BAB II Tinjauan Pustaka

18
2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi Foraminifera Foraminifera merupakan hewan akuatik yang termasuk ke dalam Filum Protozoa, Kelas Sarcodina, subkelas Rhizophoda dan Ordo Foraminiferida. Foraminifera diklasifikasi menurut Yassini dan Jones (1995), sebagai berikut: Kingdom : Animalia Phylum : Protozoa Subphylum: Sarcomastigophora Superclass: Sarcodina Class: Rhizopoda Subclass: Granulorecticulosa Ordo: Foraminiferida 2.2. Morfologi Foraminifera Bentuk penampakan luar foraminifera menurut Boltovskoy dan Wright (1976), antara lain sebagai berikut (Gambar 1): 1. Dinding, yaitu lapisan terluar dari foraminifera yang berguna melindungi bagian dalam tubuhnya. Dinding foraminifera terbentuk dari silica keras yang disekresikan dari tubuhnya. 2. Kamar, merupakan bagian utama foraminifera yang didalamnya terdapat organel-organel yang mengatur sistem metabolisme sel, diantaranya inti sel, vakuola kontraktil, mitokondria dan vakuola makanan. 3. Protoculum, merupakan kamar utama pada cangkang foraminifera didalamnya terdapat nukleus mengatur aktivitas sel. 4

description

tinjuan pustaka

Transcript of BAB II Tinjauan Pustaka

4

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Klasifikasi Foraminifera

Foraminifera merupakan hewan akuatik yang termasuk ke dalam Filum

Protozoa, Kelas Sarcodina, subkelas Rhizophoda dan Ordo Foraminiferida.

Foraminifera diklasifikasi menurut Yassini dan Jones (1995), sebagai berikut:

Kingdom : Animalia

Phylum : Protozoa

Subphylum: Sarcomastigophora

Superclass: Sarcodina

Class: Rhizopoda

Subclass: Granulorecticulosa

Ordo: Foraminiferida

2.2. Morfologi Foraminifera

Bentuk penampakan luar foraminifera menurut Boltovskoy dan Wright

(1976), antara lain sebagai berikut (Gambar 1):

1. Dinding, yaitu lapisan terluar dari foraminifera yang berguna melindungi

bagian dalam tubuhnya. Dinding foraminifera terbentuk dari silica keras

yang disekresikan dari tubuhnya.

2. Kamar, merupakan bagian utama foraminifera yang didalamnya terdapat

organel-organel yang mengatur sistem metabolisme sel, diantaranya inti

sel, vakuola kontraktil, mitokondria dan vakuola makanan.

3. Protoculum, merupakan kamar utama pada cangkang foraminifera

didalamnya terdapat nukleus mengatur aktivitas sel.

4

5

4. Septa, dinding tipis yang membagi kamar menjadi beberapa bagian yang

terpisah.

5. Suture, bagian dari bidang cangkang yang memisahkan kamar-kamar yang

terbentuk.

6. Aperture, merupakan lubang jalan tempat keluar masuknya zat kedalam

atau dari tubuhnya berfungsi sebagai mulut dan merupakan tempat

mensekresikan kalsium karbonat (CaCO3) untuk menyemen tubuhnya

pembentukan dalam cangkang.

Gambar 1. Bagian dan struktur tubuh Foraminifera (Suhaidi, 2008)

Organisme ini memiliki pseudopodia seperti jala yang disebut

reticulopodia (Gambar 2) yang merupakan penjuluran protoplasma sel yang

berfungsi sebagai alat penangkap mangsa, bergerak atau berenang, menempel dan

mempertahankan kedudukannya dalam badan air. Bentuk cangkangnya sangat

bervariasi, mulai dari bentuk yang sederhana, bulat, lonjong, panjang sampai

berduri-duri.

