BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kesejahtraan Psikologis Pada ...eprints.mercubuana-yogya.ac.id/4810/3/BAB...
Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kesejahtraan Psikologis Pada ...eprints.mercubuana-yogya.ac.id/4810/3/BAB...
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kesejahtraan Psikologis Pada Janda Bercerai
1. Pengertian Kesejahteraan Psikologis
Kata “sejahtera” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti aman,
sentosa, dan makmur, selamat (lepas dari segala macam gangguan). Sementara
“kesejahtraan” merupakan hal atau keadaan sejahtera; keamanan, keselamatan,
ketenteraman;- jiwa kesehatan jiwa;- sosial keadaan sejahtera (Kamus Besar
Bahasa Indonesia, 2003). Kesejahteraan merupakan suatu hal yang bersifat
subjektif, sehingga setiap keluarga atau individu di dalamnya yang memiliki
pedoman, tujuan,dan cara hidup yang berbeda akan mempunyai nilai yang
berbeda tentang faktor – faktor yang menentukan tingkat kesejahteraan (Badan
Kependudukan Keluarga Berencana Nasional dalam Nuryani, 2007).
Kesejahteraan menurut Ryff dan Singer (1996) adalah suatu konsep yang
terbentuk dari berbagai pengalaman dan fungsi-fungsi individu sebagai manusia
yang utuh. Istilah psychological well-being atau kesejahteraan psikologis
merupakan suatu pencapaian penuh dari potensi psikologis individu dan suatu
keadaan dimana individu dapat menerima kekuatan dan kelemahan diri apa
adanya, memiliki tujuan hidup, memiliki relasi yang positif dengan orang lain,
menjadi pribadi yang mandiri, mampu mengendalikan lingkungan, dan terus
bertumbuh secara personal.
2
Ryff & Singer (1986) menggali kesejahteraan psikologis dalam konteks
aplikasi kehidupan dan memberikan batasan istilah, tidak hanya pencapaian
kebahagiaan tetapi juga sebagai tujuan yang mengarah kepada kesempurnaan.
Kesejahteraan psikologis tidak hanya berbicara mengenai kesehatan mental yang
negatif saja, akan tetapi juga berbicara mengenai bagaimana seseorang individu
mampu mengembangkan kemampuan dan potensi yang dimilikinya secara
optimal, sebagimana individu yang berfungsi baik secara fisik, emosional maupun
psikologis (Ryff, 1995).
Kesejahteraan psikologis pada individu tidak hanya digambarkan sebagai
kondisi dimana tidak adanya gangguan mental yang terjadi pada diri seseorang,
tetapi juga bagaimana individu tersebut menyadari sumber daya psikologis yang
ada di dalam dirinya serta mampu mengaplikasikan sumber daya psikologis
tersebut (Christopher, 1990;Huppert, 2009; Moeenizadeh & Sala-game, 2010).
Seluruh aktivitas yang berlangsung setiap hari yang dilakukan oleh individu
dimana dalam setiap proses tersebut memungkinkan individu mengalami
goncangan pikiran dan perasaan yang diawali dari kondisi mental yang negatif
sampai pada kondisi mental yang positif (Bradburn dalam Ryff & Keyes,1995).
Ryff (dalam Carr, 2008) mendefinisikan kesejahteraan piskologis adalah
suatu dorongan untuk mengetahui lebih dalam potensi dalam diri individu secara
keseluruhan. Dorongan tersebut dapat menjadi suatu penyebab seseorang menjadi
pasrah akan keadaan yang menyebabkan kesejahteraan psikologis individu terebut
menjadi rendah atau berusaha untuk merubah keadaan hidup yang akan membuat
kesejahteraan psikologis individu tersebut menjadi tinggi (Ryff & Keyes, 1995).
3
Konsep Ryff mengenai kesejahteraan psikologis mengarah pada
pandangan Rogers mengenai orang yang berfungsi penuh (fully-functioning
person), pandangan Maslow mengenai aktualisasi diri (self actualization),
pandangan Jung mengenai individuasi (individuation), konsep Allport mengenai
kematangan, konsep Erikson dalam mengilustrasikan individu yang mencapai
integrasi dibandingkan dengan putus asa, konsep Neugarten mengenai kepuasan
hidup, serta karakteristik positif pada individu yang bermental sehat yang
dikemukakan oleh Johada (dalam Ryff,1989).
Individu dengan kesejahteraan psikologis yang tinggi ialah individu yang
merasa puas akan hidupnya, positif dalam kondisi emosional, mampu
menyelesaikan peristiwa-peristiwa buruk agar dapat menimbulkan kondisi
emosional yang negatif, memiliki hubungan positif dengan orang lain, mampu
menentukan nasibnya sendiri tanpa bergantung pada orang lain, dapat mengontrol
kondisi lingkungan sekitar, memiliki tujuan hidup yang jelas, dan mampu
mengembangkan dirinya sendiri (Ryff, 1989).
Kesejahteraan psikologis menurut Ryff (1989) adalah keadaan dimana
individu mampu menerima dirinya apa adanya, mampu membentuk hubungan
yang hangan dengan orang lain, memiliki kemandirian terhadap tekanan sosial,
mampu mengontrol lingkungan eksternal, memiliki arti hidup, serta mampu
merealisasikan potensi dirinya secara kontinyu (Ryff ,1989).
