BAB II Tinjauan Pustaka

38
2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Industri Kemasan Kertas Industri Kemasan Kertas merupakan industri hilir dari industri pulp dan kertas. Rantai industri pulp dan kertas dimulai dari industri pengolahan kayu menjadi pulp, dilanjutkan dengan pengolahan pulp menjadi kertas, dan akhirnya pengolahan kertas menjadi bermacam-macam produk hilir, termasuk kemasan yang terbuat dari karton. Seiring dengan peningkatan permintaan terhadap produk-produk kertas baik dari dalam negeri maupun luar negeri, Departemen Perindustrian Republik Indonesia telah menjadikan upaya untuk mendorong perkembangan industri hilir kertas sebagai salah satu rencana aksi pada tahun 2010 sampai 2014. Adanya tekanan internasional di bidang lingkungan hidup telah mendorong tumbuhnya upaya untuk memanfatkan kertas bekas sebagai bahan baku industri kertas hilir. Hal ini menjadi salah satu faktor pendorong semakin bertumbuhnya industri kertas hilir yang memproduksi karton gelombang dan kertas-kertas daur ulang. Karton gelombang dan kertas-kertas daur ulang merupakan bahan baku yang cukup penting untuk industri kemasan kertas (Direktorat Jenderal Industri Agro dan Kimia, 2009). Industri kemasan kertas menggunakan bahan baku berbagai macam jenis kertas, antara lain papan kertas (cardboard), karton gelombang (corrugated board), kertas kraft, kertas medium dan karton seni ( art carton). Kertas dan papan kertas adalah lembaran material yag dibuat dari jalinan serat selulosa yang dihasilkan dari kayu. Material ini dapat dicetak dan memiliki karakteristik fisik yang memungkinkan untuk dijadikan kemasan kaku atau fleksibel dengan cara memotong, melipat, membentuk, mengelem dan sebagainya. Dewasa ini terdapat banyak tipe kertas dan papan kertas, dimana perbedaannya terletak dalam hal tampilan (appearance), kekuatan dan beberapa karakteristik lainnya, tergantung kepada jumlah serat yang digunakan dan bagaimana serat tersebut diproses menjadi kertas dan papan kertas. Appearance berkaitan dengan penampakan visual kemasan dan diekspresikan dalam kriteria warna, kehalusan dan kilap pada permukaan kemasan (Coles et al, 2003).

description

dd

Transcript of BAB II Tinjauan Pustaka

Page 1: BAB II Tinjauan Pustaka

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Industri Kemasan Kertas

Industri Kemasan Kertas merupakan industri hilir dari industri pulp dan

kertas. Rantai industri pulp dan kertas dimulai dari industri pengolahan kayu

menjadi pulp, dilanjutkan dengan pengolahan pulp menjadi kertas, dan akhirnya

pengolahan kertas menjadi bermacam-macam produk hilir, termasuk kemasan

yang terbuat dari karton.

Seiring dengan peningkatan permintaan terhadap produk-produk kertas

baik dari dalam negeri maupun luar negeri, Departemen Perindustrian Republik

Indonesia telah menjadikan upaya untuk mendorong perkembangan industri hilir

kertas sebagai salah satu rencana aksi pada tahun 2010 sampai 2014. Adanya

tekanan internasional di bidang lingkungan hidup telah mendorong tumbuhnya

upaya untuk memanfatkan kertas bekas sebagai bahan baku industri kertas hilir.

Hal ini menjadi salah satu faktor pendorong semakin bertumbuhnya industri

kertas hilir yang memproduksi karton gelombang dan kertas-kertas daur ulang.

Karton gelombang dan kertas-kertas daur ulang merupakan bahan baku yang

cukup penting untuk industri kemasan kertas (Direktorat Jenderal Industri Agro

dan Kimia, 2009).

Industri kemasan kertas menggunakan bahan baku berbagai macam jenis

kertas, antara lain papan kertas (cardboard), karton gelombang (corrugated

board), kertas kraft, kertas medium dan karton seni (art carton). Kertas dan

papan kertas adalah lembaran material yag dibuat dari jalinan serat selulosa yang

dihasilkan dari kayu. Material ini dapat dicetak dan memiliki karakteristik fisik

yang memungkinkan untuk dijadikan kemasan kaku atau fleksibel dengan cara

memotong, melipat, membentuk, mengelem dan sebagainya. Dewasa ini terdapat

banyak tipe kertas dan papan kertas, dimana perbedaannya terletak dalam hal

tampilan (appearance), kekuatan dan beberapa karakteristik lainnya, tergantung

kepada jumlah serat yang digunakan dan bagaimana serat tersebut diproses

menjadi kertas dan papan kertas. Appearance berkaitan dengan penampakan

visual kemasan dan diekspresikan dalam kriteria warna, kehalusan dan kilap pada

permukaan kemasan (Coles et al, 2003).

Page 2: BAB II Tinjauan Pustaka

8

Jenis kemasan kertas sangat banyak, mulai dari kertas tissu sebagai

pembungkus teh dan kopi celup hingga kemasan karton tebal yang digunakan

dalam proses distribusi dan pengangkutan. Menurut Kirwan (2005) kertas dan

papan kertas ini antara lain digunakan untuk mengemas : 1) produk-produk

makanan kering, seperti sereal, produk-produk roti, teh, kopi, gula, tepung, dan

makanan kering, 2) produk makanan beku, chilled food dan es krim, 3) makanan

dan minuman cair seperti juice, susu dan produk-produk turunan dari susu, 4)

produk makanan yang mengandung coklat dan gula, 5) makanan cepat saji (fast-

foods), dan 6) makanan segar seperti buah-buahan, sayuran, daging dan ikan, 7)

produk-produk farmasi dan kesehatan, 7) produk-produk untuk keperluan olah

raga dan bersantai, 8) mesin-mesin dan alat-alat elektronik, 9) produk-produk

untuk keperluan pertanian dan perkebunan, dan 10) alat-alat militer.

Dalam memilih suatu kemasan, perlu dipertimbangkan kesesuaian antara

produk yang dikemas dengan kemasannya. Faktor-faktor yang menentukan

kesesuaian ini adalah tampilan (appearance) dan performansi. Faktor performansi

berkaitan dengan tingkat efisiensi proses manufaktur yang terdiri dari proses

printing, pemotongan (cutting), pelipatan, pengeleman dan pengepakan.

Kemasan kertas dan papan kertas diklasifikasikan berdasarkan desain

bagian permukaan (desain grafis) dan desain struktural. Desain grafis dilihat dari

warna, teks, gambar, dekorasi dan tekstur permukaan. Desain tersebut diwujudkan

dengan memberikan perlakuan terhadap bahan dasar kertas dan papan kertas

berupa proses laminasi, pelapisan (coating), penempelan kertas timah (hot foil

stamping), desain atau hiasan timbul (embossing), pencetakan (printing) dan

pengkilapan (varnishing). Desain struktural antara lain menyangkut bentuk

kemasan dan desain bukaan kemasan. Kemasan kertas dan papan kertas memiliki

banyak sekali variasi karena faktor-faktor : 1) banyaknya alternatif warna dan

finishing kertas yang tersedia, 2) banyaknya pilihan kekuatan kemasan kertas,

tergantung kepada tipe serat, ketebalan, dan cara produksi, 3) banyaknya alternatif

cara coating, laminating, dekorasi dan printing, 4) kemudahan konversi desain

kemasan melalui proses pemotongan, tekukan, pelipatan, pengeleman, cara

mengunci (locking) dan cara menutup/merapatkan (sealing), dan 5) banyaknya

inovasi mesin untuk kemasan dan proses pengepakan.

Page 3: BAB II Tinjauan Pustaka

9

Menurut Kirwan (2005) jenis-jenis kemasan kertas yang banyak

digunakan saat ini adalah : 1) kantong kertas celup dari bahan tissue (untuk teh

dan kopi), 2) kantong kertas dan kertas pembungkus (paper bags dan wrapping

papers), 3) kemasan fleksibel yang mengkombinasikan kertas, plastik dan

alumunium foil, 4) kantong kertas multi lapis (multiwall paper sacks), 5) kotak

karton lipat (folding carton), 6) kemasan karton untuk makanan cair, 7) kotak

karton kaku (rigid boxes), 8) tabung dari kertas komposit (tube & composite

containers), 9) drum kertas (fibre drum), 10) kemasan karton gelombang

(corrugated boxes), dan 11) kontainer pulp yang dicetak (moulded pulp

containers).

Menurut Dirjen Industri Menengah dan Kecil (2007), secara umum

kemasan yang terbuat dari kertas dan karton dapat diklasifikasikan menjadi tiga,

yaitu:

1. Kemasan fleksibel (Flexible packaging). Kemasan jenis ini bersifat lentur

dan fleksibel, biasanya digunakan untuk kemasan makanan, dan snack food.

2. Kemasan kaku (Rigid packaging). Kemasan ini bersifat kaku dan lebih

tebal. Biasanya digunakan sebagai kontainer (kemasan bagian luar) untuk

produk-produk makanan.

3. Kemasan kotak (Box packaging) yang terbuat dari karton gelombang dan

karton duplex. Biasanya digunakan sebagai wadah untuk memindahkan

produk (carried box), tempat pajangan produk (display box), dan tempat

makanan (food box).

2.2 Kemasan Karton Lipat

Kemasan karton lipat terbuat dari papan kertas yang dikirimkan ke mesin

pengepakan berbentuk lembaran (sheet). Pilihan papan kertas yang digunakan

untuk karton lipat tergantung kepada kebutuhan produk selama pengepakan,

distribusi, penyimpanan dan penggunaan. Juga tergantung kepada desain grafis

dan desain struktural yang diinginkan. Jenis papan kertas yang digunakan antara

lain solid bleached board (SBB), solid unbleached board (SUB), folding box

board (FBB) dan white lined chip board (WLC).

Page 4: BAB II Tinjauan Pustaka

10

Sebagian besar karton lipat berbentuk persegi empat. Jenis produk yang

akan dikemas, metode pengisian dan cara karton didistribusikan, dipajang dan

digunakan akan mempengaruhi dimensi dan rancangan karton. Karton lipat

dibuat dengan tahapan: pertama, desain permukaan karton diprint pada lembaran

papan kertas, selanjutnya setiap karton dipotong dan ditekuk menurut pola yang

sudah dibuat. Kemasan karton yang sudah dipotong dan berbentuk lembaran bisa

dikirim langsung ke pengepakan, atau sebagian dari lembaran dilipat (pada bagian

sisinya) dan dikirimkan dalam bentuk lipatan. Terdapat proses tambahan yang

digunakan dalam membuat karton lipat, tergantung kepada desain kemasan.

Proses tambahan ini antara lain pengkilapan (varnishing), pelapisan dengan panas

(heat seal coating), embossing, pembubuhan timah panas (hot foil stamping) dan

pembuatan jendela pada kemasan (window patching) (Coles et al, 2003).

