Bruno (2000) yang dapat
disimpulkan bahwa aspek-aspek kesepian merupakan suatu keadaan
mental dan emosional seseorang yang berhubungan dengan perasaan
kesepian, yang meliputi keterasingan, tidak diterima orang lain (merasa
ada penolakan), merasa disalah mengertikan, merasa tidak dicintai, tidak
mempunyai sahabat, bosan, gelisah.
Hasil penelitian oleh Pressman (2005) juga menunjukkan bahwa
semakin kurangnya hubungan sosial maka kemungkinan individu
mengalami kesepian akan lebih mudah. Dapat dikatakan bahwa akar
permasalahan psikologis bagi usia lanjut adalah kesepian, yang kemudian
memunculkan perasaan terasing dari lingkungan, ketidakberdayaan,
56
kurang percaya diri, perasaan tidak berguna, ketergantungan, post power
syndrome dan sebagainya (Suardiman, 2011).
Kesepian pada lansia adalah dimana orang lanjut usia merasa
sendirian, merasa terisolasi, merasa tidak memiliki seorangpun untuk
dijadikan pelarian saat dibutuhkan serta kurangnya waktu untuk
berhubungan dengan lingkungannya (lingkungan sosial) baik dalam
keluarga ataupun disekitar tempat tinggal mereka (Santrock, 2002).
Lansia yang mengalami kesepian seringkali merasa jenuh dan bosan
dengan hidupnya, sehingga dirinya berharap agar kematian segera datang
menjemputnya. Hal itu karena dirinya tidak ingin menyusahkan keluarga
dan orang-orang disekitarnya (Gunarsa, 2004).
Dalam mengatasi masalah kesepian (loneliness), setiap orang
memiliki cara yang berbeda-beda seperti dengan dukungan sosial, latihan
keterampilan sosial, dan terapi musik angklung. Selain itu salah satunya
adalah dengan menggunakan terapi aktivitas kelompok. Terapi aktivitas
kelompok mengajarkan individu untuk dapat berinteraksi dengan baik
terhadap orang lain dan lingkungan di sekitarnya dengan melakukan
beberapa kegiatan secara bersama-sama, sehingga individu tersebut tidak
akan merasa sendiri lagi dan merasa bahagia (Keliat, 2005). Menurut
Yalom (dalam Stuaart & Laraia, 2001), terapi aktivitas kelompok adalah
suatu kegiatan yang anggota kelompok mungkin datang dari berbagai latar
belakang yang harus ditangani sesuai dengan keadaan psikis seperti
agresif, takut, kebencian, kompetitif, kesamaan, ketidaksamaan, kesukaan,
57
kesepian, dan menarik. Semua kondisi ini akan mempengaruhi dinamika
kelompok, ketika anggota kelompok memberi dan menerima umpan balik
yang berarti dalam berbagai interaksi yang terjadi dalam kelompok.
Penggunaan terapi aktivitas kelompok dalam menurunkan kesepian
pada lansia didasarkan bahwa adanya perasaan yang tidak baik seperti
murung, tidak merasa bahagia, sedih, kurangnya hubungan emosional
yang akrab terhadap orang lain, adanya keterbatasan kemampuan fisik,
adanya perubahan status, berkurangnya kualitas keberadaan diri individu
tersebut, dan memiliki kualitas relasi yang rendah, sehingga individu dapat
hidup dengan tenang dan bahagia. Bentuk-bentuk terapi aktivitas
kelompok yang akan diberikan adalah terapi okupasi yaitu untuk
memanfaatkan waktu luang dan meningkatkan produktivitas. Kegiatan
aktivitas okupasi yang akan dilakukan oleh para lansia, diharapkan agar
para lansia tersebut dapat berkumpul dengan para lansia agar mereka dapat
berbagi satu dengan yang lain agar semua memahami dan sambil membuat
bunga dari sedotan. Selain itu, para lansia Life Review Teraphy untuk
meningkatkan gairah hidup dan harga diri dengan menceritakan
pengalaman hidupnya, psikodrama untuk mengekspresikan perasaan pada
para lansia (Setyoadi & Kushariyadi, 2011).
Menurut penelitian Graff (2007), salah satu cara untuk
mengoptimalkan fungsi kognitif lansia dengan menggunakan terapi
okupasi. Selain itu terapi okupasi ini dapat membantu lansia yang
mengalami kesepian yaitu ketika lansia hanya berdiam diri sendiri di
58
rumah, dan tidak mau berkomunikasi dengan ttangga dan lingkungan di
sekitarnya. Terapi Okupasi merupakan suatu bentuk psikoterapi suportif
berupa aktivitas-aktivitas yang membangkitkan kemandirian secara
manual, kreatif dan edukasional untuk menyesuaikan diri dengan
lingkungan dan meningkatkan derajat kesehatan fisik dan mental pasien
serta kebermaknaan hidup lansia, seperti merangkai bunga dari sedotan.
