BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. 1. -...

22
8 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kecemasan 1. Pengertian Kecemasan adalah kekhawatiran yang tidak jelas dan menyebar, yang berkaitan dengan perasaan tidak pasti dan tidak berdaya. Keadaan ini tidak memiliki objek yang spesifik. Kecemasan dialami secara subjektif dan dikomunikasikan secara personal. Kecemasan adalah respon emosional dan merupakan penilaian intelektual terhadap suatu bahaya (Stuart, 2007). Definisi lain menjelaskan kecemasan merupakan respon emosi tanpa objek yang spesifik yang secara sujektif dialami dan dikomunikasikan secara interpersonal. Kecemasan adalah kebingungan, kekhawatiran pada sesuatu yang akan terjadi dengan penyebab yang tidak jelas dan dihubungkan dengan perasaan yang tidak menentu dan tidak berdaya (Suliswati, 2005). Sementara itu Stuart & Laraia (2005) mengartikan kecemasan sebagai kekhawatiran yang tidak jelas menyebar di alam pikiran dan terkait dengan perasaan ketidakpastian dan ketidakberdayaan, tidak ada objek yang dapat diidentifikasi sebagai stimulus kecemasan. 2. Tingkat Kecemasan Cemas sangat berkaitan dengan perasaan tidak pasti dan tidak berdaya. Keadaan emosi ini tidak memiliki objek yang spesifik. Kondisi dialami secara subjektif dan dikomunikasikan dalam hubungan interpersonal. Cemas berbeda dengan rasa takut, yang merupakan penilaian intelektual terhadap sesuatu yang berbahaya. Kapasitas untuk menjadi cemas

Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. 1. -...

8

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kecemasan

1. Pengertian

Kecemasan adalah kekhawatiran yang tidak jelas dan menyebar, yang

berkaitan dengan perasaan tidak pasti dan tidak berdaya. Keadaan ini tidak

memiliki objek yang spesifik. Kecemasan dialami secara subjektif dan

dikomunikasikan secara personal. Kecemasan adalah respon emosional

dan merupakan penilaian intelektual terhadap suatu bahaya (Stuart, 2007).

Definisi lain menjelaskan kecemasan merupakan respon emosi tanpa

objek yang spesifik yang secara sujektif dialami dan dikomunikasikan

secara interpersonal. Kecemasan adalah kebingungan, kekhawatiran pada

sesuatu yang akan terjadi dengan penyebab yang tidak jelas dan

dihubungkan dengan perasaan yang tidak menentu dan tidak berdaya

(Suliswati, 2005).

Sementara itu Stuart & Laraia (2005) mengartikan kecemasan sebagai

kekhawatiran yang tidak jelas menyebar di alam pikiran dan terkait

dengan perasaan ketidakpastian dan ketidakberdayaan, tidak ada objek

yang dapat diidentifikasi sebagai stimulus kecemasan.

2. Tingkat Kecemasan

Cemas sangat berkaitan dengan perasaan tidak pasti dan tidak berdaya.

Keadaan emosi ini tidak memiliki objek yang spesifik. Kondisi dialami

secara subjektif dan dikomunikasikan dalam hubungan interpersonal.

Cemas berbeda dengan rasa takut, yang merupakan penilaian intelektual

terhadap sesuatu yang berbahaya. Kapasitas untuk menjadi cemas

9

diperlukan untuk bertahan hidup, tetapi tingkat cemas yang parah tidak

sejalan dengan kehidupan. Rentang respon kecemasan menggambarkan

suatu derajat perjalanan cemas yang dialami individu (dapat dilihat dalam

gambar 2.1)

RENTANG RESPON KECEMASAN

Respon Adaptif Respon Maladaptif

Antisipasi Ringan Sedang Berat Panik

Gambar 2.1 Rentang respon kecemasan (Stuart, 2007).

Tingkat Kecemasan adalah suatu rentang respon yang membagi individu

apakah termasuk cemas ringan, sedang, berat atau bahkan panik. Beberapa

kategori kecemasan menurut Stuart (2007):

a. Kecemasan ringan

Kecemasan ringan berhubungan dengan ketegangan yang

menyebabkan individu menjadi waspada dan meningkatkan lapang

persepsinya. Kecemasan ini dapat memotivasi belajar dan

menghasilkan pertumbuhan serta kreativitas.

b. Kecemasan sedang

Kecemasan ini memungkinkan individu untuk berfokus pada hal yang

penting dan mengesampingkan yang lain. Kecemasan sedang ini

mempersempit lapang persepsi individu. Dengan demikian, individu

mengalami tidak perhatian yang selektif namun dapat berfokus pada

lebih banyak area jika diarahkan untuk melakukannya.

