Bab II Tinjauan Pustaka

10
2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sedimen dasar laut Sedimen yang merupakan partikel lepas (unconsolidated) yang terhampar di daratan, di pesisir dan di laut itu berasal dari batuan atau material yang mengalami proses pelapukan, peluluhan pengangkutan dan pengendapan. Sedimen itu berasal dari batuan beku, batuan metamorf, batuan sedimen atau dari material biogenik, yang diangkut oleh air, angin dan gaya gravitasi. Batuan sedimen adalah sedimen yang telah mengalami proses pengerasan atau kompak (consolidated) yang meliputi proses pemampatan (compaction), penyemenan (cementation) dan penghabluran atau pengkristalan (recrystal- lization). Batuan sedimen dicirikan dengan adanya perlapisan, butiran sedimen yang mengalami proses pengangkutan, struktur sedimen dan hadirnya mineral atau fosil. Proses-proses sedimen, seperti pelapukan, pengangkutan dan pengendapan, pada akhirnya menghasilkan sedimen yang berbeda. Ada sedimen yang berbutir kasar, seperti kerikil dan pasir, yang berbutir halus, seperti lanau atau lempung. Sedimen berbutir kasar berupa kerikil-pasir kuarsa akan diendapkan di sekitar pantai atau pesisir, sedangkan sedimen yang lebih halus seperti lanau dan lempung diendapkan di laut. Kerikil-pasir kuarsa, lanau dan lempung hasil proses sedimentasi itu akan membentuk endapan sedimen. Endapan sedimen itu dapat hanya berupa kerikil-pasir, atau campuran sehingga sulit untuk dipisahkan. Endapan sedimen tersebut dikelompokkan sebagai endapan klastik, seperti endapan pasir, lanau, lempung dan endapan campuran pasir dan lanau (Dewi dan Darlan, 2008). Sedimen dicirikan atau dikarakterisasi menurut sifat-sifat alami yang dimilikinya, yaitu misalnya: ukuran butir (grain size), densitas, kecepatan jatuh, komposisi, porositas, bentuk dan sebagainya. Berdasarkan ukuran butirnya, sedimen diklasifikasikan menurut: lumpur (mud), pasir (sand) dan kerikil (gravel) (Poerbondono dan Djunasjah, 2005). Ukuran-ukuran partikel sedimen merupakan salah satu cara yang mudah untuk menetukan klasifikasi sedimen. Klasifikasi berdasarkan ukuran partikelnya

Transcript of Bab II Tinjauan Pustaka

Page 1: Bab II Tinjauan Pustaka

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Sedimen dasar laut

Sedimen yang merupakan partikel lepas (unconsolidated) yang terhampar

di daratan, di pesisir dan di laut itu berasal dari batuan atau material yang

mengalami proses pelapukan, peluluhan pengangkutan dan pengendapan.

Sedimen itu berasal dari batuan beku, batuan metamorf, batuan sedimen atau dari

material biogenik, yang diangkut oleh air, angin dan gaya gravitasi.

Batuan sedimen adalah sedimen yang telah mengalami proses pengerasan

atau kompak (consolidated) yang meliputi proses pemampatan (compaction),

penyemenan (cementation) dan penghabluran atau pengkristalan (recrystal-

lization). Batuan sedimen dicirikan dengan adanya perlapisan, butiran sedimen

yang mengalami proses pengangkutan, struktur sedimen dan hadirnya mineral

atau fosil. Proses-proses sedimen, seperti pelapukan, pengangkutan dan

pengendapan, pada akhirnya menghasilkan sedimen yang berbeda. Ada sedimen

yang berbutir kasar, seperti kerikil dan pasir, yang berbutir halus, seperti lanau

atau lempung. Sedimen berbutir kasar berupa kerikil-pasir kuarsa akan

diendapkan di sekitar pantai atau pesisir, sedangkan sedimen yang lebih halus

seperti lanau dan lempung diendapkan di laut. Kerikil-pasir kuarsa, lanau dan

lempung hasil proses sedimentasi itu akan membentuk endapan sedimen.

