BAB II Tinjauan Pustaka

9
TINJAUAN PUSTAKA Kelinci Kelinci merupakan hewan yang mempunyai potensi sebagai penghasil daging yang baik. Hewan ini merupakan herbivore non ruminansia yang mempunyai system lambung sederhana (tunggal) dengan perkembangan sekum seperti alat pencernaan ruminansia, sehingga hewan ini dapat disebut ruminansia semu (pseudoruminant). Damron, (2003) mengklasifikasikan kelinci termasuk dalam Kingdom Animalia (hewan), Phylum Chordata (mempunyai notochord), Subphylum Vertebrata (bertulang belakang), Class Mammalia (memiliki kelenjar air susu), Ordo Lagomorpha (memiliki 2 pasang gigi seri di rahang atas), Family Leporidae (rumus gigi 8 pasang di atas dan 6 pasang di bawah), GenusOryctolagus (morfologi yang sama) dan Speciescuniculus forma domestica (nama spesies) Hewan ini dapat mencerna serat kasar, terutama selulosa, dengan bantuan bakteri yang hidup dalam sekumnya (Farrrel dan Rahardjo, 1984). Kelinci banyak digunakan sebagai hewan peliharaan, penghasil kulit bulu (fur) dan penghasil daging (fryer). Kelinci mampu mengubah hijaun berprotein rendah, yang berasal dari bahan makanan yang tidak dimanfaatkan oleh manusia sebaggai bahan makanan, menjadi protein hewani yang bernilai tinggi. Hewan ini mengembalikan 20% protein yang dikonsumsinya menjadi daging (Lebas et al., 1986). Farrel dan Rahardjo (1984) menyatakan bahwa secara teori seekor induk kelinci dengan bobot tiga hingga empat kilogram, dapat menghasilkan 80 kg karkas per tahun. Kelinci Lokal Bangsa kelinci lokal di Indonesia merupakan persilangan dari berbagai jenis kelinci yang tidak terdata, tetapi sebagian besar berasal dari persilangan jenis New Zealand White. Kelinci lokal yang berada di Indonesia mempunyai tubuh yang lebih kecil dari kelinci impor. Kelinci-kelinci lokal ini memiliki laju pertumbuhan yang lambat, sehingga sering dilakukan persilangan bangsa kelinci lokal ini dengan bangsa lain untuk mengembangkan kelinci yang tahan penyakit dan mempunyai toleransi terhadap panas serta berbadan besar (Farrel dan Rahardjo, 1984). Herman (1989) menyatakan bahwa kelinci lokal lebih toleran terhadap panas (suhu tinggi) dibandingkan kelinci impor. Hal ini disebabkan kelinci lokal telah

Transcript of BAB II Tinjauan Pustaka

Page 1: BAB II Tinjauan Pustaka

3

TINJAUAN PUSTAKA

Kelinci

Kelinci merupakan hewan yang mempunyai potensi sebagai penghasil daging

yang baik. Hewan ini merupakan herbivore non ruminansia yang mempunyai system

lambung sederhana (tunggal) dengan perkembangan sekum seperti alat pencernaan

ruminansia, sehingga hewan ini dapat disebut ruminansia semu (pseudoruminant).

Damron, (2003) mengklasifikasikan kelinci termasuk dalam Kingdom

Animalia (hewan), Phylum Chordata (mempunyai notochord), Subphylum

Vertebrata (bertulang belakang), Class Mammalia (memiliki kelenjar air susu), Ordo

Lagomorpha (memiliki 2 pasang gigi seri di rahang atas), Family Leporidae (rumus

gigi 8 pasang di atas dan 6 pasang di bawah), GenusOryctolagus (morfologi yang

sama) dan Speciescuniculus forma domestica (nama spesies)

Hewan ini dapat mencerna serat kasar, terutama selulosa, dengan bantuan

bakteri yang hidup dalam sekumnya (Farrrel dan Rahardjo, 1984). Kelinci banyak

digunakan sebagai hewan peliharaan, penghasil kulit bulu (fur) dan penghasil daging

(fryer). Kelinci mampu mengubah hijaun berprotein rendah, yang berasal dari

bahan makanan yang tidak dimanfaatkan oleh manusia sebaggai bahan makanan,

menjadi protein hewani yang bernilai tinggi. Hewan ini mengembalikan 20% protein

yang dikonsumsinya menjadi daging (Lebas et al., 1986). Farrel dan Rahardjo

(1984) menyatakan bahwa secara teori seekor induk kelinci dengan bobot tiga hingga

empat kilogram, dapat menghasilkan 80 kg karkas per tahun.