2.3 Kotak Karton Gelombang (Corrugated Box)

Jenis kemasan ini adalah kemasan kertas yang berukuran paling besar dan

biasanya digunakan untuk proses pengangkutan dan penyimpanan. Pada sektor

retail, kotak atau landasan (tray) yang terbuat dari karton gelombang digunakan

sebagai kemasan kedua (yang mewadahi kemasan pertama). Demikian juga pada

industri makanan, jenis kemasan ini digunakan untuk mewadahi kemasan pertama

yang terdiri dari 6 atau 12 unit. Katon gelombang bisa terbuat dari kertas kraft asli

yang tidak mengalami proses pemutihan (unbleached virgin kraft liner), 100%

terbuat dari kertas/serat daur ulang atau campuran antara keduanya. Berat

kemasan berkisar antara 115 sampai 400 g/m2. Proses manufaktur kemasan

karton gelombang memiliki model matematik yang didasarkan kepada material

standar, tipe gelombang, dimensi dan berat kandungan yang dapat memprediksi

kekuatan tekan kemasan (Coles, Dowell dan Kirwan, 2003).

Kotak karton gelombang sejauh ini merupakan kemasan kertas yang

terbanyak digunakan dihitung dari tonase pemakaiannya. Berdasarkan susunan

(konstruksinya), menurut TAPPI (2001) terdapat 4 (empat) jenis lembaran (sheet)

yang merupakan bahan baku dari karton gelombang, yaitu :

Single face. Single face merupakan lembaran kertas gelombang yang dilapisi

oleh satu lembar kertas datar (flat). Single face biasa diproduksi dalam

Page 5: BAB II Tinjauan Pustaka

11

bentuk gulungan dan kadang-kadang digunakan sebagai bantalan bagi produk

yangmudah pecah seperti bola lampu.

Single wall. Single wall terdiri tiga lapis kertas dimana satu lapis kertas

gelombang dilapisi oleh dua lembar kertas pada kedua sisinya.

Double wall. Jenis sheet ini memiliki lima lapis kertas yang terdiri dari dua

lembar kertas gelombang yang dilapisi oleh tiga lembar kertas pada bagian

luar dan diantara kedua kertas gelombang.

Triple wall. Terdiri dari tujuh lapis kertas, yang terdiri dari tiga lembar kertas

gelombang yang dilapisi oleh empat lembar kertas flat.

Jenis kertas yang biasa digunakan sebagai bahan baku karton gelombang

adalah kertas kraft dan kertas medium. Kertas kraft digunakan sebagai kertas

pelapis bagian luar dan di antara kertas yang bergelombang, sedangkan kertas

medium digunakan sebagai bahan dasar untuk membuat lembaran bergelombang.

Kertas kraft atau biasa disebut liners terdiri dari beberapa macam warna, yaitu

kertas kraft coklat, putih atau lurik. Kertas kraft bisa terbuat dari 100 persen pulp

(serat asli), campuran antara pulp dengan kertas daur ulang, atau 100 persen kertas

daur ulang. Kertas kraft yang paling banyak digunakan adalah kertas kraft coklat.

Kertas kraft coklat merupakan kertas kraft yang belum mengalami proses

pemucatan (unbleached) untuk menghilangkan warna, sedangkan kertas kraft

putih adalah kertas kraft yang mengalami proses pemucatan (bleached). Kertas

kraft lurik merupakan campuran antara kertas kraft yang mengalami proses

pemucatan dengan yang tidak (Kirwan, 2005; TAPPI, 2001).

Kertas medium sebagai bahan dasar karton gelombang terbuat dari serat

kertas hasil daur ulang yang melalui proses mekanikal dan kimia. Karakteristik

karton gelombang ditentukan oleh konfigurasi gelombang yang terdiri dari tinggi

gelombang dan jumlah gelombang per satuan panjang kertas (flute). Di samping

jenis kertas dan jumlah lapisan, faktor lain yang tidak kalah penting dalam

menentukan karakteristik karton gelombang adalah profil atau konfigurasi

gelombang yang terdapat pada karton tersebut. Jenis-jenis flute yang terdapat

pada karton gelombang diklasifikasikan berdasarkan huruf. Flute A, B dan C

merupakan jenis flute yang umum terdapat pada karton gelombang dan memiliki

ukuran tinggi gelombang antara 2,0 sampai 4,8 mm. Flute jenis E, F, G, N dan O

Page 6: BAB II Tinjauan Pustaka

12

merupakan flute yang biasa terdapat pada karton gelombang yang lebih tipis

dengan tinggi flute berkisar antara 0,3 sampai 1,8 mm (ICG, 2003). Di Indonesia

jenis flute yang lazim digunakan adalah flute jenis B, C dan E.

Proses pembuatan karton gelombang dilakukan pada mesin yang disebut

corrugator. Suatu lini mesin corrugator yang modern mampu menghasilkan

karton gelombang dengan kecepatan 1000 ft/menit.

2.4 Sistem Pemrosesan Pesanan

Pemrosesan pesanan adalah suatu aktivitas pertukaran informasi yang

dibutuhkan di antara para anggota dari suatu rantai pasok (supply chain) yang

terlibat dalam distribusi atau jual beli suatu produk. Aktivitas utama dari

manajemen pemesanan adalah meneliti dan menentukan kualifikasi dari setiap

pesanan yang masuk (Bowersox et al. 2002).

Sistem pemrosesan pesanan merupakan salah satu bagian penting dari

sistem logistik. Pesanan yang datang dari konsumen akan menggerakkan seluruh

bagian dalam perusahaan untuk dapat memenuhi pesanan tersebut dalam waktu

yang tepat dengan spesifikasi dan kualitas produk yang sesuai dengan permintaan

konsumen. Untuk bisa memenuhi permintaan konsumen, dibutuhkan suatu sistem

komunikasi dan informasi yang efisien. Sistem informasi dan pemrosesan

pesanan yang efisien memainkan peranan penting dalam upaya memenuhi dan

melayani kebutuhan konsumen dengan biaya yang kompetitif.

Menurut Stock dan Lambert (2001), siklus proses pemesanan dimulai

sejak diberikannya pesanan (order) dan berakhir ketika diterimanya pesanan oleh

konsumen. Siklus pemesanan terdiri dari beberapa tahap, yaitu : (1) persiapan dan

penawaran pesanan, (2) Penerimaan dan input pesanan, (3) pemrosesan pesanan,

(4) pengambilan dan pengepakan di gudang, (5) pengiriman pesanan, dan (6)

penerimaan dan pembongkaran (unloading) pesanan oleh konsumen (Gambar 2).

Ketika suatu perusahaan menerima pesanan dan menginputnya ke dalam

sistem pemrosesan pesanan, sistem harus mampu membuat beberapa pengecekan

untuk menentukan : (1) apakah produk yang diminta tersedia dalam jumlah yang

dipesan, (2) apakah batas kredit konsumen mencukupi untuk sejumlah pesanan

Page 7: BAB II Tinjauan Pustaka

13

yang diminta, dan (3) apakah jadwal produksi memungkinkan untuk memenuhi

pesanan, jika inventory tidak tersedia.

Siklus pemrosesan dan pengiriman pesanan konsumen juga merupakan

faktor yang menentukan performansi dari proses distribusi pemasaran. Bowersox

et al. (2002) menyatakan performansi proses distribusi pemasaran ditentukan oleh

aktivitas-aktivitas : (1) penyampaian pesanan (order trasmission), (2) pemrosesan

pesanan (order processing), (3) seleksi pesanan (order selection), (4) pemrosesan

pesanan, dan (5) pengiriman pesanan.

Pesanan

Konsumen

Penerimaan

oleh konsumen

Transportasi

pesanan

konsumen

Penempatan

pesanan

Inventory yang

tersedia

Cek batas kredit

Jadwal produksi

Back Order

File

persediaan

Produksi

Proses

Pesanan

Invoice

Dokumentasi

pengiriman

Pegambilan dari

gudang

Jadwal

transportasi/

pengiriman

Memasukkan

pesanan

konsumen

Gambar 2 Siklus Proses Pemesanan (Stock dan Lambert, 2001)

Autri et al. (2008) dalam penelitiannya yang merumuskan suatu taxonomi

dari strategi logistik mengklasifikasikan sistem pemrosesan pesanan menjadi:

pengecekan kredit (credit checking), penomoran (pelabelan) pesanan, pengecekan

pesanan secara internal (order checking), menginput order (order entry),

pelaksanaan pesanan (order picking/assembly) dan pengepakan pesanan untuk

dikirim (palletization).

Dari uraian dan gambaran mengenai aktivitas-aktivitas proses pemesanan

di atas dapat dilihat bahwa dalam pelaksanaannya, proses pemesanan tidak bisa

dipisahkan dengan bagian lain yang terdapat dalam suatu perusahaan. Dari

Page 8: BAB II Tinjauan Pustaka

14

Gambar 1 terlihat bahwa agar bisa memproses suatu pesanan yang masuk, perlu

adanya informasi dan jaminan mengenai ketersediaan bahan baku dan

kemampuan memenuhi jadwal produksi yang merupakan wewenang bagian

produksi. Di sisi lain, agar perusahaan mampu memproses pesanan yang masuk,

perlu adanya informasi dan jaminan dari bagian keuangan mengenai batas kredit

modal kerja yang dibutuhkan untuk memproduksi pesanan tersebut. Proses

pengiriman pesanan yang merupakan bagian dari aktivitas pemrosesan pesanan

juga tidak bisa dilepaskan dari peran bagian produksi serta bagian-bagian lain

dalam perusahaan yang menjamin pesanan dapat dikirimkan pada waktunya. Hal

ini menyebabkan perlu adanya suatu sistem pemrosesan pesanan yang handal dan

dapat meningkatkan kepuasan konsumen.

Sistem pemrosesan pesanan tidak bisa terlepas dari karakteristik dan tipe

industri dimana sistem pemrosesan pesanan tersebut diimplementasikan. Secara

umum, terdapat dua kelompok utama dalam suatu sistem manufaktur, yaitu sistem

manufaktur yang berbasiskan pesanan (make-to-order/MTO) dan sistem

manufaktur yang berbasiskan stok atau persediaan (make-to-stock/MTS).

Kingsman (1996) menjelaskan bahwa perbedaan utama antara kedua kelompok

perusahaan manufaktur tersebut terletak pada waktu penerimaan pesanan dan

waktu produksi dilakukan. Pada perusahaan MTS, produksi sudah selesai

dilakukan ketika permintaan dari konsumen datang dan permintaan konsumen

tersebut dipenuhi dari stok yang tersedia. Pada perusahaan MTO, pesanan tidak

bisa diketahui kapan waktu kedatangannya, dan seringkali produksi baru

dilakukan setelah pesanan datang. Hal ini membuat perusahaan MTO memiliki

karakteristik pemrosesan pesanan yang sedikit berbeda dengan perusahaan MTS.

Pada perusahaan MTO, setiap pesanan yang masuk tidak bisa langsung dipenuhi

seperti pada perusahaan MTS, melainkan memerlukan penelaahan atau evaluasi

lebih lanjut apakah pesanan tersebut akan dipenuhi dan perusahaan memiliki

kemampuan untuk memenuhinya.

