BAB II Tinjauan Pustaka
-
Upload
muhammad-fikri -
Category
Documents
-
view
209 -
download
0
Transcript of BAB II Tinjauan Pustaka
3
TINJAUAN PUSTAKA
Kelinci
Kelinci merupakan hewan yang mempunyai potensi sebagai penghasil daging
yang baik. Hewan ini merupakan herbivore non ruminansia yang mempunyai system
lambung sederhana (tunggal) dengan perkembangan sekum seperti alat pencernaan
ruminansia, sehingga hewan ini dapat disebut ruminansia semu (pseudoruminant).
Damron, (2003) mengklasifikasikan kelinci termasuk dalam Kingdom
Animalia (hewan), Phylum Chordata (mempunyai notochord), Subphylum
Vertebrata (bertulang belakang), Class Mammalia (memiliki kelenjar air susu), Ordo
Lagomorpha (memiliki 2 pasang gigi seri di rahang atas), Family Leporidae (rumus
gigi 8 pasang di atas dan 6 pasang di bawah), GenusOryctolagus (morfologi yang
sama) dan Speciescuniculus forma domestica (nama spesies)
Hewan ini dapat mencerna serat kasar, terutama selulosa, dengan bantuan
bakteri yang hidup dalam sekumnya (Farrrel dan Rahardjo, 1984). Kelinci banyak
digunakan sebagai hewan peliharaan, penghasil kulit bulu (fur) dan penghasil daging
(fryer). Kelinci mampu mengubah hijaun berprotein rendah, yang berasal dari
bahan makanan yang tidak dimanfaatkan oleh manusia sebaggai bahan makanan,
menjadi protein hewani yang bernilai tinggi. Hewan ini mengembalikan 20% protein
yang dikonsumsinya menjadi daging (Lebas et al., 1986). Farrel dan Rahardjo
(1984) menyatakan bahwa secara teori seekor induk kelinci dengan bobot tiga hingga
empat kilogram, dapat menghasilkan 80 kg karkas per tahun.
Kelinci Lokal
Bangsa kelinci lokal di Indonesia merupakan persilangan dari berbagai jenis
kelinci yang tidak terdata, tetapi sebagian besar berasal dari persilangan jenis New
Zealand White. Kelinci lokal yang berada di Indonesia mempunyai tubuh yang lebih
kecil dari kelinci impor. Kelinci-kelinci lokal ini memiliki laju pertumbuhan yang
lambat, sehingga sering dilakukan persilangan bangsa kelinci lokal ini dengan bangsa
lain untuk mengembangkan kelinci yang tahan penyakit dan mempunyai toleransi
terhadap panas serta berbadan besar (Farrel dan Rahardjo, 1984).
Herman (1989) menyatakan bahwa kelinci lokal lebih toleran terhadap panas
(suhu tinggi) dibandingkan kelinci impor. Hal ini disebabkan kelinci lokal telah
4
beradaptasi di daerah tropis sehingga lebih tahan terhadap lingkungan panas
dibandingkan kelinci impor yang berasal dari daerah iklim sedang. Kelinci lokal
diternakkan dengan tujuan sebagai penghasil daging. Daging yang dihasilkan juga
mempunyai kualitas yang cukup baik.
Pakan Kelinci
Kelinci termasuk jenis ternak pseudo-ruminant, yaitu herbivora yang tidak
dapat mencerna serat-serat kasar secara baik. Kelinci memfermentasi pakan di
caecum, yang besarnya 50% dari seluruh kapasitas saluran pencernaannya.
Walaupun memiliki caecum yang cukup besar, kelinci ternyata tidak mampu
mencerna bahan-bahan organik dan serat kasar dari hijauan sebanyak yang dapat
dicerna oleh ternak ruminansia murni. De Blass dan Wiseman (1998) menyatakan
jumlah pemberian ransum kelinci adalah 8% dari bobot badan kelinci. Kelinci
kurang efisien dalam mencerna serat kasar hijauan, karena gerak laju pakan yang
cepat pada caecum,sehingga tidak mengalami penyerapan nutrien yang sempurna
dan akan terus menuju anus dan keluar dalam bentuk lunak. Kotoran yang lunak ini
akan dimakan dan dimanfaatkan kembali (coprophagy).