6

Gambar 2. Morfologireticulopodia Foraminifera

2.3. Bioekologi Foraminifera

Foraminifera merupakan organisme yang eukariotik uniseluler

heterotropik dan sangat tergantung oleh fitoplankton dan alga sehingga termasuk

ke dalam Filum Protozoa. Berdasarkan daur hidupnya foraminifera termasuk ke

dalam kelompok Holoplankton (zooplankton sejati) atau organisme plankton di

seluruh siklus hidupnya. Foraminifera merupakan 2,5 % dari semua hewan

Kambrium sampai resen yang diketahui (Boltovskoy dan Wright, 1976).

Foraminifera hidup di laut tersebar diberbagai karakteristik dan bentuk perairan

geografis perairan seperti perairan laut dangkal, perairan laut dalam, perairan

estuari, perairan pesisir laut, perairan subur, perairan tercemar, perairan hangat

dan perairan dingin (kutub). Foraminifera planktonik hidup pada air laut dengan

salinitas normal, tidak ditemukan pada air tawar atau pada lingkungan air

hypersaline yaitu lingkungan air dengan salinitas sangat tinggi (Boltovskoy dan

Wright, 1976). Hidup pada zona yang cukup mendapat sinar matahari photic dan

7

sedikit pada zona yang tidak mendapat sinar matahari Batial. Foraminifera

planktonik memiliki penyebaran yang luas membuat Foraminifera planktonik

sangat baik untuk menentukan umur sedimen.

Foraminifera dibedakan menjadi dua kelompok utama, yaitu foraminifera

planktonik dan foraminifera benthik. Foraminifera planktonik merupakan

organisme yang hidupnya melayang-layang dalam air laut dari zona permukaan

sampai kedalaman 1000 m, berukuran antara 50-100 mikron, dengan ciri-ciri

utama mempunyai bentuk test bulat berkomposisi gamping hyaline, susunan

kamarnya pada umumnya “trochospiral”(Gustiantini, 2001). Ukuran cangkang

juga ditemukan antara 5 µm sampai ukuran 20 cm.

Terdapat sekitar 30-50 spesiesforaminifera planktonik dan masuk ke

dalam kelompok dari dua famili yaitu Globigerinidae (bentuk spinose) dan

Globorotalidae (bentuk nonspinose). Sebagai contoh, pada sample sedimen di

Laut Timor saat ekspedisi VITAL 2005, ditemukan kumpulan foraminifera

planktonik sangat melimpah dalam jumlah lebih dari 80% (Okvariani, 2002). Di

laut dalam seperti Laut Banda, foraminifera planktonik mendominasi sedimen

dasar laut dan kelimpahannya dapat mencapai 90 % dibandingkan dengan

foraminifera benthik di kedalaman lebih dari 1000 meter (Van Marle et al.,1987).

Foraminifera bentik merupakan organisme yang hidupnya terbatas pada

dasar laut (bentos). Ciri-ciri utamanya antara lain susunan kamar planispiral,

bentuk cangkang yang lebih pipih (Streamline), memanjang, komposisi test

aglutineous dan arenaceous. Golongan ini hidup di dasar laut mulai dari tepi

sampai kedalaman lebih dari 3000 m. Kondisi optimum terjadi pada kedalaman

8

150-300m, dimana ada ribuan bahkan sepuluh ribu spesimen per meter persegi

(Boltovskoy dan Wright, 1976).

Aktivitas kehidupan dan sebaran foraminifera bentik dipengaruhi oleh

faktor abiotik dan biotik dari lingkungan tempat hidupnya, seperti salinitas, suhu,

substrat, kedalaman, nutrisi, kandungan organik dalam sedimen, kekeruhan,

gelombang dan arus, serta faktor-faktor ekologi lainnya. Kemampuan beradaptasi

sangat mempengaruhi kehidupan foraminifera benthik untuk dapat berproduksi

dan bertahan di habitatnya, mulai dari perairan dangkal sampai laut dalam

(Dewi dan Darlan, 2008).

