BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Pustaka 1. Medikamen ...
BAB II Tinjauan Pustaka
-
Upload
abdoell-manaf -
Category
Documents
-
view
115 -
download
6
description
Transcript of BAB II Tinjauan Pustaka
4
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Klasifikasi Foraminifera
Foraminifera merupakan hewan akuatik yang termasuk ke dalam Filum
Protozoa, Kelas Sarcodina, subkelas Rhizophoda dan Ordo Foraminiferida.
Foraminifera diklasifikasi menurut Yassini dan Jones (1995), sebagai berikut:
Kingdom : Animalia
Phylum : Protozoa
Subphylum: Sarcomastigophora
Superclass: Sarcodina
Class: Rhizopoda
Subclass: Granulorecticulosa
Ordo: Foraminiferida
2.2. Morfologi Foraminifera
Bentuk penampakan luar foraminifera menurut Boltovskoy dan Wright
(1976), antara lain sebagai berikut (Gambar 1):
1. Dinding, yaitu lapisan terluar dari foraminifera yang berguna melindungi
bagian dalam tubuhnya. Dinding foraminifera terbentuk dari silica keras
yang disekresikan dari tubuhnya.
2. Kamar, merupakan bagian utama foraminifera yang didalamnya terdapat
organel-organel yang mengatur sistem metabolisme sel, diantaranya inti
sel, vakuola kontraktil, mitokondria dan vakuola makanan.
3. Protoculum, merupakan kamar utama pada cangkang foraminifera
didalamnya terdapat nukleus mengatur aktivitas sel.
4
5
4. Septa, dinding tipis yang membagi kamar menjadi beberapa bagian yang
terpisah.
5. Suture, bagian dari bidang cangkang yang memisahkan kamar-kamar yang
terbentuk.
6. Aperture, merupakan lubang jalan tempat keluar masuknya zat kedalam
atau dari tubuhnya berfungsi sebagai mulut dan merupakan tempat
mensekresikan kalsium karbonat (CaCO3) untuk menyemen tubuhnya
pembentukan dalam cangkang.
Gambar 1. Bagian dan struktur tubuh Foraminifera (Suhaidi, 2008)
Organisme ini memiliki pseudopodia seperti jala yang disebut
reticulopodia (Gambar 2) yang merupakan penjuluran protoplasma sel yang
berfungsi sebagai alat penangkap mangsa, bergerak atau berenang, menempel dan
mempertahankan kedudukannya dalam badan air. Bentuk cangkangnya sangat
bervariasi, mulai dari bentuk yang sederhana, bulat, lonjong, panjang sampai
berduri-duri.
6
Gambar 2. Morfologireticulopodia Foraminifera
2.3. Bioekologi Foraminifera
Foraminifera merupakan organisme yang eukariotik uniseluler
heterotropik dan sangat tergantung oleh fitoplankton dan alga sehingga termasuk
ke dalam Filum Protozoa. Berdasarkan daur hidupnya foraminifera termasuk ke
dalam kelompok Holoplankton (zooplankton sejati) atau organisme plankton di
seluruh siklus hidupnya. Foraminifera merupakan 2,5 % dari semua hewan
Kambrium sampai resen yang diketahui (Boltovskoy dan Wright, 1976).
Foraminifera hidup di laut tersebar diberbagai karakteristik dan bentuk perairan
geografis perairan seperti perairan laut dangkal, perairan laut dalam, perairan
estuari, perairan pesisir laut, perairan subur, perairan tercemar, perairan hangat
dan perairan dingin (kutub). Foraminifera planktonik hidup pada air laut dengan
salinitas normal, tidak ditemukan pada air tawar atau pada lingkungan air
hypersaline yaitu lingkungan air dengan salinitas sangat tinggi (Boltovskoy dan
Wright, 1976). Hidup pada zona yang cukup mendapat sinar matahari photic dan
7
sedikit pada zona yang tidak mendapat sinar matahari Batial. Foraminifera
planktonik memiliki penyebaran yang luas membuat Foraminifera planktonik
sangat baik untuk menentukan umur sedimen.
