BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Keharmonisan Keluarga 1 ...eprints.mercubuana-yogya.ac.id/1188/3/BAB...

38
22 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Keharmonisan Keluarga 1. Pengertian Keharmonisan Keluarga Keharmonisan, secara terminologi berasal dari kata harmonis yang berarti serasi dan selaras (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2012). Menurut Walgito (1991) keharmonisan keluarga adalah berkumpulnya unsur fisik dan psikis yang berbeda antara pria dan wanita sebagai pasangan suami istri, dilandasi oleh berbagai unsur persamaan; seperti saling dapat memberi dan menerima cinta kasih tulus dan memiliki nilai-nilai serupa dalam perbedaan. Hawari (1996) menyatakan bahwa keharmonisan keluarga sesungguhnya terletak pada erat-tidaknya hubungan antar anggota keluarga, misalnya hubungan antara ayah dengan ibu, hubungan antara orangtua dengan anak, dan hubungan antar anak. Masing-masing anggota keluarga memiliki peran dalam menjaga keharmonisan hubungan satu sama lain. Gunarsa (2004) berpendapat bahwa keharmonisan keluarga ialah bilamana seluruh anggota keluarga merasa bahagia, ditandai oleh berkurangnya ketegangan, kekecewaan dan puas terhadap seluruh keadaan dan keberadaan dirinya (eksistensi dan aktualisasi diri), meliputi aspek fisik, mental, emosi dan sosial. Menurut Sahli (Rachmawati, 2010), keharmonisan keluarga adalah hidup bahagia dalam ikatan cinta kasih suami istri, didasari oleh kerelaan dan keselarasan hidup bersama. Suami istri hidup dalam ketenangan lahir dan batin

Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Keharmonisan Keluarga 1 ...eprints.mercubuana-yogya.ac.id/1188/3/BAB...

Page 1: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Keharmonisan Keluarga 1 ...eprints.mercubuana-yogya.ac.id/1188/3/BAB II.pdf · Nilai-nilai yang dianut dalam perkawinan adalah sesuatu yang dihayati oleh

22

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Keharmonisan Keluarga

1. Pengertian Keharmonisan Keluarga

Keharmonisan, secara terminologi berasal dari kata harmonis yang

berarti serasi dan selaras (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2012). Menurut

Walgito (1991) keharmonisan keluarga adalah berkumpulnya unsur fisik dan

psikis yang berbeda antara pria dan wanita sebagai pasangan suami istri,

dilandasi oleh berbagai unsur persamaan; seperti saling dapat memberi dan

menerima cinta kasih tulus dan memiliki nilai-nilai serupa dalam perbedaan.

Hawari (1996) menyatakan bahwa keharmonisan keluarga

sesungguhnya terletak pada erat-tidaknya hubungan antar anggota keluarga,

misalnya hubungan antara ayah dengan ibu, hubungan antara orangtua dengan

anak, dan hubungan antar anak. Masing-masing anggota keluarga memiliki

peran dalam menjaga keharmonisan hubungan satu sama lain. Gunarsa (2004)

berpendapat bahwa keharmonisan keluarga ialah bilamana seluruh anggota

keluarga merasa bahagia, ditandai oleh berkurangnya ketegangan, kekecewaan

dan puas terhadap seluruh keadaan dan keberadaan dirinya (eksistensi dan

aktualisasi diri), meliputi aspek fisik, mental, emosi dan sosial.

Menurut Sahli (Rachmawati, 2010), keharmonisan keluarga adalah

hidup bahagia dalam ikatan cinta kasih suami istri, didasari oleh kerelaan dan

keselarasan hidup bersama. Suami istri hidup dalam ketenangan lahir dan batin

Page 2: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Keharmonisan Keluarga 1 ...eprints.mercubuana-yogya.ac.id/1188/3/BAB II.pdf · Nilai-nilai yang dianut dalam perkawinan adalah sesuatu yang dihayati oleh

23

karena suami istri tersebut merasa cukup dan puas atas segala sesuatu yang ada

dan telah dicapai ke dalam ataupun ke luar keluarga, menyangkut nafkah,

seksual, dan pergaulan dengan masyarakat. Keharmonisan keluarga juga dapat

diartikan sebagai suatu keadaan pada keluarga, dimana masing-masing unsur

dalam keluarga tersebut dapat berfungsi dan berperan sebagaimana mestinya

serta tetap berpegang teguh pada nilai-nilai agama (Anggraeni, 2015).

Surya (2001), menyatakan bahwa keharmonisan merupakan kondisi

hubungan interpersonal yang melandasi keluarga bahagia. Keharmonisan

keluarga dibuktikan dengan adanya tanggung jawab dalam membina suatu

keluarga didasari oleh saling menghormati, saling menerima, menghargai,

saling memercayai, dan saling mencintai (Purba, 2012).

Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa

keharmonisan keluarga adalah keadaan keluarga yang dapat berfungsi dan

berperan sebagai mana mestinya dilandasi berbagai unsur persamaan, kerelaan

dan keselarasan hidup bersama sehingga tercipta keeratan hubungan antar

anggota keluarga.

2. Aspek-aspek Keharmonisan Keluarga

Stinnet & DeFrain (Hawari, 1996) mengemukakan enam kriteria

keluarga harmonis, yaitu:

a. Menciptakan kehidupan beragama dalam keluarga.

Sebuah keluarga harmonis ditandai dengan terciptanya kehidupan

beragama dalam rumah tersebut. Hal ini penting karena dalam agama

terdapat nilai-nilai moral dan etika kehidupan. Berdasarkan beberapa

Page 3: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Keharmonisan Keluarga 1 ...eprints.mercubuana-yogya.ac.id/1188/3/BAB II.pdf · Nilai-nilai yang dianut dalam perkawinan adalah sesuatu yang dihayati oleh

24

penelitian ditemukan bahwa keluarga tidak religius yang penanaman

komitmennya rendah atau tanpa nilai agama sama sekali cenderung terjadi

konflik dan percekcokan dalam keluarga.

b. Memiliki waktu bersama keluarga

Keluarga harmonis selalu menyediakan waktu untuk bersama

keluarganya, baik itu hanya sekedar berkumpul, makan bersama,

menemani anak bermain dan mendengarkan masalah dan keluhan-keluhan

anak, dalam kebersamaan ini anak akan merasa dirinya dibutuhkan dan

diperhatikan oleh orangtuanya, sehingga anak akan betah tinggal di rumah.

c. Ada komunikasi yang baik antar anggota keluarga.

Komunikasi merupakan dasar bagi terciptanya keharmonisan dalam

keluarga. Anak akan merasa aman apabila orangtuanya tampak rukun,

karena kerukunan tersebut akan memberikan rasa aman dan ketenangan

bagi anak, komunikasi yang baik dalam keluarga juga akan dapat

membantu anak untuk memecahkan permasalahan yang dihadapinya di

luar rumah, dalam hal ini selain berperan sebagai orangtua, ibu dan ayah

juga harus berperan sebagai teman, agar anak lebih leluasa dan terbuka

dalam menyampaikan semua permasalahannya.

d. Saling menghargai antar sesama anggota keluarga.

Keluarga harmonis adalah keluarga yang memberikan tempat bagi setiap

anggota keluarga menghargai perubahan yang terjadi dan mengajarkan

ketrampilan berinteraksi sedini mungkin pada anak dengan lingkungan

lebih luas.

Page 4: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Keharmonisan Keluarga 1 ...eprints.mercubuana-yogya.ac.id/1188/3/BAB II.pdf · Nilai-nilai yang dianut dalam perkawinan adalah sesuatu yang dihayati oleh

25

e. Kualitas dan kuantitas konflik yang minim.

Jika dalam keluarga sering terjadi perselisihan dan pertengkaran maka

suasana dalam keluarga tidak lagi menyenangkan. Dalam keluarga

harmonis setiap anggota keluarga berusaha menyelesaikan masalah

dengan kepala dingin dan mencari penyelesaian terbaik dari setiap

permasalahan.

f. Adanya hubungan atau ikatan yang erat antar anggota keluarga.

Hubungan yang erat antar anggota keluarga juga menentukan harmonisnya

sebuah keluarga, apabila dalam suatu keluarga tidak memiliki hubungan

erat, maka antar anggota keluarga tidak ada lagi rasa saling memiliki dan

rasa kebersamaan akan kurang. Hubungan yang erat antar anggota

keluarga ini dapat diwujudkan dengan adanya kebersamaan, komunikasi

yang baik antar anggota keluarga dan saling menghargai.

Kovikondala dkk. (2015) juga mengemukakan lima dimensi

keharmonisan keluarga yaitu:

a. Komunikasi efektif, komunikasi yang tercipta dengan baik di antara

anggota keluarga ketika peran dalam keluarga berfungsi secara optimal,

sehingga setiap anggota keluarga dapat saling berbicara dengan bebas,

saling mendengarkan, peduli, dan mampu mengekspresikan kasih sayang.

b. Resolusi konflik, yakni sebuah kondisi dimana keluarga dapat

menyelesaikan masalah dengan konstruktif, saling menghargai dan mau

menerima perbedaan pendapat serta tetap menjalankan perannya dengan

baik. Penyelesaian masalah dalam keluarga juga dilakukan dengan tenang.