Kelinci Lokal

Bangsa kelinci lokal di Indonesia merupakan persilangan dari berbagai jenis

kelinci yang tidak terdata, tetapi sebagian besar berasal dari persilangan jenis New

Zealand White. Kelinci lokal yang berada di Indonesia mempunyai tubuh yang lebih

kecil dari kelinci impor. Kelinci-kelinci lokal ini memiliki laju pertumbuhan yang

lambat, sehingga sering dilakukan persilangan bangsa kelinci lokal ini dengan bangsa

lain untuk mengembangkan kelinci yang tahan penyakit dan mempunyai toleransi

terhadap panas serta berbadan besar (Farrel dan Rahardjo, 1984).

Herman (1989) menyatakan bahwa kelinci lokal lebih toleran terhadap panas

(suhu tinggi) dibandingkan kelinci impor. Hal ini disebabkan kelinci lokal telah

Page 2: BAB II Tinjauan Pustaka

4

beradaptasi di daerah tropis sehingga lebih tahan terhadap lingkungan panas

dibandingkan kelinci impor yang berasal dari daerah iklim sedang. Kelinci lokal

diternakkan dengan tujuan sebagai penghasil daging. Daging yang dihasilkan juga

mempunyai kualitas yang cukup baik.

Pakan Kelinci

Kelinci termasuk jenis ternak pseudo-ruminant, yaitu herbivora yang tidak

dapat mencerna serat-serat kasar secara baik. Kelinci memfermentasi pakan di

caecum, yang besarnya 50% dari seluruh kapasitas saluran pencernaannya.

Walaupun memiliki caecum yang cukup besar, kelinci ternyata tidak mampu

mencerna bahan-bahan organik dan serat kasar dari hijauan sebanyak yang dapat

dicerna oleh ternak ruminansia murni. De Blass dan Wiseman (1998) menyatakan

jumlah pemberian ransum kelinci adalah 8% dari bobot badan kelinci. Kelinci

kurang efisien dalam mencerna serat kasar hijauan, karena gerak laju pakan yang

cepat pada caecum,sehingga tidak mengalami penyerapan nutrien yang sempurna

dan akan terus menuju anus dan keluar dalam bentuk lunak. Kotoran yang lunak ini

akan dimakan dan dimanfaatkan kembali (coprophagy).

Pakan yang dikonsumsi oleh ternak digunakan untuk memenuhi kebutuhan

hidup pokok, yaitu menunjang proses dalam tubuh yang harus dilaksanakan

walaupun tidak ada proses produksi ataupun pembentukan jaringan baru. Apabila

jumlah pakan yang dikonsumsi melebihi kebutuhan tersebut di atas maka kelebihan

nutrien yang ada digunakan untuk keperluan pertumbuhan, penggemukan atau

keperluan produksi lainnya (Tillmanet al., 1991).

Pemberian pakan pada kelinci diatur sebaik mungkin dengan tidak melupakan

sifat alami kelinci sebagai binatang malam. Church dan Pond (1979) menyatakan

bahwa palatabilitas merupakan faktor penting yang menentukan tingkat konsumsi,

yang dipengaruhi oleh rasa, bau, dan tekstur makanan. Palatabilitas tiap-tiap bahan

pakan bervariasi dan kelinci tidak akan menemukan pakan yang palatable ketika

pertama kali diberi satu jenis bahan pakan dan bahan pakan yang dicampur akan

lebih palatable daripada satu jenis bahan saja (Sandford dan Woodgates, 1979).

Page 3: BAB II Tinjauan Pustaka

5

Konsentrat

Konsentrat merupakan bahan pakan ternak yang mengandung energi relatif

tinggi, serat kasar rendah, bahan ekstrak tanpa nitrogen (BETN) tinggi dan mudah

dicerna oleh ternak (Tillman etal., 1991). Konsentrat dalam ransum kelinci

berfungsi untuk meningkatkan nilai nutrien agar sesuai dengan kebutuhan pokok

hidup kelinci dan disesuaikan dengan tujuan produksi yang diharapkan serta menjaga

daya tahan tubuh terhadap lingkungan (Templeton dan Kellog, 1961). Konsentrat

terdiri dari biji-bijian dan limbah hasil proses industri bahan pangan seperti jagung

giling, tepung kedelai, menir, dedak, bekatul, bungkil kelapa, tetes dan umbi. Harris

et al. (1983) menyatakan bahwa kelinci lebih menyukai ransum dalam bentuk pelet

daripada dalam bentuk tepung atau butiran.Pemberian pakan bentuk pelet dapat

meningkatkan performa dan konversi pakan ternak bila dibandingkan dengan pakan

bentuk mash (Behnke, 2001).

