BAB II Tinjauan Pustaka
-
Upload
monazzt-asshagab -
Category
Documents
-
view
14 -
download
0
description
Transcript of BAB II Tinjauan Pustaka
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Asma adalah penyakit obstruksi saluran pernapasan akibat
penyempitan saluran napas yang sifatnya reversibel (penyempitan dapat
hilang dengan sendirinya) yang ditandai oleh episode obstruksi pernapasan
diantara dua interval asimtomatik.[5]
Asma adalah penyakit pernapasan obstruksi yang ditandai
inflamasi saluran napas dan spasme akut otot polos bronkiolus. Kondisi ini
menyebabkan produksi mukus yang berlebihan dan menumpuk,
penymbatan aliran udara, dan penurunan ventilasi alveolus.[6]
B. Epidemiologi
Di Indonesia, prevalensi asma belum diketahui secara pasti. Hasil
penelitian pada anak sekolah usia 13-14 tahun dengan menggunakan
kuesioner ISAAC (International Study on Asthma and Allergy in
Children) tahun 1995 melaporkan prevalensi asma sebesar 2,1%,
sedangkan pada tahun 2003 meningkat menjadi 5,2%. Hasil survey asma
pada anak sekolah di beberapa kota di Indonesia (Medan, Palembang,
Jakarta, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Malang dan Denpasar)
menunjukkan prevalensi asma pada anak SD(6 sampai 12 tahun) berkisar
antara 3,7-6,4%, sedangkan pada anak SMP di Jakarta Pusat sebesar 5,8%.
[1]
Pada negara berkembang prevalensi asma lebih rendah daripada negara
maju namun peningkatan urbanisasi diperkirakan berhubungan dengan
peningkatan prevalensi asma di negara berkembang. Asma termasuk sepuluh
besar penyebab kesakitan dan kematian di Indonesia. Hal itu tergambar dari data
studi Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) di berbagai propinsi di Indonesia.
Pada SKRT tahun 1992 asma, bronkitis kronik dan emfisema sebagai penyebab
kematian (mortalitas) ke-4 di Indonesia atau sebesar 5,6 %. Tahun 1995
prevalensi asma di seluruh Indonesia sebesar 13/1000, dibandingkan bronkitis
kronik 11/1000 dan obstruksi paru 2/1000.1 Menurut data Riset Kesehatan Dasar
(Riskesdas) tahun 2008, angka kejadian asma di Provinsi Riau sebesar 3,3%.[3]
Penelitian epidemiologi di berbagai negara mengenai prevalensi asma
menunjukkan angka yang sangat bervariasi, di Skandinavia 0,7-1,8%; Norwegia
0,9- 2,0%; Finlandia 0,7-0,8%; Inggris 1,6-5,1%; Australia 5,4-7,4%, India 0,2%;
Jepang 0,7%; Barbados 1,1%4). Prevalensi asma di seluruh dunia adalah sebesar
8-10% pada anak dan 3-5% pada dewasa, dan dalam 10 tahun terakhir ini
meningkat sebesar 50%5). Penelitian prevalensi asma di Australia 1982-1992
yang didasarkan kepada data atopi atau mengi menunjukkan kenaikan prevalensi
asma akut di daearah lembah (Belmont) dari 4,4% (1982) menjadi 11,9% (1992),
dari daerah perifer yang kering adalah sebesar 0,5% dari 215 anak dengan bakat
atopi sebesar 20,5% dan mengi 2%6). Beberapa survei menunjukkan bahwa
penyakit asma menyebabkan hilangnya 16% hari sekolah pada anak-anak di Asia,
43% anak-anak di Eropa, dan 40% hari pada anak-anak di Amerika Serikat.[7]
C. ETIOLOGI
Walaupun prevalensi kejadian asma pada populasi tidak kecil,
yaitu 3 – 5%, etiologi asma belum dapat ditetapkan dengan pasti.
