BAB II TINJAUAN PUSTAKA A.repository.poltekkes-tjk.ac.id/508/4/BAB II.pdf · 2019. 12. 5. ·...
Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKA A.repository.poltekkes-tjk.ac.id/508/4/BAB II.pdf · 2019. 12. 5. ·...
8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Agent
Agent adalah sesuatu yang disebabkan oleh berbagai unsur seperti unsur
biologis yang dikarenakan oleh mikro organisme (virus, bakteri, jamur,
parasit, protzoa, metazoa dll), unsur nutrisi karena bahan makanan yang tidak
memenuhi standar gizi yang ditentukan, unsur kimiawi yang disebabkan
karena bahan dari luar tubuh maupun dari dalam tubuh sendiri (karbon
monoksid, obat obatan, arsen pestisida dll), unsur fisika yang disebabkan
pelh panas, benturan dll, serta unsur psikis atau genetik yang terkait dengan
herditer atau keturunan. Demikian juga dengan unsur kebiasaan hidup (rokok,
alcohol dll), perubahan hormonal dan unsur fisioigis seperti kehamilan,
persalinan dll. (Budiarto, 2003).
B. Jenis – Jenis Cacing
1. Cacing Gelang (Ascaris lumbricoides)
a. Morfologi dan Siklus Hidup
Gambar 2.1 Siklus Hidup Cacing Gelang
9
. Di tanah yang sesuai, telur yang dibuahi tumbuh menjadi bentuk
infektif dalam waktu kurang lebih tiga minggu. Bila telur infektif tertelan,
telur akan menetas menjadi larva di usus halus. Selanjutnya larva
menembus dinding usus halus menuju pembuluh darah atau saluran limfe,
lalu terbawa aliran darah ke jantung dan paru. Di paru, larva menembus
dinding pembuluh darah, lalu dinding alveolus, masuk rongga alveolus,
kemudian naik ke trakea melalui bronkiolus dan bronkus. Dari trakea larva
menuju ke faring dan menimbulkan rangsangan di faring sehingga
penderita batuk dan larva tertelan ke dalam esofagus, lalu ke usus halus. Di
usus halus larva berubah menjadi cacing dewasa. Sejak telur infektif
tertelan sampai cacing dewasa bertelur diperlukan waktu kurang lebih 2-3
bulan (Depkes RI, 2017:23). A. lumbricoides merupakan jenis cacing
terbanyak yang menyebabkan infeksi pada manusia. Angka kejadian
infeksi A.lumbricoides ini cukup tinggi di negara berkembang seperti
Indonesia dibandingkan dengan negara maju (Rampengan,2015).
Tingginya angka kejadian Ascariasis ini terutama disebabkan oleh karena
banyaknya telur disertai dengan daya tahan larva cacing pada keadaan
tanah kondusif. Parasit ini lebih banyak ditemukan pada tanah liat dengan
kelembaban tinggi dan suhu 25°- 30°C sehingga sangat baik untuk
menunjang perkembangan telur cacing A.lumbricoides tersebut (Sutanto
dkk, 2014).
10
b. Gejala Klinis
1. Fase migrasi larva
Pada fase migrasi, larva dapat mencetus timbulnya reaksi pada
jaringan yang dilaluinya. Di paru, antigen larva menimbulkan
respons inflamasi berupa infiltrat yang tampak pada foto toraks dan
akan menghilang dalam waktu tiga minggu. Terdapat gejala
pneumonia atau radang paru seperti mengi, dispnea, batuk kering,
demam dan pada infeksi berat dapat timbul dahak yang disertai
darah. Pneumonia yang disertai eosinofilia dan peningkatan IgE
disebut sindrom Loeffler. Larva yang mati di hati dapat
menimbulkan granuloma eosinofilia. (Depkes RI, 2017)
2. Fase intestinal
Cacing dewasa yang hidup di saluran intestinal jarang
menimbulkan gejala klinis. Jika terdapat gejala klinis biasanya tidak
khas yaitu mual, nafsu makan berkurang, diare atau konstipasi, lesu,
tidak bergairah, dan kurang konsentrasi. Cacing Ascaris dapat
menyebabkan intoleransi laktosa, malabsorsi vitamin A dan
mikronutrisi. Pada anak infeksi kronis dapat menyebabkan
kegagalan pertumbuhan akibat dari penurunan nafsu makan,
terganggunya proses pencernaan dan malabsorbsi.
