BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Keharmonisan Keluarga 1 ...eprints.mercubuana-yogya.ac.id/1188/3/BAB...
-
Upload
hoangxuyen -
Category
Documents
-
view
231 -
download
0
Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Keharmonisan Keluarga 1 ...eprints.mercubuana-yogya.ac.id/1188/3/BAB...
22
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Keharmonisan Keluarga
1. Pengertian Keharmonisan Keluarga
Keharmonisan, secara terminologi berasal dari kata harmonis yang
berarti serasi dan selaras (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2012). Menurut
Walgito (1991) keharmonisan keluarga adalah berkumpulnya unsur fisik dan
psikis yang berbeda antara pria dan wanita sebagai pasangan suami istri,
dilandasi oleh berbagai unsur persamaan; seperti saling dapat memberi dan
menerima cinta kasih tulus dan memiliki nilai-nilai serupa dalam perbedaan.
Hawari (1996) menyatakan bahwa keharmonisan keluarga
sesungguhnya terletak pada erat-tidaknya hubungan antar anggota keluarga,
misalnya hubungan antara ayah dengan ibu, hubungan antara orangtua dengan
anak, dan hubungan antar anak. Masing-masing anggota keluarga memiliki
peran dalam menjaga keharmonisan hubungan satu sama lain. Gunarsa (2004)
berpendapat bahwa keharmonisan keluarga ialah bilamana seluruh anggota
keluarga merasa bahagia, ditandai oleh berkurangnya ketegangan, kekecewaan
dan puas terhadap seluruh keadaan dan keberadaan dirinya (eksistensi dan
aktualisasi diri), meliputi aspek fisik, mental, emosi dan sosial.
Menurut Sahli (Rachmawati, 2010), keharmonisan keluarga adalah
hidup bahagia dalam ikatan cinta kasih suami istri, didasari oleh kerelaan dan
keselarasan hidup bersama. Suami istri hidup dalam ketenangan lahir dan batin
23
karena suami istri tersebut merasa cukup dan puas atas segala sesuatu yang ada
dan telah dicapai ke dalam ataupun ke luar keluarga, menyangkut nafkah,
seksual, dan pergaulan dengan masyarakat. Keharmonisan keluarga juga dapat
diartikan sebagai suatu keadaan pada keluarga, dimana masing-masing unsur
dalam keluarga tersebut dapat berfungsi dan berperan sebagaimana mestinya
serta tetap berpegang teguh pada nilai-nilai agama (Anggraeni, 2015).
Surya (2001), menyatakan bahwa keharmonisan merupakan kondisi
hubungan interpersonal yang melandasi keluarga bahagia. Keharmonisan
keluarga dibuktikan dengan adanya tanggung jawab dalam membina suatu
keluarga didasari oleh saling menghormati, saling menerima, menghargai,
saling memercayai, dan saling mencintai (Purba, 2012).
Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa
keharmonisan keluarga adalah keadaan keluarga yang dapat berfungsi dan
berperan sebagai mana mestinya dilandasi berbagai unsur persamaan, kerelaan
dan keselarasan hidup bersama sehingga tercipta keeratan hubungan antar
anggota keluarga.
2. Aspek-aspek Keharmonisan Keluarga
Stinnet & DeFrain (Hawari, 1996) mengemukakan enam kriteria
keluarga harmonis, yaitu:
a. Menciptakan kehidupan beragama dalam keluarga.
Sebuah keluarga harmonis ditandai dengan terciptanya kehidupan
beragama dalam rumah tersebut. Hal ini penting karena dalam agama
terdapat nilai-nilai moral dan etika kehidupan. Berdasarkan beberapa
24
penelitian ditemukan bahwa keluarga tidak religius yang penanaman
komitmennya rendah atau tanpa nilai agama sama sekali cenderung terjadi
konflik dan percekcokan dalam keluarga.
b. Memiliki waktu bersama keluarga
Keluarga harmonis selalu menyediakan waktu untuk bersama
keluarganya, baik itu hanya sekedar berkumpul, makan bersama,
menemani anak bermain dan mendengarkan masalah dan keluhan-keluhan
anak, dalam kebersamaan ini anak akan merasa dirinya dibutuhkan dan
diperhatikan oleh orangtuanya, sehingga anak akan betah tinggal di rumah.
c. Ada komunikasi yang baik antar anggota keluarga.
Komunikasi merupakan dasar bagi terciptanya keharmonisan dalam
keluarga. Anak akan merasa aman apabila orangtuanya tampak rukun,
karena kerukunan tersebut akan memberikan rasa aman dan ketenangan
bagi anak, komunikasi yang baik dalam keluarga juga akan dapat
membantu anak untuk memecahkan permasalahan yang dihadapinya di
luar rumah, dalam hal ini selain berperan sebagai orangtua, ibu dan ayah
juga harus berperan sebagai teman, agar anak lebih leluasa dan terbuka
dalam menyampaikan semua permasalahannya.
d. Saling menghargai antar sesama anggota keluarga.
Keluarga harmonis adalah keluarga yang memberikan tempat bagi setiap
anggota keluarga menghargai perubahan yang terjadi dan mengajarkan
ketrampilan berinteraksi sedini mungkin pada anak dengan lingkungan
lebih luas.
25
e. Kualitas dan kuantitas konflik yang minim.
Jika dalam keluarga sering terjadi perselisihan dan pertengkaran maka
suasana dalam keluarga tidak lagi menyenangkan. Dalam keluarga
harmonis setiap anggota keluarga berusaha menyelesaikan masalah
dengan kepala dingin dan mencari penyelesaian terbaik dari setiap
permasalahan.
f. Adanya hubungan atau ikatan yang erat antar anggota keluarga.
Hubungan yang erat antar anggota keluarga juga menentukan harmonisnya
sebuah keluarga, apabila dalam suatu keluarga tidak memiliki hubungan
erat, maka antar anggota keluarga tidak ada lagi rasa saling memiliki dan
rasa kebersamaan akan kurang. Hubungan yang erat antar anggota
keluarga ini dapat diwujudkan dengan adanya kebersamaan, komunikasi
yang baik antar anggota keluarga dan saling menghargai.
Kovikondala dkk. (2015) juga mengemukakan lima dimensi
keharmonisan keluarga yaitu:
a. Komunikasi efektif, komunikasi yang tercipta dengan baik di antara
anggota keluarga ketika peran dalam keluarga berfungsi secara optimal,
sehingga setiap anggota keluarga dapat saling berbicara dengan bebas,
saling mendengarkan, peduli, dan mampu mengekspresikan kasih sayang.
b. Resolusi konflik, yakni sebuah kondisi dimana keluarga dapat
menyelesaikan masalah dengan konstruktif, saling menghargai dan mau
menerima perbedaan pendapat serta tetap menjalankan perannya dengan
baik. Penyelesaian masalah dalam keluarga juga dilakukan dengan tenang.
26
c. Kesabaran atau menahan diri, setiap anggota keluarga saling memahami
dan memiliki kesabaran satu dengan yang lain serta mau menyesuaikan
diri untuk berusaha meredakan ketegangan yang mungkin terjadi.
d. Waktu berkualitas bersama keluarga. Anggota keluarga merasakan
kepuasan dan nyaman berada di tengah keluarga, setiap anggota keluarga
merasa dekat satu dengan yang lain dan saling merawat.
e. Identitas sebagai keluarga yang berarti bangga dan mengakui sebagai
anggota keluarga serta mau menjadi bagian dari cita-cita keluarga.
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan terdapat beberapa kriteria
keluarga harmonis yakni kehidupan beragama dalam keluarga, komunikasi
yang baik, resolusi konflik, waktu bersama dalam keluarga, hubungan yang
erat dan saling menghargai. Dalam penelitian ini aspek keluarga harmonis
mengacu pada teori Kovikondala dkk. (2015) yang mengemukakan lima
dimensi keharmonisan dikarenakan kemutakhiran penelitian dan kesesuaian
dengan tema penelitian ini.
