BAB II Tinjauan Pustaka
-
Upload
abdurahman-sidik-al-bantani -
Category
Documents
-
view
195 -
download
2
description
Transcript of BAB II Tinjauan Pustaka
2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Industri Kemasan Kertas
Industri Kemasan Kertas merupakan industri hilir dari industri pulp dan
kertas. Rantai industri pulp dan kertas dimulai dari industri pengolahan kayu
menjadi pulp, dilanjutkan dengan pengolahan pulp menjadi kertas, dan akhirnya
pengolahan kertas menjadi bermacam-macam produk hilir, termasuk kemasan
yang terbuat dari karton.
Seiring dengan peningkatan permintaan terhadap produk-produk kertas
baik dari dalam negeri maupun luar negeri, Departemen Perindustrian Republik
Indonesia telah menjadikan upaya untuk mendorong perkembangan industri hilir
kertas sebagai salah satu rencana aksi pada tahun 2010 sampai 2014. Adanya
tekanan internasional di bidang lingkungan hidup telah mendorong tumbuhnya
upaya untuk memanfatkan kertas bekas sebagai bahan baku industri kertas hilir.
Hal ini menjadi salah satu faktor pendorong semakin bertumbuhnya industri
kertas hilir yang memproduksi karton gelombang dan kertas-kertas daur ulang.
Karton gelombang dan kertas-kertas daur ulang merupakan bahan baku yang
cukup penting untuk industri kemasan kertas (Direktorat Jenderal Industri Agro
dan Kimia, 2009).
Industri kemasan kertas menggunakan bahan baku berbagai macam jenis
kertas, antara lain papan kertas (cardboard), karton gelombang (corrugated
board), kertas kraft, kertas medium dan karton seni (art carton). Kertas dan
papan kertas adalah lembaran material yag dibuat dari jalinan serat selulosa yang
dihasilkan dari kayu. Material ini dapat dicetak dan memiliki karakteristik fisik
yang memungkinkan untuk dijadikan kemasan kaku atau fleksibel dengan cara
memotong, melipat, membentuk, mengelem dan sebagainya. Dewasa ini terdapat
banyak tipe kertas dan papan kertas, dimana perbedaannya terletak dalam hal
tampilan (appearance), kekuatan dan beberapa karakteristik lainnya, tergantung
kepada jumlah serat yang digunakan dan bagaimana serat tersebut diproses
menjadi kertas dan papan kertas. Appearance berkaitan dengan penampakan
visual kemasan dan diekspresikan dalam kriteria warna, kehalusan dan kilap pada
permukaan kemasan (Coles et al, 2003).
8
Jenis kemasan kertas sangat banyak, mulai dari kertas tissu sebagai
pembungkus teh dan kopi celup hingga kemasan karton tebal yang digunakan
dalam proses distribusi dan pengangkutan. Menurut Kirwan (2005) kertas dan
papan kertas ini antara lain digunakan untuk mengemas : 1) produk-produk
makanan kering, seperti sereal, produk-produk roti, teh, kopi, gula, tepung, dan
makanan kering, 2) produk makanan beku, chilled food dan es krim, 3) makanan
dan minuman cair seperti juice, susu dan produk-produk turunan dari susu, 4)
produk makanan yang mengandung coklat dan gula, 5) makanan cepat saji (fast-
foods), dan 6) makanan segar seperti buah-buahan, sayuran, daging dan ikan, 7)
produk-produk farmasi dan kesehatan, 7) produk-produk untuk keperluan olah
raga dan bersantai, 8) mesin-mesin dan alat-alat elektronik, 9) produk-produk
untuk keperluan pertanian dan perkebunan, dan 10) alat-alat militer.
Dalam memilih suatu kemasan, perlu dipertimbangkan kesesuaian antara
produk yang dikemas dengan kemasannya. Faktor-faktor yang menentukan
kesesuaian ini adalah tampilan (appearance) dan performansi. Faktor performansi
berkaitan dengan tingkat efisiensi proses manufaktur yang terdiri dari proses
printing, pemotongan (cutting), pelipatan, pengeleman dan pengepakan.
Kemasan kertas dan papan kertas diklasifikasikan berdasarkan desain
bagian permukaan (desain grafis) dan desain struktural. Desain grafis dilihat dari
warna, teks, gambar, dekorasi dan tekstur permukaan. Desain tersebut diwujudkan
dengan memberikan perlakuan terhadap bahan dasar kertas dan papan kertas
berupa proses laminasi, pelapisan (coating), penempelan kertas timah (hot foil
stamping), desain atau hiasan timbul (embossing), pencetakan (printing) dan
pengkilapan (varnishing). Desain struktural antara lain menyangkut bentuk
kemasan dan desain bukaan kemasan. Kemasan kertas dan papan kertas memiliki
banyak sekali variasi karena faktor-faktor : 1) banyaknya alternatif warna dan
finishing kertas yang tersedia, 2) banyaknya pilihan kekuatan kemasan kertas,
tergantung kepada tipe serat, ketebalan, dan cara produksi, 3) banyaknya alternatif
cara coating, laminating, dekorasi dan printing, 4) kemudahan konversi desain
kemasan melalui proses pemotongan, tekukan, pelipatan, pengeleman, cara
mengunci (locking) dan cara menutup/merapatkan (sealing), dan 5) banyaknya
inovasi mesin untuk kemasan dan proses pengepakan.
9
Menurut Kirwan (2005) jenis-jenis kemasan kertas yang banyak
digunakan saat ini adalah : 1) kantong kertas celup dari bahan tissue (untuk teh
dan kopi), 2) kantong kertas dan kertas pembungkus (paper bags dan wrapping
papers), 3) kemasan fleksibel yang mengkombinasikan kertas, plastik dan
alumunium foil, 4) kantong kertas multi lapis (multiwall paper sacks), 5) kotak
karton lipat (folding carton), 6) kemasan karton untuk makanan cair, 7) kotak
karton kaku (rigid boxes), 8) tabung dari kertas komposit (tube & composite
containers), 9) drum kertas (fibre drum), 10) kemasan karton gelombang
(corrugated boxes), dan 11) kontainer pulp yang dicetak (moulded pulp
containers).
Menurut Dirjen Industri Menengah dan Kecil (2007), secara umum
kemasan yang terbuat dari kertas dan karton dapat diklasifikasikan menjadi tiga,
yaitu:
1. Kemasan fleksibel (Flexible packaging). Kemasan jenis ini bersifat lentur
dan fleksibel, biasanya digunakan untuk kemasan makanan, dan snack food.
2. Kemasan kaku (Rigid packaging). Kemasan ini bersifat kaku dan lebih
tebal. Biasanya digunakan sebagai kontainer (kemasan bagian luar) untuk
produk-produk makanan.
3. Kemasan kotak (Box packaging) yang terbuat dari karton gelombang dan
karton duplex. Biasanya digunakan sebagai wadah untuk memindahkan
produk (carried box), tempat pajangan produk (display box), dan tempat
makanan (food box).
2.2 Kemasan Karton Lipat
Kemasan karton lipat terbuat dari papan kertas yang dikirimkan ke mesin
pengepakan berbentuk lembaran (sheet). Pilihan papan kertas yang digunakan
untuk karton lipat tergantung kepada kebutuhan produk selama pengepakan,
distribusi, penyimpanan dan penggunaan. Juga tergantung kepada desain grafis
dan desain struktural yang diinginkan. Jenis papan kertas yang digunakan antara
lain solid bleached board (SBB), solid unbleached board (SUB), folding box
board (FBB) dan white lined chip board (WLC).
10
Sebagian besar karton lipat berbentuk persegi empat. Jenis produk yang
akan dikemas, metode pengisian dan cara karton didistribusikan, dipajang dan
digunakan akan mempengaruhi dimensi dan rancangan karton. Karton lipat
dibuat dengan tahapan: pertama, desain permukaan karton diprint pada lembaran
papan kertas, selanjutnya setiap karton dipotong dan ditekuk menurut pola yang
sudah dibuat. Kemasan karton yang sudah dipotong dan berbentuk lembaran bisa
dikirim langsung ke pengepakan, atau sebagian dari lembaran dilipat (pada bagian
sisinya) dan dikirimkan dalam bentuk lipatan. Terdapat proses tambahan yang
digunakan dalam membuat karton lipat, tergantung kepada desain kemasan.
Proses tambahan ini antara lain pengkilapan (varnishing), pelapisan dengan panas
(heat seal coating), embossing, pembubuhan timah panas (hot foil stamping) dan
pembuatan jendela pada kemasan (window patching) (Coles et al, 2003).
2.3 Kotak Karton Gelombang (Corrugated Box)
Jenis kemasan ini adalah kemasan kertas yang berukuran paling besar dan
biasanya digunakan untuk proses pengangkutan dan penyimpanan. Pada sektor
retail, kotak atau landasan (tray) yang terbuat dari karton gelombang digunakan
sebagai kemasan kedua (yang mewadahi kemasan pertama). Demikian juga pada
industri makanan, jenis kemasan ini digunakan untuk mewadahi kemasan pertama
yang terdiri dari 6 atau 12 unit. Katon gelombang bisa terbuat dari kertas kraft asli
yang tidak mengalami proses pemutihan (unbleached virgin kraft liner), 100%
terbuat dari kertas/serat daur ulang atau campuran antara keduanya. Berat
kemasan berkisar antara 115 sampai 400 g/m2. Proses manufaktur kemasan
karton gelombang memiliki model matematik yang didasarkan kepada material
standar, tipe gelombang, dimensi dan berat kandungan yang dapat memprediksi
kekuatan tekan kemasan (Coles, Dowell dan Kirwan, 2003).
Kotak karton gelombang sejauh ini merupakan kemasan kertas yang
terbanyak digunakan dihitung dari tonase pemakaiannya. Berdasarkan susunan
(konstruksinya), menurut TAPPI (2001) terdapat 4 (empat) jenis lembaran (sheet)
yang merupakan bahan baku dari karton gelombang, yaitu :
Single face. Single face merupakan lembaran kertas gelombang yang dilapisi
oleh satu lembar kertas datar (flat). Single face biasa diproduksi dalam
11
bentuk gulungan dan kadang-kadang digunakan sebagai bantalan bagi produk
yangmudah pecah seperti bola lampu.
Single wall. Single wall terdiri tiga lapis kertas dimana satu lapis kertas
gelombang dilapisi oleh dua lembar kertas pada kedua sisinya.
Double wall. Jenis sheet ini memiliki lima lapis kertas yang terdiri dari dua
lembar kertas gelombang yang dilapisi oleh tiga lembar kertas pada bagian
luar dan diantara kedua kertas gelombang.