Foraminifera dibedakan menjadi dua kelompok utama, yaitu foraminifera
planktonik dan foraminifera benthik. Foraminifera planktonik merupakan
organisme yang hidupnya melayang-layang dalam air laut dari zona permukaan
sampai kedalaman 1000 m, berukuran antara 50-100 mikron, dengan ciri-ciri
utama mempunyai bentuk test bulat berkomposisi gamping hyaline, susunan
kamarnya pada umumnya “trochospiral”(Gustiantini, 2001). Ukuran cangkang
juga ditemukan antara 5 µm sampai ukuran 20 cm.
Terdapat sekitar 30-50 spesiesforaminifera planktonik dan masuk ke
dalam kelompok dari dua famili yaitu Globigerinidae (bentuk spinose) dan
Globorotalidae (bentuk nonspinose). Sebagai contoh, pada sample sedimen di
Laut Timor saat ekspedisi VITAL 2005, ditemukan kumpulan foraminifera
planktonik sangat melimpah dalam jumlah lebih dari 80% (Okvariani, 2002). Di
laut dalam seperti Laut Banda, foraminifera planktonik mendominasi sedimen
dasar laut dan kelimpahannya dapat mencapai 90 % dibandingkan dengan
foraminifera benthik di kedalaman lebih dari 1000 meter (Van Marle et al.,1987).
Foraminifera bentik merupakan organisme yang hidupnya terbatas pada
dasar laut (bentos). Ciri-ciri utamanya antara lain susunan kamar planispiral,
bentuk cangkang yang lebih pipih (Streamline), memanjang, komposisi test
aglutineous dan arenaceous. Golongan ini hidup di dasar laut mulai dari tepi
sampai kedalaman lebih dari 3000 m. Kondisi optimum terjadi pada kedalaman
8
150-300m, dimana ada ribuan bahkan sepuluh ribu spesimen per meter persegi
(Boltovskoy dan Wright, 1976).
Aktivitas kehidupan dan sebaran foraminifera bentik dipengaruhi oleh
faktor abiotik dan biotik dari lingkungan tempat hidupnya, seperti salinitas, suhu,
substrat, kedalaman, nutrisi, kandungan organik dalam sedimen, kekeruhan,
gelombang dan arus, serta faktor-faktor ekologi lainnya. Kemampuan beradaptasi
sangat mempengaruhi kehidupan foraminifera benthik untuk dapat berproduksi
dan bertahan di habitatnya, mulai dari perairan dangkal sampai laut dalam
(Dewi dan Darlan, 2008).
Cangkang foraminifera sangat beranekaragam memiliki bentuk rumit dan
kompleks karena pengaruh habitatnya. Keunikan foraminifera seperti bentuk, ciri
struktur cangkang merupakan kunci dalam mengindentifikasi jenis dan spesies
foraminifera (Dewi dan Darlan, 2008). Spesies foraminifera yang berhasil
diketemukan dan diberi penamaan mencapai sekitar 275.000 spesies dan banyak
jenis foraminifera yang masih belum diidentifikasi (Loeblich dan Tapan, 1994).
Cangkang foraminifera berbentuk partikel biogenis banyak ditemukan di
antara partikel non-biogenisseperti mineral, fragmen batuan dan lain-lain.
Kumpulan partikel dari spesies tertentu dapat membentuk hamparan pantai
berpasir putih. Sebagai contoh, Amphistegina spp. merupakan anggota dari
foraminifera yang di pantai-pantai di Hawaii sejak 1500 tahun yang lalu
(Dewi dan Darlan, 2008). Di Indonesia, foraminifera Shlumbergerella
floresianaditemukan di pantai sekitar Kesuma Sari (Barbin, 1987 in Renema,
2008) dan menyebar di sekitar Pulau Bali sampai Pulau Lombok
(Adisaputra, 1998 in Dewi dan Darlan, 2008). Di pesisir Selatan Pulau Jawa di
9
dominasi oleh kumpulan Sphaerogypsina globules yang memberikan warna putih
kecoklatan di Pantai sekitar Prigi, Trenggalek, Jawa Timur.
