BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Agresivitaseprints.mercubuana-yogya.ac.id/1519/3/BAB II.pdf ·...
Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Agresivitaseprints.mercubuana-yogya.ac.id/1519/3/BAB II.pdf ·...
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Agresivitas
1. Pengertian Agresivitas
Istilah agresi berasal dari bahasa Inggris, yaitu agression yang
artinya agresivitas (Echols dan Shaldy, 2000). Menurut kamus lengkap
psikologi agresivitas diartikan sebagai perilaku menyerang orang lain
(Chaplin,2002). Berkowitz (1995) mengartikan agresivitas sebagai
perilaku memusuhi individu lain dengan bentuk pernyataan tegas,
pemaksaan diri, dan dominasi kekuasaan secara ektrim. Dengan
demikian agresivitas merupakan perilaku yang sengaja menyerang,
menyakiti, memaksa dan melanggar hak asasi individu lain.
Patterson dan Tadasehi (dalam Berkowitz, 1995) menjelaskan
bahwa agresivitas diklasifikasikan menjadi tiga macam, yaitu: a).
Agresivitas paksaan, perilaku agresi untuk mempengaruhi perilaku
individu lain yang menjadi objek atau sasaran, b). Agresivitas dengan
tujuan untuk menjaga diri, dengan mempertinggi kekuatan dan
dominasi penyerangan, dan c). Agresivitas untuk mempertahankan
citra diri. Menurut Atkinson, dkk (1999). Agresivitas merupakan
perilaku melukai individu secara verbal maupun non verbal. Baron dan
Byrne (2003) agresivitas merupakan impuls dasar untuk menyakiti
individu lain secara fisik maupun psikis. Baron & Byrne (2003)
mendefinisikan agresivitas sebagai perilaku melukai individu lain
dengan bentuk kekerasan secara fisik langsung maupun verbal tidak
langsung. Masih menurut Baron dan Byrne (2003), agresi muncul dari
berbagai kondisi eksternal yang membangkitkan motif untuk
menyakiti dan melukai orang lain.
Menurut Buss (dalam Barbara & Krahe, 2005) agresi sebagai
sebuah respon yang mengantarkan stimuli beracun kepada makhluk
hidup lain. Agar perilaku seseorang memenuhi kualifikasi agresi,
perilaku itu harus dilakukan dengan niat menimbulkan akibat negatif
terhadap targetnya dan sebaliknya menimbulkan harapan bahwa
tindakan tersebut akan menghasilkan sesuatu. Spesifikasi ini
mengesampingkan perilaku yang mengakibatkan sakit atau cedera
yang terjadi diluar kehendak, misalnya yang terjadi secara kebetulan,
atau kecerobohan, atau akibat ketidakcocokan. Sebaliknya, spesifikasi
ini memasukkan perilaku-perilaku yang dimaksudkan untuk menyakiti
orang lain dengan alasan-alasan tertentu (Barbara & Krahe, 2005).
Sears, dkk (1994) mendefinisikan agresivitas ke dalam tiga bentuk,
yaitu:
a. Agresivitas behavioristik, yaitu perilaku negatif atau menyakiti
individu lain yang mengakibatkan orang tersebut terluka atau
cedera.
b. Agresivitas anti sosial dan prososial, yaitu menyerang dan
melukai individu lain dengan maksud menolong korban,
contohnya polisi menembak teroris, tujuan polisi tersebut
menyelamatkan sandra dengan menembak teroris.
c. Agresivitas laten, yaitu perilaku menyerang secara tersembunyi
dan sulit diamati, misalnya individu merasa marah tetapi tidak
menampakkan penyerangan atau melukai individu lain.
Perilaku agresif yang lebih bersifat internal dari dalam diri
individu dan tidak dapat diamati secara langsung.
Jadi dari berbagai teori di atas, dapat disimpulkan bahwa
agresivitas sebagai perilaku menyerang individu lain dengan bentuk
kekerasan secara fisik maupun verbal baik langsung maupun tidak
langsung.
2. Bentuk-bentuk Agresivitas
Buss & Durkee (dalam Taganing, 2008) menggolongkan
beberapa bentuk tindakan agresif yang secara operasional dapat
digunakan untuk mengukur agresi, yaitu sebagai berikut:
a Agresi fisik aktif langsung: Perilaku agresi yang dilakukan secara
langsung oleh individu atau kelompok lainnya dan terjadi kontak
fisik secara langsung, seperti memukul, mendorong, menampar
dan lain-lain.
b Agresi fisik aktif tidak langsung: Tindakan agresi fisik yang
dilakukan oleh individu atau kelompok dengan cara tidak
berhadapan secara langsung terhadap individu atau kelompok
lainnya yang menjadi sasaran, seperti merusak harta benda,
membakar rumah, menyewa tukang pukul.
c Agresi pasif langsung: Tindakan agresi fisik yang dilakukan
individu atau kelompok dengan cara berhadapan dengan atau
kelompok yang menjadi sasaran, tetapi tidak terjadi kontak fisik,
seperti demonstrasi, aksi mogok makan.
d Agresi fisik pasif tidak langsung: Perilaku agresi yang dilakukan
dengan cara tidak berhadapan secara langsung dengan individu
atau kelompok yang menjadi sasaran dan tidak terjadi kontak fisik
secara langsung, seperti tidak peduli, apatis dan masa bodoh.
e Agresi verbal aktif langsung: Merupakan tindakan agresi verbal
yang dilakukan dengan cara berhadapan secara langsung dengan
individu atau kelompok yang menjadi sasaran agresi, contohnya
seperti berdebat, berteriak, menjerit, mengancam dan memaki
orang lain.
f Agresi verbal aktif tidak langsung: Merupakan tindakan agresi
verbal yang dilakukan dengan cara verbal aktif tidak langsung.
Tindakan ini dilakukan dengan cara tidak berhadapan secara tidak
langsung dengan individu atau kelompok yang menjadi sasaran
agresi. Seperti menyebar fitnah, mengadu domba.
g Agresi verbal pasif langsung: Suatu tindakan agresi verbal yang
dilakukan oleh individu atau kelompok dengan cara berhadapan
secara langsung dengan individu atau kelompok yang menjadi
sasaran agresi tetapi tidak terjadi bentuk verbal secara langsung.
Misalnya bungkam, menolak bicara.
h Agresi verbal pasif tidak langsung: Perilaku agresi yang dilakukan
dengan cara tidak berhadapan secara langsung dengan target
agresi dan tidak terjadi kontak verbal langsung. Misalnya tidak
memberi dukungan, tidak memberikan hal suara.
Bentuk-bentuk agresivitas menurut Buss & Durke (dalam
Taganing, 2008) adalah agresi visik aktif langsung, agresi fisik
aktif tidak langsung, agresi pasif langsung, agresi fisik pasif tidak
langsung, agresi verbal aktif langsung, agresi verbal aktif tidak
langsung, agresi verbal pasif langsung, agresi verbal pasif tidak
langsung.
Berikut ini terdapat tabel tentang jenis-jenis prilaku agresi
menurut Buss & Durke (Taganing, 2008):
Tabel 1.
Jenis-jenis perilaku agresi
Agresivitas
Agresi langsung Agresi tidak langsung
Aktif Pasif Aktif Pasif
Fisik Menusuk Demonstrasi diam Memasang ranjau Menolak melakukan tugas
Memukul Mogok Menyewa pembunuh Masa bodoh
Menembak Santet
Verbal Menghina Menolak berbicara Menyebar fitnah Tidak memberi dukungan
Memaki Menolak berbicara Mengadu domba
Bentuk agresivitas lain juga dijelaskan oleh Averiil (dalam Noor dan
Yulianti, 2005) yaitu: (1) Agresivitas langsung, seseorang langsung
mengekspresikan perilaku agresifnya kepada orang yang
menyebabkan agresifnya, misalnya dengan berkelahi, menyerang,
memukul, menghina, dan mencerca. (2) Agresivitas tidak langsung,
yaitu seseorang secara tidak langsung melakukan agresivitasnya,
misalnya dengan menghancurkan barang milik orang lain, menyuruh
orang lain melakukan pembalasan, dan secara verbal menyebarkan
gosip-gosip. (3) Agresivitas yang dialihkan (displaced aggression)
yaitu seseorang melakukan agresif, tetapi bukan terhadap orang yang
menyakitinya tetapi mengekspresikannya terhadap sasaran pengganti.
Ada dua macam agresivitas yang dialihkan yaitu; (a) Agresivitas
terhadap obyek bukan manusia, misalnya seseorang yang sangat
marah akan menyalurkan perasaan tersebut dengan merusak benda-
benda yang ada di sekitarnya; (b) Agresivitas terhadap seseorang,
karena adanya figur otoritas maka ia mencari seseorang yang memiliki
kemiripan dengan sasaran untuk melampiaskan kemarahannya,
misalnya terhadap adik, kakak, teman, maupun guru. Dari penjabaran
tersebut bentuk agresivitas adalah agresivitas langsung, agresivitas tak
langsung, agresivitas yang dialihkan, agresivitas yang dialihkan ini ada
dua jenis yang pertama pengalihan terhadap obyek bukan manusia,
yang kedua pengalihan terhadap manusia.
Berdasarkan penjabaran di atas, peneliti menggunakan teori Buss dan
Durke (Taganing, 2008) sebagai acuan dalam penelitian ini. Dari teori
tersebut dapat disimpulkan bahwa jenis-jenis perilaku agresi adalah:
agresi fisik aktif langsung, agresi fisik aktif tidak langsung, agresi fisik
pasif langsung, agresi fisik pasif tidak langsung, agresi verbal aktif
langsung, agresi verbal aktif tidak langsung, agresi verbal aktif tidak
langsung, agresi verbal pasif langsung, agresi verbal pasif tidak
langsung. Dipilihnya teori Buss dan Durke dalam penelitian ini
dikarenakan penjabaran bentuk-bentuk agresivitasnya lebih terperinci
sehingga diharapkan dapat mempermudah peneliti, pembaca atau
calon peneliti selanjutnya untuk memahami penelitian ini.