2.5 Model Operasional Pada Industri Make to Order dan Mass Customization

Industri atau perusahaan yang berproduksi berdasarkan pesanan (MTO)

merupakan jenis sistem produksi yang telah lama ada. Berbagai produk

Page 9: BAB II Tinjauan Pustaka

15

kebutuhan manusia seperti pakaian dan sepatu secara tradisional dibuat setelah

pesanan diterima. Akan tetapi produksi pada waktu itu sebagian besar dilakukan

secara manual dan dalam jumlah terbatas sehingga lebih tepat diistilahkan sebagai

sistem operasi berdasarkan keahlian manual (craft production) (Nicholas, 1998).

Adanya revolusi industri dan kemajuan teknologi, lambat laun merubah sistem

produksi berdasarkan pesanan ini menjadi sistem produksi massal (make-to-

stock/MTS) yang sebagian besar proses produksinya telah menggunakan bantuan

teknologi. Selama hampir dua abad sistem produksi massal telah mampu

memenuhi produk-produk kebutuhan manusia dalam jumlah besar dan kapanpun

diperlukan tanpa perlu melalui proses pemesanan dan waktu menunggu selama

produk diproduksi.

Paradigma yang terjadi dalam dua dekade terakhir telah memunculkan

adanya pergeseran kebutuhan manusia. Sistem produksi MTS untuk produk-

produk tertentu dipandang tidak lagi mampu memenuhi kebutuhan spesifik dari

manusia. Sekarang, dengan semakin banyaknya produk membanjiri pasaran,

pembeli dihadapkan dengan banyak sekali pilihan sehingga mereka mempunyai

posisi tawar yang semakin tinggi. Tingkat persaingan di antara perusahaan sejenis

telah mendorong terjadinya proses jual beli yang berorientasi pelanggan

(customer-driven-market). Dengan semakin banyaknya keinginan spesifik

pembeli yang harus dipenuhi oleh produsen, dalam beberapa tahun terakhir,

sistem produksi dengan karakteristik MTO mulai banyak diaplikasikan pada

beberapa jenis produk. Namun karakteristik sistem produksi MTO dewasa ini

sedikit berbeda dengan sistem MTO pada masa sebelumnya, dimana sistem

produksi MTO yang berkembang dewasa ini juga mengakomodasi kemampuan

untuk tetap berproduksi secara massal dengan tidak lagi mengandalkan produksi

manual. Sistem produksi dengan karakteristik seperti ini juga disebut sebagai

sistem produksi mass customization (MC).

Sistem Produksi MC secara singkat diartikan sebagai produksi massal

barang-barang atau jasa yang dibuat secara khusus (spesifik) untuk satu

pelanggan (Anderson, 1998). Dalam kenyataannya suatu perusahaan seringkali

mengadaptasi lebih dari satu sistem produksi dalam proses produksinya. Di

samping berproduksi secara MTO untuk beberapa variasi produk, perusahaan juga

Page 10: BAB II Tinjauan Pustaka

16

bisa saja menghasilkan variasi produk lainnya yang diproduksi berdasarkan sistem

MTS.

Industri kemasan karton adalah salah satu industri yang menerapkan

prinsip MTO dalam proses produksinya. Seringkali pembeli industri kemasan

karton merupakan pembeli perorangan atau perusahaan yang ingin memesan

kemasan dengan desain khusus untuk produk mereka yang dijual secara massal,

sehingga produk kemasan karton juga dikategorikan sebagai produk mass

customization. Pada beberapa industri kemasan besar, pendekatan MTO maupun

MTS bisa digunakan secara bersamaan. Pendekatan MTS digunakan untuk proses

pembuatan karton gelombang tanpa cetak dengan bentuk yang standar, sedangkan

pendekatan MTO digunakan untuk mengerjakan pesanan produk-produk dengan

desain spesifik yang berasal dari konsumen.

Walaupun cukup banyak perusahaan menjalankan sistem produksi yang

berorientasi MTO, namun belum banyak tulisan yang mengulas secara lengkap

model dan sistem pengambilan keputusan untuk industri MTO ini.

Olvera (2009) membuat model referensi untuk operasi manufaktur pada

industri yang berorientasi MTO (Gambar 3). Model ini mengklasifikasikan

aktivitas manufaktur menjadi empat aktivitas, yaitu mempersiapkan order yang

akan diproduksi (A1), mengirimkan dan menjadwalkan order yang akan

diproduksi ke lantai produksi (A2), pelaksanaan produksi (A3) dan menutup order

(A4). Setiap aktivitas kemudian didekomposisi menjadi sub-aktivitas - sub-

aktivitas. Model juga menggambarkan input dan output dari masing-masing

aktivitas serta aliran informasi yang dibutuhkan dan diolah pada setiap aktivitas

maupun sub-aktivitas. Informasi ataupun data yang dipertimbangkan dalam

pelaksanaan aktivitas manufaktur pada model ini antara lain daftar bahan baku

(Bill of Material, BOM), urutan proses, kebutuhan dan ketersediaan kapasitas,

ketersediaan material, produk yang selesai diproduksi, dan kendala waktu

penyelesaian. Hasil validasi menunjukkan bahwa model ini cukup valid dalam

menggambarkan aktivitas manufaktur dan aliran informasi pada industri yang

berbasiskan MTO.

Kekurangan dari model ini adalah pada strukturnya yang masih bersifat

generik dan sangat umum untuk berbagai macam industri, sehingga dibutuhkan

Page 11: BAB II Tinjauan Pustaka

17

proses adaptasi untuk diaplikasikan/dikembangkan pada suatu industri.

Kekurangan lainnya adalah bahwa model ini terlalu menekankan pada aktivitas

manufaktur (setelah order diterima) dan tidak ada suatu prosedur untuk

mengevaluasi dan menguji kelayakan order yang akan diproduksi. Model juga

tidak menguraikan bagaimana cara mengorganisasikan order yang cukup

bervariasi sehingga bisa menimbulkan kesulitan dalam proses penjadwalan dan

pengaturan sumberdaya untuk proses produksinya.

Buat Pesanan

Perintah pelaksanaan

pesanan (release

production order

Pelaksanaan /

pengerjaan

Pesanan

Menutup /

mengakhiri

pesanan

Rencana

pesanan

Info kendala

waktu

Info

BOM

Info

urutan

proses

Info material /

kapasitas

Kendala

biaya

Status/

update

kejadian

Perintah

jadwal

ulang/WIP

Status/

update

kejadian

Pesanan selesai

Pesanan yg

telah

diproses

Pesanan

yg akan

diproduksi

Pesanan

yg

dikerjakan

Gambar 3 Model Referensi Operasi Manufaktur Pada Perusahaan MTO

(Olvera, 2009).

Egri et al. (2004) mengusulkan model sistem produksi yang terdiri dari

dua tahapan, yaitu tahap perencanaan produksi dan tahap penjadwalan pada

industri manufaktur MTO. Pada model ini setiap order produk dianggap sebagai

suatu proyek, di mana setiap proyek memiliki batas waktu kapan harus mulai dan

selesai. Setiap order pekerjaan memerlukan satu atau lebih sumberdaya, akan

tetapi intensitas pelaksanaan aktivitas bisa bervariasi sepanjang waktu dan

pelaksanaan suatu aktivitas dapat disisipi aktivitas lain (preemptive).

Input dari tahap perencanaan produksi adalah daftar pesanan pelanggan

dalam bentuk master production schedule (MPS), BOM, routing (urutan proses,

waktu proses dan sumberdaya yang dibutuhkan) untuk setiap operasi, dan jadwal

Page 12: BAB II Tinjauan Pustaka

18

detail ketersediaan sumberdaya. Output yang dihasilkan pada tahap ini adalah

rencana produksi mingguan, rencana kebutuhan kapasitas mingguan dan rencana

kebutuhan material tiap minggu. Pada tahap penjadwalan dilakukan penjabaran

rencana produksi menjadi jadwal detail yang siap dilaksanakan. Jadwal ini harus

mampu menentukan urutan operasi dan alokasi sumberdaya dengan

mempertimbangkan keterbatasan teknologi, kecepatan dan kapasitas.

Model Egri et al. (2004) secara lebih detil menjelaskan bagaimana setiap

tahapan dapat dijalankan dan pendekatan (metode) yang digunakan untuk setiap

aktivitas. Sayangnya model ini juga memulai tahapan sistem produksi dari daftar

pesanan yang sudah tersusun dalam bentuk MPS tanpa menjelaskan bagaimana

MPS tersebut bisa terbentuk. Hal ini membuat model sistem produksi MTO yang

dibuat tidak terlalu berbeda dari segi struktur, urutan aktivitas maupun aliran

informasinya. Ciri sistem MTO mungkin hanya bisa diidentifikasi dari horizon

waktu perencanaan dan penjadwalan yang lebih pendek dibandingkan sistem

MTS dan adanya proses penentuan routing (urutan proses) untuk setiap order

yang diterima.

McCarthy et al. (2003) mengemukakan suatu konsep model operasi untuk

industri dengan karakteristik MC (Gambar 4). Model ini menjelaskan bahwa

terdapat enam proses operasi yang mendasar untuk industri dengan karakteristik

MC, yaitu :

1. Penerimaan pesanan dan koordinasi

Ini meliputi kegiatan mengelola komunikasi dengan konsumen, menerima

dan menterjemahkan keinginan konsumen, menemukan solusi produk dan

membuat detail pesanan untuk konsumen.

2. Perancangan dan pengembangan produk

Kegiatan ini mencakup proses perancangan produk dan menyesuaikan dengan

standar internal maupun eksternal yang berlaku untuk produk tersebut.

3. Validasi produk dan rekayasa manufaktur

Yakni mengkonfirmasi kemampuan manufaktur untuk desain yang dibuat dan

menterjemahkan desain tersebut menjadi serangkaian proses dan aturan

manufaktur. Tahap ini mencakup pembuatan daftar bahan baku/BOM untuk

produk customized dan mengeluarkan urutan dan instruksi proses produksi

Page 13: BAB II Tinjauan Pustaka

19

4. Manajemen Pemenuhan Pesanan

Mengelola pesanan dan rantai pasoknya, melakukan koordinasi proses,

menginformasikan kapan pesanan dapat diselesaikan dan mengontrol

aktivitas pemenuhan pesanan.

5. Realisasi pemenuhan / pelaksanaan pesanan

Melaksanakan aktivitas-aktivitas yang diperlukan untuk menyelesaikan

pesanan, termasuk aktivitas pemasok, proses manufaktur internal dan

aktivitas pengiriman.

6. Proses setelah pesanan selesai

Aktivitas yang dilakukan setelah pesanan dikirimkan, mencakup service dan

pemeliharaan, menerima klaim, memberikan petunjuk teknis dan sebagainya.

Penerimaan

Pesanan / koordinasi

Dengan konsumen

Perancangan /

pengembangan

produk

Post order

process

Manajemen

Pemenuhan /

pelaksanaan

pesanan

Validasi produk /

Rekayasa

manufaktur

Realisasi

pemenuhan /

pelaksanaan

pesanan

Konsumen

Bahan baku

Gambar 4 Model Operasional pada Sistem Produksi Mass Customization

(MacCharty et al. 2003).