Triple wall. Terdiri dari tujuh lapis kertas, yang terdiri dari tiga lembar kertas
gelombang yang dilapisi oleh empat lembar kertas flat.
Jenis kertas yang biasa digunakan sebagai bahan baku karton gelombang
adalah kertas kraft dan kertas medium. Kertas kraft digunakan sebagai kertas
pelapis bagian luar dan di antara kertas yang bergelombang, sedangkan kertas
medium digunakan sebagai bahan dasar untuk membuat lembaran bergelombang.
Kertas kraft atau biasa disebut liners terdiri dari beberapa macam warna, yaitu
kertas kraft coklat, putih atau lurik. Kertas kraft bisa terbuat dari 100 persen pulp
(serat asli), campuran antara pulp dengan kertas daur ulang, atau 100 persen kertas
daur ulang. Kertas kraft yang paling banyak digunakan adalah kertas kraft coklat.
Kertas kraft coklat merupakan kertas kraft yang belum mengalami proses
pemucatan (unbleached) untuk menghilangkan warna, sedangkan kertas kraft
putih adalah kertas kraft yang mengalami proses pemucatan (bleached). Kertas
kraft lurik merupakan campuran antara kertas kraft yang mengalami proses
pemucatan dengan yang tidak (Kirwan, 2005; TAPPI, 2001).
Kertas medium sebagai bahan dasar karton gelombang terbuat dari serat
kertas hasil daur ulang yang melalui proses mekanikal dan kimia. Karakteristik
karton gelombang ditentukan oleh konfigurasi gelombang yang terdiri dari tinggi
gelombang dan jumlah gelombang per satuan panjang kertas (flute). Di samping
jenis kertas dan jumlah lapisan, faktor lain yang tidak kalah penting dalam
menentukan karakteristik karton gelombang adalah profil atau konfigurasi
gelombang yang terdapat pada karton tersebut. Jenis-jenis flute yang terdapat
pada karton gelombang diklasifikasikan berdasarkan huruf. Flute A, B dan C
merupakan jenis flute yang umum terdapat pada karton gelombang dan memiliki
ukuran tinggi gelombang antara 2,0 sampai 4,8 mm. Flute jenis E, F, G, N dan O
12
merupakan flute yang biasa terdapat pada karton gelombang yang lebih tipis
dengan tinggi flute berkisar antara 0,3 sampai 1,8 mm (ICG, 2003). Di Indonesia
jenis flute yang lazim digunakan adalah flute jenis B, C dan E.
Proses pembuatan karton gelombang dilakukan pada mesin yang disebut
corrugator. Suatu lini mesin corrugator yang modern mampu menghasilkan
karton gelombang dengan kecepatan 1000 ft/menit.
2.4 Sistem Pemrosesan Pesanan
Pemrosesan pesanan adalah suatu aktivitas pertukaran informasi yang
dibutuhkan di antara para anggota dari suatu rantai pasok (supply chain) yang
terlibat dalam distribusi atau jual beli suatu produk. Aktivitas utama dari
manajemen pemesanan adalah meneliti dan menentukan kualifikasi dari setiap
pesanan yang masuk (Bowersox et al. 2002).
Sistem pemrosesan pesanan merupakan salah satu bagian penting dari
sistem logistik. Pesanan yang datang dari konsumen akan menggerakkan seluruh
bagian dalam perusahaan untuk dapat memenuhi pesanan tersebut dalam waktu
yang tepat dengan spesifikasi dan kualitas produk yang sesuai dengan permintaan
konsumen. Untuk bisa memenuhi permintaan konsumen, dibutuhkan suatu sistem
komunikasi dan informasi yang efisien. Sistem informasi dan pemrosesan
pesanan yang efisien memainkan peranan penting dalam upaya memenuhi dan
melayani kebutuhan konsumen dengan biaya yang kompetitif.
Menurut Stock dan Lambert (2001), siklus proses pemesanan dimulai
sejak diberikannya pesanan (order) dan berakhir ketika diterimanya pesanan oleh
konsumen. Siklus pemesanan terdiri dari beberapa tahap, yaitu : (1) persiapan dan
penawaran pesanan, (2) Penerimaan dan input pesanan, (3) pemrosesan pesanan,
(4) pengambilan dan pengepakan di gudang, (5) pengiriman pesanan, dan (6)
penerimaan dan pembongkaran (unloading) pesanan oleh konsumen (Gambar 2).
Ketika suatu perusahaan menerima pesanan dan menginputnya ke dalam
sistem pemrosesan pesanan, sistem harus mampu membuat beberapa pengecekan
untuk menentukan : (1) apakah produk yang diminta tersedia dalam jumlah yang
dipesan, (2) apakah batas kredit konsumen mencukupi untuk sejumlah pesanan
13
yang diminta, dan (3) apakah jadwal produksi memungkinkan untuk memenuhi
pesanan, jika inventory tidak tersedia.
Siklus pemrosesan dan pengiriman pesanan konsumen juga merupakan
faktor yang menentukan performansi dari proses distribusi pemasaran. Bowersox
et al. (2002) menyatakan performansi proses distribusi pemasaran ditentukan oleh
aktivitas-aktivitas : (1) penyampaian pesanan (order trasmission), (2) pemrosesan
pesanan (order processing), (3) seleksi pesanan (order selection), (4) pemrosesan
pesanan, dan (5) pengiriman pesanan.
Pesanan
Konsumen
Penerimaan
oleh konsumen
Transportasi
pesanan
konsumen
Penempatan
pesanan
Inventory yang
tersedia
Cek batas kredit
Jadwal produksi
Back Order
File
persediaan
Produksi
Proses
Pesanan
Invoice
Dokumentasi
pengiriman
Pegambilan dari
gudang
Jadwal
transportasi/
pengiriman
Memasukkan
pesanan
konsumen
Gambar 2 Siklus Proses Pemesanan (Stock dan Lambert, 2001)
Autri et al. (2008) dalam penelitiannya yang merumuskan suatu taxonomi
dari strategi logistik mengklasifikasikan sistem pemrosesan pesanan menjadi:
pengecekan kredit (credit checking), penomoran (pelabelan) pesanan, pengecekan
pesanan secara internal (order checking), menginput order (order entry),
pelaksanaan pesanan (order picking/assembly) dan pengepakan pesanan untuk
dikirim (palletization).
Dari uraian dan gambaran mengenai aktivitas-aktivitas proses pemesanan
di atas dapat dilihat bahwa dalam pelaksanaannya, proses pemesanan tidak bisa
dipisahkan dengan bagian lain yang terdapat dalam suatu perusahaan. Dari
14
Gambar 1 terlihat bahwa agar bisa memproses suatu pesanan yang masuk, perlu
adanya informasi dan jaminan mengenai ketersediaan bahan baku dan
kemampuan memenuhi jadwal produksi yang merupakan wewenang bagian
produksi. Di sisi lain, agar perusahaan mampu memproses pesanan yang masuk,
perlu adanya informasi dan jaminan dari bagian keuangan mengenai batas kredit
modal kerja yang dibutuhkan untuk memproduksi pesanan tersebut. Proses
pengiriman pesanan yang merupakan bagian dari aktivitas pemrosesan pesanan
juga tidak bisa dilepaskan dari peran bagian produksi serta bagian-bagian lain
dalam perusahaan yang menjamin pesanan dapat dikirimkan pada waktunya. Hal
ini menyebabkan perlu adanya suatu sistem pemrosesan pesanan yang handal dan
dapat meningkatkan kepuasan konsumen.
Sistem pemrosesan pesanan tidak bisa terlepas dari karakteristik dan tipe
industri dimana sistem pemrosesan pesanan tersebut diimplementasikan. Secara
umum, terdapat dua kelompok utama dalam suatu sistem manufaktur, yaitu sistem
manufaktur yang berbasiskan pesanan (make-to-order/MTO) dan sistem
manufaktur yang berbasiskan stok atau persediaan (make-to-stock/MTS).
Kingsman (1996) menjelaskan bahwa perbedaan utama antara kedua kelompok
perusahaan manufaktur tersebut terletak pada waktu penerimaan pesanan dan
waktu produksi dilakukan. Pada perusahaan MTS, produksi sudah selesai
dilakukan ketika permintaan dari konsumen datang dan permintaan konsumen
tersebut dipenuhi dari stok yang tersedia. Pada perusahaan MTO, pesanan tidak
bisa diketahui kapan waktu kedatangannya, dan seringkali produksi baru
dilakukan setelah pesanan datang. Hal ini membuat perusahaan MTO memiliki
karakteristik pemrosesan pesanan yang sedikit berbeda dengan perusahaan MTS.
Pada perusahaan MTO, setiap pesanan yang masuk tidak bisa langsung dipenuhi
seperti pada perusahaan MTS, melainkan memerlukan penelaahan atau evaluasi
lebih lanjut apakah pesanan tersebut akan dipenuhi dan perusahaan memiliki
kemampuan untuk memenuhinya.
2.5 Model Operasional Pada Industri Make to Order dan Mass Customization
Industri atau perusahaan yang berproduksi berdasarkan pesanan (MTO)
merupakan jenis sistem produksi yang telah lama ada. Berbagai produk
15
kebutuhan manusia seperti pakaian dan sepatu secara tradisional dibuat setelah
pesanan diterima. Akan tetapi produksi pada waktu itu sebagian besar dilakukan
secara manual dan dalam jumlah terbatas sehingga lebih tepat diistilahkan sebagai
sistem operasi berdasarkan keahlian manual (craft production) (Nicholas, 1998).
Adanya revolusi industri dan kemajuan teknologi, lambat laun merubah sistem
produksi berdasarkan pesanan ini menjadi sistem produksi massal (make-to-
stock/MTS) yang sebagian besar proses produksinya telah menggunakan bantuan
teknologi. Selama hampir dua abad sistem produksi massal telah mampu
memenuhi produk-produk kebutuhan manusia dalam jumlah besar dan kapanpun
diperlukan tanpa perlu melalui proses pemesanan dan waktu menunggu selama
produk diproduksi.