3. Faktor-faktor Determinan dalam Keharmonisan Keluarga
Menurut Sarwono (1982), dalam menentukan ukuran kebahagiaan
keluarga perlu diperhatikan faktor-faktor berikut:
a. Faktor kesejahteraan jiwa
Rendahnya frekuensi pertengkaran atau percekcokan di rumah, saling
mengasihi dan saling membutuhkan serta saling tolong-menolong antara
sesama anggota keluarga, kepuasan dalam pekerjaan dan pelajaran
27
masing-masing, menjadi indikator-indikator jiwa yang bahagia, sejahtera
dan sehat.
b. Faktor kesehatan fisik
Faktor ini tidak kalah penting dari faktor pertama karena jika anggota
keluarga sering sakit maka akan berakibat banyaknya pengeluaran untuk
dokter, obat-obatan dan rumah sakit, hal tersebut tentu akan mengurangi
dan menghambat tercapainya kesejahteraan keluarga.
c. Faktor perimbangan antara pengeluaran uang dan penghasilan keluarga
Tidak semua keluarga beruntung dapat memeroleh penghasilan
mencukupi. Masalahnya tidak lain adalah kurang mampunya keluarga-
keluarga bersangkutan merencanakan hidupnya, sehingga pengeluaran-
pengeluaran pun menjadi tidak terencana.
Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap keharmonisan keluarga
(Dewi & Sudhana, 2012; Purba, 2012; Nancy, dkk., 2014; Rachmawati, 2010)
adalah:
a. Komunikasi interpersonal
Komunikasi interpersonal adalah proses pengiriman dan penerimaan
pesan antara dua orang atau kelompok kecil dengan feed back, baik secara
langsung maupun tidak langsung (Dewi & Sudhana, 2012). Komunikasi
interpersonal merupakan komunikasi antara orang-orang secara tatap
muka, yang memungkinkan setiap pesertanya menangkap reaksi orang lain
secara langsung, baik secara verbal maupun nonverbal (Mulyana, 2008).
Salah satu tipe komunikasi interpersonal yang digunakan dalam
28
berinteraksi pada pasangan suami istri adalah yang bersifat diadik yaitu
melalui komunikasi dalam situasi lebih intim, lebih dalam dan personal.
Komunikasi interpersonal yang terjalin antar suami istri berperan penting
untuk menjaga kelangsungan berumah tangga. Apabila pasangan suami
istri saling menunjukkan sikap yang positif terhadap pasangannya maka
komunikasi interpersonal dapat berjalan secara efektif. Terciptanya
komunikasi efektif yang ditandai dengan adanya sikap terbuka, empati,
saling mendukung, sikap positif, dan kesetaraan, antara pasangan suami
istri membuat hubungan interpersonal menjadi baik sehingga dapat
terwujud keharmonisan dalam pernikahan yang ditandai adanya saling
mengerti, saling menerima, saling menghargai, saling percaya, dan saling
mencintai (Dewi & Sudhana, 2012).
b. Kecerdasan spiritual
Kecerdasan spritual adalah kemampuan seseorang untuk
menghadapi dan memecahkan masalah yang berhubungan dengan nilai,
batin, kejiwaan dan kemampuan potensial untuk menentukan makna, nilai,
moral serta cinta terhadap kekuatan yang lebih besar dalam sesama mahluk
hidup. Kecerdasan ini terutama berkaitan dengan abstraksi pada suatu hal
di luar kekuatan manusia yaitu kekuatan penggerak kehidupan dan semesta
dan dapat menempatkan diri dalam kehidupan yang lebih positif dengan
penuh kebijaksanaan, kedamaian, dan kebahagiaan hakiki (Purba, 2012).
Dengan memiliki kecerdasan spiritual, pasangan suami istri mampu
bersikap fleksibel dalam menghadapi konflik rumah tangga dan mampu
29
menempatkan perilakunya dengan lebih bermakna. Untuk menciptakan
keluarga harmonis diperlukan eksistensi dan peran dari masing-masing
anggota keluarga serta tanggung jawab terhadap fungsi dalam keluarga.
Untuk menumbuhkan kesadaran akan peran dan tanggung jawab dalam
keluarga, diperlukan pemahaman dan kecerdasan spiritual (Purba, 2012).
c. Nilai dalam pernikahan
Nilai-nilai yang dianut dalam perkawinan adalah sesuatu yang
dihayati oleh pasangan mengenai apa yang baik, berharga, disukai, patut
diusahakan, patut diperjuangkan dan dipertahankan dalam perkawinan.
Melvile (Nancy, dkk., 2014) menyatakan, nilai-nilai dalam perkawinan
adalah bagian-bagian yang dianut dalam kehidupan perkawinan. Nilai
dalam perkawinan dapat dipandang berbeda oleh setiap orang. Redd
(Nancy, dkk., 2014) menyatakan bahwa jika nilai dalam perkawinan
rendah, perkawinan menjadi kurang sehat. Hal ini dapat dijelaskan bahwa
pasangan yang memandang perkawinan sebagai sesuatu yang harus
dipertahankan, sesuatu yang bermakna akan berusaha untuk memelihara
kesatuan rumah tangga dengan memandang pasangan sebagai mitra
sehingga tidak terdapat kesenjangan peran antara suami dan istri sehingga
terwujud perkawinan yang egaliter, otonom, dan serasi. Gambaran nilai
dalam perkawinan yang otonomi, egaliter dan serasi akan menciptakan
perkawinan yang harmonis dan akan berdampak pada kondisi keluarga
yang harmonis (Nancy, dkk., 2014).
30
d. Pemaafan
Pemaafan adalah suatu solusi dari risiko logis antar pribadi.
Ketidakmampuan untuk memaafkan atau dimaafkan akan menjadi sumber
hancurnya suatu relasi, tak terlepas dari hubungan suami-istri yang
tentunya akan mengarah kepada keretakan keluarga (Subiyanto, 2011).
Pasangan suami-istri yang memiliki sikap pemaaf kemungkinan besar
akan memertahankan keutuhan keluarganya. Mereka menyadari bahwa
manusia mudah melakukan kesalahan. Apabila diketahui bahwa salah satu
pasangan melakukan kesalahan, maka pihak lain dengan usaha sangat kuat
akan memaafkan pihak yang berbuat salah. Pemaafan adalah suatu
perjalanan sangat kompleks, termasuk kemampuan untuk mengubah
sistem afektif, kognitif dan tingkah laku (Nancy, dkk., 2014).
Pemaafan memiliki implikasi yang substansial untuk relasi jangka
panjang sebagai interaksi dari sebuah hubungan. Pemaafan merupakan
modalitas yang secara signifikan berpotensi untuk meningkatkan
kesejahteraan dan memperbaiki hubungan interpersonal. Hubungan
interpersonal yang terjalin baik antara suami istri akan berpengaruh
terhadap kebahagiaan dan kepuasan hubungan sehingga dapat terwujud
keharmonisan dalam keluarga (Nancy, dkk., 2014).
e. Penyesuaian perkawinan
Penyesuaian perkawinan adalah perubahan yang terjadi selama
masa pernikahan antara suami istri untuk dapat memenuhi kebutuhan,
keinginan, dan harapan masing-masing pihak, serta untuk menyelesaikan
31
masalah yang ada, sehingga kedua belah pihak merasakan kepuasan.
Munandar (Rachmawati, 2010) menyatakan bahwa penyesuaian
perkawinan berarti adanya saling pengertian antara suami-istri dalam
menyatakan perbedaan-perbedaan di antara suami-istri dengan melakukan
hal-hal yang dapat menambah kepuasan supaya tercapai hubungan
keluarga yang harmonis.