3. Faktor-faktor yang mempengaruhi agresivitas
Sarwono (Supano, 2012) membagi faktor-faktor yang
mencetuskan agresi yang berupa rangsangan atau pengaruh terhadap
agresivitas itu dapat datang dari luar diri sendiri (yaitu kondisi
lingkungan atau pengaruh kelompok) atau dapat juga berasal dari
dalam diri (pengaruh kondisi fisik dan kepribadian) yaitu.
a. Kondisi lingkungan:
1) Lingkungan keluarga: Selain itu, kondisi lingkungan dalam
keluarga juga mempengaruhi agresivitas. Menurut Koeswara
(Supano, 2012), perilaku agresi pada remaja berasal dari
lingkungan keluarga dengan status sosial ekonomi bawah
yang pada umumnya mereka mengalami kesulitan dalam
memenuhi kebutuhan hidup mereka. Mereka dapat bertindak
apa saja demi untuk memenuhi kebutuhan mereka seperti
kosmetik, untuk makan, atau untuk kegiatan senang-senang
lainnya yang semuanya tidak bisa mereka dapatkan dari
orang tua mereka, dikarenakan keterbatasan uang saku yang
mereka terima dari orang tua mereka. Orang–orang dari
kelas bawah yang dibesarkan dalam kemiskinan seringkali
berbicara kasar dengan aksen yang berat dan kosakata yang
terbatas.
Faktor pola pengasuhan keluarga memberikan kontribusi
terhadap perkembangan perilaku anak. Sejumlah
karakteristik keluarga seperti kekerasan domestik, pola asuh,
status sosial ekonomi, latar belakang pendidikan dan
kepribadian antisosial orang tua memberikan kontribusi
terhadap perkembangan perilaku anak termasuk perilaku
kekerasan. Orang tua sebagai pemegang posisi kunci dalam
keluarga memainkan peran besar dalam memunculkan
agresivitas pada anak (Grusec, dalam Argiati 2008).
Orang tua yang memilih hukuman fisik dan mental dalam
menerapkan disiplin pola asuh di rumah, mengindikasikan
kegagalan dalam pemecahan problem hubungan
interpersonal dan pengembangan perilaku non kekerasan
dalam keluarga (Stouthamer-Lober, 1984). Kurangnya
pengawasan orang tua, inkonsistensi disiplin, hukuman fisik
dan sikap menolak orang tua yang ditandai dengan sikap
kritis secara berlebihan, hukuman fisik dan kebencian
berpengaruh terhadap agresivitas dan kekerasan (Murray,
2000). Orang tua yang menerapkan persepsi pola asuh
otoriter dan lebih mengedepankan sistem kekerasan fisik
dan mental dalam keluarga, dimungkinkan memiliki
kemampuan komunikasi interpersonal yang kurang baik,
oleh karena itu penerapan pola asuh yang dilakukan di
dalam keluarga lebih bersifat satu arah dan lebih berfokus
pada orang tua.
Pendidikan disiplin yang otoriter dengan penerapan yang
keras terutama dilakukan dengan memberikan hukuman
fisik, dapat menimbulkan berbagai pengaruh yang buruk
bagi remaja (Sukadji, 1988). Pola asuh seperti ini membuat
anak semakin penakut, tidak ramah pada orang lain,
membenci orang yang memberi hukuman, kehilangan
spontanitas serta inisiatif dan pada akhirnya melampiaskan
amarahnya dalam bentuk agresi kepada orang lain.
hubungan dengan lingkungan sosial berorientasi pada
kekuasaan dan ketakutan. Pola asuh seperti itu dapat
menimbulkan pemberontakan, terutama apabila larangan-
larangannya yang bersangsi hukuman tidak diimbangi
dengan alternatif (cara) lain yang dapat memenuhi
kebutuhan yang mendasar, misalnya anak dilarang untuk
bermain di luar rumah, tetapi di dalam rumah anak tidak
diperhatikan oleh kedua orang tuanya karena kesibukan
masing-masing (Argiati, 2008). Dalam hal ini besar juga
kaitannya dengan hubungan antara anggota keluarga apabila
orang tua menunjukkan perilaku agresi dalam mengasuh
anak, besar kemungkinan anak akan belajar memodel dari
perilaku orang tuanya tersebut. Pola asuh orang tua yang
otoriter mengakibatkan hubungan interpersonal antara
keduanya (anak dan orang tua) menjadi kaku, kurang
kehangatan dan komunikasi di dalamnya, karena persepsi
pola asuh otoriter lebih berpusat pada orang tua tanpa
melihat kebutuhan dan keinginan anak. Perilaku anak akan
terlihat saat berinteraksi dalam kehidupan sosialnya, baik
dalam kehidupan keluarga maupun dengan teman
sebayanya.
Menurut Faturochman (2001) keluarga merupakan level
terkecil tempat manusia berinteraksi, keluarga dapat dilihat
sebagai hubungan interpersonal yang sederhana dalam
melakukan pertukaran (exchange) antara satu anggota
keluarga dengan lainnya, dengan kata lain keluarga
merupakan jaringan sosial terkecil untuk mengembangkan
jaringan sosial ke arah yang lebih luas (masyarakat). Dengan
demikian apabila di dalam keluarga proses interaksi
terbentuk dengan baik, maka hubungan seperti konflik tidak
akan tidak terpecahkan berlarut-larut yang pada akhirnya
menimbulkan perilaku yang tidak baik.
Berbagai upaya yang bisa dilakukan oleh orang tua untuk
merespon masalah yang dialami oleh remaja, antara lain
melalui program di sekolah, masyarakat keluarga dan
kelompok teman sebayanya. Dari berbagai upaya orang tua
tersebut, keluarga terutama pola asuh yang diterapkan sangat
penting dalam membentuk sikap remaja. Proses pola asuh
tersebut meliputi kedekatan antara anggota keluarga dan
tentang interaksi anak dalam kehidupan sehari-hari. Melalui
hubungan tersebut orang tua dapat mengarahkan anak
remaja bagaimana seharusnya remaja berinteraksi dengan
teman sebayanya.
2) Lingkungan masyarakat: Menurut Luth & Fernandez (dalam
Supano, 2012) menjelaskan, faktor yang utama dalam
menentukan kelas sosial diantaranya adalah jenis aktivitas
ekonomi, pendapatan, tingkat pendidikan, tipe rumah
tinggal, jabatan dalam organisasi, dan lain sebagainya.
Masing-masing kelas tersebut mempunyai nilai dan
pengakuan yang berbeda dalam pandangan masyarakat.
Menurut Sears, Freedman dan Peplau (dalam Supano, 2012)
pada seseorang dengan status sosial ekonomi atas perilaku
agresif yang ditampilkan akan dipikirkan terlebih dahulu
dampaknya, karena perilaku agresi tersebut dapat merusak
reputasi didalam masyarakat dikarenakan memiliki
kedudukan yang terhormat didalam masyarakat. Lubis
(2005) mengemukakan bahwa remaja pria merupakan sosok
yang bernalar, independen, perintis, ambisius, bijak, cerdas,
dan kuat. Sedangkan remaja wanita merupakan sosok yang
emosional, tidak bernalar, bergantung, pasif, lemah, dan
juga penakut. Jhon Whiting dan Pope (dalam Supano, 2012)
mengemukakan bahwa pria lebih agresif dibandingkan
wanita adalah realitas yang universal. Terlepas dari gejala
peningkatan dan sebab-sebabnya, agresi yang dilakukan
oleh wanita tetap berbeda dengan agresi yang dilakukan
pria, yakni taraf agresifitas serta intensitas dan frekuensi
tingkah laku agresif pada wanita lebih rendah dibanding
dengan pria.
Menurut Sarwono (dalam Supano, 2012) pengaruh
kelompok sosial masyarakat terhadap perilaku agresif,
antara lain adalah menurunkan hambatan darikendali moral.
Seseorang dapat ikut terpengaruh oleh kelompok dalam
melakukan agresi. Selain itu, perilaku agresif dapat
dipengaruhi pula oleh adanya perancuan tanggung jawab
(tidak merasa ikut bertanggung jawab karena dikerjakan
beramai-ramai), adanya desakan kelompok dan identitas
kelompok (kalau tidak ikut dianggap bukan anggota
kelompok), adanya deindividuasi (identitas sebagai individu
tidak dikenal), kondisi tersebut dapat berakibat pada
hubungan interpersonal antara remaja dan lingkungan
kelompoknya kurang baik sehingga berpotensi
menimbulkan agresivitas pada proses interaksinya.
c. Faktor pribadi dan kondisi fisik
Kondisi diri atau fisik juga mempengaruhi agresivitas. Banyaknya
kadar adrenalin dalam tubuh, misalnya meningkatkan rangsangan
dalam tubuh sehingga orang yang bersangkutan lebih siap dan lebih
cepat bereaksi. Berbagai keadaan arousal terlepas dari sumber dan
jenisnya memang dapat saling memperkuat perilaku agresif.
Menurut Sarwono (dalam, supano 2012) pada manusia, bukan
hanya sakit fisik yang dapat memicu agresi, melainkan juga sakit
hati (psikis). Selain itu, udara yang sangat panas juga lebih cepat
memicu kemarahan dan agresi. Demikian pula pada saat adanya
serangan cenderung memicu agresi karena pihak yang diserang
cenderung membalas. Rasa sesak (crowding) juga dapat memicu
agresi. Peningkatan agresivitas di daerah yang sesak, berhubungan
dengan penurunan perasaan akan kemampuan diri untuk
mengendalikan lingkungan sehingga terjadi frustrasi.
Menurut Spitzberg dan Cupach (Nashori, 2000) kemampuan atau
kompetensi interpersonal adalah kemampuan seorang individu
untuk melakukan komunikasi yang efektif, artinya adanya
kompetensi interpersonal akan menciptakan interaksi yang efektif
antara pemberi pesan dengan penerima pesan, selain itu adanya
kompetensi interpersonal akan menciptakan hubungan interpersonal
yang hangat dan menyenangkan. Dalam menjalin hubungan
interpersonal faktor yang dimaksud bukan manusia dalam bentuk
fisik, melainkan sifat-sifat, watak-watak dan tingkah laku pribadi.
Dari berbagai faktor penyebab agresivitas di atas, peneliti
memilih faktor persepsi pola asuh otoriter dan kemampuan atau
kompetensi interpersonal yang merupakan bagian dari faktor pribadi,
sebagai variabel independen. Faktor-faktor yang mempengaruhi
perilaku agresif sebagaimana dijelaskan di atas, tidak akan dikaji
secara menyeluruh. Dalam penelitian ini akan dibatasi pada persepsi
pola asuh otoriter orang tua dan kompetensi interpersonal. Hal ini
didasarkan pada permasalahan dan tujuan penelitian serta berbagai
keterbatasan penulis.