Paradigma yang terjadi dalam dua dekade terakhir telah memunculkan
adanya pergeseran kebutuhan manusia. Sistem produksi MTS untuk produk-
produk tertentu dipandang tidak lagi mampu memenuhi kebutuhan spesifik dari
manusia. Sekarang, dengan semakin banyaknya produk membanjiri pasaran,
pembeli dihadapkan dengan banyak sekali pilihan sehingga mereka mempunyai
posisi tawar yang semakin tinggi. Tingkat persaingan di antara perusahaan sejenis
telah mendorong terjadinya proses jual beli yang berorientasi pelanggan
(customer-driven-market). Dengan semakin banyaknya keinginan spesifik
pembeli yang harus dipenuhi oleh produsen, dalam beberapa tahun terakhir,
sistem produksi dengan karakteristik MTO mulai banyak diaplikasikan pada
beberapa jenis produk. Namun karakteristik sistem produksi MTO dewasa ini
sedikit berbeda dengan sistem MTO pada masa sebelumnya, dimana sistem
produksi MTO yang berkembang dewasa ini juga mengakomodasi kemampuan
untuk tetap berproduksi secara massal dengan tidak lagi mengandalkan produksi
manual. Sistem produksi dengan karakteristik seperti ini juga disebut sebagai
sistem produksi mass customization (MC).
Sistem Produksi MC secara singkat diartikan sebagai produksi massal
barang-barang atau jasa yang dibuat secara khusus (spesifik) untuk satu
pelanggan (Anderson, 1998). Dalam kenyataannya suatu perusahaan seringkali
mengadaptasi lebih dari satu sistem produksi dalam proses produksinya. Di
samping berproduksi secara MTO untuk beberapa variasi produk, perusahaan juga
16
bisa saja menghasilkan variasi produk lainnya yang diproduksi berdasarkan sistem
MTS.
Industri kemasan karton adalah salah satu industri yang menerapkan
prinsip MTO dalam proses produksinya. Seringkali pembeli industri kemasan
karton merupakan pembeli perorangan atau perusahaan yang ingin memesan
kemasan dengan desain khusus untuk produk mereka yang dijual secara massal,
sehingga produk kemasan karton juga dikategorikan sebagai produk mass
customization. Pada beberapa industri kemasan besar, pendekatan MTO maupun
MTS bisa digunakan secara bersamaan. Pendekatan MTS digunakan untuk proses
pembuatan karton gelombang tanpa cetak dengan bentuk yang standar, sedangkan
pendekatan MTO digunakan untuk mengerjakan pesanan produk-produk dengan
desain spesifik yang berasal dari konsumen.
Walaupun cukup banyak perusahaan menjalankan sistem produksi yang
berorientasi MTO, namun belum banyak tulisan yang mengulas secara lengkap
model dan sistem pengambilan keputusan untuk industri MTO ini.
Olvera (2009) membuat model referensi untuk operasi manufaktur pada
industri yang berorientasi MTO (Gambar 3). Model ini mengklasifikasikan
aktivitas manufaktur menjadi empat aktivitas, yaitu mempersiapkan order yang
akan diproduksi (A1), mengirimkan dan menjadwalkan order yang akan
diproduksi ke lantai produksi (A2), pelaksanaan produksi (A3) dan menutup order
(A4). Setiap aktivitas kemudian didekomposisi menjadi sub-aktivitas - sub-
aktivitas. Model juga menggambarkan input dan output dari masing-masing
aktivitas serta aliran informasi yang dibutuhkan dan diolah pada setiap aktivitas
maupun sub-aktivitas. Informasi ataupun data yang dipertimbangkan dalam
pelaksanaan aktivitas manufaktur pada model ini antara lain daftar bahan baku
(Bill of Material, BOM), urutan proses, kebutuhan dan ketersediaan kapasitas,
ketersediaan material, produk yang selesai diproduksi, dan kendala waktu
penyelesaian. Hasil validasi menunjukkan bahwa model ini cukup valid dalam
menggambarkan aktivitas manufaktur dan aliran informasi pada industri yang
berbasiskan MTO.
Kekurangan dari model ini adalah pada strukturnya yang masih bersifat
generik dan sangat umum untuk berbagai macam industri, sehingga dibutuhkan
17
proses adaptasi untuk diaplikasikan/dikembangkan pada suatu industri.
Kekurangan lainnya adalah bahwa model ini terlalu menekankan pada aktivitas
manufaktur (setelah order diterima) dan tidak ada suatu prosedur untuk
mengevaluasi dan menguji kelayakan order yang akan diproduksi. Model juga
tidak menguraikan bagaimana cara mengorganisasikan order yang cukup
bervariasi sehingga bisa menimbulkan kesulitan dalam proses penjadwalan dan
pengaturan sumberdaya untuk proses produksinya.
Buat Pesanan
Perintah pelaksanaan
pesanan (release
production order
Pelaksanaan /
pengerjaan
Pesanan
Menutup /
mengakhiri
pesanan
Rencana
pesanan
Info kendala
waktu
Info
BOM
Info
urutan
proses
Info material /
kapasitas
Kendala
biaya
Status/
update
kejadian
Perintah
jadwal
ulang/WIP
Status/
update
kejadian
Pesanan selesai
Pesanan yg
telah
diproses
Pesanan
yg akan
diproduksi
Pesanan
yg
dikerjakan
Gambar 3 Model Referensi Operasi Manufaktur Pada Perusahaan MTO
(Olvera, 2009).
Egri et al. (2004) mengusulkan model sistem produksi yang terdiri dari
dua tahapan, yaitu tahap perencanaan produksi dan tahap penjadwalan pada
industri manufaktur MTO. Pada model ini setiap order produk dianggap sebagai
suatu proyek, di mana setiap proyek memiliki batas waktu kapan harus mulai dan
selesai. Setiap order pekerjaan memerlukan satu atau lebih sumberdaya, akan
tetapi intensitas pelaksanaan aktivitas bisa bervariasi sepanjang waktu dan
pelaksanaan suatu aktivitas dapat disisipi aktivitas lain (preemptive).
Input dari tahap perencanaan produksi adalah daftar pesanan pelanggan
dalam bentuk master production schedule (MPS), BOM, routing (urutan proses,
waktu proses dan sumberdaya yang dibutuhkan) untuk setiap operasi, dan jadwal
18
detail ketersediaan sumberdaya. Output yang dihasilkan pada tahap ini adalah
rencana produksi mingguan, rencana kebutuhan kapasitas mingguan dan rencana
kebutuhan material tiap minggu. Pada tahap penjadwalan dilakukan penjabaran
rencana produksi menjadi jadwal detail yang siap dilaksanakan. Jadwal ini harus
mampu menentukan urutan operasi dan alokasi sumberdaya dengan
mempertimbangkan keterbatasan teknologi, kecepatan dan kapasitas.
Model Egri et al. (2004) secara lebih detil menjelaskan bagaimana setiap
tahapan dapat dijalankan dan pendekatan (metode) yang digunakan untuk setiap
aktivitas. Sayangnya model ini juga memulai tahapan sistem produksi dari daftar
pesanan yang sudah tersusun dalam bentuk MPS tanpa menjelaskan bagaimana
MPS tersebut bisa terbentuk. Hal ini membuat model sistem produksi MTO yang
dibuat tidak terlalu berbeda dari segi struktur, urutan aktivitas maupun aliran
informasinya. Ciri sistem MTO mungkin hanya bisa diidentifikasi dari horizon
waktu perencanaan dan penjadwalan yang lebih pendek dibandingkan sistem
MTS dan adanya proses penentuan routing (urutan proses) untuk setiap order
yang diterima.
McCarthy et al. (2003) mengemukakan suatu konsep model operasi untuk
industri dengan karakteristik MC (Gambar 4). Model ini menjelaskan bahwa
terdapat enam proses operasi yang mendasar untuk industri dengan karakteristik
MC, yaitu :
1. Penerimaan pesanan dan koordinasi
Ini meliputi kegiatan mengelola komunikasi dengan konsumen, menerima
dan menterjemahkan keinginan konsumen, menemukan solusi produk dan
membuat detail pesanan untuk konsumen.
2. Perancangan dan pengembangan produk
Kegiatan ini mencakup proses perancangan produk dan menyesuaikan dengan
standar internal maupun eksternal yang berlaku untuk produk tersebut.
3. Validasi produk dan rekayasa manufaktur
Yakni mengkonfirmasi kemampuan manufaktur untuk desain yang dibuat dan
menterjemahkan desain tersebut menjadi serangkaian proses dan aturan
manufaktur. Tahap ini mencakup pembuatan daftar bahan baku/BOM untuk
produk customized dan mengeluarkan urutan dan instruksi proses produksi
19
4. Manajemen Pemenuhan Pesanan
Mengelola pesanan dan rantai pasoknya, melakukan koordinasi proses,
menginformasikan kapan pesanan dapat diselesaikan dan mengontrol
aktivitas pemenuhan pesanan.
5. Realisasi pemenuhan / pelaksanaan pesanan
Melaksanakan aktivitas-aktivitas yang diperlukan untuk menyelesaikan
pesanan, termasuk aktivitas pemasok, proses manufaktur internal dan
aktivitas pengiriman.
6. Proses setelah pesanan selesai
Aktivitas yang dilakukan setelah pesanan dikirimkan, mencakup service dan
pemeliharaan, menerima klaim, memberikan petunjuk teknis dan sebagainya.
Penerimaan
Pesanan / koordinasi
Dengan konsumen
Perancangan /
pengembangan
produk
Post order
process
Manajemen
Pemenuhan /
pelaksanaan
pesanan
Validasi produk /
Rekayasa
manufaktur
Realisasi
pemenuhan /
pelaksanaan
pesanan
Konsumen
Bahan baku
Gambar 4 Model Operasional pada Sistem Produksi Mass Customization
(MacCharty et al. 2003).
Soman et al (2004) menyatakan bahwa issue operasional yang penting
bagi perusahaan MTO adalah perencanaan kapasitas, penerimaan atau penolakan
pesanan dan kemampuan untuk memenuhi batas waktu pengiriman pesanan (due-
date).
Menurut Stevenson et al. (2005) terdapat beberapa kriteria yang
dibutuhkan bagi sistem perencanaan dan pengendalian produksi pada industri
berbasis MTO, yaitu :
20
1. Adanya tahap evaluasi permintaan pelanggan untuk kepentingan penentuan
waktu penyerahan pesanan dan perencanaan kapasitas.
2. Adanya tahap masuknya suatu pesanan (job entry stages) dan tahap pelepasan
pesanan untuk diproduksi (job release stages) yang difokuskan terhadap
upaya pemenuhan batas waktu pengiriman pesanan.
3. Kemampuan untuk menerima dan memproduksi produksi yang tidak berulang
(untuk produk-produk yang sangat customized).
4. Kemampuan untuk melakukan proses perencanaan dan kontrol ketika urutan
proses di lantai produksi sangat bervariasi, seperti pada lantai produksi
dengan tipe general flow dan job shops.