Di perairan laut dangkal terutama pada ekosistem terumbu karang
foraminifera benthik merupakan salah satu kontributor penting dalam
pembentukkan hamparan terumbu karang setelah alga gampingan (Boersma,
1978). Antara forminifera benthik dan terumbu karang terjadi simbiosis
mutualistis. Foraminifera merupakan organisme yang sangat melimpah di
lingkungan termbu karang, untuk memproduksi material biogenik sebagai bahan
pembentuk kerangka karang (Molengraaff, 1928 dan Wells, 1957, in Tomascik et
al., 1997). Foraminifera merekat pada rumput laut, alga dan fragmen koral di
Pulau Pari, Teluk Jakarta dan penciri utama lingkungan terumbu didominasi oleh
Calcarina (Rositasari, 1993). Di paparan Spermonde, Sulawesi Selatan,
forminifera membentuk 40-80% sedimen dasar laut (Renema, 2008).
Selain terumbu karang, foraminifera juga mendiami lingkungan payau,
yang umumnya berhutan mangrove, sedimennya berbutir halus, banyak
mengandung sisa-sisa tanaman salinitas rendah dan jumlah spesiesnya tidak
bervariasi. Trochamina inflate, Miliammina fusca dan Jadammina polystoma
merupakan spesies yang umum ditemukan di sekitar hutan mangrove (Dewi dan
Darlan, 2008).
Lingkungan laguna juga sesuai bagi kehidupan foraminifera tertentu
karena adanya pengaruh daratan dan lautan dalam perairan itu. Karakteristik
organismenya dengan keanekaragaman yang rendah, dicirikan dengan spesies dari
genera Rotalia, Ammonia, Elphidium, Ammobaculites, Reophax Textularia
10
Haplophragmoides dan lain-lain. Jumlah individunya juga rendah dan tidak
ditemukan foraminifera planktonik (Dewi dan Darlan, 2008)
Dibandingkan dengan foraminifera planktonik, foraminifera bentik sangat
sensitif terhadap berbagai perubahan lingkungan seperti temperatur, salinitas,
cahaya, kedalaman, dan kandungan oksigen. Hal ini disebabkan organisme-
organisme benthik ini hidup dengan menempelkan diri pada lapisan permukaan
sedimen hingga kedalaman beberapa centimeter (5-10 cm), batuan, tumbuh-
tumbuhan laut dan karang yang berada di dasar perairan serta berasosiasi dengan
terumbu karang sehingga merupakan indikator lingkungan terumbu karang yang
sangat potensial (Boltovskoy dan Wright, 1976). Alasan lain adalah karena
struktur tubuhnya terdiri dari satu sel, menyebabkan organisme ini lebih cepat
memberikan respon terhadap berbagai perubahan lingkungan, yang dapat berupa
rendahnya spesimen dan terjadinya perubahan morfologi foraminifera itu sendiri
(Rositasari, 1996).
2.4. Foraminifera Sebagai Bioindikator
Cangkang foraminifera yang keras dan sulit terurai menjadikan
foraminifera dijadikan pedoman oleh Geologi sebagai penciri lingkungan
pengendapan dan penentuan umur batuan (Biostratigrafi) dan dalam pencarian
sumberdaya minyak, gas alam atau mineral (Natsir, 1996). Fenomena-fenomena
khusus yang menyebabkan foraminifera memiliki potensi yang besar sebagai
indikator menurut Dewi dan Darlan (2008), yaitu: foraminifera memiliki siklus
hidup pendek, sehingga memberi respon yang cepat terhadap perubahan
lingkungan atau perubahan akibat aktifitas manusia. Terdapatnya kumpulan
11
foraminifera di estuarin mengindikasikan perubahan karena limbah yang masuk
ke dalam lingkungan tersebut.
