BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Agresivitaseprints.mercubuana-yogya.ac.id/1519/3/BAB II.pdf ·...

59
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Agresivitas 1. Pengertian Agresivitas Istilah agresi berasal dari bahasa Inggris, yaitu agression yang artinya agresivitas (Echols dan Shaldy, 2000). Menurut kamus lengkap psikologi agresivitas diartikan sebagai perilaku menyerang orang lain (Chaplin,2002). Berkowitz (1995) mengartikan agresivitas sebagai perilaku memusuhi individu lain dengan bentuk pernyataan tegas, pemaksaan diri, dan dominasi kekuasaan secara ektrim. Dengan demikian agresivitas merupakan perilaku yang sengaja menyerang, menyakiti, memaksa dan melanggar hak asasi individu lain. Patterson dan Tadasehi (dalam Berkowitz, 1995) menjelaskan bahwa agresivitas diklasifikasikan menjadi tiga macam, yaitu: a). Agresivitas paksaan, perilaku agresi untuk mempengaruhi perilaku individu lain yang menjadi objek atau sasaran, b). Agresivitas dengan tujuan untuk menjaga diri, dengan mempertinggi kekuatan dan dominasi penyerangan, dan c). Agresivitas untuk mempertahankan citra diri. Menurut Atkinson, dkk (1999). Agresivitas merupakan perilaku melukai individu secara verbal maupun non verbal. Baron dan Byrne (2003) agresivitas merupakan impuls dasar untuk menyakiti

Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Agresivitaseprints.mercubuana-yogya.ac.id/1519/3/BAB II.pdf ·...

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Agresivitas

1. Pengertian Agresivitas

Istilah agresi berasal dari bahasa Inggris, yaitu agression yang

artinya agresivitas (Echols dan Shaldy, 2000). Menurut kamus lengkap

psikologi agresivitas diartikan sebagai perilaku menyerang orang lain

(Chaplin,2002). Berkowitz (1995) mengartikan agresivitas sebagai

perilaku memusuhi individu lain dengan bentuk pernyataan tegas,

pemaksaan diri, dan dominasi kekuasaan secara ektrim. Dengan

demikian agresivitas merupakan perilaku yang sengaja menyerang,

menyakiti, memaksa dan melanggar hak asasi individu lain.

Patterson dan Tadasehi (dalam Berkowitz, 1995) menjelaskan

bahwa agresivitas diklasifikasikan menjadi tiga macam, yaitu: a).

Agresivitas paksaan, perilaku agresi untuk mempengaruhi perilaku

individu lain yang menjadi objek atau sasaran, b). Agresivitas dengan

tujuan untuk menjaga diri, dengan mempertinggi kekuatan dan

dominasi penyerangan, dan c). Agresivitas untuk mempertahankan

citra diri. Menurut Atkinson, dkk (1999). Agresivitas merupakan

perilaku melukai individu secara verbal maupun non verbal. Baron dan

Byrne (2003) agresivitas merupakan impuls dasar untuk menyakiti

individu lain secara fisik maupun psikis. Baron & Byrne (2003)

mendefinisikan agresivitas sebagai perilaku melukai individu lain

dengan bentuk kekerasan secara fisik langsung maupun verbal tidak

langsung. Masih menurut Baron dan Byrne (2003), agresi muncul dari

berbagai kondisi eksternal yang membangkitkan motif untuk

menyakiti dan melukai orang lain.

Menurut Buss (dalam Barbara & Krahe, 2005) agresi sebagai

sebuah respon yang mengantarkan stimuli beracun kepada makhluk

hidup lain. Agar perilaku seseorang memenuhi kualifikasi agresi,

perilaku itu harus dilakukan dengan niat menimbulkan akibat negatif

terhadap targetnya dan sebaliknya menimbulkan harapan bahwa

tindakan tersebut akan menghasilkan sesuatu. Spesifikasi ini

mengesampingkan perilaku yang mengakibatkan sakit atau cedera

yang terjadi diluar kehendak, misalnya yang terjadi secara kebetulan,

atau kecerobohan, atau akibat ketidakcocokan. Sebaliknya, spesifikasi

ini memasukkan perilaku-perilaku yang dimaksudkan untuk menyakiti

orang lain dengan alasan-alasan tertentu (Barbara & Krahe, 2005).

Sears, dkk (1994) mendefinisikan agresivitas ke dalam tiga bentuk,

yaitu:

a. Agresivitas behavioristik, yaitu perilaku negatif atau menyakiti

individu lain yang mengakibatkan orang tersebut terluka atau

cedera.

b. Agresivitas anti sosial dan prososial, yaitu menyerang dan

melukai individu lain dengan maksud menolong korban,

contohnya polisi menembak teroris, tujuan polisi tersebut

menyelamatkan sandra dengan menembak teroris.

c. Agresivitas laten, yaitu perilaku menyerang secara tersembunyi

dan sulit diamati, misalnya individu merasa marah tetapi tidak

menampakkan penyerangan atau melukai individu lain.

Perilaku agresif yang lebih bersifat internal dari dalam diri

individu dan tidak dapat diamati secara langsung.

Jadi dari berbagai teori di atas, dapat disimpulkan bahwa

agresivitas sebagai perilaku menyerang individu lain dengan bentuk

kekerasan secara fisik maupun verbal baik langsung maupun tidak

langsung.

2. Bentuk-bentuk Agresivitas

Buss & Durkee (dalam Taganing, 2008) menggolongkan

beberapa bentuk tindakan agresif yang secara operasional dapat

digunakan untuk mengukur agresi, yaitu sebagai berikut:

a Agresi fisik aktif langsung: Perilaku agresi yang dilakukan secara

langsung oleh individu atau kelompok lainnya dan terjadi kontak

fisik secara langsung, seperti memukul, mendorong, menampar

dan lain-lain.

b Agresi fisik aktif tidak langsung: Tindakan agresi fisik yang

dilakukan oleh individu atau kelompok dengan cara tidak

berhadapan secara langsung terhadap individu atau kelompok

lainnya yang menjadi sasaran, seperti merusak harta benda,

membakar rumah, menyewa tukang pukul.

c Agresi pasif langsung: Tindakan agresi fisik yang dilakukan

individu atau kelompok dengan cara berhadapan dengan atau

kelompok yang menjadi sasaran, tetapi tidak terjadi kontak fisik,

seperti demonstrasi, aksi mogok makan.

d Agresi fisik pasif tidak langsung: Perilaku agresi yang dilakukan

dengan cara tidak berhadapan secara langsung dengan individu

atau kelompok yang menjadi sasaran dan tidak terjadi kontak fisik

secara langsung, seperti tidak peduli, apatis dan masa bodoh.

e Agresi verbal aktif langsung: Merupakan tindakan agresi verbal

yang dilakukan dengan cara berhadapan secara langsung dengan

individu atau kelompok yang menjadi sasaran agresi, contohnya

seperti berdebat, berteriak, menjerit, mengancam dan memaki

orang lain.

f Agresi verbal aktif tidak langsung: Merupakan tindakan agresi

verbal yang dilakukan dengan cara verbal aktif tidak langsung.

Tindakan ini dilakukan dengan cara tidak berhadapan secara tidak

langsung dengan individu atau kelompok yang menjadi sasaran

agresi. Seperti menyebar fitnah, mengadu domba.

g Agresi verbal pasif langsung: Suatu tindakan agresi verbal yang

dilakukan oleh individu atau kelompok dengan cara berhadapan

secara langsung dengan individu atau kelompok yang menjadi

sasaran agresi tetapi tidak terjadi bentuk verbal secara langsung.

Misalnya bungkam, menolak bicara.

h Agresi verbal pasif tidak langsung: Perilaku agresi yang dilakukan

dengan cara tidak berhadapan secara langsung dengan target

agresi dan tidak terjadi kontak verbal langsung. Misalnya tidak

memberi dukungan, tidak memberikan hal suara.

Bentuk-bentuk agresivitas menurut Buss & Durke (dalam

Taganing, 2008) adalah agresi visik aktif langsung, agresi fisik

aktif tidak langsung, agresi pasif langsung, agresi fisik pasif tidak

langsung, agresi verbal aktif langsung, agresi verbal aktif tidak

langsung, agresi verbal pasif langsung, agresi verbal pasif tidak

langsung.

Berikut ini terdapat tabel tentang jenis-jenis prilaku agresi

menurut Buss & Durke (Taganing, 2008):

Tabel 1.

Jenis-jenis perilaku agresi

Agresivitas

Agresi langsung Agresi tidak langsung

Aktif Pasif Aktif Pasif

Fisik Menusuk Demonstrasi diam Memasang ranjau Menolak melakukan tugas

Memukul Mogok Menyewa pembunuh Masa bodoh

Menembak Santet

Verbal Menghina Menolak berbicara Menyebar fitnah Tidak memberi dukungan

Memaki Menolak berbicara Mengadu domba

Bentuk agresivitas lain juga dijelaskan oleh Averiil (dalam Noor dan

Yulianti, 2005) yaitu: (1) Agresivitas langsung, seseorang langsung

mengekspresikan perilaku agresifnya kepada orang yang

menyebabkan agresifnya, misalnya dengan berkelahi, menyerang,

memukul, menghina, dan mencerca. (2) Agresivitas tidak langsung,

yaitu seseorang secara tidak langsung melakukan agresivitasnya,

misalnya dengan menghancurkan barang milik orang lain, menyuruh

orang lain melakukan pembalasan, dan secara verbal menyebarkan

gosip-gosip. (3) Agresivitas yang dialihkan (displaced aggression)

yaitu seseorang melakukan agresif, tetapi bukan terhadap orang yang

menyakitinya tetapi mengekspresikannya terhadap sasaran pengganti.

Ada dua macam agresivitas yang dialihkan yaitu; (a) Agresivitas

terhadap obyek bukan manusia, misalnya seseorang yang sangat

marah akan menyalurkan perasaan tersebut dengan merusak benda-

benda yang ada di sekitarnya; (b) Agresivitas terhadap seseorang,

karena adanya figur otoritas maka ia mencari seseorang yang memiliki

kemiripan dengan sasaran untuk melampiaskan kemarahannya,

misalnya terhadap adik, kakak, teman, maupun guru. Dari penjabaran

tersebut bentuk agresivitas adalah agresivitas langsung, agresivitas tak

langsung, agresivitas yang dialihkan, agresivitas yang dialihkan ini ada

dua jenis yang pertama pengalihan terhadap obyek bukan manusia,

yang kedua pengalihan terhadap manusia.