Berdasarkan uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa kesejahteraan
psikologis merupakan suatu konsep yang berkaitan dengan apa yang disarankan
individu mengenai aktivitas dalam kehidupan sehari-hari serta mengarah pada
4
pengungkapan perasaan-perasaan pribadi atas apa yang dirasakan oleh individu
sebagai hasil dari pengalaman hidupnya.
2. Dimensi-Dimensi Kesejahteraan Psikologis
Sesuai dengan hasil penelitian Ryff (dalam Papalia, 2002) yang menyebut‐
kan bahwa dimensi yang menyusun psychological well‐being antara lain:
a. Penerimaan Diri (self acceptance)
Penerimaan diri adalah bagaimana kemampuan seseorang
menerima dirinya secara keseluruhan baik pada masa kini maupun pada
masa lalu. Individu yang memahami dan menerima berbagai aspek diri
termasuk didalamnya kualitas baik maupun buruk, dapat
mengaktualisasikan diri, berfungsi optimal dan bersikap positif terhadap
kehidupan yang dijalaninya merupakan seseorang yang memiliki
penerimaan diri yang baik. Sebaliknya, individu yang menilai negatif diri
sendiri, selalu merasa kecewa dengan apa yang telah terjadi pada
kehidupan masa lalu, bermasalah dengan kualitas personalnya, ingin
menjadi orang yang berbeda dari diri sendiri atau tidak menerima diri apa
adanya, dan menunjukkan adanya ketidakpuasan terhadap kondisi
dirinya (Ryff,1995).
Bisa disimpulkan bahwa penerimaan diri seseorang bisa dilihat dari
bagaimana individu memandang keadaan dirinya secara positif serta bisa
menerima keadaan masa lalunya secara bijak tanpa harus menyalahkan diri
sendiri maupun menjadikan orang lain sebagai kambing hitam atas
permasalahannya.
5
b. Hubungan positif dengan orang lain (positive relations with others)
Hubungan positif bisa dilihat dari bagaimana individu tersebut
menjalin hubungan yang baik dengan orang lain di lingkungan sekitarnya.
Individu yang memiliki hubungan positif yang baik ditandai dengan
individu tersebut mampu untuk membangun hubungan yang baik, hangat,
dan penuh kepercayaan dari orang lain. Selain itu, individu tersebut juga
memiliki kepedulian terhadap kesejahteraan orang lain bukan hanya
kesejahteraan diri sendiri. Sebaliknya, individu yang memiliki hubungan
positif yang buruk dalam hubungan positif dengan orang lain seperti
merasa terisolasi dan merasa frustasi dalam membina hubungan
interpersonal dengan orang lain, tidak berkeinginan untuk berkompromi
dalam mempertahankan hubungan dengan orang lain (Ryff, 1995).
Kesimpulannya individu yang memiliki hubungan yang positif
dengan orang lain adalah individu yang dapat membuka diri dan berbaur
dengan lingkungannya dan memiliki keinginan untuk berbagi kasih sayang
dan kepercayaan dengan orang lain.
c. Otonomi (autonomy)
Otonomi dapat diartikan sebagai kemampuan individu untuk
memiliki hak untuk bebas seperti kebebasan untuk berperilku, berpikir ,
dan berpendapat namun tetap mampu mengikuti norma dan keadaan yang
ada di lingkungannya. Individu yang memiliki otonomi yang baik ditandai
dengan menggunakan hak yang dia miliki sebaik mungkin sesuai dengan
keadaannya , mampu untuk menentukan nasib sendiri (self-determination)
6
dan mengatur perilaku diri sendiri, kemampuan untuk mandiri, mampu
mengevaluasi diri sendiri, dan mampu mengambil keputusan tanpa adanya
campur tangan orang lain. Sebaliknya, individu yang kurang baik dalam
aspek ini akan sangat memperhatikan dan mempertimbangkan harapan dan
evaluasi dari orang lain, berpegangan pada penilaian orang lain untuk
mmembuat keputusan penting, serta mudah terpengaruh oleh tekanan
sosial untuk berpikir dan bertingkah laku dengan cara-cara tertentu (Ryff,
1995).
Kesimpulannya individu yang otonom adalah individu yang
senantiasa mempercayai kemampuan dirinya dan mengerti akan hak
dirinya dalam menghadapi lingkungan termasuk bila ada situasi yang
dianggap dapat mengancam dirinya serta memiliki keterampilan yang baik
dalam mengambil keputusan atas suatu permasalahan.
d. Penguasaan lingkungan (environmental mastery)
Penguasaan lingkungan digambarkan dengan bagaimana
kemampuan individu untuk mengatur lingkungannya, memanfaatkan
kesempatan yang ada di lingkungan, menciptakan, dan mengontrol
lingkungan sesuai dengan kebutuhan. Individu yang tinggi dalam dimensi
penguasaan lingkungan memiliki keyakinan dan kompetensi dalam
mengatur lingkungannya. Ia dapat mengendalikan aktivitas eksternal dan
internal yang berada di lingkungannya termasuk mengatur dan
mengendalikan situasi kehidupan sehari-hari, memanfaatkan kesempatan
yang ada di lingkungan, serta mampu memilih dan menciptakan
7
lingkungan yang sesuai dengan kebutuhan pribadi. Penguasaan lingkungan
adalah kemampuan individu untuk memilih atau mengubah lingkungan
sehingga sesuai dengan kebutuhannya.