Limbah Tauge

Limbah tauge adalah sisa dari produksi tauge yang terdiri dari kulit kacang

hijau dan pecahan-pecahan tauge hasil pengayakan untuk dikonsumsi. Limbah tauge

biasanya dibuang begitu saja di pasar atau oleh para pedagang tauge, sehingga

berpeluang untuk mencemari lingkungan. Potensi limbah tauge dalam sehari sangat

banyak dilihat dari produksi tauge yang tidak mengenal musim terutama untuk petani

tauge di daerah Bogor. Hasil survei Rahayu et al. (2010) menginformasikan bahwa

total produksi tauge di daerah Bogor sekitar 6,5 ton/hari dan berpeluang

menghasilkan limbah tauge sebesar 1,5 ton/hari. Limbah tauge juga memiliki nilai

nutrisi yang cukup baik, yaitu kandungan air 63,35%, abu 7,35%, lemak 1,17%,

protein 13,62%, serat kasar 49,44% dan kandungan TDN 64,65%.

Karkas dan Komposisi Karkas Kelinci

Karkas adalah bagian tubuh ternak tanpa kepala, kaki, ekor, darah dan organ

dalam tubuh (jeroan) (Herman, 1989 ; Soeparno, 1992). Lebas et al. (1986)

menyatakan bahwa di inggris dan kanada, pengertian karkas kelinci sama dengan

pengertian karkas sapi. Karkas terdiri dari tiga jaringan utama yaitu tulang, daging,

dan lemak (Soeparno, 1992). Tulang tumbuh paling awal membentuk kerangka,

kemudian disusul oleh pertumbuhan urat yang membentuk daging yang menyelimuti

Page 4: BAB II Tinjauan Pustaka

6

kerangkan dan lemak terakhir pada saat mendekati kemasakan tubuh (Mc Nitt dan

Lukefahr, 1996). Karkas yang ideal harus mengandung sejumlah maksimal otot,

kandungan lemak yang optimal serta tulang yang minimum (Lovett, 1986).

Herman (1989) meyatakan bahwa kelinci yang dipelihara di daerah tropis

mampu menghasilkan karkas sebesar 47,96% dari bobot hidup 1 – 2.1 kg. Bobot

tulang karkas kelinci sekitar 15% dan 82% – 85% dari karkasnya dapat dikonsumsi.

Mutu produksi daging dipengaruhi oleh umur (Soeparno, 1992). Daging kelinci

muda, berwarna putih, seratnya halus dan rasanya lebih enak dari daging ayam.

Kelinci dewasa, dagingnya padat, kasar, berwarna merah tua dan kurang empuk

(Herman, 1989). Soeparno (1992) menyatakan kualitas karkas dan daging

dipengaruhi oleh faktor sebelum dan sesudah pemotongan. Faktor yang menentukan

adalah bobot karkas, jumlah daging yang dihasilkan dan kualitas daging dari karkas

yang bersangkutan.

Pemotongan bagian karkas kelinci berdasarkan pada irisan komersial. Irisan

komersial karkas kelinci terdiri atas empat potongan irisan. Irisan tersebut adalah

potongan irisan paha depan (foreleg), potongan irisan dada (rack), potongan irisan

piggang (loin), dan potongan irisan paha belakang (hindleg) (De Blass et al., 1977 ).

Herman (1989) menyatakan bahwa hasil pengirisan menunjukkan proporsi yang

konsisten dengan koefisien keragaman yang rendah. Proporsi irisan terhadap bobot

tubuh secara terinci yaitu irisan kaki belakang 40%, pinggang 22,10%, dada

11,68%, dan kaki depan 29%.