Berdasarkan penjabaran di atas, peneliti menggunakan teori Buss dan

Durke (Taganing, 2008) sebagai acuan dalam penelitian ini. Dari teori

tersebut dapat disimpulkan bahwa jenis-jenis perilaku agresi adalah:

agresi fisik aktif langsung, agresi fisik aktif tidak langsung, agresi fisik

pasif langsung, agresi fisik pasif tidak langsung, agresi verbal aktif

langsung, agresi verbal aktif tidak langsung, agresi verbal aktif tidak

langsung, agresi verbal pasif langsung, agresi verbal pasif tidak

langsung. Dipilihnya teori Buss dan Durke dalam penelitian ini

dikarenakan penjabaran bentuk-bentuk agresivitasnya lebih terperinci

sehingga diharapkan dapat mempermudah peneliti, pembaca atau

calon peneliti selanjutnya untuk memahami penelitian ini.

3. Faktor-faktor yang mempengaruhi agresivitas

Sarwono (Supano, 2012) membagi faktor-faktor yang

mencetuskan agresi yang berupa rangsangan atau pengaruh terhadap

agresivitas itu dapat datang dari luar diri sendiri (yaitu kondisi

lingkungan atau pengaruh kelompok) atau dapat juga berasal dari

dalam diri (pengaruh kondisi fisik dan kepribadian) yaitu.

a. Kondisi lingkungan:

1) Lingkungan keluarga: Selain itu, kondisi lingkungan dalam

keluarga juga mempengaruhi agresivitas. Menurut Koeswara

(Supano, 2012), perilaku agresi pada remaja berasal dari

lingkungan keluarga dengan status sosial ekonomi bawah

yang pada umumnya mereka mengalami kesulitan dalam

memenuhi kebutuhan hidup mereka. Mereka dapat bertindak

apa saja demi untuk memenuhi kebutuhan mereka seperti

kosmetik, untuk makan, atau untuk kegiatan senang-senang

lainnya yang semuanya tidak bisa mereka dapatkan dari

orang tua mereka, dikarenakan keterbatasan uang saku yang

mereka terima dari orang tua mereka. Orang–orang dari

kelas bawah yang dibesarkan dalam kemiskinan seringkali

berbicara kasar dengan aksen yang berat dan kosakata yang

terbatas.

Faktor pola pengasuhan keluarga memberikan kontribusi

terhadap perkembangan perilaku anak. Sejumlah

karakteristik keluarga seperti kekerasan domestik, pola asuh,

status sosial ekonomi, latar belakang pendidikan dan

kepribadian antisosial orang tua memberikan kontribusi

terhadap perkembangan perilaku anak termasuk perilaku

kekerasan. Orang tua sebagai pemegang posisi kunci dalam

keluarga memainkan peran besar dalam memunculkan

agresivitas pada anak (Grusec, dalam Argiati 2008).

Orang tua yang memilih hukuman fisik dan mental dalam

menerapkan disiplin pola asuh di rumah, mengindikasikan

kegagalan dalam pemecahan problem hubungan

interpersonal dan pengembangan perilaku non kekerasan

dalam keluarga (Stouthamer-Lober, 1984). Kurangnya

pengawasan orang tua, inkonsistensi disiplin, hukuman fisik

dan sikap menolak orang tua yang ditandai dengan sikap

kritis secara berlebihan, hukuman fisik dan kebencian

berpengaruh terhadap agresivitas dan kekerasan (Murray,

2000). Orang tua yang menerapkan persepsi pola asuh

otoriter dan lebih mengedepankan sistem kekerasan fisik

dan mental dalam keluarga, dimungkinkan memiliki

kemampuan komunikasi interpersonal yang kurang baik,

oleh karena itu penerapan pola asuh yang dilakukan di

dalam keluarga lebih bersifat satu arah dan lebih berfokus

pada orang tua.

Pendidikan disiplin yang otoriter dengan penerapan yang

keras terutama dilakukan dengan memberikan hukuman

fisik, dapat menimbulkan berbagai pengaruh yang buruk

bagi remaja (Sukadji, 1988). Pola asuh seperti ini membuat

anak semakin penakut, tidak ramah pada orang lain,

membenci orang yang memberi hukuman, kehilangan

spontanitas serta inisiatif dan pada akhirnya melampiaskan

amarahnya dalam bentuk agresi kepada orang lain.

hubungan dengan lingkungan sosial berorientasi pada

kekuasaan dan ketakutan. Pola asuh seperti itu dapat

menimbulkan pemberontakan, terutama apabila larangan-

larangannya yang bersangsi hukuman tidak diimbangi

dengan alternatif (cara) lain yang dapat memenuhi

kebutuhan yang mendasar, misalnya anak dilarang untuk

bermain di luar rumah, tetapi di dalam rumah anak tidak

diperhatikan oleh kedua orang tuanya karena kesibukan

masing-masing (Argiati, 2008). Dalam hal ini besar juga

kaitannya dengan hubungan antara anggota keluarga apabila

orang tua menunjukkan perilaku agresi dalam mengasuh

anak, besar kemungkinan anak akan belajar memodel dari

perilaku orang tuanya tersebut. Pola asuh orang tua yang

otoriter mengakibatkan hubungan interpersonal antara

keduanya (anak dan orang tua) menjadi kaku, kurang

kehangatan dan komunikasi di dalamnya, karena persepsi

pola asuh otoriter lebih berpusat pada orang tua tanpa

melihat kebutuhan dan keinginan anak. Perilaku anak akan

terlihat saat berinteraksi dalam kehidupan sosialnya, baik

dalam kehidupan keluarga maupun dengan teman

sebayanya.

Menurut Faturochman (2001) keluarga merupakan level

terkecil tempat manusia berinteraksi, keluarga dapat dilihat

sebagai hubungan interpersonal yang sederhana dalam

melakukan pertukaran (exchange) antara satu anggota

keluarga dengan lainnya, dengan kata lain keluarga

merupakan jaringan sosial terkecil untuk mengembangkan

jaringan sosial ke arah yang lebih luas (masyarakat). Dengan

demikian apabila di dalam keluarga proses interaksi

terbentuk dengan baik, maka hubungan seperti konflik tidak

akan tidak terpecahkan berlarut-larut yang pada akhirnya

menimbulkan perilaku yang tidak baik.

Berbagai upaya yang bisa dilakukan oleh orang tua untuk

merespon masalah yang dialami oleh remaja, antara lain

melalui program di sekolah, masyarakat keluarga dan

kelompok teman sebayanya. Dari berbagai upaya orang tua

tersebut, keluarga terutama pola asuh yang diterapkan sangat

penting dalam membentuk sikap remaja. Proses pola asuh

tersebut meliputi kedekatan antara anggota keluarga dan

tentang interaksi anak dalam kehidupan sehari-hari. Melalui

hubungan tersebut orang tua dapat mengarahkan anak

remaja bagaimana seharusnya remaja berinteraksi dengan

teman sebayanya.

2) Lingkungan masyarakat: Menurut Luth & Fernandez (dalam

Supano, 2012) menjelaskan, faktor yang utama dalam

menentukan kelas sosial diantaranya adalah jenis aktivitas

ekonomi, pendapatan, tingkat pendidikan, tipe rumah

tinggal, jabatan dalam organisasi, dan lain sebagainya.

Masing-masing kelas tersebut mempunyai nilai dan

pengakuan yang berbeda dalam pandangan masyarakat.

Menurut Sears, Freedman dan Peplau (dalam Supano, 2012)

pada seseorang dengan status sosial ekonomi atas perilaku

agresif yang ditampilkan akan dipikirkan terlebih dahulu

dampaknya, karena perilaku agresi tersebut dapat merusak

reputasi didalam masyarakat dikarenakan memiliki

kedudukan yang terhormat didalam masyarakat. Lubis

(2005) mengemukakan bahwa remaja pria merupakan sosok

yang bernalar, independen, perintis, ambisius, bijak, cerdas,

dan kuat. Sedangkan remaja wanita merupakan sosok yang

emosional, tidak bernalar, bergantung, pasif, lemah, dan

juga penakut. Jhon Whiting dan Pope (dalam Supano, 2012)

mengemukakan bahwa pria lebih agresif dibandingkan

wanita adalah realitas yang universal. Terlepas dari gejala

peningkatan dan sebab-sebabnya, agresi yang dilakukan

oleh wanita tetap berbeda dengan agresi yang dilakukan

pria, yakni taraf agresifitas serta intensitas dan frekuensi

tingkah laku agresif pada wanita lebih rendah dibanding

dengan pria.

Menurut Sarwono (dalam Supano, 2012) pengaruh

kelompok sosial masyarakat terhadap perilaku agresif,

antara lain adalah menurunkan hambatan darikendali moral.

Seseorang dapat ikut terpengaruh oleh kelompok dalam

melakukan agresi. Selain itu, perilaku agresif dapat

dipengaruhi pula oleh adanya perancuan tanggung jawab

(tidak merasa ikut bertanggung jawab karena dikerjakan

beramai-ramai), adanya desakan kelompok dan identitas

kelompok (kalau tidak ikut dianggap bukan anggota

kelompok), adanya deindividuasi (identitas sebagai individu

tidak dikenal), kondisi tersebut dapat berakibat pada

hubungan interpersonal antara remaja dan lingkungan

kelompoknya kurang baik sehingga berpotensi

menimbulkan agresivitas pada proses interaksinya.

c. Faktor pribadi dan kondisi fisik

Kondisi diri atau fisik juga mempengaruhi agresivitas. Banyaknya

kadar adrenalin dalam tubuh, misalnya meningkatkan rangsangan

dalam tubuh sehingga orang yang bersangkutan lebih siap dan lebih

cepat bereaksi. Berbagai keadaan arousal terlepas dari sumber dan

jenisnya memang dapat saling memperkuat perilaku agresif.

Menurut Sarwono (dalam, supano 2012) pada manusia, bukan

hanya sakit fisik yang dapat memicu agresi, melainkan juga sakit

hati (psikis). Selain itu, udara yang sangat panas juga lebih cepat

memicu kemarahan dan agresi. Demikian pula pada saat adanya

serangan cenderung memicu agresi karena pihak yang diserang

cenderung membalas. Rasa sesak (crowding) juga dapat memicu

agresi. Peningkatan agresivitas di daerah yang sesak, berhubungan

dengan penurunan perasaan akan kemampuan diri untuk

mengendalikan lingkungan sehingga terjadi frustrasi.

