Bab II. Tinjauan Pustaka

7
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Takokak (Solanum torvum Swartz.) Takokak termasuk tanaman kelas Dicotyledonae, famili Solanaceae, genus Solanum, dan spesies Solanum torvum Swartz. Beberapa wilayah Indonesia memiliki nama lain dari tanaman takokak, seperti terong pipit (Sumatera), terong rimbang (Melayu), takokak (Jawa Barat) dan terong cepoka, atau poka, cong belut atau cokowana (Jawa Tengah). Takokak berasal dari kepulauan Antilles yang penyebarannya sampai ke negara-negara tropika termasuk Indonesia. Tanaman ini tumbuh di daerah pulau Sumatera, Jawa, dataran rendah yang ketinggiannya sekitar 1-1.600 meter di atas permukaan laut (dpl), di tempat yang tidak terlalu berair, agak ternaungi dengan sinar matahari sedang dan tumbuh secara tersebar. Tanaman takokak merupakan tanaman perdu yang tumbuh tegak dan tinggi tanaman sekitar 3 m. Bentuk batang bulat, berkayu, bercabang, berduri jarang dan percabangannya simpodial dengan warna putih kotor. Daun takokak tunggal, berwarna hijau, tersebar, berbentuk bulat telur, bercangap, tepi rata, ujung meruncing dan panjangnya sekitar 27-30 cm dan lebar 20-24 cm, dengan bentuk pertulangan daunnya menyirip dan ibu tulang berduri. Ciri-ciri bunga takokak, antara lain majemuk, bentuk bintang, kelopak berbulu, bertajuk lima, runcing, panjang bunga kira-kira 5 mm, benang sari lima, tangkai panjang kira-kira 1 mm dan kepala sari panjangnya kira-kira 6 mm berbentuk jarum, berwarna kuning, tangkai putik kira-kira 1 cm yang berwana putih, dan kepala putik kehijauan (Sirait 2009). Buah takokak berbentuk buni, bulat, licin, dan bergaris tengah 12-15 mm, ketika masih muda buah berwarna hijau (Gambar 1) dan setelah tua warnanya menjadi jingga. Gambar 1. Buah takokak (Solanum torvum Swartz.) Takokak mengandung berbagai bahan kimia (Tabel 1). Kandungan kimia yang terdapat pada buah dan daun mengandung alkaloid steroid yaitu jenis solasodine 0.84%, sedangkan kandungan buah kuning mengandung solasonine 0.1%. Kemudian, buah mentahnya pun mengandung chlorogenin, sisologenenone, torvogenin, vitamin A, neo-chlorogenine, dan panicolugenine, serta akarnya mengandung jurubine (Sirait 2009). Buah takokak ini pun diketahui mengandung glukoalkaloid, solasonine, sterolin (sitosterol-D glucoside), protein, lemak, dan mineral (Yuanyuan et al. 2009). Farmakologi Cina menyebutkan bahwa buah takokak memiliki rasa pahit, pedas, sejuk dan agak beracun. Takokak pun mampu melancarkan sirkulasi darah, menghilangkan rasa sakit (analgetik) dan menghilangkan batuk (antitusif) (Rahmat 2009). Takokak memiliki aktivitas pembersih superoksida yang tinggi yakni di atas 70%. Kandungan kimia yang terdapat pada takokak mampu bertindak sebagai antioksidan dan dapat melindungi jaringan tubuh dari efek negatif radikal bebas. Kemudian, takokak berfungsi sebagai anti radang karena memiliki senyawa sterol carpesterol dan

Transcript of Bab II. Tinjauan Pustaka

Page 1: Bab II. Tinjauan Pustaka

3

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Takokak (Solanum torvum Swartz.)

Takokak termasuk tanaman kelas Dicotyledonae, famili Solanaceae, genus Solanum, dan spesies Solanum torvum Swartz. Beberapa wilayah Indonesia memiliki nama lain dari tanaman takokak, seperti terong pipit (Sumatera), terong rimbang (Melayu), takokak (Jawa Barat) dan terong cepoka, atau poka, cong belut atau cokowana (Jawa Tengah).