Tampaknya terdapat hubungan antara asma dengan alergi. Pada sebagian
besar penderita asma, ditemukan riwayat alergi, selain itu serangan
asmanya juga sering dipicu oleh pemajanan terhadap alergen. Pada pasien
yang mempunyai komponen alergi, jika ditelusuri ternyata sering terdapat
riwayat asma atau alergi pada keluarganya. Hal ini menimbulkan pendapat
bahwa terdapat faktor genetik yang menyebabkan seseorang menderita
asma. Faktor genetik yang diturunkan adalah kecendrungan memproduksi
antibodi jenis IgE yang berlebihan.[5]
Asma terjadi pada individu tertentu yang berespon secara agresif
terhadap berbagai jenis iritan di jalan napas. Faktor risiko untuk salah satu
jenis gangguan hiper – responsif ini adalah riwayat asma atau alergi dalam
keluarga, yang mengisyaratkan adanya kecendrungan genetik. Pajanan
yang berulang atau terus menerus terhadap beberapa rangsangan iritan,
kemungkinan pada masa penting perkembangan, juga dapat meningkatkan
risiko penyakit ini. Meskipun kebanyakan kasus asma didiagnosis pada
masa kanak – kanak, pada saat dewasa dapat menderita asma tanpa
riwayat penyakit sebelumnya. Stimulasi pada asma awitan dewasa
seringkali terjadi dikaitkan dengan riwayat alergi yang memburuk. Infeksi
pernapasan atas yang berulang juga dapat memicu asma awitan dewasa,
seperti yang dapat terjadi akibat pajanan okupasional terhadap debu di
lingkungan kerja.[6]
D. PATOGENESIS
Sampai saat ini patogenesis dan etiologi asma belum diketahui
dengan pasti, namun berbagai penelitian telah menunjukkan bahwa dasar
gejala asma adalah inflamasi dan respon saluran napas yang berlebihan.
Asma sebagai penyakit inflamasi
Inflamasi ditandai dengan adanya kalor (panas karena vasodilatasi)
dan rubor (kemerahan karena vasodilatasi), tumor (eksudasi plasma dan
edema), dolor (rasa sakit karena rangsangan sensoris), dan functio laesa
(fungsi yang terganggu). Ternyata keenam syarat tadi dijumpai pada asma
tanpa membedakan penyebabnya baik yang alergik maupun non – alergik.
Seperti telah dikemukakan di atas baik asma alergik maupun non –
alergik dijumpai adanya inflamasi dan hiperaktivitas saluran napas. Oleh
karena itu paling tidak dikenal 2 jalur untuk mencapai kedua keadaan
tersebut. Jalur imunologis yang terutama didominasi oleh IgE dan jalur
saraf autonom. Pada jalur IgE, masuknya alergen kedalam tubuh akan
diolah oleh APC (Antigen Presenting Cells = sel penyaji), untuk
selanjutnya hasil olahan alergen akan dikomunikasikan kepada sel Th (T
penolong). Sel T penolong inilah yang akan memberikan instruksi melalui
interleukin atau sitokin agar sel – sel plasma membentuk IgE, serta sel –
sel radang lain seperti mastosit, makrofag, sel epitel, eosinofil, neutrofil,
trombosit serta limfosit untuk mengeluarkan mediator – mediator inflamasi
seperti histamin, prostaglandin (PG), leukotrin (LT), platelet activating
factor (PAF), bradikinin, tromboksin (TX) dan lain – lain akan
mempengaruhi organ sasaran sehingga menyebabkan peningkatan
permeabilitas dinding vaskuler, edema saluran napas, infiltrasi sel – sel
radang, sekresi mukus dan fibrosis sub epitel sehingga menimbulkan
hiperaktivitas saluran napas (HSN). Jalur non – alergik selain merangsang
sel inflamasi, juga merangsang sistem saraf autonom dengan hasil akhir
berupa inflamasi dan HSN.