5. Dapat diaplikasikan pada perusahaan skala kecil dan menengah.
McCarthy et al. (2003), Stevenson et al. (2005), dan Olvera (2009),
menyiratkan pentingnya memberikan perhatian khusus terhadap tahapan
penerimaan dan evaluasi suatu pesanan yang masuk pada suatu perusahaan MTO
dan MC, karena pada tahap inilah akan terjadi kesepakatan antara perusahaan
dengan konsumen yang menentukan tingkat produksi dan keberhasilan suatu
perusahaan selanjutnya.
2.6 Model Penerimaan Pesanan Pada Industri Berbasis MTO dan MC
Kingsman et al (1996) menguraikan empat tahapan yang dilalui oleh
perusahaan berbasis MTO pada saat menerima permintaan pesanan dan
pertanyaan dari konsumen, yaitu : 1) evaluasi awal untuk menentukan apakah
perusahaan mampu mengerjakan suatu pesanan, 2) mendefinisikan bagaimana
estimasi biaya akan dilakukan, 3) mempersiapkan estimasi biaya dan bagaimana
pesanan akan dikerjakan, dan 4) menetapkan harga serta waktu penyelesaian
pekerjaan (lead time) untuk ditawarkan kepada konsumen. Secara lengkap
keempat tahapan ini bisa dilihat pada Gambar 5.
21
1. Evaluasi awal
Apakah perusahaan akan
menerima tawaran
konsumen
2. Mendefinisikan bagaimana
mempersiapkan estimasi biaya
Mencek apakah
dapat dimasukkan
dalam rencana
diproduksi
3. Mempersiapkan
estimasi biaya
Merespon
konsumen
Produksi dan
pengiriman
Menerima pertanyaan dan permintaan
keterangan dari konsumen (customer enquiry)
Kemampuan dan
strategi perusahaan
Berhubungan
dengan produk
Berkaitan dengan
konsumen
Persaingan pasar /
industri sejenis
Variabel yang mempengaruhi
proses
Menentukan harga dan waktu
penyelesaian (lead time) untuk
ditawarkan ke konsumen
negosiasi
Informasi lebih
lanjut Mungkin
diperlukan
Gambar 5 Proses Penerimaan Pesanan dari Konsumen (Kingsman et al, 1996).
Lebih lanjut Xiong at al (2006) mengemukakan suatu Sistem Penunjang
Keputusan (Decision Support System/DSS) untuk merespon permintaan
konsumen pada tahap penerimaan pesanan (customer enquiry stage) dalam ruang
lingkup perusahaan berskala kecil dan menengah. Model yang diberi catatan oleh
Framinan dan Leisten (2007) ini difokuskan pada proses evaluasi kemampuan
perusahaan untuk memenuhi batas waktu pengiriman (delivery date/DD) yang
diinginkan konsumen. Jika suatu pesanan lolos dari evaluasi DD maka
selanjutnya dilakukan perhitungan waktu DD yang sebenarnya dengan
menggunakan suatu model heuristik dan model optimasi. Evaluasi kemampuan
memenuhi DD dilihat dari jumlah persediaan material yang masih masih ada
22
untuk memproduksi dan memenuhi pesanan dalam jangka waktu satu minggu
(available to promise).
Odouza dan Xiong (2009) memperbaiki model sebelumnya dengan
menambahkan klasifikasi pesanan dalam perumusan model evaluasi DD. Pada
model ini pesanan diklasifikasikan menjadi pesanan dengan DD yang fleksibel
dan tidak fleksibel, sehingga kemungkinan untuk menolak pesanan lebih kecil. Di
samping batasan DD yang dihitung menggunakan kriteria ATP, tiga kriteria
lainnya yang dipertimbangkan dalam menerima atau menolak pesanan adalah
kapasitas dan material yang tersedia, dan profit yang dihasilkan dari pesanan
tersebut.
Dua penelitian terakhir telah menggunakan kerangka pemikiran dan
diagram alir yang sesuai untuk mengevaluasi pesanan pada perusahaan dengan
karakteristik MTO, namun penggunaan variabel ATP sebagai dasar untuk
mengevaluasi DD tidak selalu sesuai untuk semua karakteristik perusahaan.
Model evaluasi ATP ini kurang sesuai untuk diterapkan pada industri kemasan
karton yang beroperasi berdasarkan MC. Hal ini karena variasi bahan baku utama
(lembaran karton) sangat banyak, kondisi harga kertas yang berfluktuasi dan sifat
bahan yang mudah rusak menyebabkan sebagian besar industri kemasan karton
tidak menyimpan stok bahan baku dalam jumlah besar. Penelitian ini juga belum
mengusulkan suatu model untuk mengestimasi biaya pesanan yang diterima.
Cakravastia dan Nakamura (2002) mengembangkan suatu model
penentuan harga dan negosiasi mengenai batas waktu penyerahan antara produsen
dengan beberapa pemasoknya dalam upaya untuk memenuhi suatu pesanan
tunggal dari pelanggan dalam suatu ligkungan industri yang bersifat MTO. Model
ini lebih menekankan kepada penentuan harga dan tanggal penyerahan antara
perusahaan dengan pemasoknya, dan bukan model negosiasi waktu penyerahan
dan harga antara perusahaan dengan pelanggan, walaupun model ini tetap
memiliki tujuan akhir untuk dapat memenuhi batas waktu penyerahan yang telah
ditetapkan pelanggan.
Model yang menekankan pada evaluasi pesanan yang datang dari
konsumen secara lebih lengkap dikemukakan oleh Ebadian et al. (2008). Tujuan
pembuatan model ini adalah untuk mengatur pesanan yang datang agar sistem
23
MTO hanya memproses pesanan yang layak dan menguntungkan bagi sistem.
Keputusan untuk menerima atau menolak pesanan ditentukan berdasarkan dua
kriteria, yaitu batas waktu penyerahan produk dan kendala kapasitas. Sistem
pemesanan ini terdiri dari beberapa tahapan. Pada dua tahap pertama, keputusan
penerimaan atau penolakan pesanan didasarkan pada batas waktu pengiriman
yang ditentukan pembeli. Batas waktu pengiriman ini bisa juga dinegosiasikan.
Pada tahap ketiga, harga optimal untuk pesanan yang diterima ditentukan dengan
menggunakan model mixed integer. Pada tahap berikutnya, setelah pembeli
menyetujui harga yang ditawarkan, dilakukan pemilihan supplier dan sub-
kontraktor yang sanggup menyediakan bahan baku atau menerima limpahan
pesanan dengan menggunakan model mixed integer yang lain.
2.7 Sistem Penunjang Keputusan Cerdas
Sistem Penunjang Keputusan Cerdas (Intelligent Decision Support
System/IDSS) adalah suatu sistem penunjang keputusan (SPK) yang telah
diintegrasikan dengan basis pengetahuan yang berasal dari pakar atau
diintegrasikan dengan teknik-teknik kecerdasan buatan (artificial intelligent).
Dengan adanya integrasi ini, maka suatu SPK menjadi meningkat kemampuannya
atau menjadi lebih cerdas (Turban, Aronson dan Liang, 2005).
Wren et al. (2006) menguraikan beberapa karakteristik dari sistem
penunjang keputusan cerdas (Intelligent Decision Making Support System/i-
DMSS) sebagai berikut : 1) mencakup beberapa tipe pengetahuan yang
merupakan bagian terpilih dari disiplin si pembuat keputusan, 2) memiliki
kemampuan untuk menangkap dan menyimpan pengetahuan deskriptif dan
pengetahuan lainnya, 3) mampu memproduksi dan menampilkan pengetahuan
tersebut dalam berbagai cara, 4) dapat memilih pengetahuan untuk ditampilkan
atau menghasilkan pengetahuan baru, dan 5) dapat berinteraksi langsung secara
cerdas dengan pengambil keputusan. i-DMSS merupakan pengembangan dari
SPK tradisional dengan menggabungkan teknik-teknik untuk mengaplikasikan
cara berpikir cerdas dan menggunakan kemampuan teknologi komputer modern
untuk membantu proses pengambilan keputusan.
24
Gambar 6 Arsitektur Sistem Penunjang Keputusan Cerdas (Forgionne et al,
2006).
Forgionne et al (2006) menggambarkan arsitektur dan komponen
penyusun i-DMSS yang dapat dilihat pada pada Gambar 6. Komponen input dari
i-DMSS dapat diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu basis data (database), basis
pengetahuan (knowledge base), dan basis model (model base).
2.7.1 Sistem Penunjang Keputusan
Sistem Penunjang Keputusan (SPK) adalah salah satu bangunan utama
dari sistem penunjang keputusan cerdas. Turban, Aronson dan Liang (2005)
menyatakan bahwa SPK adalah suatu pendekatan (metodologi) untuk mendukung
proses pengambilan keputusan. SPK menggunakan sistem informasi berbasis
Data Base
Data untuk pengambilan
Keputusan
Knowledge Base
Pengetahuan tentang
masalah
Model Base
Model Keputusan
Metode Pencarian Solusi
Mengorganisasikan
Parameter masalah
Strukturkan keputusan
untuk tiap masalah
Simulasikan setiap
kebijakan dan kejadian
Tentukan solusi
masalah terbaik
Laporan status
Parameter dan
keluaran
(outcome)
Solusi yang
direkomendasikan
Penjelasan mengenai
outcome
Teknologi
komputer
Pengambil
keputusan
Umpan balik
output
Umpan balik
input
Input Proses Output
25
komputer yang interaktif, fleksibel dan adaptatif untuk mencari solusi dari suatu
masalah manajemen tertentu (spesifik) yang tidak terstruktur.
Turban, Aronson dan Liang (2005) mendefinisikan SPK sebagai sistem
berbasis komputer yang terdiri dari interaksi tiga komponen, yaitu: sistem bahasa
(mekanisme untuk membantu komunikasi antara pengguna dan komponen lain
dalam SPK), sistem pengetahuan (tempat penyimpanan pengetahuan yang
dibutuhkan untuk pengambilan keputusan), dan sistem pemrosesan masalah
(penghubung antara dua komponen terdahulu yang memiliki kemampuan untuk
memanipulasi masalah untuk keperluan pengambilan keputusan).