Pola asuh merupakan hal yang penting dalam proses
pembentukan kepribadian manusia, di dalam pola asuh tersebut
terdapat banyak pembelajaran bagi individu salah satunya bagaimana
individu berinteraksi dengan lingkungan, apabila pola asuh yang
diterapkan kurang baik, maka dimungkinkan remaja akan
memunculkan agresi sebagai manivestasi dari pola asuh yang didapat
tersebut. Variabel persepsi pola asuh otoriter dipilih berdasarkan
pendapat Bandura (1977) bahwa sebagian besar perilaku individu
diperoleh melalui hasil belajar observasional. Individu yang
menyaksikan dan memperoleh perlakuan kekerasan dari orang tua
tidak hanya mengimitasi perilaku kekerasan tersebut tetapi pada
kondisi ekstrimnya, anak dapat mengalami frustrasi yang dapat
menimbulkan terjadinya kenakalan remaja, tindak kriminal, tindak
kekerasan bahkan bunuh diri (Zainudin, 2002).
Serupa dengan pendapat Helmi dkk (1999) agresivitas dapat
diterangkan melalui pendekatan belajar, agresi merupakan tingkah
laku yang dipelajari dan melibatkan faktor-faktor eksternal (stimulus)
sebagai determinan pembentuk agresi tersebut. Dalam hal ini individu
dapat memilih siapa yang akan menjadi objek modelnya, proses
tersebut dinamakan imitasi. Proses imitasi atau modeling ini dapat
diaplikasikan pada semua jenis perilaku agresi, setiap individu
terutama anak-anak memiliki kecenderungan yang kuat untuk
berimitasi (modeling). Proses ini tidak dilakukan terhadap semua
orang tetapi terhadap figur-figur tertentu seperti orang-orang terkenal,
memiliki kekuasaan, sukses atau orang yang sering ditemui mereka.
Figur yang biasanya menjadi model tersebut biasanya menjadi model
tersebut biasanya adalah orang tua anak itu sendiri. Oleh sebab itu,
perilaku agresif anak-anak sangat tergantung pada cara orang tua
memperlakukan mereka dan diri mereka sendiri (Sears dalam Helmi
dkk, 1999).
Variabel kedua yang digunakan adalah faktor pribadi yaitu
kemampuan atau kompetensi interpersonal yang dimiliki individu.
Selain pola asuh di atas, salah satu faktor yang menyebabkan
agresivitas adalah faktor pribadi, seperti tempramen, kontrol diri,
keterampilan atau kemampuan individu yang memicu beberapa orang
tertentu melakukan agresivitas (Baron & Byrne, 2005).
Pada penelitian ini, peneliti menggunakan faktor pribadi
sebagai salah satu faktor yang mempengaruhi agresivitas, karena salah
satu bagian dari faktor pribadi adalah keterampilan atau kemampuan
individu dalam berinteraksi dengan orang lain. Dari penjelasan di atas,
dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi
agresivitas adalah faktor personal, faktor lingkungan, faktor ekonomi.
Selain itu pendapat lain juga menyebutkan bahwa faktor yang
mempengaruhi agresivitas adalah faktor lingkungan, sosial budaya,
pengaruh kelompok, jenis kelamin, urutan kelahiran, usia, pengalaman
prasekolah, jumlah saudara kandung, status sosial ekonomi orang tua
dan lingkungan fisik seperti iklim, cuaca, kepadatan penduduk dan
lain sebagainya.
Menurut Spitzberg dan Cupach (Nashori, 2000) kemampuan
atau kompetensi interpersonal adalah kemampuan seorang individu
untuk melakukan komunikasi yang efektif, artinya adanya kompetensi
interpersonal akan menciptakan interaksi yang efektif antara pemberi
pesan dengan penerima pesan, selain itu adanya kompetensi
interpersonal akan menciptakan hubungan interpersonal yang hangat
dan menyenangkan. Dalam menjalin hubungan interpersonal faktor
yang dimaksud bukan manusia dalam bentuk fisik, melainkan sifat-
sifat, watak-watak dan tingkah laku pribadi.
Kompetensi interpersonal ditandai oleh adanya karakteristik-
karakteristik psikologis tertentu yang sangat mendukung dalam
menciptakan dan membina hubungan antar pribadi yang baik dan
memuaskan, di dalamnya termasuk pengetahuan tentang konteks yang
ada dalam interaksi, pengetahuan tentang perilaku non verbal orang
lain, kemampuan untuk menyesuaikan komunikasi dengan konteks
interaksi tersebut, dan kemampuan-kemampuan lainnya (Nashori,
2000).
Kemampuan yang dapat mendukung terciptanya hubungan
yang baik dengan lingkungan adalah berupa kemampuan berinisiatif,
kemampuan bersikap terbuka, kemampuan bersikap asertif,
kemampuan memberikan dukungan emosional serta kemampuan
mengatasi konflik dalam kehidupan sehari-hari (Buhrmester et al.,
1988). Semakin tinggi tingkat kompetensi interpersonal yang dimiliki
seseorang maka semakin mudah baginya untuk membina hubungan
pribadi ataupun sosial dalam berbagai kegiatan bersama masyarakat,
hubungan saling percaya sangat penting untuk mengembangkan
hubungan yang erat dan bermanfaat (Goleman, dalam Josef 2005).
B. Persepsi pola asuh otoriter
1. Pengertian persepsi pola asuh otoriter
Shochib (2010) mengatakan bahwa penerapan pola asuh yang
kurang tepat dapat menimbulkan permasalahan yang justru sebaliknya
tidak diinginkan, bahkan dapat menimbulkan resiko anak akan
memiliki masalah dalam kehidupan sehari-hari, salah satunya
berkaitan dengan proses belajar. Pengasuhan tidak hanya sebatas
bagaimana orang tua memperlakukan anaknya dengan baik, akan
tetapi lebih kepada bagaimana orang tua mendidik, membimbing dan
mendisiplinkan serta melindungi anak dalam menuju proses
pendewasaan.
Menurut Baumrind (dalam Casmini, 2007) pengasuhan pada
prinsipnya merupakan Parental Control, sedangkan menurut Kohn
(dalam Casmini, 2007) dinyatakan bahwa pengasuhan merupakan cara
orang tua berinteraksi dengan anak yang meliputi, pemberian hadiah,
pemberian aturan, hukuman, pemberian perhatian, serta tanggapan atas
perilaku anak. Menurut Haditono (2008), peranan dan bantuan orang
tua kepada anak akan dapat tercermin dalam pengasuhan yang
diberikan kepada anaknya. Menurut Hurlock (dalam Casmini, 2007)
pola asuh adalah untuk mendidik anak agar dapat menyesuaikan diri
terhadap lingkungan sosialnya atau dapat diterima oleh masyarakat.
Pengasuhan orang tua berfungsi untuk memberikan kelekatan
(attachment) dan kasih sayang antara anak dengan orang tuanya atau
sebaliknya, adanya penerimaan dan runtutan dari orang tua dan
melihat bagaimana orang tua menetapkan disiplin. Pada akhirnya
menurut Cole (dalam Argiati, 2008), pola asuh yang kurang tepat
menghasilkan model remaja yang cenderung menyendiri, murung,
patuh, takut pada situasi baru dan mempunyai harga diri rendah. Pada
pola asuh otoriter ini, kemandirian dan perkembangan diri anak tidak
didukung dan dikembangkan, sebagai konsekuensinya anak merasa
frustrasi, kecewa, marah, serta menjadi tidak berkembang, tergantung
dan mempunyai rasa percaya diri yang rendah. Penerapan pola asuh
yang tidak tepat memiliki efek yang sangat besar, salah satunya
berkaitan dengan kecenderungan agresivitas. Orang tua ingin anak-
anak mereka tumbuh menjadi individu yang dewasa dengan
kepribadian yang matang, dan tak jarang mereka seringkali merasa
putus asa apabila anak-anak mereka tidak dapat memenuhi standar
keinginan mereka.
Pola asuh otoriter adalah pola asuh yang tinggi tuntutan serta
rendah dalam respon. Orang tua sangat menuntut, mengontrol, tidak
kompromi dan bahkan menghukum secara fisik. Orang tua dengan
pola asuh otoriter memberikan batasan yang keras, mengharapkan
kepatuhan penuh atas anaknya, jarang melakukan diskusi atas
permasalahan yang dihadapi anak, tidak memberikan penawaran untuk
berdialog serta tidak memberikan peluang untuk mengatur dirinya
sendiri (Baumrind, dalam Niolon 1991). Ditambahkan oleh Koesworo
(1988) bahwa orang tua menjadi serba benar, anak dipandang sebagai
objek dari perintah dan larangannya yang dituntut sepenuhnya patuh,
kurang memiliki kebebasan untuk memiliki alternatif atau mengajukan
inisiatif.
Pola asuh merupakan gaya pengasuhan yang membatasi dan
bersifat menghukum, yang menuntut anak untuk mengikuti petunjuk
orang tua tanpa disertai penjelasan dan kesempatan pada anak untuk
mengutarakan keinginannya. Orang tua yang bersifat otoriter membuat
batasan dan kendali yang tegas terhadap anak-anaknya dan hanya
melakukan sedikit komunikasi verbal. Komunikasi dalam ini bersifat
satu arah, yaitu bersumber hanya dari orang tua. Sebagai contoh,
seorang orang tuaotoriter dapat mengatakan, “Kamu harus melakukan
apa yang saya katakan. Tidak ada tawar-menawar!. Pola asuh
semacam ini banyak terjadi dalam lingkup keluarga di masyarakat.
Orang tua memberi perintah kepada anak tanpa mendengarkan apa
yang diinginkan oleh anak (Baumrind dalam Casmini, 2007).
Dalam hal ini berkaitan dengan persepsi anak tentang pola
asuh orang tua di rumah. Persepsi anak mengenai pola asuh otoriter
menjadi hal yang sangat berpengaruh bagi agresivitas remaja yang
terciptadi rumah yang kemudian dapat diekspresikan oleh remaja di
lingkungan sekitar. Persepsi pola asuh otoriter anak kepada orang tua
berkaitan dengan bagaimana anak memandang atau mengartikan pola
asuh yang diterapkan orang tua yang berkaitan dengan komunikasi
yang bersifat satu arah yaitu terpusat pada orang tua
(Anggaraningtyas, 2012).