Sebaliknya individu yang memiliki penguasaan lingkungan yang
rendah akan mengalami kesulitan dalam mengatur situasi sehari-hari, merasa
tidak mampu untuk mengubah atau meningkatkan kualitas lingkungan
sekitarnya serta tidak mampu memanfaatkan peluang dan kesempatan diri
lingkungan sekitarnya (Ryff, 1995).
Individu dengan kesejahteraan psikologis yang baik memiliki
kemampuan untuk memilih dan menciptakan lingkungan yang sesuai dengan
kondisi fisik dirinya. Dengan kata lain, ia mempunyai kemampuan dalam
menghadapi kejadian-kejadian diluar dirinya. Hal inilah yang dimaksud
dalam dimensi ini untuk memanipulasi keadaan sehingga sesuai dengan
kebutuhan dan nilai-nilai pribadi yang dianutnya dan mampu untuk
mengembangkan diri secara kreatif melalui aktivitas fisik maupun mental.
Sebaliknya individu yang kurang baik pada dimensi ini akan menampakkan
ketidakmampuan untuk mengatur kehidupan sehari-hari, dan kurang
memiliki kontrol terhadap lingkungan luar.
e. Tujuan hidup (purpose of life)
Dimensi tujuan hidup meliputi keyakinan-keyakinan yang
memberikan perasaan bahwa terdapat tujuan dan makna didalam
hidupnya, baik masa lalu maupun yang sedang dijalaninya kini. Tujuan
hidup memiliki pengertian individu memiliki pemahaman yang jelas akan
8
tujuan dan arah hidupnya, memegang keyakinan bahwa individu mampu
mencapai tujuan dalam hidupnya, dan merasa bahwa pengalaman hidup di
masa lampau dan masa sekarang memiliki makna. Individu yang tinggi
dalam dimensi ini adalah individu yang memiliki tujuan dan arah dalam
hidup, merasakan arti dalam hidup masa kini maupun yang telah
dijalaninya, memiliki keyakinan yang memberikan tujuan hidup serta
memiliki tujuan dan sasaran hidup.
Sebaliknya individu yang rendah dalam dimensi tujuan hidup akan
kehilangan makna hidup, arah dan cita-cita yang tidak jelas, tidak melihat
makna yang terkandung untuk hidupnya dari kejadian di masa lalu, serta
tidak mempunyai harapan atau kepercayaan yang memberi arti pada
kehidupan (Ryff,1995).
f. Pertumbuhan pribadi (personal growth)
Individu yang tinggi dalam dimensi pertumbuhan pribadi ditandai
dengan adanya perasaan mengenai pertumbuhan yang berkesinambungan
dalam dirinya, memandang diri sebagai individu yang selalu tumbuh dan
berkembang, terbuka terhadap pengalaman-pengalaman baru, memiliki
kemampuan dalam menyadari potensi diri yang dimiliki, dapat merasakan
peningkatan yang terjadi pada diri dan tingkah lakunya setiap waktu serta
dapat berubah menjadi pribadi yang lebih efektif dan memiliki
pengetahuan yang bertambah. Sebaliknya, individu yang memiliki
pertumbuhan pribadi rendah akan merasakan dirinya mengalami stagnasi,
tidak melihat peningkatan dan pengembangan diri, merasa bosan dan
9
kehilangan minat terhadap kehidupannya, serta merasa tidak mampu
dalam mengembangkan sikap dan tingkah laku yang baik (Ryff,1995).
Berdasarkan uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa kesejahteraan
psikologis memiliki beberapa dimensi yang saling berkaitan antara satu dengan
yang lainnya. Menurut Ryff terdapat lima dimensi dalam kesejahteraan psikologis,
yang dapat menentukan apakah kesejahteraan psikologisnya baik atau buruk.
3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kesejahteraan Psikologis
Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kesejahteraan psikologis pada diri
individu (Ryff, 1989), yakni:
a. Usia
Penelitian yang dilakukan oleh Ryff (1989) ditemukan adanya
perbedaan tingkat kesejahteraan psikologis pada orang dari berbagai
kelompok usia (Ryff, 1989b, 1991; Ryff & Keyes,1995; Ryff & Singer,
1998c). Ryff membagi kelompok usia ke dalam tiga bagian yakni dewasa
awal (25-29 tahun), dewasa madya (30-64tahun), dan dewasa akhir (> 65
tahun). Pada individu dewasa akhir, memiliki skor tinggi pada dimensi
otonomi, hubungan positif dengan orang lain, penguasaan lingkungan, dan
penerimaan diri sementara pada dimensi pertumbuhan pribadi dan tujuan
hidup memiliki skor rendah. Individu yang berada dalam usia dewasa
madya memiliki skor tinggi dalam dimensi penguasaan lingkungan,
otonomi, dan hubungan positif dengan orang lain sementara pada dimensi
pertumbuhan pribadi, tujuan hidup, dan penerimaan diri mendapat skor
rendah. Individu yang berada dalam usia dewasa awal memiliki skor tinggi
10
dalam dimensi pertumbuhan pribadi, penerimaan diri, dan tujuan hidup
sementara pada dimensi hubungan positif dengan orang lain, penguasaan
lingkungan, dan otonomi memiliki skor rendah (Ryff dalam Ryan & Deci,
2001).