Soman et al (2004) menyatakan bahwa issue operasional yang penting

bagi perusahaan MTO adalah perencanaan kapasitas, penerimaan atau penolakan

pesanan dan kemampuan untuk memenuhi batas waktu pengiriman pesanan (due-

date).

Menurut Stevenson et al. (2005) terdapat beberapa kriteria yang

dibutuhkan bagi sistem perencanaan dan pengendalian produksi pada industri

berbasis MTO, yaitu :

Page 14: BAB II Tinjauan Pustaka

20

1. Adanya tahap evaluasi permintaan pelanggan untuk kepentingan penentuan

waktu penyerahan pesanan dan perencanaan kapasitas.

2. Adanya tahap masuknya suatu pesanan (job entry stages) dan tahap pelepasan

pesanan untuk diproduksi (job release stages) yang difokuskan terhadap

upaya pemenuhan batas waktu pengiriman pesanan.

3. Kemampuan untuk menerima dan memproduksi produksi yang tidak berulang

(untuk produk-produk yang sangat customized).

4. Kemampuan untuk melakukan proses perencanaan dan kontrol ketika urutan

proses di lantai produksi sangat bervariasi, seperti pada lantai produksi

dengan tipe general flow dan job shops.

5. Dapat diaplikasikan pada perusahaan skala kecil dan menengah.

McCarthy et al. (2003), Stevenson et al. (2005), dan Olvera (2009),

menyiratkan pentingnya memberikan perhatian khusus terhadap tahapan

penerimaan dan evaluasi suatu pesanan yang masuk pada suatu perusahaan MTO

dan MC, karena pada tahap inilah akan terjadi kesepakatan antara perusahaan

dengan konsumen yang menentukan tingkat produksi dan keberhasilan suatu

perusahaan selanjutnya.

2.6 Model Penerimaan Pesanan Pada Industri Berbasis MTO dan MC

Kingsman et al (1996) menguraikan empat tahapan yang dilalui oleh

perusahaan berbasis MTO pada saat menerima permintaan pesanan dan

pertanyaan dari konsumen, yaitu : 1) evaluasi awal untuk menentukan apakah

perusahaan mampu mengerjakan suatu pesanan, 2) mendefinisikan bagaimana

estimasi biaya akan dilakukan, 3) mempersiapkan estimasi biaya dan bagaimana

pesanan akan dikerjakan, dan 4) menetapkan harga serta waktu penyelesaian

pekerjaan (lead time) untuk ditawarkan kepada konsumen. Secara lengkap

keempat tahapan ini bisa dilihat pada Gambar 5.

Page 15: BAB II Tinjauan Pustaka

21

1. Evaluasi awal

Apakah perusahaan akan

menerima tawaran

konsumen

2. Mendefinisikan bagaimana

mempersiapkan estimasi biaya

Mencek apakah

dapat dimasukkan

dalam rencana

diproduksi

3. Mempersiapkan

estimasi biaya

Merespon

konsumen

Produksi dan

pengiriman

Menerima pertanyaan dan permintaan

keterangan dari konsumen (customer enquiry)

Kemampuan dan

strategi perusahaan

Berhubungan

dengan produk

Berkaitan dengan

konsumen

Persaingan pasar /

industri sejenis

Variabel yang mempengaruhi

proses

Menentukan harga dan waktu

penyelesaian (lead time) untuk

ditawarkan ke konsumen

negosiasi

Informasi lebih

lanjut Mungkin

diperlukan

Gambar 5 Proses Penerimaan Pesanan dari Konsumen (Kingsman et al, 1996).

Lebih lanjut Xiong at al (2006) mengemukakan suatu Sistem Penunjang

Keputusan (Decision Support System/DSS) untuk merespon permintaan

konsumen pada tahap penerimaan pesanan (customer enquiry stage) dalam ruang

lingkup perusahaan berskala kecil dan menengah. Model yang diberi catatan oleh

Framinan dan Leisten (2007) ini difokuskan pada proses evaluasi kemampuan

perusahaan untuk memenuhi batas waktu pengiriman (delivery date/DD) yang

diinginkan konsumen. Jika suatu pesanan lolos dari evaluasi DD maka

selanjutnya dilakukan perhitungan waktu DD yang sebenarnya dengan

menggunakan suatu model heuristik dan model optimasi. Evaluasi kemampuan

memenuhi DD dilihat dari jumlah persediaan material yang masih masih ada

Page 16: BAB II Tinjauan Pustaka

22

untuk memproduksi dan memenuhi pesanan dalam jangka waktu satu minggu

(available to promise).

Odouza dan Xiong (2009) memperbaiki model sebelumnya dengan

menambahkan klasifikasi pesanan dalam perumusan model evaluasi DD. Pada

model ini pesanan diklasifikasikan menjadi pesanan dengan DD yang fleksibel

dan tidak fleksibel, sehingga kemungkinan untuk menolak pesanan lebih kecil. Di

samping batasan DD yang dihitung menggunakan kriteria ATP, tiga kriteria

lainnya yang dipertimbangkan dalam menerima atau menolak pesanan adalah

kapasitas dan material yang tersedia, dan profit yang dihasilkan dari pesanan

tersebut.

Dua penelitian terakhir telah menggunakan kerangka pemikiran dan

diagram alir yang sesuai untuk mengevaluasi pesanan pada perusahaan dengan

karakteristik MTO, namun penggunaan variabel ATP sebagai dasar untuk

mengevaluasi DD tidak selalu sesuai untuk semua karakteristik perusahaan.

Model evaluasi ATP ini kurang sesuai untuk diterapkan pada industri kemasan

karton yang beroperasi berdasarkan MC. Hal ini karena variasi bahan baku utama

(lembaran karton) sangat banyak, kondisi harga kertas yang berfluktuasi dan sifat

bahan yang mudah rusak menyebabkan sebagian besar industri kemasan karton

tidak menyimpan stok bahan baku dalam jumlah besar. Penelitian ini juga belum

mengusulkan suatu model untuk mengestimasi biaya pesanan yang diterima.

Cakravastia dan Nakamura (2002) mengembangkan suatu model

penentuan harga dan negosiasi mengenai batas waktu penyerahan antara produsen

dengan beberapa pemasoknya dalam upaya untuk memenuhi suatu pesanan

tunggal dari pelanggan dalam suatu ligkungan industri yang bersifat MTO. Model

ini lebih menekankan kepada penentuan harga dan tanggal penyerahan antara

perusahaan dengan pemasoknya, dan bukan model negosiasi waktu penyerahan

dan harga antara perusahaan dengan pelanggan, walaupun model ini tetap

memiliki tujuan akhir untuk dapat memenuhi batas waktu penyerahan yang telah

ditetapkan pelanggan.

Model yang menekankan pada evaluasi pesanan yang datang dari

konsumen secara lebih lengkap dikemukakan oleh Ebadian et al. (2008). Tujuan

pembuatan model ini adalah untuk mengatur pesanan yang datang agar sistem

Page 17: BAB II Tinjauan Pustaka

23

MTO hanya memproses pesanan yang layak dan menguntungkan bagi sistem.

Keputusan untuk menerima atau menolak pesanan ditentukan berdasarkan dua

kriteria, yaitu batas waktu penyerahan produk dan kendala kapasitas. Sistem

pemesanan ini terdiri dari beberapa tahapan. Pada dua tahap pertama, keputusan

penerimaan atau penolakan pesanan didasarkan pada batas waktu pengiriman

yang ditentukan pembeli. Batas waktu pengiriman ini bisa juga dinegosiasikan.

Pada tahap ketiga, harga optimal untuk pesanan yang diterima ditentukan dengan

menggunakan model mixed integer. Pada tahap berikutnya, setelah pembeli

menyetujui harga yang ditawarkan, dilakukan pemilihan supplier dan sub-

kontraktor yang sanggup menyediakan bahan baku atau menerima limpahan

pesanan dengan menggunakan model mixed integer yang lain.

2.7 Sistem Penunjang Keputusan Cerdas

Sistem Penunjang Keputusan Cerdas (Intelligent Decision Support

System/IDSS) adalah suatu sistem penunjang keputusan (SPK) yang telah

diintegrasikan dengan basis pengetahuan yang berasal dari pakar atau

diintegrasikan dengan teknik-teknik kecerdasan buatan (artificial intelligent).

Dengan adanya integrasi ini, maka suatu SPK menjadi meningkat kemampuannya

atau menjadi lebih cerdas (Turban, Aronson dan Liang, 2005).

Wren et al. (2006) menguraikan beberapa karakteristik dari sistem

penunjang keputusan cerdas (Intelligent Decision Making Support System/i-

DMSS) sebagai berikut : 1) mencakup beberapa tipe pengetahuan yang

merupakan bagian terpilih dari disiplin si pembuat keputusan, 2) memiliki

kemampuan untuk menangkap dan menyimpan pengetahuan deskriptif dan

pengetahuan lainnya, 3) mampu memproduksi dan menampilkan pengetahuan

tersebut dalam berbagai cara, 4) dapat memilih pengetahuan untuk ditampilkan

atau menghasilkan pengetahuan baru, dan 5) dapat berinteraksi langsung secara

cerdas dengan pengambil keputusan. i-DMSS merupakan pengembangan dari

SPK tradisional dengan menggabungkan teknik-teknik untuk mengaplikasikan

cara berpikir cerdas dan menggunakan kemampuan teknologi komputer modern

untuk membantu proses pengambilan keputusan.

Page 18: BAB II Tinjauan Pustaka

24

Gambar 6 Arsitektur Sistem Penunjang Keputusan Cerdas (Forgionne et al,

2006).

Forgionne et al (2006) menggambarkan arsitektur dan komponen

penyusun i-DMSS yang dapat dilihat pada pada Gambar 6. Komponen input dari

i-DMSS dapat diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu basis data (database), basis

pengetahuan (knowledge base), dan basis model (model base).

2.7.1 Sistem Penunjang Keputusan

Sistem Penunjang Keputusan (SPK) adalah salah satu bangunan utama

dari sistem penunjang keputusan cerdas. Turban, Aronson dan Liang (2005)

menyatakan bahwa SPK adalah suatu pendekatan (metodologi) untuk mendukung

proses pengambilan keputusan. SPK menggunakan sistem informasi berbasis

Data Base

Data untuk pengambilan

Keputusan

Knowledge Base

Pengetahuan tentang

masalah

Model Base

Model Keputusan

Metode Pencarian Solusi

Mengorganisasikan

Parameter masalah

Strukturkan keputusan

untuk tiap masalah

Simulasikan setiap

kebijakan dan kejadian

Tentukan solusi

masalah terbaik

Laporan status

Parameter dan

keluaran

(outcome)

Solusi yang

direkomendasikan

Penjelasan mengenai

outcome

Teknologi

komputer

Pengambil

keputusan

Umpan balik

output

Umpan balik

input

Input Proses Output

Page 19: BAB II Tinjauan Pustaka

25

komputer yang interaktif, fleksibel dan adaptatif untuk mencari solusi dari suatu

masalah manajemen tertentu (spesifik) yang tidak terstruktur.