Menurut Spitzberg dan Cupach (Nashori, 2000) kemampuan atau

kompetensi interpersonal adalah kemampuan seorang individu

untuk melakukan komunikasi yang efektif, artinya adanya

kompetensi interpersonal akan menciptakan interaksi yang efektif

antara pemberi pesan dengan penerima pesan, selain itu adanya

kompetensi interpersonal akan menciptakan hubungan interpersonal

yang hangat dan menyenangkan. Dalam menjalin hubungan

interpersonal faktor yang dimaksud bukan manusia dalam bentuk

fisik, melainkan sifat-sifat, watak-watak dan tingkah laku pribadi.

Dari berbagai faktor penyebab agresivitas di atas, peneliti

memilih faktor persepsi pola asuh otoriter dan kemampuan atau

kompetensi interpersonal yang merupakan bagian dari faktor pribadi,

sebagai variabel independen. Faktor-faktor yang mempengaruhi

perilaku agresif sebagaimana dijelaskan di atas, tidak akan dikaji

secara menyeluruh. Dalam penelitian ini akan dibatasi pada persepsi

pola asuh otoriter orang tua dan kompetensi interpersonal. Hal ini

didasarkan pada permasalahan dan tujuan penelitian serta berbagai

keterbatasan penulis.

Pola asuh merupakan hal yang penting dalam proses

pembentukan kepribadian manusia, di dalam pola asuh tersebut

terdapat banyak pembelajaran bagi individu salah satunya bagaimana

individu berinteraksi dengan lingkungan, apabila pola asuh yang

diterapkan kurang baik, maka dimungkinkan remaja akan

memunculkan agresi sebagai manivestasi dari pola asuh yang didapat

tersebut. Variabel persepsi pola asuh otoriter dipilih berdasarkan

pendapat Bandura (1977) bahwa sebagian besar perilaku individu

diperoleh melalui hasil belajar observasional. Individu yang

menyaksikan dan memperoleh perlakuan kekerasan dari orang tua

tidak hanya mengimitasi perilaku kekerasan tersebut tetapi pada

kondisi ekstrimnya, anak dapat mengalami frustrasi yang dapat

menimbulkan terjadinya kenakalan remaja, tindak kriminal, tindak

kekerasan bahkan bunuh diri (Zainudin, 2002).

Serupa dengan pendapat Helmi dkk (1999) agresivitas dapat

diterangkan melalui pendekatan belajar, agresi merupakan tingkah

laku yang dipelajari dan melibatkan faktor-faktor eksternal (stimulus)

sebagai determinan pembentuk agresi tersebut. Dalam hal ini individu

dapat memilih siapa yang akan menjadi objek modelnya, proses

tersebut dinamakan imitasi. Proses imitasi atau modeling ini dapat

diaplikasikan pada semua jenis perilaku agresi, setiap individu

terutama anak-anak memiliki kecenderungan yang kuat untuk

berimitasi (modeling). Proses ini tidak dilakukan terhadap semua

orang tetapi terhadap figur-figur tertentu seperti orang-orang terkenal,

memiliki kekuasaan, sukses atau orang yang sering ditemui mereka.

Figur yang biasanya menjadi model tersebut biasanya menjadi model

tersebut biasanya adalah orang tua anak itu sendiri. Oleh sebab itu,

perilaku agresif anak-anak sangat tergantung pada cara orang tua

memperlakukan mereka dan diri mereka sendiri (Sears dalam Helmi

dkk, 1999).

Variabel kedua yang digunakan adalah faktor pribadi yaitu

kemampuan atau kompetensi interpersonal yang dimiliki individu.

Selain pola asuh di atas, salah satu faktor yang menyebabkan

agresivitas adalah faktor pribadi, seperti tempramen, kontrol diri,

keterampilan atau kemampuan individu yang memicu beberapa orang

tertentu melakukan agresivitas (Baron & Byrne, 2005).

Pada penelitian ini, peneliti menggunakan faktor pribadi

sebagai salah satu faktor yang mempengaruhi agresivitas, karena salah

satu bagian dari faktor pribadi adalah keterampilan atau kemampuan

individu dalam berinteraksi dengan orang lain. Dari penjelasan di atas,

dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi

agresivitas adalah faktor personal, faktor lingkungan, faktor ekonomi.

Selain itu pendapat lain juga menyebutkan bahwa faktor yang

mempengaruhi agresivitas adalah faktor lingkungan, sosial budaya,

pengaruh kelompok, jenis kelamin, urutan kelahiran, usia, pengalaman

prasekolah, jumlah saudara kandung, status sosial ekonomi orang tua

dan lingkungan fisik seperti iklim, cuaca, kepadatan penduduk dan

lain sebagainya.

Menurut Spitzberg dan Cupach (Nashori, 2000) kemampuan

atau kompetensi interpersonal adalah kemampuan seorang individu

untuk melakukan komunikasi yang efektif, artinya adanya kompetensi

interpersonal akan menciptakan interaksi yang efektif antara pemberi

pesan dengan penerima pesan, selain itu adanya kompetensi

interpersonal akan menciptakan hubungan interpersonal yang hangat

dan menyenangkan. Dalam menjalin hubungan interpersonal faktor

yang dimaksud bukan manusia dalam bentuk fisik, melainkan sifat-

sifat, watak-watak dan tingkah laku pribadi.

Kompetensi interpersonal ditandai oleh adanya karakteristik-

karakteristik psikologis tertentu yang sangat mendukung dalam

menciptakan dan membina hubungan antar pribadi yang baik dan

memuaskan, di dalamnya termasuk pengetahuan tentang konteks yang

ada dalam interaksi, pengetahuan tentang perilaku non verbal orang

lain, kemampuan untuk menyesuaikan komunikasi dengan konteks

interaksi tersebut, dan kemampuan-kemampuan lainnya (Nashori,

2000).

Kemampuan yang dapat mendukung terciptanya hubungan

yang baik dengan lingkungan adalah berupa kemampuan berinisiatif,

kemampuan bersikap terbuka, kemampuan bersikap asertif,

kemampuan memberikan dukungan emosional serta kemampuan

mengatasi konflik dalam kehidupan sehari-hari (Buhrmester et al.,

1988). Semakin tinggi tingkat kompetensi interpersonal yang dimiliki

seseorang maka semakin mudah baginya untuk membina hubungan

pribadi ataupun sosial dalam berbagai kegiatan bersama masyarakat,

hubungan saling percaya sangat penting untuk mengembangkan

hubungan yang erat dan bermanfaat (Goleman, dalam Josef 2005).

B. Persepsi pola asuh otoriter

1. Pengertian persepsi pola asuh otoriter

Shochib (2010) mengatakan bahwa penerapan pola asuh yang

kurang tepat dapat menimbulkan permasalahan yang justru sebaliknya

tidak diinginkan, bahkan dapat menimbulkan resiko anak akan

memiliki masalah dalam kehidupan sehari-hari, salah satunya

berkaitan dengan proses belajar. Pengasuhan tidak hanya sebatas

bagaimana orang tua memperlakukan anaknya dengan baik, akan

tetapi lebih kepada bagaimana orang tua mendidik, membimbing dan

mendisiplinkan serta melindungi anak dalam menuju proses

pendewasaan.

Menurut Baumrind (dalam Casmini, 2007) pengasuhan pada

prinsipnya merupakan Parental Control, sedangkan menurut Kohn

(dalam Casmini, 2007) dinyatakan bahwa pengasuhan merupakan cara

orang tua berinteraksi dengan anak yang meliputi, pemberian hadiah,

pemberian aturan, hukuman, pemberian perhatian, serta tanggapan atas

perilaku anak. Menurut Haditono (2008), peranan dan bantuan orang

tua kepada anak akan dapat tercermin dalam pengasuhan yang

diberikan kepada anaknya. Menurut Hurlock (dalam Casmini, 2007)

pola asuh adalah untuk mendidik anak agar dapat menyesuaikan diri

terhadap lingkungan sosialnya atau dapat diterima oleh masyarakat.

Pengasuhan orang tua berfungsi untuk memberikan kelekatan

(attachment) dan kasih sayang antara anak dengan orang tuanya atau

sebaliknya, adanya penerimaan dan runtutan dari orang tua dan

melihat bagaimana orang tua menetapkan disiplin. Pada akhirnya

menurut Cole (dalam Argiati, 2008), pola asuh yang kurang tepat

menghasilkan model remaja yang cenderung menyendiri, murung,

patuh, takut pada situasi baru dan mempunyai harga diri rendah. Pada

pola asuh otoriter ini, kemandirian dan perkembangan diri anak tidak

didukung dan dikembangkan, sebagai konsekuensinya anak merasa

frustrasi, kecewa, marah, serta menjadi tidak berkembang, tergantung

dan mempunyai rasa percaya diri yang rendah. Penerapan pola asuh

yang tidak tepat memiliki efek yang sangat besar, salah satunya

berkaitan dengan kecenderungan agresivitas. Orang tua ingin anak-

anak mereka tumbuh menjadi individu yang dewasa dengan

kepribadian yang matang, dan tak jarang mereka seringkali merasa

putus asa apabila anak-anak mereka tidak dapat memenuhi standar

keinginan mereka.

Pola asuh otoriter adalah pola asuh yang tinggi tuntutan serta

rendah dalam respon. Orang tua sangat menuntut, mengontrol, tidak

kompromi dan bahkan menghukum secara fisik. Orang tua dengan

pola asuh otoriter memberikan batasan yang keras, mengharapkan

kepatuhan penuh atas anaknya, jarang melakukan diskusi atas

permasalahan yang dihadapi anak, tidak memberikan penawaran untuk

berdialog serta tidak memberikan peluang untuk mengatur dirinya

sendiri (Baumrind, dalam Niolon 1991). Ditambahkan oleh Koesworo

(1988) bahwa orang tua menjadi serba benar, anak dipandang sebagai

objek dari perintah dan larangannya yang dituntut sepenuhnya patuh,

kurang memiliki kebebasan untuk memiliki alternatif atau mengajukan

inisiatif.

Pola asuh merupakan gaya pengasuhan yang membatasi dan

bersifat menghukum, yang menuntut anak untuk mengikuti petunjuk

orang tua tanpa disertai penjelasan dan kesempatan pada anak untuk

mengutarakan keinginannya. Orang tua yang bersifat otoriter membuat

batasan dan kendali yang tegas terhadap anak-anaknya dan hanya

melakukan sedikit komunikasi verbal. Komunikasi dalam ini bersifat

satu arah, yaitu bersumber hanya dari orang tua. Sebagai contoh,

seorang orang tuaotoriter dapat mengatakan, “Kamu harus melakukan

apa yang saya katakan. Tidak ada tawar-menawar!. Pola asuh

semacam ini banyak terjadi dalam lingkup keluarga di masyarakat.