b. Gender
Hasil penelitian Ryff (1989) menyatakan bahwa dalam dimensi
hubungan dengan orang lain atau interpersonal dan pertumbungan pribadi,
wanita memiliki nilai signifikan yang lebih tinggi dibanding pria karena
kemampuan wanita dalam berinteraksi dengan lingkungan lebih baik
dibanding pria.Keluarga sejak kecil telah menanamkan dalam diri anak
laki-laki sebagai sosok yang agresif, kuat, kasar dan mandiri, sementara itu
perempuan digambarkan sebagai sosok yang pasif dan tergantung, tidak
berdaya, serta sensitif terhadap perasaan orang lain dan hal ini akan
terbawa sampai anak beranjak dewasa.
Tidak mengherankan bahwa sifat-sifat streotip ini akhirnya terbawa
oleh individu sampai beranjak dewasa. Sebagai sosok yang digambarkan
tergantung dan sensitif terhadap perasaan sesamanya, sepanjang hidupnya
wanita terbiasa untuk membina keadaan harmoni dengan orang-ornang di
sekitarnya. Inilah yang menyebabkan mengapa wanita memiliki
kesejahteraan psikologis yang tinggi dalam dimensi hubungan positif
karena ia dapat mempertahankan hubungan yang baik dengan orang lain
(Papalia & Feldman, 2008).
11
c. Status Sosial Ekonomi
Ryff mengemukakan bahwa status sosial ekonomi berhubungan
dengan dimensi penerimaan diri, tujuan hidup, penguasaan lingkungan dan
pertumbuhan diri (dalam Ryan & Decci, 2001). Perbedaan status sosial
ekonomi dalam kesejahteraan psikologis berkaitan erat dengan
kesejahteraan fisik maupun mental seseorang. Individu dari status sosial
rendah cenderung lebih mudah stress dibanding individu yang memiliki
status sosial yang tinggi (Adler, Marmot, McEwen, & Stewart, 1999).
d. Pendidikan
Pendidikan menjadi satu faktor yang dapat mempengaruhi
kesejahteraan psikologis . Semakin tinggi pendidikan maka individu
tersebut akan lebih mudah mencari solusi atas permasalahan yang
dihadapinya dibanding individu berpendidikan rendah. Faktor pendidikan
ini juga berkaitan erat dengan dimensi tujan hidup individu (Ryff, Magee,
Kling & Wing, 1999).
e. Budaya
Ryff (1995) mengatakan bahwa sistem nilai individualisme atau
kolektivisme memberi dampak terhadap kesejahteraan psikologis yang
dimiliki suatu masyarakat. Budaya barat memiliki nilai yang tinggi dalam
dimensi penerimaan diri dan otonomi, sedangkan budaya timur yang
menjunjung tinggi nilai kolektivisme memiliki nilai yang tinggi pada
dimensi hubungan positif dengan orang lain.
12
Berdasarkan uraian diatas terdapat beberapa faktor yag dapat mempengaruhi
kesejahteraan psikologis yang digunakan oleh Ryff, pada faktor-faktor tersebut
memiliki kriteria masing-masing.
4. Pengertian Janda
Janda dapat diartikan sebagai perempuan yang tidak memiliki suami lagi,
baik karena perceraian maupun ditinggal mati oleh pasangannya (Departemen
Pendidikan Nasional, 2003). Status janda bukanlah posisi yang
menguntungkan bagi perempuan secara biologis, psikologis, maupun
sosiologis. Kaum janda kadang ditempatkan sebagai perempuan pada posisi
yang tidak berdaya, lemah, dan perlu dikasihani sehingga dalam kondisi
sosial budaya yang seringkali terjadi ketidakadilan terhadap kaum perempuan,
khususnya kaum janda (Munir, 2009).
Janda bercerai merupakan perempuan yang tidak memiliki pasangan dan
status kesendirian karena berpisah dengan suami baik berpisah karena perceraian
maupun karena ditinngal mati. Laki-laki maupun perempuan yang telah menikah
kemudian berpisah, baik yang disebabkan karena perceraian maupun kematian
tetap berstatus sama. Hanya karena latar belakang budaya yang memberikan
kekuasaan kepada pria atas perempuandan lebih banyak menunjuk status
perempuan sebagai janda (Munir, 2009).
Garner dan Marcer dalam (Ollenburger dan Moore, 1996) menyatakan
mengenai norma yang berlaku di masyarakat, bahwa kehidupan menjanda
khususnya mempengaruhi perempuan karena:
1. Perempuan cenderung hidup lebih lama daripada pria.
13
2. Perempuan pada umumnya menikahi pria yang lbih tua dari mereka
sendiri
3. Laki-laki tua lebih mungkin menikah kembali dibandingan perempuan
tua.