10

c. Kecemasan berat

Pada tingkat kecemasan ini sangat mengurangi lapang persepsi

individu. Individu cenderung berfokus pada sesuatu yang rinci dan

spesifik serta tidak berpikir tentang hal lain. Semua perilaku ditujukan

untuk mengurangi ketegangan. Individu tersebut memerlukan banyak

arahan untuk berfokus pada area lain.

d. Tingkat Panik pada Kecemasan

Tingkat paling atas ini berhubungan dengan terperangah, ketakutan,

dan teror. Hal yang rinci terpecah dari proporsinya. Karena mengalami

kehilangan kendali, individu yang mengalami panik tidak mampu

melalukan sesuatu walaupun dengan arahan. Panik mencakup

disorganisasi kepribadian dan menimbulkan peningkatan aktivitas

motorik, menurunnya kemampuan untuk berhubungan dengan orang

lain, persepsi yang menyimpang, dan kehilangan pemikiran yang

rasional. Tingkat kecemasan ini tidak sejalan dengan kehidupan, jika

berlangsung terus dalam waktu yang lama, dapat terjadi kelelahan dan

kematian.

Serangan panik merupakan periode tersendiri dari kecemasan yang

intens, seseorang dikatakan panik bila memilki sedikitnya empat

gejala berikut yang berkembang cepat dan mencapai puncaknya dalam

10 menit (Stuart, 2007). Terdapat banyak gejala yang menandai

serangan panik yang terjadi pada individu, seperti: Palpitasi, jantung

berdenyut keras dengan frekuensi cepat, dapat pula terjadi keluar

keringat yang berlebihan, gemetar, sesak nafas atau seperti tercekik.

Gejala lain yang dapat terjadi ialah merasa tersedak, nyeri dada, mual

atau distress abdomen, pusing dan ingin pingsan, derealisasi (merasa

tidak nyata) atau depersonalisasi (merasa terasing dari diri sendiri),

takut kehilangan kendali atau menjadi gila, takut mati, parestesia.

11

3. Faktor-faktor yang mempengaruhi kecemasan

Stuart & Laraia (2005) menyatakan ada beberapa teori yang telah

dikembangkan untuk menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi

kecemasan, diantaranya faktor predisposisi dan presipitasi:

a. Faktor predisposisi Kecemasan

1) Dalam pandangan psikoanalitis, kecemasan adalah konflik

emosional yang terjadi antara dua elemen kepribadian id dan

superego. Id mewakili dorongan insting dan impuls primitive,

sedangkan superego mencerminkan hati nurani dan dikendalikan

oleh norma budaya. Ego atau Aku, berfungsi menengahi tuntutan

dari dua elemen yang bertentangan itu, dan fungsi cemas adalah

mengingatkan ego bahwa ada bahaya.

2) Menurut pandangan interpersonal, kecemasan timbul dari perasaan

takut terhadap ketidaksetujuan dan penolakan interpersonal.

Kecemasan juga berhubungan dengan perkembangan trauma,

seperti perpisahan dan kehilangan, yang menimbulkan kerentanan

tertentu. Individu dengan haraga diri rendah rentan mengalami

kecemasan yang berat.

3) Menurut pandangan perilaku, kecemasan merupakan produk

frustasi yaitu segala sesuatu yang mengganggu kemampuan

individu untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Ahli teori

perilaku lain menganggap kecemasan sebagai suatu dorongan yang

dipelajari berdasarkan keinginan dari dalam diri untuk

menghindari kepedihan. Ahli teori konflik memandang kecemasan

sebagai pertentangan antara dua kepentingan yang berlawanan.

Mereka meyakini adanya hubungan timbal balik antara konflik dan

kecemasan. Konflik menimbulkan kecemasan, dan kecemasan

menimbulkan perasaan tidak berdaya, yang pada gilirannya

meningkatkan konflik yang dirasakan.

12

4) Kajian keluarga menunjukkan bahwa gangguan kecemasan

biasanya terjadi dalam keluarga. Gangguan kecemasan juga

tumpang tindih antara gangguan kecemasan dengan depresi.

5) Kajian biologis menunjukkan bahwa otak mengandung reseptor

khusus untuk benzodiasepin, obat-obatan yang meningkatkan

neuroregulator inhibisi asam gama-aminobutirat (GABA), yang

berperan penting dalam mekanisme biologis yang berhubungan

dengan kecemasan. Kecemasan mungkin disertai dengan gangguan

fisik dan selanjutnya menurunkan kemampuan individu untuk

mengatasi stressor.

b. Faktor presipitasi kecemasan

Menurut Stuart & Laraia (2005) kategori faktor pencetus kecemasan

dapat dikelompokkan menjadi dua faktor:

1) Faktor eksternal:

a) Ancaman terhadap integritas fisik meliputi disabilitas fisiologis

yang akan terjadi atau penurunan kemampuan untuk

melakukan aktivitas hidup sehari-hari (penyakit, trauma fisik,

pembedahan yang akan dilakukan).

b) Ancaman terhadap sistem diri dapat membahayakan identitas,

harga diri, dan fungsi sosial yang terintegrasi pada individu.

