BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Cyberloafingeprints.mercubuana-yogya.ac.id/4593/3/BAB II.pdf · 12 BAB...

21
12 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Cyberloafing 1. Pengertian Perilaku Cyberloafing Cyberloafing adalah perilaku menyimpang di tempat kerja yang menggunakan “status pegawainya” untuk mengakses internet dan email selama jam kerja untuk tujuan yang tidak berhubungan dengan pekerjaan (Lim, 2002). Blanchard dan Henle (2007) berpendapat bahwa cyberloafing adalah penggunaan pribadi dari email dan internet di kantor. Sebagai contohnya adalah penggunaan akses internet ketika berada di kantor, karyawan dengan sengaja menjelaah dunia maya untuk kepentingan pribadi, seperti membaca berita, mengakses forum-forum pertemanan dan lainnya yang tidak ada hubungannya dengan pekerjaan (Anugrah & Margaretha, 2013). Kegiatan tersebut merupakan pemborosan waktu di tempat kerja, namun banyak sekali karyawan yang melakukan cyberloafing dengan berkedok melakukan pekerjaan utamanya (Blanchard & Henle 2008). Askew (2014) menjelaskan bahwa cyberloafing merupakan seperangkat perilaku di tempat kerja di mana seorang karyawan terlibat dalam kegiatan yang di mediasi secara elektronik melalui penggunaan internet yang dianggap tidak terkait dengan pekerjaanya. Contoh dari perilaku cyberloafing seperti menonton youtube, mengecek facebook, berselancar di web, bermain video games (Lim & Teo, 2005). Hal ini menjadikan cyberloafing sebagai masalah

Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Cyberloafingeprints.mercubuana-yogya.ac.id/4593/3/BAB II.pdf · 12 BAB...

Page 1: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Cyberloafingeprints.mercubuana-yogya.ac.id/4593/3/BAB II.pdf · 12 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Cyberloafing 1. Pengertian Perilaku Cyberloafing Cyberloafing

12

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Cyberloafing

1. Pengertian Perilaku Cyberloafing

Cyberloafing adalah perilaku menyimpang di tempat kerja yang

menggunakan “status pegawainya” untuk mengakses internet dan email

selama jam kerja untuk tujuan yang tidak berhubungan dengan pekerjaan

(Lim, 2002). Blanchard dan Henle (2007) berpendapat bahwa cyberloafing

adalah penggunaan pribadi dari email dan internet di kantor. Sebagai

contohnya adalah penggunaan akses internet ketika berada di kantor,

karyawan dengan sengaja menjelaah dunia maya untuk kepentingan pribadi,

seperti membaca berita, mengakses forum-forum pertemanan dan lainnya

yang tidak ada hubungannya dengan pekerjaan (Anugrah & Margaretha,

2013). Kegiatan tersebut merupakan pemborosan waktu di tempat kerja,

namun banyak sekali karyawan yang melakukan cyberloafing dengan

berkedok melakukan pekerjaan utamanya (Blanchard & Henle 2008).

Askew (2014) menjelaskan bahwa cyberloafing merupakan seperangkat

perilaku di tempat kerja di mana seorang karyawan terlibat dalam kegiatan

yang di mediasi secara elektronik melalui penggunaan internet yang dianggap

tidak terkait dengan pekerjaanya. Contoh dari perilaku cyberloafing seperti

menonton youtube, mengecek facebook, berselancar di web, bermain video

games (Lim & Teo, 2005). Hal ini menjadikan cyberloafing sebagai masalah

Page 2: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Cyberloafingeprints.mercubuana-yogya.ac.id/4593/3/BAB II.pdf · 12 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Cyberloafing 1. Pengertian Perilaku Cyberloafing Cyberloafing

13

yang mendesak untuk organisasi karena dapat menjadi penyebab turunnya

konsentrasi, gangguan komunikasi, adanya tindakan tidak disiplin,

penghentian hubungan kerja, kerugian reputasi, serta masalah dalam

keamanan system informasi, pensabotasean akses ke dokumen rahasia dan

penyebaran virus komputer. Hal ini dapat membuat kerugian bagi pegawai

dan organisasi (Harsono, Pantow & Marentek, 2016).

Cyberloafing diartikan sebagai penggunaan internet pada saat jam kerja

dengan menggunakan internet organisasi (Herdiati, Sujoso & Hartanti, 2015).

Namun cyberloafing tidak hanya menggunakan internet milik organisasi

namun juga milik pribadi. Seperti yang dikemukakan oleh Henle dan

Kedharnath (2012) yaitu penggunaan teknologi internet selama jam kerja

untuk tujuan personal. Teknologi yang dimaksud bisa teknologi yang

disediakan perusahaan dan juga milik pribadi yang dibawa karyawan selama

bekerja (misalnya, smartphone, iPad).