Page 5: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Keharmonisan Keluarga 1 ...eprints.mercubuana-yogya.ac.id/1188/3/BAB II.pdf · Nilai-nilai yang dianut dalam perkawinan adalah sesuatu yang dihayati oleh

26

c. Kesabaran atau menahan diri, setiap anggota keluarga saling memahami

dan memiliki kesabaran satu dengan yang lain serta mau menyesuaikan

diri untuk berusaha meredakan ketegangan yang mungkin terjadi.

d. Waktu berkualitas bersama keluarga. Anggota keluarga merasakan

kepuasan dan nyaman berada di tengah keluarga, setiap anggota keluarga

merasa dekat satu dengan yang lain dan saling merawat.

e. Identitas sebagai keluarga yang berarti bangga dan mengakui sebagai

anggota keluarga serta mau menjadi bagian dari cita-cita keluarga.

Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan terdapat beberapa kriteria

keluarga harmonis yakni kehidupan beragama dalam keluarga, komunikasi

yang baik, resolusi konflik, waktu bersama dalam keluarga, hubungan yang

erat dan saling menghargai. Dalam penelitian ini aspek keluarga harmonis

mengacu pada teori Kovikondala dkk. (2015) yang mengemukakan lima

dimensi keharmonisan dikarenakan kemutakhiran penelitian dan kesesuaian

dengan tema penelitian ini.

3. Faktor-faktor Determinan dalam Keharmonisan Keluarga

Menurut Sarwono (1982), dalam menentukan ukuran kebahagiaan

keluarga perlu diperhatikan faktor-faktor berikut:

a. Faktor kesejahteraan jiwa

Rendahnya frekuensi pertengkaran atau percekcokan di rumah, saling

mengasihi dan saling membutuhkan serta saling tolong-menolong antara

sesama anggota keluarga, kepuasan dalam pekerjaan dan pelajaran

Page 6: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Keharmonisan Keluarga 1 ...eprints.mercubuana-yogya.ac.id/1188/3/BAB II.pdf · Nilai-nilai yang dianut dalam perkawinan adalah sesuatu yang dihayati oleh

27

masing-masing, menjadi indikator-indikator jiwa yang bahagia, sejahtera

dan sehat.

b. Faktor kesehatan fisik

Faktor ini tidak kalah penting dari faktor pertama karena jika anggota

keluarga sering sakit maka akan berakibat banyaknya pengeluaran untuk

dokter, obat-obatan dan rumah sakit, hal tersebut tentu akan mengurangi

dan menghambat tercapainya kesejahteraan keluarga.

c. Faktor perimbangan antara pengeluaran uang dan penghasilan keluarga

Tidak semua keluarga beruntung dapat memeroleh penghasilan

mencukupi. Masalahnya tidak lain adalah kurang mampunya keluarga-

keluarga bersangkutan merencanakan hidupnya, sehingga pengeluaran-

pengeluaran pun menjadi tidak terencana.

Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap keharmonisan keluarga

(Dewi & Sudhana, 2012; Purba, 2012; Nancy, dkk., 2014; Rachmawati, 2010)

adalah:

a. Komunikasi interpersonal

Komunikasi interpersonal adalah proses pengiriman dan penerimaan

pesan antara dua orang atau kelompok kecil dengan feed back, baik secara

langsung maupun tidak langsung (Dewi & Sudhana, 2012). Komunikasi

interpersonal merupakan komunikasi antara orang-orang secara tatap

muka, yang memungkinkan setiap pesertanya menangkap reaksi orang lain

secara langsung, baik secara verbal maupun nonverbal (Mulyana, 2008).

Salah satu tipe komunikasi interpersonal yang digunakan dalam

Page 7: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Keharmonisan Keluarga 1 ...eprints.mercubuana-yogya.ac.id/1188/3/BAB II.pdf · Nilai-nilai yang dianut dalam perkawinan adalah sesuatu yang dihayati oleh

28

berinteraksi pada pasangan suami istri adalah yang bersifat diadik yaitu

melalui komunikasi dalam situasi lebih intim, lebih dalam dan personal.

Komunikasi interpersonal yang terjalin antar suami istri berperan penting

untuk menjaga kelangsungan berumah tangga. Apabila pasangan suami

istri saling menunjukkan sikap yang positif terhadap pasangannya maka

komunikasi interpersonal dapat berjalan secara efektif. Terciptanya

komunikasi efektif yang ditandai dengan adanya sikap terbuka, empati,

saling mendukung, sikap positif, dan kesetaraan, antara pasangan suami

istri membuat hubungan interpersonal menjadi baik sehingga dapat

terwujud keharmonisan dalam pernikahan yang ditandai adanya saling

mengerti, saling menerima, saling menghargai, saling percaya, dan saling

mencintai (Dewi & Sudhana, 2012).

b. Kecerdasan spiritual

Kecerdasan spritual adalah kemampuan seseorang untuk

menghadapi dan memecahkan masalah yang berhubungan dengan nilai,

batin, kejiwaan dan kemampuan potensial untuk menentukan makna, nilai,

moral serta cinta terhadap kekuatan yang lebih besar dalam sesama mahluk

hidup. Kecerdasan ini terutama berkaitan dengan abstraksi pada suatu hal

di luar kekuatan manusia yaitu kekuatan penggerak kehidupan dan semesta

dan dapat menempatkan diri dalam kehidupan yang lebih positif dengan

penuh kebijaksanaan, kedamaian, dan kebahagiaan hakiki (Purba, 2012).

Dengan memiliki kecerdasan spiritual, pasangan suami istri mampu

bersikap fleksibel dalam menghadapi konflik rumah tangga dan mampu

Page 8: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Keharmonisan Keluarga 1 ...eprints.mercubuana-yogya.ac.id/1188/3/BAB II.pdf · Nilai-nilai yang dianut dalam perkawinan adalah sesuatu yang dihayati oleh

29

menempatkan perilakunya dengan lebih bermakna. Untuk menciptakan

keluarga harmonis diperlukan eksistensi dan peran dari masing-masing

anggota keluarga serta tanggung jawab terhadap fungsi dalam keluarga.

Untuk menumbuhkan kesadaran akan peran dan tanggung jawab dalam

keluarga, diperlukan pemahaman dan kecerdasan spiritual (Purba, 2012).

c. Nilai dalam pernikahan

Nilai-nilai yang dianut dalam perkawinan adalah sesuatu yang

dihayati oleh pasangan mengenai apa yang baik, berharga, disukai, patut

diusahakan, patut diperjuangkan dan dipertahankan dalam perkawinan.

Melvile (Nancy, dkk., 2014) menyatakan, nilai-nilai dalam perkawinan

adalah bagian-bagian yang dianut dalam kehidupan perkawinan. Nilai

dalam perkawinan dapat dipandang berbeda oleh setiap orang. Redd

(Nancy, dkk., 2014) menyatakan bahwa jika nilai dalam perkawinan

rendah, perkawinan menjadi kurang sehat. Hal ini dapat dijelaskan bahwa

pasangan yang memandang perkawinan sebagai sesuatu yang harus

dipertahankan, sesuatu yang bermakna akan berusaha untuk memelihara

kesatuan rumah tangga dengan memandang pasangan sebagai mitra

sehingga tidak terdapat kesenjangan peran antara suami dan istri sehingga

terwujud perkawinan yang egaliter, otonom, dan serasi. Gambaran nilai

dalam perkawinan yang otonomi, egaliter dan serasi akan menciptakan

perkawinan yang harmonis dan akan berdampak pada kondisi keluarga

yang harmonis (Nancy, dkk., 2014).

Page 9: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Keharmonisan Keluarga 1 ...eprints.mercubuana-yogya.ac.id/1188/3/BAB II.pdf · Nilai-nilai yang dianut dalam perkawinan adalah sesuatu yang dihayati oleh

30

d. Pemaafan

Pemaafan adalah suatu solusi dari risiko logis antar pribadi.

Ketidakmampuan untuk memaafkan atau dimaafkan akan menjadi sumber

hancurnya suatu relasi, tak terlepas dari hubungan suami-istri yang

tentunya akan mengarah kepada keretakan keluarga (Subiyanto, 2011).

Pasangan suami-istri yang memiliki sikap pemaaf kemungkinan besar

akan memertahankan keutuhan keluarganya. Mereka menyadari bahwa

manusia mudah melakukan kesalahan. Apabila diketahui bahwa salah satu

pasangan melakukan kesalahan, maka pihak lain dengan usaha sangat kuat

akan memaafkan pihak yang berbuat salah. Pemaafan adalah suatu

perjalanan sangat kompleks, termasuk kemampuan untuk mengubah

sistem afektif, kognitif dan tingkah laku (Nancy, dkk., 2014).