Turban, Aronson dan Liang (2005) mendefinisikan SPK sebagai sistem

berbasis komputer yang terdiri dari interaksi tiga komponen, yaitu: sistem bahasa

(mekanisme untuk membantu komunikasi antara pengguna dan komponen lain

dalam SPK), sistem pengetahuan (tempat penyimpanan pengetahuan yang

dibutuhkan untuk pengambilan keputusan), dan sistem pemrosesan masalah

(penghubung antara dua komponen terdahulu yang memiliki kemampuan untuk

memanipulasi masalah untuk keperluan pengambilan keputusan).

Suryadi dan Ramdhani (2002) menguraikan sepuluh karakteristik dasar

SPK yang efektif, yaitu : 1) mendukung proses pengambilan keputusan dan

menitikberatkan pada management by perception, 2) adanya interface

manusia/mesin dimana manusia tetap mengontrol pengambilan keputusan, 3)

mendukung pengambilan keputusan untuk membahas masalah-masalah

terstruktur, semi terstruktur dan tidak terstruktur, 4) menggunakan model-model

matematis dan statistik yang sesuai, 5) memiliki kapabilitas dialog untuk m

emperoleh informasi sesuai dengan kebutuhan (model interaktif), 6) output

ditujukan untuk personil organisasi dalam semua tingkatan, 7) memiliki

subsistem-subsistem yang terintegrasi sedemikian rupa sehingga dapat berfungsi

sebagai kesatuan sistem, 8) membutuhkan struktur data komprehensif yang dapat

melayani kebutuhan informasi seluruh tingkatan manajemen, 9) mudah untuk

digunakan, dan 10) memiliki kemampuan untuk beradaptasi secara cepat.

Pengembangan suatu Sistem Pendukung Keputusan memerlukan

persyaratan awal, yaitu adanya pemahaman terhadap sistem yang akan

dikembangkan. Pemahaman terhadap sistem ini dapat dicapai melalui suatu

upaya yang sistematis untuk melakukan identifikasi dan analisa terhadap sistem

melalui praktek berpikir sistem, yang disebut dengan pendekatan sistem (sistem

approach).

Pendekatan sistem diperlukan karena semakin lama makin dirasakan

saling ketergantungan antara berbagai bagian dalam suatu organisasi atau

komunitas dalam mencapai tujuan sistem. Masalah-masalah yang dihadapi saat

ini tidak lagi sederhana dan dapat menggunakan peralatan dari satu disiplin saja,

Page 20: BAB II Tinjauan Pustaka

26

tetapi memerlukan perangkat yang lebih komprehensif, yang dapat memahami

berbagai aspek dari suatu permasalahan dan dapat mengarahkan solusi suatu

masalah secara menyeluruh (Marimin, 2004).

Penyelesaian persoalan melalui pendekatan sistem dilakukan melalui lima

tahapan, yaitu: 1) analisa sistem, 2) rekayasa model, 3) rancang bangun

implementasi, 4) implementasi rancangan, dan 5) operasi sistem (Eriyatno, 2003

dan Marimin, 2005).

Selanjutnya Suryadi dan Ramdhani (2002) mengemukakan tiga tahapan

dalam merancang bangun suatu sistem penunjang keputusan, yaitu : 1) identifikasi

tujuan rancang bangun untuk menentukan arah dan sasaran yang hendak dicapai,

2) perancangan pendahuluan, guna merumuskan kerangka dan ruang lingkup

SPK, dan 3) perancangan sistem, yang diawali dengan analisis sistem guna

merumuskan spesifikasi SPK, dilanjutkan dengan perancangan konfigurasi SPK

beserta tiga komponen (subsistem) pendukungnya.

Lebih lanjut Suryadi dan Ramdhani (2002) menyatakan bahwa tiga

subsistem (komponen) utama pendukung dan yang menentukan kapabilitas teknik

SPK, yaitu: subsistem manajemen basis data, subsistem manajemen basis model

dan subsistem perangkat lunak penyelenggara dialog.

2.7.2 Kecerdasan Buatan (Artificial Intelligent)

Kecerdasan buatan (AI) merupakan salah satu bagian ilmu komputer yang

membuat agar mesin (komputer) dapat melakukan pekerjaan seperti dan sebaik

yang dilakukan oleh manusia (Kusumadewi, 2003; Turban et al. 2005).

Kecerdasan buatan adalah cabang dari ilmu komputer yang dihubungkan

dengan metode pengambilan keputusan yang bersifat simbolik dan non

algoritmik. Walaupun pemrosesan simbolik adalah inti dari bidang kecerdasan

buatan, tidaklah berarti bahwa kecerdasan buatan tidak menggunakan ilmu

matematik, tapi penekanan kecerdasan buatan adalah pada manipulasi simbol-

simbol.

Metoda non algoritmik yang digunakan pada AI lebih banyak bersifat

heuristik. Pendekatan heuristik terdiri dari pengetahuan intuitif atau aturan-aturan

yang dipelajari atau diperoleh dari pengalaman. Peran pendekatan heuristik ini

Page 21: BAB II Tinjauan Pustaka

27

dalam HI berkaitan dengan defisinisi AI, yakni cabang dari ilmu komputer yang

berkaitan dengan cara mempresentasikan pengetahuan menggunakan simbol-

simbol yang digambarkan dalam bentuk aturan atau metode heuristik untuk

memproses informasi (Encyclopedia America)

Area (lingkup) utama dalam kecerdasan buatan di antaranya adalah

(Kusumadewi, 2003; Turban et al, 2005) : 1) sistem pakar (expert sytem), 2)

Pengolahan Bahasa Alami (Natural Language Processing), 3) Pengenalan Ucapan

(Speech Recognition), 4) Robotika dan Sistem Sensor, 5) Computer Vision, 6)

Game Playing, 7) penerjemahan bahasa (Language Translation), 8) jaringan

syaraf (neural computing network), 9) Logika Fuzzy, 10) Algoritma Genetika, dan

11) Agen Cerdas (Intelligent Agents).

AI memiliki beberapa kelebihan dibandingkan dengan kecerdasan manusia:

1) AI bersifat lebih permanen (komputer tidak akan melupakan pengetahuan yang

telah diperolehnya), 2) AI menawarkan kemudahan duplikasi dan diseminasi, 3)

AI lebih murah daripada kecerdasan manusia, 4) AI sebagai salah satu teknologi

komputer bersifat konsisten dibandingkan kecerdasan manusia, 5) AI dapat

didokumentasikan, 6) AI dapat melaksanakan tugas-tugas tertentu lebih cepat dari

manusia, dan 7) AI dapat melaksanakan tugas-tugas tertentu lebih cepat dari

manusia. Namun demikian AI juga memiliki kekurangan yakni tidak kreatif

seperti manusia yang dapat memikirkan dan menciptakan ilmu pengetahuan yang

baru.

Untuk dapat melakukan aplikasi kecerdasan buatan ada dua bagian utama

yang sangat dibutuhkan, yaitu:

1. Basis Pengetahuan (Knowledge Base), berisi fakta-fakta, teori, pemikiran

dan hubungan antara satu dengan lainnya.

2. Motor Inferensi (Inference Engine), yaitu kemampuan menarik kesimpulan

berdasarkan pengalaman.

2.7.3 Sistem Pakar (Expert System)

Sistem pakar adalah sistem informasi berbasis komputer yang

menggunakan pengetahuan dari para pakar untuk memperoleh keputusan tingkat

tinggi di dalam lingkup masalah yang sempit. Pakar adalah orang yang memiliki

Page 22: BAB II Tinjauan Pustaka

28

pengetahuan, pertimbangan dan pengalaman serta metode-metode kusus dan

kemampuan untuk mengaplikasikan kemampuannya ini dalam memberikan

nasehat dan memecahkan suatu persoalan. Sistem pakar mencakup beberapa fitur

yaitu kepakaran (expertise), alasan-alasan simbolik ( symbolic reasoning),

pengetahuan mendalam (deep knowledge) dan pengetahuan sendiri (self

knowledge) (Turban et al, 2005)

Terdapat beberapa alasan mengapa sistem pakar diperlukan yaitu: 1)

seorang pakar di suatu perusahaan atau organisasi akan pensiun atau

meninggalkan perusahaan sehingga diperlukan suatu alat untuk menyimpan

pengetahuan dari pakar tersebut untuk kelangsungan suatu organisasi, 2)

pengetahuan tertentu perlu didokumentasikan dan diperbaiki di mana sistem pakar

adalah sesuatu alat yang sangat baik untuk mendokumentasikan pengetahuan

profesional supaya bisa diuji dan diperbaiki kembali, 3) pendidikan dan latihan

adalah sesuatu yang penting tetapi sulit dilakukan, dimana sistem pakar

merupakan perangkat yang bagus untuk membantu proses latihan/training dan

mendistribusikan pengetahuan baru kepada pekerja baru di dalam suatu

organisasi. 4) pakar seringkali langka dan mahal. Sistem pakar memungkinkan

pengetahuan ditransfer dengan lebih mudah dan biaya yang lebih rendah.

Beberapa keterbatasan sistem pakar adalah: 1) pengetahuan tidak selalu

tersedia, 2) kadang-kadang sulit untuk menyerap pengetahuan dari manusia, 3)

pendekatan yang digunakan oleh beberapa pakar kadang-kadang berbeda-beda

untuk situasi yang sama, 4) kadang-kadang sulit bahkan untuk pakar yang sangat

ahli untuk menyarikan pengetahuan yang berkaitan dengan situasi tertentu, 5)

sistem pakar bekerja dengan baik hanya untuk area pengetahuan terbatas, yang 6)

sebagian besar pakar tidak memiliki cara yang bebas untuk menguji apakah

kesimpulan mereka masuk akal, 7) kosakata atau jargon yang digunakan para

pakar untuk mengekspresikan pengetahuan seringkali terbatas dan tidak

dimengerti oleh orang lain, 8) untuk memindahkan pengetahuan dari para pakar

dibutuhkan knowledge engineer yang langka dan mahal sehingga membuat biaya

konstruksi sistem pakar menjadi sangat mahal, dan 9) tidak adanya kepercayaan

pengguna akhir (end users) untuk menggunakan sistem pakar tersebut (Turban et

al, 2005).

Page 23: BAB II Tinjauan Pustaka

29

Marimin (2005) menguraikan tahapan-tahapan dalam pembentukan sistem

pakar adalah sebagai berikut : 1) identifikasi masalah, 2) mencari sumber

pengetahuan, 3) akuisisi pengetahuan, 4) representasi pengetahuan, 5)

pengembangan mesin inferensi, 6) implementasi, dan 7) pengujian.

Sistem pakar terdiri dari beberapa komponen-komponen yang

menyusunnya, yaitu : 1) Fasilitas akuisisi (penembahan) pengetahuan, 2) basis

pengetahuan (knowledge based system), 3) mesin inferensi (inference engine), 4)

faisilitas untuk penjelasan dan justifikasi, dan 5) penghubung antara pengguna dan

sistem pakar (user interface).