Menurut Walgito (2003) persepsi merupakan
pengorganisasian, penginterpretasian terhadap stimulus yang
diinderanya sehingga merupakan sesuatu yang berarti, dan merupakan
respon yang integrated dalam diri individu. Karena persepsi
merupakan aktivitas yang integreted dalam diri individu, maka apa
yang ada di dalam diri individu akan ikut aktif dalam persepsi.
Berdasarkan hal tersebut, maka dalam persepsi dapat dikemukakan
karena perasaan, kemampuan berpikir, pengalaman-pengalaman
individu tidak sama, maka dalam mempersepsi suatu stimulus, hasil
persepsi mungkin akan berbeda antara individu satu dengan individu
lain, persepsi bersifat individual. (Dovidoff & Rogers, dalam Walgito
2003). Kemudian menurut Branca (dalam Walgito, 2003) dalam
penginderaan orang akan mengaitkan dengan stimulus, sedangkan
dalam persepsi orang akan mengaitkan dengan objek. Dengan persepsi
individuakan menyadari tentang keadaan di sekitarnya dan juga
keadaan diri sendiri (Davidoff, dalam Walgito 2003).
Jadi dari berbagai teori di atas, dapat disimpulkan bahwa
persepsi pola asuh otoriter adalah bagaimana anak memandang atau
mengartikan pola asuh orang tua yang menerapkan pola asuh otoriter.
Pola asuh otoriter adalah pengasuhan yang menggunakan komunikasi
satu arah, membatasi individu, bersifat menghukum dan menuntut
anak mengikuti petunjuk orang tua tanpa disertai penjelasan dan
kesempatan pada anak untuk mengutarakan keinginannya.
2. Ciri-ciri persepsi pola asuh otoriter
Persepsi pola asuh otoriter ini mengacu pada objek persepsi
yaitu pola asuh otoriter. Berikut ini ciri-ciri gaya pengasuhan otoriter
(Mahmud, 2003) sebagai berikut:
a. Menuntut kepatuhan yang tinggi. Dalam hal ini orang tua
menuntut kepatuhan yang tinggi pada remaja, agar remaja
mengikuti atau mematuhi semua peraturan yang diberikan oleh
orang tua dalam kehidupan sehari-hari, orang tua sangat kaku dan
memaksa. Anak-anak sudah dibentuk sejak kecil sehingga mereka
tidak mempunyai ruang untuk berdiskusi atau meminta keterangan.
Cara yang digunakan untuk memaksakan petunjuk - petunjuk
perilaku tersebut melalui cara-cara diktator, seringkali memakai
hukuman yang berlebihan atau keras dan di luar kemampuan si
anak untuk menjalankan hukuman tersebut. Keseluruhan tujuan
dari gaya ini adalah untukmelakukan kontrol anak dan bukannya
mengajari anak atau membantu anak untuk mengembangkan
otonominya.
b. Tidak boleh bertanya terhadap tuntutan orang tua. Anak tidak
boleh menanyakan mengapa orang tua memberikan tuntutan atau
aturan sedemikian rupa, yang orang tua mau adalah anaknya
mengikuti semua aturan yang telah ditetapkan, dengan alasan hal
tersebut demi kebaikan anak. Gaya pengasuhan ini mempersulit
perkembangan kedekatan antara orang tua dan anak. Kedekatan
yang sebenarnya didasari oleh saling menghormati dan satu
keyakinan pada diri orang tua bahwa anak mempunyai kapasitas
untuk belajar mengontrol dirinya dan membuat keputusan melalui
petunjuk-petunjuk perilaku dan kapasitas kognitif yang mereka
miliki.
c. Orang tua banyak menghukum apabila anak melakukan kesalahan.
Pada saat anak atau remaja melanggar peraturan, orang tua tidak
segan-segan memberi hukuman kepada anak. Orang tua tidak
memberikan kesempatan kepada anak untuk menjelaskan alasan
anak melakukan kesalahan.
d. Orang tua tidak membicarakan berbagai permsalahan dengan anak.
Dalam hal ini segala permasalahan yang terjadi tidak dibicarakan
dengan anak, orang tua tidak pernah meminta pendapat atau
masukan dari anak. Gaya pengasuhan ini tidak mengakui proses
individuasi pada anak dan pertumbuhan otonomi pada diri anak.
Kedekatan yang dapat berkembang dengan gaya pengasuhan
seperti ini adalah kedekatan semu karena kedekatan tersebut
muncul dari rasa takut anak untuk tidak menyenangkan orang tua
dari pada keinginan untuk tumbuh dan berkembang.
e. Orang tua sedikit sekali memberi kesempatan agar anak atau
remaja mengungkapkan perasaannya. Dalam hal ini orang tua tidak
memberikan kesempatan kepada anak untuk mengutarakan
keinginan, apa yang dirasakan, apa yang dia suka atau tidak suka.
Orang tua hanya memberikan peraturan yang alasannya untuk
kebaikan anak tanpa bertanya terlebih dahulu apakah anak cocok
dengan perlakuan orang tua.
f. Tidak memberikan kesempatan pada anak (remaja) untuk
mengatur dirinya. Pada aspek ini perilaku orang tua di tunjukkan
dengan mengontrol anaknya daripada mendukung anaknya agar
mereka mampu berfikir memecahkan masalah. Orang tua sering
melarang anaknya dan berperilaku negatif dan memberi hukuman.
Jadi orang tua lebih memberi perintah daripada menjelaskan untuk
melakukan sesuatu atau menyelesaikan masalah.
Persepsi pola asuh otoriter adalah bagaimana anak memandang
pola asuh yang diberikan oleh orang tua, dalam hal ini pola asuh yang
diterapkan adalah pola asuh otoriter. Dari beberapa ciri orang tua
dengan pola asuh yang otoriter, penulis menggunakan teori Mahmud
(2003) sebagai acuan dalam penelitian ini. Ciri pola asuh otoriter
menurut Mahmud (2003) adalah: menuntut kepatuhan yang tinggi
pada anak, tidak boleh bertanya terhadap tuntutan orang tua, orang tua
banyak menghukum bila anak melanggar aturan, orang tua tidak
membicarakan permasalahan yang ada dengan anak, sedikit sekali
memberikan kesempatan kepada anak untuk mengungkapkan
perasaannya, tidak memberikan kesempatan kepada anak (remaja)
untuk mengatur dirinya.
C. Kompetensi Interpersonal
1 Pengertian Kompetensi Interpersonal
Dalam kehidupan sehari-hari, manusia melakukan berbagai
macam jenis komunikasi seperti komunikasi intra pribadi, komunikasi
antar pribadi, komunikasi pribadi dengan kelompok, komunkasi
kelompok dengan kelompok dan komunikasi dengan media. Sebagian
besar komunikasi antar manusia dilakukan melalui komunikasi
interpersonal (Nashori, 2000). Menurut Larasati (dalam Nashori,
2002) sekitar 73 persen komunikasi yang dilakukan manusia
merupakan komunikasi interpersonal. Menurut Rahmat (2012) setiap
kita melakukan komunikasi, kita bukan hanya sekedar menyampaikan
isi pesan, kita juga menentukan kadar hubungan yang terjadi di
dalamnya. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa individu yang dapat
melakukan komunikasi interpersonal secara efektif disebut memiliki
kompetensi interpersonal (Nashori, 2000).
Kompetensi dari sudut pandang individual dapat diartikan
sebagai ciri-ciri pengetahuan, keterampilan dan kepribadian yang
diperlukan untuk mencapai performansi yang tinggi. Untuk
mendapatkan karakteristik yang dimaksud, dilakukanlah penggalian
dengan membandingkan orang-orang yang memiliki performansi
tinggi dengan yang performansinya rata-rata (Susanto, dalam Ismiati,
2002).
Menurut Spitzberg dan Cupach (Nashori, 2000) kompetensi
interpersonal adalah kemampuan seorang individu untuk melakukan
komunikasi yang efektif, artinya adanya kompetensi interpersonal
akan menciptakan interaksi yang efektif antara pemberi pesan dengan
penerima pesan, selain itu adanya kompetensi interpersonal akan
menciptakan hubungan interpersonal yang hangat dan menyenangkan.
Dalam menjalin hubungan interpersonal faktor yang dimaksud bukan
manusia dalam bentuk fisik, melainkan sifat-sifat, watak-watak dan
tingkah laku pribadi. Dalam kompetensi interpersonal ditandai oleh
adanya karakteristik-karakteristik psikologis tertentu yang sangat
mendukung dalam menciptakan dan membina hubungan antar pribadi
yang baik dan memuaskan. Di dalamnya termasuk pengetahuan
tentang konteks yang ada dalam interaksi, pengetahuan tentang prilaku
non verbal orang lain, kemampuan untuk menyesuaikan komunikasi
dengan konteks dari interaksi yang tengah berlangsung, menyesuaikan
dengan orang yang ada dalam interaksi tersebut, dan kemampuan-
kemampuan lainnya. Salah satu contohnya adalah perilaku menolong
orang lain di tempat umum, misalnya menolong menyebrangkan jalan,
menjenguk orang sakit dan lain sebagainya (Baron & Byrne, 2003).
Menurut Parry (dalam Nashori, 2005) kompetensi
interpersonal adalah kumpulan dari pengetahuan, keahlian dan sikap
yang mempengaruhi mayoritas peran atau tanggung jawab sesorang
dalam suatu performansi, dalam hal ini berkaitan dengan hubungan
interpersonal. Kompetensi ini dapat diukur dengan standart yang
diakui kemudian dapat ditingkatkan melaui pelatihan dan
pengembangan. Hal ini sesuai dengan pendapat Rakhmat (1996)
bahwa kompetensi merupakan salah satu faktor terjalinnya hubungan
secara mendalam antar pribadi. Seseorang pada umumnya menyukai
orang-orang yang memiliki kemampuan yang lebih dari pada orang
lain, karena orang yang kompeten mampu membaca situasi yang
berlangsung di sekitar dengan baik, memahami prilaku yang
ditunjukkan orang lain dalam interaksi, dan mampu menentukan
prilaku yang tepat tanpa merusak hubungan dengan orang lain.