Pemaafan memiliki implikasi yang substansial untuk relasi jangka

panjang sebagai interaksi dari sebuah hubungan. Pemaafan merupakan

modalitas yang secara signifikan berpotensi untuk meningkatkan

kesejahteraan dan memperbaiki hubungan interpersonal. Hubungan

interpersonal yang terjalin baik antara suami istri akan berpengaruh

terhadap kebahagiaan dan kepuasan hubungan sehingga dapat terwujud

keharmonisan dalam keluarga (Nancy, dkk., 2014).

e. Penyesuaian perkawinan

Penyesuaian perkawinan adalah perubahan yang terjadi selama

masa pernikahan antara suami istri untuk dapat memenuhi kebutuhan,

keinginan, dan harapan masing-masing pihak, serta untuk menyelesaikan

Page 10: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Keharmonisan Keluarga 1 ...eprints.mercubuana-yogya.ac.id/1188/3/BAB II.pdf · Nilai-nilai yang dianut dalam perkawinan adalah sesuatu yang dihayati oleh

31

masalah yang ada, sehingga kedua belah pihak merasakan kepuasan.

Munandar (Rachmawati, 2010) menyatakan bahwa penyesuaian

perkawinan berarti adanya saling pengertian antara suami-istri dalam

menyatakan perbedaan-perbedaan di antara suami-istri dengan melakukan

hal-hal yang dapat menambah kepuasan supaya tercapai hubungan

keluarga yang harmonis.

Laswell & Laswell (Rachmawati, 2010) menyatakan bahwa konsep

penyesuaian perkawinan secara tidak langsung menunjukkan adanya dua

individu yang saling belajar untuk mengakomodasi kebutuhan, keinginan,

dan harapannya dengan kebutuhan, keinginan dan harapan dari

pasangannya.

Berdasarkan uraian mengenai faktor-faktor dalam keharmonisan

keluarga yang sudah dipaparkan sebelumnya, dapat disimpulkan

determinan dalam keharmonisan keluarga terdiri dari komunikasi

interpersonal, kecerdasan spiritual, nilai dalam pernikahan, pemaafan,

penyesuaian perkawinan, fisik, dan ekonomi. Manajemen konflik adalah

upaya untuk menemukan resolusi konflik konstruktif dalam keluarga

termasuk dalam faktor penyesuaian perkawinan. Penyesuaian yang berhasil

ditandai oleh sikap dan cara yang konstruktif dalam melakukan resolusi

konflik. Manajemen konflik merupakan usaha mengakomodasi kebutuhan,

keinginan, dan harapan yang berbeda dari pasangan suami istri. Manajemen

konflik dalam keluarga juga merupakan sebuah bentuk komunikasi

Page 11: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Keharmonisan Keluarga 1 ...eprints.mercubuana-yogya.ac.id/1188/3/BAB II.pdf · Nilai-nilai yang dianut dalam perkawinan adalah sesuatu yang dihayati oleh

32

interpersonal antara suami dan istri untuk menggantikan disfungsional

dengan persetujuan yang produktif.

B. Pelatihan Manajemen Konflik

1. Pengertian Pelatihan Manajemen Konflik

Menurut Agochiya (Rosdiana, 2009), pelatihan merupakan suatu

proses terdiri dari serangkaian aktivitas yang bertujuan untuk memerluas

pengetahuan individu, sehingga mengakibatkan perubahan perilaku sesuai

dengan situasi dalam hidupnya. Pelatihan membantu pesertanya

mengeksplorasi dan menyadari potensi serta bakat yang dimiliki. Melalui

pelatihan pula, peserta terfasilitasi dalam mengidentifikasi kekurangan serta

kelebihan dalam mencapai standar yang ditetapkan. Pelatihan merupakan

cara efektif untuk memanfaatkan pengetahuan dan kompetensi yang telah ada

untuk memaksimalkan hasil usaha seseorang. Prinsip-prinsip belajar dalam

pelatihan merupakan prinsip adult learning yang berhubungan dengan

pelatihan dan pendidikan.

Agochiya (Rosdiana 2009) mengungkapkan bahwa penggunaan

teknik dan metode pelatihan dimaksudkan untuk memasilitasi proses

pembelajaran selama program pelatihan dilaksanakan dengan cara

meningkatkan partisipasi dan mendorong adanya interaksi di antara peserta

pelatihan. Pemilihan teknik dan metode pelatihan memertimbangkan hasil

pembelajaran yang diinginkan, keahlian trainer mengoptimalkan penggunaan

suatu metode, serta fasilitas yang tersedia selama pelatihan. Beberapa metode

dalam pelatihan yaitu ceramah, membaca, diskusi kelompok, permainan, dan

Page 12: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Keharmonisan Keluarga 1 ...eprints.mercubuana-yogya.ac.id/1188/3/BAB II.pdf · Nilai-nilai yang dianut dalam perkawinan adalah sesuatu yang dihayati oleh

33

bermain peran. Diskusi kelompok dibagi menjadi diskusi terstuktur, diskusi

terbuka, dan diskusi panel.

Dalam penelitian ini intervensi yang diberikan adalah pelatihan

manajemen konflik. Manajemen konflik menurut Wirawan (2010) ialah

proses yang dilakukan dua pihak terlibat atau pihak ketiga dalam menyusun

strategi konflik dan menerapkannya untuk mengendalikan konflik agar

menghasilkan resolusi yang diinginkan. Pruitt & Rubin (2004)

mendefinisikan manajemen konflik sebagai berbagai macam usaha yang

dilakukan untuk menemukan solusi bagi kontroversi yang terjadi yang dapat

diterima oleh semua pihak.

Konflik perkawinan menurut Esere (2003) adalah perbedaan persepsi

dan harapan-harapan di antara pasangan suami-istri tentang masalah

pernikahan. Masalah-masalah itu antara lain tentang latar belakang

pengalaman yang berbeda, kebutuhan-kebutuhan dan nilai-nilai yang mereka

anut sebelum memutuskan untuk menjalin ikatan perkawinan. Konflik dalam

perkawinan berjalan ke arah positif atau negatif bergantung pada ada atau

tidaknya proses yang mengarah pada saling pengertian dalam hubungan.

Keterikatan antar pasangan berada dalam tingkat tertinggi dalam hal

kelekatan, afeksi, komitmen, maupun intensitas. Ketika masalah muncul

dalam sifat hubungan demikian, perasaan positif yang selama ini dibangun

secara mendalam dapat berubah menjadi perasaan negatif yang mendalam

juga. Walaupun demikian, banyak keluarga sering mengalami konflik,

namun tetap dapat berfungsi dengan baik (Lestari, 2012). Salah satu faktor

Page 13: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Keharmonisan Keluarga 1 ...eprints.mercubuana-yogya.ac.id/1188/3/BAB II.pdf · Nilai-nilai yang dianut dalam perkawinan adalah sesuatu yang dihayati oleh

34

penting yang tetap membuat keluarga dapat berfungsi ialah karena konflik

tersebut diselesaikan, tidak dibiarkan atau dianggap hilang seiring waktu.

Seperti diungkapkan Rueter & Conger (Lestari 2012), keluarga yang

memiliki interaksi hangat akan menghasilkan pemecahan masalah yang

konstruktif, adapun keluarga dengan interaksi bermusuhan cenderung

menggunakan pemecahan masalah yang destruktif.

Menurut Walgito (2002), kemampuan mengelola konflik dalam

perkawinan adalah kecakapan dan kesanggupan suami istri dalam

mengendalikan dan mencari cara penyelesaian masalah dalam

perkawinannya. Konflik akan berdampak negatif bila tidak terkelola dengan

baik, untuk itu diperlukan kemampuan memanajemen konflik.

Kemampuan pasangan dalam mengelola dan menyelesaikan konflik

merupakan prediktor utama di dalam sebuah hubungan perkawinan (Byadgi,

2011). Oleh karena itu, pasangan yang menjalani perkawinan perlu

mengetahui bagaimana mengelola konflik dengan baik. Manajemen konflik

merupakan salah satu faktor signifikan yang dapat membantu pasangan

perkawinan mengelola konflik. Manajemen konflik merupakan proses pihak

yang terlibat konflik dalam menyusun strategi konflik dan menerapkannya

untuk mengendalikan konflik agar menghasilkan penyelesaian konflik yang

diinginkan (Gunawan, 2011).

Byadgi (2011) menjelaskan bahwa manajemen konflik merupakan

proses untuk mendapatkan kesesuaian pada individu yang mengalami

konflik. Dalam manajemen konflik, seseorang dapat memilih bermacam-

Page 14: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Keharmonisan Keluarga 1 ...eprints.mercubuana-yogya.ac.id/1188/3/BAB II.pdf · Nilai-nilai yang dianut dalam perkawinan adalah sesuatu yang dihayati oleh

35

macam strategi. Sebelum memutuskan untuk memilih strategi manajemen

konflik yang akan diambil, seseorang harus memikirkan segala resiko dan

konsekuensi yang akan didapat. Seseorang akan menjalankan strategi yang

benar jika ia telah memersiapkan diri, mengikuti alur konflik dengan baik,

mengerti dampak dari pemilihan strategi manajemen konflik, dan

mengaplikasikan tahapan-tahapan di dalam manajemen konflik. Oleh karena

itu, pelatihan manajemen konflik dapat menjadi salah satu sumber

pengetahuan bagi pasangan suami istri untuk dapat mengelola konflik dengan

lebih baik.