Banyak jenis foraminifera oportunistik mendapat keuntungan langsung
atau tidak langsung dari jenis polutan tertentu. Keuntungan langsung adalah
terdapatnya tambahan nutrisi bagi jenis tersebut seperti senyawa organik, nutrien,
bakteri, mineral dan sebagainya. Keuntungan tidak langsung adalah dengan
berkurangnya kompetisi dan predasi (Dewi dan Darlan, 2008).
Keanekaragaman jenis di daerah buangan berkurang, namun pada jarak
tertentu akan tercapai keseimbangan yang mengakibatkan tingginya populasi jenis
toleran. Deformasi cangkang terdapat secara alamiah, namun lebih banyak
ditemukan di perairan yang terpolusi. Sebaran jenis hidup di estuariseharusnya
diamati mulai dari sebelum terjadinya pencemaran, namun hal ini tidak
memungkinkan karena hampir seluruh estuari saat ini telah mengalami
pencemaran. Cara lain adalah dengan mengamati sample hasil spesimen dan
membandingkannya. Walaupun telah banyak dilakukan berbagai penelitian yang
berkaitan dengan foraminifera sebagai indikator pencemaran, masih banyak hal
yang belum terungkap dengan baik. Sebelumnya Rositasari (1993) telah
mengungkapkan keunggulan foraminifera sebagai bioindikator yang sangat efektif
dan ekonomis dibandingkan biota lain, yaitu:
1. Ditemukan pada hampir semua lingkungan pesisir dalam jumlah jenis
yang cukup banyak. Dengan demikian untuk mendapatkan data yang
signifikan hanya diperlukan sejumlah kecil sample;
2. Cangkang kosong dari foraminifera dapat bertahan dalam waktu yang
lama didalam sedimen, sehingga memudahkan penganalisaan;
12
3. Siklus reproduksi relatif pendek, sebagian besar hanya mencapai beberapa
bulan dan sebagian lain mencapai 1 tahun. Hal tersebut memungkinkan
dilakukannya pengamatan pada berbagai bentuk respon organisme ini
terhadap lingkungan hidupnya, yang dapat berupa variasi fenotip
(morfologi) yang dapat terlihat dalam waktu relatif singkat. Perubahan
morfologi inilah yang banyak digunakan sebagai indikator lingkungan
tempat hidupnya;
4. Publikasikan tentang foraminifera dan lingkungan hidupnya telah banyak
dibahas dalam beberapa dekade ini sehingga memudahkan dalam
mendapatkan sumber acuan.
Keberadaanforaminifera akan dapat memberikan gambaran kondisi
lingkungan hidupnya yang berbeda. Pada lingkungan perairan dengan tingkat
sedimentasi tinggi, distribusi foraminifera akan menunjukkan keanekaragaman
jenis yang tinggi dengan tingkat populasi spesimen hidup yang rendah (Rositasari,
2009).
Penurunan kualitas lingkungan yang terjadi pada lingkungan muara sungai
menyebabkan hanya jenis tertentu yang dapat mempertahankan diri dan dapat
berkembang di lingkungan ini. Rositasari (2002) menunjukkan bahwa masukan
air laut kebeberapa Sungai Ciawi, muara sungai Bekasi, Sungai Dadap, dan
sungai Cilincing, memiliki kesamaan beberapa jenis yang mencirikan lingkungan
muara sungai, yaitu Ammonia becarii, berbagai jenis Elphidium sp. serta
beberapa jenis foraminifera bentik penciri perairan payau seperti Trochammina,
Cyclammina, dan Rheopax.