Cangkang foraminifera sangat beranekaragam memiliki bentuk rumit dan

kompleks karena pengaruh habitatnya. Keunikan foraminifera seperti bentuk, ciri

struktur cangkang merupakan kunci dalam mengindentifikasi jenis dan spesies

foraminifera (Dewi dan Darlan, 2008). Spesies foraminifera yang berhasil

diketemukan dan diberi penamaan mencapai sekitar 275.000 spesies dan banyak

jenis foraminifera yang masih belum diidentifikasi (Loeblich dan Tapan, 1994).

Cangkang foraminifera berbentuk partikel biogenis banyak ditemukan di

antara partikel non-biogenisseperti mineral, fragmen batuan dan lain-lain.

Kumpulan partikel dari spesies tertentu dapat membentuk hamparan pantai

berpasir putih. Sebagai contoh, Amphistegina spp. merupakan anggota dari

foraminifera yang di pantai-pantai di Hawaii sejak 1500 tahun yang lalu

(Dewi dan Darlan, 2008). Di Indonesia, foraminifera Shlumbergerella

floresianaditemukan di pantai sekitar Kesuma Sari (Barbin, 1987 in Renema,

2008) dan menyebar di sekitar Pulau Bali sampai Pulau Lombok

(Adisaputra, 1998 in Dewi dan Darlan, 2008). Di pesisir Selatan Pulau Jawa di

9

dominasi oleh kumpulan Sphaerogypsina globules yang memberikan warna putih

kecoklatan di Pantai sekitar Prigi, Trenggalek, Jawa Timur.

Di perairan laut dangkal terutama pada ekosistem terumbu karang

foraminifera benthik merupakan salah satu kontributor penting dalam

pembentukkan hamparan terumbu karang setelah alga gampingan (Boersma,

1978). Antara forminifera benthik dan terumbu karang terjadi simbiosis

mutualistis. Foraminifera merupakan organisme yang sangat melimpah di

lingkungan termbu karang, untuk memproduksi material biogenik sebagai bahan

pembentuk kerangka karang (Molengraaff, 1928 dan Wells, 1957, in Tomascik et

al., 1997). Foraminifera merekat pada rumput laut, alga dan fragmen koral di

Pulau Pari, Teluk Jakarta dan penciri utama lingkungan terumbu didominasi oleh

Calcarina (Rositasari, 1993). Di paparan Spermonde, Sulawesi Selatan,

forminifera membentuk 40-80% sedimen dasar laut (Renema, 2008).

Selain terumbu karang, foraminifera juga mendiami lingkungan payau,

yang umumnya berhutan mangrove, sedimennya berbutir halus, banyak

mengandung sisa-sisa tanaman salinitas rendah dan jumlah spesiesnya tidak

bervariasi. Trochamina inflate, Miliammina fusca dan Jadammina polystoma

merupakan spesies yang umum ditemukan di sekitar hutan mangrove (Dewi dan

Darlan, 2008).

Lingkungan laguna juga sesuai bagi kehidupan foraminifera tertentu

karena adanya pengaruh daratan dan lautan dalam perairan itu. Karakteristik

organismenya dengan keanekaragaman yang rendah, dicirikan dengan spesies dari

genera Rotalia, Ammonia, Elphidium, Ammobaculites, Reophax Textularia

10

Haplophragmoides dan lain-lain. Jumlah individunya juga rendah dan tidak

ditemukan foraminifera planktonik (Dewi dan Darlan, 2008)

Dibandingkan dengan foraminifera planktonik, foraminifera bentik sangat

sensitif terhadap berbagai perubahan lingkungan seperti temperatur, salinitas,

cahaya, kedalaman, dan kandungan oksigen. Hal ini disebabkan organisme-

organisme benthik ini hidup dengan menempelkan diri pada lapisan permukaan

sedimen hingga kedalaman beberapa centimeter (5-10 cm), batuan, tumbuh-

tumbuhan laut dan karang yang berada di dasar perairan serta berasosiasi dengan

terumbu karang sehingga merupakan indikator lingkungan terumbu karang yang

sangat potensial (Boltovskoy dan Wright, 1976). Alasan lain adalah karena

struktur tubuhnya terdiri dari satu sel, menyebabkan organisme ini lebih cepat

memberikan respon terhadap berbagai perubahan lingkungan, yang dapat berupa

rendahnya spesimen dan terjadinya perubahan morfologi foraminifera itu sendiri

(Rositasari, 1996).