Menurut Supraktiknya (1995), pengelolaan konflik yang baik akan

berdampak pada perkawinan yang harmonis dan akan mendewasakan

masing-masing pribadi. Pengelolaan konflik secara sehat dan baik dapat

digunakan untuk mempertahankan kualitas hubungan dalam perkawinan.

Berdasarkan uraian mengenai definisi di atas, dalam penelitian ini

teori yang digunakan sebagai acuan ialah definisi pelatihan dari Agochiya

(Rosdiana, 2009) serta definisi manajemen konflik dari Wirawan (2010) dan

Pruitt & Rubin (2004). Pelatihan manajemen konflik dapat dipahami sebagai

serangkaian aktivitas yang bertujuan untuk memerluas pengetahuan individu

dalam kapasitasnya sebagai suami atau istri dalam menyusun strategi untuk

mengendalikan perbedaan persepsi dan harapan tentang masalah perkawinan

agar dihasilkan resolusi konstruktif yang diinginkan oleh pasangan suami

istri. Pengetahuan tersebut diharapkan akan mempengaruhi perubahan

perilaku sesuai situasi konflik yang dihadapi pasangan suami istri.

Page 15: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Keharmonisan Keluarga 1 ...eprints.mercubuana-yogya.ac.id/1188/3/BAB II.pdf · Nilai-nilai yang dianut dalam perkawinan adalah sesuatu yang dihayati oleh

36

2. Gaya Manajemen Konflik

Keberadaan konflik tidak otomatis berdampak negatif terhadap

hubungan maupun individu yang terlibat dalam hubungan. Konflik baru akan

berdampak negatif jika tidak dikelola dengan baik. Thomas & Kilmann

(Byadgi, 2011) memaparkan lima model manajemen konflik perkawinan

yaitu:

a. Competitive (kompetitif)

Kompetitif merupakan perilaku dengan tingkat asertif tinggi dan tidak

kooperatif yang terwujud dari adanya unsur persaingan antar individu.

Dalam model kompetitif, individu cenderung agresif, memaksakan

kehendak dan berusaha untuk menang tanpa ada keinginan untuk

menyesuaikan tujuan dan keinginannya terhadap orang lain. Individu

saling melawan dengan memerlihatkan keunggulan masing-masing.

b. Collaboration (kerjasama)

Kerjasama merupakan sikap bekerjasama dengan tujuan mencari

alternatif solusi dari permasalahan yang sedang dihadapi, sehingga

memenuhi harapan kedua belah pihak yang terlibat konflik. Gaya

pengelolaan konflik dengan menggunakan kerjasama memiliki tingkat

keasertifan (ketegasan) dan kerjasama yang tinggi dengan tujuan untuk

mencari alternatif, dasar bersama, dan sepenuhnya memenuhi harapan

kedua belah pihak yang terlibat konflik.

Page 16: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Keharmonisan Keluarga 1 ...eprints.mercubuana-yogya.ac.id/1188/3/BAB II.pdf · Nilai-nilai yang dianut dalam perkawinan adalah sesuatu yang dihayati oleh

37

c. Compromising (kompromi)

Kompromi merupakan gaya mengelola konflik tingkat menengah,

dimana gaya ini berada di antara gaya kompetisi dan gaya kolaborasi.

Kompromi dapat berarti saling mengurangi tuntutan masing-masing

pihak, serta saling berkoordinasi untuk menyelesaikan konflik dengan

cara membuka pikiran untuk berbicara, berunding, memberikan

informasi tentang situasi kepada pihak bersangkutan dan mencari model

penyelesaian konflik yang baik di antara kedua belah pihak.

d. Avoiding (menghindar)

Menghindar memiliki tingkat keasertifan dan kerja sama yang rendah.

Kedua belah pihak terlibat konflik berusaha menghindari konflik. Bentuk

penghindaran tersebut berupa menjauhkan diri dari pokok permasalahan,

menunda pokok masalah hingga waktu yang tepat, atau menarik diri dari

konflik yang mengancam dam merugikan.

e. Accommodation (akomodasi).

Akomodasi merupakan sikap cenderung mengesampingkan keinginan

pribadi dan berusaha untuk memenuhi keinginan dan kebutuhan orang

lain. Gaya ini juga disebut dengan obliging style, dimana seseorang yang

menggunakan gaya manajemen konflik ini akan berusaha untuk

mementingkan kepentingan orang lain di atas kepentingan diri sendiri.

Kelima gaya manajemen konflik yang dipaparkan di atas dapat

dikelompokkan menjadi gaya manajemen konflik konstruktif yang meliputi

Page 17: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Keharmonisan Keluarga 1 ...eprints.mercubuana-yogya.ac.id/1188/3/BAB II.pdf · Nilai-nilai yang dianut dalam perkawinan adalah sesuatu yang dihayati oleh

38

collaborate dan compromise, serta gaya manajemen konflik destruktif yang

terdiri dari competition, accomodate, dan avoidance (Thomas & Kilmann,

2004; Lestari, 2012).

DeGenova (2008) membagi metode menghadapi konflik dalam

pernikahan menjadi tiga macam, yakni:

a. Avoidance

Metode pertama ini merupakan metode ketika pasangan

menghadapi konflik dengan cara menghindar. Pasangan mencoba

mencegah konflik dengan menghindari orang bersangkutan, situasinya dan

atau hal-hal yang berhubungan dengan pemicu terjadinya konflik. Dengan

menghindari penyebab masalah untuk sementara keadaan memang cukup

tenang tetapi permasalahannya tidak akan selesai, masalah akan berlarut-

larut dan dapat merusak hubungan.

Pasangan yang melakukan usaha untuk menghindari pertentangan,

secara berkala akan menarik diri satu sama lainnya secara perlahan dan

pengasingan diri terjadi ketika pasangan berhenti berkomunikasi dan

memberi perhatian satu sama lain. Sebagai hasilnya akan terjadi

peningkatan dalam kesendirian, hilangnya intimasi dan berdampak pada

hal lainnya.

b. Ventilation and catharsis

Metode menghadapi konflik yang kedua ini merupakan kebalikan

dari avoidance, yaitu individu tidak menghindari konflik melainkan

mencoba menyalurkan konflik tersebut. Ventilation berarti

Page 18: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Keharmonisan Keluarga 1 ...eprints.mercubuana-yogya.ac.id/1188/3/BAB II.pdf · Nilai-nilai yang dianut dalam perkawinan adalah sesuatu yang dihayati oleh

39

mengekspresikan emosi dan perasaan negatif. Sama halnya dengan

catharsis dimana individu yang sedang dalam masalah akan menyalurkan

emosi dan perasaan negatif yang dirasakannya, seperti berteriak,

bernyanyi sekeras-kerasnya, dan yang lainnya. Diharapkan setelah proses

ini dilakukan, seluruh emosi dan perasaan negatif yang ada akan keluar

dan diganti dengan emosi dan perasaan yang lebih positif.

c. Constructive and destructive

Metode konstruktif yaitu pasangan menghadapi masalah

pernikahannya dengan lebih memahami dan berkompromi atau menerima

solusi yang ditawarkan untuk dipertimbangkan. Hal ini lebih kepada

meminimalisasi emosi negatif, menaruh hormat dan percaya kepada

pasangan serta dapat menyebabkan hubungan menjadi lebih dekat.

Metode destruktif berbentuk menyerang orang yang dianggap

bermasalah dengan individu. Mereka mencoba untuk mempermalukan

pasangannya, mengucilkan atau menghukum orang yang menjadi lawan

konfliknya dengan menghina dan menjelek-jelekkan.

Menurut Rubin (Lestari, 2012), pengelolaan konflik sosial dapat

dilakukan dengan beberapa cara, yaitu:

a. Bersifat konstruktif,

1) Negotiation atau tawar-menawar, ketika pihak-pihak berkonflik saling

bertukar gagasan dan melakukan tawar-menawar untuk menghasilkan

kesepakatan yang menguntungkan masing-masing pihak,

Page 19: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Keharmonisan Keluarga 1 ...eprints.mercubuana-yogya.ac.id/1188/3/BAB II.pdf · Nilai-nilai yang dianut dalam perkawinan adalah sesuatu yang dihayati oleh

40

2) Campur tangan pihak ketiga, ketika ada pihak yang tidak terlibat konflik

menjadi penengah untuk menghasilkan persetujuan pada pihak-pihak

yang berkonflik.

b. Bersifat destruktif

1) Penguasaan/domination, ketika salah satu pihak berupaya memaksakan

kehendak, baik dilakukan secara fisik maupun psikis,

2) Penyerahan/capitulation, ketika salah satu pihak, secara sepihak

menyerahkan kemenangan kepada pihak lain,

3) Pengacuhan/inaction, ketika salah satu pihak tidak melakukan apa-apa

sehingga cenderung membiarkan terjadinya konflik,

4) Penarikan diri/withdrawal, ketika salah satu pihak menarik diri dari

keterlibatan dengan konflik.