Suryadi dan Ramdhani (2002) menguraikan sepuluh karakteristik dasar
SPK yang efektif, yaitu : 1) mendukung proses pengambilan keputusan dan
menitikberatkan pada management by perception, 2) adanya interface
manusia/mesin dimana manusia tetap mengontrol pengambilan keputusan, 3)
mendukung pengambilan keputusan untuk membahas masalah-masalah
terstruktur, semi terstruktur dan tidak terstruktur, 4) menggunakan model-model
matematis dan statistik yang sesuai, 5) memiliki kapabilitas dialog untuk m
emperoleh informasi sesuai dengan kebutuhan (model interaktif), 6) output
ditujukan untuk personil organisasi dalam semua tingkatan, 7) memiliki
subsistem-subsistem yang terintegrasi sedemikian rupa sehingga dapat berfungsi
sebagai kesatuan sistem, 8) membutuhkan struktur data komprehensif yang dapat
melayani kebutuhan informasi seluruh tingkatan manajemen, 9) mudah untuk
digunakan, dan 10) memiliki kemampuan untuk beradaptasi secara cepat.
Pengembangan suatu Sistem Pendukung Keputusan memerlukan
persyaratan awal, yaitu adanya pemahaman terhadap sistem yang akan
dikembangkan. Pemahaman terhadap sistem ini dapat dicapai melalui suatu
upaya yang sistematis untuk melakukan identifikasi dan analisa terhadap sistem
melalui praktek berpikir sistem, yang disebut dengan pendekatan sistem (sistem
approach).
Pendekatan sistem diperlukan karena semakin lama makin dirasakan
saling ketergantungan antara berbagai bagian dalam suatu organisasi atau
komunitas dalam mencapai tujuan sistem. Masalah-masalah yang dihadapi saat
ini tidak lagi sederhana dan dapat menggunakan peralatan dari satu disiplin saja,
26
tetapi memerlukan perangkat yang lebih komprehensif, yang dapat memahami
berbagai aspek dari suatu permasalahan dan dapat mengarahkan solusi suatu
masalah secara menyeluruh (Marimin, 2004).
Penyelesaian persoalan melalui pendekatan sistem dilakukan melalui lima
tahapan, yaitu: 1) analisa sistem, 2) rekayasa model, 3) rancang bangun
implementasi, 4) implementasi rancangan, dan 5) operasi sistem (Eriyatno, 2003
dan Marimin, 2005).
Selanjutnya Suryadi dan Ramdhani (2002) mengemukakan tiga tahapan
dalam merancang bangun suatu sistem penunjang keputusan, yaitu : 1) identifikasi
tujuan rancang bangun untuk menentukan arah dan sasaran yang hendak dicapai,
2) perancangan pendahuluan, guna merumuskan kerangka dan ruang lingkup
SPK, dan 3) perancangan sistem, yang diawali dengan analisis sistem guna
merumuskan spesifikasi SPK, dilanjutkan dengan perancangan konfigurasi SPK
beserta tiga komponen (subsistem) pendukungnya.
Lebih lanjut Suryadi dan Ramdhani (2002) menyatakan bahwa tiga
subsistem (komponen) utama pendukung dan yang menentukan kapabilitas teknik
SPK, yaitu: subsistem manajemen basis data, subsistem manajemen basis model
dan subsistem perangkat lunak penyelenggara dialog.
2.7.2 Kecerdasan Buatan (Artificial Intelligent)
Kecerdasan buatan (AI) merupakan salah satu bagian ilmu komputer yang
membuat agar mesin (komputer) dapat melakukan pekerjaan seperti dan sebaik
yang dilakukan oleh manusia (Kusumadewi, 2003; Turban et al. 2005).
Kecerdasan buatan adalah cabang dari ilmu komputer yang dihubungkan
dengan metode pengambilan keputusan yang bersifat simbolik dan non
algoritmik. Walaupun pemrosesan simbolik adalah inti dari bidang kecerdasan
buatan, tidaklah berarti bahwa kecerdasan buatan tidak menggunakan ilmu
matematik, tapi penekanan kecerdasan buatan adalah pada manipulasi simbol-
simbol.
Metoda non algoritmik yang digunakan pada AI lebih banyak bersifat
heuristik. Pendekatan heuristik terdiri dari pengetahuan intuitif atau aturan-aturan
yang dipelajari atau diperoleh dari pengalaman. Peran pendekatan heuristik ini
27
dalam HI berkaitan dengan defisinisi AI, yakni cabang dari ilmu komputer yang
berkaitan dengan cara mempresentasikan pengetahuan menggunakan simbol-
simbol yang digambarkan dalam bentuk aturan atau metode heuristik untuk
memproses informasi (Encyclopedia America)
Area (lingkup) utama dalam kecerdasan buatan di antaranya adalah
(Kusumadewi, 2003; Turban et al, 2005) : 1) sistem pakar (expert sytem), 2)
Pengolahan Bahasa Alami (Natural Language Processing), 3) Pengenalan Ucapan
(Speech Recognition), 4) Robotika dan Sistem Sensor, 5) Computer Vision, 6)
Game Playing, 7) penerjemahan bahasa (Language Translation), 8) jaringan
syaraf (neural computing network), 9) Logika Fuzzy, 10) Algoritma Genetika, dan
11) Agen Cerdas (Intelligent Agents).
AI memiliki beberapa kelebihan dibandingkan dengan kecerdasan manusia:
1) AI bersifat lebih permanen (komputer tidak akan melupakan pengetahuan yang
telah diperolehnya), 2) AI menawarkan kemudahan duplikasi dan diseminasi, 3)
AI lebih murah daripada kecerdasan manusia, 4) AI sebagai salah satu teknologi
komputer bersifat konsisten dibandingkan kecerdasan manusia, 5) AI dapat
didokumentasikan, 6) AI dapat melaksanakan tugas-tugas tertentu lebih cepat dari
manusia, dan 7) AI dapat melaksanakan tugas-tugas tertentu lebih cepat dari
manusia. Namun demikian AI juga memiliki kekurangan yakni tidak kreatif
seperti manusia yang dapat memikirkan dan menciptakan ilmu pengetahuan yang
baru.
Untuk dapat melakukan aplikasi kecerdasan buatan ada dua bagian utama
yang sangat dibutuhkan, yaitu:
1. Basis Pengetahuan (Knowledge Base), berisi fakta-fakta, teori, pemikiran
dan hubungan antara satu dengan lainnya.
2. Motor Inferensi (Inference Engine), yaitu kemampuan menarik kesimpulan
berdasarkan pengalaman.
2.7.3 Sistem Pakar (Expert System)
Sistem pakar adalah sistem informasi berbasis komputer yang
menggunakan pengetahuan dari para pakar untuk memperoleh keputusan tingkat
tinggi di dalam lingkup masalah yang sempit. Pakar adalah orang yang memiliki
28
pengetahuan, pertimbangan dan pengalaman serta metode-metode kusus dan
kemampuan untuk mengaplikasikan kemampuannya ini dalam memberikan
nasehat dan memecahkan suatu persoalan. Sistem pakar mencakup beberapa fitur
yaitu kepakaran (expertise), alasan-alasan simbolik ( symbolic reasoning),
pengetahuan mendalam (deep knowledge) dan pengetahuan sendiri (self
knowledge) (Turban et al, 2005)
Terdapat beberapa alasan mengapa sistem pakar diperlukan yaitu: 1)
seorang pakar di suatu perusahaan atau organisasi akan pensiun atau
meninggalkan perusahaan sehingga diperlukan suatu alat untuk menyimpan
pengetahuan dari pakar tersebut untuk kelangsungan suatu organisasi, 2)
pengetahuan tertentu perlu didokumentasikan dan diperbaiki di mana sistem pakar
adalah sesuatu alat yang sangat baik untuk mendokumentasikan pengetahuan
profesional supaya bisa diuji dan diperbaiki kembali, 3) pendidikan dan latihan
adalah sesuatu yang penting tetapi sulit dilakukan, dimana sistem pakar
merupakan perangkat yang bagus untuk membantu proses latihan/training dan
mendistribusikan pengetahuan baru kepada pekerja baru di dalam suatu
organisasi. 4) pakar seringkali langka dan mahal. Sistem pakar memungkinkan
pengetahuan ditransfer dengan lebih mudah dan biaya yang lebih rendah.
Beberapa keterbatasan sistem pakar adalah: 1) pengetahuan tidak selalu
tersedia, 2) kadang-kadang sulit untuk menyerap pengetahuan dari manusia, 3)
pendekatan yang digunakan oleh beberapa pakar kadang-kadang berbeda-beda
untuk situasi yang sama, 4) kadang-kadang sulit bahkan untuk pakar yang sangat
ahli untuk menyarikan pengetahuan yang berkaitan dengan situasi tertentu, 5)
sistem pakar bekerja dengan baik hanya untuk area pengetahuan terbatas, yang 6)
sebagian besar pakar tidak memiliki cara yang bebas untuk menguji apakah
kesimpulan mereka masuk akal, 7) kosakata atau jargon yang digunakan para
pakar untuk mengekspresikan pengetahuan seringkali terbatas dan tidak
dimengerti oleh orang lain, 8) untuk memindahkan pengetahuan dari para pakar
dibutuhkan knowledge engineer yang langka dan mahal sehingga membuat biaya
konstruksi sistem pakar menjadi sangat mahal, dan 9) tidak adanya kepercayaan
pengguna akhir (end users) untuk menggunakan sistem pakar tersebut (Turban et
al, 2005).
29
Marimin (2005) menguraikan tahapan-tahapan dalam pembentukan sistem
pakar adalah sebagai berikut : 1) identifikasi masalah, 2) mencari sumber
pengetahuan, 3) akuisisi pengetahuan, 4) representasi pengetahuan, 5)
pengembangan mesin inferensi, 6) implementasi, dan 7) pengujian.
Sistem pakar terdiri dari beberapa komponen-komponen yang
menyusunnya, yaitu : 1) Fasilitas akuisisi (penembahan) pengetahuan, 2) basis
pengetahuan (knowledge based system), 3) mesin inferensi (inference engine), 4)
faisilitas untuk penjelasan dan justifikasi, dan 5) penghubung antara pengguna dan
sistem pakar (user interface).
Sumber pengetahuan yang berasal dari para pakar perlu memenuhi
beberapa kriteria tertentu tentang yang dimaksud dengan ahli (pakar). Menurut
Marimin (2005), ahli bisa berupa praktisi atau ilmuwan. Praktisi adalah orang
yang bekerja dan berpengalaman dalam bidang tertentu, sedangkan ilmuwan
adalah orang yang mempelajari dan mendalamai suatu pengetahuan lewat jalur
formal (akademis).
Beberapa alat untuk representasi pengetahuan yang diperoleh dari para
pakar atau sumber lainnya seperti literatur atau bacaan adalah : 1) Ekspresi logika,
2) jaringan semantik, 3) kaidah produksi, 4) frame, 5) obyek-atribut nilai, 6)
script, 7) jaringan neural, 8) representasi fuzzy, 9) tabel keputusan, dan 10) pohon
keputusan (Marimin, 2005 ; Turban et al, 2005).