Orang tua memberi perintah kepada anak tanpa mendengarkan apa

yang diinginkan oleh anak (Baumrind dalam Casmini, 2007).

Dalam hal ini berkaitan dengan persepsi anak tentang pola

asuh orang tua di rumah. Persepsi anak mengenai pola asuh otoriter

menjadi hal yang sangat berpengaruh bagi agresivitas remaja yang

terciptadi rumah yang kemudian dapat diekspresikan oleh remaja di

lingkungan sekitar. Persepsi pola asuh otoriter anak kepada orang tua

berkaitan dengan bagaimana anak memandang atau mengartikan pola

asuh yang diterapkan orang tua yang berkaitan dengan komunikasi

yang bersifat satu arah yaitu terpusat pada orang tua

(Anggaraningtyas, 2012).

Menurut Walgito (2003) persepsi merupakan

pengorganisasian, penginterpretasian terhadap stimulus yang

diinderanya sehingga merupakan sesuatu yang berarti, dan merupakan

respon yang integrated dalam diri individu. Karena persepsi

merupakan aktivitas yang integreted dalam diri individu, maka apa

yang ada di dalam diri individu akan ikut aktif dalam persepsi.

Berdasarkan hal tersebut, maka dalam persepsi dapat dikemukakan

karena perasaan, kemampuan berpikir, pengalaman-pengalaman

individu tidak sama, maka dalam mempersepsi suatu stimulus, hasil

persepsi mungkin akan berbeda antara individu satu dengan individu

lain, persepsi bersifat individual. (Dovidoff & Rogers, dalam Walgito

2003). Kemudian menurut Branca (dalam Walgito, 2003) dalam

penginderaan orang akan mengaitkan dengan stimulus, sedangkan

dalam persepsi orang akan mengaitkan dengan objek. Dengan persepsi

individuakan menyadari tentang keadaan di sekitarnya dan juga

keadaan diri sendiri (Davidoff, dalam Walgito 2003).

Jadi dari berbagai teori di atas, dapat disimpulkan bahwa

persepsi pola asuh otoriter adalah bagaimana anak memandang atau

mengartikan pola asuh orang tua yang menerapkan pola asuh otoriter.

Pola asuh otoriter adalah pengasuhan yang menggunakan komunikasi

satu arah, membatasi individu, bersifat menghukum dan menuntut

anak mengikuti petunjuk orang tua tanpa disertai penjelasan dan

kesempatan pada anak untuk mengutarakan keinginannya.

2. Ciri-ciri persepsi pola asuh otoriter

Persepsi pola asuh otoriter ini mengacu pada objek persepsi

yaitu pola asuh otoriter. Berikut ini ciri-ciri gaya pengasuhan otoriter

(Mahmud, 2003) sebagai berikut:

a. Menuntut kepatuhan yang tinggi. Dalam hal ini orang tua

menuntut kepatuhan yang tinggi pada remaja, agar remaja

mengikuti atau mematuhi semua peraturan yang diberikan oleh

orang tua dalam kehidupan sehari-hari, orang tua sangat kaku dan

memaksa. Anak-anak sudah dibentuk sejak kecil sehingga mereka

tidak mempunyai ruang untuk berdiskusi atau meminta keterangan.

Cara yang digunakan untuk memaksakan petunjuk - petunjuk

perilaku tersebut melalui cara-cara diktator, seringkali memakai

hukuman yang berlebihan atau keras dan di luar kemampuan si

anak untuk menjalankan hukuman tersebut. Keseluruhan tujuan

dari gaya ini adalah untukmelakukan kontrol anak dan bukannya

mengajari anak atau membantu anak untuk mengembangkan

otonominya.

b. Tidak boleh bertanya terhadap tuntutan orang tua. Anak tidak

boleh menanyakan mengapa orang tua memberikan tuntutan atau

aturan sedemikian rupa, yang orang tua mau adalah anaknya

mengikuti semua aturan yang telah ditetapkan, dengan alasan hal

tersebut demi kebaikan anak. Gaya pengasuhan ini mempersulit

perkembangan kedekatan antara orang tua dan anak. Kedekatan

yang sebenarnya didasari oleh saling menghormati dan satu

keyakinan pada diri orang tua bahwa anak mempunyai kapasitas

untuk belajar mengontrol dirinya dan membuat keputusan melalui

petunjuk-petunjuk perilaku dan kapasitas kognitif yang mereka

miliki.

c. Orang tua banyak menghukum apabila anak melakukan kesalahan.

Pada saat anak atau remaja melanggar peraturan, orang tua tidak

segan-segan memberi hukuman kepada anak. Orang tua tidak

memberikan kesempatan kepada anak untuk menjelaskan alasan

anak melakukan kesalahan.

d. Orang tua tidak membicarakan berbagai permsalahan dengan anak.

Dalam hal ini segala permasalahan yang terjadi tidak dibicarakan

dengan anak, orang tua tidak pernah meminta pendapat atau

masukan dari anak. Gaya pengasuhan ini tidak mengakui proses

individuasi pada anak dan pertumbuhan otonomi pada diri anak.

Kedekatan yang dapat berkembang dengan gaya pengasuhan

seperti ini adalah kedekatan semu karena kedekatan tersebut

muncul dari rasa takut anak untuk tidak menyenangkan orang tua

dari pada keinginan untuk tumbuh dan berkembang.

e. Orang tua sedikit sekali memberi kesempatan agar anak atau

remaja mengungkapkan perasaannya. Dalam hal ini orang tua tidak

memberikan kesempatan kepada anak untuk mengutarakan

keinginan, apa yang dirasakan, apa yang dia suka atau tidak suka.

Orang tua hanya memberikan peraturan yang alasannya untuk

kebaikan anak tanpa bertanya terlebih dahulu apakah anak cocok

dengan perlakuan orang tua.

f. Tidak memberikan kesempatan pada anak (remaja) untuk

mengatur dirinya. Pada aspek ini perilaku orang tua di tunjukkan

dengan mengontrol anaknya daripada mendukung anaknya agar

mereka mampu berfikir memecahkan masalah. Orang tua sering

melarang anaknya dan berperilaku negatif dan memberi hukuman.

Jadi orang tua lebih memberi perintah daripada menjelaskan untuk

melakukan sesuatu atau menyelesaikan masalah.

Persepsi pola asuh otoriter adalah bagaimana anak memandang

pola asuh yang diberikan oleh orang tua, dalam hal ini pola asuh yang

diterapkan adalah pola asuh otoriter. Dari beberapa ciri orang tua

dengan pola asuh yang otoriter, penulis menggunakan teori Mahmud

(2003) sebagai acuan dalam penelitian ini. Ciri pola asuh otoriter

menurut Mahmud (2003) adalah: menuntut kepatuhan yang tinggi

pada anak, tidak boleh bertanya terhadap tuntutan orang tua, orang tua

banyak menghukum bila anak melanggar aturan, orang tua tidak

membicarakan permasalahan yang ada dengan anak, sedikit sekali

memberikan kesempatan kepada anak untuk mengungkapkan

perasaannya, tidak memberikan kesempatan kepada anak (remaja)

untuk mengatur dirinya.

C. Kompetensi Interpersonal

1 Pengertian Kompetensi Interpersonal

Dalam kehidupan sehari-hari, manusia melakukan berbagai

macam jenis komunikasi seperti komunikasi intra pribadi, komunikasi

antar pribadi, komunikasi pribadi dengan kelompok, komunkasi

kelompok dengan kelompok dan komunikasi dengan media. Sebagian

besar komunikasi antar manusia dilakukan melalui komunikasi

interpersonal (Nashori, 2000). Menurut Larasati (dalam Nashori,

2002) sekitar 73 persen komunikasi yang dilakukan manusia

merupakan komunikasi interpersonal. Menurut Rahmat (2012) setiap

kita melakukan komunikasi, kita bukan hanya sekedar menyampaikan

isi pesan, kita juga menentukan kadar hubungan yang terjadi di

dalamnya. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa individu yang dapat

melakukan komunikasi interpersonal secara efektif disebut memiliki

kompetensi interpersonal (Nashori, 2000).

Kompetensi dari sudut pandang individual dapat diartikan

sebagai ciri-ciri pengetahuan, keterampilan dan kepribadian yang

diperlukan untuk mencapai performansi yang tinggi. Untuk

mendapatkan karakteristik yang dimaksud, dilakukanlah penggalian

dengan membandingkan orang-orang yang memiliki performansi

tinggi dengan yang performansinya rata-rata (Susanto, dalam Ismiati,

2002).

Menurut Spitzberg dan Cupach (Nashori, 2000) kompetensi

interpersonal adalah kemampuan seorang individu untuk melakukan

komunikasi yang efektif, artinya adanya kompetensi interpersonal

akan menciptakan interaksi yang efektif antara pemberi pesan dengan

penerima pesan, selain itu adanya kompetensi interpersonal akan

menciptakan hubungan interpersonal yang hangat dan menyenangkan.

Dalam menjalin hubungan interpersonal faktor yang dimaksud bukan

manusia dalam bentuk fisik, melainkan sifat-sifat, watak-watak dan

tingkah laku pribadi. Dalam kompetensi interpersonal ditandai oleh

adanya karakteristik-karakteristik psikologis tertentu yang sangat

mendukung dalam menciptakan dan membina hubungan antar pribadi

yang baik dan memuaskan. Di dalamnya termasuk pengetahuan

tentang konteks yang ada dalam interaksi, pengetahuan tentang prilaku

non verbal orang lain, kemampuan untuk menyesuaikan komunikasi

dengan konteks dari interaksi yang tengah berlangsung, menyesuaikan

dengan orang yang ada dalam interaksi tersebut, dan kemampuan-

kemampuan lainnya. Salah satu contohnya adalah perilaku menolong

orang lain di tempat umum, misalnya menolong menyebrangkan jalan,

menjenguk orang sakit dan lain sebagainya (Baron & Byrne, 2003).

Menurut Parry (dalam Nashori, 2005) kompetensi

interpersonal adalah kumpulan dari pengetahuan, keahlian dan sikap

yang mempengaruhi mayoritas peran atau tanggung jawab sesorang

dalam suatu performansi, dalam hal ini berkaitan dengan hubungan

interpersonal. Kompetensi ini dapat diukur dengan standart yang

diakui kemudian dapat ditingkatkan melaui pelatihan dan

pengembangan. Hal ini sesuai dengan pendapat Rakhmat (1996)

bahwa kompetensi merupakan salah satu faktor terjalinnya hubungan

secara mendalam antar pribadi. Seseorang pada umumnya menyukai

orang-orang yang memiliki kemampuan yang lebih dari pada orang

lain, karena orang yang kompeten mampu membaca situasi yang

berlangsung di sekitar dengan baik, memahami prilaku yang

ditunjukkan orang lain dalam interaksi, dan mampu menentukan

prilaku yang tepat tanpa merusak hubungan dengan orang lain.