4. Ada norma-norma sosial yang kuat, yang menentang perempuan tua
menikahi pria muda, dan juga norma-norma yang menentang
perempuan tua menikah lagi
Berdasarkan uraian diatas janda dapat dikategorikan sebagai janda yang di
tinggal mati oleh pasangannya, atau janda yang mengalami perceraian dan
berpisah dengan suaminya. Pria atau wanita yang sudah bercerai memiliki status
yang sama yaitu tidak memiliki pasangan lagi dan memiliki kehidupan masing-
masing setelah bercerai. Adapun norma yang berlaku di masyarakat mengenai
kehidupan menjanda yang mempengaruhi perempuan.
5. Pengertian Perceraian
Istilah atau Kata “cerai” menurut (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2003)
berarti: verb (kata kerja), a. Pisah; b. Putus hubungan sebagai suami istri;
talak. Kemudian kata “perceraian” mengandung arti noun (katabenda), 1.
Perpisahan; 2. Perihal bercerai antara suami istri, percpecahan. Adapun kata
“bercerai” mengandung arti verb (kata kerja) ,tidak bercampur (berhubungan,
bersatu,dsb) lagi; 2. Berhenti berlaki bini. Istilah “Perceraian” terdapat dalam
Pasal 38 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan yang
memuat tentang ketentuan fakultatif bahwa “perkawinan dapat putus karena : a.
Kematian, b.Perceraian, c. Atas putusan pengadilan”. Jadi, istilah
14
“perceraian”secara yuridis berarti putusnya perkawinan, yang mengakibatkan
putusnya hubungan sebagai suami istri.
Perceraian (divorce) adalah salah satu peristiwa perpisahan yang resmi
antara suami-istri dan mereka kebetulan tidak bisa melanjutkan tugas dan
kewajiban sebagai suami-istri. Mereka tidak lagi hidup dan tinggal serumah
bersama, karena tidak ada ikatan yang resmi. Mereka yang telah bercerai tetapi
belum memiliki anak, maka perpisahan tidak menimbulkan dampak traumatis
psikologis bagi anak-anak. Namun mereka yang telah memiliki keturunan, tentu
saja perceraian menimbulkan masalah psiko-emosional bagi anak-anak (Amato,
2000; Olson & DeFrain, 2003). Disisi lain, mungkin saja anak-anak yang
dilahirkan selama mereka hidup sebagai suami-istri, akan diikut sertakan kepada
salah satu orang tuanya apakah mengikuti ayah atau ibunya (Olson & DeFrain,
2003).
Menurut Abdul Kadir Muhammad menyatakan bahwa:
”Putusnya perkawinan karena kematian disebut dengan “cerai mati”,
sedangkan putusnya perkawinan karena perceraian ada dua istilah,
yaitu: a. Cerai gugat ( khulu’ ) dan b. Cerai Talak. Putusnya perkawinan
kerena putusnya pengadilan disebut dengan istilah “ Cerai batal”.
Perceraian merupakan salah satu maslaah paling sulit yang dihadapi oleh
setiap pasangan pernikahan. Pasangan suami istri ibarat dua sisi mata uang hanya
bernilai jika utuh, artinya jika dipisahkan maka hilanglah nilainya dan tidak bisa
digunakan sebagai alat tukar yang sah. Demikian halnya pasangan suami istri,
bermakna dan bersinergi hanya jika mereka tetap bersatu dan utuh sebagai
keluarga. Sebaliknya jika keduanya dipisahkan, hilang pula makna dan sinerginya
(Surbakti, 2008).
15
Tidak mudah menjalani hidup dengan perceraian, baik bagi laki-laki
mauppun perempuan. Meskipun tuturan bahasa bisa diperhalus sedemikian rupa
supaya tampak nirmal dan penampilan dimanipulasi supaya tampak tegar, atau
susasana hati direkayasa sedemikian rupa supaya tampak wajar, namun hati nurani
adalah mahkamah yang tidak pernah berbohong (Surbakti, 2008).
Banyak pasangan yang menganggap perceraian merupakan cara paling
mudah dan praktis untuk menyelesaikan kemelut rumah tangga yang berlarut-
larut. Banyak pasangan menaruh harap bahwa dengan bercerai, persoalan rumah
tangga akan selesai dengan sendirinya. Meskipun argumentasi ini terkesan sangan
naïf, mencerminkan keputusasaan, menunjukan longgarnya komitmen pernikahan,
dan minimnya tanggung jawab terhadap eksistensi rumah tangga, tetapi semakin
banyak pasangan suami istri yang memutuskan perceraian sebagai pilihan akhir
untuk menyelesaikan kemelut pernikahan (Surbakti, 2008).
6. Faktor-Faktor Penyebab Perceraian
Menurut para ahli, seperti Nakamura (1989), Turner & Helms
(1995), Sudarto & Wirawan (2001), ada beberapa faktor penyebab perceraian
yaitu a) kekerasan verbal, b) masalah atau kekerasan ekonomi, c) keterlibatan
dalam perjudian, d) keterlibatan dalam penyalahgunaan minuman keras dan
narkotika, e) perselingkuhan. Namun demikian, mereka tidak memerinci secara
jelas faktor-faktor penyebab tersebut.
a. Kekerasan Verbal
Kekerasan verbal (verbal violence) merupakan sebuah
penganiayaan yang dilakukan oleh seorang pasangan terhadap pasangan
16
lainnya, dengan menggunakan kata-kata, ungkapan kalimat yang kasar,
tidak menghargai, mengejek, mencaci-maki, menghina, menyakiti
perasaan dan merendahkan harkat-martabat. Akibat mendengarkan dan
menghadapi perilaku pasangan hidup yang demikian, membuat
seseorang merasa terhina, kecewa, terluka batinnya dan tidak betah
untuk hidup berdampingan dalam perkawinan.
b. Masalah ekonomi-finansial
Salah satu faktor keberlangsungan dan kebahagiaan sebuah
perkawinan sangat dipengaruhi oleh kehidupan ekonomi-finansialnya.