Pohon keputusan (decision tree) merupakan salah satu alat representasi
pengetahuan yang sering digunakan pada sistem pakar. Solusi pada pohon
keputusan dihasilkan dari serangkaian solusi yang mungkin melalui serangkaian
keputusan atau pertanyaan yang akan memangkas (mengurangi) area pencarian
solusi. Masalah yang sesuai menggunakan pohon keputusan adalah masalah yang
telah menyediakan jawaban untuk masalah tersebut dari satu set atau beberapa
alternatif jawaban yang mungkin (Giarratano dan Riley, 2005).
Pohon keputusan terdiri dari sejumlah simpul (nodes) dan cabang (branch)
yang menghubungkan simpul orang tua (parents) ke simpul anak (child) dari
bagian atas sampai bagian bawah dari pohon keputusan. Simpul paling atas
disebut juga sebagai akar (roots). Akar tidak memiliki parents, sedangkan setiap
simpul yang di bawahnya hanya memiliki satu parent. Simpul paling bawah yang
30
tidak memiliki anak disebut sebagai simpul daun (leaf). Simpul daun
merepresentasikan semua solusi (keputusan) yang diturunkan melalui pohon
keputusan. Secara umum pohon keputusan menggunakan beberapa kriteria untuk
memilih mana cabang yang akan dilalui sehingga nantinya hanya terpilih satu
cabang yang menghasilkan keputusan (Giarratano dan Riley, 2005).
Teknik penalaran untuk membangun suatu pohon keputusan dapat
diklasifikasikan menjadi dua, yaitu : 1) Penalaran maju (forward chaining) dan 2)
penalaran mundur (backward reasoning) (Kusumadewi, 2003 ; Marimin, 2005).
Pohon keputusan kemudian dapat dikonversi menjadi serangkaian aturan
(rules) yang direpresentasikan oleh jalur (path) yang berbeda-beda pada pohon
keputusan. Aturan yang dihasilkan dari pohon keputusan selanjutnya digunakan
sebagai basis pengetahuan yang diperlukan pada sistem pakar.
Attar (2005) menyebutkan bahwa representasi pengetahuan menggunakan
pohon keputusan memiliki beberapa kelebihan sebagai berkut : 1) bersifat kompak
dengan tampilan grafis yang mudah dipahami dan diimplementasikan, 2) proses
penalaran (inference) melalui pohon keputusan lebih cepat daripada inferensi
langung dari aturan-aturan karena tidak membutuhkan proses pencarian yang
rumit, dan 3) strategi penalaran yang kompleks jauh lebih mudah untuk
diimplementasikan dengan menggunakan pohon keputusan dibandingkan
menggunakan teknik lainnya.
2.8 Model Penjadwalan Flowshop
Penjadwalan adalah suatu rencana pengaturan urutan kerja serta
pengalokasian sumber, baik berupa waktu maupun fasilitas yang ada untuk
menyelesaikan sekumpulan tugas dalam jangka waktu tertentu. Penjadwalan bisa
dikatakan sebagai suatu fungsi pengambilan keputusan, yaitu suatu proses untuk
menentukan jadwal yang mengalokasikan aktifitas pada sumber daya (Baker
1974). Selanjuttnya Fogarty et al (1991) menyatakan penjadwalan adalah suatu
penentuan saat memulai suatu tugas atau order dan saat penyelesaian tugas-tugas
atau order tersebut, termasuk kapan saat tugas tersebut masuk dan keluar dari
setiap setasiun kerja atau departemen.
31
Definisi yang lain menyatakan bahwa penjadwalan pesanan (job) berkaitan
dengan bagaimana mengalokasikan job pada mesin-mesin yang tersedia dalam
urutan tertentu sehingga tujuan penjadwalan dapat tercapai dan kendala-kendala
yang ada dapat diatasi dengan memuaskan (Kusiak, 1990; Pinedo dan Chao,
1999; Yandra dan Tamura, 2007).
Menurut Bedworth (1987) beberapa tujuan dari aktifitas penjadwalan
adalah: 1) memanfaatkan kemampuan dari sumber yang ada semaksimal mungkin
dengan mengurangi waktu menganggur dari sumber sehingga dapat meningkatkan
produktivitas mesin, 2) mengurangi persediaan barang setengah jadi dalam proses,
3) mengurangi keterlambatan setiap pekerjaan, dan 4) membantu pengambilan
keputusan mengenai perencanaan kapasitas fabrik dan jenis kapasitas yang
dibutuhkan.
Berdasarkan pola aliran proses yang terdapat pada suatu lantai produksi,
masalah penjadwalan pesanan (job) dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu:
flow shop dan job shop. Pada proses flow shop, semua komponen atau unit
produk yang akan diproses mengalir pada arah yang sama dari satu mesin ke
mesin lainnya, sedangkan pada proses job shop, komponen-komponen atau unit
produk yang akan diproses bisa mengalir pada arah yang berbeda-beda dari satu
mesin ke mesin lainnya, dan juga bisa terjadi satu mesin dilewati lebih dari satu
kali oleh komponen yang sama (Kusiak, 1990).
M1 M2 M3 M4
P1
P2
P3
Gambar 7 Pola Aliran Proses Flow Shop (Kusiak, 1990).
Pada tipe flow shop yang sederhana (pure / simpe flow shop), semua
komponen (job) diproses pada semua mesin dengan urutan yang persis sama
untuk setiap job. Pola aliran flow shop mempunyai beberapa variasi yaitu:
32
1. Flexible flow-shop
Kondisi flexible flow shop disebut juga Skip flow shop (Morton dan Pentico,
1993) atau General flow shop. Pada flexible flow shop, tugas (job) yang
datang tidak harus diproses pada semua mesin, tetapi dapat melompati
beberapa mesin (Gambar 7)
2. Hybrid flow shop
Pada hybrid flow shop (compound flow shop), terjadi kombinasi antara proses
produksi flow shop dengan proses produksi dengan mesin paralel (multiple
processor). Setiap tahapan proses yang pada tipe pure flow-shop atau general
flow-shop terdiri dari satu mesin, sekarang terdiri dari beberapa mesin.
Stage 1
Stage 2
Stage 3
Gambar 8 Hybrid Flow shop (Adaptasi dari Morton & Pentico, 1990).
Pola aliran hybrid flow-shop memiliki beberapa variasi yang antara lain
ditentukan oleh (Jin et al, 2002; Kurz & Askin, 2003; Ruiz dan Maroto, 2006).
1. Jumlah tahapan (stage)
Penelitian tentang penjadwalan flowshop dengan beberapa tahapan (multiple
stage) sudah banyak dilakukan. Semakin banyak tahapan yang terdapat pada
suatu kasus penjadwalan, semakin kompleks model penjadwalan yang
dihasilkan.
2. Karakteristik mesin pada satu stage
Mesin-mesin paralel yang terdapat pada suatu stage bisa bersifat identik atau
tidak. Pada stage dengan mesin-mesin yang bersifat identik, suatu job bisa
diproses pada mesin mana saja yang terdapat pada stage tersebut, namun pada
33
stage dengan mesin tidak identik, suatu job mungkin hanya bisa dikerjakan
pada mesin tertentu yang terdapat pada stage tersebut
3. Fleksibilitas aliran
Pada penjadwalan hybrid flowshop dengan aliran yang fleksibel (flexible flow
lines), setiap job tidak harus melalui setiap tahapan proses.
Beberapa karakteristik proses dan kendala yang dihadapi pada lantai
produksi juga dapat meningkatkan kompleksitas model penjadwalan flow-shop,
seperti yang diuraikan oleh Pinedo dan Chao, 1999:
1. Pengurutan pekerjaan yang dipengaruhi oleh waktu setup (sequence
dependent setup times).
Kondisi yang terjadi jika antara dua pekerjaan yang berurutan pada suatu
mesin dibutuhkan waktu setup, dimana lamanya waktu setup ini tergantung
kepada urutan job yang diproses pada mesin tersebut (Kurs dan Askin, 2003).
2. Interupsi Pekerjaan (Preemptions)
Model penjadwalan yang mempertimbangkan adanya interupsi (masuknya
job baru) pada jadwal yang sedang dilaksanakan. Hal ini terjadi jika terdapat
job dengan prioritas yang tinggi dan harus diproses segera.
3. Adanya peruntukan mesin untuk suatu job (machine eligibility)
Kondisi dimana suatu job tidak dapat diproses pada mesin mana saja yang
tersedia pada suatu stage, melainkan hanya bisa diproses pada mesin tertentu.
Situasi ini terjadi jika mesin-mesin paralel yang terdapat pada satu stage tidak
sama (identik), misal terdapat perbedaan kecepatan atau spesifikasi lain.
Tantangan dalam penjadwalan flowshop adalah bagaimana menentukan
urutan pemrosesan job yang optimum sehingga ukuran performansi penjadwalan
seperti makespan, total flowtime atau ukuran performansi lainnya dapat
diminimasi (Yandra dan Tamura (2007).
Pinedo dan Chao (1999) menjelaskan bahwa beberapa tujuan yang
menjadi ukuran dari performansi penjadwalan adalah:
1. Keluaran (Throughput) dan Makespan
Meningkatkan atau memaksimasi keluaran (tingkat output) merupakan salah
satu tujuan yang penting bagi banyak perusahaan. Upaya untuk meminimasi
makespan berkaitan erat dengan tujuan untuk meningkatkan output.
34
Algoritma heuristik yang bertujuan untuk meminimasi makespan pada
lingkungan mesin dengan jumlah job terbatas akan cenderung untuk
memaksimasi tingkat output.
Makespan (Cmax) adalah waktu ketika job terakhir meninggalkan sistem
(selesai diproses), di mana:
Cmax = max (C1, ..., Cn) untuk Cj = 1, ........, n ...................... (1)
Cj = waktu job j selesai diproses (completion time dari job j)
2. Batas waktu yang ditetapkan (Due Date)
Upaya untuk menepati batas waktu yang ditetapkan (due date) pada suatu
model penjadwalan merupakan salah satu tujuan penting yang biasanya
dilihat dari keterlambatan (lateness) dari suatu job. Keterlambatan biasanya
diukur dari keterlambatan maksimum (maximum lateness), jumlah pesanan
(job) yang terlambat (number of tardy jobs) , rata-rata keterlambatan, dan
total keterlambatan yang berbobot (total weighted tardiness).