Laswell & Laswell (Rachmawati, 2010) menyatakan bahwa konsep
penyesuaian perkawinan secara tidak langsung menunjukkan adanya dua
individu yang saling belajar untuk mengakomodasi kebutuhan, keinginan,
dan harapannya dengan kebutuhan, keinginan dan harapan dari
pasangannya.
Berdasarkan uraian mengenai faktor-faktor dalam keharmonisan
keluarga yang sudah dipaparkan sebelumnya, dapat disimpulkan
determinan dalam keharmonisan keluarga terdiri dari komunikasi
interpersonal, kecerdasan spiritual, nilai dalam pernikahan, pemaafan,
penyesuaian perkawinan, fisik, dan ekonomi. Manajemen konflik adalah
upaya untuk menemukan resolusi konflik konstruktif dalam keluarga
termasuk dalam faktor penyesuaian perkawinan. Penyesuaian yang berhasil
ditandai oleh sikap dan cara yang konstruktif dalam melakukan resolusi
konflik. Manajemen konflik merupakan usaha mengakomodasi kebutuhan,
keinginan, dan harapan yang berbeda dari pasangan suami istri. Manajemen
konflik dalam keluarga juga merupakan sebuah bentuk komunikasi
32
interpersonal antara suami dan istri untuk menggantikan disfungsional
dengan persetujuan yang produktif.
B. Pelatihan Manajemen Konflik
1. Pengertian Pelatihan Manajemen Konflik
Menurut Agochiya (Rosdiana, 2009), pelatihan merupakan suatu
proses terdiri dari serangkaian aktivitas yang bertujuan untuk memerluas
pengetahuan individu, sehingga mengakibatkan perubahan perilaku sesuai
dengan situasi dalam hidupnya. Pelatihan membantu pesertanya
mengeksplorasi dan menyadari potensi serta bakat yang dimiliki. Melalui
pelatihan pula, peserta terfasilitasi dalam mengidentifikasi kekurangan serta
kelebihan dalam mencapai standar yang ditetapkan. Pelatihan merupakan
cara efektif untuk memanfaatkan pengetahuan dan kompetensi yang telah ada
untuk memaksimalkan hasil usaha seseorang. Prinsip-prinsip belajar dalam
pelatihan merupakan prinsip adult learning yang berhubungan dengan
pelatihan dan pendidikan.
Agochiya (Rosdiana 2009) mengungkapkan bahwa penggunaan
teknik dan metode pelatihan dimaksudkan untuk memasilitasi proses
pembelajaran selama program pelatihan dilaksanakan dengan cara
meningkatkan partisipasi dan mendorong adanya interaksi di antara peserta
pelatihan. Pemilihan teknik dan metode pelatihan memertimbangkan hasil
pembelajaran yang diinginkan, keahlian trainer mengoptimalkan penggunaan
suatu metode, serta fasilitas yang tersedia selama pelatihan. Beberapa metode
dalam pelatihan yaitu ceramah, membaca, diskusi kelompok, permainan, dan
33
bermain peran. Diskusi kelompok dibagi menjadi diskusi terstuktur, diskusi
terbuka, dan diskusi panel.
Dalam penelitian ini intervensi yang diberikan adalah pelatihan
manajemen konflik. Manajemen konflik menurut Wirawan (2010) ialah
proses yang dilakukan dua pihak terlibat atau pihak ketiga dalam menyusun
strategi konflik dan menerapkannya untuk mengendalikan konflik agar
menghasilkan resolusi yang diinginkan. Pruitt & Rubin (2004)
mendefinisikan manajemen konflik sebagai berbagai macam usaha yang
dilakukan untuk menemukan solusi bagi kontroversi yang terjadi yang dapat
diterima oleh semua pihak.
Konflik perkawinan menurut Esere (2003) adalah perbedaan persepsi
dan harapan-harapan di antara pasangan suami-istri tentang masalah
pernikahan. Masalah-masalah itu antara lain tentang latar belakang
pengalaman yang berbeda, kebutuhan-kebutuhan dan nilai-nilai yang mereka
anut sebelum memutuskan untuk menjalin ikatan perkawinan. Konflik dalam
perkawinan berjalan ke arah positif atau negatif bergantung pada ada atau
tidaknya proses yang mengarah pada saling pengertian dalam hubungan.
Keterikatan antar pasangan berada dalam tingkat tertinggi dalam hal
kelekatan, afeksi, komitmen, maupun intensitas. Ketika masalah muncul
dalam sifat hubungan demikian, perasaan positif yang selama ini dibangun
secara mendalam dapat berubah menjadi perasaan negatif yang mendalam
juga. Walaupun demikian, banyak keluarga sering mengalami konflik,
namun tetap dapat berfungsi dengan baik (Lestari, 2012). Salah satu faktor
34
penting yang tetap membuat keluarga dapat berfungsi ialah karena konflik
tersebut diselesaikan, tidak dibiarkan atau dianggap hilang seiring waktu.
Seperti diungkapkan Rueter & Conger (Lestari 2012), keluarga yang
memiliki interaksi hangat akan menghasilkan pemecahan masalah yang
konstruktif, adapun keluarga dengan interaksi bermusuhan cenderung
menggunakan pemecahan masalah yang destruktif.
Menurut Walgito (2002), kemampuan mengelola konflik dalam
perkawinan adalah kecakapan dan kesanggupan suami istri dalam
mengendalikan dan mencari cara penyelesaian masalah dalam
perkawinannya. Konflik akan berdampak negatif bila tidak terkelola dengan
baik, untuk itu diperlukan kemampuan memanajemen konflik.
Kemampuan pasangan dalam mengelola dan menyelesaikan konflik
merupakan prediktor utama di dalam sebuah hubungan perkawinan (Byadgi,
2011). Oleh karena itu, pasangan yang menjalani perkawinan perlu
mengetahui bagaimana mengelola konflik dengan baik. Manajemen konflik
merupakan salah satu faktor signifikan yang dapat membantu pasangan
perkawinan mengelola konflik. Manajemen konflik merupakan proses pihak
yang terlibat konflik dalam menyusun strategi konflik dan menerapkannya
untuk mengendalikan konflik agar menghasilkan penyelesaian konflik yang
diinginkan (Gunawan, 2011).
Byadgi (2011) menjelaskan bahwa manajemen konflik merupakan
proses untuk mendapatkan kesesuaian pada individu yang mengalami
konflik. Dalam manajemen konflik, seseorang dapat memilih bermacam-
35
macam strategi. Sebelum memutuskan untuk memilih strategi manajemen
konflik yang akan diambil, seseorang harus memikirkan segala resiko dan
konsekuensi yang akan didapat. Seseorang akan menjalankan strategi yang
benar jika ia telah memersiapkan diri, mengikuti alur konflik dengan baik,
mengerti dampak dari pemilihan strategi manajemen konflik, dan
mengaplikasikan tahapan-tahapan di dalam manajemen konflik. Oleh karena
itu, pelatihan manajemen konflik dapat menjadi salah satu sumber
pengetahuan bagi pasangan suami istri untuk dapat mengelola konflik dengan
lebih baik.
Menurut Supraktiknya (1995), pengelolaan konflik yang baik akan
berdampak pada perkawinan yang harmonis dan akan mendewasakan
masing-masing pribadi. Pengelolaan konflik secara sehat dan baik dapat
digunakan untuk mempertahankan kualitas hubungan dalam perkawinan.