13
Gambar 3. Spesies-spesies foraminifera yang terdapat di perairan Indonesia
(Dewi dan Darlan, 2008)
Sejak beberapa dekade terakhir yang lalu mulai dipelajari mengenai
pengaruh pencemaran lingkungan terhadap foraminifera bentonik oleh
(Gustiantini,2001) dan disimpulkan bahwa:
1. Spesies foraminifera sensitive terhadap polusi
2. Spesies foraminifera tertentu muncul dan justru dominan pada area
terkontaminasi;
3. Spesies tertentu membangun cangkang yang tidak normal pada area
polusi.
Beberapa cangkang foraiminifera menunjukkan gejala abnormalitas akibat
tekanan lingkungan. Rositasari (2009) menyimpulkan bahwa tingginya tingkat
kematian dan kemunculan cangkang abnormal erat kaitannya dengan pola arus ,
sebaran sedimen dan suspensi serta kandungan logam berat di perairan.
14
Abnormalitas pada morfologi cangkang foraminifera telah diamati oleh Alve
(1991) dengan dugaan bahwa gejala tersebut akibat polusi logam berat.
2.5. Keterkaitan Karakteristik Oseanografi terhadapForaminifera
Karakteristik oseanografi ditentukan oleh berbagai parameter oseanografi,
diantaranya suhu, salinitas, total padatan tersuspensi (TSS), kedalaman,
fitoplankton, bahan-bahan terlarut, bahan anorganik, bahan organik, penetrasi
cahaya, kandungan oksigen, gelombang, arus, turbiditas, substrat, nutrisi. Suhu
memiliki peranan dalam pembentukan ukuran cangkang dan bentuk morfologi
cangkang (Boltovskoy dan Wright, 1976). Foraminifera dapat ditemukan pada
kisaran suhu (10- 30
0C) (Boersma dan Haq, 1984 in Okvariani, 2002), namun
pada suhu hangat (tropis) foraminifera dapat tumbuh optimal pada kisaran suhu
antara 210 sampai 26
0C (Boltovskoy dan Wright, 1976). Pada suhu terendah
foraminifera mempunyai ukuran cangkang yang maksimal dan komposisi yang
padat, sedangkan pada suhu air yang tinggi foraminifera kurang dapat bertahan
pada kondisi tersebut (Okvariani, 2002).
Salinitas mempengaruhi pertumbuhan foraminifera, siklus reproduksi dan
bertahan untuk hidup. Foraminifera planktonik sangat sensitif terhadap perubahan
salinitas. Foraminifera ini hidup pada salinitas normal dengan kisaran salinitas
(30-40‰). Foraminifera bentonik dominan pada kisaran salinitas (18-30‰)
(Boltovskoy dan Wright, 1976). Namun sebagian besar spesimen foraminifera
menunjukkan pertumbuhan rata-rata tertinggi dan kelimpahan populasi besar pada
perairan salinitas 34‰ (Boltovskoy dan Wright, 1976).
Kelimpahan foraminifera cenderung mengalami penurunan seiring dengan
bertambahnya kedalaman (Adithya, 2008). Pada laut dangkal variasi jenis
15
foraminifera serta jumlah foraminifera semakin besar. Pada laut dalam yang
memiliki tekanan yang besar menyebabkan foraminifera berdinding aglutinin saja
yang dapat bertahan walaupun dengan jumlah yang sangat sedikit. Pada laut
dangkal kandungan oksigen masih tinggi dan nutrien phosphate dan nitrat
menyebabkan jumlah foraminifera benthonik pada area ini sangat tinggi.