Terapi okupasi bertujuan mengembangkan, memelihara, memulihkan
fungsi atau mengupayakan kompensasi/adaptasi untuk aktifitas sehari-hari,
produktivitas dan luang waktu melalui pelatihan, remediasi, stimulasi dan
fasilitasi. Terapi okupasi tersebut dapat membantu para lansia untuk
membangun hubungan interpersonal terhadap lingkungan sekitar dan para
lansia tersebut juga tidak merasa sendiri, merasa terisolasi, merasa ada
penolakan, dan kesepian dengan melakukan kegiatan bersama-sama.
Sehingga terapi okupasi dapat juga untuk menurunkan kesepian terhadap
lansia (dalam Kaharingan, Bidjuni, & Karundeng, 2015).
Selanjutnya para lansia tersebut melakukan kegiatan life Review
Teraphy, setelah para lansia telah dapat memahami satu dengan lain
melalui kegiatan life Review Teraphy ini para lansia diharapkan dapat
berbagi pada para lansia dengan cerita-cerita tentang pengalaman hidup
pada saat masa muda, dengan begitu para lansia merasa dihargai dan dapat
meningkatkan gairah hidup para lansia sehingga para lansia tersebut tidak
merasa kesepian dikarekan ada teman cerita dan berbagi satu dengan yang
lainnya. Life review teraphy merupakan suatu teknik yang dapat membantu
59
seseorang untuk mengaktifkan ingatan jangka panjang di mana akan
terjadi mekanisme recall tentang kejadian pada kehidupan masa lalu
hingga sekarang (Setyoadi & Kushariyadi, 2011). Para lansia dapat
menceritakan pengalaman-pengalaman mereka pada saat muda sehingga
para lansia tersebut merasa diperhatikan, dicintai dan tidak merasa
kesepian lagi. Seperti penelitian yang dilakukan oleh Refai (2015),
menyatakan bahwa terapi life Review dapat membantu para lansia untuk
mengatasi stres dan perasaan kesepian yang dialami oleh lansia seperti
perasaan yang disalah mengerti, tidak dicintai, gelisah, dan bosan dengan
menceritakan pengalaman-pengalaman hidup dari para lansia.
Selain itu selanjutnya para lansia melakukan kegiatan psikodrama.
Melalui kegiatan psikodrama ini, para lansia diharapkan dapat
mengekspresikan perasaan dan emosi-emosi yang tidak dapat diluapkan
yang ada dalam diri pada para lansia masing-masing terhadap
permasalahan yang sedang para lansia hadapi. Menurut Bennet (Romlah,
2001), Psikodrama merupakan bagian dari permainan peranan (role
playing). Bennet membagi permainan peranan menjadi dua macam yaitu
sosiodrama dan psikodrama. Sosiodrama adalah permainan peranan yang
ditujukan untuk memecahkan masalah sosial yang timbul dalam hubungan
antar manusia. Dengan psikodrama ini para lansia dapat berbagi terhadap
lansia lainnya sehingga para lansia lainnya dapat merasakan yang sedang
dirasakan oleh para lansia yang memiliki masalah tersebut. Lansia yang
tidak dapat mengungkapkan dan mengekspresikan perasaan-perasaan yang
60
ada di dalam dirinya, dengan psikodrama ini lansia diajarkan agar bisa
mengekspresikan perasaan-perasaan yang tidak dapat diungkapkan.
Seperti penelitian yang dilakukan oleh Priyono, Saraswati, & Junaid
(2015) menyatakan bahwa dengan psikodrama dapat mengurangi
kecemasan dan kesepian yang dialami oleh para lansia seperti perasaan
terisolasi, penolaka, disalah mengerti, merasa tidak dicintai, tidak memiliki
sahabat, malas membuka diri, bosan dan gelisah.
Melalui terapi aktivitas kelompok, lansia menentukan perasaan
yang diinginkan seperti lansia ingin bahagia dengan berkumpul dengan
orang yang ada disekirnya sehingga lansia tersebut tidak akan merasa
kesepian lagi. Oleh karena itu, terapi aktivitas kelompok ini dikembangkan
dengan harapan dapat membantu menurunkan kesepian terutama pada
lansia.