Endapan sedimen itu dapat hanya berupa kerikil-pasir, atau campuran sehingga

sulit untuk dipisahkan. Endapan sedimen tersebut dikelompokkan sebagai

endapan klastik, seperti endapan pasir, lanau, lempung dan endapan campuran

pasir dan lanau (Dewi dan Darlan, 2008).

Sedimen dicirikan atau dikarakterisasi menurut sifat-sifat alami yang

dimilikinya, yaitu misalnya: ukuran butir (grain size), densitas, kecepatan jatuh,

komposisi, porositas, bentuk dan sebagainya. Berdasarkan ukuran butirnya,

sedimen diklasifikasikan menurut: lumpur (mud), pasir (sand) dan kerikil (gravel)

(Poerbondono dan Djunasjah, 2005).

Ukuran-ukuran partikel sedimen merupakan salah satu cara yang mudah

untuk menetukan klasifikasi sedimen. Klasifikasi berdasarkan ukuran partikelnya

Page 2: Bab II Tinjauan Pustaka

menurut Wentworth (1922) in Dale dan William (1989) dapat dilihat pada Tabel

1.

Tabel 1. Klasifikasi sedimen berdasarkan ukuran

Jenis Partikel Diameter Partikel (mm) Boulder > 256

Cobble 64 – 256

Pebble 4 – 64

Granule 2 – 4

Sand 0,062 – 2 (62 – 2,000 µm)

Silt 0,004 – 0,062 (4 – 62 µm)

Clay < 0,004 (< 4 µm) Sumber : Dale dan William (1989)

2.2. Metode hidroakustik

Akustik merupakan ilmu yang mempelajari tentang gelombang suara dan

perambatannya dalam suatu medium. Prinsip dari pengoperasian alat akustik

adalah dengan gelombang suara yang ditransmisikan ke kolom perairan dalam

bentuk pulsa yang nantinya akan mengenai target kemudian dilakukan analisa

terhadap pantulan yang diberikan oleh target.

Prinsip dari pengoperasian metode hidroakustik (Gambar 2) adalah

dimulai dari timer yang berfungsi sebagai penanda pulsa listrik untuk

mengaktifkan pemancaran pulsa yang akan dipancarkan oleh transmitter melalui

transducer. Transducer berfungsi mengubah energi listrik menjadi energi suara

ketika suara akan dipancarkan ke medium. Gelombang akustik yang merambat di

kolom perairan akan mengenai target seperti ikan atau dasar perairan dimana

gelombang akustik ini akan dipantulkan kembali dalam bentuk echo dan akan

diterima oleh transducer dan mengubahnya menjadi energi listrik dan diteruskan

ke receiver amplifier yang berfungsi untuk menguatkan sinyal listrik sebelum

diteruskan ke unit peraga untuk ditampilkan dalam bentuk echogram (MacLennan

dan Simmonds, 2005).

Page 3: Bab II Tinjauan Pustaka

Gambar 2. Prinsip hidroakustik

2.3. Split beam echosounder

Split beam

memperbaiki kelemahan

dan dual beam. Perbedaan

konstruksi transducer

dibagi dalam empat kuadran.

beam yang merupakan penggabungan dari keempat kuadran dalam pemancaran

secara simultan. Selanjutnya, sinyal yang memancar kembali dari target diterima

oleh masing-masing kuadran secara terpisah,

kemudian digabungkan lagi untu

split beam. Target tunggal diisolasi dengan menggunakan

sedangkan posisi sudut target dihitung dari kedua set

manual Simrad (1993), pada prinsipnya

kuadran yaitu Fore (bagian depan),

dan Starboard (sisi kanan kapal)

. Prinsip hidroakustik (MacLennan dan Simmonds, 2005)

chosounder

merupakan metode baru yang dikembangkan untuk

memperbaiki kelemahan-kelemahan dari metode sebelumnya seperti

Perbedaan split beam dengan metode sebelumnya terdapat pada

transducer yang digunakan, dimana pada echosounder

dalam empat kuadran. Pemancaran gelombang suara dilakukan dengan

yang merupakan penggabungan dari keempat kuadran dalam pemancaran

secara simultan. Selanjutnya, sinyal yang memancar kembali dari target diterima

masing kuadran secara terpisah, output dari masing-

kemudian digabungkan lagi untuk membentuk suatu full beam

Target tunggal diisolasi dengan menggunakan output

sedangkan posisi sudut target dihitung dari kedua set split beam.