Bahan anorganik berupa, sisa bahan industri, buangan limbah pabrik,
sampah plastik, sisa-sisa bahan kimia, bahan bakar fosil dan kemasan produk serta
detergen dapat mengganggu keberadaan, pertumbuhan, perkembangan dan
diversitas foraminifera. Bahan-bahan organik berupa detergen menyebabkan
perairan yang terkontaminasi bahan tersebut menjadi asam dan mengganggu
metabolisme foraminifera dan mekanisme pembentukan cangkang foraminifera
serta mengganggu proses sekresi kalsium karbonat (CaCO3) (Rositasari, 1993)
Penetrasi cahaya matahari berperan penting dalam fotosintesis fitoplankton
dan algae yang hidup bersimbiosis dengan foraminifera (Okvariani, 2002) dan
sebagai sumber makanan foraminifera (Boltovskoy dan Wright, 1976). Apabila
organisme-organisme tersebut tidak dapat berfotosintesis kembali mengakibatkan
jumlah foraminifera berkurang seiring menurunnya jumlah fitoplankton dan Algae
tersebut.
Konsentrasi oksigen memiliki pengaruh terhadap struktur morfologi
cangkang. Pada umumnya foraminifera yang beradaptasi dengan oksigen minim
berukuran kecil, tidak berornamentasi, tipis, hidupnya menempel, dan berdinding
cangkang gampingan. Kandungan oksigen yang minim dan pH yang asam
mengakibatkan berkurangnya kemampuan foraminifera untuk mensekresi kalsium
karbonat (Rositasari, 1993).
16
Gelombang dan arus berperan penting dalam difusi oksigen dari udara ke
dalam perairan laut serta berperan dalam distribusi nutrien dan sumber makanan
bagi foraminifera. Arus juga berperan dalam distribusi organisme laut dan siklus
reproduksinya. Arus membantu dalam penyebaran fase gamet dan embrio
foraminifera planktonik, dimana foraminifera tersebut sangat tergantung oleh arus
(Boltovskoy dan Wright, 1976; Pringgoprawiro et al., 1994).
Foraminifera memanfaatkan material substrat untuk mensekresikan bahan
penyusun cangkang melalui mekanisme kimiawi (Boltovskoy dan Wright, 1976).
Substrat lumpur dan lanau merupakan tempat yang ideal bagi foraminifera.
Foraminifera yang hidup pada substrat lumpur–lanau pada umumnya memiliki
cangkang yang tipis, rapuh berbentuk bulat telur, struktur kamar trochospira.
Foraminifera jenis Elphidium sp banyak ditemukan pada area tersebut. Pada
subtrat berpasir dan berkerikil kandungan bahan organiknya rendah cangkang
foraminifera tebal, ornamentasi unik, lonjong dan cembung-cembung seperti
Quinqueloculina sp (Rositasari, 1996).
Turbiditas dapat mengganggu proses fotosintesis antara algae dan
fitoplankton sebagai sumber makanan bagi foraminifera. Hal ini mengakibatkan
ketersediaan makanan menjadi terbatas sehingga terjadi persaingan antara
organisme termasuk predasi sehingga populasi foraminifera menjadi berkurang.
Turbiditas mempengaruhi proporsi jumlah foraminifera bentonik berdinding
gampingan “calcareous”, sedangkan foraminifera pembentuk dinding cangkang
pasira (agglutinated) semakin meningkat karena tidak memerlukan bikarbonat dari
hasil fotosintesis fitoplankton (Boltovskoy dan Wright, 1976).
17
2.6. Kondisi Umum Lokasi Penelitian
Pulau Kelapa merupakan salah satu dari ratusan pulau-pulau pasir dan
terumbu karang yang terdapat di Kepulauan Seribu dan merupakan salah satu
pulau dari sebelas pulau yang berpenghuni. Secara geografis Kepulauan Seribu
terletak pada 106020’00” BT hingga 106
057’00” BT dan 5
010’00” LS hingga
5057’00” LS (Gambar 4), Pulau Kelapa dan Pulau Harapan termasuk kedalam tata
wilayah Kabupaten Kepulauan Seribu bagian dari Provinsi DKI Jakarta,
Kelurahan Pulau Kelapa termasuk dalam Kepulauan Seribu Utara bersama-sama
dengan Kelurahan Pulau Panggang dan Pulau Harapan. Berdasarkan Peta
Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu tahun
2010-2030, jumlah pulau yang tersebar di Kepulauan Seribu mencapai 117 pulau
yang terbagi dalam 2 kecamatan dan 6 kelurahan.