Berdasarkan uraian mengenai definisi di atas, dalam penelitian ini
teori yang digunakan sebagai acuan ialah definisi pelatihan dari Agochiya
(Rosdiana, 2009) serta definisi manajemen konflik dari Wirawan (2010) dan
Pruitt & Rubin (2004). Pelatihan manajemen konflik dapat dipahami sebagai
serangkaian aktivitas yang bertujuan untuk memerluas pengetahuan individu
dalam kapasitasnya sebagai suami atau istri dalam menyusun strategi untuk
mengendalikan perbedaan persepsi dan harapan tentang masalah perkawinan
agar dihasilkan resolusi konstruktif yang diinginkan oleh pasangan suami
istri. Pengetahuan tersebut diharapkan akan mempengaruhi perubahan
perilaku sesuai situasi konflik yang dihadapi pasangan suami istri.
36
2. Gaya Manajemen Konflik
Keberadaan konflik tidak otomatis berdampak negatif terhadap
hubungan maupun individu yang terlibat dalam hubungan. Konflik baru akan
berdampak negatif jika tidak dikelola dengan baik. Thomas & Kilmann
(Byadgi, 2011) memaparkan lima model manajemen konflik perkawinan
yaitu:
a. Competitive (kompetitif)
Kompetitif merupakan perilaku dengan tingkat asertif tinggi dan tidak
kooperatif yang terwujud dari adanya unsur persaingan antar individu.
Dalam model kompetitif, individu cenderung agresif, memaksakan
kehendak dan berusaha untuk menang tanpa ada keinginan untuk
menyesuaikan tujuan dan keinginannya terhadap orang lain. Individu
saling melawan dengan memerlihatkan keunggulan masing-masing.
b. Collaboration (kerjasama)
Kerjasama merupakan sikap bekerjasama dengan tujuan mencari
alternatif solusi dari permasalahan yang sedang dihadapi, sehingga
memenuhi harapan kedua belah pihak yang terlibat konflik. Gaya
pengelolaan konflik dengan menggunakan kerjasama memiliki tingkat
keasertifan (ketegasan) dan kerjasama yang tinggi dengan tujuan untuk
mencari alternatif, dasar bersama, dan sepenuhnya memenuhi harapan
kedua belah pihak yang terlibat konflik.
37
c. Compromising (kompromi)
Kompromi merupakan gaya mengelola konflik tingkat menengah,
dimana gaya ini berada di antara gaya kompetisi dan gaya kolaborasi.
Kompromi dapat berarti saling mengurangi tuntutan masing-masing
pihak, serta saling berkoordinasi untuk menyelesaikan konflik dengan
cara membuka pikiran untuk berbicara, berunding, memberikan
informasi tentang situasi kepada pihak bersangkutan dan mencari model
penyelesaian konflik yang baik di antara kedua belah pihak.
d. Avoiding (menghindar)
Menghindar memiliki tingkat keasertifan dan kerja sama yang rendah.
Kedua belah pihak terlibat konflik berusaha menghindari konflik. Bentuk
penghindaran tersebut berupa menjauhkan diri dari pokok permasalahan,
menunda pokok masalah hingga waktu yang tepat, atau menarik diri dari
konflik yang mengancam dam merugikan.
e. Accommodation (akomodasi).
Akomodasi merupakan sikap cenderung mengesampingkan keinginan
pribadi dan berusaha untuk memenuhi keinginan dan kebutuhan orang
lain. Gaya ini juga disebut dengan obliging style, dimana seseorang yang
menggunakan gaya manajemen konflik ini akan berusaha untuk
mementingkan kepentingan orang lain di atas kepentingan diri sendiri.
Kelima gaya manajemen konflik yang dipaparkan di atas dapat
dikelompokkan menjadi gaya manajemen konflik konstruktif yang meliputi
38
collaborate dan compromise, serta gaya manajemen konflik destruktif yang
terdiri dari competition, accomodate, dan avoidance (Thomas & Kilmann,
2004; Lestari, 2012).
DeGenova (2008) membagi metode menghadapi konflik dalam
pernikahan menjadi tiga macam, yakni:
a. Avoidance
Metode pertama ini merupakan metode ketika pasangan
menghadapi konflik dengan cara menghindar. Pasangan mencoba
mencegah konflik dengan menghindari orang bersangkutan, situasinya dan
atau hal-hal yang berhubungan dengan pemicu terjadinya konflik. Dengan
menghindari penyebab masalah untuk sementara keadaan memang cukup
tenang tetapi permasalahannya tidak akan selesai, masalah akan berlarut-
larut dan dapat merusak hubungan.
Pasangan yang melakukan usaha untuk menghindari pertentangan,
secara berkala akan menarik diri satu sama lainnya secara perlahan dan
pengasingan diri terjadi ketika pasangan berhenti berkomunikasi dan
memberi perhatian satu sama lain. Sebagai hasilnya akan terjadi
peningkatan dalam kesendirian, hilangnya intimasi dan berdampak pada
hal lainnya.
b. Ventilation and catharsis
Metode menghadapi konflik yang kedua ini merupakan kebalikan
dari avoidance, yaitu individu tidak menghindari konflik melainkan
mencoba menyalurkan konflik tersebut. Ventilation berarti
39
mengekspresikan emosi dan perasaan negatif. Sama halnya dengan
catharsis dimana individu yang sedang dalam masalah akan menyalurkan
emosi dan perasaan negatif yang dirasakannya, seperti berteriak,
bernyanyi sekeras-kerasnya, dan yang lainnya. Diharapkan setelah proses
ini dilakukan, seluruh emosi dan perasaan negatif yang ada akan keluar
dan diganti dengan emosi dan perasaan yang lebih positif.
c. Constructive and destructive
Metode konstruktif yaitu pasangan menghadapi masalah
pernikahannya dengan lebih memahami dan berkompromi atau menerima
solusi yang ditawarkan untuk dipertimbangkan. Hal ini lebih kepada
meminimalisasi emosi negatif, menaruh hormat dan percaya kepada
pasangan serta dapat menyebabkan hubungan menjadi lebih dekat.
Metode destruktif berbentuk menyerang orang yang dianggap
bermasalah dengan individu. Mereka mencoba untuk mempermalukan
pasangannya, mengucilkan atau menghukum orang yang menjadi lawan
konfliknya dengan menghina dan menjelek-jelekkan.
Menurut Rubin (Lestari, 2012), pengelolaan konflik sosial dapat
dilakukan dengan beberapa cara, yaitu:
a. Bersifat konstruktif,
1) Negotiation atau tawar-menawar, ketika pihak-pihak berkonflik saling
bertukar gagasan dan melakukan tawar-menawar untuk menghasilkan
kesepakatan yang menguntungkan masing-masing pihak,
40
2) Campur tangan pihak ketiga, ketika ada pihak yang tidak terlibat konflik
menjadi penengah untuk menghasilkan persetujuan pada pihak-pihak
yang berkonflik.
b. Bersifat destruktif
1) Penguasaan/domination, ketika salah satu pihak berupaya memaksakan
kehendak, baik dilakukan secara fisik maupun psikis,
2) Penyerahan/capitulation, ketika salah satu pihak, secara sepihak
menyerahkan kemenangan kepada pihak lain,
3) Pengacuhan/inaction, ketika salah satu pihak tidak melakukan apa-apa
sehingga cenderung membiarkan terjadinya konflik,
4) Penarikan diri/withdrawal, ketika salah satu pihak menarik diri dari
keterlibatan dengan konflik.