Keterlambatan dari suatu job j (Lj) didefinisikan sebagai:
Lj = Cj – dj .......................................................................... (2)
Dimana : dj= due date dari job j.
Salah satu tujuan penjadwalan adalah meminimasi keterlambatan maksimum
(Lmax) yang didefinisikan:
Lmax = max (L1, ... Ln) .............................................................. (3)
Keterlambatan (tardiness) dari suatu job j didefinisikan sebagai
Tj = max (Cj – dj, 0) ................................................................. . (4)
Fungsi tujuan adalah untuk meminimasi total tardiness sebagai berikut :
........................................................................................... (5)
Jika job-job yang dijadwal memiliki prioritas yang berbeda-beda, maka
digunakan fungsi tujuan meminimasi total weighted tardiness sebagai
berikut:
...................................................................................... (6)
Dimana wj = bobot dari job j
3. Biaya Setup
Upaya untuk memaksimasi throughput atau meminimasi makespan seringkali
sejalan dengan upaya untuk meminimasi waktu setup. Namun pada beberapa
35
kondisi, biaya setup tidak tergantung kepada waktu setup. Misalnya terdapat
beberapa mesin yang proses setupnya bisa menghasilkan banyak buangan
(waste) sehingga meningkatkan biaya setup. Pada situasi ini upaya
meminimasi biaya setup merupakan suatu tujuan yang berbeda dengan upaya
untuk meminimasi waktu setup
4. Persediaan Barang Setengah Jadi (Work-in-Process Inventory)
Ukuran performansi yang dapat mewakili Work-in Process (WIP) adalah rata-
rata waktu yang dibutuhkan untuk menghasilkan satu output (throughput
time). Waktu output (throghput time) adalah waktu yang diperlukan suatu job
berada di dalam sistem. Upaya untuk meminimasi waktu output akan
meminimasi tingkat WIP. Minimasi waktu output berkaitan erat dengan
minimasi jumlah waktu peyelesaian setiap job (completion time), sehingga
fungsi tujuannya menjadi :
..................................................................... (7)
Jika setiap job memiliki prioritas yang berbeda, maka tujuan untuk
meminimasi WIP diukur melalui minimasi jumlah weighted completion time
sebagai berikut :
..................................................................... (8)
2.9 Algoritma Genetika untuk Penjadwalan Flowshop
Algoritma Genetika (Genetic Algorithm/GA) merupakan metode pencarian
global stokastik yang meniru fenomena proses evolusi biologi yang berlangsung
secara alamiah dan teori-teori genetika (Michalewicz, 1996). Algoritma pencarian
dengan menggunakan GA berbasiskan mekanisme seleksi alamiah terhadap
populasi yang ada dan berusaha untuk melakukan perbaikan terhadap populasi
tersebut menggunakan prinsip bertahan untuk anggota populasi yang terbaik
(Goldberg, 1989).
GA telah cukup sukses digunakan untuk memecahkan masalah optimasi
dalam bidang pencarian rute, penjadwalan (scheduling), adaptive control, model
kognitif, masalah transportasi, traveling salesman problem, masalah optimal
control dan optimasi pencarian database.
36
Selanjutnya Goldberg (1989) menjelaskan bahwa GA berbeda dengan
teknik optimasi atau teknik pencarian lain dalam hal: 1) algoritma genetik bekerja
dengan serangkaian solusi yang telah diberi kode, bukan pada solusi itu sendiri, 2)
algoritma genetik melakukan pencarian solusi pada sekumpulan kromosom (pada
suatu populasi) sehingga didapatkan banyak solusi, bukan hanya pada satu solusi,
3) algoritma genetik menggunakan informasi mengenai hasil (fungsi fitness) dan
bukan menggunakan suatu fungsi turunan atau fungsi bantuan lainnya, dan 4)
algoritma genetik menggunakan aturan transisi/pertukaran yang probabilistik,
bukan deterministik.
Menurut Michalewicz (1996) dan Kusumadewi (2003) pemecahan
masalah dengan menggunakan GA harus memiliki 6 ( enam) komponen, yaitu:
1) Representasi genetik untuk solusi potensial pada masalah yang akan
dipecahkan. Representasi genetik ini digambarkan dalam bentuk populasi
dimana pencarian akan dilakukan, dan individu-individu dalam populasi
tersebut yang disebut sebagai kromosom. Representasi kromosom dalam GA
umumnya menggunakan single –level binary string (digit yang terdiri dari
angka 0 dan 1).
2) Cara untuk menghasilkan populasi awal (initial population) dari solusi
potensial.
3) Fungsi evaluasi yang berperan dalam melakukan peringkat terhadap solusi
yang dihasilkan. Fungsi evaluasi ini terdiri dari fungsi tujuan (objective
function) dan fungsi kesesuaian (fitness function).
4) Fungsi seleksi yang bertujuan untuk memilih anggota populasi yang akan
menjadi orang tua (parents) dari proses operasi genetika.
5) Operator genetik yang melakukan operasi genetika.
Pencarian solusi dilakukan dengan memanipulasi kromosom orang tua
(parents) dengan menggunakan operator pindah silang (crossover) dan
mutasi.
6) Nilai beberapa parameter yang digunakan oleh GA (seperti ukuran populasi,
probabilitas penerapan operator genetik, dan lain-lain)
Selanjutnya Rajkumar dan Shahabudeen (2009) menjelaskan bahwa secara
umum algoritma genetika terdiri dari beberapa langkah, yaitu:
37
Langkah 1 : Menetapkan atau membangkitkan populasi awal yang terdiri
dari sejumlah kromosom.
Langkah 2 : Mengevaluasi nilai fitness setiap kromosom
Langkah 3 : Menghasilkan populasi baru dan kromosom baru dengan
menjalankan operator genetika seperti crossover dan mutasi
terhadap kromosom yang ada sekarang.
Langkah 4 : Mengevaluasi nilai fitness kromosom-kromosom yang terdapat
pada populasi yang baru dan terus memperbaiki nilai fitness
populasi tersebut melalui operator genetika.
Langkah 5 : Jika kondisi penghentian tercapai (hasil sudah memuaskan),
berhenti dan tetapkan kromosom terbaik, jika tidak, kembali ke
langkah 3.
Representasi Kromosom
Proses untuk menggambarkan/merepresentasikan gen-gen yang terdapat
pada suatu kromosom disebut juga dengan representasi kromosom/pengkodean
(encoding). Tiga skema yang paling umum digunakan dalam representasi
kromosom, yaitu (Sivanandam dan Deepa, 2008; Suyanto, 2005) :
String bit (Binary encoding)
Setiap sel atau gen hanya bernilai 0 atau 1. Contoh : 10011, 01101
Permutasi (real number encoding)
Setiap gen merupakan bilangan string atau bilangan real/integer yang
merepresentasikan nomor dari suatu urutan. Contoh : 1 5 3 2 6 4 7 9 8
Discrete decimal encoding
Setiap gen bisa bernilai salah satu bilangan bulat dalam interval [0,9]
Seleksi Kromosom
Seleksi kromosom adalah metode untuk memilih kromosom-kromosom
yang akan dipindah-silangkan dari populasi yang ada sekarang. Proses seleksi
kromosom secara acak memilih kromosom berdasarkan nilai fitness dari fungsi
evaluasinya. Semakin besar nilai fitness suatu kromosom semakin besar
38
kesempatan kromosom tersebut untuk dipilih (Sivanandam dan Deepa, 2008;
Rajkumar dan Shahabudeen, 2009).
Ada beberapa operator yang dapat digunakan untuk memilih kromosom.
Dua di antaranya adalah metode roda rolet (roulette wheel selection) dan metode
seleksi turnamen (tournament selection). Pada metode roda rolet kromosom orang
tua (parents) yang akan dipindah-silangkan dipilih berdasarkan nilai fitnessnya.
Nilai fitness dari masing-masing kromosom dibagi dengan total nilai fitness
seluruh kromosom yang ada pada populasi. Setiap kromosom dianggap
merupakan potongan/bagian dari roda rolet dengan ukuran potongan yang
proporsional dengan nilai fitnessnya. Suatu nilai target antara angka nol dan
angka satu ditetapkan secara acak. Kemudian roda rolet diputar sebanyak N kali,
dimana N adalah jumlah individual atau kromosom dan populasi. Dari setiap
putaran, kromosom dengan nilai fitness yang berada di bawah nilai target dipilih
untuk menjadi parents bagi generasi berikutnya.
Berbeda dengan seleksi roda rolet, seleksi turnamen memilih kromosom
dengan cara mengadakan kompetisi/turnamen di antara individu-individu yang
menjadi anggota populasi. Individu terbaik dari hasil turnamen adalah yang
memiliki nilai fitness terbesar, yang disebut sebagai pemenang (winner).
Pemenang diletakkan pada kolam kompetisi (mating pool). Turnamen diulang
hingga mating pool untuk menghasilkan generasi baru penuh. Mating pool akan
berisi pemenang-pemenang turnamen dengan nilai fitness tertinggi (Sivanandam
dan Deepa, 2008).
Pindah Silang (Cross Over)
Terdapat beberapa operator pindah silang yang digunakan pada masalah
penjadwalan hybrid flowshop. Di antaranya adalah Two Point Crossover,
Partially Mapped Crossover (PMX), dan Similar Job Order Crossover (SJOX).
Operator pindah silang yang digunakan pada penelitian ini adalah Partially
Mapped Crossover (PMX) dengan langkah-langkah sebagai berikut:
1. Tentukan dua titik secara random untuk membagi parents. Area yang terletak
antara dua titik pada kromosom orang tua (parents) disebut area pemetaan
(mapping)
39
Gambar 9 Pindah Silang dengan Metode PMX
2. Pertukarkan area mapping dari dua parent untuk diturunkan kepada anak
(child). Area mapping dari parent pertama dicopy untuk diturunkan pada
child ke 2, sedangkan area mapping dari parent ke 2 dicopy untuk diturunkan
pada child pertama.
3. Definisikan pemetaan pada area mapping antara dua parent. Pada contoh
kasus ini pemetaan gennya adalah sebagai berikut :
4. Isi offspring dengan gen yang dicopy secara langsung dari parent secara
berurutan dari kiri ke kanan. Jika gen tersebut sudah terdapat pada area
mapping yang dicopykan sebelumnya, lakukan pengisian gen dengan
melakukan pemetaan.