Simrad (1993), pada prinsipnya tranducer split beam terdiri dari empat

(bagian depan), Aft (bagian belakang), Port

(sisi kanan kapal) (Gambar 3).

Simmonds, 2005)

merupakan metode baru yang dikembangkan untuk

kelemahan dari metode sebelumnya seperti single beam

dengan metode sebelumnya terdapat pada

der ini transducer

Pemancaran gelombang suara dilakukan dengan full

yang merupakan penggabungan dari keempat kuadran dalam pemancaran

secara simultan. Selanjutnya, sinyal yang memancar kembali dari target diterima

-masing kuadran

dengan dua set

output dari full beam

. Menurut buku

terdiri dari empat

(sisi kiri kapal)

Page 4: Bab II Tinjauan Pustaka

Gambar 3. Skema transducer split beam (Simrad, 1993)

Split beam echosounder memiliki fungsi Time Varied Gain (TVG) di

dalam sistem perolehan data akustik. TVG ini berfungsi secara otomatis untuk

mengeleminir pengaruh atenuasi yang disebabkan baik oleh geometrical

spreading dan absorpsi suara ketika merambat ke dalam air.

Split beam SIMRAD EY 60 scientific echosounder system merupakan

instrumen hidroakustik yang paling baru dan merupakan generasi keenam yang

dibuat oleh Simrad. SIMRAD EY 60 disebut sebagai alat hidroakustik pertama

yang serba bisa, yang mampu menyediakan sounder tiga frekuensi, target strength

analyzer dan echo integrator lanjutan. Sinyal echo diproses secara on-line dan

hasilnya ditampilkan dengan echogram.

SIMRAD EY 60 disebut sebagai scientific echosounder karena konsep

baru yang digunakan pada receiver memungkinkan alat ini mencapai rentang

dinamis sampai dengan 160 dB. Sounder dapat beroperasi pada tiga frekuensi

sebesar 12, 38 dan 120 kHz. Keunikan lain dari alat ini adalah kemampuannya

untuk mengamati posisi horizontal dari ikan yang berada pada beam, hal ini

memungkinkan peneliti untuk mempelajari tingkah laku ikan.

2.4. Backscattering dasar perairan

Metode hidroakustik mampu melakukan pengukuran terhadap besar

kecilnya pantulan dasar perairan dari berbagai tipe partikel. Secara ringkas,

gelombang akustik yang terjadi pada permukaan antara air laut dan dasar laut

yang mencakup pantulan dan pembauran pada daerah tersebut dan transmisi di

Page 5: Bab II Tinjauan Pustaka

medium kedua. Proses ini secara umum ditentukan oleh beda impedansi akustik

(z = ρc) antara kedua media (Siwabessy, 2001).

Pada saat gelombang hidroakustik mengenai permukaan dasar perairan,

sebagian energi akan menembus dasar perairan dan sebagian kembali ke

transducer. Pada frekuensi rendah, pantulan dasar akustik ditentukan oleh

sedimen dasar perairan yang berbeda-beda. Dasar perairan yang sangat keras

memiliki pantulan dasar yang lebih kuat dari dasar perairan yang lunak. Dasar

perairan yang keras memiliki pantulan yang lebih besar dari dasar perairan yang

halus dan seterusnya (Siwabessy, 2001).

Dasar perairan memiliki karakteristik memantulkan dan menghamburkan

kembali gelombang suara seperti halnya pada permukaan perairan laut. Namun

efek pantulan dan backscattering yang dihasilkan lebih kompleks karena sifat

dasar laut yang tersusun atas beragam unsur mulai dari lapisan bebatuan yang

keras hingga lempung yang halus dan tersusun atas lapisan-lapisan yang memiliki

komposisi yang berbeda-beda (Urick, 1983).