Hiperaktivitas saluran napas (HSN)
Yang membedakan asma dengan orang normal adalah sifat saluran
napas pasien asma yang sangat peka terhadap berbagai rangsangan seperti
iritan (debu), zat kimia (histamin, metakolin), dan fisis (kegiatan jasmani).
Pada asma alergik, selain peka terhadap rangsangan tersebut di atas pasien
juga sangat peka terhadap alergen yang spesifik. Sebagian HSN diduga
didapat sejak lahir, tetapi sebagian lagi didapat. Berbagai keadaan dapat
meningkatkan hiperaktivitas saluran napas seseorang yaitu:
Inflamasi saluran napas. Sel – sel inflamasi serta mediator kimia yang
dikeluarkan terbukti berkaitan derat dengan gejala asma dan HSN. Konsep
ini didukung oleh fakta bahwa intervensi pengobatan dengan anti –
inflamasi dapat menurunkan derajat HSN dan gejala asma.
Kerusakan epitel. Salah satu konsekuensi inflamasi adalah kerusakan
epitel. Pada asma kerusakan bervariasi dari yang ringan sampai berat.
Perubahan struktur ini akan meningkatkan penetrasi alergen, mediator
inflamasi serta mengakibatkan iritasi ujung – ujung saraf autonom sering
lebih mudah terangsang. Sel – sel epitel bronkus sendiri sebenarnya
mengandung mediator yang dapat bersifat sebagai bronkodilator.
Kerusakan sel – sel epitel bronkus akan mengakibatkan bronkokonstriksi
lebih muda terjadi.
Mekanisme neurologis. Pada pasien asma terdapat peningkatan respon
saraf parasimpatis.
Gangguan intrinsik. Otot polos saluran napas dan hipertrofi otot polos
pada saluran napas diduga berperan pada HSN.
Obstruksi saluran napas. Meskipun bukan faktor utama. Obstruksi
saluran napas diduga ikut berperan pada HSN.[4]
E. GAMBARAN KLINIS
Gambaran klinis asma klasik adalah serangan episodik batuk,
mengi, dan sesak napas. Pada awal serangan sering gejala tidak jelas
seperti rasa berat di dada, dan pada asma alergik mungkin disertai pilek
atau bersin. Meskipun pada mulanya batuk tanpa disertai sekret, tetapi
pada perkembangan selanjutnya pasien akan mengeluarkan sekret baik
yang mukoid, putih kadang – kadang purulen.
Pada asma alergik, sering hubungan antara pemajanan alergen
dengan gejala asma tidak jelas. Terlebih lagi pasien asma alergik juga
memberikan gejala terhadap faktor pencetus non – alergik seperti asap
rokok, asap yang merangsang, infeksi saluran napas ataupun perubahan
cuaca.
Lain halnya dengan asma akibat pekerjaan. Gejala biasanya
memburuk pada awal minggu dan membaik menjelang akhir minggu. Pada
pasien yang gejalanya tetap memburuk sepanjang minggu, gejalanya
mungkin akan membaik bila pasien dijauhkan dari lingkungan kerjanya,
seperti sewaktu cuti misalnya.[4]
Keluhan utama penderita asma ialah sesak napas mendadak,
disertai fase inspirasi yang lebih pendek dibandingkan dengan fase
ekspirasi, dan diikuti bunyi mengi (wheezing), batuk yang disertai
serangan sesak napas yang kumat – kumatan. Pada beberapa penderita
asma keluhan tersebut dapat ringan, sedang atau berat dan sesak napas
penderita timbul mendadak, dirasakan makin lama makin meningkat atau
tiba – tiba menjadi lebih berat. Sedangkan pada sebagian besar penderita
keluhan utama ialah sukar bernapas disertai rasa tidak enak di daerah
retrosternal. Mengi (wheezing) terdengar terutama waktu ekspirasi.[8]
F. DIAGNOSIS
Diagnosis asma didasarkan pada riwayat penyakit, pemeriksaan
fisis, dan pemeriksaan penunjang. Pada riwayat penyakit akan dijumpai
keluhan batuk, sesak, mengi (wheezing), atau rasa berat di dada. Tetapi
kadang – kadang pasien hanya mengeluh batuk – batuk saja yang
umumnya timbul pada malam hari atau sewaktu kegiatan jasmani. Gejala
asma sering timbul pada malam hari, tetapi dapat pula muncul sembarang
waktu. Adakalanya gejala lebih sering terjadi pada musim tertentu.