2.4. Foraminifera Sebagai Bioindikator

Cangkang foraminifera yang keras dan sulit terurai menjadikan

foraminifera dijadikan pedoman oleh Geologi sebagai penciri lingkungan

pengendapan dan penentuan umur batuan (Biostratigrafi) dan dalam pencarian

sumberdaya minyak, gas alam atau mineral (Natsir, 1996). Fenomena-fenomena

khusus yang menyebabkan foraminifera memiliki potensi yang besar sebagai

indikator menurut Dewi dan Darlan (2008), yaitu: foraminifera memiliki siklus

hidup pendek, sehingga memberi respon yang cepat terhadap perubahan

lingkungan atau perubahan akibat aktifitas manusia. Terdapatnya kumpulan

11

foraminifera di estuarin mengindikasikan perubahan karena limbah yang masuk

ke dalam lingkungan tersebut.

Banyak jenis foraminifera oportunistik mendapat keuntungan langsung

atau tidak langsung dari jenis polutan tertentu. Keuntungan langsung adalah

terdapatnya tambahan nutrisi bagi jenis tersebut seperti senyawa organik, nutrien,

bakteri, mineral dan sebagainya. Keuntungan tidak langsung adalah dengan

berkurangnya kompetisi dan predasi (Dewi dan Darlan, 2008).

Keanekaragaman jenis di daerah buangan berkurang, namun pada jarak

tertentu akan tercapai keseimbangan yang mengakibatkan tingginya populasi jenis

toleran. Deformasi cangkang terdapat secara alamiah, namun lebih banyak

ditemukan di perairan yang terpolusi. Sebaran jenis hidup di estuariseharusnya

diamati mulai dari sebelum terjadinya pencemaran, namun hal ini tidak

memungkinkan karena hampir seluruh estuari saat ini telah mengalami

pencemaran. Cara lain adalah dengan mengamati sample hasil spesimen dan

membandingkannya. Walaupun telah banyak dilakukan berbagai penelitian yang

berkaitan dengan foraminifera sebagai indikator pencemaran, masih banyak hal

yang belum terungkap dengan baik. Sebelumnya Rositasari (1993) telah

mengungkapkan keunggulan foraminifera sebagai bioindikator yang sangat efektif

dan ekonomis dibandingkan biota lain, yaitu:

1. Ditemukan pada hampir semua lingkungan pesisir dalam jumlah jenis

yang cukup banyak. Dengan demikian untuk mendapatkan data yang

signifikan hanya diperlukan sejumlah kecil sample;

2. Cangkang kosong dari foraminifera dapat bertahan dalam waktu yang

lama didalam sedimen, sehingga memudahkan penganalisaan;

12

3. Siklus reproduksi relatif pendek, sebagian besar hanya mencapai beberapa

bulan dan sebagian lain mencapai 1 tahun. Hal tersebut memungkinkan

dilakukannya pengamatan pada berbagai bentuk respon organisme ini

terhadap lingkungan hidupnya, yang dapat berupa variasi fenotip

(morfologi) yang dapat terlihat dalam waktu relatif singkat. Perubahan

morfologi inilah yang banyak digunakan sebagai indikator lingkungan

tempat hidupnya;

4. Publikasikan tentang foraminifera dan lingkungan hidupnya telah banyak

dibahas dalam beberapa dekade ini sehingga memudahkan dalam

mendapatkan sumber acuan.

Keberadaanforaminifera akan dapat memberikan gambaran kondisi

lingkungan hidupnya yang berbeda. Pada lingkungan perairan dengan tingkat

sedimentasi tinggi, distribusi foraminifera akan menunjukkan keanekaragaman

jenis yang tinggi dengan tingkat populasi spesimen hidup yang rendah (Rositasari,

2009).