Pakan yang dikonsumsi oleh ternak digunakan untuk memenuhi kebutuhan
hidup pokok, yaitu menunjang proses dalam tubuh yang harus dilaksanakan
walaupun tidak ada proses produksi ataupun pembentukan jaringan baru. Apabila
jumlah pakan yang dikonsumsi melebihi kebutuhan tersebut di atas maka kelebihan
nutrien yang ada digunakan untuk keperluan pertumbuhan, penggemukan atau
keperluan produksi lainnya (Tillmanet al., 1991).
Pemberian pakan pada kelinci diatur sebaik mungkin dengan tidak melupakan
sifat alami kelinci sebagai binatang malam. Church dan Pond (1979) menyatakan
bahwa palatabilitas merupakan faktor penting yang menentukan tingkat konsumsi,
yang dipengaruhi oleh rasa, bau, dan tekstur makanan. Palatabilitas tiap-tiap bahan
pakan bervariasi dan kelinci tidak akan menemukan pakan yang palatable ketika
pertama kali diberi satu jenis bahan pakan dan bahan pakan yang dicampur akan
lebih palatable daripada satu jenis bahan saja (Sandford dan Woodgates, 1979).
5
Konsentrat
Konsentrat merupakan bahan pakan ternak yang mengandung energi relatif
tinggi, serat kasar rendah, bahan ekstrak tanpa nitrogen (BETN) tinggi dan mudah
dicerna oleh ternak (Tillman etal., 1991). Konsentrat dalam ransum kelinci
berfungsi untuk meningkatkan nilai nutrien agar sesuai dengan kebutuhan pokok
hidup kelinci dan disesuaikan dengan tujuan produksi yang diharapkan serta menjaga
daya tahan tubuh terhadap lingkungan (Templeton dan Kellog, 1961). Konsentrat
terdiri dari biji-bijian dan limbah hasil proses industri bahan pangan seperti jagung
giling, tepung kedelai, menir, dedak, bekatul, bungkil kelapa, tetes dan umbi. Harris
et al. (1983) menyatakan bahwa kelinci lebih menyukai ransum dalam bentuk pelet
daripada dalam bentuk tepung atau butiran.Pemberian pakan bentuk pelet dapat
meningkatkan performa dan konversi pakan ternak bila dibandingkan dengan pakan
bentuk mash (Behnke, 2001).
Limbah Tauge
Limbah tauge adalah sisa dari produksi tauge yang terdiri dari kulit kacang
hijau dan pecahan-pecahan tauge hasil pengayakan untuk dikonsumsi. Limbah tauge
biasanya dibuang begitu saja di pasar atau oleh para pedagang tauge, sehingga
berpeluang untuk mencemari lingkungan. Potensi limbah tauge dalam sehari sangat
banyak dilihat dari produksi tauge yang tidak mengenal musim terutama untuk petani
tauge di daerah Bogor. Hasil survei Rahayu et al. (2010) menginformasikan bahwa
total produksi tauge di daerah Bogor sekitar 6,5 ton/hari dan berpeluang
menghasilkan limbah tauge sebesar 1,5 ton/hari. Limbah tauge juga memiliki nilai
nutrisi yang cukup baik, yaitu kandungan air 63,35%, abu 7,35%, lemak 1,17%,
protein 13,62%, serat kasar 49,44% dan kandungan TDN 64,65%.