Efek yang serius terjadi bila cacing menggumpal dalam usus
sehingga terjadi obstruksi usus (ileus).Selain itu cacing dewasa dapat
masuk ke lumen usus buntu dan dapat menimbulkan apendisitis
(radang usus buntu) akut atau gangren. Jika cacing dewasa masuk
11
dan menyumbat saluran empedu dapat terjadi kolik, kolesistitis
(radang kantong empedu), kolangitis (radang saluran empedu),
pangkreatitis dan abses hati. Selain ke bermigrasi ke organ, cacing
dewasa juga dapat bermigrasi keluar melalui anus, mulut atau
hidung. Migrasi cacing dewasa dapat terjadi karena rangsangan
seperti demam tinggi atau obat-obatan. (Depkes RI, 2017).
c. . Diagnosis
Diagnosis dilakukan dengan menemukan telur A.lumbricoides
pada sediaan basah tinja langsung. Penghitungan telur per gram tinja
dengan teknik katokatz dipakai sebagai pedoman untuk menentukan
Infeksi berat ringannya infeksi. Selain itu diagnosis dapat dibuat bila
cacing dewasa keluar sendiri melalui mulut, hidung atau anus.
(Depkes RI, 2017).
d. Pengobatan
Albendazol dan mebendazol merupakan obat pilihan untuk
askariasis. Dosis albendazol untuk dewasa dan anak usia lebih dari 2
tahun adalah 400 mg per oral. WHO merekomendasikan dosis 200 mg
untuk anak usia 12 –24 bulan. Dosis mebendazol untuk dewasadan
anak usia lebih dari 2 tahun yaitu 500 mg. Albendazol dan mebendazol
diberikan dosis tunggal. Pirantel pamoat dapat digunakan untuk
ascariasis dengan dosis 10–11 mg/kg BB per oral, dosis maksimum 1
gram.
Tindakan operatif diperlukan pada keadaan gawat darurat akibat
cacing dewasa menyumbat saluran empedu dan apendiks. Pengobatan
12
askariasis harus disertai dengan perubahan perilaku hidup bersih sehat
dan perbaikan sanitasi (Depkes RI, 2017).
2. Cacing Cambuk (Trichuris trichiura)
a. Morfologi dan siklus hidup
Gambar 2.2 Siklus Hidup Cacing Cambuk
Telur yang dibuahi dikeluarkan dari hospes bersama tinja. Telur
tersebut menjadi matang dalam waktu 3 sampai 6 minggu dalam
lingkungan yang sesuai, yaitu di tanah yang lembab dan teduh
dengan suhu 30o C. Telur matang ialah telur yang berisi larva dan
merupakan bentuk infektif. Bila telur matang tertelan, larva akan
keluar melalui dinding telur dan masuk ke dalam usus halus.
Sesudah menjadi dewasa cacing akan turun ke usus bagian distal dan
masuk ke daerah kolon,terutama sekum. Cacing dewasa hidup di
kolon asendens dan sekumdengan bagian anteriornya yang seperti
cambuk masuk ke dalammukosa usus. T. Trichiura tidak mempunyai
siklus paru. Masa pertumbuhan mulai dari telur tertelan sampai
cacing dewasa betina bertelur ±30 -90 hari (Depkes RI, 2017:25).
13
Cacing betina panjangnya ± 5 cm, sedangkan cacing jantan ± 4cm.
Bagian anterior langsing seperti cambuk, panjangnya ± 3/5 dari panjang
seluruh tubuh. Bagian posterior bentuknya lebih gemuk; pada cacing
betina bulat tumpul sedangkan pada cacing jantanmelingkar dan terdapat
satu spikulum. Seekor cacing betina diperkirakan menghasilkan telur setiap
hari sebanyak 3.000 -10.000 butir.
b. Patofisiologi dan gejala klinis
T. trichiura menyebabkan penyakit yang disebut trikuriasis.
Trikuriasis ringan biasanya tidak memberikan gejala klinis yang
jelas atau sama sekali tanpa gejala. Pada infeksi berat terutama pada
anak, cacing tersebar di seluruh kolon dan rektum sehingga dapat
menimbulkan prolapsus rekti (keluarnya dinding rektum dari anus)
akibat Penderita mengejan dengan kuat dan sering timbul pada
waktu defekasi. Selain itu Penderita dapat mengalami diare yang
diselingi sindrom disentri atau kolitis kronis, sehingga berat badan
turun.Bagian anterior cacing yang masuk ke dalam mukosa usus
menyebabkan trauma yang menimbulkan peradangan dan
perdarahan. T. trichiura juga mengisap darah hospes, sehingga
mengakibatkan anemia. (Depkes RI, 2017).
c. Diagnosis
Diagnosis trikuriasis ditegakkan dengan menemukan telur pada
sediaan basah tinja langsung atau menemukan cacing dewasa pada
pemeriksaan kolonoskopi. Telur T. trichiura memilki karakteristik
seperti tempayan dengan semacam penonjolan yang jernih di kedua
kutub sehingga mudah untuk diidentifikasi. Penghitungan telur per
14
gram tinja dengan teknik katokatz dipakai sebagai pedoman untuk
menentukan berat ringannya infeksi (Depkes RI, 2017).
d. Pengobatan
Obat untuk trikuriasis adalah albendazol 400 mg selama 3 hari
ataumebendazol 100mg 2x sehari selama 3 hari berturut-turut.