Kebutuhan-kebutuhan hidup akan dapat tercukupi dengan baik bila
pasangan suami-istri memiliki sumber finansial yang memadai. Dalam
masyarakat tradisional maupun modern, seorang suami tetap memegang
peran besar untuk menopang ekonomi keluarga, sehingga mau tidak mau
seorang suami harus bekerja agar dapat memiliki penghasilan. Oleh
karena itu, dengan keuangan tersebut akan dapat menegakkan kebutuhan
ekonomi keluarganya. Sebaliknya dengan adanya kondisi masalah
keuangan atau ekonomi akan berakibat buruk seperti kebutuhan-
kebutuhan keluarga tidak dapat terpenuhi dengan baik, anak-anak
mengalami kelaparan, mudah sakit, mudah menimbulkan konfliks
pertengkaran suami-istri, akhirnya berdampak buruk dengan munculnya
perceraian (Nakamura, 1990).
Di satu sisi , terdapat keluarga yang secara finansial berkecukupan,
namun suami memiliki perilaku buruk yaitu berupaya membatasi sumber
17
keuangan kepada istrinya dan menghamburkan keuangan yang tidak
seharusnya. Hal ini dinamakan kekerasan ekonomi. Yang dimaksud
dengan kekerasan ekonomi, yaitu suatu kondisi kehidupan finansial yang
sulit dalam melangsungkan kegiatan rumah tangga, akibat perlakuan
sengaja dari pasangan hidupnya, terutama suami. Walaupun seorang
suami berpenghasilan secara memadai, akan tetapi ia membatasi
pemberian uang untuk kegiatan ekonomi rumah tangga, sehingga keluarga
merasa kekurangan dan menderita secara finansial.
c. Masalah perilaku buruk seperti kebiasaan berjudi
Perjudian (gambling) merupakan aktivitas seseorang untuk
memperoleh keberuntungan yang lebih besar dengan mempertaruhkan
sejumlah uang atau barang tertentu. Seorang suami seharusnya mengang-
garkan kebutuhan finansial untuk keperluan keluarga secara bijaksana.
Penghasilan yang diperoleh melalui usaha atau bekerja, dipergunakan
untuk mencukupi kebutuhan keluarga dan sebagian lagi ditabung untuk
keperluan di masa depan, seperti keperluan membeli rumah, mobil
atau, pendidikan anak-anak. Namun ketika seorang suami melupakan
atau mengabaikan kebutuhan keluarga, sehingga semua penghasilan
dipertaruhkan untuk perjudian, maka hal ini sangat mengecewakan bagi
istri maupun anak-anak. Mereka tidak dapat menikmati kehidupan yang
sejahtera dan selalu menderita secara finansial. Oleh karena itu,
mereka protes dan menggugat untuk bercerai dari suami, daripada hidup
dalam penderitaan yang berkepanjangan. Sebab judi tak akan pernah
18
menyebabkan seseorang menjadi kaya-raya, tetapi selalu membawa
kesengsaraan hidup.
d. Perselingkuhan
Perselingkuhan merupakan sebuah perzinaan yang dilakukan oleh
seseorang terhadap orang lain yang bukan menjadi pasangan hidup yang
sah, padahal ia telah terikat dalam perkawinan secara resmi dengan
pasangan hidupnya. Perselingkuhan dapat disimpulkan sebagai aktivitas
hubungan seksual diluar perkawinan atau istilahnya extra marital sexual
relationship (Soewondo, 2001). Perselingkuan mungkin awalnya tidak
diketahui oleh pasangan hidupnya, akan tetapi lama kelamaan diketahui
secara pasti (Satiadarma, 2001). Oleh karena itu, seseorang akan merasa
sangat kecewa, sakit hati, sedih, stres dan depresi setelah mengetahui
bahwa pasangan hidupnya melakukan parselingkuhan, sebab dirinya telah
dikianati secara diam-diam. Akibat semua itu, kemungkinan seseorang
memilih untuk bercerai dari pasangan hidupnya (Sudarto & Wirawan,
2001). Perselingkuhan dapat dilakukan oleh siapa saja yaitu tergantung
siapa yang melakukannya apakah dilakukan oleh seorang suami atau
seorang istri (Satiadarma, 2001).
e. Penyalahgunaan narkoba
Banyak orang yang memiliki perilaku temperamental, agresif, kasar
dan tidak bisa mengendalikan emosi akibat penyalahgunaan dan
ketergantungan terhadap minum-minuman keras atau narkoba (narkotika
19
dan obat-obatan terlarang). Sebagai suami, seharusnya dapat bersikap
bijaksana sabar dan membimbing istrinya. Demikian pula, ketika berperan
sebagai ayah, maka perilaku seorang laki-laki dewasa dapat menunjukkan
pribadi yang matang untuk membina, mendidik dan mengarahkan anak-
anak untuk tumbuh dewasa. akibat pengaruh ketergantungan alkohol
atau obat-obatan, sehingga gambaran suami dan ayah yang bijaksana
tak dapat dipenuhi dengan baik, tetapi justru berperangai sangat buruk.