2) Faktor internal:

a) Usia, seseorang yang mempunyai usia lebih muda ternyata

lebih mudah mengalami gangguan akibat kecemasan daripada

seseorang yang lebih tua usianya.

b) Jenis kelamin, gangguan ini lebih sering dialami oleh wanita

daripada pria. Wanita memiliki tingkat kecemasan yang lebih

tinggi dibandingkan subjek berjenis kelamin laki-laki.

13

Dikarenakan bahwa perempuan lebih peka dengan emosinya,

yang pada akhirnya peka juga terhadap perasaan cemasnya.

c) Tingkat Pengetahuan, dengan pengetahuan yang dimiliki,

seseorang akan dapat menurunkan perasaan cemas yang

dialami dalam mempersepsikan suatu hal. Pengetahuan ini

sendiri biasanya diperoleh dari informasi yang didapat dan

pengalaman yang pernah dilewati individu.

d) Tipe kepribadian, orang yang berkepribadian A lebih mudah

mengalami gangguan kecemasan daripada orang dengan

kepribadian B. Adapun ciri-ciri orang dengan kepribadian A

adalah tidak sabar, kompetitif, ambisius, dan ingin serba

sempurna.

e) Lingkungan dan situasi, seseorang yang berada di lingkungan

asing ternyata lebih mudah mengalami kecemasan dibanding

bila dia berada di lingkungan yang biasa dia tempati.

4. Respons Terhadap Kecemasan

Respon terhadap kecemasan terdiri dari respon fisiologis, perilaku,

kognitif dan afektif (Stuart, 2007). Tabel 2.1 dan 2.2 menguraikan respon

fisologis, respon perilaku, kognitif dan afektif terhadap kecemasan:

14

a. Respon fisiologis terhadap kecemasan

Tabel 2.1 Respon fisiologis terhadap kecemasan

Sistem tubuh Respons Kardiovaskular palpitasi, jantung berdebar, tekanan darah

meningkat, rasa ingin pingsan, tekanan darah menurun, denyut nadi menurun.

Respirasi nafas cepat, sesak nafas, tekanan pada dada, nafas dangkal, pembengkakan pada tenggorokan, seperti tercekik, terengah-engah.

Neuromuskular

refleks meningkat, mudah terkejut, mata berkedip-kedip, insomnia, tremor, rigiditas, gelisah, wajah tegang, kelemahan umum, tungkai lemah, gerakan yang janggal.

Gastrointestinal kehilangan nafsu makan, menolak makan, mual, nyeri ulu hati, diare.

Saluran perkemihan tidak dapat menahan kencing, sering berkemih. Kulit wajah kemerahan, berkeringat pada telapak

tangan, gatal, wajah pucat, diaphoresis.

b. Respons perilaku, kognitif dan afektif terhadap kecemasan

Tabel 2.2 respons perilaku, kognitif dan afektif terhadap kecemasan

Sistem Respons Perilaku gelisah, ketegangan fisik, tremor, reaksi terkejut,

bicara cepat, kurang koordinasi, cenderung mengalami cidera, menarik diri dari hubungan interpersonal, inhibisi, melarikan diri dari masalah, menghindar, hiperventilasi, sangat waspada.

Kognitif perhatian terganggu, konsentrasi buruk, pelupa, salah dalam memberikan penilaian, preokupasi, hambatan berpikir, lapang persepsi menurun, kreativitas menurun, produktivitas menurun, bingung, sangat waspada, kesadaran diri, kehilangan objektivitas, takut kehilangan kendali, takut pada gambaran visual, takut cidera atau kematian, mimpi buruk.

Afektif mudah terganggu, tidak sabar, gelisah, tegang, ketakutan, waspada, kekhawatiran, mati rasa, malu.