(Depkes RI, 2017).
3. Cacing Tambang (Ancylostoma duodenale dan Necator americanus)
a. Morfologi dan Siklus Hidup
Gambar 2.3 Siklus Hidup Cacing Tambang
Telur dikeluarkan bersama feses dan pada lingkungan yang
sesuai telur menetas mengeluarkan larva rabditiform dalam waktu 1 -
2 hari. Larva rabditiform tumbuh menjadi larva filariform dalam
waktu ± 3 hari. Larva filariform bertahan hidup 7 - 8 minggu di
tanah dan dapat menembus kulit. Infeksi terjadi bila larva filariform
menembus kulit. Infeksi A. duodenale juga dapat terjadi dengan
menelan larva filariform.Bila larva filariform menembus kulit, larva
akan masuk ke kapiler darah dan terbawa aliran darah ke jantung dan
15
paru. Di paru larva menembus dinding pembuluh darah, lalu dinding
alveolus, kemudian masuk rongga alveolus, dan naik ke trakea
melalui bronkiolus dan bronkus menuju ke faring. Di faring larva
akan menimbulkan rangsangan sehingga penderita batuk dan larva
tertelan masuk ke esofagus. Dari esofagus, larva menuju ke usus
halus dan akan tumbuh menjadi cacing dewasa. (Depkes RI, 2017).
Dua spesies utama cacing tambang yang menginfeksi manusia
adalah A. duodenale dan N. americanus. Cacing betina berukuran
panjang ± 1 cm sedangkan cacing jantan berukuran ± 0,8 cm. Cacing
jantan mempunyai bursa kopulatriks. Bentuk badan N. americanus
biasanya menyerupai huruf S, sedangkan A. duodenale menyerupai
huruf C. N. americanus tiap hari bertelur 5.000-10.000 butir,
sedangkan A. duodenale 10.000-25.000 butir. Rongga mulut N.
americanus mempunyai benda kitin, sedangkan A. duodenale
mempunyai dua pasang gigi yang berfungsi untuk melekatkan diri di
mukosa usus. Cacing tambang diberi nama “cacing tambang” karena
pada zaman dahulu cacing ini ditemukan di Eropa pada pekerja
pertambangan, yang belum mempunyai fasilitas sanitasi yang
memadai. Infeksi paling sering ditemukan di daerah yang hangat dan
lembab, dengan tingkat kebersihan yang buruk. bentuk infektif dari
cacing tersebut adalah bentuk filariform. Setelah cacing tersebut
menetas dari telurnya, munculah larva rhabditiform yang kemudian
akan berkembang menjadi larva filariform.
16
b. Patofisiologi dan Gejala Klinis
1. Stadium larva
Bila banyak larva filariform sekaligus menembus kulit, maka
terjadi perubahan kulit yang disebut ground itch yaitu reaksi lokal
eritematosa dengan papul-papul yang disertai rasa gatal.
Infeksi larva filariform A. duodenale secara oral menyebabkan
penyakit wakana dengan gejala mual, muntah, iritasi faringeal,
batuk, sakit leher, dan suara serak. Larva cacing di paru dapat
menimbulkan pneumonitis dengan gejala yang lebih ringan dari
pnemonitis Ascaris. (Depkes RI, 2017).
2. Stadium Dewasa
Manifestasi klinis infeksi cacing tambang merupakan akibat dari
kehilangan darah karena invansi parasit di mukosa dan submukosa
usus halus. Gejala tergantung spesies dan jumlah cacing serta
keadaan gizi penderita. Seekor N Americanus menyebabkan
kehilangan darah sebanyak 0,005 – 0,1 cc/ hari, sedangkan A.
Duodenale 0,08 – 0,34 cc / hari. Biasanya terjadi anemia hipokrom
mikrositer dan eosinofilia. Cacing tambang biasanya tidak
menyebabkan kematian, tetapi daya tahan berkurang dan prestasi
kerja turun (Depkes RI, 2017).
c. Diagnosis
Diagnosis di tegakkan dengan menemukan telur dalam tinja segar.
Dalam tinja yang lama mungkin ditemukan larva. Penghitungan telur
17
per gram tinja dengan teknik katokatz dipakai sebagai pedoman untuk
menentukan berat ringannya infeksi (Depkes RI, 2017).
d. Pengobatan
Obat untuk ifeksi cacing tambang adalah albendazol dosis tunggal
400 mg oral atau mebendazol 2 x 100 mg/ hari atau pirantel pamoat 11
mg/kgBB maksimum 1 gram. Mebendazol dan pirantel pamoat
diberikan selama 3 hari berturut-turut, WHO merekomendasikan dosis
albendazol yaitu 200 mg untuk mengingkatkan kadar haemoglobin
perlu diberikan asupan makanan bergizi dan suplemen zat besi (Depkes
RI, 2017).