Dengan mengetahui faktor pencetus, kemudian menghindarinya, maka
diharapkan gejala asma dapat di cegah.
Faktor – faktor pencetus pada asma yaitu :
1. Infeksi virus saluran napas : influenza
2. Pemajanan terhadap alergen tungau, debu rumah, bulu binatang
3. Pemajanan terhadap iritan asap rokok, minyak wangi
4. Kegiatan jasmani : lari
5. Ekspresi emosional takut, marah, frustasi
6. Obat – obat aspirin, penyekat beta, anti inflamasi non steroid
7. Lingkungan kerja : uap zat kimia
8. Polusi udara : asap rokok
9. Pengawet makanan : sulfit
10. Lain – lain, misalnya haid, kehamilan,sinusitis
Yang membedakan asma dengan penyakit paru yang lain yaitu
pada asma serangan dapat hilang dengan atau tanpa obat, artinya serangan
asma tanpa diobati ada yang hilang sendiri. [4]
Anamnesis
Ada beberapa hal yang harus diketahui dari pasien asma antara
lain: riwayat hidung ingusan atau mampet (rhinitis alergi), mata gatal,
merah, dan berair (konjungtivitis alergi), dan eksem atopi, batuk yang sering
kambuh (kronik) disertai mengi, flu berulang, sakit akibat perubahan musim
atau pergantian cuaca, adanya hambatan beraktivitas karena masalah
pernapasan (saat berolahraga), sring terbangun pada malam hari, riwayat
keluarga (riwayat asma, rinitis atau alergi lainnya dalam keluarga),
memelihara binatang didalam rumah, banyak kecoa, terdapat bagian yang
yang lembab di dalam rumah. Untuk mengetahui adanya tungau debu
rumah, tanyakan apakah menggunakan karpet berbulu, sofa kain bludru,
kasur kapuk, banyak barang dikamar tidur. Apakah sesak dengan bau –
bauan seperti parfum, spray pembunuh serangga, apakah pasien merokok,
orang lain yang merokok dirumah atau lingkungan kerja, obat yang
digunakan pasien, apakah ada beta bloker, aspirin atau steroid. Gejala –
gejala kunci untuk menegakkan diagnosis asma dirangkum dalam tabel 2.
Pemeriksaan Klinis
Untuk menegakkan diagnosis asma, harus dilakukan anamnesis
secara rinci, menentukan adanya episode gejala dan obstruksi saluran napas.
Pada pemeriksaan fisis pasien asma, sering ditemukan perubahan cara
bernapas, dan terjadi perubahan bentuk anatomi toraks. Pada inspeksi dapat
ditemukan; napas cepat, kesulitan bernapas, menggunakan otot napas
tambahan di leher, perut dan dada. Pada auskultasi dapat ditemukan; mengi,
ekspirasi memanjang.[9]
Pada perkusi dada, suara napas normal sampai hipersonor. Pada
asma ringan letak diafragma masih normal, dan menjadi datar serta rendah
pada asma berat. Suara vesikuler meningkat, disertai ekspirasi memanjang.
Kalau ada sekret, terengar ronki kasar waktu inspirasi dan tumpang tindih
dengan wheezing waktu ekspirasi. Suara napas tambahan yang bersifat
lokal, mungkin menunjukkan ada bronkiektasis atau pneumoni dan kadang
– kadang karena atelektasis ringan.