Persentase karkas atau bagian tubuh lainnya terhadap bobot tubuh sangat

ditentukan oleh bobot tubuh dan kondisinya, seperti makanan dan pemuasaan

sebelum pemotongan (Cheeke et al., 1987 ; Herman, 1989). Bobot potong yang

meningkat akan meningkatkan persentase bobot tubuh kosong dan karkas (Herman,

1989). Lukefahr et al.(1982) menyatakan bahwa jenis kelamin tidak mempengaruhi

sifat-sifat karkas. Muryanto dan Prawirodigdo (1993) menyatakan bahwa semakin

tinggi bobot potong, maka semakin tinggi persentase bobot karkasnya. Hal ini

disebabkan proporsi bagian-bagian tubuh yang menghasilkan daging akan bertambah

selaras dengan ukuran bobot tubuh.

Page 5: BAB II Tinjauan Pustaka

7

Otot

Otot merupakan komponen utama karkas sebagai penentu kualitas yang

memiliki nilai ekonomi yang tinggi. Otot mengandung 72% -73% air, 18% protein,

1%-20% lemak, 1% abu dan 1% karbohidrat yang merupakan sistem koloida

(Zoborisky, 1969).

Basuki et al. (1981) menyatakan bahwa kelinci lokal mempunyai persentase

otot sebesar 35,2 ± 5,25% untuk kelinci betina berbobot badan 0,55-3,3 Kg dan

untuk kelinci jantan dengan bobot badan 0,6-3,3 kg. Bobot badan kelinci yang

diharapkan pada peternakan komersial adalah 1,8-2,7 kg dengan produksi daging

karkas 0,9-1,4 kg yang persentase karkasnya sebesar 55% dan rasio otot dan tulang

adalah 5:1.

Persentase otot akan meningkat dengan meningkatnya bobot potong kaki

belakang (hindleg) dan punggung (loin), sedangkan otot pada bagian kaki depan

(foreleg) konstan (Eviaty, 1982). Djoenaedi (1972) menyatakan bahwa pada rataan

bobot hidup sebesar 990 gr diperoleh rataan otot sebesar 36,7%.

Tulang

Tulang merupakan jaringan yang pasif atau inert. Perbedaan tulang dengan

dengan jaringan yang lainnya adalah tulang merupakan jaringan padat yang keras

dan mengandung 45% air, 25% abu, 20% protein, 10% lemak dan 99% kalsium serta

80% phosphor dalam tubuh yang umumnya terdapat di dalam tulang (Zoborsky,

1969).

Tulang merupakan bentuk kerangka yang berfungsi sebagai pelindung

jaringan lunak dan organ-organ vital serta sebagai pengungkit aktivitas otot. Tulang

mempunyai arti penting dalam pertumbuhan ternak, karena perkembangan tulang

akan menentukan ukuran dan bersama otot maupun lemak menentukan konformasi

tubuh. Tulang dapat mencerminkan produksi daging suatu ternak dan diharapkan

mempunyai proporsi yang sekecil mungkin (Berg dan Butterfield, 1976).

Eviaty (1982) bahwa jaringan tulang dari semua potongan karkas mengalami

pertumbuhan relative dini dan persentase bobot jaringa tulang akan berkurang

dengan bertambahnya bobot masing-masing potongan karkas. Persentase bobot

tulang karkas akan berkurang dengan meningkatnya bobot tubuh kosong maupun

bobot karkas.

Page 6: BAB II Tinjauan Pustaka

8

Lemak

Perletakan dan distribusi lemak mempunyai arti ekonomi yang penting dalam

produksi daging. Lemak menambah bobot daging karkas dan penyebarannya turut

menentukan mutu daging. Depot lemak merupakan komponen karkas yang masak

lambat. Persentase depot lemak akan meningkat seiring dengan bertambahnya bobot

hidup. Depot lemak merupakan proses fisiologis ternak, dengan fungsinya yaitu

sebagai cadangan untuk menjaga panas homeosasis tubuh (De Blass et al.,1977).

Distribusi lemak sangat mempengaruhi proporsi jaringan otot karkas, sebab

proporsi daging dan tulang akan berkurang sedangkan komponen lemak bertambah

dengan meningkatnya bobot karkas (Seebeck dan Tulloh, 1968). Pertumbuhan

lemak pada kelinci berlangsung bila berumur lebih dari dua bulan yaitu pada bobot

sekitar 1,5–2,0 kg, tetapi lemak yang dikandungnya tetap lebih kecil bila

dibandingkan ternak lainnya. Perletakan lemak pada tubuh kelinci terjadi di sekitar

rusuk, sepanjang tulang belakang, daerah paha, sekitar leher, ginjal dan jantung

(Bogart, 1981).