Perilaku cyberloafing merupakan perilaku seseorang yang sengaja

menggunakan teknologi informasi dan akses internet yang bersifat pribadi

pada saat jam kerja yang tidak ada hubungannya dengan pekerjaan yang

seharusnya di selesaikan dengan tepat waktu dan dapat merugikan organisasi

atau instansi terkait, sehingga dampaknya pada produktivitas pekerja tersebut

(Rahayuningsih, 2017). Hal ini diperkuat oleh Aldilasari (2017) yang

menjelaskan kalau bukan hal yang mengejutkan apabila penggunaan internet

yang tidak berkaitan dengan pekerjaan serta penundaan pekerjaan ini akan

mengarah kepada penurunan produktivitas bagi organisasi.

Page 3: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Cyberloafingeprints.mercubuana-yogya.ac.id/4593/3/BAB II.pdf · 12 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Cyberloafing 1. Pengertian Perilaku Cyberloafing Cyberloafing

14

Tidak seperti bentuk-bentuk lain dari kemalasan lainnya, cyberloafing

tidak mengharuskan seseorang untuk absen secara fisik dari kantor untuk

jangka waktu yang lama. Dengan demikian cyberloafing tidak terlihat seperti

perilaku malas lainnya. Bahkan, karyawan dapat menghabiskan banyak waktu

terlibat dalam cyberloafing tanpa meninggalkan meja (Wagner, Barnes, Lim

& Ferris, 2012). Mengingat kemudahan untuk terlibat dalam upaya yang

menguras produktivitas ini, cyberloafing dapat dilihat sebagai godaan di

tempat kerja yang mengharuskan karyawan untuk melakukan pengaturan diri

agar tetap dapat mengerjakan tugas.

Dari uraian di atas, peneliti memakai istilah cyberloafing sebagai

perilaku menggunakan akses internet instansi baik menggunakan gadget

milik pribadi maupun gadget milik instansi yang dimanfaatkan untuk

kepentingan pribadi serta tidak ada kaitannya dengan tugas pekerjaanya pada

instansi tersebut.

2. Aspek – Aspek Cyberloafing

Lim (2002), membagi cyberloafing menjadi 2 aspek yaitu:

a. Activity Browsing

Aktivitas ini mencakup semua penggunaan akses internet perusahaan

untuk mengunjungi situs atau web yang tidak berhubungan dengan

pekerjaan pada saat jam kerja. Seperti, perilaku chatting, mengunjungi

situs belanja online, mengunjungi situs berita online, mengelola web

pribadi, judi online, bermain game online, atau mengunjungi web

berkonten pornografi.

Page 4: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Cyberloafingeprints.mercubuana-yogya.ac.id/4593/3/BAB II.pdf · 12 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Cyberloafing 1. Pengertian Perilaku Cyberloafing Cyberloafing

15

b. Activity Emailing

Aktivitas ini merupakan aktivitas yang berhubungan dengan

pemeriksaan, menerima dan mengirim email pribadi pada saat jam kerja

yang tidak memiliki kaitan dengan pekerjaan utama karyawan di

organisasinya.

Blanchard dan Henle (2008) membagi cyberloafing ini secara

berjenjang dilihat dari intensitas perilakunya, dikategorikan menjadi dua:

a. Minor Cyberloafing

Tipe pegawai yang terlibat dalam berbagai bentuk penggunaan

internet umum yang tidak berkaitan dengan pekerjaan misalnya

mengirim dan menerima email pribadi, mengunjungi situs olahraga,

memperbarui status jejaring sosial serta berbelanja online. Dengan

demikian minor cyberloafing mirip dengan perilaku lain yang tidak

sesuai dengan pekerjaan namun diberi toleransi. Meskipun demikian,

tidak dapat dikatakan bahwa minor cyberloafing tidak memiliki dampak

yang merugikan bagi organisasi, seperti mengurangi produktivitas.

b. Serious Cyberloafing

Sedangkan tipe pegawai terlibat dalam berbagai bentuk perilaku

penggunaan internet yang bersifat lebih berbahaya karena bersifat

melanggar norma instansi dan berpotensi illegal seperti judi online,

mengelola situs milik pribadi, membuka situs pornografi serta

mendownload musik dan film secara illegal. Jenis cyberloafing ini

memiliki dampak yang serius bagi organisasi.

Page 5: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Cyberloafingeprints.mercubuana-yogya.ac.id/4593/3/BAB II.pdf · 12 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Cyberloafing 1. Pengertian Perilaku Cyberloafing Cyberloafing

16

Dari penjabaran kedua teroi di atas, dapat disimpulkan bahwa aspek

cyberloafing dibagi menjadi empat yaitu activity browsing, activitiy emailing,

minor cyberloafing dan serious cyberloafing. Pada penelitian ini peneliti

menggunakan aspek-aspek cyberloafing dari Lim (2002), yaitu activity

browsing dan activity emailing sebagai dasar teori penyusunan alat ukur. Hal

ini dikarenakan aspek-aspek tersebut mudah dipahami dan sesuai dengan

keadaan subjek.

3. Faktor Faktor yang Mempengaruhi Cyberloafing

Menurut Ozler dan Polat (2012) terdapat 3 faktor yang mempengaruhi

cyberloafing yaitu:

a. Faktor Individual

Atribut individual yang mempengaruhi perilaku cyberloafing antara

lain adalah persepsi, sikap terhadap cyberloafing, penggunaan internet

umum, personal traits, kebiasaan dan kecanduan internet, faktor

demografi, niat untuk terlibat di cyberloafing, norma sosial, kode etik

personal tentang penggunaan internet.