Buhrmester dkk (1988) menyatakan bahwa seseorang yang
kurang kompeten akan membawanya pada hubungan yang tidak
menyenangkan dengan orang lain dan pada akhirnya dapat
membuatnya menjadi kesepian. Karena ketidakmampuan ini membuat
kehidupan sosial seseorang menjadi terganggu, seperti enggan
berhubungan dengan orang lain, menarik diri dari pergaulan, dan
kurang percaya diri terhadap kemampuan yang dimiliki. Kompetensi
interpersonal adalah kumpulan dari pengetahuan, keahlian dan sikap
yang mempengaruhi seseorang dalam membentuk hubungan interaksi
sosial dan komunikasi yang efektif sehingga terjalin hubungan antar
pribadi yang memuaskan. Kemudian menurut Jones (dalam Ismiati,
2002) mengatakan bahwa kompetensi dalam suatu konteks hubungan
social dapat diartikan sebagai kemampuan untuk memahami prilaku
orang lain dan kemampuan untuk memahami diri sendiri dalam
kaitannya dengan lingkungan sosial. Definisi lain mengenai
kompetensi yang berkaitan dengan lingkungan social dikemukakan
oleh Hurlock (dalam Ismiati, 2002) yang mengatakan bahwa
kompetensi social adalah suatu kemampuan atau kecakapan seseorang
untuk berhubungan dengan orang lain dan untuk terlibat dalam situasi-
situasi social. Sedangkan menurut Devito (2002) komunikasi
interpersonal berkaitan dengan berlangsungnya hubungan antara dua
orang secara mantap dan jelas, misalnya komunikasi yang terjadi
antara pramuniaga dan pelanggan, anak dan ayah, dua orang dalam
suatu wawancara dan sebagainya.
Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa kompetensi
interpersonal adalah kemampuan atau keahlian seseorang dalam
mempengaruhi atau dalam membentuk hubungan sosial dan
komunikasi yang efektif sehingga terjalin hubungan antar pribadi yang
memuaskan dalam kehidupan sehari-hari.
2 Aspek - aspek kompetensi interpersonal
Aspek-aspek kompetensi interpersonal menurut Buhrmaster,
dkk (1988), dalam penelitiannya menyatakan ada lima aspek yang
menentukan kompetensi interpersonal yaitu:
a. Kemampuan berinisiatif (Initiation)
Kemampuan berinisiatif merupakan kemampuan untuk memulai
suatu bentuk usaha untuk mencapai suatu tujuan. Inisiatif juga
sebagai usaha untuk memulai suatu bentuk interaksi dengan
individu lain atau dengan lingkungan sosial yang lebih luas.
Inisiatif digambarkan sebagai suatu bentuk usaha untuk mencari
informasi dan meneliti secara aktif terhadap lingkungannya.
Misalnya dengan menyapa terlebih dahulu, mengajak berbicara
atau melanjutkan pembicaraan dengan kenalan baru, berinteraksi
dengan tulus dan lain sebagainya.
b. Kemampuan bersifat asertif
Kemampuan bersifat asertif adalah kemampuan untuk
mengungkapkan perasaan-perasaannya secara jelas dan
mempertahankanhak-haknya secara tegas, kemampuan
mengekspresikan ketidaksetujuan terhadapa penilaian orang lain,
kemampuan mengatakan “tidak” terhadap permintaan yang
dianggap tidak rasional, meminta orang lain melakukan sesuatu
dan menolak hal yang tidak diinginkan tanpa melukai perasaan.
Misalnya saat kawan meminjam motor tanpa izin, seorang
individu menyampaikan pesan bahwa ia tidak menyukai apa yang
dilakukan oleh kawannya tersebut. Menurut Lange dan
Jakubowski (dalam Ismiati, 2002) kemampuan bersikap asertif
adalah kemampuan untuk menuntut hak pribadi dan menyatakan
pikiran, perasaan, dan keyakinan dengan cara langsung, jujur dan
tepat.
c. Kemampuan untuk bersifat terbuka (Self disclosure)
Kemampuan bersifat terbuka merupakan kemampuan untuk
membuka diri dan atau mengutarakan bagian dalam diri pada
orang lain, misalnya dengan mengungkapkan gagasan, pikiran dan
perasaan atau mengutarakan harapan-harapan, pertentangan atau
konflik serta kelemahan-kelemahan pada orang lain. Kemampuan
membuka diri sangat berguna agar perkenalan yang sudah
berlangsung dapat berkembang ke hubungan yang lebih pribadi
dan mendalam. Dengan adanya pembukaan diri ini terkadang
seseorang menurunkan pertahanan dirinya dan membiarkan orang
lain mengetahui dirinya secara lebih mendalam. Buhrmaster dkk
(1988) mengemukakan contoh prilaku yang menunjukkan
keterbukaan adalah seseorang yang mengungkapkan pada orang
lain bahwa ia menghargai dan menyayanginya, berani mengatakan
hal-hal yang membuat takut dan cemas, member kesempatan pada
orang yang baru dikenal untuk lebih mengenalnya dan mengetahui
cara memotivasi orang yang baru dikenal untuk lebih
mengenalnya.
d. Kemampuan untuk memberikan dukungan emosional (Emosional
support)
Kemampuan memberi dukungan emosional pada orang lain adalah
salah satu hal yang penting dalam proses memulai dan membina
hubungan interpersonal. Dukungan emosional yang dimaksud
sebagai ekspresi perasaan memperhatikan, perasaan iba, simpati
dan pernghargaan terhadap orang lain (Cohen dan Will dalam
Ismiati, 2002). Menurut Barker dan Lemie (dalam Nashori, 2000)
dukungan emosional mencakup kemampuan untuk menenangkan
dan memberi rasa nyaman kepada orang lain ketika orang tersebut
dalam keadaan tertekan dan bermasalah. Kemampuan ini lahir
karena adanya empati dari seorang individu.
e. Kemampuan untuk mengatasi konflik (Conflict management)
Kemampuan mengatasi konflik sangat diperlukan dalam membina
hubungan interpersonal. Konflik merupakaan keadaan pada saat
ketegangan meningkat antara dua orang individu atau lebih
disebabkan oleh adanya keinginan yang saling bertentangan antara
satu dengan yang lain. Konflik akan selalu adala dalam setiap
hubungan antara manusia yang disebabkan oleh berbagai masalah.
Menurut Johnson (dalam Nashori, 2000) konfik merupakan situasi
yang ditandai oleh adanya tindakan salah satu pihak yang
menghalangi, menghambat, dan mengganggu tindakan pihak lain.
kemampuan mengatasi konflik tersebut diperlukan agar tidak
merugikan suatu hubungan yang telah terjalin karena akan
memberikan dampak yang negatif. Kemampuan mengatasi konflik
ini meliputi sikap-sikap untuk menyusun suatu penyelesaian
masalah, mempertimbangkan kembali penilaian atas suatu
masalah dan mengembangkan konsep harga diri yang baru.
Selain aspek-aspek di atas menurut Prijosaksono (2002),
aspek hubungan interpersonal adalah:
1) Memahami karakter orang lain
Prijosaksono dan sambel (2002) mengemukakan bahwa karakter
berbeda dengan kepribadian. Karakter adalah diri seseorang yang
sebenarnya, sedangkan kepribadian sesuatu yang melengkapi pada
diri seseorang. Kepribadian dapat diubah, sedangkan karakter
tidak bisa dirubah. Setiap individu dilahirkan sudah memiliki ciri
khas dan karakter sendiri-sendiri. Jadi, memahami karakter orang
lain dan menyadari kekhasannya merupakan kunci untuk
memelihara hubungan interpersonal.
2) Menciptakan kehidupan positif
Menciptakan kehidupan positif sama halnya dengan postif
thinking. Individu ada dan berinteraksi dengan individu lain
senantiasa dituntut untuk selalu berfikir yang positif agar
sepanjang kehidupannya lebih baik. kondisi ini menjadikan
seseorang lebih percaya diri dan optimis. Dengan positif thinking
hidup seseorang akan lebih bermakna dan lebih baik.
3) Memahami kekuatan
Untuk membangun hubungan yang kokoh, seseorang harus dapat
memfokuskan diri pada kekuatan, baik kekuatan diri atau orang
lain. individu diharuskan mampu memahami apa yang menjadi
kekuatan dirinya dan kekuatan orang lain dalam berhubungan.
4) Mengembangkan komunikasi empati
Prijosaksono dan Sambel (2002) menyatakan komunikasi empati
adalah berusaha untuk mengerti terlebih dahulu, baru dimengerti.
Kebanyakan orang mendengarkan orang lain, tidak untuk mengerti
namun mendengar untuk menjawab.
5) Memberi pujian yang tepat
Seseorang senantiasa dituntut untuk selalu menjaga hubungan
dengan orang lain. salah satunya dengan memberikan pujian,
motivasi dan kata-kata positif. Pujian, motivasi dan kata-kata
positif yang diberikan ketika seseorang telah melakukan sesuatu
yang bersifat positif, apabila hal tersebut dilakukan dengan tulus
dan ikhlas maka sangat berarti bagi orang lain.
Aspek-aspek hubungan interpersonal dijelaskan pula oleh
Devito (1995), bahwa hubungan interpersonal meliputi lima
aspek, yaitu :
a) Keterbukaan
Merupakan penilaian terhadap kualitas keterbukaan dalam
hubungan interpersonal. Keterbukaan ini mencakup keinginan
untuk memberi informasi mengenai diri sendiri, adanya keinginan
untuk bereaksi sejujur-jujurnya terhadap pesan yang disampaikan
oleh orang lain dan tanggung jawab terhadap perasaan dan fikiran
yang dimiliki.
b) Empati
Merupakan kemampuan untuk merasakan dan mengalami apa
yang dirasakan orang lain.
c) Kepositifan
Kepostifan dalam hubungan interpersonal ini mencakup sikap
positif terhadap diri sendiri dan orang lain dalam situasi
komunikasi. Sikap positif akan membuat komunikasi lebih baik,
dapat diungkapkan melalui kalimat-kalimat yang diutarakan.
d) Kesamaan
Dalam kenyataan, tidak ada orang yang sama dengan orang lain
dalam segala hal. Namun dalam komunikasi akan lebih efektif bila
setiap usaha untuk memahami perbedaan tersebut agar tidak
terjadi konflik.
e) Dukungan
Merupakan cara untuk memberikan semangat pada orang lain.
dukungan dapat diberikan melalui kata-kata atau secara verbal
misalnya dengan gerakan mengedipkan mata, tersenyum atau
bertepuk tangan. Kesediaan untuk mendengarkan dan membuka
diri terhadap perbedaan pendapat perlu diperhatikan dalam aspek
ini.