D. Landasan Teori
Lansia yang kesepian sering mengalami masalah psikologi dalam
dirinya dengan menunjukkan perasaan yang merasa dijauhkan dari
lingkungan, tidak ada yang mencintainya, merasa disalah mengerti, adanya
rasa gelisah dan bosan dalam diri lansia, dan merasa sendiri. Sehingga
kebanyakan lansia yang mengalami kesepian banyak berdiam diri di
rumah dan tidak mau bersosialisasi dengan lingkungan sekitar.
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan terapi aktivitas
kelompok untuk menurunkan kesepian pada lansia. Terapi aktivitas
kelompok adalah sebuah treatment yang dilakukan dengan cara
61
menyertakan beberapa orang dalam sebuah kelompok kecil yang
didampingi oleh satu terapis atau lebih yang terlatih dalam proses terapi
aktivitas kelompok (Brabendem, Fallon, & Smolar, 2004). Menurut Yalom
dalam Stuaart & Laraia (2001), terapi aktivitas kelompok adalah suatu
kegiatan yang anggota kelompok mungkin datang dari berbagai latar
belakang yang harus ditangani sesuai dengan keadaannnya seperti agresif,
takut, kebencian, kompetitif, kesamaan, ketidaksamaan, kesukaan,
kesepian, dan menarik. Terapi aktivitas kelompok merupakan suatu
kegiatan yang diberikan kepada individu dan dilakukan secara bersama-
sama dengan individu yang lain, guna untuk meningkatkan dan
membangun hubungan yang baik dengan orang lain secara sosial (Keliat,
2005).
Adapun bentuk-bentuk terapi aktivitas kelompok yang akan dipakai
untuk penelitian ini adalah terapi okupasi, life review teraphy, psikodrama
dan terapi keagamaan menurut Setyoadi & Kushariyadi (2011) untuk
menurunkan kesepian pada lansia. Tujuan terapi aktivitas kelompok yang
akan diberikan kepada para lansi yang kesepian adalah: memantau dan
meningkatkan hubungan interpersonal. Ketiga bentuk ini dapat
menurunkan kesepian yang dialami oleh para lansia, yaitu seperti terapi
okupasi adalah suatu ilmu dan seni pengarahan partisipasi seseorang untuk
melaksanakan suatu tugas tertentu yang telah ditentukan dengan maksud
untuk memperbaiki, memperkuat meningkatkan kemampuan, serta
62
mempermudah belajar keahlian atau fungsi yang dibutuhkan dalam proses
penyesuaian diri dengan lingkungan (Setyoadi & Kushariyadi, 2011).
Selain itu, terapi okupasi ini juga dapat meningkatkan produktivitas,
mengurangi atau memperbaiki ketidaknormalan (kecacatan), serta
memelihara dan meningkatkan derajat kesejahteraan (Setyoadi &
Kushariyadi, 2011). Life review teraphy merupakan suatu fenomena yang
luas sebagai gambaran pengalaman kejadian, di mana di dalamnya
seseorang akan melihat secara cepat tentang totalitas riwayat
kehidupannya (Setyoadi & Kushariyadi, 2011). Selain itu life review
teraphy merupakan suatu kegiatan yang dapat membawa seseorang untuk
bisa menjadi lebih akrab pada realita kehidupan dan kegiatan ini juga
dapat membantu seseorang untuk mengaktifkan ingatan jangka panjang di
mana akan terjadi mekanisme recall tentang kejadian pada kehidupan
masa lalu hingga sekarang, dengan cara ini lansia akan lebih mengenal
siapa dirinya dan dengan recall tersebut lansia akan dapat
mempertimbangkan untuk mengubah kualitas hidup dan cara pandang
tentang diri lansia menjadi lebih baik dibandingkan sebelumnya (Setyoadi
& Kushariyadi, 2011).
Terapi psikodrama menurut Pramesti (dalam Setyoadi &
Kushariyadi, 2011 ) menyatakan bahwa metode psikoterapi kelompok di
mana susunan kepribadian, hubungan interpersonal, konflik, dan masalah
emosional digali dengan menggunakan metoda dramatik spesifik.