Karkas dan Komposisi Karkas Kelinci
Karkas adalah bagian tubuh ternak tanpa kepala, kaki, ekor, darah dan organ
dalam tubuh (jeroan) (Herman, 1989 ; Soeparno, 1992). Lebas et al. (1986)
menyatakan bahwa di inggris dan kanada, pengertian karkas kelinci sama dengan
pengertian karkas sapi. Karkas terdiri dari tiga jaringan utama yaitu tulang, daging,
dan lemak (Soeparno, 1992). Tulang tumbuh paling awal membentuk kerangka,
kemudian disusul oleh pertumbuhan urat yang membentuk daging yang menyelimuti
6
kerangkan dan lemak terakhir pada saat mendekati kemasakan tubuh (Mc Nitt dan
Lukefahr, 1996). Karkas yang ideal harus mengandung sejumlah maksimal otot,
kandungan lemak yang optimal serta tulang yang minimum (Lovett, 1986).
Herman (1989) meyatakan bahwa kelinci yang dipelihara di daerah tropis
mampu menghasilkan karkas sebesar 47,96% dari bobot hidup 1 – 2.1 kg. Bobot
tulang karkas kelinci sekitar 15% dan 82% – 85% dari karkasnya dapat dikonsumsi.
Mutu produksi daging dipengaruhi oleh umur (Soeparno, 1992). Daging kelinci
muda, berwarna putih, seratnya halus dan rasanya lebih enak dari daging ayam.
Kelinci dewasa, dagingnya padat, kasar, berwarna merah tua dan kurang empuk
(Herman, 1989). Soeparno (1992) menyatakan kualitas karkas dan daging
dipengaruhi oleh faktor sebelum dan sesudah pemotongan. Faktor yang menentukan
adalah bobot karkas, jumlah daging yang dihasilkan dan kualitas daging dari karkas
yang bersangkutan.
Pemotongan bagian karkas kelinci berdasarkan pada irisan komersial. Irisan
komersial karkas kelinci terdiri atas empat potongan irisan. Irisan tersebut adalah
potongan irisan paha depan (foreleg), potongan irisan dada (rack), potongan irisan
piggang (loin), dan potongan irisan paha belakang (hindleg) (De Blass et al., 1977 ).
Herman (1989) menyatakan bahwa hasil pengirisan menunjukkan proporsi yang
konsisten dengan koefisien keragaman yang rendah. Proporsi irisan terhadap bobot
tubuh secara terinci yaitu irisan kaki belakang 40%, pinggang 22,10%, dada
11,68%, dan kaki depan 29%.
Persentase karkas atau bagian tubuh lainnya terhadap bobot tubuh sangat
ditentukan oleh bobot tubuh dan kondisinya, seperti makanan dan pemuasaan
sebelum pemotongan (Cheeke et al., 1987 ; Herman, 1989). Bobot potong yang
meningkat akan meningkatkan persentase bobot tubuh kosong dan karkas (Herman,
1989). Lukefahr et al.(1982) menyatakan bahwa jenis kelamin tidak mempengaruhi
sifat-sifat karkas. Muryanto dan Prawirodigdo (1993) menyatakan bahwa semakin
tinggi bobot potong, maka semakin tinggi persentase bobot karkasnya. Hal ini
disebabkan proporsi bagian-bagian tubuh yang menghasilkan daging akan bertambah
selaras dengan ukuran bobot tubuh.
7
Otot
Otot merupakan komponen utama karkas sebagai penentu kualitas yang
memiliki nilai ekonomi yang tinggi. Otot mengandung 72% -73% air, 18% protein,
1%-20% lemak, 1% abu dan 1% karbohidrat yang merupakan sistem koloida
(Zoborisky, 1969).
Basuki et al. (1981) menyatakan bahwa kelinci lokal mempunyai persentase
otot sebesar 35,2 ± 5,25% untuk kelinci betina berbobot badan 0,55-3,3 Kg dan
untuk kelinci jantan dengan bobot badan 0,6-3,3 kg. Bobot badan kelinci yang
diharapkan pada peternakan komersial adalah 1,8-2,7 kg dengan produksi daging
karkas 0,9-1,4 kg yang persentase karkasnya sebesar 55% dan rasio otot dan tulang
adalah 5:1.