15

5. Alat ukur tingkat kecemasan

Untuk mengetahui sejauh mana derajat kecemasan seseorang apakah

ringan, sedang, berat atau panik dapat menggunakan beberapa alat ukur

(instrumen), yaitu:

a. Alat ukur kecemasan yang dikutip dari Hawari (2008) menggunakan

HRS-A (Hamilton Rating Scale for Anxiety), yang terdiri atas 14

komponen gejala, yaitu:

1) Perasaan cemas (ansietas), meliputi: cemas, firasat buruk, takut

akan pikiran sendiri, mudah tersinggung

2) Ketegangan, meliputi: merasa tegang, lesu, tidak bisa istirahat

tenang, mudah terkejut, mudah menangis, gemetar, gelisah

3) Ketakutan, meliputi: pada gelap, pada orang asing, ditinggal

sendiri, pada binatang besar, pada keramaian lalu lintas, pada

kerumunan orang banyak

4) Gangguan tidur, meliputi: sukar masuk tidur, terbangun malam

hari, tidur tidak nyenyak, bangun dengan lesu, banyak mimpi-

mimpi, mimpi buruk, mimpi menakutkan

5) Gangguan kecerdasan, meliputi: sukar konsentrasi, daya ingat

menurun, daya ingat buruk

6) Perasaan depresi (murung), meliputi: hilangnya minat,

berkurangnya kesenangan pada hobi, sedih, bangun dini hari,

perasaan berubah-berubah sepanjang hari

7) Gejala somatik/fisik (otot), meliputi: sakit dan nyeri otot-otot,

kaku, kedutan otot, gigi gemerutuk, suara tidak stabil

8) Gejala somatik/fisik (sensorik), meliputi: tinnitus (telinga

berdenging), penglihatan kabur, muka merah atau pucat, merasa

lemas, perasaan ditusuk-tusuk

16

9) Gejala kardiovaskuler (jantung dan pembuluh darah), meliputi,

takikardia, berdebar-debar, nyeri di dada, denyut nadi mengeras,

rasa lemas seperti mau pingsan, detak jantung berhenti sekejap

10) Gejala respiratori (pernafasan), meliputi: rasa tertekan atau sempit

di dada, rasa tercekik, sering menarik nafas, nafas pendek/sesak

11) Gejala gastrointestinal (pencernaan), meliputi: sulit menelan, perut

melilit, gangguan pencernaan, nyeri sebelum dan sesudah makan,

perasaan terbakar di perut, rasa penuh atau kembung, mual,

muntah, buang air besar lembek, konstipasi, kehilangan berat

badan

12) Gejala urogenital (perkemihan dan kelamin), meliputi: sering

buang air kecil, tidak dapat menahan air kencing, tidak datang

bulan, darah haid amat sedikit, masa haid berkepanjangan, masa

haid amat pendek, haid beberapa kali dalam sebulan, menjadi

dingin, ejakulasi dini, ereksi ilmiah, ereksi hilang, impotensi

13) Gejala autonom, meliputi: mulut kering, muka merah, mudah

berkeringat, kepala pusing, kepala terasa berat, kepala terasa sakit,

bulu-bulu berdiri

14) Tingkah laku (sikap) pada wawancara, meliputi: gelisah, tidak

tenang, jari gemetar, kerut kening, muka tegang, otot tegang /

mengeras, nafas pendek dan cepat, muka merah

Cara penilaian HRS-A dengan sistem skoring, yaitu: skor 0 = tidak

ada gejala, skor 1 = ringan (satu gejala), skor 2 = sedang (dua

gejala), skor 3 = berat (lebih dari dua gejala), skor 4 = sangat berat

(semua gejala). Bila skor < 14 = tidak kecemasan, skor 14-20 =

cemas ringan, skor 21-27 = cemas sedang, skor 28-41 = cemas

berat, skor 42-56 = panik.

17

b. Skala analog visual (Visual analog scale, VAS)

Suatu garis lurus yang mewakili tingkatan kecemasan dan

pendeskripsi verbal pada setiap ujungnya. Skala ini memberi pasien

kebebasan penuh untuk mengidentifikasi kategori cemas yang

dirasakan. VAS dapat merupakan pengukuran tingkat kecemasan yang

cukup sensitif karena pasien dapat mengidentifikasi setiap titik pada

rangkaian, dari pada dipaksa memilih satu kata atau satu angka.

Pengukuran dengan VAS pada nilai nol dikatakan tidak ada

kecemasan,nilai 10-30 dikatakan sebagai cemas ringan, nilai antara

40-60 cemas sedang, diantara 70-90 cemas berat, dan 100 dianggap

panik.