Pada pemeriksaan fisik, mungkin dijumpai penyulit yang sering
menyertai asma misalnya pneumoni, pneumotoraks, pleuritis, payah jantung
dan emboli paru. Sedangkan jari tabuh hampir tidak pernah dijumpai pada
penderita asma, kecuali pada penyakit paru supuratif, keganasan atau
penyakit paru yang menimbulkan hipoksemia.[8]
Pemeriksaan Penunjang
1. Spirometer. Alat pengukur faal paru, selain penting untuk menegakkan
diagnosis juga untuk menilai beratnya obstruksi dan efek pengobatan.
2. Peak Flow Meter/PFM. Peak flow meter merupakan alat pengukur faal
paru sederhana, alat tersebut digunakan untuk mengukur jumlah udara
yang berasal dari paru. Oleh karena pemeriksaan jasmani dapat normal,
dalam menegakkan diagnosis asma diperlukan pemeriksaan obyektif
(spirometer/FEV1 atau PFM). Spirometer lebih diutamakan dibanding
PFM oleh karena; PFM tidak begitu sensitif dibanding FEV. untuk
diagnosis obstruksi saluran napas, PFM mengukur terutama saluran napas
besar, PFM dibuat untuk pemantauan dan bukan alat diagnostik, APE
dapat digunakan dalam diagnosis untuk penderita yang tidak dapat
melakukan pemeriksaan FEV1.
3. X-ray dada/thorax. Dilakukan untuk menyingkirkan penyakit yang
tidak disebabkan asma. Pada asma yang disertai obstruksi berat,
didapatkan gambaran radiologi hyperluscent, dengan pelebaran sela antar
iga, diafragma letak rendah, penumpukan udara di daerah retrosternal
tetapi jantung masih dalam batas normal.[8,9]
4. Pemeriksaan IgE. Uji tusuk kulit (skin prick test) untuk menunjukkan
adanya antibodi IgE spesifik pada kulit. Uji tersebut untuk menyokong
anamnesis dan mencari faktor pencetus. Uji alergen yang positif tidak
selalu merupakan penyebab asma. Pemeriksaan darah IgE Atopi dilakukan
dengan cara radioallergosorbent test (RAST) bila hasil uji tusuk kulit
tidak dapat dilakukan (pada dermographism).
5. Petanda inflamasi. Derajat berat asma dan pengobatannya dalam klinik
sebenarnya tidak berdasarkan atas penilaian obyektif inflamasi saluran
napas. Gejala klinis dan spirometri bukan merupakan petanda ideal
inflamasi. Penilaian semi-kuantitatif inflamasi saluran napas dapat
dilakukan melalui biopsi paru, pemeriksaan sel eosinofil dalam sputum,
dan kadar oksida nitrit udara yang dikeluarkan dengan napas. Analisis
sputum yangm diinduksi menunjukkan hubungan antara jumlah eosinofil
dan Eosinophyl Cationic Protein (ECP) dengan inflamasi dan derajat berat
asma. Biopsi endobronkial dan transbronkial dapat menunjukkan
gambaran inflamasi, tetapi jarang atau sulit dilakukan di luar riset.
6. Uji Hipereaktivitas Bronkus/HRB. Pada penderita yang menunjukkan
FEV1 >90%, HRB dapat dibuktikan dengan berbagai tes provokasi.
Provokasi bronkial dengan menggunakan nebulasi droplet ekstrak alergen
spesifik dapat menimbulkan obstruksi saluran napas pada penderita yang
sensitif. Respons sejenis dengan dosis yang lebih besar, terjadi pada
subyek alergi tanpa asma. Di samping itu, ukuran alergen dalam alam
yang terpajan pada subyek alergi biasanya berupa partikel dengan berbagai
ukuran dari 2 um sampai 20 um, tidak dalam bentuk nebulasi. Tes
provokasi sebenarnya kurang memberikan informasi klinis dibanding
dengan tes kulit. Tes provokasi nonspesifik untuk mengetahui HRB dapat
dilakukan dengan latihan jasmani, inhalasi udara dingin atau kering,
histamin, dan metakolin. [9]
Pemeriksaan Laboratorium
1. Dahak
Dahak atau sputum mukoid berwarna jernih, terdiri dari
mukopolisakarida dan serabut glikoprotein, bila disebabkan alergi
murni, umumnya dahak sukar dikeluarkan saat batuk. Dahak yang
sangat kental sering kali menyebabkan penyumbatan yang disebut
airways plugging.