Penurunan kualitas lingkungan yang terjadi pada lingkungan muara sungai

menyebabkan hanya jenis tertentu yang dapat mempertahankan diri dan dapat

berkembang di lingkungan ini. Rositasari (2002) menunjukkan bahwa masukan

air laut kebeberapa Sungai Ciawi, muara sungai Bekasi, Sungai Dadap, dan

sungai Cilincing, memiliki kesamaan beberapa jenis yang mencirikan lingkungan

muara sungai, yaitu Ammonia becarii, berbagai jenis Elphidium sp. serta

beberapa jenis foraminifera bentik penciri perairan payau seperti Trochammina,

Cyclammina, dan Rheopax.

13

Gambar 3. Spesies-spesies foraminifera yang terdapat di perairan Indonesia

(Dewi dan Darlan, 2008)

Sejak beberapa dekade terakhir yang lalu mulai dipelajari mengenai

pengaruh pencemaran lingkungan terhadap foraminifera bentonik oleh

(Gustiantini,2001) dan disimpulkan bahwa:

1. Spesies foraminifera sensitive terhadap polusi

2. Spesies foraminifera tertentu muncul dan justru dominan pada area

terkontaminasi;

3. Spesies tertentu membangun cangkang yang tidak normal pada area

polusi.

Beberapa cangkang foraiminifera menunjukkan gejala abnormalitas akibat

tekanan lingkungan. Rositasari (2009) menyimpulkan bahwa tingginya tingkat

kematian dan kemunculan cangkang abnormal erat kaitannya dengan pola arus ,

sebaran sedimen dan suspensi serta kandungan logam berat di perairan.

14

Abnormalitas pada morfologi cangkang foraminifera telah diamati oleh Alve

(1991) dengan dugaan bahwa gejala tersebut akibat polusi logam berat.

2.5. Keterkaitan Karakteristik Oseanografi terhadapForaminifera

Karakteristik oseanografi ditentukan oleh berbagai parameter oseanografi,

diantaranya suhu, salinitas, total padatan tersuspensi (TSS), kedalaman,

fitoplankton, bahan-bahan terlarut, bahan anorganik, bahan organik, penetrasi

cahaya, kandungan oksigen, gelombang, arus, turbiditas, substrat, nutrisi. Suhu

memiliki peranan dalam pembentukan ukuran cangkang dan bentuk morfologi

cangkang (Boltovskoy dan Wright, 1976). Foraminifera dapat ditemukan pada

kisaran suhu (10- 30

0C) (Boersma dan Haq, 1984 in Okvariani, 2002), namun

pada suhu hangat (tropis) foraminifera dapat tumbuh optimal pada kisaran suhu

antara 210 sampai 26

0C (Boltovskoy dan Wright, 1976). Pada suhu terendah

foraminifera mempunyai ukuran cangkang yang maksimal dan komposisi yang

padat, sedangkan pada suhu air yang tinggi foraminifera kurang dapat bertahan

pada kondisi tersebut (Okvariani, 2002).

Salinitas mempengaruhi pertumbuhan foraminifera, siklus reproduksi dan

bertahan untuk hidup. Foraminifera planktonik sangat sensitif terhadap perubahan

salinitas. Foraminifera ini hidup pada salinitas normal dengan kisaran salinitas

(30-40‰). Foraminifera bentonik dominan pada kisaran salinitas (18-30‰)

(Boltovskoy dan Wright, 1976). Namun sebagian besar spesimen foraminifera

menunjukkan pertumbuhan rata-rata tertinggi dan kelimpahan populasi besar pada

perairan salinitas 34‰ (Boltovskoy dan Wright, 1976).

Kelimpahan foraminifera cenderung mengalami penurunan seiring dengan

bertambahnya kedalaman (Adithya, 2008). Pada laut dangkal variasi jenis

15

foraminifera serta jumlah foraminifera semakin besar. Pada laut dalam yang

memiliki tekanan yang besar menyebabkan foraminifera berdinding aglutinin saja

yang dapat bertahan walaupun dengan jumlah yang sangat sedikit. Pada laut

dangkal kandungan oksigen masih tinggi dan nutrien phosphate dan nitrat

menyebabkan jumlah foraminifera benthonik pada area ini sangat tinggi.