Dari berbagai penelitian dan sesi konseling keluarga, para peneliti dan
terapis mengenali adanya gaya resolusi konflik yang digunakan individu dalam
mengelola konflik. Lerner (Olson & Olson, 2000) membedakan cara individu
menyelesaikan konflik menjadi lima macam, yaitu:
a. Pemburu/pursuer, adalah individu yang berusaha membangun ikatan
lebih dekat. Individu dengan ciri ini akan berusaha untuk meningkatkan
kualitas relasinya dengan orang-orang terdekatnya. Ketika terjadi
konflik dalam interaksi, mereka akan dengan sadar menghadapi konflik
tersebut, berusaha mencari pokok masalah, berdiskusi untuk memahami
perspektif masing-masing kemudian bernegosiasi untuk mencapai
41
kompromi yang saling menguntungkan. Dalam hal ini konflik dimaknai
secara positif dan dikelola secara konstruktif.
b. Penghindar/distancer, adalah individu yang cenderung mengambil jarak
secara emosi. Individu tipe ini akan memilih menarik diri dari kancah
konflik, tidak memiliki kesediaan untuk berunding dan biasanya
cenderung memilih untuk membiarkan waktu yang menyelesaikan
masalah. Cara pengelolaan demikian membiarkan konflik terpendam
yang beresiko menimbulkan gejala depresi.
c. Pecundang/underfunctioner adalah individu yang gagal menunjukkan
aspirasi atau kompetensinya. Dalam upaya menghindari pertengkaran,
individu dengan ciri pecundang akan memilih untuk selalu mengalah dan
menuruti apa yang menjadi kemauan pihak lain. Dalam taraf tertentu,
cara ini dapat memertahankan hubungan dari situasi yang buruk namun
hanya bersifat stagnan dan tidak mampu meningkatkan kualitas
hubungan.
d. Penakluk/overfunctioner, adalah individu yang cenderung mengambil
alih dan merasa lebih tahu yang terbaik bagi pihak lain. Individu dengan
ciri penakluk akan menghadapi konflik dengan unjuk kekuasaan,
berupaya mendominasi dan mengedepankan egonya. Tipe penakluk
akan menghadapi konflik dengan pertikaian dan pertengkaran yang
beresiko memunculkan perilaku agresi.
e. Pengutuk/blamer, adala individu yang selalu menyalahkan orang lain
atau keadaan. Individu dengan ciri pengutuk akan menjadikan konflik
42
sebagai ajang pertengkaran, mengumbar amarah, bahkan seringkali
mengungkit masalah lain yang tidak relevan dengan pokok masalah yang
menjadi sebab perselisihan. Individu demikian cenderung tidak mau
mengakui kesalahan, selalu membela diri, dan menimpakan kesalahan
pada pihak lain atau keadaan. Perilaku demikian beresiko memunculkan
agresi.
Senada dengan Lerner, Kurdek (Lestari, 2012) mengajukan empat
macam gaya resolusi konflik, yaitu penyelesaian masalah secara positif
(positive problem solving; misalnya melakukan negosiasi dan perundingan),
pertikaian (conflict engagement; misalnya melakukan kekerasan, marah,
selalu membela diri, menyerang, dan lepas kontrol), penarikan diri
(withdrawal; misalnya mendiamkan, menutup diri, menolak berunding, dan
menjaga jarak dari konflik), dan tunduk (compliance; misalnya selalu
mengalah).
Berdasarkan uraian mengenai macam-macam metode manajemen
konflik, dapat disimpulkan bahwa manajemen konflik terdiri dari dua macam
gaya resolusi yakni manajemen konflik konstruktif dan manajemen konflik
destruktif. Manajemen konflik konstruktif meliputi cara-cara
kerjasama/kolaborasi, negosiasi, kompromi, pihak ketiga serta ventilation
and catharsis; sedangkan manajemen konflik destruktif meliputi metode
kompetitif, withdrawal, akomodasi, pecundang, dan pengutuk. Dalam
penelitian ini teori yang digunakan sebagai acuan ialah gaya manajemen
konflik yang dikemukakan oleh Thomas & Kilmann (Byadgi, 2011) yang
43
meliputi gaya manajemen konflik konstruktif yaitu collaborate dan
compromise, serta gaya manajemen konflik destruktif yang terdiri dari
competition, accomodate, dan avoidance.
3. Tahapan Pelatihan Manajemen Konflik
Pelatihan manajemen konflik dalam penelitian ini disusun oleh
peneliti dengan mengacu pada langkah manajemen konflik yang
dikemukakan oleh Pruitt & Rubin (2004), dipadu dengan gaya manajemen
konflik yang dikemukakan oleh Thomas & Kilmann (Byadgi, 2011).
Pelatihan ini akan dilaksanakan selama 2 hari dan terdiri dari 6 sesi yang
masing-masing sesi berlangsung selama 15-50 menit.
Metode pelatihan yang dianut dalam penelitian ini ialah active
learning method (metode belajar aktif). Metode belajar aktif ialah suatu
proses kegiatan belajar melibatkan peserta secara intelektual dan emosional
sehingga peserta berpartisipasi aktif dalam melakukan kegiatan belajar
(Suranto, 2012). Active learning bersifat partisipatif interaktif dan bertujuan
mengubah cara pandang, sikap dan tingkah laku peserta menjadi lebih efektif
(Dimyanti, 1999). Pada metode active learning, proses memeroleh
pemahaman dilakukan melalui berbagai kegiatan seperti mengalami, kegiatan
dan memahami melalui proses (learning by process) (Ali, 1996).
Active learning memiliki beberapa karakteristik sebagai berikut
(Dimyanti, 1999):
1. Pembelajaran yang dilakukan lebih terpusat pada peserta belajar.
Peserta didorong untuk berperan lebih aktif dalam proses belajar.
44
Pengalaman peserta menjadi penting dalam penerapan metode
active learning. Peserta perlu memiliki keinginan dan keberanian
dalam menampilkan kebutuhan, permasalahan, dan partisipasi
dalam proses belajar.
2. Fasilitator adalah pembimbing dalam memeroleh pengalaman.
Fasilitator merupakan salah satu sumber informasi yang harus
memberikan peluang bagi peserta agar dapat memeroleh
pengetahuan atau keterampilan melalui usaha peserta sendiri.
3. Tujuan kegiatan belajar ditekankan pada pengembangan
kemampuan peserta secara utuh dan seimbang. Tujuan kegiatan
disesuaikan dengan kebutuhan, minat, dan kemampuan peserta
didik. Kegiatan yang dilaksanakan juga memiliki program yang
jelas dan dapat dimengerti peserta.
4. Pengelolaan kegiatan pembelajaran ditekankan pada kreativitas
peserta dan memerhatikan kemajuan peserta dalam menguasai
konsep yang dipelajari. Perlu diperhatikan pula fleksibilitas waktu
belajar dan penggunaan berbagai macam media pengajaran untuk
mendukung tercapainya keberhasilan proses belajar.
5. Penilaian dilaksanakan untuk megukur kemajuan peserta dalam
berbagai keterampilan yang dipelajari.
Dalam pelatihan akan disampaikan langkah-langkah manajemen
konflik konstruktif yang digunakan dalam pelatihan dijabarkan sebagai
berikut (Pruitt & Rubin, 2004):
45
a. Memastikan adanya konflik dengan melihat dan menyadari bahwa
konflik sedang terjadi antara pihak satu dengan pihak lain. Pasangan
suami istri dilatih untuk bersedia mengakui dan menyatakan
mempunyai masalah yang nyata dengan tujuan bekerja sama untuk
mengatasi masalah tersebut. Sebab-sebab munculnya konflik perlu
dipahami pasangan termasuk berbagai hal yang terkait dengan
konflik. Terkadang sebab konflik yang nampak bukanlah sebab
sebenarnya. Masing-masing pihak perlu memahami adanya
kemungkinan kesalahpahaman terhadap pendapat atau kepentingan
pasangan. Kesalahpahaman dapat menimbulkan konflik tidak nyata
/ilusory.
Kesalahpahaman mungkin terjadi jika salah satu pihak mempunyai
kesan yang salah mengenai niat pihak lain, salah satu pihak berpikir
bahwa tindakan pihak lain akan menimbulkan pengorbanan tertentu,
dan atau salah satu pihak menganggap pihak lain sewenang-wenang.