2. Pemeriksaan Darah
Pada asma tipe alergi, eosinofil dapat meningkat sampai 800 –
1000/mm3. Kalau peningkatan eosinofil ini melebihi 1000/mm3, ada
kemungkinan peningkatan ini disebabkan infeksi. Bila eosinofil tetap
tinggi setelah diberi kortikosteroid, maka asma tipe ini disebut steroid
resistant bronchial asthma.
3. Pemeriksaan EKG
Bila terjadi serangan asma akut, tekanan darah meningkat dan EKG
menunjukkan gambaran strain ventrikel kanan yang disertai perubahan
aksis jantung kekanan dan perubahan ini dapat pulih. Juga didapatkan
RBBB (Right Bundle Branch Block), P – pulmonal. Aritmia terjadi bila
penderita mendapat epinefrin atau bila ada kenaikan ketokolamin
waktu terjadi serangan.[8]
G. DIAGNOSIS BANDING
Suatu konsep yang memberikan arahan dan perlu dipahami benar
ialah pengertian dasar bahwa wheezing bukanlah semata – mata disebabkan
oleh asma, walaupun wheezing itu sendiri sering dianggap patognomonis bagi
asma. Karena itu setiap penderita dengan keluhan wheezing, perlu dilakukan
pemeriksaan fisis dan laboratorium yang diteliti sebelum diagnosis asma
ditegakkan.
Diagnosis banding asma antara lain sbb :
Penyakit Paru Obstruktif Kronik
Bronkitis kronik
Gagal jantung Kongestif (Asma Kardial)
Batuk kronik akibat lain – lain
Disfungsi larings
Obstruktif mekanis (misal tumor)
Emboli Paru.[8,10]
H. TATALAKSANA
Berdasarkan patogenesis yang telah dikemukakan, strategi pengobatan
asma dapat ditinjau dari berbagai pendekatan. Seperti mengurangi respon
saluran napas, mencegah ikatan alergen dengan IgE, mencegah pengelepasan
mediator kimia, dan merelaksasi otot – otot polos bronkus.
Mencegah ikatan alergen – IgE
a. Menghindari alergen, tampaknya sederhana, tetapi sering sukar
dilakukan.
b. Hiposensitisasi, dengan menyuntikkan dosis kecil alergen yang
dosisnya makin ditingkatkan diharapkan tubuh akan membentuk IgG
(blocking antibody) yang akan mencegah ikatan alergen dengan IgE
pada sel mast. Efek hiposensitisasi pada orang dewasa saat ini masih
diragukan.
Mencegah pengelepasan mediator
Premedikasi dengan natrium kromolin dapat mencegah spasme bronkus
yang dicetuskan oleh alergen. Natrium kromolin mekanisme kerjanya diduga
mencegah pengelepasan mediator dari mastosit. Obat tersebut tidak dapat
mengatasi spasme bronkus yang telah terjadi. Oleh karena itu hanya dipakai
sebagai obat profilaktik pada terapi pemeliharaan.
Natrium kromolin paling efektif untuk asma anak yang penyebabnya
alergi. Meskipun juga efektif pada sebagian pasien asma intrinsik dan asma
karena kegiatan jasmani. Obat golongan agonis beta 2 maupun teofilin selain
bersifat sebagai bronkodilator juga dapat mencegah pengelepasan mediator.
Melebarkan saluran napas dengan bronkodilator
a. Simpatomimetik : 1). Agonis beta 2 (salbutamol, terbutalin, fenoterol,
prokaterol) merupakan obat – obat terpiulih untuk mengatasi serangan
asma akut. Dapat diberikan secaara inhalasi melalui MDI (Metered
Dosed Inhaler) atau nebulizer ; 2). Epinefrin diberikan subkutan
sebagai pengganti agonis beta 2 pada serangan asma yang berat.