Persentase otot akan meningkat dengan meningkatnya bobot potong kaki
belakang (hindleg) dan punggung (loin), sedangkan otot pada bagian kaki depan
(foreleg) konstan (Eviaty, 1982). Djoenaedi (1972) menyatakan bahwa pada rataan
bobot hidup sebesar 990 gr diperoleh rataan otot sebesar 36,7%.
Tulang
Tulang merupakan jaringan yang pasif atau inert. Perbedaan tulang dengan
dengan jaringan yang lainnya adalah tulang merupakan jaringan padat yang keras
dan mengandung 45% air, 25% abu, 20% protein, 10% lemak dan 99% kalsium serta
80% phosphor dalam tubuh yang umumnya terdapat di dalam tulang (Zoborsky,
1969).
Tulang merupakan bentuk kerangka yang berfungsi sebagai pelindung
jaringan lunak dan organ-organ vital serta sebagai pengungkit aktivitas otot. Tulang
mempunyai arti penting dalam pertumbuhan ternak, karena perkembangan tulang
akan menentukan ukuran dan bersama otot maupun lemak menentukan konformasi
tubuh. Tulang dapat mencerminkan produksi daging suatu ternak dan diharapkan
mempunyai proporsi yang sekecil mungkin (Berg dan Butterfield, 1976).
Eviaty (1982) bahwa jaringan tulang dari semua potongan karkas mengalami
pertumbuhan relative dini dan persentase bobot jaringa tulang akan berkurang
dengan bertambahnya bobot masing-masing potongan karkas. Persentase bobot
tulang karkas akan berkurang dengan meningkatnya bobot tubuh kosong maupun
bobot karkas.
8
Lemak
Perletakan dan distribusi lemak mempunyai arti ekonomi yang penting dalam
produksi daging. Lemak menambah bobot daging karkas dan penyebarannya turut
menentukan mutu daging. Depot lemak merupakan komponen karkas yang masak
lambat. Persentase depot lemak akan meningkat seiring dengan bertambahnya bobot
hidup. Depot lemak merupakan proses fisiologis ternak, dengan fungsinya yaitu
sebagai cadangan untuk menjaga panas homeosasis tubuh (De Blass et al.,1977).
Distribusi lemak sangat mempengaruhi proporsi jaringan otot karkas, sebab
proporsi daging dan tulang akan berkurang sedangkan komponen lemak bertambah
dengan meningkatnya bobot karkas (Seebeck dan Tulloh, 1968). Pertumbuhan
lemak pada kelinci berlangsung bila berumur lebih dari dua bulan yaitu pada bobot
sekitar 1,5–2,0 kg, tetapi lemak yang dikandungnya tetap lebih kecil bila
dibandingkan ternak lainnya. Perletakan lemak pada tubuh kelinci terjadi di sekitar
rusuk, sepanjang tulang belakang, daerah paha, sekitar leher, ginjal dan jantung
(Bogart, 1981).
Sifat Fisik Daging
Daya Mengikat Air (DMA) Daging
Daya mengikat air (DMA) oleh protein daging atau water-holding capacity
atau water binding capacity (WHC dan WBC) adalah kemampuan daging untuk
mengikat airnya atau air yang ditambahkan selama ada pengaruh kekuatan dari luar,
misalnya pemotongan daging, pemanasan, penggilingan dan tekanan (Soeparno,
1992). Kapasitas mengikat air sangat mempengaruhi penampilan daging sebelum
dimasak,sifat-sifatnya selama dimasak dan juiceness-nya pada saat dikunyah
(Lawrie, 2003).