Bahan anorganik berupa, sisa bahan industri, buangan limbah pabrik,

sampah plastik, sisa-sisa bahan kimia, bahan bakar fosil dan kemasan produk serta

detergen dapat mengganggu keberadaan, pertumbuhan, perkembangan dan

diversitas foraminifera. Bahan-bahan organik berupa detergen menyebabkan

perairan yang terkontaminasi bahan tersebut menjadi asam dan mengganggu

metabolisme foraminifera dan mekanisme pembentukan cangkang foraminifera

serta mengganggu proses sekresi kalsium karbonat (CaCO3) (Rositasari, 1993)

Penetrasi cahaya matahari berperan penting dalam fotosintesis fitoplankton

dan algae yang hidup bersimbiosis dengan foraminifera (Okvariani, 2002) dan

sebagai sumber makanan foraminifera (Boltovskoy dan Wright, 1976). Apabila

organisme-organisme tersebut tidak dapat berfotosintesis kembali mengakibatkan

jumlah foraminifera berkurang seiring menurunnya jumlah fitoplankton dan Algae

tersebut.

Konsentrasi oksigen memiliki pengaruh terhadap struktur morfologi

cangkang. Pada umumnya foraminifera yang beradaptasi dengan oksigen minim

berukuran kecil, tidak berornamentasi, tipis, hidupnya menempel, dan berdinding

cangkang gampingan. Kandungan oksigen yang minim dan pH yang asam

mengakibatkan berkurangnya kemampuan foraminifera untuk mensekresi kalsium

karbonat (Rositasari, 1993).

16

Gelombang dan arus berperan penting dalam difusi oksigen dari udara ke

dalam perairan laut serta berperan dalam distribusi nutrien dan sumber makanan

bagi foraminifera. Arus juga berperan dalam distribusi organisme laut dan siklus

reproduksinya. Arus membantu dalam penyebaran fase gamet dan embrio

foraminifera planktonik, dimana foraminifera tersebut sangat tergantung oleh arus

(Boltovskoy dan Wright, 1976; Pringgoprawiro et al., 1994).

Foraminifera memanfaatkan material substrat untuk mensekresikan bahan

penyusun cangkang melalui mekanisme kimiawi (Boltovskoy dan Wright, 1976).

Substrat lumpur dan lanau merupakan tempat yang ideal bagi foraminifera.

Foraminifera yang hidup pada substrat lumpur–lanau pada umumnya memiliki

cangkang yang tipis, rapuh berbentuk bulat telur, struktur kamar trochospira.

Foraminifera jenis Elphidium sp banyak ditemukan pada area tersebut. Pada

subtrat berpasir dan berkerikil kandungan bahan organiknya rendah cangkang

foraminifera tebal, ornamentasi unik, lonjong dan cembung-cembung seperti

Quinqueloculina sp (Rositasari, 1996).

Turbiditas dapat mengganggu proses fotosintesis antara algae dan

fitoplankton sebagai sumber makanan bagi foraminifera. Hal ini mengakibatkan

ketersediaan makanan menjadi terbatas sehingga terjadi persaingan antara

organisme termasuk predasi sehingga populasi foraminifera menjadi berkurang.

Turbiditas mempengaruhi proporsi jumlah foraminifera bentonik berdinding

gampingan “calcareous”, sedangkan foraminifera pembentuk dinding cangkang

pasira (agglutinated) semakin meningkat karena tidak memerlukan bikarbonat dari

hasil fotosintesis fitoplankton (Boltovskoy dan Wright, 1976).