Dianjurkan hanya dipakai pada asma anak atau dewasa muda.
b. Aminofilin dipakai sewaktu serangan asma akut. Diberikan dosis
awal, diikuti dengan dosis pemeliharaan.
c. Kortikosteroid sistemik. Tidak termasuk obat golongan bronkodilator
tetapisecara tidak langsung, dapat melebarkan saluran napas. Dipakai
pada serangan asma akut atau terapi pemeliharaan asma yang berat.
d. Antikolinergik (ipatropium bromida) terutama dipakai sebagai
suplemen bronkodilator agonis beta 2 pada serangan asma.
Mengurangi respon dengan jalan meredam inflamasi saluran napas
Banyak peneliti telah membuktikan bahwa asma baik yang ringan maupun
yang berat menunukkan inflamasi saluran napas.
Obat – obat anti asma. Pada dasarnya obat – obat anti asma dipakai untuk
mencegah dan mengendalikan gejala asma. Fungsi penggunaan obat anti
asma antara lain :
Pencegah (controller) yaitu obat – obat yang dipakai setiap hari, dengan
tujuan agar gejala asma persisten tetap terkendali. Termasuk golongan ini
yaitu obat – obat anti inflamasi dan bronkodilator kerja panjang (long acting).
Obat – obat anti inflamasi khususnya kortikosteroid hirup adalah anti alergi,
bronkodilator atau obat golongan lain sering dianggap termasuk obat
pencegah, meskipun sebenarnya kurang tepat, karena obat – obat tersebut
mencegah dalam ruang lingkup yang terbatas misalnya mengurangi serangan
asma, mengurangi gejala asma kronik, memperbaiki fungsi paru, menurunkan
reaktivitas bronkus dan memperbaiki kualitas hidup. Termasuk golongan obat
pencegah adalah kortikosteroid hirup, kortikosteroid sistemik, natrium
kromolin, natrium nedokromil, teofilin lepas lambat (TLL), agonis beta 2
kerja panjang hirup (salmaterol dan formoterol) dan oral, dan obat anti alergi.
Falmaterol, antileukotrien dan anti I-gE.
Penghilang gejala (reliever). Obat penghilang gejala yaitu obat – obat yang
dapat merelaksasi bronkokonstriksi dan gejala – gejala akut yang menyertai
dengan segera. Termasuk dalam golongan ini yaitu agonis beta 2 hirup kerja
pendek (short acting), kortikosteroid sistemik, natikolinergik hirup, teofilin
kerja pendek, agonis beta 2 oral kerja pendek.
Agonis beta 2 hirup (fenoterol, salbutamol, terbutalin, prokaterol)
merupakan obat terpilih untuk gejala asma akut serta bila diberikan sebelum
kegiatan jasmani, dapat mencegah serangan asma karena kegiatan jasmani.
Agonis beta 2 hirup juga dipakai sebagai penghilang gejala pada asma
episodik.
Peran kortikosteroid sistemik pada asma akut adalah untuk mencegah
perburukan gejala lebih lanjut. Obat tersebut secara tidak langsung mencegah
atau mengurangi frekuensi perawatan diruang rawat darurat atau rawat inap.