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100

Gambar 2.2 Skor kecemasan VAS (British Journal of Anaesthesia 1995)

B. Pre Operasi Hernia

1. Konsep hernia

Hernia merupakan protrusi atau penonjolan isi suatu rongga melalui defek

atau bagian lemah dari dinding rongga bersangkutan (Sjamsuhidajat &

Jong, 2005). Definisi lain menyatakan hernia adalah penonjolan viskus

atau sebagian dari viskus melalui celah abnormal pada selubungnya

(Grace & Borley, 2007). Menurut Hinchcliff dalam Jitowiyono (2010),

hernia adalah protusio (penonjolan) abnormal suatu organ atau bagian

18

suatu organ melalui lubang (apertura) pada struktur disekitarnya,

umumnya celah dari dinding abdomen.

a. Etiologi hernia

Etiologi hernia menurut Jitowiyono dan Kristiyanasari (2010), ialah:

1) Lemahnya dinding rongga perut (dapat ada seak lahir atau didapat)

2) Akibat dari pembedahan sebelumnya

3) Kongenital

4) Aquisial, adalah hernia yang bukan disebabkan oleh adanya defek

bawaan tetapi disebabkan oleh faktor lain yang dialami seseorang

selama hidupnya, antara lain:

a) Tekanan abdominal yang tinggi, banyak dialami oleh pasien

yang sering mengejan baik saat buang air besar maupun buang

air kecil.

b) Konstitusi tubuh, orang kurus cenderung terkena hernia karena

jaringan ikatnya sedikit. Sedangkan pada orang gemuk dapat

terkena hernia karena banyaknya jaringan lemak dalam

tubuhnya yang menambah beban kerja jaringan ikat penyokong

pada LMR.

c) Distensi abdomen

d) Sikatrik

e) Penyakit yang melemahkan dinding perut

f) Merokok.

b. Bagian dan jenis hernia

Bagian-bagian dari hernia menurut Jitowiyono&Kristiyanasari (2010):

1) Kantong hernia

Pada hernia abdominalis berupa peritoneum parietalis

19

2) Isi hernia

Berupa organ atau jaringan yang keluar melalui kantong hernia,

misalnya usus, ovarium, dan jaringan penyangga usus (omentum)

3) Pintu hernia

Merupakan bagian locus minoris resitance yang dilalui kantong

hernia

4) Leher hernia

Bagian tersempit kantong hernia.

Menurut sifat dan keadaannya hernia dibedakan menjadi:

1) Hernia reponibel: bila isi hernia dapat keluar masuk. Usus keluar

jika berdiri atau mengedan dan masuk lagi bila berbaring atau

didorong masuk perut, tidak ada keluhan nyeri atau gejala

obstruksi usus (Nicks, 2008).

2) Hernia ireponibel: Bila isi kantong tidak dapat direposisi kembali

ke dalam rongga perut. Ini biasanya disebabkan oleh perlekatan isi

kantong pada peritoneum kantong hernia (Nicks, 2008).

3) Hernia inkarserata atau strangulata: bila isinya terjepit oleh cincin

hernia sehingga isi kantong terperangkap dan tidak dapat kembali

ke dalam rongga perut. Akibatnya, terjadi gangguan vaskularisasi.

Reseksi usus perlu segera dilakukan untuk menghilangkan bagian

yang mungkin nekrosis (Sherwinter, 2009).

Menurut Erickson (2009) dalam Muttaqin 2011, ada beberapa

klasifikasi hernia yang dibagi berdasarkan regionya, yaitu: hernia

inguinalis, hernia femoralis, hernia umbilikalis, dan hernia skrotalis.

1) Hernia Inguinalis, yaitu: kondisi prostrusi (penonjolan) organ

intestinal masuk ke rongga melalui defek atau bagian dinding yang

tipis atau lemah dari cincin inguinalis. Materi yang masuk lebih

20

sering adalah usus halus, tetapi bisa juga merupakan suatu jaringan

lemak atau omentum. Predisposisi terjadinya hernia inguinalis

adalah terdapat defek atau kelainan berupa sebagian dinding

rongga lemah. Penyebab pasti hernia inguinalis terletak pada

lemahnya dinding, akibat perubahan struktur fisik dari dinding

rongga (usia lanjut), peningkatan tekanan intraabdomen

(kegemukan, batuk yang kuat dan kronis, mengedan akibat

sembelit, dll).

2) Hernia Femoralis, yaitu: suatu penonjolan organ intestinal yang

masuk melalui kanalis femoralis yang berbentuk corong dan keluar

pada fosa ovalis di lipat paha. Penyebab hernia femoralis sama

seperti hernia inguinalis.

3) Hernia Umbilikus, yaitu: suatu penonjolan (prostrusi) ketika isi

suatu organ abdominal masuk melalui kanal anterior yang dibatasi

oleh linea alba, posterior oleh fasia umbilicus, dan rektus lateral.

Hernia ini terjadi ketika jaringan fasia dari dinding abdomen di

area umbilicus mengalami kelemahan.