1) Persepsi dan Sikap

Persepsi dan sikap mempengaruhi penggunaan komputer

individu. Individu yang memiliki persepsi dan sikap positif terhadap

komputer dalam pekerjaanya cenderung menggunakan komputer

untuk kepentingan pribadi (Liberman, Seidman, McKenna &

Buffardi, 2011). Blanchard dan Henle (2008) menemukan bahwa

karyawan yang melakukan aktivitas minor cyberloafing tidak

Page 6: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Cyberloafingeprints.mercubuana-yogya.ac.id/4593/3/BAB II.pdf · 12 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Cyberloafing 1. Pengertian Perilaku Cyberloafing Cyberloafing

17

percaya bahwa dirinya terlibat dalam perilaku yang tidak seharusnya

sedangkan pegawai yang terlibat dalam serious cyberloafing

menyadari perilaku itu menyimpang dan tidak dapat dimaafkan.

2) Personal Traits

Perilaku pengguna internet mencerminkan berbagai motif

psikologis (Johnson & Culpa dalam Ozler & Polat, 2012). Ciri-ciri

pribadi seperti rasa malu, kesepian, isolasi, kontrol diri, harga diri,

lotus of control dapat mempengaruhi pola penggunaan internet.

Chak dan Leung (2004) menunjukan bahwa individu yang semakin

tidak percaya diri maka semakin kuat juga kebergantungan individu

tersebut dengan orang lain dan semakin tinggi juga

kecenderungannya dalam kecanduan internet. Hasil penelitian juga

menunjukan bahwa pengendalian diri memiliki dampak langsung

pada niat individu dalam mengambil bagian pada perilaku

cyberloafing. Pengendalian diri yang rendah berdampak pada

terdapatnya perilaku cyberloafing yang tinggi (Ugrin, 2008).

3) Kebiasaan dan Kecanduan Internet

Kebiasaan mengacu kepada perilaku yang sudah otomatis terjadi

tanpa intruksi dari diri, kognisi dan musyawarah dalam menanggapi

isyarat tertentu dalam lingkungan (Woon & Pee dalam Ozler &

Polat, 2012). Diperkirakan bahwa lebih dari setengah perilaku dalam

media merupakan sebuah kebiasaan (LaRose, 2010). Hubungan

antara kebiasaan dalam media dan cyberloafing memainkan peran

Page 7: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Cyberloafingeprints.mercubuana-yogya.ac.id/4593/3/BAB II.pdf · 12 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Cyberloafing 1. Pengertian Perilaku Cyberloafing Cyberloafing

18

penting dalam memprediksi perilaku ini. Seseorang dengan

kecanduan terhadap internet dapat menyebabkan perilaku

penyalahgunaan internet.

4) Faktor Demografi

Garret dan Danziger (2008) menemukan bahwa status

pekerjaan, persepsi otonomi dalam organisasi, tingkat pemasukan

dan gender merupakan prediktor cyberloafing yang signifikan.

Penelitian menunjukan bahwa orang-orang yang berpendidikan

cenderung melibatkan dirinya dalam aktivitas-aktivitas seperti

mencari informasi secara online, sementara orang-orang yang

berpendidikan rendah cenderung menggunakan internet untuk

bermain game online (Chak & Leung, 2004). Penelitian lain

menunjukan bahwa pria cenderung melakukan cyberloafing lebih

sering dan durasi yang lebih lama dibanding perempuan (Lim &

Chen, 2012).

5) Niat untuk Terlibat, Norma Sosial dan Kode Etik Personal

Niat dianggap menjadi prediktor akurat dari perilaku aktual

dalam banyak studi. Namun, penelitian juga menunjukan bahwa niat

tidak selalu menyebabkan bahwa niat tidak selalu berujung pada

munculnya sebuah perilaku, namun hubungan antara niat dan

perilaku merupakan sebuah hubungan kompleks. Persepsi tentang

pentingnya larangan yang etis terhadap cyberloafing berhubungan

negatif dengan perilaku cyberloafing. Keyakinan normatif seseorang

Page 8: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Cyberloafingeprints.mercubuana-yogya.ac.id/4593/3/BAB II.pdf · 12 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Cyberloafing 1. Pengertian Perilaku Cyberloafing Cyberloafing

19

(misalnya, secara moral cyberloafing salah) mengurangi intensi

untuk terlibat dalam perilaku cyberloafing.

b. Faktor Organisasi

Faktor organisasi juga dapat mempengaruhi perilaku cyberloafing

pegawai seperti pembatasan penggunaan internet, hasil yang diharapkan,

dukungan manajerial, pandangan rekan kerja terhadap norma

cyberloafing, sikap kerja pegawai dan karakteristik pekerjaan yang

dilakukan.