Antikolinergik hirup atau ipatropium bromida selain dipakai sebagai
tambahan terapi agonis beta 2 hirup pada asma akut, juga dipakai sebagai
obat alternatif pada pasien yang tidak dapat mentoleransi efek samping agonis
beta 2. Teofilin maupun agonis beta 2 oral dipakai pada pasien yang secara
teknis tidak bisa memakai sediaan hirup[4]
I. KOMPLIKASI
Status asmatikus adalah keadaan spasme bronkiolus berkepanjangan yang
mengancam jiwa yang tidak dapat dipulihkan dengan pengobatan dapat
terjadi pada beberapa individu. Pada kasus ini, kerja pernapasan sangat
meningkat. Apabila kerja pernapasan meningkat, kebutuhan oksigen juga
meningkat. Karena individu yang mengalami serangan asma tidak dapat
memenuhi kebutuhan oksigen normalnya, individu semakin tidak sanggup
memenuhi kebutuhan oksigen yang sangat tinggi yang dibutuhkan untuk
berinspirasi dan berekspirasi melawan spasme bronkiolus, pembengkakan
bronkiolus, dan mukus yang kental. Situasi ini dapat menyebabkan
pneumotoraks akibat besarnya tekanan untuk melakukan ventilasi. Apabila
individu kelelahan, dapat terjadi asidosis respiratorik, gagal napas, dan
kematian.[6]
J. PENCEGAHAN
A. Mencegah Sensititasi
Cara-cara mencegah asma berupa pencegahan sensitisasi alergi
(terjadinya atopi, diduga paling relevan pada masa prenatal dan perinatal)
atau pencegahan terjadinya asma pada individu yang disensitisasi. Selain
menghindari pajanan dengan asap rokok, baik in utero atau setelah lahir,
tidak ada bukti intervensi yang dapat mencegah perkembangan asma.
Hipotesis higiene untuk mengarahkan sistem imun bayi kearah Th1,
respons nonalergi atau modulasi sel T regulator masih merupakan
hipotesis.
B. Mencegah Eksaserbasi
Eksaserbasi asma dapat ditimbulkan berbagai faktor (trigger)
seperti alergen (indoor seperti tungau debu rumah, hewan berbulu, kecoa,
dan jamur, alergen outdoor seperti polen, jamur, infeksi virus, polutan dan
obat. Mengurangi pajanan penderita dengan beberapa faktor seperti
menghentikan merokok, menghindari asap rokok, lingkungan kerja,
makanan, aditif, obat yang menimbulkan gejala dapat memperbaiki
kontrol asma serta keperluan obat. Tetapi biasanya penderita bereaksi
terhadap banyak faktor lingkungan sehingga usaha menghindari alergen
sulit untuk dilakukan. Hal-hal lain yang harus pula dihindari adalah
polutan indoor dan outdoor, makanan dan aditif, obesitas, emosi-stres dan
berbagai faktor lainnya.[3]
K . KESIMPULAN
Asma merupakan penyakit inflamasi kronis saluran napas yang
ditandai dengan mengi episodik, batuk, dan sesak di dada akibat penyumbatan
saluran napas. Asma adalah penyakit pernapasan obstruksi yang ditandai
inflamasi saluran napas dan spasme akut otot polos bronkiolus. Kondisi ini
menyebabkan produksi mukus yang berlebihan dan menumpuk, penymbatan
aliran udara, dan penurunan ventilasi alveolus. Pada sebagian besar penderita
asma, ditemukan riwayat alergi, selain itu serangan asmanya juga sering
dipicu oleh pemajanan terhadap alergen. Asma terjadi pada individu tertentu
yang berespon secara agresif terhadap berbagai jenis iritan di jalan napas.
Gambaran klinis asma klasik adalah serangan episodik batuk, mengi, dan
sesak napas. Pada awal serangan sering gejala tidak jelas seperti rasa berat di
dada, dan pada asma alergik mungkin disertai pilek atau bersin. Pada
pemeriksaan fisis pasien asma, sering ditemukan perubahan cara bernapas, dan
terjadi perubahan bentuk anatomi toraks.
Pemeriksaan penunjang meliputi spirometri, Peak flow meter
(PFM), X – Ray dada, pemeriksaan IgE, uji Hiperaktivitas Bronkus (HRB),
pemeriksaan dahak, pemeriksaan darah, dan EKG. Obat – obat anti asma.
Pada dasarnya obat – obat anti asma dipakai untuk mencegah dan
mengendalikan gejala asma. Fungsi penggunaan obat anti asma antara lain :
pencegah (controler) dan penghilang gejala (reliever).