Sumber pengetahuan yang berasal dari para pakar perlu memenuhi

beberapa kriteria tertentu tentang yang dimaksud dengan ahli (pakar). Menurut

Marimin (2005), ahli bisa berupa praktisi atau ilmuwan. Praktisi adalah orang

yang bekerja dan berpengalaman dalam bidang tertentu, sedangkan ilmuwan

adalah orang yang mempelajari dan mendalamai suatu pengetahuan lewat jalur

formal (akademis).

Beberapa alat untuk representasi pengetahuan yang diperoleh dari para

pakar atau sumber lainnya seperti literatur atau bacaan adalah : 1) Ekspresi logika,

2) jaringan semantik, 3) kaidah produksi, 4) frame, 5) obyek-atribut nilai, 6)

script, 7) jaringan neural, 8) representasi fuzzy, 9) tabel keputusan, dan 10) pohon

keputusan (Marimin, 2005 ; Turban et al, 2005).

Pohon keputusan (decision tree) merupakan salah satu alat representasi

pengetahuan yang sering digunakan pada sistem pakar. Solusi pada pohon

keputusan dihasilkan dari serangkaian solusi yang mungkin melalui serangkaian

keputusan atau pertanyaan yang akan memangkas (mengurangi) area pencarian

solusi. Masalah yang sesuai menggunakan pohon keputusan adalah masalah yang

telah menyediakan jawaban untuk masalah tersebut dari satu set atau beberapa

alternatif jawaban yang mungkin (Giarratano dan Riley, 2005).

Pohon keputusan terdiri dari sejumlah simpul (nodes) dan cabang (branch)

yang menghubungkan simpul orang tua (parents) ke simpul anak (child) dari

bagian atas sampai bagian bawah dari pohon keputusan. Simpul paling atas

disebut juga sebagai akar (roots). Akar tidak memiliki parents, sedangkan setiap

simpul yang di bawahnya hanya memiliki satu parent. Simpul paling bawah yang

Page 24: BAB II Tinjauan Pustaka

30

tidak memiliki anak disebut sebagai simpul daun (leaf). Simpul daun

merepresentasikan semua solusi (keputusan) yang diturunkan melalui pohon

keputusan. Secara umum pohon keputusan menggunakan beberapa kriteria untuk

memilih mana cabang yang akan dilalui sehingga nantinya hanya terpilih satu

cabang yang menghasilkan keputusan (Giarratano dan Riley, 2005).

Teknik penalaran untuk membangun suatu pohon keputusan dapat

diklasifikasikan menjadi dua, yaitu : 1) Penalaran maju (forward chaining) dan 2)

penalaran mundur (backward reasoning) (Kusumadewi, 2003 ; Marimin, 2005).

Pohon keputusan kemudian dapat dikonversi menjadi serangkaian aturan

(rules) yang direpresentasikan oleh jalur (path) yang berbeda-beda pada pohon

keputusan. Aturan yang dihasilkan dari pohon keputusan selanjutnya digunakan

sebagai basis pengetahuan yang diperlukan pada sistem pakar.

Attar (2005) menyebutkan bahwa representasi pengetahuan menggunakan

pohon keputusan memiliki beberapa kelebihan sebagai berkut : 1) bersifat kompak

dengan tampilan grafis yang mudah dipahami dan diimplementasikan, 2) proses

penalaran (inference) melalui pohon keputusan lebih cepat daripada inferensi

langung dari aturan-aturan karena tidak membutuhkan proses pencarian yang

rumit, dan 3) strategi penalaran yang kompleks jauh lebih mudah untuk

diimplementasikan dengan menggunakan pohon keputusan dibandingkan

menggunakan teknik lainnya.

2.8 Model Penjadwalan Flowshop

Penjadwalan adalah suatu rencana pengaturan urutan kerja serta

pengalokasian sumber, baik berupa waktu maupun fasilitas yang ada untuk

menyelesaikan sekumpulan tugas dalam jangka waktu tertentu. Penjadwalan bisa

dikatakan sebagai suatu fungsi pengambilan keputusan, yaitu suatu proses untuk

menentukan jadwal yang mengalokasikan aktifitas pada sumber daya (Baker

1974). Selanjuttnya Fogarty et al (1991) menyatakan penjadwalan adalah suatu

penentuan saat memulai suatu tugas atau order dan saat penyelesaian tugas-tugas

atau order tersebut, termasuk kapan saat tugas tersebut masuk dan keluar dari

setiap setasiun kerja atau departemen.

Page 25: BAB II Tinjauan Pustaka

31

Definisi yang lain menyatakan bahwa penjadwalan pesanan (job) berkaitan

dengan bagaimana mengalokasikan job pada mesin-mesin yang tersedia dalam

urutan tertentu sehingga tujuan penjadwalan dapat tercapai dan kendala-kendala

yang ada dapat diatasi dengan memuaskan (Kusiak, 1990; Pinedo dan Chao,

1999; Yandra dan Tamura, 2007).

Menurut Bedworth (1987) beberapa tujuan dari aktifitas penjadwalan

adalah: 1) memanfaatkan kemampuan dari sumber yang ada semaksimal mungkin

dengan mengurangi waktu menganggur dari sumber sehingga dapat meningkatkan

produktivitas mesin, 2) mengurangi persediaan barang setengah jadi dalam proses,

3) mengurangi keterlambatan setiap pekerjaan, dan 4) membantu pengambilan

keputusan mengenai perencanaan kapasitas fabrik dan jenis kapasitas yang

dibutuhkan.

Berdasarkan pola aliran proses yang terdapat pada suatu lantai produksi,

masalah penjadwalan pesanan (job) dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu:

flow shop dan job shop. Pada proses flow shop, semua komponen atau unit

produk yang akan diproses mengalir pada arah yang sama dari satu mesin ke

mesin lainnya, sedangkan pada proses job shop, komponen-komponen atau unit

produk yang akan diproses bisa mengalir pada arah yang berbeda-beda dari satu

mesin ke mesin lainnya, dan juga bisa terjadi satu mesin dilewati lebih dari satu

kali oleh komponen yang sama (Kusiak, 1990).

M1 M2 M3 M4

P1

P2

P3

Gambar 7 Pola Aliran Proses Flow Shop (Kusiak, 1990).

Pada tipe flow shop yang sederhana (pure / simpe flow shop), semua

komponen (job) diproses pada semua mesin dengan urutan yang persis sama

untuk setiap job. Pola aliran flow shop mempunyai beberapa variasi yaitu:

Page 26: BAB II Tinjauan Pustaka

32

1. Flexible flow-shop

Kondisi flexible flow shop disebut juga Skip flow shop (Morton dan Pentico,

1993) atau General flow shop. Pada flexible flow shop, tugas (job) yang

datang tidak harus diproses pada semua mesin, tetapi dapat melompati

beberapa mesin (Gambar 7)

2. Hybrid flow shop

Pada hybrid flow shop (compound flow shop), terjadi kombinasi antara proses

produksi flow shop dengan proses produksi dengan mesin paralel (multiple

processor). Setiap tahapan proses yang pada tipe pure flow-shop atau general

flow-shop terdiri dari satu mesin, sekarang terdiri dari beberapa mesin.

Stage 1

Stage 2

Stage 3

Gambar 8 Hybrid Flow shop (Adaptasi dari Morton & Pentico, 1990).

Pola aliran hybrid flow-shop memiliki beberapa variasi yang antara lain

ditentukan oleh (Jin et al, 2002; Kurz & Askin, 2003; Ruiz dan Maroto, 2006).

1. Jumlah tahapan (stage)

Penelitian tentang penjadwalan flowshop dengan beberapa tahapan (multiple

stage) sudah banyak dilakukan. Semakin banyak tahapan yang terdapat pada

suatu kasus penjadwalan, semakin kompleks model penjadwalan yang

dihasilkan.

2. Karakteristik mesin pada satu stage

Mesin-mesin paralel yang terdapat pada suatu stage bisa bersifat identik atau

tidak. Pada stage dengan mesin-mesin yang bersifat identik, suatu job bisa

diproses pada mesin mana saja yang terdapat pada stage tersebut, namun pada

Page 27: BAB II Tinjauan Pustaka

33

stage dengan mesin tidak identik, suatu job mungkin hanya bisa dikerjakan

pada mesin tertentu yang terdapat pada stage tersebut

3. Fleksibilitas aliran

Pada penjadwalan hybrid flowshop dengan aliran yang fleksibel (flexible flow

lines), setiap job tidak harus melalui setiap tahapan proses.

Beberapa karakteristik proses dan kendala yang dihadapi pada lantai

produksi juga dapat meningkatkan kompleksitas model penjadwalan flow-shop,

seperti yang diuraikan oleh Pinedo dan Chao, 1999:

1. Pengurutan pekerjaan yang dipengaruhi oleh waktu setup (sequence

dependent setup times).

Kondisi yang terjadi jika antara dua pekerjaan yang berurutan pada suatu

mesin dibutuhkan waktu setup, dimana lamanya waktu setup ini tergantung

kepada urutan job yang diproses pada mesin tersebut (Kurs dan Askin, 2003).

2. Interupsi Pekerjaan (Preemptions)

Model penjadwalan yang mempertimbangkan adanya interupsi (masuknya

job baru) pada jadwal yang sedang dilaksanakan. Hal ini terjadi jika terdapat

job dengan prioritas yang tinggi dan harus diproses segera.

3. Adanya peruntukan mesin untuk suatu job (machine eligibility)

Kondisi dimana suatu job tidak dapat diproses pada mesin mana saja yang

tersedia pada suatu stage, melainkan hanya bisa diproses pada mesin tertentu.

Situasi ini terjadi jika mesin-mesin paralel yang terdapat pada satu stage tidak

sama (identik), misal terdapat perbedaan kecepatan atau spesifikasi lain.

Tantangan dalam penjadwalan flowshop adalah bagaimana menentukan

urutan pemrosesan job yang optimum sehingga ukuran performansi penjadwalan

seperti makespan, total flowtime atau ukuran performansi lainnya dapat

diminimasi (Yandra dan Tamura (2007).

Pinedo dan Chao (1999) menjelaskan bahwa beberapa tujuan yang

menjadi ukuran dari performansi penjadwalan adalah:

1. Keluaran (Throughput) dan Makespan

Meningkatkan atau memaksimasi keluaran (tingkat output) merupakan salah

satu tujuan yang penting bagi banyak perusahaan. Upaya untuk meminimasi

makespan berkaitan erat dengan tujuan untuk meningkatkan output.

Page 28: BAB II Tinjauan Pustaka

34

Algoritma heuristik yang bertujuan untuk meminimasi makespan pada

lingkungan mesin dengan jumlah job terbatas akan cenderung untuk

memaksimasi tingkat output.