C. Kecacingan
Cacingan adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi cacing dalam
tubuh manusia yang ditularkan melalui tanah. Penderita Cacingan yang
selanjutnya disebut Penderita adalah seseorang yang dalam pemeriksaan
tinjanya mengandung telur cacing dan/atau cacing (Depkes RI, 2017).
Cacingan yang akan dibahas adalah infeksi dari cacing yang ditularkan
melalui tanah (soil transmitted helminths/STH) yaitu cacing yang dalam
siklus hidupnya memerlukan tanah yang sesuai untuk berkembang menjadi
bentuk infektif. STH yang banyak di Indonesia adalah cacing gelang (Ascaris
lumbricoides), cacing cambuk (Trichuris trichiura) dan cacing tambang
(Ancylostoma duodenale, Necator americanus). (Depkes RI, 2017).
Telur cacing gelang (A. lumbricoides) dan cacing cambuk (T. trichiura)
dalam siklus hidupnya memerlukan tanah liat serta lingkungan yang hangat
dan lembab untuk dapat berkembang menjadi bentuk infektif.
18
Telur A. lumbriciodes yang telah dibuahi dan mencemari tanah akan
menjadi matang dalam waktu 3 minggu pada suhu optimum 25o - 30
oC. Telur
T. trichiura akan matang dalam 3 - 6 minggu pada suhu optimum 30oC. Telur
matang kedua spesies itu tidak menetas di tanah dan dapat bertahan hidup
beberapa tahun, khususnya telur A. lumbricoides. Selain keadaan tanah dan
lingkungan yang sesuai, endemisitas juga dipengaruhi oleh jumlah telur yang
dapat hidup sampai menjadi bentuk infektif dan masuk ke dalam hospes
(inang). Semakin banyak telur ditemukan di sumber kontaminasi (tanah,
debu, sayuran, dan lain-lain), semakin tinggi endemisitas di suatu daerah.
(Depkes RI, 2017).
Di daerah perkebunan dan pertambangan sering terjadi infeksi cacing
tambang pada penduduk yang tinggal di sekitarnya. Cacing tambang dalam
siklus penularannya memerlukan tanah berpasir yang gembur, tercampur
humus, dan terlindung dari sinar matahari langsung. Telur cacing tambang
menetas menjadi larva rhabditiform dalam waktu 24 – 36 jam untuk
kemudian pada hari ke 5 – 8 menjadi bentuk filariform yang infektif. Suhu
optimum bagi N.americanus adalah 28o – 32
oC dan untuk A.duodenale sedikit
lebih rendah yaitu 23o – 25
oC sehingga N.americanus lebih banyak
ditemukan di Indonesia dari pada A.duodenale. Larva filariform dapat
bertahan 7 – 8 minggu di tanah. (Depkes RI, 2017).
Gejala penyakit kecacingan memang tidak nyata dan sering dikaitkan
dengan penyakit-penyakit lain. Pada permulaan mungkin ada batuk-batuk dan
eosinofelia. Anak yang menderita kecacingan biasanya lesu, tidak bergairah,
konsentrasi belajar kurang. Pada anak-anak yang menderita Ascariasis
19
perutnya nampak buncit (karena jumlah cacing dan kembung perut); biasnaya
pucat dan kotor seperti sakit mata (rembes) dan seperti batuk pilek, perut
sering sakit, diare dan nafsu makan kurang.
Gambar 2.4 Cacing Perut di Dalam Usus
D. Transmisi Telur Cacing ke Tubuh Manusia
Pencemaran tanah dengan tinja manusia merupakan penyebab transmisi
telur A.lumbricoides dan T.trichiura dari tanah kepada manusia melalui
tangan dan kuku yang tercemar telur cacing, lalu masuk kemulut melalui
makanan sedangkan Ancylostoma duodenale dan Necator americanus telur
dikeluarkan bersama feses kemudian telur berubah menjadi larva filariform
bertahan hidup 7-8 minggu ditanah dan dapat menenbus permukaan kulit.
(Depkes RI, 2017).
Transmisi telur cacing, selain melalui tangan, ini dapat juga melalui
makanan dan minuman, terutama makanan jajanan yang tidak dikemas dan
tidak tertutup rapat. Telur cacing yang ada di tanah/debu akan sampai pada
makanan tersebut, jika diterbangkan oleh angin, atau dapat juga melalui lalat
yang sebelumnya hinggap di tanah/selokan/air limbah sehingga kaki-kakinya
membawa telur cacing tersebut (Helmy, 2015).
Transmisi sayuran yang dimakan mentah (tidak dimasak) dan proses
pembersihan nya tidak sempurna juga dapat terjadi, terlebih jika sayuran
20
tersebut diberi pupuk berupa tinja segar. Penggunaan tinja sebagai pupuk
harus diolah dahulu dengan bahan kimia tertentu berupa desinfestasi
(Jalaluddin, 2009).