Beberapa kendala yang mempengaruhi sinyal pantul menjadi berbeda dari

pulsa akustik yang dihasilkan adalah sebagai berikut (Siwabessy, 2001).

1. Ketidaksesuaian impedansi akustik dari air laut – dasar laut menyebabkan

pembauran permukaan dari pulsa utama;

2. Parameter akustik dari instrumen;

3. Penetrasi sinyal akustik pada dasar laut menyebabkan besarnya pembauran

pulsa utama;

4. Arah pemantulan pada interface air laut – dasar laut yang diakibatkan oleh

kekasaran dasar laut;

5. Time delay dari hasil oblique karena spherical spreading terhadap

perubahan kedalaman;

6. Respon dari scattering yang berasal dari second acoustic bottom pada

permukaan air, gelembung pada kolom air dan kapal;

7. Kemiringan dasar laut;

8. Penyerapan akustik air laut; dan

9. Noise.

Page 6: Bab II Tinjauan Pustaka

Kloser et al. (2001b) dan Schlagintweit (1993) telah melakukan observasi

klasifikasi dasar laut berdasarkan frekuensi akustik. Untuk dasar perairan yang

memiliki ciri yang sama, indeks kekasaran (roughness) telah diamati dengan dua

frekuensi berbeda yang mereka gunakan. Schlagintweit (1993) menemukan

bahwa perbedaan muncul dari data frekuensi 40 dan 208 kHz yang disebabkan

perbedaan penetrasi dasar perairan dari frekuensi ini pada berbagai macam tipe

dasar perairan (Gambar 4).

Gambar 4. Echo dasar perairan (Hamouda and Abdel-Salam, 2010)

Besarnya tingkat penetrasi dan pantulan (refleksi) dasar perairan juga

ditentukan oleh jenis sedimen itu sendiri (Krastel et al. 2006) dimana dasar

perairan atau sedimen yang memiliki sifat lebih keras akan memberikan pantulan

dengan nilai amplitudo yang lebih besar (Hamilton, 2001). Nilai backscattering

strength dipengaruhi oleh impedansi akustik sebagai faktor utama, selain itu juga

dipengaruhi oleh kekasaran (roughness) permukaan sedimen dan heterogenitas

volume sedimen (Fonsesca dan Mayer, 2007).

Gelombang akustik yang dihamburkan secara acak karena ketidakteraturan

dari dasar perairan mencakup kekasaran dari permukaan sedimen dasar perairan,

variasi ruang dalam sifat fisis sedimen dan masukan oleh kulit karang atau

gelembung. Proses backscattering ini dapat dilihat pada Gambar 5. Pada

frekuensi tinggi, semua dasar perairan memiliki banyak ketidakteraturan pada

skala gelombang akustik (Jackson dan Richardson, 2006).

Page 7: Bab II Tinjauan Pustaka

Gambar 5. Sketsa backscattering akustik dasar perairan yang disebabkan kekasaran dari permukaan dan heterogenitas sedimen

(Jackson dan Richardson, 2006)

Adapun hubungan pantulan dasar perairan terhadap tipe dasar perairan

yang berbeda (batu, kerikil, pasir dan lumpur) ditunjukkan pada Gambar 6.

Gambar 6. Hubungan sudut datang dan pantulan dasar pada berbagai tipe dasar perairan (Siwabessy, 2001)

Incident wave

Reflected wave

Bottom wave

Page 8: Bab II Tinjauan Pustaka

2.5. Pendekatan metode hidroakustik terhadap dasar perairan

Informasi tentang jenis lapisan dasar perairan dan vegetasi bawah air

disandikan dalam sinyal echo. Sinyal tersebut dapat disimpan dan diperoleh

secara bersamaan dengan data GPS. Sinyal yang disandikan dan informasi

tentang dasar perairan dapat diproyeksikan ke dalam bentuk grafik digital.