Dari berbagai penelitian dan sesi konseling keluarga, para peneliti dan

terapis mengenali adanya gaya resolusi konflik yang digunakan individu dalam

mengelola konflik. Lerner (Olson & Olson, 2000) membedakan cara individu

menyelesaikan konflik menjadi lima macam, yaitu:

a. Pemburu/pursuer, adalah individu yang berusaha membangun ikatan

lebih dekat. Individu dengan ciri ini akan berusaha untuk meningkatkan

kualitas relasinya dengan orang-orang terdekatnya. Ketika terjadi

konflik dalam interaksi, mereka akan dengan sadar menghadapi konflik

tersebut, berusaha mencari pokok masalah, berdiskusi untuk memahami

perspektif masing-masing kemudian bernegosiasi untuk mencapai

Page 20: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Keharmonisan Keluarga 1 ...eprints.mercubuana-yogya.ac.id/1188/3/BAB II.pdf · Nilai-nilai yang dianut dalam perkawinan adalah sesuatu yang dihayati oleh

41

kompromi yang saling menguntungkan. Dalam hal ini konflik dimaknai

secara positif dan dikelola secara konstruktif.

b. Penghindar/distancer, adalah individu yang cenderung mengambil jarak

secara emosi. Individu tipe ini akan memilih menarik diri dari kancah

konflik, tidak memiliki kesediaan untuk berunding dan biasanya

cenderung memilih untuk membiarkan waktu yang menyelesaikan

masalah. Cara pengelolaan demikian membiarkan konflik terpendam

yang beresiko menimbulkan gejala depresi.

c. Pecundang/underfunctioner adalah individu yang gagal menunjukkan

aspirasi atau kompetensinya. Dalam upaya menghindari pertengkaran,

individu dengan ciri pecundang akan memilih untuk selalu mengalah dan

menuruti apa yang menjadi kemauan pihak lain. Dalam taraf tertentu,

cara ini dapat memertahankan hubungan dari situasi yang buruk namun

hanya bersifat stagnan dan tidak mampu meningkatkan kualitas

hubungan.

d. Penakluk/overfunctioner, adalah individu yang cenderung mengambil

alih dan merasa lebih tahu yang terbaik bagi pihak lain. Individu dengan

ciri penakluk akan menghadapi konflik dengan unjuk kekuasaan,

berupaya mendominasi dan mengedepankan egonya. Tipe penakluk

akan menghadapi konflik dengan pertikaian dan pertengkaran yang

beresiko memunculkan perilaku agresi.

e. Pengutuk/blamer, adala individu yang selalu menyalahkan orang lain

atau keadaan. Individu dengan ciri pengutuk akan menjadikan konflik

Page 21: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Keharmonisan Keluarga 1 ...eprints.mercubuana-yogya.ac.id/1188/3/BAB II.pdf · Nilai-nilai yang dianut dalam perkawinan adalah sesuatu yang dihayati oleh

42

sebagai ajang pertengkaran, mengumbar amarah, bahkan seringkali

mengungkit masalah lain yang tidak relevan dengan pokok masalah yang

menjadi sebab perselisihan. Individu demikian cenderung tidak mau

mengakui kesalahan, selalu membela diri, dan menimpakan kesalahan

pada pihak lain atau keadaan. Perilaku demikian beresiko memunculkan

agresi.

Senada dengan Lerner, Kurdek (Lestari, 2012) mengajukan empat

macam gaya resolusi konflik, yaitu penyelesaian masalah secara positif

(positive problem solving; misalnya melakukan negosiasi dan perundingan),

pertikaian (conflict engagement; misalnya melakukan kekerasan, marah,

selalu membela diri, menyerang, dan lepas kontrol), penarikan diri

(withdrawal; misalnya mendiamkan, menutup diri, menolak berunding, dan

menjaga jarak dari konflik), dan tunduk (compliance; misalnya selalu

mengalah).

Berdasarkan uraian mengenai macam-macam metode manajemen

konflik, dapat disimpulkan bahwa manajemen konflik terdiri dari dua macam

gaya resolusi yakni manajemen konflik konstruktif dan manajemen konflik

destruktif. Manajemen konflik konstruktif meliputi cara-cara

kerjasama/kolaborasi, negosiasi, kompromi, pihak ketiga serta ventilation

and catharsis; sedangkan manajemen konflik destruktif meliputi metode

kompetitif, withdrawal, akomodasi, pecundang, dan pengutuk. Dalam

penelitian ini teori yang digunakan sebagai acuan ialah gaya manajemen

konflik yang dikemukakan oleh Thomas & Kilmann (Byadgi, 2011) yang

Page 22: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Keharmonisan Keluarga 1 ...eprints.mercubuana-yogya.ac.id/1188/3/BAB II.pdf · Nilai-nilai yang dianut dalam perkawinan adalah sesuatu yang dihayati oleh

43

meliputi gaya manajemen konflik konstruktif yaitu collaborate dan

compromise, serta gaya manajemen konflik destruktif yang terdiri dari

competition, accomodate, dan avoidance.

3. Tahapan Pelatihan Manajemen Konflik

Pelatihan manajemen konflik dalam penelitian ini disusun oleh

peneliti dengan mengacu pada langkah manajemen konflik yang

dikemukakan oleh Pruitt & Rubin (2004), dipadu dengan gaya manajemen

konflik yang dikemukakan oleh Thomas & Kilmann (Byadgi, 2011).

Pelatihan ini akan dilaksanakan selama 2 hari dan terdiri dari 6 sesi yang

masing-masing sesi berlangsung selama 15-50 menit.

Metode pelatihan yang dianut dalam penelitian ini ialah active

learning method (metode belajar aktif). Metode belajar aktif ialah suatu

proses kegiatan belajar melibatkan peserta secara intelektual dan emosional

sehingga peserta berpartisipasi aktif dalam melakukan kegiatan belajar

(Suranto, 2012). Active learning bersifat partisipatif interaktif dan bertujuan

mengubah cara pandang, sikap dan tingkah laku peserta menjadi lebih efektif

(Dimyanti, 1999). Pada metode active learning, proses memeroleh

pemahaman dilakukan melalui berbagai kegiatan seperti mengalami, kegiatan

dan memahami melalui proses (learning by process) (Ali, 1996).

Active learning memiliki beberapa karakteristik sebagai berikut

(Dimyanti, 1999):

1. Pembelajaran yang dilakukan lebih terpusat pada peserta belajar.

Peserta didorong untuk berperan lebih aktif dalam proses belajar.

Page 23: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Keharmonisan Keluarga 1 ...eprints.mercubuana-yogya.ac.id/1188/3/BAB II.pdf · Nilai-nilai yang dianut dalam perkawinan adalah sesuatu yang dihayati oleh

44

Pengalaman peserta menjadi penting dalam penerapan metode

active learning. Peserta perlu memiliki keinginan dan keberanian

dalam menampilkan kebutuhan, permasalahan, dan partisipasi

dalam proses belajar.

2. Fasilitator adalah pembimbing dalam memeroleh pengalaman.

Fasilitator merupakan salah satu sumber informasi yang harus

memberikan peluang bagi peserta agar dapat memeroleh

pengetahuan atau keterampilan melalui usaha peserta sendiri.

3. Tujuan kegiatan belajar ditekankan pada pengembangan

kemampuan peserta secara utuh dan seimbang. Tujuan kegiatan

disesuaikan dengan kebutuhan, minat, dan kemampuan peserta

didik. Kegiatan yang dilaksanakan juga memiliki program yang

jelas dan dapat dimengerti peserta.

4. Pengelolaan kegiatan pembelajaran ditekankan pada kreativitas

peserta dan memerhatikan kemajuan peserta dalam menguasai

konsep yang dipelajari. Perlu diperhatikan pula fleksibilitas waktu

belajar dan penggunaan berbagai macam media pengajaran untuk

mendukung tercapainya keberhasilan proses belajar.

5. Penilaian dilaksanakan untuk megukur kemajuan peserta dalam

berbagai keterampilan yang dipelajari.

Dalam pelatihan akan disampaikan langkah-langkah manajemen

konflik konstruktif yang digunakan dalam pelatihan dijabarkan sebagai

berikut (Pruitt & Rubin, 2004):

Page 24: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Keharmonisan Keluarga 1 ...eprints.mercubuana-yogya.ac.id/1188/3/BAB II.pdf · Nilai-nilai yang dianut dalam perkawinan adalah sesuatu yang dihayati oleh

45

a. Memastikan adanya konflik dengan melihat dan menyadari bahwa

konflik sedang terjadi antara pihak satu dengan pihak lain. Pasangan

suami istri dilatih untuk bersedia mengakui dan menyatakan

mempunyai masalah yang nyata dengan tujuan bekerja sama untuk

mengatasi masalah tersebut. Sebab-sebab munculnya konflik perlu

dipahami pasangan termasuk berbagai hal yang terkait dengan

konflik. Terkadang sebab konflik yang nampak bukanlah sebab

sebenarnya. Masing-masing pihak perlu memahami adanya

kemungkinan kesalahpahaman terhadap pendapat atau kepentingan

pasangan. Kesalahpahaman dapat menimbulkan konflik tidak nyata

/ilusory.