Secara geologis Pulau Kelapa merupakan paparan benua yaitu bagian dari
gugusan pulau-pulau tropis yang membentuk Kepulauan Seribu dengan kondisi
perairan yang hangat sirkulasi air relatif lancar kondisi seperti ini sangat mungkin
ekosistem terumbu karang dan biota-biota laut berasosiasi dengannya mencapai
pertumbuhan maksimal (Dahuri, 1996 in Dewi dan Darlan, 2008). Lokasi
pengambilan contoh sedimen terletak di bagian utara Teluk Jakarta sekitar 30 mil
laut dari pesisir Teluk Jakarta memiliki air yang cukup jernih dan pasir laut yang
putih dengan kedalaman 20-37 meter pada umumnya kurang dari 30 m. Pada
zaman purba perairan ini merupakan daratan yang tidak tergenang oleh air karena
terdapat pola aliran sungai bawah laut yang sekarang terjadi endapan sedimen
(Nontji, 1993), sehingga penetrasi cahaya matahari mampu mencapai permukaan
dasar laut, sehingga banyak sekali terdapat spot-spot terumbu karang.
18
Gambar 4. Lokasi Kepulauan Seribu di sebelah Utara Teluk Jakarta
Kondisi perairan laut dipengaruhi oleh dua musim antara lain musim Barat
pada periode Bulan November-Maret dan musim Timur (Mei-September). Rata-
rata suhu di Kepulauan Seribu rata-rata antara 250-33
0 Celcius, sedangkan
salinitas sangat variabel di perairan Indonesia. Hal ini disebabkan karena adanya
curah hujan yang tinggi dan besarnya limpasan dari banyak sungai. Musim hujan
terjadi pada bulan November hingga bulan April dengan intensitas hujan
mencapai 20 hari/bulan. Berdasarkan data tahun 2000, curah hujan bulanan di
Kepulauan Seribu rata-rata tercatat sebesar 142,54 mm dengan curah hujan
terendah pada bulan Juni dan tertinggi pada bulan September (TERANGI, 2007).
Kepulauan Seribu dipengaruhi oleh perairan Teluk Jakarta dimana bermuara 13
sungai yang membawa air tawar dalam jutaan meter kubik (m3) ke laut sehingga
mempengaruhi salinitas dan tingkat kesadahan dari laut serta pH. Nilai pH yang
19
terukur pada lokasi pengamatan rata-rata sebesar 8,00-8.50 pada semua stasiun
pengamatan (Huda, 2008). Perairan Indonesia termasuk iklim tropis, salinitas
meningkat dari arah barat ke timur dengan kisaran antara 30 – 34‰
(Wyrtki, 1961). Namun salinitas di Pulau Kelapa cenderung konstan berkisar
antara 32‰-33‰.
Arus laut dipengaruhi angin musim barat dan musim timur. Pada musim
barat angin bertiup kencang berakibat arus laut yang kuat bergerak dari barat ke
timur disertai hujan deras, pada saat ini arus dapat mencapai 4-5 Knot dan tinggi
gelombang mencapai 2 meter dan rata-rata 2-4 m tetapi tidak lebih dari 5 meter
(Muzaki, 2008). Kecepatan arus pada musim barat dapat mencapai lebih dari 0,5
m/s dengan kecepatan arus tertinggi berada pada bagian timur (Muzaki, 2008).