17

2.6. Kondisi Umum Lokasi Penelitian

Pulau Kelapa merupakan salah satu dari ratusan pulau-pulau pasir dan

terumbu karang yang terdapat di Kepulauan Seribu dan merupakan salah satu

pulau dari sebelas pulau yang berpenghuni. Secara geografis Kepulauan Seribu

terletak pada 106020’00” BT hingga 106

057’00” BT dan 5

010’00” LS hingga

5057’00” LS (Gambar 4), Pulau Kelapa dan Pulau Harapan termasuk kedalam tata

wilayah Kabupaten Kepulauan Seribu bagian dari Provinsi DKI Jakarta,

Kelurahan Pulau Kelapa termasuk dalam Kepulauan Seribu Utara bersama-sama

dengan Kelurahan Pulau Panggang dan Pulau Harapan. Berdasarkan Peta

Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu tahun

2010-2030, jumlah pulau yang tersebar di Kepulauan Seribu mencapai 117 pulau

yang terbagi dalam 2 kecamatan dan 6 kelurahan.

Secara geologis Pulau Kelapa merupakan paparan benua yaitu bagian dari

gugusan pulau-pulau tropis yang membentuk Kepulauan Seribu dengan kondisi

perairan yang hangat sirkulasi air relatif lancar kondisi seperti ini sangat mungkin

ekosistem terumbu karang dan biota-biota laut berasosiasi dengannya mencapai

pertumbuhan maksimal (Dahuri, 1996 in Dewi dan Darlan, 2008). Lokasi

pengambilan contoh sedimen terletak di bagian utara Teluk Jakarta sekitar 30 mil

laut dari pesisir Teluk Jakarta memiliki air yang cukup jernih dan pasir laut yang

putih dengan kedalaman 20-37 meter pada umumnya kurang dari 30 m. Pada

zaman purba perairan ini merupakan daratan yang tidak tergenang oleh air karena

terdapat pola aliran sungai bawah laut yang sekarang terjadi endapan sedimen

(Nontji, 1993), sehingga penetrasi cahaya matahari mampu mencapai permukaan

dasar laut, sehingga banyak sekali terdapat spot-spot terumbu karang.

18

Gambar 4. Lokasi Kepulauan Seribu di sebelah Utara Teluk Jakarta

Kondisi perairan laut dipengaruhi oleh dua musim antara lain musim Barat

pada periode Bulan November-Maret dan musim Timur (Mei-September). Rata-

rata suhu di Kepulauan Seribu rata-rata antara 250-33

0 Celcius, sedangkan

salinitas sangat variabel di perairan Indonesia. Hal ini disebabkan karena adanya

curah hujan yang tinggi dan besarnya limpasan dari banyak sungai. Musim hujan

terjadi pada bulan November hingga bulan April dengan intensitas hujan

mencapai 20 hari/bulan. Berdasarkan data tahun 2000, curah hujan bulanan di

Kepulauan Seribu rata-rata tercatat sebesar 142,54 mm dengan curah hujan

terendah pada bulan Juni dan tertinggi pada bulan September (TERANGI, 2007).

Kepulauan Seribu dipengaruhi oleh perairan Teluk Jakarta dimana bermuara 13

sungai yang membawa air tawar dalam jutaan meter kubik (m3) ke laut sehingga

mempengaruhi salinitas dan tingkat kesadahan dari laut serta pH. Nilai pH yang

19

terukur pada lokasi pengamatan rata-rata sebesar 8,00-8.50 pada semua stasiun

pengamatan (Huda, 2008). Perairan Indonesia termasuk iklim tropis, salinitas

meningkat dari arah barat ke timur dengan kisaran antara 30 – 34‰

(Wyrtki, 1961). Namun salinitas di Pulau Kelapa cenderung konstan berkisar

antara 32‰-33‰.

Arus laut dipengaruhi angin musim barat dan musim timur. Pada musim

barat angin bertiup kencang berakibat arus laut yang kuat bergerak dari barat ke

timur disertai hujan deras, pada saat ini arus dapat mencapai 4-5 Knot dan tinggi

gelombang mencapai 2 meter dan rata-rata 2-4 m tetapi tidak lebih dari 5 meter

(Muzaki, 2008). Kecepatan arus pada musim barat dapat mencapai lebih dari 0,5

m/s dengan kecepatan arus tertinggi berada pada bagian timur (Muzaki, 2008).