Kesalahpahaman mungkin terjadi jika salah satu pihak mempunyai

kesan yang salah mengenai niat pihak lain, salah satu pihak berpikir

bahwa tindakan pihak lain akan menimbulkan pengorbanan tertentu,

dan atau salah satu pihak menganggap pihak lain sewenang-wenang.

Misalnya, seorang istri marah kepada suaminya karena pulang

terlambat dan kemudian mereka bertengkar. Sekilas, penyebab

pertengkaran ialah karena suami pulang terlambat, jadi upaya

pemecahannya ialah dengan permintaan maaf dari suami dan

berjanji tidak telat lagi. Akan tetapi dibalik alasan marah karena

suami pulang terlambat, mungkin ada penyebab lain. Istri marah

karena mungkin beranggapan suaminya berselingkuh sehingga

terlambat pulang, atau istri sebenarnya menantikan suaminya puang

Page 25: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Keharmonisan Keluarga 1 ...eprints.mercubuana-yogya.ac.id/1188/3/BAB II.pdf · Nilai-nilai yang dianut dalam perkawinan adalah sesuatu yang dihayati oleh

46

tepat waktu karena ingin memberi kejutan sehingga ketika suaminya

pulang terlambat, rencana tersebut terhambat. Kesediaan mengakui

adanya konflik di antara suami dan istri memerlukan sikap terbuka

dan kemauan berkomunikasi kedua belah pihak. Langkah awal

dalam manajemen konflik ini akan diberikan dalam pelatihan pada

pertemuan hari pertama sesi ketiga.

b. Melakukan analisis konflik yang sedang terjadi dengan berusaha

mengoreksi dan introspeksi diri. Kebanyakan masalah bisa

diselesaikan melalui beragam cara sehingga untuk pemecahan

masalah ada baiknya tidak terpaku pada satu cara saja. Pasangan

perlu saling mengingatkan bahwa tujuan mengelola konflik adalah

mengatasi keluhan yang ada dan tidak meningkatkan konflik,

sehingga masing-masing perlu mawas diri untuk tidak menuduh atau

membuat diri menjadi defensif. Analisis konflik dilakukan dengan

membicarakan kepentingan atau tujuan dari masing-masing pihak

yang terlibat dalam konflik. Hambatan yang mungkin muncul

dalam langkah kedua ini yaitu terkadang orang tidak paham

mengenai alasan yang mendasari preferensi mereka atau adanya

ketidakpercayaan antara kedua belah pihak.

Misalnya, keluarga yang boros dalam membelanjakan uang dan

sering berhutang. Saling menyalahkan antara suami dan istri

mengenai siapa yang lebih boros atau pemasukan siapa yang lebih

besar sehingga merasa lebih berhak menggunakan uang bukanlah

Page 26: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Keharmonisan Keluarga 1 ...eprints.mercubuana-yogya.ac.id/1188/3/BAB II.pdf · Nilai-nilai yang dianut dalam perkawinan adalah sesuatu yang dihayati oleh

47

solusi yang konstruktif. Akan lebih baik jika pasangan mulai

menganalisis bersama alokasi pengeluaran yang kurang penting,

mencatat pengeluaran dan pemasukan keuangan keluarga,

menabung di awal waktu menerima gaji, atau menentukan skala

prioritas. Semua alternatif pemecahan masalah yang disepakati

bersama perlu dijalankan secara konsisten dan saling mengingatkan.

Langkah kedua dalam manajemen konflik ini akan dilatihkan pada

pertemuan hari pertama sesi ketiga setelah langkah awal diberikan.

c. Mencari cara untuk merekonsiliasi aspirasi kedua belah pihak

(kompromi). Cara ini dilakukan melalui koordinasi antara pihak

yang terlibat untuk menyelesaikan konflik. Pasangan suami istri

perlu saling memahami dan bersedia mencari jalan tengah dalam

menjalani tahap ini. Saran yang diajukan masing-masing pihak

untuk rekonsiliasi perlu dikaitkan dengan nilai bersama,

kepentingan bersama, dan hambatan bersama. Misalnya, saat

menonton tayangan tv pada waktu yang sama, suami ingin

menonton acara olahraga sementara istri ingin menonton episode

terakhir acara drama favorit. Jika keduanya enggan mengalah maka

akan terjadi konflik. Langkah penyelesaian menggunakan

kompromi yang mungkin ditempuh ialah menonton tv secara

bergantian agar tayangan olahraga dan drama dapat dinikmati

bersama. Kompromi melibatkan pengurangan tuntutan atau

idealisme kedua belah pihak sehingga solusi yang diperoleh

Page 27: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Keharmonisan Keluarga 1 ...eprints.mercubuana-yogya.ac.id/1188/3/BAB II.pdf · Nilai-nilai yang dianut dalam perkawinan adalah sesuatu yang dihayati oleh

48

merupakan usaha pemenuhan keinginan kedua pihak walaupun

mungkin terdapat pengurangan kepuasan, misalnya pada contoh

acara tv, walaupun suami dan istri sama-sama dapat menikmati

acara tv olahraga dan drama dengan berkompromi namun mungkin

siaran tersebut tidak dapat dinikmati dengan utuh seperti saat

menonton sendiri. Jika salah satu pihak berkeras pada tuntutannya

maka kompromi tidak akan tercapai dan konflik terus terjadi.

Langkah ketiga dalam manajemen konflik ini akan disampaikan

dalam pelatihan hari kedua sesi keenam.

d. Menurunkan aspirasi dan mencari beberapa aspirasi lagi

(bernegosiasi). Satu pihak menurunkan aspirasi atau pendapatnya

dengan cara mengalah atau mengabaikan kepentingan yang

prioritasnya rendah, begitu pula sebaliknya. Namun tidak berarti

salah satu pihak kalah atau berpura-pura setuju pada pendapat

pasangannya. Pasangan yang menyepakati beberapa aspirasi

penyelesaian masalah walaupun mungkin tidak seluruhnya,

menciptakan dasar yang sama mengenai solusi yang hendak dicapai.

Apabila pasangan memutuskan untuk menerima solusi yang telah

disepakati maka pasangan harus memiliki komitmen untuk

melaksanakan alternatif solusi tersebut sehingga tercapai

pemecahan masalah.

Page 28: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Keharmonisan Keluarga 1 ...eprints.mercubuana-yogya.ac.id/1188/3/BAB II.pdf · Nilai-nilai yang dianut dalam perkawinan adalah sesuatu yang dihayati oleh

49

Proses negosiasi biasanya memerlukan waktu yang cukup lama

karena kedua belah pihak perlu mengakomodir kepentingan masing-

masing dan menentukan alternatif yang menguntungkan keduanya.

Misalnya, sepasang suami istri yang sama-sama bekerja dan baru

memiliki anak memertimbangkan kemungkinan istri untuk berhenti

bekerja dan mengurus buah hati mereka, atau memekerjakan

seorang baby sitter. Untuk mengambil keputusan terbaik, pasangan

ini perlu menyusun pilihan-pilihan lebih dahulu, memertimbangkan

hambatan yang mungkin timbul seperti keuangan yang berkurang,

perubahan kebiasaan pada istri yang sebelumnya wanita karir

dengan berbagai atributnya menjadi ibu rumah tangga yang

sepanjang hari mengurus bayi, atau kekurangan dan kelebihan jika

pasangan ini memekerjakan baby sitter. Kepentingan dari masing-

masing pihak perlu dikemukakan dengan jujur dan menjadi

pertimbangan dalam mengambil keputusan. Masing-masing pihak

juga perlu menilai dengan jujur dan tidak terburu-buru pada setiap

alternatif solusi yang mungkin dapat dilakukan oleh pasangan.

Langkah terakhir dalam manajemen konflik ini merupakan materi

pelatihan hari kedua sesi keenam yang diberikan seusai langkah

ketiga.

Pelatihan manajemen konflik dapat meningkatkan kerja sama

diantara pasangan suami istri, menambah pemahaman mengenai pribadi

pasangannya, serta meningkatkan kemampuan komunikasi interpersonal.

Page 29: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Keharmonisan Keluarga 1 ...eprints.mercubuana-yogya.ac.id/1188/3/BAB II.pdf · Nilai-nilai yang dianut dalam perkawinan adalah sesuatu yang dihayati oleh

50

Komunikasi interpersonal yang terjalin antar suami istri berperan penting

untuk menjaga kelangsungan berumah tangga (Dewi & Sudhana, 2012).

Selain itu, manajemen konflik merupakan usaha mengakomodasi

kebutuhan, keinginan, dan harapan yang berbeda dari pasangan suami istri.

Usaha mengakomodasi kepentingan yang berbeda merupakan konsep

penyesuaian perkawinan untuk mencapai keharmonisan keluarga

(Rachmawati, 2010).