Psikodrama ini juga merupakan upaya pemecahan masalah melalui drama,
63
di mana masalah yang didramakan adalah maalah psikis yang dialami
individu (Utama dalam Setyoadi & Kushariyadi, 2011). Psikodrama
adalah bentuk aktif dari kelompok psikoterapi dimana situasi kehidupan
individu disajikan di atas panggung dengan dukungan dari anggota
kelompok (Fatmah, 2014). Kegiatan psikodrama ini dilakukan dengan
beberapa tahap yaitu tahap sosiometri (intro) yaitu pembukaan untuk
memperkenalkan diri dari masing-masing subjek lansia dan untuk melihat
seberapa besar kesediaan dalam mengikuti kegiatan psikodrama ini, tahap
persiapan (warming up) yaitu merupakan tahap dimana untuk memotivasi
setiap anggota kelompok agar setiap anggota kelompok siap berpartisipasi
secara aktif dalam permainan, menentukan tujuan permainan, menciptakan
perasaan aman dan saling percaya pada antar anggota kelompok, tahap
pelaksanaan (action) yaitu tahap dimana kegiatan psikodrama akan mulai
dinainkan dengan menggunakan beberapa teknik antara lain: monodrama
yaitu protagonis memainkan semua bagian tindakan yang jelas dan tidak
menggunakan ego (peran) pembantu, dan teknik cerminan yaitu
protagonis memperhatikan dari luar tahap sementara seorang ego
pembantu mencerminkan kata-kata, mimik, dan postur protagonis
(setyoadi & kushariyadi, 2011).
Berdasarkan paparan di atas, maka dalam penelitian ini, lansia
yang mengalami kesepian dilihat dari aspek-aspek berdasarkan Bruno
(2000) yaitu keterasingan (isolasi), penolakan, tidak diterima orang lain,
merasa tidak dicintai, gelisah, bosan, tidak mempunyai sahabat, merasa
64
disalah mengertikan. para lansia yang mengalami kesepian berdasarkan
aspek-aspek tersebut akan diberikan terapi modalitas dengan bentuk-
bentuk yang meliputi life review teraphy, psikodrama dan terapi okupasi
menurut (Setyoadi & Kushariyadi, 2011) sehingga kesepian yang dialami
oleh para lansia dapat menurun. Lebih jelasnya, dapat dilihat dari gambar
di bawah ini:
65
Keterangan: : Menyebabkan : Intervensi Gambar 1. Pengaruh terapi aktivitas kelompok untuk menurunkan kesepian
pada lansia
Lansia
Terapi aktivitas kelompok:terapi okupasi, life rviewtherapy, dan psikodrama
Penurunan kesepian
(loneliness) pada lansia.
Ditandai dengan :- Tidak merasa terisolasi- Tidak merasa ditolak lagi- Komunikasi meningkat- Kepercayaan diri
meningkat dan merasa
disalah mengerti menurun- Merasa tidak dicintai
menurun- Memiliki sahabat- Dapat membuka diri- Hilangnya rasa bosan dan
gelisah
Penghayatan perasaankesepian (loneliness) padalansia, ditandai dengan:- Isolasi- Penolakan- Merasa disalah mengerti- Merasa tidak dicintai- Tidak mempunyai
sahabat- Malas membuka diri- Bosan- gelisah
66
Berdasarkan gambar di atas diketahui bahwa lansia yang memiliki
kurangnya hubungan emosional yang akrab terhadap orang yang berada
disekitarnya, keterbatasan kemampuan fisik, perubahan status, berkurangnya
kualitas keberadaan, dan memiliki kualitas relasi yang rendah membuat lansia
tersebut merasa kesepian yang sehingga akan mempengaruhi suasana hati,
sosialisasi, komunikasi, dan perilaku yang kurang baik. Lansia yang mengalami
kesepian yaitu dengan ditandai perasaan isolasi, penolakan, merasa disalah
mengerti, merasa tidak dicintai, merasa tidak mempunyai sahabat, malas
membuka diri, bosan dan gelisah akan diberikan terapi aktivitas kelompok untuk
menurunkan kesepian yang ada pada diri lansia tersebut.
Terapi aktivitas kelompok yang akan dilakukan tersebut akan membantu
lansia untuk menurunkan kesepiannya sehingga akan mempengaruhi suasana hati,
sosialisasi, komunikasi, dan perilaku menjadi lebih baik dari sebelumnya. Selain
itu para lansia tersebut sudah tidak merasa terisolasi, tidak merasa ditolak lagi,
Komunikasi meningkat, Kepercayaan diri meningkat dan merasa disalah mengerti
menurun, Merasa tidak dicintai menurun, Memiliki sahabat, dapat membuka diri,
hilangnya rasa bosan dan gelisah.
E. Hipotesis
berdasarkan uraian di atas, maka hipotesis pada penelitian ini adalah
bahwa “ada perbedaan kesepian pada lansia sebelum dengan setelah terapi
aktivitas kelompok. kesepian pada lansia kelompok ngudi waras yogyakarta lebih
rendah dari pretest setelah diberi terapi aktivitas kelompok daripada sebelum
diberi terapi aktivitas kelompok”.