Buhrmester dkk (1988) menyatakan bahwa seseorang yang

kurang kompeten akan membawanya pada hubungan yang tidak

menyenangkan dengan orang lain dan pada akhirnya dapat

membuatnya menjadi kesepian. Karena ketidakmampuan ini membuat

kehidupan sosial seseorang menjadi terganggu, seperti enggan

berhubungan dengan orang lain, menarik diri dari pergaulan, dan

kurang percaya diri terhadap kemampuan yang dimiliki. Kompetensi

interpersonal adalah kumpulan dari pengetahuan, keahlian dan sikap

yang mempengaruhi seseorang dalam membentuk hubungan interaksi

sosial dan komunikasi yang efektif sehingga terjalin hubungan antar

pribadi yang memuaskan. Kemudian menurut Jones (dalam Ismiati,

2002) mengatakan bahwa kompetensi dalam suatu konteks hubungan

social dapat diartikan sebagai kemampuan untuk memahami prilaku

orang lain dan kemampuan untuk memahami diri sendiri dalam

kaitannya dengan lingkungan sosial. Definisi lain mengenai

kompetensi yang berkaitan dengan lingkungan social dikemukakan

oleh Hurlock (dalam Ismiati, 2002) yang mengatakan bahwa

kompetensi social adalah suatu kemampuan atau kecakapan seseorang

untuk berhubungan dengan orang lain dan untuk terlibat dalam situasi-

situasi social. Sedangkan menurut Devito (2002) komunikasi

interpersonal berkaitan dengan berlangsungnya hubungan antara dua

orang secara mantap dan jelas, misalnya komunikasi yang terjadi

antara pramuniaga dan pelanggan, anak dan ayah, dua orang dalam

suatu wawancara dan sebagainya.

Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa kompetensi

interpersonal adalah kemampuan atau keahlian seseorang dalam

mempengaruhi atau dalam membentuk hubungan sosial dan

komunikasi yang efektif sehingga terjalin hubungan antar pribadi yang

memuaskan dalam kehidupan sehari-hari.

2 Aspek - aspek kompetensi interpersonal

Aspek-aspek kompetensi interpersonal menurut Buhrmaster,

dkk (1988), dalam penelitiannya menyatakan ada lima aspek yang

menentukan kompetensi interpersonal yaitu:

a. Kemampuan berinisiatif (Initiation)

Kemampuan berinisiatif merupakan kemampuan untuk memulai

suatu bentuk usaha untuk mencapai suatu tujuan. Inisiatif juga

sebagai usaha untuk memulai suatu bentuk interaksi dengan

individu lain atau dengan lingkungan sosial yang lebih luas.

Inisiatif digambarkan sebagai suatu bentuk usaha untuk mencari

informasi dan meneliti secara aktif terhadap lingkungannya.

Misalnya dengan menyapa terlebih dahulu, mengajak berbicara

atau melanjutkan pembicaraan dengan kenalan baru, berinteraksi

dengan tulus dan lain sebagainya.

b. Kemampuan bersifat asertif

Kemampuan bersifat asertif adalah kemampuan untuk

mengungkapkan perasaan-perasaannya secara jelas dan

mempertahankanhak-haknya secara tegas, kemampuan

mengekspresikan ketidaksetujuan terhadapa penilaian orang lain,

kemampuan mengatakan “tidak” terhadap permintaan yang

dianggap tidak rasional, meminta orang lain melakukan sesuatu

dan menolak hal yang tidak diinginkan tanpa melukai perasaan.

Misalnya saat kawan meminjam motor tanpa izin, seorang

individu menyampaikan pesan bahwa ia tidak menyukai apa yang

dilakukan oleh kawannya tersebut. Menurut Lange dan

Jakubowski (dalam Ismiati, 2002) kemampuan bersikap asertif

adalah kemampuan untuk menuntut hak pribadi dan menyatakan

pikiran, perasaan, dan keyakinan dengan cara langsung, jujur dan

tepat.

c. Kemampuan untuk bersifat terbuka (Self disclosure)

Kemampuan bersifat terbuka merupakan kemampuan untuk

membuka diri dan atau mengutarakan bagian dalam diri pada

orang lain, misalnya dengan mengungkapkan gagasan, pikiran dan

perasaan atau mengutarakan harapan-harapan, pertentangan atau

konflik serta kelemahan-kelemahan pada orang lain. Kemampuan

membuka diri sangat berguna agar perkenalan yang sudah

berlangsung dapat berkembang ke hubungan yang lebih pribadi

dan mendalam. Dengan adanya pembukaan diri ini terkadang

seseorang menurunkan pertahanan dirinya dan membiarkan orang

lain mengetahui dirinya secara lebih mendalam. Buhrmaster dkk

(1988) mengemukakan contoh prilaku yang menunjukkan

keterbukaan adalah seseorang yang mengungkapkan pada orang

lain bahwa ia menghargai dan menyayanginya, berani mengatakan

hal-hal yang membuat takut dan cemas, member kesempatan pada

orang yang baru dikenal untuk lebih mengenalnya dan mengetahui

cara memotivasi orang yang baru dikenal untuk lebih

mengenalnya.

d. Kemampuan untuk memberikan dukungan emosional (Emosional

support)

Kemampuan memberi dukungan emosional pada orang lain adalah

salah satu hal yang penting dalam proses memulai dan membina

hubungan interpersonal. Dukungan emosional yang dimaksud

sebagai ekspresi perasaan memperhatikan, perasaan iba, simpati

dan pernghargaan terhadap orang lain (Cohen dan Will dalam

Ismiati, 2002). Menurut Barker dan Lemie (dalam Nashori, 2000)

dukungan emosional mencakup kemampuan untuk menenangkan

dan memberi rasa nyaman kepada orang lain ketika orang tersebut

dalam keadaan tertekan dan bermasalah. Kemampuan ini lahir

karena adanya empati dari seorang individu.

e. Kemampuan untuk mengatasi konflik (Conflict management)

Kemampuan mengatasi konflik sangat diperlukan dalam membina

hubungan interpersonal. Konflik merupakaan keadaan pada saat

ketegangan meningkat antara dua orang individu atau lebih

disebabkan oleh adanya keinginan yang saling bertentangan antara

satu dengan yang lain. Konflik akan selalu adala dalam setiap

hubungan antara manusia yang disebabkan oleh berbagai masalah.

Menurut Johnson (dalam Nashori, 2000) konfik merupakan situasi

yang ditandai oleh adanya tindakan salah satu pihak yang

menghalangi, menghambat, dan mengganggu tindakan pihak lain.

kemampuan mengatasi konflik tersebut diperlukan agar tidak

merugikan suatu hubungan yang telah terjalin karena akan

memberikan dampak yang negatif. Kemampuan mengatasi konflik

ini meliputi sikap-sikap untuk menyusun suatu penyelesaian

masalah, mempertimbangkan kembali penilaian atas suatu

masalah dan mengembangkan konsep harga diri yang baru.

Selain aspek-aspek di atas menurut Prijosaksono (2002),

aspek hubungan interpersonal adalah:

1) Memahami karakter orang lain

Prijosaksono dan sambel (2002) mengemukakan bahwa karakter

berbeda dengan kepribadian. Karakter adalah diri seseorang yang

sebenarnya, sedangkan kepribadian sesuatu yang melengkapi pada

diri seseorang. Kepribadian dapat diubah, sedangkan karakter

tidak bisa dirubah. Setiap individu dilahirkan sudah memiliki ciri

khas dan karakter sendiri-sendiri. Jadi, memahami karakter orang

lain dan menyadari kekhasannya merupakan kunci untuk

memelihara hubungan interpersonal.

2) Menciptakan kehidupan positif

Menciptakan kehidupan positif sama halnya dengan postif

thinking. Individu ada dan berinteraksi dengan individu lain

senantiasa dituntut untuk selalu berfikir yang positif agar

sepanjang kehidupannya lebih baik. kondisi ini menjadikan

seseorang lebih percaya diri dan optimis. Dengan positif thinking

hidup seseorang akan lebih bermakna dan lebih baik.

3) Memahami kekuatan

Untuk membangun hubungan yang kokoh, seseorang harus dapat

memfokuskan diri pada kekuatan, baik kekuatan diri atau orang

lain. individu diharuskan mampu memahami apa yang menjadi

kekuatan dirinya dan kekuatan orang lain dalam berhubungan.

4) Mengembangkan komunikasi empati

Prijosaksono dan Sambel (2002) menyatakan komunikasi empati

adalah berusaha untuk mengerti terlebih dahulu, baru dimengerti.

Kebanyakan orang mendengarkan orang lain, tidak untuk mengerti

namun mendengar untuk menjawab.

5) Memberi pujian yang tepat

Seseorang senantiasa dituntut untuk selalu menjaga hubungan

dengan orang lain. salah satunya dengan memberikan pujian,

motivasi dan kata-kata positif. Pujian, motivasi dan kata-kata

positif yang diberikan ketika seseorang telah melakukan sesuatu

yang bersifat positif, apabila hal tersebut dilakukan dengan tulus

dan ikhlas maka sangat berarti bagi orang lain.

Aspek-aspek hubungan interpersonal dijelaskan pula oleh

Devito (1995), bahwa hubungan interpersonal meliputi lima

aspek, yaitu :

a) Keterbukaan

Merupakan penilaian terhadap kualitas keterbukaan dalam

hubungan interpersonal. Keterbukaan ini mencakup keinginan

untuk memberi informasi mengenai diri sendiri, adanya keinginan

untuk bereaksi sejujur-jujurnya terhadap pesan yang disampaikan

oleh orang lain dan tanggung jawab terhadap perasaan dan fikiran

yang dimiliki.

b) Empati

Merupakan kemampuan untuk merasakan dan mengalami apa

yang dirasakan orang lain.

c) Kepositifan

Kepostifan dalam hubungan interpersonal ini mencakup sikap

positif terhadap diri sendiri dan orang lain dalam situasi

komunikasi. Sikap positif akan membuat komunikasi lebih baik,

dapat diungkapkan melalui kalimat-kalimat yang diutarakan.

d) Kesamaan

Dalam kenyataan, tidak ada orang yang sama dengan orang lain

dalam segala hal. Namun dalam komunikasi akan lebih efektif bila

setiap usaha untuk memahami perbedaan tersebut agar tidak

terjadi konflik.

e) Dukungan

Merupakan cara untuk memberikan semangat pada orang lain.

dukungan dapat diberikan melalui kata-kata atau secara verbal

misalnya dengan gerakan mengedipkan mata, tersenyum atau

bertepuk tangan. Kesediaan untuk mendengarkan dan membuka

diri terhadap perbedaan pendapat perlu diperhatikan dalam aspek

ini.