E. Pencegahan dan Pemberantasan Infeksi Kecacingan
Upaya pemberantasan dan pencegahan penyakit Cacingan di Indonesia
secara nasional dimulai pada tahun 1975 setelah dibentuk unit struktural di
Direktorat Jenderal PP dan PL, Kementerian Kesehatan, yaitu Sub Direktorat
Cacing Tambang dan Parasit Perut Lainnya. Karena terbatasnya dana
kebijakan pemberantasan Cacingan dilakukan “Limited Control Programme”,
program pemberantasan yang dilaksanakan pada PELITA III (tahun 1979 –
1984) yang mengambil prioritas utama yaitu daerah produksi vital
(pertambangan, perkebunan, pertanian, transmigrasi dan industri). (Depkes
RI, 2017).
Pencegahan dan pemberantasan penyakit kecacingan pada umumnya
adalah dengan pemutusan rantai penularan, yang antara lain dilakukan dengan
pengobatan massal, perbaikan sanitasi lingkungan dan hygiene perorangan
serta pendidikan kesehatan (Depkes RI, 2017).
Hal yang perlu dibiasakan agar terhindar dari penyakit kecacingan
sebagai berikut :
a. Biasakan mencuci tangan sebelum makan atau memegang makanan,
gunakan sabun dan bersihkan bagian kuku yang kotor.
b. Biasakan menggunting kuku secara teratur seminggu sekali.
21
c. Tidak membiasakan diri menggigit kuku jemari tangan atau menghisap
jempol.
d. Tidak membiasakan bayi dan anak-anak bermain-main di tanah.
e. Tidak membuang kotoran di kebun, parit, sungai atau danau dan biasakan
buang kotoran di jamban.
f. Biasakan membasuh tangan dengan sabun sehabis dari jamban
g. Biasakan tidak jajan penganan yang tidak tertutup atau terpegang-pegang
tangan.
h. Di wilayah yang banyak terjangkit penyakit kecacingan, periksakan diri ke
puskesmas terlebih ada tanda gejala kecacingan.
i. Segera mengobati penyakit cacing sampai tuntas
j. Penyakit cacing berasal dari telur cacing yang tertelan dan kurangnya
kebersihan diri dan lingkungan yang tidak baik.
k. Biasakan makan daging yang sudah benar-benar matang dan bukan yang
mentah atau setengah matang.
l. Biasakan berjalan kaki kemana-mana dengan memakai alas kaki.
m. Obat cacing hanya diberikan kepada orang yang benar-benar mengidap
penyakit kecacingan.
n. Biasakan makan lalap mentah yang sudah dicuci dengan air bersih yang
mengalir.
Menurut Sugiyono (2010) kunci pemberantasan cacingan adalah
memperbaiki higiene dan sanitasi lingkungan. Misalnya, tidak menyiram
jalanan dengan air got. Sebaiknya, bilas sayur mentah dengan air mengalir
atau mencelupkannya beberapa detik ke dalam air mendidih. Juga tidak jajan
22
di sembarang tempat, apalagi jajanan yang terbuka. Biasakan pula mencuci
tangan sebelum makan, bukan hanya sesudah makan. Dengan begitu, rantai
penularan cacingan bisa diputus. Pada saat bersamaan, anak-anak yang
menderita cacingan harus segera diobati. Namun, meski semua anak sudah
minum obat cacing, tak berarti masalah cacingan akan selesai saat itu juga.
Pemberantasan kecacingan adalah kerja gotong royong yang butuh waktu
bertahuntahun. Negara maju sepenti Jepang pun pernah dibuat sibuk oleh
ulah para cacing perut ini.
Pada kasus kecacingan baik ringan maupun sedang, gejalanya sulit untuk
diketahui. Untuk memastikannya, anak-anak harus diperiksa tinjanya dengan
mikroskop, jika terbukti mengandung telur cacing anak tersebut harus segera
diberi pengobatan.
F. Host
Host atau penjamu ialah keadaan manusia yang sedemikian rupa
sehingga menjadi faktor risiko yang terjadinya suatu penyakit. Faktor ini di
sebabkan oleh faktor intrinsik. Faktor penjamu dan agent dapat diumpamakan
sebagai tanah dan benih. Tumbuhnya benir tergantung keadaan tanah yang
dianalogikan dengan timbulnya penyakit yang tergantung dari keadaan
penjamu (Budiarto, 2003).
1. Faktor Personal Hygiene
Personal hygiene atau kebersihan perorangan adalah upaya
seseorang untuk memelihara dan meningkatkan derajat kesehatannya
sendiri, antara lain seperti memelihara kebersihan kuku, tangan, kaki,
rambut, makan makanan yang sehat, cara hidup teratur, meningkatkan
23
daya tahan tubuh dan kesehatan jasmani, meningkatkan taraf kecerdasan
dan rohani, melengkapi rumah dengan fasilitas yang menjamin hidup sehat
dan pemeriksaan kesehatan (Entjang, 2001 Dalam Nuramani, 2016).