Berdasarkan tahapan pelatihan manajemen konflik terdapat empat langkah

dalam mengelola konflik secara konstruktif yakni (1) memastikan adanya konflik;

(2) melakukan analisis konflik; (3) mencari cara untuk merekonsiliasi; dan (4)

menurunkan ego dan bernegosiasi.

C. Pengaruh Pelatihan Manajemen Konflik untuk Peningkatan

Keharmonisan Keluarga pada Pasangan Suami Istri

Pelatihan manajemen konflik ialah serangkaian aktivitas yang bertujuan

untuk memerluas pengetahuan individu dalam kapasitasnya sebagai suami atau istri

dalam menyusun strategi untuk mengendalikan perbedaan persepsi dan harapan

agar dihasilkan resolusi konstruktif yang diinginkan oleh pasangan suami istri.

Pengetahuan tersebut diharapkan akan memengaruhi perubahan perilaku sesuai

situasi konflik yang dihadapi pasangan suami istri. Komunikasi yang terjalin di

antara pasangan suami istri dalam menangani konflik dapat memupuk keeratan

hubungan dalam keluarga. Proses yang dijalani pasangan dalam mengelola konflik

dan komitmen menjalani resolusi konflik juga dapat meningkatkan rasa saling

Page 30: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Keharmonisan Keluarga 1 ...eprints.mercubuana-yogya.ac.id/1188/3/BAB II.pdf · Nilai-nilai yang dianut dalam perkawinan adalah sesuatu yang dihayati oleh

51

menghargai dan saling memercayai yang pada akhirnya akan memengaruhi

keharmonisan keluarga.

Pemahaman mengenai pengelolaan konflik dalam rumah tangga merupakan

pengetahuan dan teknik ketrampilan yang diperlukan oleh pasangan suami istri.

Pengetahuan dan ketrampilan tersebut dapat dipelajari melalui pendidikan atau

pelatihan. Pelatihan adalah sebuah proses yang direncanakan untuk mengubah

sikap, pengetahuan atau keterampilan perilaku melalui pengalaman belajar untuk

mencapai kinerja yang efektif dalam berbagai kegiatan atau kegiatan tertentu yang

bertujuan untuk mengembangkan kemampuan individu dan untuk memenuhi

kebutuhan saat ini dan masa depan. Byadgi (2011) menyatakan bahwa manajemen

konflik merupakan proses untuk mendapatkan kesesuaian pada individu yang

mengalami konflik.

Bagaimana pasangan yang memiliki konflik mengatasi konfliknya

memengaruhi perkembangan pribadi mereka. Keberadaan konflik tidak otomatis

berdampak negatif terhadap hubungan maupun individu yang terlibat dalam

hubungan. Konflik baru akan berdampak negatif jika tidak dikelola dengan baik.

Menurut Supraktiknya (1995) pengelolaan konflik yang baik akan membawa pada

perkawinan yang harmonis dan dari proses tersebut akan mendewasakan masing-

masing pribadi. Pengelolaan konflik secara sehat dan baik dapat digunakan untuk

memertahankan kualitas hubungan dalam perkawinan.

Dalam manajemen konflik, seseorang dapat memilih bermacam-macam

strategi. Sebelum memutuskan untuk memilih strategi manajemen konlik yang akan

diambil, seseorang harus memikirkan segala resiko dan konsekuensi yang akan

Page 31: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Keharmonisan Keluarga 1 ...eprints.mercubuana-yogya.ac.id/1188/3/BAB II.pdf · Nilai-nilai yang dianut dalam perkawinan adalah sesuatu yang dihayati oleh

52

didapat. Seseorang akan menjalankan strategi yang benar jika ia telah

memersiapkan diri, mengikuti alur konflik dengan baik, mengerti dampak dari

pemilihan strategi manajemen konflik, dan mengaplikasikan tahapan-tahapan di

dalam manajemen konflik.

Pelatihan manajemen konflik mengacu pada gaya manajemen konflik dari

Thomas & Kilmann (2004); yakni competitive, collaboration, compromising,

avoiding, dan accomodation. Dari kelima gaya tersebut, gaya manajemen konflik

collaborate dan compromising merupakan gaya manajemen konflik konstruktif.

Dalam gaya collaborate (kolaborasi) pasangan suami istri berusaha menciptakan

situasi yang memungkinkan tujuan kedua belah pihak tercapai dengan tetap

memerhatikan keberlangsungan hubungan. Suami istri bersikap kooperatif dengan

bersedia saling terbuka dalam mengkomunikasikan permasalahan dan tujuan yang

ingin dicapai dan tidak mengesampingkan sudut pandang dan tujuan pasangan.

Gaya kolaborasi memiliki tingkat keasertifan (ketegasan) dan kerjasama yang

tinggi dengan tujuan untuk mencari alternatif, bersama, dan sepenuhnya memenuhi

harapan kedua belah pihak yang terlibat konflik.

Selanjutnya gaya manajemen konflik konstruktif compromising

(kompromi). Di dalam gaya kompromi, pasangan suami istri berusaha berunding

dengan mengurangi tuntutan masing-masing untuk menemukan jalan tengah bagi

masing-masing kepentingan sebagai penyelesaian masalah. Pada gaya manajemen

konflik ini, tercapainya tujuan bersama dan keberlangsungan hubungan memiliki

nilai yang sama pentingnya walaupun tujuan yang dicapai tidak maksimal. Gaya

kompromi diterapkan pasangan suami istri dalam merumuskan penyelesaian ketika

Page 32: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Keharmonisan Keluarga 1 ...eprints.mercubuana-yogya.ac.id/1188/3/BAB II.pdf · Nilai-nilai yang dianut dalam perkawinan adalah sesuatu yang dihayati oleh

53

gaya kolaborasi tidak dapat dijalankan karena adanya keterbatasan. Gaya

kompromi akan menghasilkan jalan keluar yang efektif terutama jika pasangan

harus sesegera mungkin memutuskan suatu penyelesaian. Penerapan gaya

kolaborasi dan gaya kompromi memerlukan ketrampilan komunikasi yang baik

diantaranya kesediaan mendengar, keterbukaan, empati, dan bersikap positif

terhadap opini pasangan sehingga tercapai resolusi konflik integratif.

Langkah manajemen konflik mengacu pada pendapat yang dikemukakan

Pruitt & Rubin (2004) yaitu memastikan adanya konflik dengan cara memahami

kemungkinan terdapat konflik tidak nyata akibat kesalahpahaman, melakukan

analisis konflik dengan membicarakan kepentingan pihak yang terlibat, mencari

cara untuk merekonsiliasi, dan menurunkan ego dan bernegosiasi. Di dalam

mengelola konflik komunikasi interpersonal yang efektif, bekerja sama, dan saling

menahan diri antara pasangan suami istri dilatihkan, sehingga konflik dihadapi

dengan kepala dingin dan terdapat komitmen untuk melaksanakan resolusi konflik

yang telah diputuskan bersama. Komunikasi efektif, kesabaran, dan resolusi

konflik merupakan aspek-aspek yang membentuk keluarga harmonis menurut

Kovikondala dkk. (2015), sehingga keterampilan mengelola konflik yang dikuasai

oleh pasangan suami istri akan menunjang peningkatan keharmonisan keluarga.

Keharmonisan, salah satunya dipengaruhi oleh kualitas dan kuantitas

konflik yang minim (Stinnet & DeFrain dalam Hawati, 1996). Kualitas dan

kuantitas konflik yang dialami pasangan suami istri dapat diturunkan melalui

pelatihan manajemen konflik. Pelatihan tersebut diharapkan dapat memberikan

pengetahuan dan ketrampilan baru kepada pasangan suami istri untuk digunakan

Page 33: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Keharmonisan Keluarga 1 ...eprints.mercubuana-yogya.ac.id/1188/3/BAB II.pdf · Nilai-nilai yang dianut dalam perkawinan adalah sesuatu yang dihayati oleh

54

bersama-sama dalam merumuskan resolusi konflik yang konstruktif, sehingga

konflik yang dialami pasangan suami istri tidak menjadi destruktif namun menjadi

dasar bagi hubungan yang lebih erat dan komunikasi yang lebih efektif. Melalui

pengelolaan konflik yang lebih baik diharapkan akan berdampak pada

keharmonisan keluarga (Supratiknya, 1995).

Pasangan suami istri dengan gaya manajemen konflik cenderung destruktif

diharapkan mengalami perubahan gaya manajemen konflik menuju konstruktif

setelah mengikuti pelatihan manajemen konflik. Melalui perubahan gaya

manajemen konflik menuju konstruktif ini, pasangan suami istri akan memiliki

komunikasi yang lebih efektif, kuantitas dan kualitas konflik yang minim, serta

menahan diri dengan lebih baik terhadap pasangannya. Komunikasi efektif, minim

konflik, serta menahan diri merupakan faktor keharmonisan keluarga.

Keluarga yang harmonis dicapai melalui usaha bersama dari masing-masing

anggota keluarga salah satunya ditandai dengan sikap dan cara yang konstruktif

dalam resolusi konflik. Melalui pelatihan manajemen konflik, pasangan suami istri

belajar merumuskan bersama resolusi konflik konstruktif yang pada akhirnya dapat

mewujudkan keharmonisan keluarga.