4) Hernia Skrotalis, yaitu: hernia inguinalis lateralis yang isinya

masuk ke dalam skrotum secara lengkap. Hernia ini harus cermat

dibedakan dengan hidrokel atau elevantiasis skrotum.

c. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan hernia menurut Jitowiyono & Kristiyanasari (2010)

adalah dengan dilakukan operasi. Indikasi operasi sudah ada begitu

diagnosis ditegakkan. Prinsip dasar operasi hernia adalah herniorapy,

yang terdiri dari herniotomy dan hernioplasty.

1) Herniotomy

Pada herniotomy dilakukan pembebasan kantong hernia sampai ke

lehernya, kantong dibuka dan isi hernia dibebaskan kalau ada

21

perlengketan, kemudian direposisi. Kantong hernia dijahit, ikat

setinggi mungkin lalu dipotong.

2) Hernioplasty

Pada hernioplasty dilakukan tindakan memperkecil annulus

inguinalis internus dan memperkuat dinding belakang kanalis

inguinalis. Hernioplasty lebih penting artinya dalam mencegah

terjadinya residif dibandingkan dengan herniotomy. Dikenal

berbagai metode hernioplasty seperti memperkecil annulus

inguinalis internus dengan jahitan terputus, menutup dan

memperkuat fasia transversa, dan menjahitkan pertemuan

muskulus tranversus internus abdominis dan muskulus oblikus

internus abdominis yang dikenal dangan nama conjoint tendon ke

ligamentum inguinale menurut metode Bassini, atau menjahitkan

fasia tranversa muskulus transversus abdominis, muskulus oblikus

internus abdominis ke ligamentum cooper pada metode Mc Vay.

Bila defek cukup besar atau terjadi residif berulang diperlukan

pemakaian bahan sintesis seperti mersilene, prolene mesh atau

marleks untuk menutup defek.

2. Konsep pre operasi

a. Fase pre operasi

Fase preoperasi dimulai ketika keputusan untuk menjalani intervensi

bedah dibuat dan berakhir ketika pasien dipindahkan ke meja operasi

(Smeltzer & Bare, 2002). Persiapan pre operasi sangat penting sekali

untuk mengurangi faktor resiko karena hasil akhir suatu pembedahan

sangat bergantung pada penilaian keadaan pasien. Dalam persiapan

inilah ditentukan adanya kontraindikasi operasi, toleransi pasien

terhadap tindakan bedah, dan ditetapkan waktu yang tepat untuk

melaksanakan pembedahan (Sjamsuhidajat & Jong, 2005).

22

b. Klasifikasi operasi

Smeltzer & Bare (2002) mengkategorikan operasi berdasarkan

urgensinya menjadi lima, yaitu:

1) Kedaruratan, yaitu pasien membutuhkan tindakan segera karena

mengancam jiwa. Sebagai contoh perdarahan hebat, obtruksi

kandung kemih, fraktur tulang tengkorak, luka tembak, luka tusuk.

2) Urgen, yaitu pasien membutuhkan perhatian segera dengan jeda

waktu 24-30 jam. Contoh pada kasus infeksi kandung kemih akut,

batu ginjal atau batu pada uretra.

3) Diperlukan, yaitu pasien harus menjalani pembedahan dalam

tempo bias beberapa minggu atau bulan ke depan. Contoh katarak,

hyperplasia prostat, gangguan tiroid.

4) Elektif, yaitu pasien harus dioperasi bila diperlukan apabila tidak

dilakukan pembedahan tidak berbahaya, contoh vaginoplasti dan

herniotomy.

5) Pilihan, yaitu keputusan terletak pada keinginan pasien, contoh

operasi plastik.

C. Pendidikan Kesehatan Pre Operasi

1. Pengertian

Pendidikan kesehatan adalah suatu upaya atau kegiatan untuk

mempengaruhi orang lain baik individu, kelompok atau masyarakat

berperilaku sesuai dengan nilai-nilai kesehatan. Pendidikan kesehatan juga

suatu kegiatan untuk menjadikan kondisi sedemikian rupa sehingga orang

mampu untuk berperilaku hidup sehat (Fitriani, 2011). Sementara menurut

Notoatmojo (2003), pendidikan kesehatan merupakan suatu kegiatan atau

usaha untuk menyampaikan pesan kesehatan kepada masyarakat,

kelompok atau individu. Dengan harapan bahwa dengan adanya pesan

tersebut individu, kelompok atau masyarakat dapat memperoleh

23

pengetahuan tentang kesehatan yang baik. Sehingga, pengetahuan tersebut

diharapkan dapat berpengaruh terhadap perubahan perilaku kearah yang

lebih baik. Definisi lain dari pendidikan kesehatan menurut A Joint

Committee on Terminologi in Health Education of United State (1973)

dalam Machfoedz (2005) ialah suatu proses yang mencakup dimensi dan

kegiatan-kegiatan dari intelektual, psikologi dan social yang diperlukan

untuk meningkatkan kemampuan manusia dalam mengambil keputusan

secara sadar dan yang mempengaruhi kesejahteraan diri, keluarga dan

masyarakat.