Takokak berasal dari kepulauan Antilles yang penyebarannya sampai ke negara-negara tropika termasuk Indonesia. Tanaman ini tumbuh di daerah pulau Sumatera, Jawa, dataran rendah yang ketinggiannya sekitar 1-1.600 meter di atas permukaan laut (dpl), di tempat yang tidak terlalu berair, agak ternaungi dengan sinar matahari sedang dan tumbuh secara tersebar. Tanaman takokak merupakan tanaman perdu yang tumbuh tegak dan tinggi tanaman sekitar 3 m. Bentuk batang bulat, berkayu, bercabang, berduri jarang dan percabangannya simpodial dengan warna putih kotor. Daun takokak tunggal, berwarna hijau, tersebar, berbentuk bulat telur, bercangap, tepi rata, ujung meruncing dan panjangnya sekitar 27-30 cm dan lebar 20-24 cm, dengan bentuk pertulangan daunnya menyirip dan ibu tulang berduri.

Ciri-ciri bunga takokak, antara lain majemuk, bentuk bintang, kelopak berbulu, bertajuk lima, runcing, panjang bunga kira-kira 5 mm, benang sari lima, tangkai panjang kira-kira 1 mm dan kepala sari panjangnya kira-kira 6 mm berbentuk jarum, berwarna kuning, tangkai putik kira-kira 1 cm yang berwana putih, dan kepala putik kehijauan (Sirait 2009). Buah takokak berbentuk buni, bulat, licin, dan bergaris tengah 12-15 mm, ketika masih muda buah berwarna hijau (Gambar 1) dan setelah tua warnanya menjadi jingga.

Gambar 1. Buah takokak (Solanum torvum Swartz.)

Takokak mengandung berbagai bahan kimia (Tabel 1). Kandungan kimia yang terdapat pada

buah dan daun mengandung alkaloid steroid yaitu jenis solasodine 0.84%, sedangkan kandungan buah kuning mengandung solasonine 0.1%. Kemudian, buah mentahnya pun mengandung chlorogenin, sisologenenone, torvogenin, vitamin A, neo-chlorogenine, dan panicolugenine, serta akarnya mengandung jurubine (Sirait 2009). Buah takokak ini pun diketahui mengandung glukoalkaloid, solasonine, sterolin (sitosterol-D glucoside), protein, lemak, dan mineral (Yuanyuan et al. 2009).

Farmakologi Cina menyebutkan bahwa buah takokak memiliki rasa pahit, pedas, sejuk dan agak beracun. Takokak pun mampu melancarkan sirkulasi darah, menghilangkan rasa sakit (analgetik) dan menghilangkan batuk (antitusif) (Rahmat 2009). Takokak memiliki aktivitas pembersih superoksida yang tinggi yakni di atas 70%. Kandungan kimia yang terdapat pada takokak mampu bertindak sebagai antioksidan dan dapat melindungi jaringan tubuh dari efek negatif radikal bebas. Kemudian, takokak berfungsi sebagai anti radang karena memiliki senyawa sterol carpesterol dan

Page 2: Bab II. Tinjauan Pustaka

4

juga sebagai alat kontrasepsi karena buah dan daunnya mengandung solasodine 0.84%, yang merupakan bahan baku hormon seks untuk kontrasepsi (Sirait 2009).

Tabel 1. Komposisi kimia buah takokak dalam tiap 100 g

Sumber : Sirait (2009) B. Komponen Bioaktif

Komponen-komponen bioaktif pada suatu bahan, khususnya tanaman sayuran indigenous dapat

berasal dari senyawa fenolik dan senyawa non fenolik. Beberapa komponen bioaktif yang termasuk senyawa fenolik adalah fenol, flavonoid termasuk antosianin dan tanin. Sementara itu, beberapa komponen bioaktif yang termasuk senyawa non fenolik adalah asam askorbat (vitamin C), alkaloid, terpenoid/steroid, dan saponin.

1. Senyawa Fenolik

Menurut Suradikusumah (1989), senyawa fenol mencakup sejumlah banyak senyawa yang

umumnya mempunyai sebuah cincin aromatik dengan satu atau lebih gugus hidroksil. Senyawa fenol cenderung untuk larut dalam air karena paling sering bergabung dengan gula glikosida. Selain itu, senyawa fenol dapat bergabung juga dengan protein, alkaloid, dan terpenoid yang terdapat dalam rongga sel. Struktur umum senyawa fenol seperti pada Gambar 2.