Makespan (Cmax) adalah waktu ketika job terakhir meninggalkan sistem

(selesai diproses), di mana:

Cmax = max (C1, ..., Cn) untuk Cj = 1, ........, n ...................... (1)

Cj = waktu job j selesai diproses (completion time dari job j)

2. Batas waktu yang ditetapkan (Due Date)

Upaya untuk menepati batas waktu yang ditetapkan (due date) pada suatu

model penjadwalan merupakan salah satu tujuan penting yang biasanya

dilihat dari keterlambatan (lateness) dari suatu job. Keterlambatan biasanya

diukur dari keterlambatan maksimum (maximum lateness), jumlah pesanan

(job) yang terlambat (number of tardy jobs) , rata-rata keterlambatan, dan

total keterlambatan yang berbobot (total weighted tardiness).

Keterlambatan dari suatu job j (Lj) didefinisikan sebagai:

Lj = Cj – dj .......................................................................... (2)

Dimana : dj= due date dari job j.

Salah satu tujuan penjadwalan adalah meminimasi keterlambatan maksimum

(Lmax) yang didefinisikan:

Lmax = max (L1, ... Ln) .............................................................. (3)

Keterlambatan (tardiness) dari suatu job j didefinisikan sebagai

Tj = max (Cj – dj, 0) ................................................................. . (4)

Fungsi tujuan adalah untuk meminimasi total tardiness sebagai berikut :

........................................................................................... (5)

Jika job-job yang dijadwal memiliki prioritas yang berbeda-beda, maka

digunakan fungsi tujuan meminimasi total weighted tardiness sebagai

berikut:

...................................................................................... (6)

Dimana wj = bobot dari job j

3. Biaya Setup

Upaya untuk memaksimasi throughput atau meminimasi makespan seringkali

sejalan dengan upaya untuk meminimasi waktu setup. Namun pada beberapa

Page 29: BAB II Tinjauan Pustaka

35

kondisi, biaya setup tidak tergantung kepada waktu setup. Misalnya terdapat

beberapa mesin yang proses setupnya bisa menghasilkan banyak buangan

(waste) sehingga meningkatkan biaya setup. Pada situasi ini upaya

meminimasi biaya setup merupakan suatu tujuan yang berbeda dengan upaya

untuk meminimasi waktu setup

4. Persediaan Barang Setengah Jadi (Work-in-Process Inventory)

Ukuran performansi yang dapat mewakili Work-in Process (WIP) adalah rata-

rata waktu yang dibutuhkan untuk menghasilkan satu output (throughput

time). Waktu output (throghput time) adalah waktu yang diperlukan suatu job

berada di dalam sistem. Upaya untuk meminimasi waktu output akan

meminimasi tingkat WIP. Minimasi waktu output berkaitan erat dengan

minimasi jumlah waktu peyelesaian setiap job (completion time), sehingga

fungsi tujuannya menjadi :

..................................................................... (7)

Jika setiap job memiliki prioritas yang berbeda, maka tujuan untuk

meminimasi WIP diukur melalui minimasi jumlah weighted completion time

sebagai berikut :

..................................................................... (8)

2.9 Algoritma Genetika untuk Penjadwalan Flowshop

Algoritma Genetika (Genetic Algorithm/GA) merupakan metode pencarian

global stokastik yang meniru fenomena proses evolusi biologi yang berlangsung

secara alamiah dan teori-teori genetika (Michalewicz, 1996). Algoritma pencarian

dengan menggunakan GA berbasiskan mekanisme seleksi alamiah terhadap

populasi yang ada dan berusaha untuk melakukan perbaikan terhadap populasi

tersebut menggunakan prinsip bertahan untuk anggota populasi yang terbaik

(Goldberg, 1989).

GA telah cukup sukses digunakan untuk memecahkan masalah optimasi

dalam bidang pencarian rute, penjadwalan (scheduling), adaptive control, model

kognitif, masalah transportasi, traveling salesman problem, masalah optimal

control dan optimasi pencarian database.

Page 30: BAB II Tinjauan Pustaka

36

Selanjutnya Goldberg (1989) menjelaskan bahwa GA berbeda dengan

teknik optimasi atau teknik pencarian lain dalam hal: 1) algoritma genetik bekerja

dengan serangkaian solusi yang telah diberi kode, bukan pada solusi itu sendiri, 2)

algoritma genetik melakukan pencarian solusi pada sekumpulan kromosom (pada

suatu populasi) sehingga didapatkan banyak solusi, bukan hanya pada satu solusi,

3) algoritma genetik menggunakan informasi mengenai hasil (fungsi fitness) dan

bukan menggunakan suatu fungsi turunan atau fungsi bantuan lainnya, dan 4)

algoritma genetik menggunakan aturan transisi/pertukaran yang probabilistik,

bukan deterministik.

Menurut Michalewicz (1996) dan Kusumadewi (2003) pemecahan

masalah dengan menggunakan GA harus memiliki 6 ( enam) komponen, yaitu:

1) Representasi genetik untuk solusi potensial pada masalah yang akan

dipecahkan. Representasi genetik ini digambarkan dalam bentuk populasi

dimana pencarian akan dilakukan, dan individu-individu dalam populasi

tersebut yang disebut sebagai kromosom. Representasi kromosom dalam GA

umumnya menggunakan single –level binary string (digit yang terdiri dari

angka 0 dan 1).

2) Cara untuk menghasilkan populasi awal (initial population) dari solusi

potensial.

3) Fungsi evaluasi yang berperan dalam melakukan peringkat terhadap solusi

yang dihasilkan. Fungsi evaluasi ini terdiri dari fungsi tujuan (objective

function) dan fungsi kesesuaian (fitness function).

4) Fungsi seleksi yang bertujuan untuk memilih anggota populasi yang akan

menjadi orang tua (parents) dari proses operasi genetika.

5) Operator genetik yang melakukan operasi genetika.

Pencarian solusi dilakukan dengan memanipulasi kromosom orang tua

(parents) dengan menggunakan operator pindah silang (crossover) dan

mutasi.

6) Nilai beberapa parameter yang digunakan oleh GA (seperti ukuran populasi,

probabilitas penerapan operator genetik, dan lain-lain)

Selanjutnya Rajkumar dan Shahabudeen (2009) menjelaskan bahwa secara

umum algoritma genetika terdiri dari beberapa langkah, yaitu:

Page 31: BAB II Tinjauan Pustaka

37

Langkah 1 : Menetapkan atau membangkitkan populasi awal yang terdiri

dari sejumlah kromosom.

Langkah 2 : Mengevaluasi nilai fitness setiap kromosom

Langkah 3 : Menghasilkan populasi baru dan kromosom baru dengan

menjalankan operator genetika seperti crossover dan mutasi

terhadap kromosom yang ada sekarang.

Langkah 4 : Mengevaluasi nilai fitness kromosom-kromosom yang terdapat

pada populasi yang baru dan terus memperbaiki nilai fitness

populasi tersebut melalui operator genetika.

Langkah 5 : Jika kondisi penghentian tercapai (hasil sudah memuaskan),

berhenti dan tetapkan kromosom terbaik, jika tidak, kembali ke

langkah 3.

Representasi Kromosom

Proses untuk menggambarkan/merepresentasikan gen-gen yang terdapat

pada suatu kromosom disebut juga dengan representasi kromosom/pengkodean

(encoding). Tiga skema yang paling umum digunakan dalam representasi

kromosom, yaitu (Sivanandam dan Deepa, 2008; Suyanto, 2005) :

String bit (Binary encoding)

Setiap sel atau gen hanya bernilai 0 atau 1. Contoh : 10011, 01101

Permutasi (real number encoding)

Setiap gen merupakan bilangan string atau bilangan real/integer yang

merepresentasikan nomor dari suatu urutan. Contoh : 1 5 3 2 6 4 7 9 8

Discrete decimal encoding

Setiap gen bisa bernilai salah satu bilangan bulat dalam interval [0,9]

Seleksi Kromosom

Seleksi kromosom adalah metode untuk memilih kromosom-kromosom

yang akan dipindah-silangkan dari populasi yang ada sekarang. Proses seleksi

kromosom secara acak memilih kromosom berdasarkan nilai fitness dari fungsi

evaluasinya. Semakin besar nilai fitness suatu kromosom semakin besar

Page 32: BAB II Tinjauan Pustaka

38

kesempatan kromosom tersebut untuk dipilih (Sivanandam dan Deepa, 2008;

Rajkumar dan Shahabudeen, 2009).

Ada beberapa operator yang dapat digunakan untuk memilih kromosom.

Dua di antaranya adalah metode roda rolet (roulette wheel selection) dan metode

seleksi turnamen (tournament selection). Pada metode roda rolet kromosom orang

tua (parents) yang akan dipindah-silangkan dipilih berdasarkan nilai fitnessnya.

Nilai fitness dari masing-masing kromosom dibagi dengan total nilai fitness

seluruh kromosom yang ada pada populasi. Setiap kromosom dianggap

merupakan potongan/bagian dari roda rolet dengan ukuran potongan yang

proporsional dengan nilai fitnessnya. Suatu nilai target antara angka nol dan

angka satu ditetapkan secara acak. Kemudian roda rolet diputar sebanyak N kali,

dimana N adalah jumlah individual atau kromosom dan populasi. Dari setiap

putaran, kromosom dengan nilai fitness yang berada di bawah nilai target dipilih

untuk menjadi parents bagi generasi berikutnya.

Berbeda dengan seleksi roda rolet, seleksi turnamen memilih kromosom

dengan cara mengadakan kompetisi/turnamen di antara individu-individu yang

menjadi anggota populasi. Individu terbaik dari hasil turnamen adalah yang

memiliki nilai fitness terbesar, yang disebut sebagai pemenang (winner).

Pemenang diletakkan pada kolam kompetisi (mating pool). Turnamen diulang

hingga mating pool untuk menghasilkan generasi baru penuh. Mating pool akan

berisi pemenang-pemenang turnamen dengan nilai fitness tertinggi (Sivanandam

dan Deepa, 2008).

Pindah Silang (Cross Over)

Terdapat beberapa operator pindah silang yang digunakan pada masalah

penjadwalan hybrid flowshop. Di antaranya adalah Two Point Crossover,

Partially Mapped Crossover (PMX), dan Similar Job Order Crossover (SJOX).

Operator pindah silang yang digunakan pada penelitian ini adalah Partially

Mapped Crossover (PMX) dengan langkah-langkah sebagai berikut:

1. Tentukan dua titik secara random untuk membagi parents. Area yang terletak

antara dua titik pada kromosom orang tua (parents) disebut area pemetaan

(mapping)

Page 33: BAB II Tinjauan Pustaka

39

Gambar 9 Pindah Silang dengan Metode PMX

2. Pertukarkan area mapping dari dua parent untuk diturunkan kepada anak

(child). Area mapping dari parent pertama dicopy untuk diturunkan pada

child ke 2, sedangkan area mapping dari parent ke 2 dicopy untuk diturunkan

pada child pertama.

3. Definisikan pemetaan pada area mapping antara dua parent. Pada contoh

kasus ini pemetaan gennya adalah sebagai berikut :

4. Isi offspring dengan gen yang dicopy secara langsung dari parent secara

berurutan dari kiri ke kanan. Jika gen tersebut sudah terdapat pada area

mapping yang dicopykan sebelumnya, lakukan pengisian gen dengan

melakukan pemetaan.