Berdasarkan uraian beberapa aspek di atas, penelitian ini

menggunakan aspek dari Buhrmaster dkk, (1988). Hal ini

dilakukan aspek tersebut mewakili aspek-aspek yang

dikemukakan oleh ahli-ahli di atas, sehingga aspek dari

Buhrmaster dapat menggambarkan kompetensi interpersonal.

Adapun kelima aspek tersebut adalah kemampuan berinisiatif

(initiation), kemampuan mengatasi konflik (conflict management),

kemampuan memberikan dukungan emosional (emostional

support), kemampuan bersifat terbuka (self disclosure), dan

kemampuan untuk bersikap asertif.

D. Hubungan antara persepsi pola asuh otoriter dengan agresivitas pada

remaja

Keluarga menjadi tempat bagi anak belajar menjadi manusia

sosial. Dalam interaksi anak dengan orang tua tersebut anak belajar

bagaimana berinteraksi sebagai makhluk yang berbangsa. Apabila

hubungan dengan keluarga kurang baik, maka kemungkinan kurang

baik pula hubungan dengan lingkungan sekitarnya. Salah satu tanda

hubungan yang baik dalam keluarga adalah bahwa anak tidak segan-

segan menceritakan isi hatinya kepada orang tua atau anggota keluarga

lainnya bahkan tentang cita-cita masa depannya kepada orang tua

(Gerungan, 2002).

Masih menurut (Gerungan, 2002) lingkungan keluarga

merupakan unsur yang penting dalam perkembangan jiwa anak, dalam

keluarga anak-anak dapat melihat contoh yang diperankan oleh orang

tua, dalam hal ini anak akan memodel perilaku yang ditunjukkan oleh

orang tua di rumah. Hubungan antara anggota keluarga yang tidak

serasi akan mengakibatkan perkembangan anak tidak serasi pula.

Akibatnya adalah menipisnya rasa sosial dan kemanusiaan anak,

dengan demikian anak akan mengalami kesulitan dalam menyesuaikan

dengan lingkungan sekitar sehingga sering menimbukan perilaku-

perilaku negatif termasuk di dalamnya agresivitas dalam kehidupan

sehari-hari. Menurut Krahe (2005) disiplin orang tua yang keras

memiliki hubungan yang tinggi dengan agresivitas anak-anaknya,

antara lain karena anak-anak menganggap hukuman badan sebagai

bentuk tindakan mengatasi konflik yang dapat diterima. Pendapat

tersebut selaras dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Taganing

(2008) bahwasanya esensi hubungan antara orang tua dengan anak

sangat ditentukan oleh sikap orang tua dalam mengasuh anak,

bagaimana perasaan dan apa yang dilakukan oleh orang tua, hal ini

bercermin pada pola asuh orang tua yaitu suatu kecenderungan cara

yang dipilih orang tua dalam mengasuh anak. Masih dari hasil

penelitian Taganing (2008) orang tua yang terlalu keras serta tidak

responsif pada kebutuhan anak anak membuat anak cenderung

menjadi takut dan pemurung.

Penerapan pola asuh yang tidak tepat memiliki efek yang

sangat besar, salah satunya berkaitan dengan kecenderungan

agresivitas. Orang tua ingin anak-anaknya tumbuh menjadi individu

yang dewasa dengan kepribadian yang matang, dan tak jarang mereka

seringkali merasa putus asa apabila anak-anak mereka tidak dapat

memenuhi standar keinginan mereka. Saat membahas pola asuh orang

tua, banyak ditemukan para orang tua terlalu menggunakan kasih

sayang dalam kewenangan mereka (Taganing, 2008). Orang tua

menuntut anak-anaknya untuk patuh dan menjalankan aturan-aturan

yang diterapkan dengan pemikiran bahwa aturan-aturan tersebut untuk

kepentingan masa depan anak-anak atau lebih sering karena rasa

sayang orang tua terhadap anak-anaknya. Aturan-aturan yang

ditetapkan akan berfungsi dengan baik, apabila orang tua didalam

menerapkan suatu aturan juga disertai dengan penjelasan dan harapan-

harapan yang ingin dicapai. Sehingga anak akan memahami dan

menghargai serta mengetahui apa yang harus mereka lakukan

(Mahmud, 2003).

Orang tua adalah pemegang peranan sangat penting sebagai

ayah atau ibu bagi anak-anaknya, maka orang tua bertanggung jawab

atas kehidupan anaknya seperti memenuhi kebutuhan sehari-hari,

melindungi anak serta mengadakan pendidikan dasar (sosialisasi bagi

anak-anaknya). Menurut Faturochman (2001) keluarga merupakan

level terkecil tempat manusia berinteraksi, keluarga dapat dilihat

sebagai hubungan interpersonal yang sederhana dalam melakukan

pertukaran (exchange) antara satu anggota keluarga dengan lainnya,

dengan kata lain keluarga merupakan jaringan sosial terkecil untuk

mengembangkan jaringan sosial ke arah yang lebih luas (masyarakat).

Dengan demikian apabila di dalam keluarga proses interaksi terbentuk

dengan baik, maka hubungan interpersonal seperti konflik tidak akan

tidak terpecahkan berlarut-larut yang pada akhirnya menimbulkan

perilaku yang tidak baik.

Barnes (dalam Widayanti dkk, 2003) dalam penelitiannya

menemukan bahwa tingginya sumber daya keluarga yang bersifat

praktis, seperti harapan orang tua, komunikasi verbal antara orang tua

dan anak, bantuan, perhatian, kedekatan orang tua serta kontrol yang

cukup mempunyai pengaruh yang besar untuk mencegah keterlibatan

remaja dalam melakukan perilaku menyimpang, dalam hal ini seperti

perilaku agresif, penggunaan narkoba atau kenakalan remaja lainnya.

Dalam hal ini hubungan dalam keluarga mempunyai peranan yang

besar dalam membina dan membentuk indentitas anak, bila anggota

keluarga dapat menjalankan peran dengan baik, maka akan terjadi

hubungan emosional yang baik dan berkualitas dalam keluarga.

Menurut Sarwono (dalam Taganing, 2008) Orang tua yang

sering memberikan hukuman fisik pada anaknya dikarenakan

kegagalan memenuhi standar yang telah ditetapkan oleh orang tua

akan membuat anak marah dan kesal kepada orang tuanya tetapi anak

tidak berani mengungkapkan kemarahannya itu dan melampiaskannya

kepada orang lain dalam bentuk perilaku agresif. Esensi hubungan

antara anggota keluarga sangat ditentukan oleh sikap orang tua dalam

mengasuh anak, bagaimana perasaan dan apa yang dilakukan orang

tua. Hal ini bercermin pada pola asuh orang tua, yakni suatu

kecenderungan cara‐cara yang dipilih dan dilakukan oleh orang tua

dalam mengasuh anak.

Pola asuh merupakan hal yang penting dalam proses

pembentukan kepribadian manusia, di dalam pola asuh tersebut

terdapat banyak pembelajaran bagi individu salah satunya bagaimana

individu berinteraksi dengan lingkungan, apabila pola asuh yang

diterapkan kurang baik, maka dimungkinkan remaja akan

memunculkan agresi sebagai manivestasi dari pola asuh yang didapat

tersebut. Variabel persepsi pola asuh otoriter dipilih berdasarkan

pendapat Bandura (1977) bahwa sebagian besar perilaku individu

diperoleh melalui hasil belajar observasional. Individu yang

menyaksikan dan memperoleh perlakuan kekerasan dari orang tua

tidak hanya mengimitasi perilaku kekerasan tersebut tetapi pada

kondisi ekstrimnya, anak dapat mengalami frustrasi yang dapat

menimbulkan terjadinya kenakalan remaja, tindak kriminal, tindak

kekerasan bahkan bunuh diri (Zainudin, 2002).

Dalam hal ini anak juga dapat meniru bagaimana orang tua

berprilaku di rumah, karena pendidikan pertama seorang anak adalah

keluarganya. Apabila orang tua memberi contoh yang baik, maka anak

akan cenderung meniru perbuatan baik tersebut, begitupula sebaliknya.

Hal ini pada dasarnya karena anak meniru pola asuh yang diterapkan

oleh orang tua. Orang tua yang cenderung menuntut tanpa memberi

kesempatan pada anak untuk menjelaskan, besar kemungkinan anak

akan merasa berat dalam menjalankan peraturan tersebut, karena anak

merasa kurang didengar oleh orang tua. Nantinya anak akan

melampiaskan apa yang dirasakannya kepada lingkungan sekitar

dalam bentuk agresivitas baik secara verbal maupun non verbal. Apa

yang dilakukan oleh orang tua kepada anak pada akhirnya dipersepsi

oleh anak sebagaimana yang anak lihat dalam kehidupan sehari-hari.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Anggaraningtyas (2012) remaja

yang mempersepsikan pola asuh orang tua dengan pola asuh yang

otoriter akan cenderung merasa tertekan, tidak bahagia, senang di luar

rumah, sehingga anak atau remaja dengan persepsi pola asuh otoriter

akan cenderung berprilaku agresi.

Dalam penelitian yang dilakukan oleh Rohali (2009) dikatakan

bahwa anak yang dibesarkan dengan persepsi pola asuh otoriter ini

dapat menderita gangguan kepribadian seperti antisocial personality

disorder bahkan borderline personality disorder. Anak APD

(antisocial personality disorder) dan BPD (borderline personality

disorder) ini cenderung impulsif dan berpikiran pendek tanpa

mempertimbangkan risiko dan mereka pun sulit mengontrol dirinya

sendiri, cemas bila harus melakukan pengambilan keputusan dan takut

bila sendiri. Mereka selalu membutuhkan orang lain sebagai

pendampingnya, mereka kurang memiliki tanggung jawab baik pada

keluarga, pekerjaan dan lingkungan sosial. Jadi dilihat dari berbagai

macam teori dan penjelasan di atas, persepsi pola asuh otoriter

(otoriter) memiliki dampak yang negatif dalam pembentukan

kepribadian anak (remaja), dalam hal ini anak dapat memiliki

kecenderungan agresi, kecemasan yang tinggi, kenakalan remaja,

bahkan yang lebih ekstrim lagi anak dapat mengalami gangguan

kepribadian.