1) Pembatasan Penggunaan Internet

Meskipun tidak ada persetujuan umum bahwa cyberloafing

memiliki dampak negatif, banyak organisasi menggunakan internet

policy untuk membatasi penggunaan internet. Tujuannya adalah

untuk mengatur perilaku karyawan dan terbukti memiliki peran yang

penting dalam cyberloafing. Dengan membatasi penggunaan internet

karyawan, pemimpin organisasi mengurangi kemungkinan

penggunaan internet untuk kegiatan-kegiatan yang tidak berkaitan

dengan pekerjaan karyawan (Garret & Danziger, 2008). Demikian

sebaliknya, karyawan yang akan menerima hukuman yang berat

apabila melakukan perbuatan yang menyimpang akan memiliki

kecenderungan cyberloafing rendah.

2) Hasil yang Diharapkan

Penelitian menunjukkan bahwa karyawan cenderung tidak

melakukan cyberloafing yang dipersepsikan memiliki konsekuensi

Page 9: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Cyberloafingeprints.mercubuana-yogya.ac.id/4593/3/BAB II.pdf · 12 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Cyberloafing 1. Pengertian Perilaku Cyberloafing Cyberloafing

20

yang negatif kepada organisasi maupun dirinya sendiri (Lim & Teo,

2005).

3) Dukungan Manajerial

Dukungan manajerial untuk penggunaan internet pada jam kerja

tanpa menentukan bagaimana harusnya hal tersebut dilakukan

cenderung meningkatkan penggunaan internet untuk kegiatan bisnis

maupun aktivitas personal oleh karyawan. Dukungan ini bisa

disalahartikan oleh karyawan yang menganggap bahwa dukungan

tersebut mensahkan semua jenis penggunaan internet, termasuk

cyberloafing (Garret & Danziger, 2008). Dukungan manajerial

termasuk di dalamnya kebijaksanaan yang ditetapkan oleh

organisasi. Beberapa kebijakan dalam organisasi bisa menjadi faktor

yang mempengaruhi cyberloafing. Salah satu kebijaksanaan

mengenai hal ini adalah BYOH yaitu kebijaksanaan yang

mengizinkan karyawan untuk menggunakan perangkat pribadi selain

perangkat yang disediakan oleh organisasi/perusahaan. Kebijaksaan

ini bisa meningkatkan perilaku cyberloafing karena karyawan

menggunakan perangkat gadget nya sendiri. Kebijaksanaan lain

yaitu fleksibilitas kerja baik waktu maupun tempat. Kebijaksanaan

ini memungkinkan karyawan untuk bekerja di luar kantor.

Kebijaksanaan ini memang memiliki efek pada performa karyawan.

Namun, kerugiannya adalah beberapa organisasi menetapkan

kebijaksanaan ini tanpa memberikan aturan yang jelas pada

Page 10: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Cyberloafingeprints.mercubuana-yogya.ac.id/4593/3/BAB II.pdf · 12 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Cyberloafing 1. Pengertian Perilaku Cyberloafing Cyberloafing

21

karyawannya sehingga hal ini bisa meningkatkan cyberloafing

karyawan.

4) Pandangan Rekan Kerja terhadap Norma Cyberloafing

Penelitian menunjukkan bahwa norma rekan sejawat dan

supervisor yang mendukung cyberloafing berhubungan positif

dengan cyberloafing. Selain itu, Lim dan Teo (2005) mengemukakan

bahwa individu menggunakan iklim normatif sebagai penyesuaian

untuk melakukan perilaku yang dilakukan rekannya.

5) Sikap Kerja Pegawai

Cyberloafing merupakan respon emosional terhadap pekerjaan

yang membuat frustasi, oleh sebab itu sikap terhadap pekerjaan bisa

mempengaruhi munculnya cyberloafing (Liberman, 2011).

Penelitian lain menemukan bahwa karyawan cenderung melakukan

perbuatan yang tidak sesuai ketika mereka memiliki sikap yang tidak

baik (Garret & Danziger, 2008). Adapun yang termasuk dalam job

attitude adalah kepuasan kerja, komitmen organisasi, dan prejudice

dalam tempat kerja (Greenberg dalam Ozler & Polat, 2012).

6) Karakteristik Pekerjaan

Studi menemukan bahwa ketika individu memiliki tuntutan

kerja yang rendah kemungkinan untuk cyberloafing tinggi, hal ini

dikarenakan waktu luang yang dimiliki. Ketika karyawan tidak

memiliki banyak pekerjaan, mereka akan terlibat dalam aktivitas

cyberloafing untuk mengahabiskan waktu.

Page 11: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Cyberloafingeprints.mercubuana-yogya.ac.id/4593/3/BAB II.pdf · 12 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Cyberloafing 1. Pengertian Perilaku Cyberloafing Cyberloafing

22

c. Faktor situasional

Perilaku menyimpang internet biasanya terjadi ketika pegawai

memiliki akses terhadap internet di tempat kerja sehingga hal ini sangat

dipengaruhi oleh faktor situasional yang memediasi perilaku ini

(Weatherbee dalam Ozler dan Polat 2012). Salah satu faktor situasional

adalah kedekatan jarak (seperti jarak ruangan pegawai) dengan atasan.