Sifat Fisik Daging

Daya Mengikat Air (DMA) Daging

Daya mengikat air (DMA) oleh protein daging atau water-holding capacity

atau water binding capacity (WHC dan WBC) adalah kemampuan daging untuk

mengikat airnya atau air yang ditambahkan selama ada pengaruh kekuatan dari luar,

misalnya pemotongan daging, pemanasan, penggilingan dan tekanan (Soeparno,

1992). Kapasitas mengikat air sangat mempengaruhi penampilan daging sebelum

dimasak,sifat-sifatnya selama dimasak dan juiceness-nya pada saat dikunyah

(Lawrie, 2003).

Daya mengikat air (DMA) dipengaruhi oleh pH. Selain itu, daya mengikat

air daging juga dipengaruhi oleh faktor yang mengakibatkan perbedaan daya

mengikat air di antara otot, misalnya species, umur dan fungsi otot serta pakan,

transportasi, temperature, kelembaban, penyimpanan dan preservasi, jenis kelamin,

kesehatan, perlakuan sebelum pemotongan dan lemak intramuskuler. Kelembaban

daging dipengaruhi oleh daya mengikat air, kandungan air dan kondisi perlemakan

pada daging. Daging yang tidak memiliki lean atau lemak akan mengalami

Page 7: BAB II Tinjauan Pustaka

9

kelembaban yang lebih tinggi apabila dibandingkan dengan daging yang berlemak

(Soeparno, 1992).

Air yang terikat di dalam otot dapat dibagi menjadi tiga kompartemen air,

yaitu air yang terikat secara kimiawi oleh protein otot sebesar 4%-5% sebagai lapisan

monomolekuler pertama; air terikat agak lemah sebagai lapisan kedua dari molekul

air terhadap grup hidrofilik, sebesar 4% dan lapisan kedua ini akan terikat oleh

protein bila tekanan uap air meningkat. Lapisan ketiga adalah molekul-molekul air

bebas diantara molekul protein, berjumlah kira-kira 10%. Jumlah air terikat (lapisan

pertama dan kedua) adalah bebas dari perubahan molekul yang disebabkan oleh

denaturasi protein daging, sedangkan lapisan ketiga akan menurun apabila protein

daging mengalami denaturasi (Soeparno, 1992).

Periode pembentukan asam laktat yang menyebabkan penurunan pH otot

postmortem, menurunkan DMA daging dan banyak air yang berasosiasi dengan

protein otot akan bebas meninggalkan serabut otot. Pada titik isoelktrik (5,0-5,1)

protein myofibril, filament myosin dan filament aktin akan saling mendekat sehingga

ruang diantara filament-filamen ini akan menjadi lebih kecil. Pemecahan dan

habisnya ATP (adipose Triphospat) serta pembentukan ikatan dianyara filament pada

saat rigormortis menyebabkan penurunan daya mengikat air. Dua pertiga dari

penurunan DMA otot sapi adalah karena pembenukan aktamiosin dan menjadi

habisnya ATP pada saat rigor dan sepertiga lainnya disebabkan oleh penurunan pH

(Soeparno, 1992).

Keempukan Daging

Teksur dan keempukan mempunyai tingkatan utama menurut konsumen dan

rupanya dicari walaupun mengorbankan flavor dan warna (Lawrie, 2003).

Keempukan daging banyak ditentukan sitidaknya oleh tiga kompenen daging, yaitu

struktur miofibrilar dan status kontraksinya, kandungan jaringan ikat dan jaringan

silangnya, daya ikat air oleh protein daging serta juiceness daging (Soeparno, 1992).

Kesan secara keseluruhan keempukan daging meliputi tekstur dan melibatkan tiga

aspek. Pertama, mudah tidaknya gigi berpenetrasi awal kedalam daging. Kedua,

mudah tidaknya daging tersebut dipecah menjadi bagian-bagian yang lebih kecil.

Ketiga, jumlah residu tertinggal setelah dikunyah (Lawrie, 2003).

Page 8: BAB II Tinjauan Pustaka

10

Penyebab utama kealotan daging adalah pemendekan otot postmortem

(Lawrie,2003). Jadi, pemendekan otot ini dapat dicegah dengan cara penggantungan

karkas pre-rigor pada pelvic atau dengan cara pelayuan karkas, misalnya pada

temperatur 10-20 ˚C (Bouton et al.,1978). Aberle et al. (2001) menyatakan bahwa

pengaturan ransum sebelum ternak dipotong mempengaruhi secara langsung variasi

sifat urat daging setelah pemotongan dan ternak-ternak yang digemukkan di dalam

kandang akan menghasilkan daging yang lebih empuk dibandingkan dengan ternak

yang digembalakan.