Pencegahan dan pemberantas penyakit cacing pada umumnya merupakan
pemutusan rantai penularan, yaitu salah satunya dengan melakukan praktik
personal hygiene.
Infeksi cacing gelang, cacing cambuk dan cacing tambang sangat
erat dengan kebiasaan defekasi (buang air besar/BAB) sembarangan, tidak
mencuci tangan sebelum makan serta anak-anak yang bermain di tanah
tanpa menggunakan alas kaki dan kebersihan kuku. Kebiasaan BAB
sembarangan menyebabkan tanah terkontaminasi telur cacing. Pada
umumnya telur cacing bertahan pada tanah yang lembab dan kemudian
berkembang menjadi telur infektif. Telur cacing infektif yang ada di tanah
dapat tertelan masuk ke dalam pencernaan manusia bila tidak mencuci
tangan sebelum makan dan infeksi Cacingan juga dapat terjadi melalui
larva cacing yang menembus kulit (Depkes RI, 2017).
a. Kebiasaan Memakai Alas Kaki
Kebiasaan menggunakan alas kaki merupakan aktivitas
menggunakan alas kaki berupa sandal atau sepatu ketika berada diluar
rumah, khususnya ketika akan kontak dengan tanah. Penelitian tersebut
didukung oleh penelitian Fitri dkk (2012) memberikan pengaruh
bermakna terhadap kejadian infeksi kecacingan. Hasil uji chi-square
diperoleh nilai P value = 0,000 , maka dapat disimpulkan ada hubungan
24
yang signifikan antara penggunaan alas kaki dengan infeksi kecacingan.
Kaki merupakan bagian dari tubuh kita pertama yang melakukan kontak
langsung dengan tanah. Selain melalui makanan yang tercemar oleh
larva cacing, cacing juga masuk kedalam tubuh manusia melalui kulit
(pori-pori) yang tidak menggunakan alas kaki (Fitri dkk, 2012). Larva
cacing yang berada di tanah masuk melalui kulit lewat kaki anak tidak
memakai alas kaki yang menginjak larva atau telur, yang biasanya
ditandai dengan munculnya rasa gatal. Maka untuk menghindari
masuknya telur cacing melalui perantaraan kulit kaki perlu dilakukan
upaya penggunaan alas kaki (Chadijjah, 2014).
b. Kebiasaan Mencuci Tangan Sebelum Makan
Anak – anak paling sering terserang penyakit cacingan karena
biasanya jari – jari tangan mereka dimasukkan ke dalam mulut, atau
makan nasi tanpa mencuci tangan terlebih dahulu.
Menjamah makanan tanpa mencuci tangan memakai sabun terlebih
dahulu sangat berbahaya karena ditangan terdapat banyak kotoran
setelah melakukan banyak kegiatan. Kegiatan manusia sebagian besar
menggunakan tangan sehingga tangan dapat menjadi sumber penularan
penyakit, penyakit yang dapat ditularkan melalui tangan antara lain,
diare, kecacingan, keracunan dll (Jalaludin,2009).
Hasil penelitian ini mendukung penelitian Jalaluddin (2009) pada
anak SD di Kota Lhokseumawe Tahun mencuci tangan yang benar dan
menggunakan sabun sebelum makan dapat mengurangi infeksi cacing
gelang. Menurut Mujid, bahwa cara yang paling baik dalam
25
memutuskan mata rantai penularan infeksi kecacingan yang ditularkan
melalui tanah, antara lain dengan menjaga kebersihan pribadi misalnya
mencuci tangan dengan sabun sebelum makan dan menggunting kuku
secara rutin. (Fitri dkk, 2012).
Berdasarkan penelitian (Widyasari,2015) dalam penelitian
pengaruh sanitasi lingkungan, personal hygiene dan karakteristik anak
terhadap infeksi kecacingan pada murid Sekolah Dasar, menemukan
bahwa ada pengaruh antara kebiasaan mencuci tangan sebelum makan
dengan kejadian infeksi kecacingan.
c. Kebiasaan Memotong Kuku
Kebersihan kuku dapat berhubungan dengan infeksi cacing,
dimana kuku yang panjang dan kotor dapat menjadi tempat melekatnya
berbagai kotoran yang mengandung mikroorganisme, salah satunya
adalah telur cacing. Telur cacing dapat terselit di dalam kuku, kemudian
dapat masuk kedalam tubuh apabila tertelan. Hal tersebut dapat
diperparah bila tidak terbiasa mencuci tangan dengan sabun dan air
mengalir sebelum makan (Jalaluddin, 2009).
. Hal tersebut sejalan dengan penelitian Fitri, dkk (2012) yang
menemukan adanya hubungan antara kebersihan kuku dengan infeksi
cacing pada murid SD (P=0,000). Pertumbuhan kuku jari tangan dalam
1 minggu rata-rata 0,5 mm sampai 1,5 mm, empat kali lebih cepat dari
pada pertumbuhan kuku jari kaki.