Kedekatan jarak dengan atasan di kantor secara tidak langsung akan

mempengaruhi cyberloafing. Hal ini tergantung pada persepsi pegawai

mengenai kontrol instansi terhadap perilakunya, termasuk ada atau

tidaknya sanksi dan peraturan instansi.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang

mempengaruhi cyberloafing meliputi faktor individual, faktor organisasi dan

faktor situasional. Peneliti menggunakan faktor-faktor yang mempengaruhi

cyberloafing dari Ozler dan Polat (2012), di mana faktor yang akan

dijabarkan adalah salah satu dari faktor individu yaitu kesepian. Kesepian

dianggap memiliki kaitan terhadap cyberloafing pada PNS di Biro

Kepegawaian BKN Pusat. Hal ini diperkuat dengan hasil penelitian

sebelumnya yang dilakukan oleh Budiana (2018) didapati bahwa terdapat

hubungan yang positif antara loneliness dengan perilaku cyberloafing pada

karyawan. Kim, Larose dan Peng (2009), menjelaskan bahwa individu yang

mengalami kesepian ternyata memiliki preferensi yang lebih tinggi untuk

interaksi online, karena individu merasa bahwa komunikasi online mungkin

Page 12: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Cyberloafingeprints.mercubuana-yogya.ac.id/4593/3/BAB II.pdf · 12 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Cyberloafing 1. Pengertian Perilaku Cyberloafing Cyberloafing

23

relatif kurang berisiko dan lebih mudah dibandingkan tatap muka sebab

ketika online individu dapat berinteraksi secara anonim.

B. Kesepian

1. Pengertian Kesepian

Kesepian (loneliness) adalah pengalaman yang tidak menyenangkan

yang terjadi ketika keterlibatan seseorang dalam hubungan sosial secara

signifikan berkurang, baik dalam segi kuantitas ataupun kualitas (Peplau dan

Perlman, 1982). Russel (1996) mengemukakan bahwa kesepian adalah

sebuah bentuk hubungan sosial yang tidak sesuai dari apa yang diinginkan

atau dicapai, termasuk perasaan gelisah, tertekan, dan persepsi kurangnya

hubungan sosial pada diri seseorang (Russel,1996). Kesepian akan disertai

oleh berbagai macam emosi negatif seperti depresi, kecemasan,

ketidakbahagiaan, ketidakpuasan, menyalahkan diri sendiri dan malu

(Anderson, 1992). Kesepian juga dapat didefinisikan sebagai perasaan negatif

yang dihubungkan pada kurangnya hubungan-hubungan sosial individu

(Amalia, 2013).

Menurut Perlman dan Peplau (1998) loneliness adalah perasaan

kesepian individu, ketidaknyamanan subjektif individu rasakan ketika

hubungan individu tersebut kurang erat. Dan perasaan kesendirian mungkin

merupakan kondisi sementara yang dihasilkan dari sebuah perubahan dalam

kehidupan sosial individu. Baron dan Bryne (2005) mendefinisikan kesepian

sebagai keadaan emosi dan kognitif yang tidak bahagia yang diakibatkan oleh

Page 13: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Cyberloafingeprints.mercubuana-yogya.ac.id/4593/3/BAB II.pdf · 12 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Cyberloafing 1. Pengertian Perilaku Cyberloafing Cyberloafing

24

hasrat akan hubungan akrab namun tidak dapat mencapainya. Menurut Bruno

(2000) kesepian adalah keadaan mental dan emosional yang negatif yang

ditandai terutama oleh adanya perasaan terasing dan kurangnya hubugan yang

bermakna dengan orang lain.

Menurut Weiss (1973), kesepian merupakan reaksi dari ketiadaan jenis-

jenis tertentu dari hubungan. Kesepian terjadi ketika adanya ketidaksesuaian

antara apa yang diharapkan seseorang dan kenyataan dari kehidupan

interpesonalnya, sehingga seseorang menjadi sendiri dan kesepian.

Selanjutnya, kesepian akan disertai oleh berbagai macam emosi negatif

seperti depresi, kecemasan, ketidak bahagiaan, ketidakpuasan, menyalahkan

diri sendiri dan malu. Kesepian juga berarti sebagai suatu keadaan mental dan

emosional yang terutama dicirikan oleh adanya perasaan terasing dan

kurangnya hubungan yang bermakna dengan orang lain. Senada dengan

Dariyo (2016), yang mengungkapkan bahwa kesepian perasaan subjektif yang

dialami individu dalam kondisi dan situasi tertentu.

Berdasarkan penjelasan di atas, peneliti menyimpulkan definisi

kesepian sebagai perasaan yang tidak menyenangkan yang dimiliki seseorang

akibat dari tidak tercapainya hubungan sosial yang diinginkan sehingga

menyebabkan perasaan gelisah, tertekan dan persepsi kurangnya hubungan

sosial pada diri seseorang.

4. Aspek-Aspek Kesepian

Peplau dan Perlman (1982) membagi kesepian menjadi 3 aspek yaitu

need for intimacy, cognitive process, dan Social Reinforcement.