Untuk proses verifikasi hasil, sampling fisik dasar perairan harus ada dan

pengamatan dilakukan oleh penyelam atau kamera bawah air dan data yang

diperoleh harus dicatat sebagai data akustik. Setelah diverifikasi, hasil disimpan

sehingga jenis dasar perairan dapat diketahui dan dapat dibandingkan dengan data

dari sinyal echo (Burczynski, 2002).

Parameter sinyal echo selain tergantung pada jenis dasar perairan

(khususnya kekasaran (roughness) dan kekerasan (hardness) juga dipengaruhi

oleh parameter dari alat (frekuensi seperti beamwidth transducer dan lain-lain).

Oleh karena itu, hasil verifikasi akan sah hanya untuk sistem akustik yang

digunakan untuk verifikasi (Burczynski, 2002).

Suatu perkiraan bahwa bagian dasar perairan keras akan menghasilkan

echo yang tajam dengan amplitudo yang tinggi sementara bagian dasar perairan

lunak akan menghasilkan echo yang panjang dengan amplitudo yang lebih rendah.

Fenomena ini dapat diamati pada osiloskop yang ada pada echogram di

echosounder selama survei (Gambar 7).

Gambar 7. Contoh jejak dasar perairan kasar dan lunak pada perekaman hitam putih (Burczynski, 2002)

Page 9: Bab II Tinjauan Pustaka

Gambar 8 memperlihatkan contoh echo dari dasar perairan yang keras dan

lunak. Nilai amplitudo dari echo dikuadratkan, melalui pengintegrasian echo dan

kemudian kurva kumulatif dari echo dasar perairan. Perbedaan yang nyata akan

terlihat dari bentuk yang berbeda antara energi kumulatif dari sinyal dasar

perairan yang keras dan lunak. Dasar perairan yang keras akan menghasilkan

kurva dengan peningkatan yang tajam sementara bagian dasar perairan yang lunak

akan menghasilkan kurva yang meningkat dengan kemiringan yang relatif rendah.

Echo yang berasal dari dasar perairan yang ditampilkan dalam bentuk energi

kumulatif dapat disimpan dalam database. Kemudian untuk jenis yang tidak

diketahui dapat diimplementasikan sebagai “curve fitness algorithm” dan

mengenali jenis dasar perairan sesuai dengan bentuk kurva energi kumulatif.

Gambar 8. Bentuk kurva dasar perairan dari dasar perairan yang keras dan lunak; (a) Amplitudo sinyal echo dan (b) Kurva energi kumulatif (Burczynski, 2002)

Amplitudo dan bentuk sinyal akustik yang dipantulkan dari dasar laut

ditentukan oleh kekasaran dasar laut, perbedaan densitas antara air dan dasar laut,

dan reverberasi di dalam substrat. Klasifikasi dasar laut memerlukan sistem

akuisisi data akustik dan suatu algoritma yang menganalisis data, menentukan

jenis dasar laut dan menghubungkannya dengan hasil klasifikasi akustik terhadap

sifat fisik sedimen laut (Tsemahman et al. 1997).

Penggunaan sistem klasifikasi dasar laut telah terintegrasi dengan

kombinasi perangkat keras dan perangkat lunak. Pengolahan data biasanya

tergantung pada ekstraksi fitur karakteristik dari echo dasar laut (Gambar 9).

Page 10: Bab II Tinjauan Pustaka

Klasifikasi memasukkan semacam teknik penyaringan untuk kelompok echo

dengan fitur yang serupa.

Gambar 9. Echo yang menunjukkan jejak dari pulsa yang dikirim dan dipantulkan dari dasar laut (Collins dan McConnaughey, 1998)

Durasi echo mempengaruhi berbagai macam fitur yang selain tergantung

pada bentuk echo, juga tergantung pada jenis sedimen dan kedalaman. Nilai

amplitudo backscatter tergantung pada jenis sedimen, grazing angle dan jarak.

Ketergantungan pada grazing angle dan jarak harus dikurangi untuk klasifikasi

dasar perairan (Preston et al. 2004).