Perairan Kepulauan Seribu juga merupakan air laut yang berasal dari Samudera

Pasifik melalui mekanisme Arlindo (Arus lintas Indonesia) yang membawa

material Samudera Pasifik menuju Samudera Hindia pada umumnya, air laut dari

Samudera Pasifik merupakan air laut yang hangat dan banyak ditumbuhi plankton

yang merupakan salah satu makanan dari foraminifera. Hal ini ditunjukkan dari

hasil penelitian Hakim (2011) menyebutkan perairan Indonesia khususnya

perairan Utara Jawa memiliki kandungan klorofil-a antara 0,5-1,0 mg/m3 Nilai

kandungan klorofil-a yang tinggi di perairan tersebut disinyalir membawa banyak

substrat yang mengandung unsur organik dan zat hara lainnya (Hakim, 2011).

Kondisi lingkungan Pulau Kelapa, Kepulauan Seribu diperkirakan

mengalami berbagai perubahan seiring dengan pertumbuhan penduduk yang

meningkat dan diikuti dengan berubah fungsinya menjadi obyek wisata dan

tempat tinggal penduduk. Hal ini ditandai dengan berbagai masalah seperti

20

pengaruh sampah, tumpahan minyak, deterjen, tingkat erosi dan abrasi tinggi yang

secara tidak langsung merusak struktur komunitas foraminifera pada daerah ini.

Berbagai spesies foraminifera sangat memerlukan persyaratan hidup yang spesifik

untuk dapat tumbuh dan berkembang karena cara hidup dan struktur tubuh yang

sederhana memungkinkan foraminifera berperan sebagai rantai pertama yang

terkena oleh pencemaran. Karakteristik spesifik itu pula yang memungkinkan

foraminifera memberikan respon terhadap kondisi lingkungan hidupnya dalam

waktu relatif cepat (Rositasari,1996) sehingga foraminifera ini membentuk

struktur komunitas yang mampu menggambarkan kondisi lingkungan dan

sumberdaya yang terdapat pada daerah ini.

2.7. Karakteristik Sedimen

Seluruh permukaan dasar laut diselimuti oleh partikel-partikel sedimen

yang merupakan endapan yang terjadi selama puluhan sampai jutaan tahun yang

lalu sehingga menyimpan banyak informasi yang dapat menjelaskan fenomena-

fenomena pembentukan sedimen ini terbentuk, termasuk yang berkaitan erat

dengan pencemaran seperti kondisi kimia dan fisika perairan, kualitas lingkungan

dan biota-biota laut serta pola hidup manusia (Hutabarat dan Evans, 1985).

Sedimen terbentuk dari hasil pembongkaran dan penguraian batu-batuan serta

cangkang dan sisa rangka organisme laut terutama moluska dan foraminifera

(Supriyadi, 1996).

Menurut tipe asalnya sedimen terbagi dalam dua kriteria, yaitu:

a. Sedimen Terigenous (material endapan berasal dari input daratan) dan b.

Sedimen Pelagik (material endapan berasal dari kolom laut). Partikel sedimen

pelagik 85% terdiri dari endapan ooze kurang lebih 30% endapan ooze ini terdiri

21

dari organisme kecil yang keras. Endapan calcareous ini sebagian besar meluas

pada dasar laut dan membentuk lapisan berdasarkan umur batuan sedimen.

Kebanyakan sedimen calcareous ini berukuran mikroskopis dan mempunyai

cangkang yang mengandung CaCO3.Salah satu komponen biogenik kontributor

materi endapan penyusun tipe sedimen ini adalah foraminifera. Foraminifera

dalam sedimen laut telah banyak diteliti oleh para peneliti baik di Indonesia

maupun di mancanegara dengan berbagai tujuan penelitian dan manfaatnya. Oleh

karena itu, Kepulauan Seribu sendiri mempunyai sedimen terdiri dari batu-batu

kapur (karang), pasir dan kerikil yang mengandung foraminifera dapat dijadikan

tempat tujuan penelitian yang ideal (Muzaki, 2008).