Page 14: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Cyberloafingeprints.mercubuana-yogya.ac.id/4593/3/BAB II.pdf · 12 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Cyberloafing 1. Pengertian Perilaku Cyberloafing Cyberloafing

25

a. Need for intimacy

Aspek ini menekankan pada keinginan-keinginan individu untuk

menjalin hubungan yang lekat dengan orang lain serta mengungkakpkan

hubungan seperti apa yang dikehendaki atau didambakan oleh masing-

masing individu.

b. Cognitive process

Cognitive process menitikberatkan pada respon atau tindakan apa

yang pernah dan akan dilakukan apabila individu menghadapi suatu

peristiwa yang tidak menyenangkan.

c. Social reinforcement

Mencakup mengenai keadaan dan kondisi kehidupan sosial yang

sedang berlangsung. Tidak hanya kehidupan sosial, aspek ini juga

menekankan pada hubungan sosial yang terjalin antara individu dengan

individu lain. Kesepian terbentuk tidak hanya karena faktor banyak

sedikitnya jumlah hubungan yang terjalin atau frekuensi interaksi sosial

yang terjadi, tetapi juga oleh faktor hubungan itu sendiri.

Menurut Russell dan Peplau (1980), kesepian didasari oleh tiga aspek

yaitu:

a. Trait Loneliness

Yaitu adanya pola yang lebih stabil dari perasaan kesepian karena

disebabkan kepribadian mereka. Kepribadian yang dimaksud adalah

seseorang yang memiliki kepercayaan yang kurang dan ketakutan akan

orang asing.

Page 15: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Cyberloafingeprints.mercubuana-yogya.ac.id/4593/3/BAB II.pdf · 12 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Cyberloafing 1. Pengertian Perilaku Cyberloafing Cyberloafing

26

b. Social Desirability

yaitu terjadinya kesepian karena individu tidak mendapatkan

kehidupan sosial yang diinginkan pada kehidupan di lingkungannya.

c. Depression

yaitu terjadinya kesepian karena terganggunya perasaan seseorang

seperti perasaan sedih, murung, tidak bersemangat, merasa tidak berharga

dan berpusat pada kegagalan yang dialami oleh individu.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa terdapat enam

aspek kesepian, yaitu need for intimacy, cognitive process, social

reinforcement, trait loneliness, social desirability dan depression. Pada

penelitian ini, peneliti memilih aspek-aspek yang dikemukakan Peplau dan

Perlman (1982),yaitu need for intimacy, cognitive process dan social

reinforcement karena aspek yang dibuat cukup detail dan memudahkan

peneliti dalam pembuatan instrumen pengumpulan data.

C. Hubungan Antara Kesepian dengan Perilaku Cyberloafing

Lim (2002) mengungkapkan bahwa Cyberloafing adalah perilaku

menyimpang di tempat kerja yang menggunakan “status pegawainya” untuk

mengakses internet dan email selama jam kerja untuk tujuan yang tidak

berhubungan dengan pekerjaan. Cyberloafing dapat dikatakan sebagai perilaku

menyimpang karena selain merugikan pegawai juga dapat merugikan perusahaan

yang ditempatinya. Pernyataan ini didukung oleh Harsono, Pantow dan Marentek

(2016) yang menyatakan bahwa cyberloafing dapat menjadi penyebab turunnya

Page 16: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Cyberloafingeprints.mercubuana-yogya.ac.id/4593/3/BAB II.pdf · 12 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Cyberloafing 1. Pengertian Perilaku Cyberloafing Cyberloafing

27

konsentrasi, gangguan komunikasi, adanya tindakan tidak disiplin, penghentian

hubungan kerja, kerugian reputasi, serta masalah dalam keamanan sistem

informasi, pensabotasean akses ke dokumen rahasia dan penyebaran virus

komputer.

Menurut Ozler dan Polat (2012) faktor-faktor yang melatarbelakangi

terjadinya perilaku cyberloafing yang pertama adalah faktor individual, yang

meliputi shyness, kesepian, isolation, self control, self esteem, locus of control

serta kebiasaan dan adiksi internet, faktor demografis, keinginan untuk terlibat,

norma sosial dan kode etik personal. Faktor selanjutnya adalah faktor organisasi,

yang meliputi pembatasan penggunaan internet, hasil yang diharapkan, dukungan

manajerial, pandangan rekan kerja tentang norma cyberloafing, sikap kerja

pegawai dan karakteristik pekerjaan yang pegawai lakukan. Dan faktor yang

terakhir adalah faktor situasional yang meliputi kedekatan jarak ruangan pegawai

dan kedekatan dengan atasan.

Dari faktor-faktor tersebut, kesepian akan menjadi fokus dalam penelitian

ini. Hal ini didasari oleh pernyataan dari Chack dan Leung (dalam Ozler & Polat,

2012) bahwa perilaku penggunaan internet mencerminkan berbagai motif

psikologis dengan salah satunya adalah kesepian yang juga dapat mempengaruhi

pola penggunaan internet. Peplau dan Perlman (1982) berpendapat bahwa

kesepian adalah pengalaman yang tidak menyenangkan yang terjadi ketika

keterlibatan seseorang dalam hubungan sosial secara signifikan berkurang baik

dalam segi kuantitas ataupun kualitas. Kesepian juga memiliki tiga aspek yaitu

need for intimacy, cognitive process dan social reinforcement.