26
G. Environment
Faktor lingkungan adalah faktor yang ketiga sebagai penunjang
terjadinya penyakit, karena faktor ini datangnya dari luar atau biasa disebut
dengan faktor ekstrinsik. Faktor lingkingan ini dibagi menjadi lingkungan
biologis (flora dan fauna), lingkungan fisik dan lingkungan sosial ekonomi
(Budiarto, 2003).
Cara seseorang merespons lingkungan, baik lingkungan fisik maupun
sosial budaya dan sebagainya, sehingga lingkungan tersebut tidak
mempengaruhi kesehatan nya. Dengan kata lain seseorang mengelola
lingkungannya sehingga tidak mengganggu kesehatannya sendiri, keluarga
atau masyarakatnya. Misalnya mengelola pembuangan tinja, air minum,
tempat pembuangan sampah, pembuangan limbah dan sebagainya untuk
menghindari penyakit termasuk penyakit lingkungan (Notoatmodjo, 2012).
H. Faktor Sanitasi Lingkungan
a. Sarana Air Bersih
Air merupakan suatu sarana utama untuk meningkatkan derajat
kesehatan masyarakat, air yang diperuntukan untuk dikonsumsi manusia
harus berasal dari sumber yang bersih dan aman. Batasan-batasan sumber
air yang bersih dan aman antara lain: bebas dari kontaminasi kuman dan
bibit penyakit, bebas dari bahan beracun, tidak berasa berwarna dan
berbau, dapat digunakan untuk mencukupi kebutuhan domestik dan
rumah tangga serta memenuhi standar minimal yang ditentukan oleh
Depkes RI. (Chandra, 2007).
27
Penyakit yang ditularkan melalui air yaitu waterborne disease atau
water- relate disease. Terjadinya suatu penyakit tentunya memerlukan
adanya agen dan terkadang vektor. Salah satu penyakit yang dapat
ditularkan melalui air berdasarkan tipe agen penyebabnya yaitu
askariasis. (Chandra, 2007). Feses yang mengandung askariasis akan
mencemari sumber air bersih apabila jaraknya kurang dari 10 meter dari
sumber pencemar.
Kondisi sarana air bersih yang tidak memenuhi syarat fisik (berwarna,
berasa dan berbau) dapat mencemari air bersih tersebut sehingga dapat
menyebabkan adanya mikroba yang dapat menyebar lewat air yaitu
antara lain virus, bakteri, protozoa dan metazoa. ( Sinaga E, 2014).
Hubungan syarat fisik air bersih dengan kecacingan sebagai pengantar
karena apabila air tidak memenuhi syarat fisik (tidak berbau, berwarna,
berasa) kemungkinan bahwa jarak antara sumber pencemar dengan
sumber air bersih kurang dari 10 meter yang menyebabkan adanya
bakteri dan patogen.
b. Jenis Lantai Rumah
Kondisi rumah dapat mempengaruhi kesehatan penghuninya, maka
rumah yang ditinggali harus masuk kedalam kategori rumah sehat agar
kesehatan penghuni dapat terjaga. Salah satu persyaratan rumah sehat
adalah memiliki bangunan yang kuat dan lantai yang mudah dibersihkan.
Lantai yang memenuhi persyaratan adalah lantai yang tidak berdebu pada
musim kemarau dan tidak basah pada musim hujan. Maka, sebaiknya
28
lantai rumah terbuat dari ubin, keramik atau semen agar tidak lembab dan
menimbulkan genangan air. (Nurmarani, 2016).
Siklus hidup cacing pada fase telur membutuhkan media tanah yang
lembab untuk melanjutkan siklus hidupnya, maka rumah dengan lantai
tanah dapat berkontribusi dalam penularan infeksi kecacingan, karena
memperbesar kemungkinan kontaminasi tangan dengan telur cacing
ketika tangan dan kaki bersentuhan langsung dengan tanah. (Hadidjaja
dan Margono, 2011).
Suhu atau temperature tanah yang ideal untuk cacing yaitu bekisar
15oC
– 25
o C dengan kelembaban optimum 42%- 60%. Kelembaban
tanah yang terlalu tinggi atau rendah dapat menyebabkan cacing dan
larva berwarna pucat dan mati.
Penelitian Fitri dkk, (2012), menemukan bahwa terdapat hubungan
antara air bersih yang tidak memenuhi syarat fisik dengan penyakit
kecacingan (P=0,000) pada murid SD di Kecamatan Angkola Timur,
Tapanuli Selatan.
c. Kondisi Jamban
Jamban adalah suatu bangunan yang digunakan untuk membuang dan
mengumpulkan kotoran/najis yang lazim disebut WC, sehingga kotoran
atau najis tersebut berada dalam suatu tempat tertentu dan tidak menjadi
penyebab atau penyebar penyakit dan mengotori lingkungan pemukiman
(Jalaluddin,2009).