Bouton et al.(1978) menyatakan bahwa umur dalam kondisi tertentu tidak

mempengaruhi keempukan daging yang dihasilkan. Ternak yang lebih tua namun

mendapatkan ransum dengan nutrisi dan penanganan yang baik dapat menghasilkan

daging yang lebih empuk dibandingkan dengan daging yang dihasilkan dari ternak

muda namun mendapatkan nutrisi ransum dan penanganan yang kurang baik. Otot

dapat tumbuh dan berkembang dengan baik jika mendapatkan nutrisi dan

penanganan yang baik. Otot yang baik mempunyai jumlah kolagen per satuan luas

otot yang lebih kecil dibandingkan dengan otot dari ternak yang mendapat nutrisi

dan penanganan yang kurang baik, dengan demikian daging yang dihasilkan akan

lebih empuk.

Susut Masak Daging

Susut Masak Daging ialah perbedaan antara bobot daging sebelum dan

sesudah dimasak dan dinyatakan dalam persentase. Susut masak merupakan fungsi

dari temperature dan lama dari pemasakan. Susut masakdapat dipengaruhi oleh pH,

panjang sarkomer serabut otot, panjang potongan serabut otot, status kontraksi

myofibril, ukuran dan berat sampel daging serta penampang lintang daging. Susut

masak dapat meningkat dengan panjang serabut otot yang lebih pendek. Pemasakan

yang relative lama akan menurunkan pengaruh panjang serabut otot terhadap susut

masak.

Susut masak menurun secara linier dengan bertambahnya umur ternak.

Perbedaan bangsa ternak juga dapat menyebabkan perbedaan susut masak. Jenis

kelamin mempunyai pengaruh yang kecil terhadap susut masak pada umur ternak

yang sama. Bobot potong mempengaruhi susut masak terutama bila terdapat

Page 9: BAB II Tinjauan Pustaka

11

perbedaan deposisi lemak intramuskuler. Konsumsi pakan dapat juga mempengaruhi

besarnya susut masak (Soeparno, 1992)

Nilai pH Daging

Perubahan pH sesudah ternak mati pada dasarnya ditentukan oleh kandungan

asam laktat yang tertimbun dalam otot, selanjutnya oleh kandungan glikogen dan

penanganan sebelum penyembelihan (Buckle et al., 1987). Otot yang mengalami

penurunan pH sangat cepat akan menjadi pucat, daya ikat protein daging terhadap

cairannya menjadi rendah dan permukaannya tampak sangat basah. Disisi lain, otot

yang mempunyai pH tinggi selama proses konversi otot menjadi daging dapat

menjadi sangat gelap warnanya dan sangat kering di permukaan potongan yang

tampak (Aberle et al., 2001).

Penurunan pH otot postmortem banyak ditentukan oleh laju glikolisis

postmortem serta cadangan glikogen otot dan pH daging ultimat, normalnya adalah

5,4 sampai 5,8. Stress sebelum pemotongan, pemberian suntikan hormon atau obat-

obatan tertentu, species, individu ternak, macam otot stimulasi listrik dan aktivitas

enzim yang mempengaruhi glikolisis adalah faktor-faktor yang dapat menghasilkan

variasi pH daging. Penurunan pH karkas postmortem mempunyai hubungan yang

erat dengan temperatur lingkungan (penyimpanan). Temperatur tinggi akan

meningkatkan laju penurunan pH, sedangkan temperatur rendah menghambat laju

penurunan pH. Pengaruh temperatur terhadap perubahan pH postmortem ini adalah

sebagai akibat pengaruh langsung dari temperatur terhadap laju glikolisis postmortem

(Soeparno, 1992).

Peningkatan pH akan menyebabkan meningkatnya daya mengikat air daging

dan lapisan permukaan daging akan semakin kering, sehingga kualitas daging akan

semakin menurun. Ternak yang mengalami cukup masa istirahat sesaat sebelum

dipotong memiliki cadangan glikogen dalam otot yang cukup tinggi (Lawrie, 2003).

Dikemukakan juga bahwa glikogen yang tinggi dalam otot akan diubah melalui

proses glikolisis manjadi asam laktat. Tingginya asam laktat yang terbentuk akan

membuat pH daging menjadi rendah.