Page 17: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Cyberloafingeprints.mercubuana-yogya.ac.id/4593/3/BAB II.pdf · 12 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Cyberloafing 1. Pengertian Perilaku Cyberloafing Cyberloafing

28

Need for intimacy adalah keinginan-keinginan individu untuk menjalin

hubungan yang lekat dengan orang lain serta mengungkapkan hubungan seperti

apa yang dikehendaki atau didambakan oleh masing-masing individu (Peplau &

Perlman, 1982). Need for intimacy juga merupakan suatu kebutuhan dasar yang

diperlukan manusia untuk bertahan hidup (From-Reichmann dalam Peplau &

Perlman 1982). Weiss (1973) mengatakan bahwa kesepian disebabkan bukan

karena sendirian tetapi tidak adanya kelekatan hubungan antara sesama manusia.

Kelekatan merupakan ikatan emosional yang dibentuk seorang individu dengan

orang lain yang bersifat spesifik, mengikat pegawai dalam suatu kelekatan yang

bersifat kekal sepanjang waktu (Ainsworth dalam Erwina & Ervika, 2006).

Pegawai yang memiliki need for intimacy yang rendah lebih mudah bersosialisasi

dengan rekan kerjanya, dapat fokus mengerjakan pekerjaanya, merupakan pribadi

yang menyenangkan, bersahabat dan lebih disukai oleh rekan kerja lainnya

(Nurhidayah, 2011). Hal ini terjadi karena pegawai dengan need for intimacy yang

rendah mempunyai perasaan bahwa dirinya berharga, dipercaya, responsif dan

penuh kasih sayang (Helmi, 1999). Perasaan tersebut yang membuat pegawai

lebih memilih bersosialisasi secara langsung dibandingkan bersosialisasi melalui

online (Dariyo & Widiyanto, 2013).

Pegawai dengan need for intimacy yang tinggi cenderung tidak percaya diri,

tidak memiliki teman akrab, sulit bergaul dengan rekan kerja dan lebih sering

menghabiskan waktu dengan gadget (Nurhidayah, 2011). Hal ini terjadi karena

pegawai merasa dirinya tidak berharga, komitmen dalam hubungan interpersonal

yang rendah, selalu merasa curiga dan merasa tidak dicintai orang lain (Helmi,

Page 18: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Cyberloafingeprints.mercubuana-yogya.ac.id/4593/3/BAB II.pdf · 12 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Cyberloafing 1. Pengertian Perilaku Cyberloafing Cyberloafing

29

1999). Lebih lanjut dijelaskan tingginya need for intimacy akan membuat pegawai

mencari alternatif membina kelekatan dengan orang lain yaitu dengan cara

berkomunikasi secara online dengan memanfaatkan akses internet (Dariyo &

Widiyanto, 2013). Dariyo (2016), menambahkan komunikasi online lebih

diminati karena pengguna dapat berinteraksi secara anonim. Penggunaan akses

internet pada saat jam kerja untuk kepentingan pribadi disebut cyberloafing (Lim,

2002).

Aspek cognitive process menekankan tentang persepsi serta evaluasi

individu terhadap hubungan sosialnya. Kesepian muncul apabila seseorang dalam

mempersepsikan dan mengevaluasi hubungan sosialnya menemukan bahwa

adanya kesenjangan antara apa yang individu inginkan dengan apa yang ingin

individu capai (Peplau & Perlman, 1982). Pada dasarnya setiap orang memiliki

tingkat interaksi sosial yang optimal. Ketika hubungan sosial itu tidak optimal,

orang tersebut akan mengalami kesepian. Sebaliknya, ketika dihadapkan dengan

kontak sosial yang berlebihan, orang tersebut akan mengalami kesulitan. Evaluasi

hubungan sosial seseorang dipengaruhi oleh perbandingan dengan pengalaman

masa lalunya sendiri dan dengan pengalaman orang lain. Individu yang merasa

kurangnya hubungan sosial sehingga mengakibatkan kesepian dapat menurunkan

derajat kesepiannya dengan cara melakukan kontak sosial (Peplau & Perlman,

1981). Pegawai dengan cognitive process yang positif cenderung menjadi pribadi

yang bahagia, selalu menyapa rekan kerja, ramah dan mudah untuk berinteraksi

dengan rekan kerja (Burt dalam Amalia, 2013). Hal ini dikarenakan pegawai

mempersepsikan bahwa hubungan sosialnya dengan orang lain berjalan dengan

Page 19: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Cyberloafingeprints.mercubuana-yogya.ac.id/4593/3/BAB II.pdf · 12 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Cyberloafing 1. Pengertian Perilaku Cyberloafing Cyberloafing