2. Unsur-unsur pendidikan

Unsur-unsur pendidikan menurut Fitriani (2011), ada 3 yaitu:

a. Input

Sasaran pendidikan (individu, kelompok, masyarakat) dan pendidik

(pelaku pendidikan).

b. Proses

Upaya yang direncanakan untuk mempengaruhi orang lain (informasi

kesehatan).

c. Output

Melakukan apa yang diharapkan atau perubahan perilaku. Output yang

diharapkan dari suatu pendidikan kesehatan disini adalah perilaku

kesehatan atau perilaku untuk memelihara dan meningkatkan

kesehatan atau dapat dikatakan perilaku yang kondusif.

24

3. Tujuan Pendidikan Kesehatan

Adapun tujuan pendidikan kesehatan menurut Fitriani (2011), dibagi

menjadi 2 yaitu:

a. Tujuan pendidikan kesehatan untuk mengubah perilaku individu atau

masyarakat dari perilaku yang tidak sehat atau belum sehat menjadi

perilaku sehat.

b. Mengubah perilaku yang kaitannya dengan budaya. Sikap dan perilaku

merupakan bagian dari budaya. Kebudayaan adalah kebiasaan, adat

istiadat, tata nilai atau norma.

4. Ruang Lingkup Pendidikan Kesehatan

Ruang lingkup pendidikan kesehatan menurut Fitriani (2011), dapat

dilihat dari berbagai dimensi yaitu:

a. Dimensi sasaran, ruang lingkup pendidikan kesehatan dibagi menjadi

3 kelompok yaitu:

1) Pendidikan kesehatan individual dengan sasaran individu

2) Pendidikan kesehatan kelompok dengan sasaran kelompok

3) Pendidikan kesehatan masyarakat dengan sasaran masyarakat luas

b. Dimensi tempat pelaksanaanya, pendidikan kesehatan dapat

berlangsung di berbagai tempat yang dengan sendirinya sasaran

berbeda pula yaitu:

1) Pendidikan kesehatan di sekolah dengan sasaran murid

2) Pendidikan kesehatan di puskesmas atau rumah sakit dengan

sasaran pasien dan keluarga pasien.

c. Dimensi tingkat pelayanan kesehatan, pendidikan kesehatan dapat

dilakukan berdasarkan 5 tingkat pencegahan dari Leavel dan Clark.

25

1) Promosi kesehatan

Pada tingkat ini pendidikan kesehatan sangat diperlukan seperti:

peningkatan gizi, perbaikan kebiasaan hidup, perbaikan sanitasi

lingkungan serta hiegine perorangan.

2) Perlindungan khusus

Program imunisasi sebagai bentuk pelayanan perlindungan khusus

sangat dibutuhkan terutama di negara berkembang. Hal ini juga

sebagai akibat dari kesadaran dan pengetahuan masyarakat tentang

imunisasi sebagai perlindungan terhadap penyakit pada dirinya

maupun anak-anak masih rendah.

3) Diagnosis dini dan pengobatan segera

Rendahnya pengetahuan dan kesadaran masyarkat terhadap

kesehatan dan penyakit maka sering kesulitan mendeteksi penyakit

yang terjadi pada masyarakat, bahkan masyarakat sulit atau tidak

mau diperiksa dan diobati sehingga masyarakat tidak memperoleh

pelayanan kesehatan yang layak.

4) Pembatasan kecacatan

Kurangnya kesadaran dan pengetahuan masyarakat tentang

penyakit sehingga masyarakat tidak melanjutkan pengobatan

sampai tuntas. Dengan kata lain pengobatan dan pemeriksaan yang

tidak sempurna mengakibatkan orang tersebut mengalami

kecacatan.

5) Rehabilitasi

Untuk memulihkan kecacatan kadang-kadang diperlukan latihan

tertentu. Karena kurangnya pengetahuan masyarakat enggan

melakukan latihan yang dianjurkan. Kecacatan juga

mengakibatkan perasaan malu untuk kembali ke masyarakat.

Kadang masyarakat pun kadang-kadang tidak mau menerima

mereka sebagai anggotan masyarakat yang normal.

26

5. Manfaat Pendidikan Kesehatan Pre Operasi

Program intruksi berupa pendidikan kesehatan telah dikenal sejak lama.