D. Landasan Teori

Teori sistem keluarga dikemukakan oleh Minuchin (1974) dengan

mengajukan skema konsep memandang keluarga sebagai sebuah sistem yang

bekerja dalam konteks sosial dan memiliki tiga komponen. Pertama, struktur

keluarga berupa sistem sosiokultural yang terbuka dalam transformasi. Kedua,

keluarga senantiasa berkembang melalui sejumlah tahap yang mensyaratkan

Page 34: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Keharmonisan Keluarga 1 ...eprints.mercubuana-yogya.ac.id/1188/3/BAB II.pdf · Nilai-nilai yang dianut dalam perkawinan adalah sesuatu yang dihayati oleh

55

penstrukturan. Ketiga, keluarga beradaptasi dengan perubahan situasi dalam

usahanya untuk mempertahankan kontinuitas dan meningkatkan pertumbuhan

psikososial tiap anggotanya (Lestari, 2012).

Struktur keluarga adalah serangkaian tuntutan fungsional tidak terlihat yang

mengorganisasi cara-cara anggota keluarga dalam berinteraksi. Sebuah keluarga

merupakan sistem yang beroperasi melalui pola transaksi. Pengulangan transaksi

membentuk pola bagaimana, kapan, dan dengan siapa berelasi, dan pola tersebut

menyokong sistem (Lestari, 2012).

Keluarga menghadapi tekanan dari dalam yang berasal dari perubahan

perkembangan para anggotanya dan tekanan dari luar yang berasal dari kebutuhan

untuk mengakomodasi institusi sosial yang berpengaruh signifikan terhadap

anggota keluarga. Dalam menghadapi tekanan tersebut, keluarga mempertahankan

kontinuitasnya sambil melakukan restukturisasi yang dimungkinkan. Untuk itu,

dibutuhkan perubahan konstan terhadap posisi anggota keluarga dalam berelasi

agar anggota keluarga dapat tetap tumbuh sementara sistem keluarga

mempertahankan kontinuitasnya (Lestari, 2012).

Keluarga dianggap sebagai sebuah sistem yang memiliki bagian-bagian

saling berhubungan dan saling berkaitan serta memiliki sistem hierarki yang berarti

terdapat subsistem yang membuat kualitas keluarga ditentukan oleh kombinasi dari

kualitas individu atau relasi dua pihak (Lestari, 2012). Proses saling mempengaruhi

sesama anggota keluarga dapat terjadi secara langsung misalnya dalam hubungan

suami-istri, ayah-anak, ibu-anak; dan terjadi secara tidak langsung berupa pengaruh

Page 35: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Keharmonisan Keluarga 1 ...eprints.mercubuana-yogya.ac.id/1188/3/BAB II.pdf · Nilai-nilai yang dianut dalam perkawinan adalah sesuatu yang dihayati oleh

56

satu pihak terhadap hubungan dua pihak lain misalnya sikap suportif ayah akan

mempengarui kualitas hubungan ibu dengan bayinya (Lestari, 2012).

Berdasarkan teori sistem keluarga yang sudah dipaparkan, pelatihan

manajemen konflik dirancang untuk membantu pasangan menemukenali konflik

dalam hubungan interpersonal dan cara untuk menemukan solusi konstruktif

sehingga diharapkan pasangan suami istri dapat meningkatkan kualitas individu

sebagai suami dan istri serta kualitas hubungan menjadi lebih baik. Kualitas

hubungan antara pasangan suami istri yang baik akan mempengaruhi kuatnya

ikatan antar anggota keluarga. Bila ikatan yang terjalin cukup kuat maka antar

anggota keluarga dapat bersikap luwes dalam berinteraksi dan didukung

terpeliharanya saat-saat kebersamaan akan mewujudkan keluarga yang harmonis

(Lestari, 2012).

Relasi dalam keluarga dimulai dengan relasi pasangan suami-istri

kemudian diikuti relasi orangtua-anak dan relasi antar saudara. Relasi yang ada

dalam keluarga bersifat dinamis dan dapat membawa pengaruh positif atau negatif

tergantung pada pola hubungan yang terjadi (Lestari, 2012). Terwujudnya

keharmonisan keluarga merupakan tanggung jawab bersama antara suami dan istri

yang perlu diusahakan secara terus-menerus. Keharmonisan perkawinan

merupakan suatu hal yang perlu diupayakan oleh pasangan suami istri sebagaimana

hasil penelitian menunjukkan bahwa keharmonisan perkawinan berpengaruh positif

terhadap kesehatan dan kesejahteraan psikologis (Williams, 2003).

Dalam usaha menciptakan dan meningkatkan keharmonisan dalam keluarga

inilah dibutuhkan kemampuan baik suami maupun istri untuk mengelola konflik

Page 36: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Keharmonisan Keluarga 1 ...eprints.mercubuana-yogya.ac.id/1188/3/BAB II.pdf · Nilai-nilai yang dianut dalam perkawinan adalah sesuatu yang dihayati oleh

57

yang muncul, sehingga efek dari keberadaan konflik justru mampu mengeratkan

ikatan suami istri (Supraktiknya, 1995). Dobos, dkk. (Benokraitis, 1996)

menyatakan, beberapa hal yang dapat menimbulkan masalah dalam perkawinan,

yaitu masalah keuangan, mengurus anak, adanya perbedaan gaya hidup, hubungan

dengan teman, perbedaan kepribadian, masalah dengan mertua, masalah

keagamaan, perbedaan politik, serta masalah seks. Manajemen konflik konstruktif

diharapkan mampu memengaruhi relasi inti keluarga yakni relasi antara suami istri.

Dalam usaha pasangan suami istri mewujudkan manajemen konflik konstruktif,

terdapat komunikasi interpersonal yang efektif, keterbukaan, kehangatan

komunikasi, serta kesediaan untuk menahan diri. Relasi positif antara suami dan

istri akan memengaruhi keeratan hubungan antar anggota keluarga yang lain

sehingga pada akhirnya terwujud keharmonisan keluarga.

Menurut Supraktiknya (1995), pengelolaan konflik yang baik akan

membawa pada perkawinan harmonis yang akan mendewasakan masing-masing

pribadi. Pengelolaan konflik secara sehat dan baik dapat digunakan untuk

memertahankan kualitas hubungan dalam perkawinan. Melalui pelatihan

manajemen konflik, pasangan suami istri belajar bekerja sama dalam mengelola

konflik perkawinan menggunakan manajemen konflik konstruktif sehingga dapat

menemukan solusi permasalahan yang sehari-hari dihadapi.

Berdasarkan hal-hal yang sudah diungkapkan sebelumnya, maka kerangka

berpikir dalam penelitian ini akan dijelaskan melalui gambar 1 sebagai berikut:

Page 37: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Keharmonisan Keluarga 1 ...eprints.mercubuana-yogya.ac.id/1188/3/BAB II.pdf · Nilai-nilai yang dianut dalam perkawinan adalah sesuatu yang dihayati oleh

58

Keterangan : = Dampak yang ditimbulkan

= Pelatihan yang diberikan

Gambar 1. Kerangka Penelitian

HARMONIS

KEHARMONISAN

KELUARGA MENINGKAT

MANAJEMEN KONFLIK

KONSTRUKTIF

Collaborate & Compromise

MANAJEMEN

KONFLIK

KONSTRUKTIF

Collaborate

Compromise

MANAJEMEN

KONFLIK

DESTRUKTIF

Competitive

Avoiding

Accomodation

TINGGI

Komunikasi efektif

Resolusi konflik

Saling menahan diri

Identitas keluarga

Waktu berkualitas

PELATIHAN

MANAJEMEN

KONFLIK

menyadari konflik

analisis konflik

rekonsiliasi

menurunkan ego,

mencari aspirasi

RENDAH

Miss-komunikasi

Konflik berlarut-larut

Lepas kendali

Enggan menampakkan identitas

keluarga

Tidak memiliki waktu berkualitas

KEHARMONISAN KELUARGA

Page 38: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Keharmonisan Keluarga 1 ...eprints.mercubuana-yogya.ac.id/1188/3/BAB II.pdf · Nilai-nilai yang dianut dalam perkawinan adalah sesuatu yang dihayati oleh

59

E. Hipotesis

Berdasarkan kerangka teoritis yang telah dijabarkan, maka hipotesis

dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut :

a. Ada perbedaan keharmonisan keluarga pada pasangan suami-istri yang

diberikan pelatihan manajemen konflik (KE) dengan pasangan suami-

istri yang tidak diberikan pelatihan manajemen konflik (KK). Pasangan

suami-istri yang diberikan pelatihan manajemen konflik memerlihatkan

keharmonisan keluarga yang lebih tinggi daripada pasangan suami-istri

yang tidak diberikan pelatihan.

b. Ada perbedaan keharmonisan keluarga pada pasangan suami-istri

(kelompok eksperimen) antara sebelum dan sesudah diberikan pelatihan

manajemen konflik. Setelah diberikan pelatihan, pasangan suami-istri

memerlihatkan peningkatan skor keharmonisan keluarga.