Pembuangan tinja yang tidak saniter akan menyebabkan berbagai
macam penyakit seperti : Diare, Cholera, Dysentri, Poliomyelitis,
29
Ascariasis dan sebagainya. Kotoran manusia merupakan buangan padat.
Selain menimbulkan bau, mengotori lingkungan juga merupakan media
penularan penyakit pada masyarakat. Perjalanan agent penyebab penyakit
melalui cara transmisi seperti dari tangan, maupun melalui peralatan
yang terkontaminasi ataupun melalui mata rantai lainnya. Dimana
memungkinkan tinja atau kotoran yang mengandung agent penyebab
infeksi masuk melalui saluran pencernaan (Jalaludin, 2009).
Model dan bentuk jamban yang memenuhi syarat kesehatan antara lain :
1. Jamban leher angsa (angsa latrine)
Jamban leher angsa adalah jamban leher lubang closet
benbentuk lengkung, dengan demikian akan terisi air gunanya
sebagai sumbat sehingga dapat mencegah bau busuk serta
masuknya binatang-binatang kecil. Jamban model ini adalah model
yang terbaik yang dianjurkan dalam kesehatan lingkungan.
2. Jamban cemplung
Jamban cemplung adalah jamban yang tempat penampungan
tinjanya dibangun dibawah tempat injakan atau di bawah bangunan
jamban. Fungsi dari lubang adalah mengisolasi tinja sehingga
sedemikian rupa tidak memungkinkan penyebaran dari bakteri
secara langsung ke penjamu yang baru. Jenis jamban ini kotoran
langsung masuk ke jamban dan tidak terlalu lama karena tidak
terlalu dalam karena akan mengotori air tanah, kedalamannya 1,5 –
3 meter.
30
Penelitian Yudhastuti dan Lusno (2014) menunjukan bahwa
terdapat hubungan anak yang memiliki jamban tidak memenuhi
syarat dengan kejadian kecacingan dengan (P=0,000).
Menurut Notoatmodjo (2007:184) untuk mencegah kontaminasi
tinja terhdapat lingkungan maka pembuangan kotoran harus
menggunakan jamban yang sehat. Suatu jamban dikatakan sehat
apabila memenuhi persyaratan-persyaratan sebagai berikut :
a. Tidak mengotori permukaan tanah di sekeliling jamban tersebut.
b. Tidak mengotori air permukaan dan air tanah disekitarnya
c. Tidak terjangkau oleh serangga terutama lalat dan kecoa serta
binatang- binatang lainnya
d. Tidak menimbulkan bau
e. Mudah digunakan dan dipelihara
f. Sederhana desainnya
g. Murah
h. Dapat diterima oleh pemakainya
31
I. Kerangka Penelitian
1. Kerangka Teori
Gambar 2.5 Kerangka Teori
Sumber : Modifikasi dari Budiarto Eko (2003),
Permenkes RI No.15 (2017)
Agent
1. Cacing gelang (Ascaris
lumbricoides)
2. Cacing tambang
(Ancylostoma duodenale dan
Necator americanus)
3. Cacing Cambuk (Trichuris
trichiura)
Host
Personal Hygiene
1. Kebiasaan memakai alas
kaki
2. Kebiasaan mencuci tangan
sebelum makan
3. Kebiasaan memotong kuku
Lingkungan
1. Sarana Air Bersih
2. Jenis lantai rumah
3. Kondisi Jamban
Kejadian Kecacingan
32
2. Kerangka Konsep
Gambar 2.6 Kerangka Konsep
Personal Hygiene
1. Kebiasaan memakai
alas kaki
2. Kebiasaan mencuci
tangan sebelum
makan
3. Kebiasaan memotong
kuku
Sanitasi Lingkungan
1. Kepemilikan Jamban
2. Jenis lantai Rumah
3. Sarana Air Bersih
Kejadian Kecacingan
33
J. Hipotesis
a. Ada hubungan kondisi jamban dengan kejadian kecacingan Murid Sekolah
Dasar di Desa Panca Tunggal Tahun 2019.
b. Ada hubungan jenis lantai rumah dengan kejadian kecacingan Murid
Sekolah Dasar di Desa Panca Tunggal Tahun 2019.
c. Ada hubungan sarana air bersih dengan kejadian kecacingan Murid Sekolah
Dasar di Desa Panca Tunggal Tahun 2019.
d. Ada hubungan kebiasaan memakai alas kaki dengan kejadian kecacingan
Murid Sekolah Dasar di Desa Panca Tunggal Tahun 2019.
e. Ada hubungan kebiasaan mencuci tangan dengan kejadian kecacingan Murid
Sekolah Dasar di Desa Panca Tunggal Tahun 2019.
f. Ada hubungan kebiasaan memotong kuku dengan kejadian kecacingan
Murid Sekolah Dasar di Desa Panca Tunggal Tahun 2019.