Berdasarkan uraian beberapa aspek di atas, penelitian ini
menggunakan aspek dari Buhrmaster dkk, (1988). Hal ini
dilakukan aspek tersebut mewakili aspek-aspek yang
dikemukakan oleh ahli-ahli di atas, sehingga aspek dari
Buhrmaster dapat menggambarkan kompetensi interpersonal.
Adapun kelima aspek tersebut adalah kemampuan berinisiatif
(initiation), kemampuan mengatasi konflik (conflict management),
kemampuan memberikan dukungan emosional (emostional
support), kemampuan bersifat terbuka (self disclosure), dan
kemampuan untuk bersikap asertif.
D. Hubungan antara persepsi pola asuh otoriter dengan agresivitas pada
remaja
Keluarga menjadi tempat bagi anak belajar menjadi manusia
sosial. Dalam interaksi anak dengan orang tua tersebut anak belajar
bagaimana berinteraksi sebagai makhluk yang berbangsa. Apabila
hubungan dengan keluarga kurang baik, maka kemungkinan kurang
baik pula hubungan dengan lingkungan sekitarnya. Salah satu tanda
hubungan yang baik dalam keluarga adalah bahwa anak tidak segan-
segan menceritakan isi hatinya kepada orang tua atau anggota keluarga
lainnya bahkan tentang cita-cita masa depannya kepada orang tua
(Gerungan, 2002).
Masih menurut (Gerungan, 2002) lingkungan keluarga
merupakan unsur yang penting dalam perkembangan jiwa anak, dalam
keluarga anak-anak dapat melihat contoh yang diperankan oleh orang
tua, dalam hal ini anak akan memodel perilaku yang ditunjukkan oleh
orang tua di rumah. Hubungan antara anggota keluarga yang tidak
serasi akan mengakibatkan perkembangan anak tidak serasi pula.
Akibatnya adalah menipisnya rasa sosial dan kemanusiaan anak,
dengan demikian anak akan mengalami kesulitan dalam menyesuaikan
dengan lingkungan sekitar sehingga sering menimbukan perilaku-
perilaku negatif termasuk di dalamnya agresivitas dalam kehidupan
sehari-hari. Menurut Krahe (2005) disiplin orang tua yang keras
memiliki hubungan yang tinggi dengan agresivitas anak-anaknya,
antara lain karena anak-anak menganggap hukuman badan sebagai
bentuk tindakan mengatasi konflik yang dapat diterima. Pendapat
tersebut selaras dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Taganing
(2008) bahwasanya esensi hubungan antara orang tua dengan anak
sangat ditentukan oleh sikap orang tua dalam mengasuh anak,
bagaimana perasaan dan apa yang dilakukan oleh orang tua, hal ini
bercermin pada pola asuh orang tua yaitu suatu kecenderungan cara
yang dipilih orang tua dalam mengasuh anak. Masih dari hasil
penelitian Taganing (2008) orang tua yang terlalu keras serta tidak
responsif pada kebutuhan anak anak membuat anak cenderung
menjadi takut dan pemurung.
Penerapan pola asuh yang tidak tepat memiliki efek yang
sangat besar, salah satunya berkaitan dengan kecenderungan
agresivitas. Orang tua ingin anak-anaknya tumbuh menjadi individu
yang dewasa dengan kepribadian yang matang, dan tak jarang mereka
seringkali merasa putus asa apabila anak-anak mereka tidak dapat
memenuhi standar keinginan mereka. Saat membahas pola asuh orang
tua, banyak ditemukan para orang tua terlalu menggunakan kasih
sayang dalam kewenangan mereka (Taganing, 2008). Orang tua
menuntut anak-anaknya untuk patuh dan menjalankan aturan-aturan
yang diterapkan dengan pemikiran bahwa aturan-aturan tersebut untuk
kepentingan masa depan anak-anak atau lebih sering karena rasa
sayang orang tua terhadap anak-anaknya. Aturan-aturan yang
ditetapkan akan berfungsi dengan baik, apabila orang tua didalam
menerapkan suatu aturan juga disertai dengan penjelasan dan harapan-
harapan yang ingin dicapai. Sehingga anak akan memahami dan
menghargai serta mengetahui apa yang harus mereka lakukan
(Mahmud, 2003).
Orang tua adalah pemegang peranan sangat penting sebagai
ayah atau ibu bagi anak-anaknya, maka orang tua bertanggung jawab
atas kehidupan anaknya seperti memenuhi kebutuhan sehari-hari,
melindungi anak serta mengadakan pendidikan dasar (sosialisasi bagi
anak-anaknya). Menurut Faturochman (2001) keluarga merupakan
level terkecil tempat manusia berinteraksi, keluarga dapat dilihat
sebagai hubungan interpersonal yang sederhana dalam melakukan
pertukaran (exchange) antara satu anggota keluarga dengan lainnya,
dengan kata lain keluarga merupakan jaringan sosial terkecil untuk
mengembangkan jaringan sosial ke arah yang lebih luas (masyarakat).
Dengan demikian apabila di dalam keluarga proses interaksi terbentuk
dengan baik, maka hubungan interpersonal seperti konflik tidak akan
tidak terpecahkan berlarut-larut yang pada akhirnya menimbulkan
perilaku yang tidak baik.
Barnes (dalam Widayanti dkk, 2003) dalam penelitiannya
menemukan bahwa tingginya sumber daya keluarga yang bersifat
praktis, seperti harapan orang tua, komunikasi verbal antara orang tua
dan anak, bantuan, perhatian, kedekatan orang tua serta kontrol yang
cukup mempunyai pengaruh yang besar untuk mencegah keterlibatan
remaja dalam melakukan perilaku menyimpang, dalam hal ini seperti
perilaku agresif, penggunaan narkoba atau kenakalan remaja lainnya.
Dalam hal ini hubungan dalam keluarga mempunyai peranan yang
besar dalam membina dan membentuk indentitas anak, bila anggota
keluarga dapat menjalankan peran dengan baik, maka akan terjadi
hubungan emosional yang baik dan berkualitas dalam keluarga.
Menurut Sarwono (dalam Taganing, 2008) Orang tua yang
sering memberikan hukuman fisik pada anaknya dikarenakan
kegagalan memenuhi standar yang telah ditetapkan oleh orang tua
akan membuat anak marah dan kesal kepada orang tuanya tetapi anak
tidak berani mengungkapkan kemarahannya itu dan melampiaskannya
kepada orang lain dalam bentuk perilaku agresif. Esensi hubungan
antara anggota keluarga sangat ditentukan oleh sikap orang tua dalam
mengasuh anak, bagaimana perasaan dan apa yang dilakukan orang
tua. Hal ini bercermin pada pola asuh orang tua, yakni suatu
kecenderungan cara‐cara yang dipilih dan dilakukan oleh orang tua
dalam mengasuh anak.
Pola asuh merupakan hal yang penting dalam proses
pembentukan kepribadian manusia, di dalam pola asuh tersebut
terdapat banyak pembelajaran bagi individu salah satunya bagaimana
individu berinteraksi dengan lingkungan, apabila pola asuh yang
diterapkan kurang baik, maka dimungkinkan remaja akan
memunculkan agresi sebagai manivestasi dari pola asuh yang didapat
tersebut. Variabel persepsi pola asuh otoriter dipilih berdasarkan
pendapat Bandura (1977) bahwa sebagian besar perilaku individu
diperoleh melalui hasil belajar observasional. Individu yang
menyaksikan dan memperoleh perlakuan kekerasan dari orang tua
tidak hanya mengimitasi perilaku kekerasan tersebut tetapi pada
kondisi ekstrimnya, anak dapat mengalami frustrasi yang dapat
menimbulkan terjadinya kenakalan remaja, tindak kriminal, tindak
kekerasan bahkan bunuh diri (Zainudin, 2002).
Dalam hal ini anak juga dapat meniru bagaimana orang tua
berprilaku di rumah, karena pendidikan pertama seorang anak adalah
keluarganya. Apabila orang tua memberi contoh yang baik, maka anak
akan cenderung meniru perbuatan baik tersebut, begitupula sebaliknya.
Hal ini pada dasarnya karena anak meniru pola asuh yang diterapkan
oleh orang tua. Orang tua yang cenderung menuntut tanpa memberi
kesempatan pada anak untuk menjelaskan, besar kemungkinan anak
akan merasa berat dalam menjalankan peraturan tersebut, karena anak
merasa kurang didengar oleh orang tua. Nantinya anak akan
melampiaskan apa yang dirasakannya kepada lingkungan sekitar
dalam bentuk agresivitas baik secara verbal maupun non verbal. Apa
yang dilakukan oleh orang tua kepada anak pada akhirnya dipersepsi
oleh anak sebagaimana yang anak lihat dalam kehidupan sehari-hari.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Anggaraningtyas (2012) remaja
yang mempersepsikan pola asuh orang tua dengan pola asuh yang
otoriter akan cenderung merasa tertekan, tidak bahagia, senang di luar
rumah, sehingga anak atau remaja dengan persepsi pola asuh otoriter
akan cenderung berprilaku agresi.
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Rohali (2009) dikatakan
bahwa anak yang dibesarkan dengan persepsi pola asuh otoriter ini
dapat menderita gangguan kepribadian seperti antisocial personality
disorder bahkan borderline personality disorder. Anak APD
(antisocial personality disorder) dan BPD (borderline personality
disorder) ini cenderung impulsif dan berpikiran pendek tanpa
mempertimbangkan risiko dan mereka pun sulit mengontrol dirinya
sendiri, cemas bila harus melakukan pengambilan keputusan dan takut
bila sendiri. Mereka selalu membutuhkan orang lain sebagai
pendampingnya, mereka kurang memiliki tanggung jawab baik pada
keluarga, pekerjaan dan lingkungan sosial. Jadi dilihat dari berbagai
macam teori dan penjelasan di atas, persepsi pola asuh otoriter
(otoriter) memiliki dampak yang negatif dalam pembentukan
kepribadian anak (remaja), dalam hal ini anak dapat memiliki
kecenderungan agresi, kecemasan yang tinggi, kenakalan remaja,
bahkan yang lebih ekstrim lagi anak dapat mengalami gangguan
kepribadian.