Selaras dengan penjelasan di atas, menurut Barbara dan Krahe

(2005), perilaku agresi diteliti dengan mengacu pada dua prinsip

belajar yaitu pengondisian instrumental dan proses modelling. Berbeda

dengan pandangan tersebut, pandangan agresi adalah fitur bawaan dari

karakter manusia. Sampai pada tingkat yang cukup jauh perilaku

agresi dihasilkan oleh pola asuh (nature) yaitu diperoleh melalui

proses-proses belajar seperti kebanyakan bentuk perilaku sosial

lainnya. Jadi sudah sangat jelas bahwa perilaku agresi juga dihasilkan

oleh pola asuh orang tua, apabila orang tua menanamkan pola asuh

otoriter dalam keluarga, besar kemungkinan individu, anak atau

remaja akan mengaplikasikan hal yang serupa dalam kehidupan

sosialnya yang akhirnya hubungan sosial anak dengan lingkungannya

kurang baik atau cenderung bersosialisasi dengan cara negatif seperti

melakukan perilaku agresi baik secara verbal maupun non verbal.

E. Hubungan antara kompetensi interpersonal dengan agresivitas pada

remaja

Kesadaran akan pentingkan menjalin suatu hubungan dengan

orang lain belakangan ini semakin meningkat, hal tersebut dapat

terlihat dari banyaknya pelatihan-pelatihan yang berkaitan dengan

kecakapan berinteraksi dengan orang lain. Dipercaya bahwa salah satu

kunci keberhasilan hidup manusia adalah memiliki kompetensi

diberbagai bidang, salah satunya adalah kompetensi antar pribadi atau

kompetensi interpersonal. Berbagai kisah nyata menunjukkan bahwa

keberhasilan-keberhasilan dalam berbagai bidang dalam hidup salah

satunya bidang pekerjaan dipengaruhi kemampuan mengelola

hubungan baik dengan orang lain, dengan lingkungan ditempat kita

tinggal.

Salah satu kualitas hidup seseorang yang banyak menentukan

keberhasilan dalam hidup adalah kompetensi interpersonal yang

dimiliki individu. Kompetensi interpersonal menurut Spitzberg dan

Cupach (dalam Nashori, 2000) merupakan suatu kemampuan

melakukan hubungan interpersonal secara efektif, kemampuan ini

ditandai oleh adanya karakteristik-karakteristik psikologis tertentu

yang sangat mendukung dalam menciptakan dan membina hubungan

antar pribadi yang baik dan memuaskan. Menurut Parry (dalam

Nashori, 2005) kompetensi adalah kumpulan pengetahuan, keahlian

dan sikap mempengaruhi mayoritas peran dan tanggung jawab

seseorang dalam sesuatu performansi, dalam hal ini berkaitan dengan

hubungan interpersonal. Kompetensi ini dapat diukur dengan standart

yang diakui kemudian dapat ditingkatkan melalui pelatihan dan

pengembangan.

Buhrmester dkk (1988) menyatakan bahwa seseorang yang

kurang kompeten akan membawanya pada hubungan yang tidak

menyenangkan dengan orang lain dan pada akhirnya dapat

membuatnya menjadi kesepian. Karena ketidakmampuan ini membuat

kehidupan sosial seseorang menjadi terganggu, seperti enggan

berhubungan dengan orang lain, menarik diri dari pergaulan, dan

kurang percaya diri terhadap kemampuan yang dimiliki. Kompetensi

interpersonal adalah kumpulan dari pengetahuan, keahlian dan sikap

yang mempengaruhi seseorang dalam membentuk hubungan interaksi

sosial dan komunikasi yang efektif sehingga terjalin hubungan antar

pribadi yang memuaskan. Penjelasan tersebut selaras dengan hasil

penelitian Josef (2005) yang dilakukan kepada bidan desa. Dalam hal

ini bidan merupakan penyambung lidah kepada pasien untuk

menyampaikan pesan tentang kondisi pasien, pesan yang disampaikan

harus dapat dipahami dengan benar, oleh karena itu diharapkan para

bidan memiliki kemampuan atau kompetensi interpersonal yang baik

agar dapat menyampaikan pesan secara efektif kepada pasien dan

tercipta suasana hangat antara bidan dan pasien.

Hal ini juga sesuai dengan pendapat Rakhmat (1996) bahwa

kompetensi merupakan salah satu faktor terjalinnya hubungan yang

mendalam antar pribadi. Seseorang pada umumnya menyukai orang-

orang yang memiliki kemampuan lebih dari pada orang lain. karena

orang yang kompeten mampu memcaba situasi yang berlangsung di

sekitarnya dengan baik, memahami prilaku yang ditunjukkan orang

lain dalam berinteraksi, dan mampu menentukan prilaku yang tepat

tanpa merusak hubungan dengan orang lain.

Dalam hasil penelitian yang dilakukan Nashori (2000)

mengungkapkan bahwa pada saat ini tanpak orang-orang semakin sulit

untuk mendengarkan pembicaraan orang lain, orang lebih suka

berbicara, bila perlu dengan suara yang sekeras-kerasnya dan sepedas-

pedasnya, dan tidak suka mendengarkan pembicaraan orang lain.

Kadang ditemukan juga orang yang begitu mudah merespon stimulus

yang berupa saran, masukan, kritik yang sampai padanya secara reaktif

emosional. Masih menurut Nashori (2000) masyarakat saat ini bila

terlibat konflik dengan begitu mudah berbuat kasar dan kejam

terhadap orang lain, mudah tersulut dan berbuat sesuatu yang

destruktif, bila ada konflik mereka tidak berusaha segera

menyelesaikannya, tetapi malah justru melanjutkan ke pertengkaran

atau usaha saling menjatuhkan.

Hal di atas terjadi tidak hanya di lingkungan orang dewasa

saja, pada lingkungan remaja juga demikian, kekerasan sering terjadi

baik secara verbal maupun non verbal, di lingkungan masyarakat

hingga di lingkungan sekolah. kondisi tersebut berkaitan dengan

minimnya kompetensi interpersonal pada individu yang bersangkutan,

karena apabila individu tersebut memiliki kompetensi interpersonal

yang baik maka masalah-masalah yang berkaitan dengan interaksi

antar pribadi dapat dikontrol dengan baik, hubungan baik dengan

orang lain dapat diciptakan dengan cara memberikan dukungan

emosional apabila teman atau anggota keluarga mendapat kesusahan,

dapat bersikap asertif, memiliki kemampuan berinisiatif yang baik

dalam berinteraksi dengan lingkungan, serta mampu mengelola

konflik yang terjadi dengan baik pula (Buhrmester, 1988).

F. Hubungan antara persepsi pola asuh otoriter dan kompetensi

interpersonal dengan agresivitas pada siswa

Agresivitas yang marak terjadi di lingkungan sosial saat ini

tidak hanya dilakukan oleh orang dewasa saja, remaja juga menjadi

salah satu pelaku agresivitas yang saat ini banyak diberitakan di media

elektronik, baik media televisi, koran atau radio. Agresivitas terjadi

karena beberapa faktor, salah satunya adalah faktor lingkungan

keluarga dan faktor internal yang meliputi kompetensi interpersonal.

Di dalam keluarga anak mendapat perlakuan atau pola asuh dari orang

tua, jenis pola asuh tersebut dapat mempengaruhi sikap anak dalam

kehidupan sehari-hari. Dalam penelitian ini difokuskan pada jenis pola

asuh otoriter.

Pola asuh otoriter merupakan gaya pengasuhan yang

membatasi dan bersifat menghukum, yang menuntut anak untuk

mengikuti petunjuk orang tua tanpa disertai penjelasan dan

kesempatan pada anak untuk mengutarakan keinginannya. Orang tua

yang bersifat otoriter membuat batasan dan kendali yang tegas

terhadap anak-anaknya dan hanya melakukan sedikit komunikasi

verbal. Komunikasi dalam ini bersifat satu arah, yaitu bersumber

hanya dari orang tua. Sebagai contoh, seorang orang tuaotoriter dapat

mengatakan, “Kamu harus melakukan apa yang saya katakan. Tidak

ada tawar-menawar!. Pola asuh semacam ini banyak terjadi dalam

lingkup keluarga di masyarakat. Orang tua memberi perintah kepada

anak tanpa mendengarkan apa yang diinginkan oleh anak (Baumrind,

dalam Casmini, 2007). Pola asuh semacam otoriter selain menghambat

kesempatan anak mengutarakan pendapat dalam keluarga, orang tua

juga tidak memberikan penjelasan mengenai aturan yang diterapkan

dalam keluarga, hal semacam ini selain menghambat aktivitas anak

juga dapat mempengaruhi hubungan antara anggota keluarga serta

menamakan persepsi pola asuh yang kurang baik tentang pola asuh

yang diterapkan oleh orang tua.

Menurut Walgito (2003) persepsi merupakan

pengorganisasian, penginterpretasian terhadap stimulus yang

diinderanya sehingga merupakan sesuatu yang berarti, dan merupakan

respon yang integrated dalam diri individu. Karena persepsi

merupakan aktivitas yang integreted dalam diri individu, maka apa

yang ada di dalam diri individu akan ikut aktif dalam persepsi.

Berdasarkan hal tersebut, maka dalam persepsi dapat dikemukakan

karena perasaan, kemampuan berpikir, pengalaman-pengalaman

individu tidak sama, maka dalam mempersepsi suatu stimulus, hasil

persepsi mungkin akan berbeda antara individu satu dengan individu

lain, persepsi bersifat individual. (Dovidoff & Rogers, dalam Walgito

2003). Apa yang dipersepsikan anak tentang pola asuh yang

diterapkan dalam keluarga pada akhirnya akan mempengaruhi kondisi

hubungan antara anggota keluarga, antara orang tua dan anak atau

sesama saudara. Karena pola asuh otoriter merupakan gaya

pengasuhan yang terfokus pada orang tua tanpa memikirkan kondisi

anak, kedekatan antara anggota keluarga cenderung minim.

Barnes (dalam Widayanti dkk, 2003) dalam penelitiannya

menemukan bahwa tingginya sumber daya keluarga yang bersifat

praktis, seperti harapan orang tua, komunikasi verbal antara orang tua

dan anak, bantuan, perhatian, kedekatan orang tua serta kontrol yang

cukup mempunyai pengaruh yang besar untuk mencegah keterlibatan

remaja dalam melakukan perilaku menyimpang, dalam hal ini seperti

perilaku agresif, penggunaan narkoba atau kenakalan remaja lainnya.