30

baik sehingga pegawai merasa tidak memiliki beban dan tekanan dari hubungan

sosialnya (Peplau & Perlman, 1981). Karena positifnya persepsi pegawai terhadap

hubungan sosialnya, hal itu yang membuat pegawai lebih suka berinteraksi secara

langsung dibandingkan melalui online (Dariyo, 2016). Sebaliknya, pegawai

dengan cognitive process yang rendah cenderung lebih sensitif terhadap rekan

kerjanya, tidak dapat mengontrol emosinya, kurang dapat diajak kerjasama dan

tidak pandai bergaul (Burt dalam Amalia, 2013). Hal ini dikarenakan pegawai

mempersepsikan hubungan sosial yang dialaminya tidak sesuai dengan yang

diharapkan sehingga pegawai memiliki pemikiran yang negatif terhadap orang

lain dan merasa terkucilkan (Peplau & Perlman, 1981). Kemajuan teknologi

memungkinkan setiap individu dapat berhubungan antara satu dengan

menggunakan internet. Pegawai yang mempunyai hubungan sosial rendah tetap

dapat memenuhi kebutuhan untuk bersosialisasinya dengan berselancar di internet

(Krisnawati & Soetjiningsih, 2017). Martin dan Schumacher (2003), menyatakan

pegawai yang mempunyai persepsi negatif terhadap hubungan sosialnya, merasa

tidak mampu beradaptasi baik dengan lingkungan sekitarnya dan menyebabkan

perasaan kesepian, sehingga cenderung berinteraksi dengan teman online dan

menggunakan internet sebagai dukungan emosional dalam memenuhi kontak

sosial.

Social reinforcement menitikberatkan terhadap hubungan sosial yang baik

terjadi karena adanya penguatan sosial dari orang lain. Penguatan sosial dapat

terjadi karena dukungan sosial dari orang lain (Peplau & Perlman, 1982).

Dukungan sosial adalah penerimaan dari orang lain atau keluarga terhadap

Page 20: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Cyberloafingeprints.mercubuana-yogya.ac.id/4593/3/BAB II.pdf · 12 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Cyberloafing 1. Pengertian Perilaku Cyberloafing Cyberloafing

31

individu yang menimbulkan persepsi dalam dirinya bahwa seseorang merasa

disayangi, diperhatikan, dihargai, dan ditolong, sehingga menimbulkan perasaan

bahwa kita memiliki arti bagi orang lain atau menjadi bagian dari jaringannya

(sarafino, 1998). Social reinforcement dibutuhkan oleh pegawai karena dapat

membuat pegawai merasa tidak sendirian dan bersemangat sehingga pegawai

dapat mengerjakan tugasnya dengan baik dan produktivitasnya meningkat

(Hudson, 1997). Pegawai yang mendapatkan social reinforcement dari rekan

kerjanya selalu bersemangat dalam bekerja, dapat diandalkan, percaya diri dalam

menghadapi tantangan dan dapat bekerjasama dengan rekan kerjanya (Kim,

LaRose & Peng, 2009). Hal ini dikarenakan pegawai merasa diperhatikan oleh

rekan kerjanya, mendapat dukungan sosial dan merasa bahwa dirinya dianggap

oleh orang lain (Hudson, 1997). Sebaliknya, pegawai yang tidak mendapatkan

social reinforcement dari rekan kerjanya berperilaku apatis, penyendiri, tidak

bersemangat dan cenderung tidak mempunyai prestasi kerja yang baik (Kim,

LaRose & Peng, 2009). Kurangnya social reinforcement dapat membuat pegawai

merasa kesepian, sendirian dan tidak memiliki dukungan sosial sehingga mencari

alternatif untuk mendapatkan social reinforcement yaitu melalui kegiatan online

(Hudson, 1997). Pernyataan tersebut diperkuat oleh Cummings, Butler dan Kraut,

(2002), yang mengungkapkan bahwa melalui kegiatan online, pegawai dapat

menemukan komunitas-komunitas online dengan individu-individu lain yang

mempunyai pengalaman yang sama sehingga pegawai dapat mendapatkan social

reinforcement dari kegiatan online. Namun penggunaan akses internet pada saat

Page 21: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Cyberloafingeprints.mercubuana-yogya.ac.id/4593/3/BAB II.pdf · 12 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Cyberloafing 1. Pengertian Perilaku Cyberloafing Cyberloafing

32

jam kerja yang bukan untuk kepentingan pekerjaan merupakan kegiatan yang

tidak produktif dan biasa disebut cyberloafing (Blanchard & Henle, 2007).

D. Hipotesis Penelitian

Berdasarkan tinjauan pustaka yang telah dipaparkan di atas, maka rumusan

hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah terdapat hubungan positif

antara kesepian dengan cyberloafing pada Pegawai Negeri Sipil di Biro

Kepegawaian Badan Kepegawaian Negara Pusat. Semakin tinggi tingkat kesepian

pada pegawai, semakin tinggi juga tingkat cyberloafing pada pegawai. Begitu juga

sebaliknya, semakin rendah tingkat kesepian pada pegawai, semakin rendah juga

tingkat cyberloafing pada pegawai.