Selaras dengan penjelasan di atas, menurut Barbara dan Krahe
(2005), perilaku agresi diteliti dengan mengacu pada dua prinsip
belajar yaitu pengondisian instrumental dan proses modelling. Berbeda
dengan pandangan tersebut, pandangan agresi adalah fitur bawaan dari
karakter manusia. Sampai pada tingkat yang cukup jauh perilaku
agresi dihasilkan oleh pola asuh (nature) yaitu diperoleh melalui
proses-proses belajar seperti kebanyakan bentuk perilaku sosial
lainnya. Jadi sudah sangat jelas bahwa perilaku agresi juga dihasilkan
oleh pola asuh orang tua, apabila orang tua menanamkan pola asuh
otoriter dalam keluarga, besar kemungkinan individu, anak atau
remaja akan mengaplikasikan hal yang serupa dalam kehidupan
sosialnya yang akhirnya hubungan sosial anak dengan lingkungannya
kurang baik atau cenderung bersosialisasi dengan cara negatif seperti
melakukan perilaku agresi baik secara verbal maupun non verbal.
E. Hubungan antara kompetensi interpersonal dengan agresivitas pada
remaja
Kesadaran akan pentingkan menjalin suatu hubungan dengan
orang lain belakangan ini semakin meningkat, hal tersebut dapat
terlihat dari banyaknya pelatihan-pelatihan yang berkaitan dengan
kecakapan berinteraksi dengan orang lain. Dipercaya bahwa salah satu
kunci keberhasilan hidup manusia adalah memiliki kompetensi
diberbagai bidang, salah satunya adalah kompetensi antar pribadi atau
kompetensi interpersonal. Berbagai kisah nyata menunjukkan bahwa
keberhasilan-keberhasilan dalam berbagai bidang dalam hidup salah
satunya bidang pekerjaan dipengaruhi kemampuan mengelola
hubungan baik dengan orang lain, dengan lingkungan ditempat kita
tinggal.
Salah satu kualitas hidup seseorang yang banyak menentukan
keberhasilan dalam hidup adalah kompetensi interpersonal yang
dimiliki individu. Kompetensi interpersonal menurut Spitzberg dan
Cupach (dalam Nashori, 2000) merupakan suatu kemampuan
melakukan hubungan interpersonal secara efektif, kemampuan ini
ditandai oleh adanya karakteristik-karakteristik psikologis tertentu
yang sangat mendukung dalam menciptakan dan membina hubungan
antar pribadi yang baik dan memuaskan. Menurut Parry (dalam
Nashori, 2005) kompetensi adalah kumpulan pengetahuan, keahlian
dan sikap mempengaruhi mayoritas peran dan tanggung jawab
seseorang dalam sesuatu performansi, dalam hal ini berkaitan dengan
hubungan interpersonal. Kompetensi ini dapat diukur dengan standart
yang diakui kemudian dapat ditingkatkan melalui pelatihan dan
pengembangan.
Buhrmester dkk (1988) menyatakan bahwa seseorang yang
kurang kompeten akan membawanya pada hubungan yang tidak
menyenangkan dengan orang lain dan pada akhirnya dapat
membuatnya menjadi kesepian. Karena ketidakmampuan ini membuat
kehidupan sosial seseorang menjadi terganggu, seperti enggan
berhubungan dengan orang lain, menarik diri dari pergaulan, dan
kurang percaya diri terhadap kemampuan yang dimiliki. Kompetensi
interpersonal adalah kumpulan dari pengetahuan, keahlian dan sikap
yang mempengaruhi seseorang dalam membentuk hubungan interaksi
sosial dan komunikasi yang efektif sehingga terjalin hubungan antar
pribadi yang memuaskan. Penjelasan tersebut selaras dengan hasil
penelitian Josef (2005) yang dilakukan kepada bidan desa. Dalam hal
ini bidan merupakan penyambung lidah kepada pasien untuk
menyampaikan pesan tentang kondisi pasien, pesan yang disampaikan
harus dapat dipahami dengan benar, oleh karena itu diharapkan para
bidan memiliki kemampuan atau kompetensi interpersonal yang baik
agar dapat menyampaikan pesan secara efektif kepada pasien dan
tercipta suasana hangat antara bidan dan pasien.
Hal ini juga sesuai dengan pendapat Rakhmat (1996) bahwa
kompetensi merupakan salah satu faktor terjalinnya hubungan yang
mendalam antar pribadi. Seseorang pada umumnya menyukai orang-
orang yang memiliki kemampuan lebih dari pada orang lain. karena
orang yang kompeten mampu memcaba situasi yang berlangsung di
sekitarnya dengan baik, memahami prilaku yang ditunjukkan orang
lain dalam berinteraksi, dan mampu menentukan prilaku yang tepat
tanpa merusak hubungan dengan orang lain.
Dalam hasil penelitian yang dilakukan Nashori (2000)
mengungkapkan bahwa pada saat ini tanpak orang-orang semakin sulit
untuk mendengarkan pembicaraan orang lain, orang lebih suka
berbicara, bila perlu dengan suara yang sekeras-kerasnya dan sepedas-
pedasnya, dan tidak suka mendengarkan pembicaraan orang lain.
Kadang ditemukan juga orang yang begitu mudah merespon stimulus
yang berupa saran, masukan, kritik yang sampai padanya secara reaktif
emosional. Masih menurut Nashori (2000) masyarakat saat ini bila
terlibat konflik dengan begitu mudah berbuat kasar dan kejam
terhadap orang lain, mudah tersulut dan berbuat sesuatu yang
destruktif, bila ada konflik mereka tidak berusaha segera
menyelesaikannya, tetapi malah justru melanjutkan ke pertengkaran
atau usaha saling menjatuhkan.
Hal di atas terjadi tidak hanya di lingkungan orang dewasa
saja, pada lingkungan remaja juga demikian, kekerasan sering terjadi
baik secara verbal maupun non verbal, di lingkungan masyarakat
hingga di lingkungan sekolah. kondisi tersebut berkaitan dengan
minimnya kompetensi interpersonal pada individu yang bersangkutan,
karena apabila individu tersebut memiliki kompetensi interpersonal
yang baik maka masalah-masalah yang berkaitan dengan interaksi
antar pribadi dapat dikontrol dengan baik, hubungan baik dengan
orang lain dapat diciptakan dengan cara memberikan dukungan
emosional apabila teman atau anggota keluarga mendapat kesusahan,
dapat bersikap asertif, memiliki kemampuan berinisiatif yang baik
dalam berinteraksi dengan lingkungan, serta mampu mengelola
konflik yang terjadi dengan baik pula (Buhrmester, 1988).
F. Hubungan antara persepsi pola asuh otoriter dan kompetensi
interpersonal dengan agresivitas pada siswa
Agresivitas yang marak terjadi di lingkungan sosial saat ini
tidak hanya dilakukan oleh orang dewasa saja, remaja juga menjadi
salah satu pelaku agresivitas yang saat ini banyak diberitakan di media
elektronik, baik media televisi, koran atau radio. Agresivitas terjadi
karena beberapa faktor, salah satunya adalah faktor lingkungan
keluarga dan faktor internal yang meliputi kompetensi interpersonal.
Di dalam keluarga anak mendapat perlakuan atau pola asuh dari orang
tua, jenis pola asuh tersebut dapat mempengaruhi sikap anak dalam
kehidupan sehari-hari. Dalam penelitian ini difokuskan pada jenis pola
asuh otoriter.
Pola asuh otoriter merupakan gaya pengasuhan yang
membatasi dan bersifat menghukum, yang menuntut anak untuk
mengikuti petunjuk orang tua tanpa disertai penjelasan dan
kesempatan pada anak untuk mengutarakan keinginannya. Orang tua
yang bersifat otoriter membuat batasan dan kendali yang tegas
terhadap anak-anaknya dan hanya melakukan sedikit komunikasi
verbal. Komunikasi dalam ini bersifat satu arah, yaitu bersumber
hanya dari orang tua. Sebagai contoh, seorang orang tuaotoriter dapat
mengatakan, “Kamu harus melakukan apa yang saya katakan. Tidak
ada tawar-menawar!. Pola asuh semacam ini banyak terjadi dalam
lingkup keluarga di masyarakat. Orang tua memberi perintah kepada
anak tanpa mendengarkan apa yang diinginkan oleh anak (Baumrind,
dalam Casmini, 2007). Pola asuh semacam otoriter selain menghambat
kesempatan anak mengutarakan pendapat dalam keluarga, orang tua
juga tidak memberikan penjelasan mengenai aturan yang diterapkan
dalam keluarga, hal semacam ini selain menghambat aktivitas anak
juga dapat mempengaruhi hubungan antara anggota keluarga serta
menamakan persepsi pola asuh yang kurang baik tentang pola asuh
yang diterapkan oleh orang tua.
Menurut Walgito (2003) persepsi merupakan
pengorganisasian, penginterpretasian terhadap stimulus yang
diinderanya sehingga merupakan sesuatu yang berarti, dan merupakan
respon yang integrated dalam diri individu. Karena persepsi
merupakan aktivitas yang integreted dalam diri individu, maka apa
yang ada di dalam diri individu akan ikut aktif dalam persepsi.
Berdasarkan hal tersebut, maka dalam persepsi dapat dikemukakan
karena perasaan, kemampuan berpikir, pengalaman-pengalaman
individu tidak sama, maka dalam mempersepsi suatu stimulus, hasil
persepsi mungkin akan berbeda antara individu satu dengan individu
lain, persepsi bersifat individual. (Dovidoff & Rogers, dalam Walgito
2003). Apa yang dipersepsikan anak tentang pola asuh yang
diterapkan dalam keluarga pada akhirnya akan mempengaruhi kondisi
hubungan antara anggota keluarga, antara orang tua dan anak atau
sesama saudara. Karena pola asuh otoriter merupakan gaya
pengasuhan yang terfokus pada orang tua tanpa memikirkan kondisi
anak, kedekatan antara anggota keluarga cenderung minim.
Barnes (dalam Widayanti dkk, 2003) dalam penelitiannya
menemukan bahwa tingginya sumber daya keluarga yang bersifat
praktis, seperti harapan orang tua, komunikasi verbal antara orang tua
dan anak, bantuan, perhatian, kedekatan orang tua serta kontrol yang
cukup mempunyai pengaruh yang besar untuk mencegah keterlibatan
remaja dalam melakukan perilaku menyimpang, dalam hal ini seperti
perilaku agresif, penggunaan narkoba atau kenakalan remaja lainnya.
Dalam hal ini hubungan dalam keluarga mempunyai peranan yang
besar dalam membina dan membentuk indentitas anak, bila anggota
keluarga dapat menjalankan peran dengan baik, maka akan terjadi
hubungan emosional yang baik dan berkualitas dalam keluarga dan
dalam interaksi anak dengan lingkungan sosialnya, begitu pula
sebaliknya, apabila anggota keluarga kurang dapat menjalankan peran
dengan baik, yang akan terjadi hubungan emosional yang kurang
berkualitas yang berdampak pula pada kompetensi interpersonal yang
kurang berkembang dengan baik.