Daya mengikat air (DMA) dipengaruhi oleh pH. Selain itu, daya mengikat
air daging juga dipengaruhi oleh faktor yang mengakibatkan perbedaan daya
mengikat air di antara otot, misalnya species, umur dan fungsi otot serta pakan,
transportasi, temperature, kelembaban, penyimpanan dan preservasi, jenis kelamin,
kesehatan, perlakuan sebelum pemotongan dan lemak intramuskuler. Kelembaban
daging dipengaruhi oleh daya mengikat air, kandungan air dan kondisi perlemakan
pada daging. Daging yang tidak memiliki lean atau lemak akan mengalami
9
kelembaban yang lebih tinggi apabila dibandingkan dengan daging yang berlemak
(Soeparno, 1992).
Air yang terikat di dalam otot dapat dibagi menjadi tiga kompartemen air,
yaitu air yang terikat secara kimiawi oleh protein otot sebesar 4%-5% sebagai lapisan
monomolekuler pertama; air terikat agak lemah sebagai lapisan kedua dari molekul
air terhadap grup hidrofilik, sebesar 4% dan lapisan kedua ini akan terikat oleh
protein bila tekanan uap air meningkat. Lapisan ketiga adalah molekul-molekul air
bebas diantara molekul protein, berjumlah kira-kira 10%. Jumlah air terikat (lapisan
pertama dan kedua) adalah bebas dari perubahan molekul yang disebabkan oleh
denaturasi protein daging, sedangkan lapisan ketiga akan menurun apabila protein
daging mengalami denaturasi (Soeparno, 1992).
Periode pembentukan asam laktat yang menyebabkan penurunan pH otot
postmortem, menurunkan DMA daging dan banyak air yang berasosiasi dengan
protein otot akan bebas meninggalkan serabut otot. Pada titik isoelktrik (5,0-5,1)
protein myofibril, filament myosin dan filament aktin akan saling mendekat sehingga
ruang diantara filament-filamen ini akan menjadi lebih kecil. Pemecahan dan
habisnya ATP (adipose Triphospat) serta pembentukan ikatan dianyara filament pada
saat rigormortis menyebabkan penurunan daya mengikat air. Dua pertiga dari
penurunan DMA otot sapi adalah karena pembenukan aktamiosin dan menjadi
habisnya ATP pada saat rigor dan sepertiga lainnya disebabkan oleh penurunan pH
(Soeparno, 1992).
Keempukan Daging
Teksur dan keempukan mempunyai tingkatan utama menurut konsumen dan
rupanya dicari walaupun mengorbankan flavor dan warna (Lawrie, 2003).
Keempukan daging banyak ditentukan sitidaknya oleh tiga kompenen daging, yaitu
struktur miofibrilar dan status kontraksinya, kandungan jaringan ikat dan jaringan
silangnya, daya ikat air oleh protein daging serta juiceness daging (Soeparno, 1992).
Kesan secara keseluruhan keempukan daging meliputi tekstur dan melibatkan tiga
aspek. Pertama, mudah tidaknya gigi berpenetrasi awal kedalam daging. Kedua,
mudah tidaknya daging tersebut dipecah menjadi bagian-bagian yang lebih kecil.
Ketiga, jumlah residu tertinggal setelah dikunyah (Lawrie, 2003).
10
Penyebab utama kealotan daging adalah pemendekan otot postmortem
(Lawrie,2003). Jadi, pemendekan otot ini dapat dicegah dengan cara penggantungan
karkas pre-rigor pada pelvic atau dengan cara pelayuan karkas, misalnya pada
temperatur 10-20 ˚C (Bouton et al.,1978). Aberle et al. (2001) menyatakan bahwa
pengaturan ransum sebelum ternak dipotong mempengaruhi secara langsung variasi
sifat urat daging setelah pemotongan dan ternak-ternak yang digemukkan di dalam
kandang akan menghasilkan daging yang lebih empuk dibandingkan dengan ternak
yang digembalakan.