Dalam hal ini hubungan dalam keluarga mempunyai peranan yang

besar dalam membina dan membentuk indentitas anak, bila anggota

keluarga dapat menjalankan peran dengan baik, maka akan terjadi

hubungan emosional yang baik dan berkualitas dalam keluarga dan

dalam interaksi anak dengan lingkungan sosialnya, begitu pula

sebaliknya, apabila anggota keluarga kurang dapat menjalankan peran

dengan baik, yang akan terjadi hubungan emosional yang kurang

berkualitas yang berdampak pula pada kompetensi interpersonal yang

kurang berkembang dengan baik.

Menurut Parry (dalam Nashori, 2005) kompetensi adalah

kumpulan pengetahuan, keahlian dan sikap mempengaruhi mayoritas

peran dan tanggung jawab seseorang dalam sesuatu performansi,

dalam hal ini berkaitan dengan hubungan interpersonal. Kompetensi

ini dapat diukur dengan standart yang diakui kemudian dapat

ditingkatkan melalui pelatihan dan pengembangan. Sedangkan

Buhrmester dkk (1988) menyatakan bahwa seseorang yang kurang

kompeten akan membawanya pada hubungan yang tidak

menyenangkan dengan orang lain dan pada akhirnya dapat

membuatnya menjadi kesepian. Karena ketidakmampuan ini membuat

kehidupan sosial seseorang menjadi terganggu, seperti enggan

berhubungan dengan orang lain, menarik diri dari pergaulan, dan

kurang percaya diri terhadap kemampuan yang dimiliki.

Hal ini sesuai dengan pendapat Rakhmat (1996) bahwa

kompetensi merupakan salah satu faktor terjalinnya hubungan secara

mendalam antar pribadi. Seseorang pada umumnya menyukai orang-

orang yang memiliki kemampuan yang lebih dari pada orang lain,

karena orang yang kompeten mampu membaca situasi yang

berlangsung di sekitar dengan baik, memahami prilaku yang

ditunjukkan orang lain dalam interaksi, dan mampu menentukan

prilaku yang tepat tanpa merusak hubungan dengan orang lain.

Masih menurut Rakhmat (1996) kompetensi interpersonal

adalah kumpulan dari pengetahuan, keahlian dan sikap yang

mempengaruhi seseorang dalam membentuk hubungan interaksi sosial

dan komunikasi yang efektif sehingga terjalin hubungan antar pribadi

yang memuaskan. Apabila hubungan dalam keluarga terganggu,

sangat dimungkinkan hubungan anak atau remaja dengan lingkungan

sosialnya juga terganggu, tidak dapat berinteraksi dengan baik, kurang

nyaman dalam pergaulan yang pada akhirnya dapat terjadi agresivitas

verbal atau non verbal. Hal tersebut selaras dengan hasil penelitian

yang dilakukan Nashori (2000) pada subjek penelitiannya, kompetensi

interpersonal mahasiswa dipengaruhi oleh lingkungan keluarga

maupun proses hidup yang dijalani seseorang dengan masyarakatnya,

dalam hal ini pola asuh atau perlakuan orang tua sangat erat kaitannya

dengan kondisi remaja.

Jadi apabila anak mempersepsikan pola asuh yang diterapkan

adalah pola asuh otoriter maka dimungkinkan anak akan merasa

bahwa segala hal dalam keluarga berpusat pada orang tua dan anak

tidak diberikan kesempatan untuk mengutarakan pendapat dalam

keluarga, hal tersebut yang dapat terjadi adalah kurangnya kehangatan

dalam keluarga, antara orang tua dan anak atau dengan sesama

saudara. Kekakuan tersebut berdampak pula pada komunikasi yang

kurang hangat sehingga anak merasa takut untuk menceritakan

keluhan-keluhannya pada orang tua. Sejatinya dalam keluarga

merupakan tempat belajar banyak hal, salah satunya belajar empati,

belajar bagaimana berinteraksi dengan lingkungan sekitar, belajar

berkomunikasi dengan baik dalam kehidupan sehari-hari dan lain-lain.

Apabila komunikasi dalam keluarga kurang hangat, akibatnya pada

kompetensi interpersonal yang kurang baik pada anak.

G. Landasan Teori

Dewasa ini, agresivitas sering terjadi dikalangan masyarakat,

pelakunya dari berbagai macam usia, termasuk pada usia remaja.

Agresivitas yang terjadi dapat disebabkan oleh beberapa faktor, salah

satunya adalah faktor lingkungan. Faktor lingkungan individu terdiri

dari lingkungan keluarga. Dalam hal ini, pola asuh dalam keluarga

sangat berpengaruh pada perkembangan kepribadian anak. Salah satu

jenis pola asuh yang sering diterapkan dalam keluarga dan menjadi

salah satu variabel penelitian ini adalah persepsi pola asuh otoriter.

persepsi pola asuh otoriter adalah bagaimana anak memandang atau

mengartikan pola asuh yang orang tua yang menerapkan pola asuh

otoriter. Pola asuh otoriter adalah pengasuhan yang menggunakan

komunikasi satu arah, membatasi individu, bersifat menghukum dan

menuntut anak mengikuti petunjuk orang tua tanpa disertai penjelasan

dan kesempatan pada anak untuk mengutarakan keinginannya.Ciri

pola asuh otoriter menurut Mahmud (2003) adalah: menuntut

kepatuhan yang tinggi pada anak, tidak boleh bertanya terhadap

tuntutan orang tua, orang tua banyak menghukum bila anak melanggar

aturan, orang tua tidak membicarakan permasalahan yang ada dengan

anak, sedikit sekali memberikan kesempatan kepada anak untuk

mengungkapkan perasaannya, tidak memberikan kesempatan kepada

anak (remaja) untuk mengatur dirinya.

Selain faktor persepsi pola asuh otoriter, peneliti juga

menggunakan salah satu dari faktor kepribadian yang mempengaruhi

agresivitas pada individu adalah faktor kompetensi interpersonal.

Kompetensi interpersonal merupakan kemampuan atau keahlian

seseorang dalam memperngaruhi atau membentuk hubungan sosial

dan komunikasi dalam mempengaruhi atau dalam membentuk

hubungan sosial dan komunikasi yang efektif sehingga terjalin

hubungan antar pribadi yang memuaskan dalam kehidupan sehari-hari.

Buhrmester dkk (1988) menyatakan bahwa seseorang yang

kurang kompeten akan membawanya pada hubungan yang tidak

menyenangkan dengan orang lain dan pada akhirnya dapat

membuatnya menjadi kesepian. Karena ketidakmampuan ini membuat

kehidupan sosial seseorang menjadi terganggu, seperti enggan

berhubungan dengan orang lain, menarik diri dari pergaulan, dan

kurang percaya diri terhadap kemampuan yang dimiliki. Kompetensi

interpersonal adalah kumpulan dari pengetahuan, keahlian dan sikap

yang mempengaruhi seseorang dalam membentuk hubungan interaksi

sosial dan komunikasi yang efektif sehingga terjalin hubungan antar

pribadi yang memuaskan. Ciri individu dengan kompetensi

interpersonal yang baik digambarkan pula oleh Buhrmester (1988)

yaitu memiliki kemampuan untuk berinisiatif, kemampuan untuk

bersikap asertif dengan orang lain, kemampuan untuk bersikap

terbuka, memberikan dukungan emosional serta memiliki kemampuan

untuk mengatasi konflik. Apabila remaja mampu memahami perilaku

orang lain dengan cara menerapkan sikap kemampuan berinisiatif,

kemampuan bersifat asertif, kemampuan bersifat terbuka, dapat

memberikan dukungan emosional kepada orang lain, serta kemampuan

untuk mengatasi konflik, maka dimungkinkan hubungan remaja

dengan lingkungan sekitar akan berlangsung baik, akan tetapi jika

kompetensi interpersonalnya rendah maka yang terjadi adalah

agresivitas dalam lingkungan sosial yang kerap terjadi di masyarakat

kita dan tidak sedikit pelakunya adalah remaja. Karena salah satu

kunci keberhasilan interaksi dalam kehidupan bermasyarakat baik

dalam bidang pekerjaan maupun bidang yang lainnya dipengaruhi

kemampuan mengelola hubungan antar pribadi dengan orang lain.

Berikut ini terdapat kerangka berpikir hubungan antara

persepsi pola asuh otoriter, kompetensi interpersonal dengan

agresivitas:

PERSEPSI POLA ASUH OTORITER

(XI)

1. Orangtua menuntut

kepatuhan yg tinggi

2. Tidak boleh bertanya

terhadap tuntutan orangtua

3. Orangtua tidak

¹ 1

3

2

Keterangan 1 : Ada korelasi positif antara persepsi pola asuh otoriter dan agresivitas

Keterangan 2 : Ada korelasi negatif antara kompetensi interpersonal dengan

agresivitas

Keterangan 3 : Ada korelasi antara persepsi pola asuh otoriter, kompetensi

interpersonal dengan agresivitas

KOMPETENSI

INTERPERSONAL

(X2)

1. Kemampuan berinisiatif

2. Kemampuan bersifat

asertif

3. Kemampuan bersifat

terbuka

4. Kemampuan memberikan

dukungan emosional

5. Kemampuan mengatasi

konflik

AGRESIVITAS

(Y)

1. Agresi fisik aktif

langsung

2. Agresi fisik aktif

tidak langsung

3. Agresi pasif langsung

4. Agresi fisik pasif

tidak langsung

5. Agresi verbal aktif

langsung

6. Agresi verbal aktif

tidak langsung

7. Agresi verbal pasif

tidak langsung

H. Hipotesis

Berdasarkan penjelasan teoritis dan hasil-hasil penelitian di

atas mengenai permasalahan dalam penelitian ini, maka dapat

digunakan hipotesis sebagai berikut

1. Ada hubungan positif antara persepsi pola asuh otoriter dan

agresivitas pada remaja. Semakin tinggi persepsi persepsi pola asuh

otoriter, maka semakin tinggi agresivitas pada remaja, begitu juga

sebaliknya semakin rendah persepsi pola asuh otoriter maka semakin

rendah pula agresivitas pada siswa.

2. Ada hubungan negatif antara kompetensi interpersonal

dengan agresivitas pada remaja. Semakin rendah tingkat kompetensi

interpersonalnya, maka semakin tinggi agresivitas pada remaja, begitu

juga sebaliknya semakin tinggi tingkat kompetensi interpersonal maka

semakin rendah agresivitas pada siswa.

3. Ada hubungan antara persepsi pola asuh otoriter, kompetensi

interpersonal dengan agresivitas pada remaja, semakin tinggi persepsi

pola asuh otoriter dan semakin rendah kompetensi interpersonal maka

semakin tinggi agresivitas pada remaja.