Menurut Parry (dalam Nashori, 2005) kompetensi adalah
kumpulan pengetahuan, keahlian dan sikap mempengaruhi mayoritas
peran dan tanggung jawab seseorang dalam sesuatu performansi,
dalam hal ini berkaitan dengan hubungan interpersonal. Kompetensi
ini dapat diukur dengan standart yang diakui kemudian dapat
ditingkatkan melalui pelatihan dan pengembangan. Sedangkan
Buhrmester dkk (1988) menyatakan bahwa seseorang yang kurang
kompeten akan membawanya pada hubungan yang tidak
menyenangkan dengan orang lain dan pada akhirnya dapat
membuatnya menjadi kesepian. Karena ketidakmampuan ini membuat
kehidupan sosial seseorang menjadi terganggu, seperti enggan
berhubungan dengan orang lain, menarik diri dari pergaulan, dan
kurang percaya diri terhadap kemampuan yang dimiliki.
Hal ini sesuai dengan pendapat Rakhmat (1996) bahwa
kompetensi merupakan salah satu faktor terjalinnya hubungan secara
mendalam antar pribadi. Seseorang pada umumnya menyukai orang-
orang yang memiliki kemampuan yang lebih dari pada orang lain,
karena orang yang kompeten mampu membaca situasi yang
berlangsung di sekitar dengan baik, memahami prilaku yang
ditunjukkan orang lain dalam interaksi, dan mampu menentukan
prilaku yang tepat tanpa merusak hubungan dengan orang lain.
Masih menurut Rakhmat (1996) kompetensi interpersonal
adalah kumpulan dari pengetahuan, keahlian dan sikap yang
mempengaruhi seseorang dalam membentuk hubungan interaksi sosial
dan komunikasi yang efektif sehingga terjalin hubungan antar pribadi
yang memuaskan. Apabila hubungan dalam keluarga terganggu,
sangat dimungkinkan hubungan anak atau remaja dengan lingkungan
sosialnya juga terganggu, tidak dapat berinteraksi dengan baik, kurang
nyaman dalam pergaulan yang pada akhirnya dapat terjadi agresivitas
verbal atau non verbal. Hal tersebut selaras dengan hasil penelitian
yang dilakukan Nashori (2000) pada subjek penelitiannya, kompetensi
interpersonal mahasiswa dipengaruhi oleh lingkungan keluarga
maupun proses hidup yang dijalani seseorang dengan masyarakatnya,
dalam hal ini pola asuh atau perlakuan orang tua sangat erat kaitannya
dengan kondisi remaja.
Jadi apabila anak mempersepsikan pola asuh yang diterapkan
adalah pola asuh otoriter maka dimungkinkan anak akan merasa
bahwa segala hal dalam keluarga berpusat pada orang tua dan anak
tidak diberikan kesempatan untuk mengutarakan pendapat dalam
keluarga, hal tersebut yang dapat terjadi adalah kurangnya kehangatan
dalam keluarga, antara orang tua dan anak atau dengan sesama
saudara. Kekakuan tersebut berdampak pula pada komunikasi yang
kurang hangat sehingga anak merasa takut untuk menceritakan
keluhan-keluhannya pada orang tua. Sejatinya dalam keluarga
merupakan tempat belajar banyak hal, salah satunya belajar empati,
belajar bagaimana berinteraksi dengan lingkungan sekitar, belajar
berkomunikasi dengan baik dalam kehidupan sehari-hari dan lain-lain.
Apabila komunikasi dalam keluarga kurang hangat, akibatnya pada
kompetensi interpersonal yang kurang baik pada anak.
G. Landasan Teori
Dewasa ini, agresivitas sering terjadi dikalangan masyarakat,
pelakunya dari berbagai macam usia, termasuk pada usia remaja.
Agresivitas yang terjadi dapat disebabkan oleh beberapa faktor, salah
satunya adalah faktor lingkungan. Faktor lingkungan individu terdiri
dari lingkungan keluarga. Dalam hal ini, pola asuh dalam keluarga
sangat berpengaruh pada perkembangan kepribadian anak. Salah satu
jenis pola asuh yang sering diterapkan dalam keluarga dan menjadi
salah satu variabel penelitian ini adalah persepsi pola asuh otoriter.
persepsi pola asuh otoriter adalah bagaimana anak memandang atau
mengartikan pola asuh yang orang tua yang menerapkan pola asuh
otoriter. Pola asuh otoriter adalah pengasuhan yang menggunakan
komunikasi satu arah, membatasi individu, bersifat menghukum dan
menuntut anak mengikuti petunjuk orang tua tanpa disertai penjelasan
dan kesempatan pada anak untuk mengutarakan keinginannya.Ciri
pola asuh otoriter menurut Mahmud (2003) adalah: menuntut
kepatuhan yang tinggi pada anak, tidak boleh bertanya terhadap
tuntutan orang tua, orang tua banyak menghukum bila anak melanggar
aturan, orang tua tidak membicarakan permasalahan yang ada dengan
anak, sedikit sekali memberikan kesempatan kepada anak untuk
mengungkapkan perasaannya, tidak memberikan kesempatan kepada
anak (remaja) untuk mengatur dirinya.
Selain faktor persepsi pola asuh otoriter, peneliti juga
menggunakan salah satu dari faktor kepribadian yang mempengaruhi
agresivitas pada individu adalah faktor kompetensi interpersonal.
Kompetensi interpersonal merupakan kemampuan atau keahlian
seseorang dalam memperngaruhi atau membentuk hubungan sosial
dan komunikasi dalam mempengaruhi atau dalam membentuk
hubungan sosial dan komunikasi yang efektif sehingga terjalin
hubungan antar pribadi yang memuaskan dalam kehidupan sehari-hari.
Buhrmester dkk (1988) menyatakan bahwa seseorang yang
kurang kompeten akan membawanya pada hubungan yang tidak
menyenangkan dengan orang lain dan pada akhirnya dapat
membuatnya menjadi kesepian. Karena ketidakmampuan ini membuat
kehidupan sosial seseorang menjadi terganggu, seperti enggan
berhubungan dengan orang lain, menarik diri dari pergaulan, dan
kurang percaya diri terhadap kemampuan yang dimiliki. Kompetensi
interpersonal adalah kumpulan dari pengetahuan, keahlian dan sikap
yang mempengaruhi seseorang dalam membentuk hubungan interaksi
sosial dan komunikasi yang efektif sehingga terjalin hubungan antar
pribadi yang memuaskan. Ciri individu dengan kompetensi
interpersonal yang baik digambarkan pula oleh Buhrmester (1988)
yaitu memiliki kemampuan untuk berinisiatif, kemampuan untuk
bersikap asertif dengan orang lain, kemampuan untuk bersikap
terbuka, memberikan dukungan emosional serta memiliki kemampuan
untuk mengatasi konflik. Apabila remaja mampu memahami perilaku
orang lain dengan cara menerapkan sikap kemampuan berinisiatif,
kemampuan bersifat asertif, kemampuan bersifat terbuka, dapat
memberikan dukungan emosional kepada orang lain, serta kemampuan
untuk mengatasi konflik, maka dimungkinkan hubungan remaja
dengan lingkungan sekitar akan berlangsung baik, akan tetapi jika
kompetensi interpersonalnya rendah maka yang terjadi adalah
agresivitas dalam lingkungan sosial yang kerap terjadi di masyarakat
kita dan tidak sedikit pelakunya adalah remaja. Karena salah satu
kunci keberhasilan interaksi dalam kehidupan bermasyarakat baik
dalam bidang pekerjaan maupun bidang yang lainnya dipengaruhi
kemampuan mengelola hubungan antar pribadi dengan orang lain.
Berikut ini terdapat kerangka berpikir hubungan antara
persepsi pola asuh otoriter, kompetensi interpersonal dengan
agresivitas:
PERSEPSI POLA ASUH OTORITER
(XI)
1. Orangtua menuntut
kepatuhan yg tinggi
2. Tidak boleh bertanya
terhadap tuntutan orangtua
3. Orangtua tidak
¹ 1
3
2
Keterangan 1 : Ada korelasi positif antara persepsi pola asuh otoriter dan agresivitas
Keterangan 2 : Ada korelasi negatif antara kompetensi interpersonal dengan
agresivitas
Keterangan 3 : Ada korelasi antara persepsi pola asuh otoriter, kompetensi
interpersonal dengan agresivitas
KOMPETENSI
INTERPERSONAL
(X2)
1. Kemampuan berinisiatif
2. Kemampuan bersifat
asertif
3. Kemampuan bersifat
terbuka
4. Kemampuan memberikan
dukungan emosional
5. Kemampuan mengatasi
konflik
AGRESIVITAS
(Y)
1. Agresi fisik aktif
langsung
2. Agresi fisik aktif
tidak langsung
3. Agresi pasif langsung
4. Agresi fisik pasif
tidak langsung
5. Agresi verbal aktif
langsung
6. Agresi verbal aktif
tidak langsung
7. Agresi verbal pasif
tidak langsung
H. Hipotesis
Berdasarkan penjelasan teoritis dan hasil-hasil penelitian di
atas mengenai permasalahan dalam penelitian ini, maka dapat
digunakan hipotesis sebagai berikut
1. Ada hubungan positif antara persepsi pola asuh otoriter dan
agresivitas pada remaja. Semakin tinggi persepsi persepsi pola asuh
otoriter, maka semakin tinggi agresivitas pada remaja, begitu juga
sebaliknya semakin rendah persepsi pola asuh otoriter maka semakin
rendah pula agresivitas pada siswa.
2. Ada hubungan negatif antara kompetensi interpersonal
dengan agresivitas pada remaja. Semakin rendah tingkat kompetensi
interpersonalnya, maka semakin tinggi agresivitas pada remaja, begitu
juga sebaliknya semakin tinggi tingkat kompetensi interpersonal maka
semakin rendah agresivitas pada siswa.
3. Ada hubungan antara persepsi pola asuh otoriter, kompetensi
interpersonal dengan agresivitas pada remaja, semakin tinggi persepsi
pola asuh otoriter dan semakin rendah kompetensi interpersonal maka
semakin tinggi agresivitas pada remaja.