Mutasi
Mutasi merupakan suatu cara untuk menghasilkan kromosom anak
(offspring) bukan dengan cara pindah silang, melainkan dengan cara
memodifikasi fitur/gen-gen orang tua (parents). Mutasi mencegah upaya
pencarian dengan algoritma genetika menghasilkan nilai lokal optimum. Mutasi
juga berperan dalam mengembalikan gen-gen bagus yang hilang akibat proses
genetik, namun sebaliknya juga bisa merusak informasi genetik yang sudah ada
(Sivanandam dan Deepa, 2008; Rajkumar dan Shahabudeen, 2009).
Selanjutnya Rajkumar dan Shahabudeen (2009) menjelaskan tiga di antara
beberapa operator mutasi yang sering digunakan, sebagai berikut :
40
1. Pertukaran tiga gen (job) secara acak
Tiga gen dipilih secara acak, dan dipertukarkan lokasinya di antara ketiga
gen secara acak.
2. Pertukaran dua gen (job) secara acak
Dua gen dipilih secara acak, kemudian lokasinya dipertukarkan
3. Pertukaran Shift (Shift Mutation)
Suatu gen yang berada pada posisi yang dipilih secara acak diambil dan
kemudian dimasukkan (di insert) pada posisi lain secara acak juga.
Gen dan Cheng (1997) menyatakan terdapat tiga kelebihan utama
algoritma genetika ketika menerapkan algoritma genetika untuk mencari optimasi
suatu masalah yaitu: 1) algoritma genetika tidak menggunakan banyak persamaan
matematik untuk mengoptimalkan solusi suatu masalah, 2) ergodicity dari
operator genetika membuat algoritma genetika sangat efektif untuk melakukan
pencarian global sehingga solusi yang dihasilkan bukan solusi yang bersifat lokal,
dan 3) algoritma genetika memberikan fleksibilitas yang lebih besar untuk
41
digabungkan dengan metode heuristik lain guna menghasilkan tahapan
implementasi yang lebih efisien untuk suatu masalah tertentu.
Penelitian penjadwalan untuk lantai produksi flowshop dengan
menggunakan algoritma genetika telah banyak dilakukan. Namun tidak banyak
yang khusus meneliti mengenai penjadwalan pada lantai produksi dengan tipe
hybrid flowshop atau flexible flowshop dengan menggunakan algoritma genetika.
Jin et al (2002) meneliti kasus penjadwalan hybrid flowshop yang terdiri
dari tiga stages dimana setiap stages terdiri dari mesin-mesin yang bersifat paralel.
Penelitian ini menggunakan kriteria makespan, dan membuat banyak eksperimen
yang merubah-rubah jumlah mesin pada setiap stages dengan tujuan memperoleh
penjadwalan dapat meminimasi bottleneck disamping meminimasi makespan.
Penjadwalan yang diselesaikan dengan algoritma genetika ini membuktikan
bahwa algoritma genetika dapat menyelesaian kasus yang cukup kompleks seperti
pada penelitian ini. Lantai produksi yang diteliti berbentuk hybrid flowshop,
namun tidak ada fleksibilitas dalam melalui urutan produksi.
Penelitian penjadwalan hybrid flowshop lainnya dilakukan oleh Ruiz dan
Maroto (2006) yang menyatakan bahwa kasus penjadwalan flowshop yang terdiri
dari dua stages sudah merupakan kasus yang sulit untuk diselesaikan secara
manual. Penelitian Ruiz dan Maroto difokuskan pada penjadwalan pekerjaan pada
lantai produksi hybrid flowshop dengan multiple processor dan waktu set up yang
tergantung pada urutan job (sequence dependents set up time/SDST). Penelitian
yang dilakukan pada pabrik keramik ini diselesaikan menggunakan algoritma
genetika dengan kriteria meminimasi makespan. Kompleksitas kasus ini semakin
bertambah dengan karakteristik mesin-mesin yang tidak paralel pada setiap
stages, dan adanya kendala peruntukan mesin untuk setiap job (machine
eligibility constraint). Penelitian ini menunjukkan bahwa algoritma genetika dapat
memecahkan masalah penjadwalan yang kompleks ini dengan baik. Di sisi lain
kekurangan dari riset ini adalah adanya keharusan setiap job untuk melewati
setiap stages, sehingga penjadwalan ini bukan termasuk kasus fleksible flowshop.
42
2.10 Sistem Perhitungan Biaya dan Harga Pesanan
Harga produk merupakan salah satu informasi penting yang diperlukan
oleh produsen maupun konsumen dalam proses penawaran dan pemasaran suatu
produk. Tanpa adanya sistem kalkulasi harga yang tepat, baik pihak produsen
ataupun konsumen bisa menderita kerugian dalam membuat suatu penjanjian jual
beli produk. Sebelum menetapkan harga jual suatu produk, perlu dihitung terlebih
dahulu biaya-biaya yang dikeluarkan untuk memproduksi atau mengadakan
produk tersebut. Dalam menghitung biaya suatu produk, perlu diketahui
komponen-komponen atau kelompok biaya apa saja yang perlu diperhitungkan.
Tunggal (2011) menyatakan bahwa klasifikasi biaya yang paling umum
digunakan didasarkan atas hubungan biaya terhadap : 1) produk (satu lot, batch,
atau unit barang atau jasa), 2) volume produksi, 3) departemen, proses, pusat
biaya, atau sub-divisi manufaktur lain, 4) periode akuntansi, dan 5) keputusan,
tindakan atau evaluasi yang diusulkan.
Menurut Horngren, Datar dan Foster (2006), klasifikasi biaya yang biasa
digunakan dalam menggambarkan biaya manufaktur adalah:
1. Biaya bahan langsung (direct material cost)
Biaya perolehan semua bahan yang pada akhirnya akan menjadi bagian dari
objek biaya. Biaya perolehan bahan langsung mencakup beban angkut, pajak
penjualan serta bea masuk.
2. Biaya tenaga kerja manufaktur langsung (direct manufacturing labor cost)
Mencakup kompensasi atas seluruh tenaga kerja manufaktur yang dapat
ditelusuri ke objek biaya dengan cara yang ekonomis.
3. Biaya manufaktur tidak langsung (indirect manufacturing cost)
Seluruh biaya manufaktur yang terkait dengan objek biaya, namun tidak dapat
ditelusuri ke objek biaya dengan cara yang ekonomis. Biaya ini juga disebut
sebagai biaya overhead manufaktur (manufacturing overhead cost) atau biaya
overhead pabrik (factory overhead cost).
Selanjutnya Tunggal (2011) menyatakan bahwa dalam usaha manufaktur,
total biaya operasi terdiri atas biaya manufaktur dan biaya komersial dengan
rumusan perhitungan biaya sebagai berikut:
43
.................... (9)
......................... (10)
...... (11)
............... (12)
Terdapat beberapa cara atau pendekatan untuk menghitung/mengkalkulasi
biaya (costing systems) di dalam disiplin akuntansi biaya. Tunggal (2011)
mengklasifikasikan pendekatan untuk perhitungan biaya berdasarkan dua sudut
pandang, yaitu pengklasifikasian biaya dilihat dari sudut pandang proses produksi,
dan dari sudut pandang penyerapan (absorbtion) biaya. Dari sudut pandang atau
penekanan terhadap proses produksi, sistem kalkulasi biaya dapat dikelompokkan
menjadi dua kelompok, yaitu : Job-order Costing dan Process Costing. Dari
sudut pandang atau penekanan terhadap penyerapan biaya, sistem kalkulasi biaya
dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu : absorbtion (full) costing, variable
(direct) costing, dan activity-based costing (ABC).
Dari berbagai sistem atau metode kalkulasi biaya di atas, perhitungan
biaya berdasarkan aktivitas (ABC) merupakan pendekatan yang relatif baru.
Menurut Mulyadi (1993), sistem ABC dirancang atas dasar landasan pikiran
bahwa produk memerlukan aktivitas dan aktivitas mengkonsumsi sumber daya.
Dengan perdekatan ABC biaya perlu dirinci lebih lanjut menurut perilaku biaya
dalam hubungannya dengan berbagai tipe aktivitas. Lebih lanjut Mulyadi
menguraikan bahwa biaya pada sistem ABC diklasifikasikan menjadi 4 macam,
yaitu : biaya pada level unit (unit-level activity cost), biaya yang berkaitan dengan
batch (batch-level activity cost), biaya yang berkaitan dengan produk (product
sustaining activity cost) dan biaya yang berkaitan dengan fasilitas (facility
sustaining activity cost).
Tunggal (2011) menguraikan tahapan-tahapan yang dilakukan untuk
melakukan estimasi biaya berdasarkan sistem ABC sebagai berikut :
1. Mendefinisikan proses, yaitu menelusuri flow dari input dan output melalui
setiap langkah proses untuk setiap produk.
44
2. Menganalisis aktivitas dalam proses, dengan mengidentifikasi aktivitas
dimana produk mengalir dan memisahkan aktivitas dari departemen asal
mereka.
3. Membuat cost pools, yaitu dengan menyamakan cost pools dengan aktivitas
sehingga setiap aktivitas mempunyai cost pool yang dapat diidentifikasi
sendiri untuk pengalokasian.
4. Mengidentifikasi pemicu biaya (cost drivers)
Menganalisis setiap aktivitas yang merupakan penyebab utama dari
variabilitas. Pemicu biaya adalah faktor apapun yang menyebabkan timbulnya
biaya dalam aktivitas yang dipilih. Beberapa pemicu biaya mudah ditelusuri,
seperti jam kerja mesin yang dapat dipergunakan untuk menelusuri bahan
baku langsung dari aktivitas mesin sampai produk. Sistem ABC tidak
mengembangkan penelusuran bahan baku langsung dan tenaga kerja langsung
pada produk, tapi mengembangkan ketepatan pengalokasian biaya tidak
langsung (indirect costs), yang dapat ditelusuri secara langsung pada produk,
tetapi tidak dapat ditelusuri pada aktivitas. Pemicu biaya memberikan
hubungan timbal balik (causal relationship) antara total costs dari aktivitas
dengan produk yang melewati aktivitas.
Kirche, Kadipasaoglu dan Humawala (2005) membuktikan kelebihan
penerapan sistem kalkulasi biaya ABC di dalam industri manufaktur yang
berbasiskan MTO. Dalam laporan penelitiannya, Kirche, Kadipasoglu dan
Humawala menyatakan bahwa dalam industri manufaktur dimana proporsi biaya
manufaktur relatif kecil terhadap total biaya keseluruhan maka penerapan sistem
kalkulasi biaya ABC akan lebih menguntungkan dibandingkan sistem kalkulasi
biaya lainnya. Pada penelitian ini biaya yang berkaitan dengan pesanan (order)
digunakan sebagai pengganti biaya aktivitas pada level produk yang terdapat pada
teori ABC.