Perairan Kepulauan Seribu juga merupakan air laut yang berasal dari Samudera
Pasifik melalui mekanisme Arlindo (Arus lintas Indonesia) yang membawa
material Samudera Pasifik menuju Samudera Hindia pada umumnya, air laut dari
Samudera Pasifik merupakan air laut yang hangat dan banyak ditumbuhi plankton
yang merupakan salah satu makanan dari foraminifera. Hal ini ditunjukkan dari
hasil penelitian Hakim (2011) menyebutkan perairan Indonesia khususnya
perairan Utara Jawa memiliki kandungan klorofil-a antara 0,5-1,0 mg/m3 Nilai
kandungan klorofil-a yang tinggi di perairan tersebut disinyalir membawa banyak
substrat yang mengandung unsur organik dan zat hara lainnya (Hakim, 2011).
Kondisi lingkungan Pulau Kelapa, Kepulauan Seribu diperkirakan
mengalami berbagai perubahan seiring dengan pertumbuhan penduduk yang
meningkat dan diikuti dengan berubah fungsinya menjadi obyek wisata dan
tempat tinggal penduduk. Hal ini ditandai dengan berbagai masalah seperti
20
pengaruh sampah, tumpahan minyak, deterjen, tingkat erosi dan abrasi tinggi yang
secara tidak langsung merusak struktur komunitas foraminifera pada daerah ini.
Berbagai spesies foraminifera sangat memerlukan persyaratan hidup yang spesifik
untuk dapat tumbuh dan berkembang karena cara hidup dan struktur tubuh yang
sederhana memungkinkan foraminifera berperan sebagai rantai pertama yang
terkena oleh pencemaran. Karakteristik spesifik itu pula yang memungkinkan
foraminifera memberikan respon terhadap kondisi lingkungan hidupnya dalam
waktu relatif cepat (Rositasari,1996) sehingga foraminifera ini membentuk
struktur komunitas yang mampu menggambarkan kondisi lingkungan dan
sumberdaya yang terdapat pada daerah ini.
2.7. Karakteristik Sedimen
Seluruh permukaan dasar laut diselimuti oleh partikel-partikel sedimen
yang merupakan endapan yang terjadi selama puluhan sampai jutaan tahun yang
lalu sehingga menyimpan banyak informasi yang dapat menjelaskan fenomena-
fenomena pembentukan sedimen ini terbentuk, termasuk yang berkaitan erat
dengan pencemaran seperti kondisi kimia dan fisika perairan, kualitas lingkungan
dan biota-biota laut serta pola hidup manusia (Hutabarat dan Evans, 1985).
Sedimen terbentuk dari hasil pembongkaran dan penguraian batu-batuan serta
cangkang dan sisa rangka organisme laut terutama moluska dan foraminifera
(Supriyadi, 1996).
Menurut tipe asalnya sedimen terbagi dalam dua kriteria, yaitu:
a. Sedimen Terigenous (material endapan berasal dari input daratan) dan b.
Sedimen Pelagik (material endapan berasal dari kolom laut). Partikel sedimen
pelagik 85% terdiri dari endapan ooze kurang lebih 30% endapan ooze ini terdiri
21
dari organisme kecil yang keras. Endapan calcareous ini sebagian besar meluas
pada dasar laut dan membentuk lapisan berdasarkan umur batuan sedimen.
Kebanyakan sedimen calcareous ini berukuran mikroskopis dan mempunyai
cangkang yang mengandung CaCO3.Salah satu komponen biogenik kontributor
materi endapan penyusun tipe sedimen ini adalah foraminifera. Foraminifera
dalam sedimen laut telah banyak diteliti oleh para peneliti baik di Indonesia
maupun di mancanegara dengan berbagai tujuan penelitian dan manfaatnya. Oleh
karena itu, Kepulauan Seribu sendiri mempunyai sedimen terdiri dari batu-batu
kapur (karang), pasir dan kerikil yang mengandung foraminifera dapat dijadikan
tempat tujuan penelitian yang ideal (Muzaki, 2008).