Bouton et al.(1978) menyatakan bahwa umur dalam kondisi tertentu tidak
mempengaruhi keempukan daging yang dihasilkan. Ternak yang lebih tua namun
mendapatkan ransum dengan nutrisi dan penanganan yang baik dapat menghasilkan
daging yang lebih empuk dibandingkan dengan daging yang dihasilkan dari ternak
muda namun mendapatkan nutrisi ransum dan penanganan yang kurang baik. Otot
dapat tumbuh dan berkembang dengan baik jika mendapatkan nutrisi dan
penanganan yang baik. Otot yang baik mempunyai jumlah kolagen per satuan luas
otot yang lebih kecil dibandingkan dengan otot dari ternak yang mendapat nutrisi
dan penanganan yang kurang baik, dengan demikian daging yang dihasilkan akan
lebih empuk.
Susut Masak Daging
Susut Masak Daging ialah perbedaan antara bobot daging sebelum dan
sesudah dimasak dan dinyatakan dalam persentase. Susut masak merupakan fungsi
dari temperature dan lama dari pemasakan. Susut masakdapat dipengaruhi oleh pH,
panjang sarkomer serabut otot, panjang potongan serabut otot, status kontraksi
myofibril, ukuran dan berat sampel daging serta penampang lintang daging. Susut
masak dapat meningkat dengan panjang serabut otot yang lebih pendek. Pemasakan
yang relative lama akan menurunkan pengaruh panjang serabut otot terhadap susut
masak.
Susut masak menurun secara linier dengan bertambahnya umur ternak.
Perbedaan bangsa ternak juga dapat menyebabkan perbedaan susut masak. Jenis
kelamin mempunyai pengaruh yang kecil terhadap susut masak pada umur ternak
yang sama. Bobot potong mempengaruhi susut masak terutama bila terdapat
11
perbedaan deposisi lemak intramuskuler. Konsumsi pakan dapat juga mempengaruhi
besarnya susut masak (Soeparno, 1992)
Nilai pH Daging
Perubahan pH sesudah ternak mati pada dasarnya ditentukan oleh kandungan
asam laktat yang tertimbun dalam otot, selanjutnya oleh kandungan glikogen dan
penanganan sebelum penyembelihan (Buckle et al., 1987). Otot yang mengalami
penurunan pH sangat cepat akan menjadi pucat, daya ikat protein daging terhadap
cairannya menjadi rendah dan permukaannya tampak sangat basah. Disisi lain, otot
yang mempunyai pH tinggi selama proses konversi otot menjadi daging dapat
menjadi sangat gelap warnanya dan sangat kering di permukaan potongan yang
tampak (Aberle et al., 2001).
Penurunan pH otot postmortem banyak ditentukan oleh laju glikolisis
postmortem serta cadangan glikogen otot dan pH daging ultimat, normalnya adalah
5,4 sampai 5,8. Stress sebelum pemotongan, pemberian suntikan hormon atau obat-
obatan tertentu, species, individu ternak, macam otot stimulasi listrik dan aktivitas
enzim yang mempengaruhi glikolisis adalah faktor-faktor yang dapat menghasilkan
variasi pH daging. Penurunan pH karkas postmortem mempunyai hubungan yang
erat dengan temperatur lingkungan (penyimpanan). Temperatur tinggi akan
meningkatkan laju penurunan pH, sedangkan temperatur rendah menghambat laju
penurunan pH. Pengaruh temperatur terhadap perubahan pH postmortem ini adalah
sebagai akibat pengaruh langsung dari temperatur terhadap laju glikolisis postmortem
(Soeparno, 1992).
Peningkatan pH akan menyebabkan meningkatnya daya mengikat air daging
dan lapisan permukaan daging akan semakin kering, sehingga kualitas daging akan
semakin menurun. Ternak yang mengalami cukup masa istirahat sesaat sebelum
dipotong memiliki cadangan glikogen dalam otot yang cukup tinggi (Lawrie, 2003).
Dikemukakan juga bahwa glikogen yang tinggi dalam otot akan diubah melalui
proses glikolisis manjadi asam laktat. Tingginya asam laktat yang terbentuk akan
membuat pH daging menjadi rendah.