Setiap pasien diajarkan sebagai seorang individu, dengan

mempertimbangkan segala keunikan ansietas, kebutuhan dan harapan-

harapannya. Idealnya, pendidikan kesehatan dibagi dalam beberapa

periode waktu untuk memungkinkan pasien mengasimilasi informasi dan

untuk mengajukan pertanyaan ketika timbul pertanyaan. Pada

kenyataannya, perawat harus membuat penilaian tentang seberapa banyak

yang pasien ingin dan harus ketahui. Pada beberapa contoh, terlalu rinci

malah meningkatkan tingkat kecemasan pasien (Smeltzer & Bare, 2002).

Pendidikan kesehatan preoperatif memiliki manfaat yang sangat positif

untuk pasien, baik dalam mempersiapkan mental sebelum dilakukannya

pembedahan itu sendiri ataupun mempersiapkan pasien pada post operasi.

Pendidikan (penyuluhan) kesehatan pre operasi tentang perilaku yang

diharapkan dilakukan oleh pasien pada pascaoperatif, yang diberikan

melalui format yang sistematik dan terstruktur sesuai dengan prinsip-

prinsip belajar mengajar, mempunyai pengaruh yang positif bagi

pemulihan pasien. Menurut Potter dan Perry (2006), pendidikan kesehatan

preoperatif yang terstruktur dapat mempengaruhi beberapa faktor

pascaoperatif, antara lain:

a. Kapasitas fungsi fisik, pendidikan kesehatan meningkatkan

kemampuan klien melakukan aktivitas sehari-hari secara lebih awal

b. Perasaan sehat, klien yang telah dipersiapkan untuk menjalani

pembedahan memiliki kecemasan yang lebih rendah dan menyatakan

rasa sehat secara psikologis yang lebih besar

c. Lama rawat inap di rumah sakit, pendidikan kesehatan preoperatif

secara terstuktur dapat mempersingkat waktu rawat inap klien di

rumah sakit.

27

D. Pendidikan Kesehatan Pre Operasi Terhadap Pasien Pre Operasi Hernia

Pendidikan kesehatan pada hakikatnya ialah suatu kegiatan untuk

menyampaikan pesan kesehatan kepada masyarakat, kelompok atau individu

untuk memperolah pengetahuan tentang kesehatan yang baik. Sehingga,

pengetahuan tersebut diharapkan dapat berpengaruh terhadap perubahan

perilaku kearah yang lebih baik (Notoatmojo, 2003). Pemberian pendidikan

kesehatan semacam ini juga harus diterapkan pada pasien yang akan

menjalani operasi hernia. Secara mental pasien harus dipersiapkan untuk

mengahadapi pembedahan karena selalu ada rasa cemas atau takut, misalnya

terhadap penyuntikan, nyeri luka, anestesi bahkan kecacatan setelah tindakan

operasi. Kecemasan ini adalah reaksi normal yang dapat dihadapi dengan

sikap terbuka dan penerangan dari dokter, perawat dan petugas pelayanan

kesehatan lainnya (Sjamsuhidajat & Jong, 2005).

Pemberian pendidikan kesehatan pra operasi pada pasien yang akan menjalani

operasi hernia harapannya akan menurunkan kecemasan pasien.

28

E. Kerangka Teori

Gambar 2.3 : Kerangka Teori modifikasi dari (Sjamsuhidajat & Jong, 2005);

(Stuart, 2007); (Notoatmojo, 2003).

Faktor Internal:

1. Usia 2. Jenis Kelamin 3. Tingkat Pengetahuan 4. Tipe Kepribadian 5. Lingkungan dan

Situasi

Pendidikan Kesehatan Pre Operasi

Faktor eksternal:

1. Ancaman terhadap integritas fisik

2. Ancaman terhadap sistem diri

Pre Operasi Hernia

Kecemasan Pasien Pre Operasi hernia

29

F. Kerangka Konsep Penelitian

Kerangka konsep merupakan justifikasi ilmiah terhadap panelitian yang

dilakukan dan member landasan kuat terhadap yang dipilih sesuai dengan

identifikasi masalahnya (Hidayat, 2007). Pada penelitian ini pendidikan

kesehatan merupakan variable bebas (independent variable), dan tingkat

kecemasan merupakan variable terikat (dependent variable). Adapun

kerangka konsep penelitian ini sebagai berikut:

Variabel independen Variabel dependen

G. Variabel Penelitian

Variabel independent adalah pendidikan kesehatan dan variabel dependent

adalah tingkat kecemasan.

H. Hipotesis

Hipotesis dalam penelitian ini adalah: ada pengaruh pendidikan kesehatan pre

operasi terhadap tingkat kecemasan pasien pre operasi hernia di RSUD

Kudus.

Pendidikan Kesehatan Pre Operasi

Tingkat Kecemasan