Misalnya, seorang istri marah kepada suaminya karena pulang
terlambat dan kemudian mereka bertengkar. Sekilas, penyebab
pertengkaran ialah karena suami pulang terlambat, jadi upaya
pemecahannya ialah dengan permintaan maaf dari suami dan
berjanji tidak telat lagi. Akan tetapi dibalik alasan marah karena
suami pulang terlambat, mungkin ada penyebab lain. Istri marah
karena mungkin beranggapan suaminya berselingkuh sehingga
terlambat pulang, atau istri sebenarnya menantikan suaminya puang
46
tepat waktu karena ingin memberi kejutan sehingga ketika suaminya
pulang terlambat, rencana tersebut terhambat. Kesediaan mengakui
adanya konflik di antara suami dan istri memerlukan sikap terbuka
dan kemauan berkomunikasi kedua belah pihak. Langkah awal
dalam manajemen konflik ini akan diberikan dalam pelatihan pada
pertemuan hari pertama sesi ketiga.
b. Melakukan analisis konflik yang sedang terjadi dengan berusaha
mengoreksi dan introspeksi diri. Kebanyakan masalah bisa
diselesaikan melalui beragam cara sehingga untuk pemecahan
masalah ada baiknya tidak terpaku pada satu cara saja. Pasangan
perlu saling mengingatkan bahwa tujuan mengelola konflik adalah
mengatasi keluhan yang ada dan tidak meningkatkan konflik,
sehingga masing-masing perlu mawas diri untuk tidak menuduh atau
membuat diri menjadi defensif. Analisis konflik dilakukan dengan
membicarakan kepentingan atau tujuan dari masing-masing pihak
yang terlibat dalam konflik. Hambatan yang mungkin muncul
dalam langkah kedua ini yaitu terkadang orang tidak paham
mengenai alasan yang mendasari preferensi mereka atau adanya
ketidakpercayaan antara kedua belah pihak.
Misalnya, keluarga yang boros dalam membelanjakan uang dan
sering berhutang. Saling menyalahkan antara suami dan istri
mengenai siapa yang lebih boros atau pemasukan siapa yang lebih
besar sehingga merasa lebih berhak menggunakan uang bukanlah
47
solusi yang konstruktif. Akan lebih baik jika pasangan mulai
menganalisis bersama alokasi pengeluaran yang kurang penting,
mencatat pengeluaran dan pemasukan keuangan keluarga,
menabung di awal waktu menerima gaji, atau menentukan skala
prioritas. Semua alternatif pemecahan masalah yang disepakati
bersama perlu dijalankan secara konsisten dan saling mengingatkan.
Langkah kedua dalam manajemen konflik ini akan dilatihkan pada
pertemuan hari pertama sesi ketiga setelah langkah awal diberikan.
c. Mencari cara untuk merekonsiliasi aspirasi kedua belah pihak
(kompromi). Cara ini dilakukan melalui koordinasi antara pihak
yang terlibat untuk menyelesaikan konflik. Pasangan suami istri
perlu saling memahami dan bersedia mencari jalan tengah dalam
menjalani tahap ini. Saran yang diajukan masing-masing pihak
untuk rekonsiliasi perlu dikaitkan dengan nilai bersama,
kepentingan bersama, dan hambatan bersama. Misalnya, saat
menonton tayangan tv pada waktu yang sama, suami ingin
menonton acara olahraga sementara istri ingin menonton episode
terakhir acara drama favorit. Jika keduanya enggan mengalah maka
akan terjadi konflik. Langkah penyelesaian menggunakan
kompromi yang mungkin ditempuh ialah menonton tv secara
bergantian agar tayangan olahraga dan drama dapat dinikmati
bersama. Kompromi melibatkan pengurangan tuntutan atau
idealisme kedua belah pihak sehingga solusi yang diperoleh
48
merupakan usaha pemenuhan keinginan kedua pihak walaupun
mungkin terdapat pengurangan kepuasan, misalnya pada contoh
acara tv, walaupun suami dan istri sama-sama dapat menikmati
acara tv olahraga dan drama dengan berkompromi namun mungkin
siaran tersebut tidak dapat dinikmati dengan utuh seperti saat
menonton sendiri. Jika salah satu pihak berkeras pada tuntutannya
maka kompromi tidak akan tercapai dan konflik terus terjadi.
Langkah ketiga dalam manajemen konflik ini akan disampaikan
dalam pelatihan hari kedua sesi keenam.
d. Menurunkan aspirasi dan mencari beberapa aspirasi lagi
(bernegosiasi). Satu pihak menurunkan aspirasi atau pendapatnya
dengan cara mengalah atau mengabaikan kepentingan yang
prioritasnya rendah, begitu pula sebaliknya. Namun tidak berarti
salah satu pihak kalah atau berpura-pura setuju pada pendapat
pasangannya. Pasangan yang menyepakati beberapa aspirasi
penyelesaian masalah walaupun mungkin tidak seluruhnya,
menciptakan dasar yang sama mengenai solusi yang hendak dicapai.
Apabila pasangan memutuskan untuk menerima solusi yang telah
disepakati maka pasangan harus memiliki komitmen untuk
melaksanakan alternatif solusi tersebut sehingga tercapai
pemecahan masalah.
49
Proses negosiasi biasanya memerlukan waktu yang cukup lama
karena kedua belah pihak perlu mengakomodir kepentingan masing-
masing dan menentukan alternatif yang menguntungkan keduanya.
Misalnya, sepasang suami istri yang sama-sama bekerja dan baru
memiliki anak memertimbangkan kemungkinan istri untuk berhenti
bekerja dan mengurus buah hati mereka, atau memekerjakan
seorang baby sitter. Untuk mengambil keputusan terbaik, pasangan
ini perlu menyusun pilihan-pilihan lebih dahulu, memertimbangkan
hambatan yang mungkin timbul seperti keuangan yang berkurang,
perubahan kebiasaan pada istri yang sebelumnya wanita karir
dengan berbagai atributnya menjadi ibu rumah tangga yang
sepanjang hari mengurus bayi, atau kekurangan dan kelebihan jika
pasangan ini memekerjakan baby sitter. Kepentingan dari masing-
masing pihak perlu dikemukakan dengan jujur dan menjadi
pertimbangan dalam mengambil keputusan. Masing-masing pihak
juga perlu menilai dengan jujur dan tidak terburu-buru pada setiap
alternatif solusi yang mungkin dapat dilakukan oleh pasangan.
Langkah terakhir dalam manajemen konflik ini merupakan materi
pelatihan hari kedua sesi keenam yang diberikan seusai langkah
ketiga.
Pelatihan manajemen konflik dapat meningkatkan kerja sama
diantara pasangan suami istri, menambah pemahaman mengenai pribadi
pasangannya, serta meningkatkan kemampuan komunikasi interpersonal.
50
Komunikasi interpersonal yang terjalin antar suami istri berperan penting
untuk menjaga kelangsungan berumah tangga (Dewi & Sudhana, 2012).
Selain itu, manajemen konflik merupakan usaha mengakomodasi
kebutuhan, keinginan, dan harapan yang berbeda dari pasangan suami istri.
Usaha mengakomodasi kepentingan yang berbeda merupakan konsep
penyesuaian perkawinan untuk mencapai keharmonisan keluarga
(Rachmawati, 2010).
Berdasarkan tahapan pelatihan manajemen konflik terdapat empat langkah
dalam mengelola konflik secara konstruktif yakni (1) memastikan adanya konflik;
(2) melakukan analisis konflik; (3) mencari cara untuk merekonsiliasi; dan (4)
menurunkan ego dan bernegosiasi.
C. Pengaruh Pelatihan Manajemen Konflik untuk Peningkatan
Keharmonisan Keluarga pada Pasangan Suami Istri
Pelatihan manajemen konflik ialah serangkaian aktivitas yang bertujuan
untuk memerluas pengetahuan individu dalam kapasitasnya sebagai suami atau istri
dalam menyusun strategi untuk mengendalikan perbedaan persepsi dan harapan
agar dihasilkan resolusi konstruktif yang diinginkan oleh pasangan suami istri.