Mutasi

Mutasi merupakan suatu cara untuk menghasilkan kromosom anak

(offspring) bukan dengan cara pindah silang, melainkan dengan cara

memodifikasi fitur/gen-gen orang tua (parents). Mutasi mencegah upaya

pencarian dengan algoritma genetika menghasilkan nilai lokal optimum. Mutasi

juga berperan dalam mengembalikan gen-gen bagus yang hilang akibat proses

genetik, namun sebaliknya juga bisa merusak informasi genetik yang sudah ada

(Sivanandam dan Deepa, 2008; Rajkumar dan Shahabudeen, 2009).

Selanjutnya Rajkumar dan Shahabudeen (2009) menjelaskan tiga di antara

beberapa operator mutasi yang sering digunakan, sebagai berikut :

Page 34: BAB II Tinjauan Pustaka

40

1. Pertukaran tiga gen (job) secara acak

Tiga gen dipilih secara acak, dan dipertukarkan lokasinya di antara ketiga

gen secara acak.

2. Pertukaran dua gen (job) secara acak

Dua gen dipilih secara acak, kemudian lokasinya dipertukarkan

3. Pertukaran Shift (Shift Mutation)

Suatu gen yang berada pada posisi yang dipilih secara acak diambil dan

kemudian dimasukkan (di insert) pada posisi lain secara acak juga.

Gen dan Cheng (1997) menyatakan terdapat tiga kelebihan utama

algoritma genetika ketika menerapkan algoritma genetika untuk mencari optimasi

suatu masalah yaitu: 1) algoritma genetika tidak menggunakan banyak persamaan

matematik untuk mengoptimalkan solusi suatu masalah, 2) ergodicity dari

operator genetika membuat algoritma genetika sangat efektif untuk melakukan

pencarian global sehingga solusi yang dihasilkan bukan solusi yang bersifat lokal,

dan 3) algoritma genetika memberikan fleksibilitas yang lebih besar untuk

Page 35: BAB II Tinjauan Pustaka

41

digabungkan dengan metode heuristik lain guna menghasilkan tahapan

implementasi yang lebih efisien untuk suatu masalah tertentu.

Penelitian penjadwalan untuk lantai produksi flowshop dengan

menggunakan algoritma genetika telah banyak dilakukan. Namun tidak banyak

yang khusus meneliti mengenai penjadwalan pada lantai produksi dengan tipe

hybrid flowshop atau flexible flowshop dengan menggunakan algoritma genetika.

Jin et al (2002) meneliti kasus penjadwalan hybrid flowshop yang terdiri

dari tiga stages dimana setiap stages terdiri dari mesin-mesin yang bersifat paralel.

Penelitian ini menggunakan kriteria makespan, dan membuat banyak eksperimen

yang merubah-rubah jumlah mesin pada setiap stages dengan tujuan memperoleh

penjadwalan dapat meminimasi bottleneck disamping meminimasi makespan.

Penjadwalan yang diselesaikan dengan algoritma genetika ini membuktikan

bahwa algoritma genetika dapat menyelesaian kasus yang cukup kompleks seperti

pada penelitian ini. Lantai produksi yang diteliti berbentuk hybrid flowshop,

namun tidak ada fleksibilitas dalam melalui urutan produksi.

Penelitian penjadwalan hybrid flowshop lainnya dilakukan oleh Ruiz dan

Maroto (2006) yang menyatakan bahwa kasus penjadwalan flowshop yang terdiri

dari dua stages sudah merupakan kasus yang sulit untuk diselesaikan secara

manual. Penelitian Ruiz dan Maroto difokuskan pada penjadwalan pekerjaan pada

lantai produksi hybrid flowshop dengan multiple processor dan waktu set up yang

tergantung pada urutan job (sequence dependents set up time/SDST). Penelitian

yang dilakukan pada pabrik keramik ini diselesaikan menggunakan algoritma

genetika dengan kriteria meminimasi makespan. Kompleksitas kasus ini semakin

bertambah dengan karakteristik mesin-mesin yang tidak paralel pada setiap

stages, dan adanya kendala peruntukan mesin untuk setiap job (machine

eligibility constraint). Penelitian ini menunjukkan bahwa algoritma genetika dapat

memecahkan masalah penjadwalan yang kompleks ini dengan baik. Di sisi lain

kekurangan dari riset ini adalah adanya keharusan setiap job untuk melewati

setiap stages, sehingga penjadwalan ini bukan termasuk kasus fleksible flowshop.

Page 36: BAB II Tinjauan Pustaka

42

2.10 Sistem Perhitungan Biaya dan Harga Pesanan

Harga produk merupakan salah satu informasi penting yang diperlukan

oleh produsen maupun konsumen dalam proses penawaran dan pemasaran suatu

produk. Tanpa adanya sistem kalkulasi harga yang tepat, baik pihak produsen

ataupun konsumen bisa menderita kerugian dalam membuat suatu penjanjian jual

beli produk. Sebelum menetapkan harga jual suatu produk, perlu dihitung terlebih

dahulu biaya-biaya yang dikeluarkan untuk memproduksi atau mengadakan

produk tersebut. Dalam menghitung biaya suatu produk, perlu diketahui

komponen-komponen atau kelompok biaya apa saja yang perlu diperhitungkan.

Tunggal (2011) menyatakan bahwa klasifikasi biaya yang paling umum

digunakan didasarkan atas hubungan biaya terhadap : 1) produk (satu lot, batch,

atau unit barang atau jasa), 2) volume produksi, 3) departemen, proses, pusat

biaya, atau sub-divisi manufaktur lain, 4) periode akuntansi, dan 5) keputusan,

tindakan atau evaluasi yang diusulkan.

Menurut Horngren, Datar dan Foster (2006), klasifikasi biaya yang biasa

digunakan dalam menggambarkan biaya manufaktur adalah:

1. Biaya bahan langsung (direct material cost)

Biaya perolehan semua bahan yang pada akhirnya akan menjadi bagian dari

objek biaya. Biaya perolehan bahan langsung mencakup beban angkut, pajak

penjualan serta bea masuk.

2. Biaya tenaga kerja manufaktur langsung (direct manufacturing labor cost)

Mencakup kompensasi atas seluruh tenaga kerja manufaktur yang dapat

ditelusuri ke objek biaya dengan cara yang ekonomis.

3. Biaya manufaktur tidak langsung (indirect manufacturing cost)

Seluruh biaya manufaktur yang terkait dengan objek biaya, namun tidak dapat

ditelusuri ke objek biaya dengan cara yang ekonomis. Biaya ini juga disebut

sebagai biaya overhead manufaktur (manufacturing overhead cost) atau biaya

overhead pabrik (factory overhead cost).

Selanjutnya Tunggal (2011) menyatakan bahwa dalam usaha manufaktur,

total biaya operasi terdiri atas biaya manufaktur dan biaya komersial dengan

rumusan perhitungan biaya sebagai berikut:

Page 37: BAB II Tinjauan Pustaka

43

.................... (9)

......................... (10)

...... (11)

............... (12)

Terdapat beberapa cara atau pendekatan untuk menghitung/mengkalkulasi

biaya (costing systems) di dalam disiplin akuntansi biaya. Tunggal (2011)

mengklasifikasikan pendekatan untuk perhitungan biaya berdasarkan dua sudut

pandang, yaitu pengklasifikasian biaya dilihat dari sudut pandang proses produksi,

dan dari sudut pandang penyerapan (absorbtion) biaya. Dari sudut pandang atau

penekanan terhadap proses produksi, sistem kalkulasi biaya dapat dikelompokkan

menjadi dua kelompok, yaitu : Job-order Costing dan Process Costing. Dari

sudut pandang atau penekanan terhadap penyerapan biaya, sistem kalkulasi biaya

dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu : absorbtion (full) costing, variable

(direct) costing, dan activity-based costing (ABC).

Dari berbagai sistem atau metode kalkulasi biaya di atas, perhitungan

biaya berdasarkan aktivitas (ABC) merupakan pendekatan yang relatif baru.

Menurut Mulyadi (1993), sistem ABC dirancang atas dasar landasan pikiran

bahwa produk memerlukan aktivitas dan aktivitas mengkonsumsi sumber daya.

Dengan perdekatan ABC biaya perlu dirinci lebih lanjut menurut perilaku biaya

dalam hubungannya dengan berbagai tipe aktivitas. Lebih lanjut Mulyadi

menguraikan bahwa biaya pada sistem ABC diklasifikasikan menjadi 4 macam,

yaitu : biaya pada level unit (unit-level activity cost), biaya yang berkaitan dengan

batch (batch-level activity cost), biaya yang berkaitan dengan produk (product

sustaining activity cost) dan biaya yang berkaitan dengan fasilitas (facility

sustaining activity cost).

Tunggal (2011) menguraikan tahapan-tahapan yang dilakukan untuk

melakukan estimasi biaya berdasarkan sistem ABC sebagai berikut :

1. Mendefinisikan proses, yaitu menelusuri flow dari input dan output melalui

setiap langkah proses untuk setiap produk.

Page 38: BAB II Tinjauan Pustaka

44

2. Menganalisis aktivitas dalam proses, dengan mengidentifikasi aktivitas

dimana produk mengalir dan memisahkan aktivitas dari departemen asal

mereka.

3. Membuat cost pools, yaitu dengan menyamakan cost pools dengan aktivitas

sehingga setiap aktivitas mempunyai cost pool yang dapat diidentifikasi

sendiri untuk pengalokasian.

4. Mengidentifikasi pemicu biaya (cost drivers)

Menganalisis setiap aktivitas yang merupakan penyebab utama dari

variabilitas. Pemicu biaya adalah faktor apapun yang menyebabkan timbulnya

biaya dalam aktivitas yang dipilih. Beberapa pemicu biaya mudah ditelusuri,

seperti jam kerja mesin yang dapat dipergunakan untuk menelusuri bahan

baku langsung dari aktivitas mesin sampai produk. Sistem ABC tidak

mengembangkan penelusuran bahan baku langsung dan tenaga kerja langsung

pada produk, tapi mengembangkan ketepatan pengalokasian biaya tidak

langsung (indirect costs), yang dapat ditelusuri secara langsung pada produk,

tetapi tidak dapat ditelusuri pada aktivitas. Pemicu biaya memberikan

hubungan timbal balik (causal relationship) antara total costs dari aktivitas

dengan produk yang melewati aktivitas.

Kirche, Kadipasaoglu dan Humawala (2005) membuktikan kelebihan

penerapan sistem kalkulasi biaya ABC di dalam industri manufaktur yang

berbasiskan MTO. Dalam laporan penelitiannya, Kirche, Kadipasoglu dan

Humawala menyatakan bahwa dalam industri manufaktur dimana proporsi biaya

manufaktur relatif kecil terhadap total biaya keseluruhan maka penerapan sistem

kalkulasi biaya ABC akan lebih menguntungkan dibandingkan sistem kalkulasi

biaya lainnya. Pada penelitian ini biaya yang berkaitan dengan pesanan (order)

digunakan sebagai pengganti biaya aktivitas pada level produk yang terdapat pada

teori ABC.