Hal ini tentu menyebabkan penderitaan dan tekanan batin bagi isiri
maupun anak-anaknya. Berdasarkan pemikiran tersebut, akhirnya
seorang istri dapat menggunggat untuk bercerai dari suaminya.
f. Pengalaman sebelum dan menjelang perceraian
Pasangan suami-istri yang akan bercerai merasakan bahwa sebuah
perkawinan yang dibina sejak awal seolah-olah tidak dapat dilanjutkan
lagi karena terjadi ketidakcocokkan yang menyebabkan konflik,
pertengkaran atau percekcokkan terus menerus. Padahal ketika mereka
memutuskan untuk menikah, mereka merasa sudah cocok dan
menganggap bahwa orang yang dinikahinya adalah satu-satunya orang
yang dapat membahagiakan hidupnya.
Konflik suami istri dapat menjadi pemicu perceraian bila tidak
terselesaikan dengan baik-baik. Konfilk-konflik tersebut juga dipengaruhi
oleh berbagai faktor yang mungkin terakumulasi selama beberapa waktu
sebelumnya, namun kurang mendapat perhatian serius dan tidak
terselesaikan secara tuntas, akibatnya mempengaruhi perilaku emosional
20
pasangan suami-istri. Puncak konflik yang tidak dapat terbendung lagi
akan menimbulkan perseteruan terbuka dan seringkali harus melibatkan
pihak ke tiga untuk proses penyelesaiannya, seperti pihak lembaga
pengadilan.
7. Pandangan Masyarakat Terhadap Janda
Karim (1999) menyebut bahwa perceraian sebagai cerai hidup antara
pasangan suami istri akibat dari kegagalan mereka menjalankan obligasi peran
masing-masing. Dalam hal ini, Erna Karim melihat perceraian sebagai akhir dari
suatu ketidakstabilan perkawinan di mana pasangan suami istri kemudian hidup
berpisah dan secara resmi disahkan oleh hukum yang berlaku di suatu tempat.
Sementara menurut Goode dalam (Sahlan, 2012) tidak memberi definisi
perceraian secara spesifik. justru mengangkat isu yang lebih umum dan
menurutnya lebih penting dari sekedar persoalan perceraian, yaitu kekacauan
dalam rumah tangga. Menurut Goode, kekacauan keluarga dapat ditafsirkan
sebagai pecahnya suatu unit keluarga, terputusnya atau retaknya struktur peran
sosial jika satu atau beberapa anggota gagal menjalankan kewajiban peran mereka
sepenuhnya. Menurut Goode bahwa kekacauan keluarga tidak hanya terjadi dalam
bentuk perceraian, melainkan dapat dilihat dalam berbagai bentuk, di antaranya
adalah: 1). ketidakabsahan; 2). pembatalan, perpisahan, perceraian dan meninggal;
3). keluarga selaput kosong; 4). ketiadaan seorang dari pasangan karena hal yang
tidak diinginkan; 5). kegagalan peran penting yang tak diinginkan. Di antara
bentuk-bentu kekacauan tersebut, menurut Goode, keluarga selaput kosong
merupakan bentuk kekacauan yang jarang mendapat perhatian. Di sini anggota-
21
anggota keluarga tetap tinggal bersama tetapi tidak saling menyapa atau
bekerjasama satu dengan yang lain dan terutama gagal memberikan dukungan
emosional satu kepada yang lain.
Namun, dari beberapa definisi yang disebutkan para ahli, definisi
perceraian yang diberikan oleh Erma Karim sepertinya lebih mudah dipahami.
Karena bagaimanapun, legalitas perceraian yang diputuskan melalui proses
pengadilan penting sebagai pegangan para pihak (suami istri) dan juga
masyarakat. Sementara perceraian tanpa legalitas hukum atau tidak melalui jalur
peradilan dikhawatirkan akan berpotensi menimbulkan masalah dikemudian hari
baik secara administratif maupun sosial.
Menurut Sahlan (2012) masyarakat masih memandang negatif terhadap
pasangan yang memutuskan bercerai. Bagi masyarakat, perceraian itu buruk,
jahat, melukai perasaan salah satu pasangan dan berdampak tidak baik bagi anak
dan keluarga kedua belah pihak. Perceraian yang diinginkan istri atau gugat cerai
terhadap suami bahkan dipandang lebih buruk lagi dibanding talak yang
dijatuhkan suami terhadap istri. Hal ini terjadi karena tradisi dan keyakinan
masyarakat, posisi suami lebih tinggi derajatnya secara agama dan kultural
dibandingkan istri. Sebelumnya barangkali juga jarang ada kasus dimana istri
menggugat cerai suaminya seperti yang marak terjadi belakangan ini.