Pengetahuan tersebut diharapkan akan memengaruhi perubahan perilaku sesuai
situasi konflik yang dihadapi pasangan suami istri. Komunikasi yang terjalin di
antara pasangan suami istri dalam menangani konflik dapat memupuk keeratan
hubungan dalam keluarga. Proses yang dijalani pasangan dalam mengelola konflik
dan komitmen menjalani resolusi konflik juga dapat meningkatkan rasa saling
51
menghargai dan saling memercayai yang pada akhirnya akan memengaruhi
keharmonisan keluarga.
Pemahaman mengenai pengelolaan konflik dalam rumah tangga merupakan
pengetahuan dan teknik ketrampilan yang diperlukan oleh pasangan suami istri.
Pengetahuan dan ketrampilan tersebut dapat dipelajari melalui pendidikan atau
pelatihan. Pelatihan adalah sebuah proses yang direncanakan untuk mengubah
sikap, pengetahuan atau keterampilan perilaku melalui pengalaman belajar untuk
mencapai kinerja yang efektif dalam berbagai kegiatan atau kegiatan tertentu yang
bertujuan untuk mengembangkan kemampuan individu dan untuk memenuhi
kebutuhan saat ini dan masa depan. Byadgi (2011) menyatakan bahwa manajemen
konflik merupakan proses untuk mendapatkan kesesuaian pada individu yang
mengalami konflik.
Bagaimana pasangan yang memiliki konflik mengatasi konfliknya
memengaruhi perkembangan pribadi mereka. Keberadaan konflik tidak otomatis
berdampak negatif terhadap hubungan maupun individu yang terlibat dalam
hubungan. Konflik baru akan berdampak negatif jika tidak dikelola dengan baik.
Menurut Supraktiknya (1995) pengelolaan konflik yang baik akan membawa pada
perkawinan yang harmonis dan dari proses tersebut akan mendewasakan masing-
masing pribadi. Pengelolaan konflik secara sehat dan baik dapat digunakan untuk
memertahankan kualitas hubungan dalam perkawinan.
Dalam manajemen konflik, seseorang dapat memilih bermacam-macam
strategi. Sebelum memutuskan untuk memilih strategi manajemen konlik yang akan
diambil, seseorang harus memikirkan segala resiko dan konsekuensi yang akan
52
didapat. Seseorang akan menjalankan strategi yang benar jika ia telah
memersiapkan diri, mengikuti alur konflik dengan baik, mengerti dampak dari
pemilihan strategi manajemen konflik, dan mengaplikasikan tahapan-tahapan di
dalam manajemen konflik.
Pelatihan manajemen konflik mengacu pada gaya manajemen konflik dari
Thomas & Kilmann (2004); yakni competitive, collaboration, compromising,
avoiding, dan accomodation. Dari kelima gaya tersebut, gaya manajemen konflik
collaborate dan compromising merupakan gaya manajemen konflik konstruktif.
Dalam gaya collaborate (kolaborasi) pasangan suami istri berusaha menciptakan
situasi yang memungkinkan tujuan kedua belah pihak tercapai dengan tetap
memerhatikan keberlangsungan hubungan. Suami istri bersikap kooperatif dengan
bersedia saling terbuka dalam mengkomunikasikan permasalahan dan tujuan yang
ingin dicapai dan tidak mengesampingkan sudut pandang dan tujuan pasangan.
Gaya kolaborasi memiliki tingkat keasertifan (ketegasan) dan kerjasama yang
tinggi dengan tujuan untuk mencari alternatif, bersama, dan sepenuhnya memenuhi
harapan kedua belah pihak yang terlibat konflik.
Selanjutnya gaya manajemen konflik konstruktif compromising
(kompromi). Di dalam gaya kompromi, pasangan suami istri berusaha berunding
dengan mengurangi tuntutan masing-masing untuk menemukan jalan tengah bagi
masing-masing kepentingan sebagai penyelesaian masalah. Pada gaya manajemen
konflik ini, tercapainya tujuan bersama dan keberlangsungan hubungan memiliki
nilai yang sama pentingnya walaupun tujuan yang dicapai tidak maksimal. Gaya
kompromi diterapkan pasangan suami istri dalam merumuskan penyelesaian ketika
53
gaya kolaborasi tidak dapat dijalankan karena adanya keterbatasan. Gaya
kompromi akan menghasilkan jalan keluar yang efektif terutama jika pasangan
harus sesegera mungkin memutuskan suatu penyelesaian. Penerapan gaya
kolaborasi dan gaya kompromi memerlukan ketrampilan komunikasi yang baik
diantaranya kesediaan mendengar, keterbukaan, empati, dan bersikap positif
terhadap opini pasangan sehingga tercapai resolusi konflik integratif.
Langkah manajemen konflik mengacu pada pendapat yang dikemukakan
Pruitt & Rubin (2004) yaitu memastikan adanya konflik dengan cara memahami
kemungkinan terdapat konflik tidak nyata akibat kesalahpahaman, melakukan
analisis konflik dengan membicarakan kepentingan pihak yang terlibat, mencari
cara untuk merekonsiliasi, dan menurunkan ego dan bernegosiasi. Di dalam
mengelola konflik komunikasi interpersonal yang efektif, bekerja sama, dan saling
menahan diri antara pasangan suami istri dilatihkan, sehingga konflik dihadapi
dengan kepala dingin dan terdapat komitmen untuk melaksanakan resolusi konflik
yang telah diputuskan bersama. Komunikasi efektif, kesabaran, dan resolusi
konflik merupakan aspek-aspek yang membentuk keluarga harmonis menurut
Kovikondala dkk. (2015), sehingga keterampilan mengelola konflik yang dikuasai
oleh pasangan suami istri akan menunjang peningkatan keharmonisan keluarga.
Keharmonisan, salah satunya dipengaruhi oleh kualitas dan kuantitas
konflik yang minim (Stinnet & DeFrain dalam Hawati, 1996). Kualitas dan
kuantitas konflik yang dialami pasangan suami istri dapat diturunkan melalui
pelatihan manajemen konflik. Pelatihan tersebut diharapkan dapat memberikan
pengetahuan dan ketrampilan baru kepada pasangan suami istri untuk digunakan
54
bersama-sama dalam merumuskan resolusi konflik yang konstruktif, sehingga
konflik yang dialami pasangan suami istri tidak menjadi destruktif namun menjadi
dasar bagi hubungan yang lebih erat dan komunikasi yang lebih efektif. Melalui
pengelolaan konflik yang lebih baik diharapkan akan berdampak pada
keharmonisan keluarga (Supratiknya, 1995).
Pasangan suami istri dengan gaya manajemen konflik cenderung destruktif
diharapkan mengalami perubahan gaya manajemen konflik menuju konstruktif
setelah mengikuti pelatihan manajemen konflik. Melalui perubahan gaya
manajemen konflik menuju konstruktif ini, pasangan suami istri akan memiliki
komunikasi yang lebih efektif, kuantitas dan kualitas konflik yang minim, serta
menahan diri dengan lebih baik terhadap pasangannya. Komunikasi efektif, minim
konflik, serta menahan diri merupakan faktor keharmonisan keluarga.
Keluarga yang harmonis dicapai melalui usaha bersama dari masing-masing
anggota keluarga salah satunya ditandai dengan sikap dan cara yang konstruktif
dalam resolusi konflik. Melalui pelatihan manajemen konflik, pasangan suami istri
belajar merumuskan bersama resolusi konflik konstruktif yang pada akhirnya dapat
mewujudkan keharmonisan keluarga.
D. Landasan Teori
Teori sistem keluarga dikemukakan oleh Minuchin (1974) dengan
mengajukan skema konsep memandang keluarga sebagai sebuah sistem yang
bekerja dalam konteks sosial dan memiliki tiga komponen. Pertama, struktur
keluarga berupa sistem sosiokultural yang terbuka dalam transformasi. Kedua,
keluarga senantiasa berkembang melalui sejumlah tahap yang mensyaratkan
55
penstrukturan. Ketiga, keluarga beradaptasi dengan perubahan situasi dalam
usahanya untuk mempertahankan kontinuitas dan meningkatkan pertumbuhan
psikososial tiap anggotanya (Lestari, 2012).
Struktur keluarga adalah serangkaian tuntutan fungsional tidak terlihat yang
mengorganisasi cara-cara anggota keluarga dalam berinteraksi. Sebuah keluarga
merupakan sistem yang beroperasi melalui pola transaksi. Pengulangan transaksi
membentuk pola bagaimana, kapan, dan dengan siapa berelasi, dan pola tersebut
menyokong sistem (Lestari, 2012).
Keluarga menghadapi tekanan dari dalam yang berasal dari perubahan
perkembangan para anggotanya dan tekanan dari luar yang berasal dari kebutuhan
untuk mengakomodasi institusi sosial yang berpengaruh signifikan terhadap
anggota keluarga. Dalam menghadapi tekanan tersebut, keluarga mempertahankan
kontinuitasnya sambil melakukan restukturisasi yang dimungkinkan. Untuk itu,
dibutuhkan perubahan konstan terhadap posisi anggota keluarga dalam berelasi
agar anggota keluarga dapat tetap tumbuh sementara sistem keluarga
mempertahankan kontinuitasnya (Lestari, 2012).
Keluarga dianggap sebagai sebuah sistem yang memiliki bagian-bagian
saling berhubungan dan saling berkaitan serta memiliki sistem hierarki yang berarti
terdapat subsistem yang membuat kualitas keluarga ditentukan oleh kombinasi dari
kualitas individu atau relasi dua pihak (Lestari, 2012). Proses saling mempengaruhi
sesama anggota keluarga dapat terjadi secara langsung misalnya dalam hubungan
suami-istri, ayah-anak, ibu-anak; dan terjadi secara tidak langsung berupa pengaruh
56
satu pihak terhadap hubungan dua pihak lain misalnya sikap suportif ayah akan
mempengarui kualitas hubungan ibu dengan bayinya (Lestari, 2012).
Berdasarkan teori sistem keluarga yang sudah dipaparkan, pelatihan
manajemen konflik dirancang untuk membantu pasangan menemukenali konflik
dalam hubungan interpersonal dan cara untuk menemukan solusi konstruktif
sehingga diharapkan pasangan suami istri dapat meningkatkan kualitas individu
sebagai suami dan istri serta kualitas hubungan menjadi lebih baik. Kualitas
hubungan antara pasangan suami istri yang baik akan mempengaruhi kuatnya
ikatan antar anggota keluarga. Bila ikatan yang terjalin cukup kuat maka antar
anggota keluarga dapat bersikap luwes dalam berinteraksi dan didukung
terpeliharanya saat-saat kebersamaan akan mewujudkan keluarga yang harmonis
(Lestari, 2012).
Relasi dalam keluarga dimulai dengan relasi pasangan suami-istri
kemudian diikuti relasi orangtua-anak dan relasi antar saudara. Relasi yang ada
dalam keluarga bersifat dinamis dan dapat membawa pengaruh positif atau negatif
tergantung pada pola hubungan yang terjadi (Lestari, 2012). Terwujudnya
keharmonisan keluarga merupakan tanggung jawab bersama antara suami dan istri
yang perlu diusahakan secara terus-menerus. Keharmonisan perkawinan
merupakan suatu hal yang perlu diupayakan oleh pasangan suami istri sebagaimana
hasil penelitian menunjukkan bahwa keharmonisan perkawinan berpengaruh positif
terhadap kesehatan dan kesejahteraan psikologis (Williams, 2003).
Dalam usaha menciptakan dan meningkatkan keharmonisan dalam keluarga
inilah dibutuhkan kemampuan baik suami maupun istri untuk mengelola konflik
57
yang muncul, sehingga efek dari keberadaan konflik justru mampu mengeratkan
ikatan suami istri (Supraktiknya, 1995). Dobos, dkk. (Benokraitis, 1996)
menyatakan, beberapa hal yang dapat menimbulkan masalah dalam perkawinan,
yaitu masalah keuangan, mengurus anak, adanya perbedaan gaya hidup, hubungan
dengan teman, perbedaan kepribadian, masalah dengan mertua, masalah
keagamaan, perbedaan politik, serta masalah seks. Manajemen konflik konstruktif
diharapkan mampu memengaruhi relasi inti keluarga yakni relasi antara suami istri.
Dalam usaha pasangan suami istri mewujudkan manajemen konflik konstruktif,
terdapat komunikasi interpersonal yang efektif, keterbukaan, kehangatan
komunikasi, serta kesediaan untuk menahan diri. Relasi positif antara suami dan
istri akan memengaruhi keeratan hubungan antar anggota keluarga yang lain
sehingga pada akhirnya terwujud keharmonisan keluarga.
Menurut Supraktiknya (1995), pengelolaan konflik yang baik akan
membawa pada perkawinan harmonis yang akan mendewasakan masing-masing
pribadi. Pengelolaan konflik secara sehat dan baik dapat digunakan untuk
memertahankan kualitas hubungan dalam perkawinan. Melalui pelatihan
manajemen konflik, pasangan suami istri belajar bekerja sama dalam mengelola
konflik perkawinan menggunakan manajemen konflik konstruktif sehingga dapat
menemukan solusi permasalahan yang sehari-hari dihadapi.
Berdasarkan hal-hal yang sudah diungkapkan sebelumnya, maka kerangka
berpikir dalam penelitian ini akan dijelaskan melalui gambar 1 sebagai berikut:
58
Keterangan : = Dampak yang ditimbulkan
= Pelatihan yang diberikan
Gambar 1. Kerangka Penelitian
HARMONIS
KEHARMONISAN
KELUARGA MENINGKAT
MANAJEMEN KONFLIK
KONSTRUKTIF
Collaborate & Compromise
MANAJEMEN
KONFLIK
KONSTRUKTIF
Collaborate
Compromise
MANAJEMEN
KONFLIK
DESTRUKTIF
Competitive
Avoiding
Accomodation
TINGGI
Komunikasi efektif
Resolusi konflik
Saling menahan diri
Identitas keluarga
Waktu berkualitas
PELATIHAN
MANAJEMEN
KONFLIK
menyadari konflik
analisis konflik
rekonsiliasi
menurunkan ego,
mencari aspirasi
RENDAH
Miss-komunikasi
Konflik berlarut-larut
Lepas kendali
Enggan menampakkan identitas
keluarga
Tidak memiliki waktu berkualitas
KEHARMONISAN KELUARGA
59
E. Hipotesis
Berdasarkan kerangka teoritis yang telah dijabarkan, maka hipotesis
dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut :
a. Ada perbedaan keharmonisan keluarga pada pasangan suami-istri yang
diberikan pelatihan manajemen konflik (KE) dengan pasangan suami-
istri yang tidak diberikan pelatihan manajemen konflik (KK). Pasangan
suami-istri yang diberikan pelatihan manajemen konflik memerlihatkan
keharmonisan keluarga yang lebih tinggi daripada pasangan suami-istri
yang tidak diberikan pelatihan.
b. Ada perbedaan keharmonisan keluarga pada pasangan suami-istri
(kelompok eksperimen) antara sebelum dan sesudah diberikan pelatihan
manajemen konflik. Setelah diberikan pelatihan, pasangan suami-istri
memerlihatkan peningkatan skor keharmonisan keluarga.