Paradigma negatif terhadap perceraian juga tidak terlepas dari pemahaman
umum masyarakat yang menganggap bahwa perkawinan sebagai sebuah peristiwa
sakral yang dilakukan di bawah otoritas agama dan pemerintah. Perkawinan tidak
hanya melibatkan calon suami dan istri, tetapi juga melibatkan kerabat dekat,
22
keluarga besar, masyarakat, pemangku adat dan agama. Karena itu, perkawinan
yang berakhir dengan perceraian dinilai tidak hanya melecehkan keluarga, tapi
juga melecehkan masyarakat, adat dan agama.
Menurut Julianto dkk (2016) faktor-faktor penyebab perceraian antara
lain; tidak tanggung jawab, tidak memberi nafkah, perselingkuhan, perselisihan
dan pertengkaran, tinggal wajib, belum dikarunia anak, meninggalkan kewajiban,
penikahan pada usia muda.
Sekar (2017) mengatakan bahwa semakin berkembangnya zaman dan
pendidikan tidak membuat stigma status janda membaik. Bisa dilihat dari
beberapa lagu, film dan beberapa oknum yang menjelekkan atau merendahkan
status janda itu sendiri. Seorang janda sering diperlihatkan sebagai wanita lemah,
tak berdaya, bahkan menjadi penggoda suami orang. Saat seorang wanita
berstatus janda, maka selentingan negatif mulai bertebaran. Berbeda dengan pria
yang terlihat tetap terhormat dengan status sebagai duda.
Sekar (2017) bahwa di budaya kita sendiri, seorang janda akan menjadi
pergunjingan luar biasa. Apalagi di daerah pedesaan, dimana kata janda masih
awam sekali di telinga mereka. Menjadi janda itu sangat rentan dari segala
permasalahan dan pandangan masyarakat sehingga banyak dari mereka yang
sedikit berlebihan dalam menanggapi status itu. Tentu saja berat menjadi seorang
janda, dia harus tetap menjaga harkat dan martabat dirinya di tengah–tengah
stigma negatif masyarakat dan harus mampu bertahan demi diri sendiri dan anak-
anak tanpa didampingi sesosok pria yang bisa menjaga, menyayangi dan
mengayominya.
23
Menurut Ollenburger dan Moore (1996) menyatakan bahwa kehidupan
seorang wanita yang menyandang status janda sangat memengaruhi psikis karena
wanita cenderung hidup lebih lama dari pria. Wanita pada umumnya menikahi
pria yang usianya lebih tua dari mereka sendiri, pria tua lebih mungkin menikah
kembali dibandingkan wanita tua. Adanya norma-norma yang menentang
perempuan tua menikahi pria muda dan juga norma-norma yang menentang
wanita tua menikah lagi. Dampak dari norma-norma tersebut yaitu pada pasangan
wanita tua yang menikahi pria muda biasanya menjadi bahan gunjingan oleh
lingkungan sekitar.
Kata janda semestinya tidak lagi menjadi kata dengan konotasi negatif.
Pasalnya eksistensi janda sudah lazim dalam kehidupan sehari-hari. Jika melihat
rekam sejarah perceraian di Indonesia, pada 1950-an angka perceraian sempat
mencapai 50 persen (O’Shaughnessy, 2009) dan mulai menurun drastis pada
pertengahan 1970-an. Menguatnya stigma negatif terhadap janda pada masa Orde
Baru (1966-1998) juga diungkapkan oleh Parker (2016) saat melacak transformasi
sosial kultural di Indonesia. Melalui pendidikan dan pengembangan ideologi
tentang gender dan keluarga, pemerintahan Orde Baru berusaha
mentransformasikan hubungan pernikahan dan perceraian. Pada masa ini
pembentukan keluarga inti mendapat pujian dari pemerintah Orde Baru,
sebaliknya perceraian dianggap melawan pemerintah.
Menurut Hidir (2008) karena adanya bias persepsi dalam masyarakat yang
negatif, tampaknya telah menyebabkan kaum perempuan untuk menjadi takut
berstatus janda. Ketakutan ini cukup beralasan, selain karena faktor budaya juga
24
terkadang secara ekonomipun perempuan seringkali sangat tergantung pada
suaminya. Fenomena tentang stereotipe janda dan duda ini dapat diamati dari
ukuran cepat lambatnya menikah kembali antara janda dan duda. Artinya, bila
seorang janda itu cepat menikah kembali dan mendahului mantan suaminya dalam
memperoleh jodoh untuk yang kedua kalinya seringkali juga hal ini dianggap
sesuatu yang tidak wajar. Maka dianggapnyalah seorang janda itu janda yang
genit, dan segudang predikat negatif lainnya. Tetapi sebaliknya bila mantan
suaminya yang lebih dahulu menikah, hal ini dianggap wajar dan lumrah oleh
masyarakat..
B. Pertanyaan penelitian
Dalam penelitian kualitatif pertanyaan penelitian merupakan hal yang
sangat esensial. Terdapat dua bagian dalam pertanyaan penelitian kualitatif yaitu
central question san sub question (Creswell, 2014).
1) Central Question
Central question merupakan pertanyaan pokok atau utama dalam
penelitian kualitatif. Central question dalam penelitian ini adalah
“Bagaimana gambaran kesejahteraan psikologis pada janda bercerai?”