Gambar 2. Senyawa umum fenol

Komposisi Satuan Jumlah

Air g 89

Protein g 2

Lemak g 0.1

Karbohidrat g 8

Serat g 10

Kalsium mg 50

Fosfor mg 30

Ferum mg 2

Vitamin A I.V. 750

Vitamin B1 mg 0.08

Vitamin C mg 80

Page 3: Bab II. Tinjauan Pustaka

5

Senyawa fenol dalam bahan pangan dapat dikelompokkan menjadi tiga, antara lain fenol sederhana dan asam fenolat (p-kresol, 3-etil fenol, 3,4-dimetil fenol, hidroksiquinon, vanillin, asam galat), turunan asam hidroksisinamat (p-kumarat, kafeat, asam ferulat, dan asam klorogenat), dan flavonoid (katekin, proantosianin, antosianidin, flavon, flavonol, dan glikosida) (Ho 1992).

Flavonoid ditemukan pada tumbuhan tingkat tinggi, dimana senyawa ini yang menyebabkan tumbuhan berwarna merah, ungu, biru, dan kuning.Terdapat sepuluh golongan flavonoid yang telah diketahui, yaitu antosianin, leukoantosianidin, flavonol, flavan, glikoflavon, biflavonil, kalkon, auron, flavon, dan isoflavon (Suradikusumah 1989). Menurut Pratt (1992), flavonoid adalah senyawa alami hasil fotosintesis yang mengandung cincin aromatik yang dapat diganti gugus hidroksi atau alkoksinya. Senyawa ini terdapat pada semua bagian tumbuhan, seperti daun, buah, kayu, dan kulit kayu.

Biosintesis senyawa fenol dan flavonoid saling berhubungan, dimana biosintesis diawali oleh jalur sikimat untuk kemudian menghasilkan senyawa-senyawa yang berfungsi sebagai prekursor atau substrat senyawa lainnya. Rangkaian jalur sikimat akan menghasilkan penta-O-galloll-glukosa untuk selanjutnya akan menghasilkan senyawa-senyawa golongan tanin yang terhidrolisis, yaitu golongan gallotanin dan ellagitanin (Crozier et al. 2006, Dewick 2009). Selain itu, jalur sikimat ini pun nantinya akan menghasilkan salah satu senyawa, seperti p-koumaril-CoA yang bekerja sinergis dengan senyawa malonil Co-A menghasilkan senyawa turunan flavonoid lainnya, antara lain isoflavon, antosianin, proantosianidin (tanin terkondensasi), flavon, dan flavonol (Winkel BSJ 2006).

Antosanin berasal dari bahasa Yunani, yaitu “anthos” yang berarti bunga dan “kyanos” yang berarti biru gelap dan termasuk salah satu senyawa flavonoid. Antosoanin merupakan zat warna kemerahan yang mudah larut air dan banyak ditemukan di dunia tumbuhan. Pigmen antosianinlah yang menyebabkan bagian tumbuhan (daun, bunga, buah, dan sayur) berwarna merah, jingga, ungu, dan biru (Bridle dan Timberlake 1997, Elbe dan Schwartz 1996). Secara kimia, semua antosianin merupakan turunan dari kation flavilium (3,5,7,4’ tetrahidroksiflavilium) yang merupakan struktur dasar dari antosianidin (Bridle dan Timberlake 1997). Struktur dasar kation flavilium dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3. Struktur dasar kation flavilium

Secara kimia, semua antosianin merupakan turunan suatu struktur aromatik tunggal, yaitu

“cyanidin” (sianidin), dan semuanya terbentuk dari pigmen sianidin dengan penambahan atau pengurangan gugus hidroksil atau dengan metilasi atau glikosilasi, sehingga senyawa antosianin memiliki gugus polar. Perbedaan warna alami pigmen antosianin ini dipengaruhi oleh hidroksilasi dan metilasi, hidroksilasi akan meningkatkan warna biru, sedangkan metilasi meningkatkan warna merah (Kumalaningsih 2006). Terdapat enam antosianidin yang umumnya ditemukan, antara lain sianidin, pelargonidin, delfinidin, peonidin, petunidin, dan malvidin. Sianidin merupakan antosianidin yang jumlahnya paling banyak.

Page 4: Bab II. Tinjauan Pustaka

6

Menurut Markakis (1982), molekul antosianin disusun dari sebuah aglikon (antosianidin) yang teresterifikasi dengan satu atau lebih gula (glikon). Beberapa faktor utama yang menyebabkan keragaman adalah sifat gulanya (biasanya glukosa, dapat juga galaktosa, ramnosa, xilosa atau arabinosa), jumlah unit gula (mono, di, atau triglikosida), dan posisi gula (biasanya pada 3-hidroksil atau 3- dan 5-hidroksil) (Suradikusumah 1989). Sebagai glikosida, antosianin larut dalam air, tetapi setelah mengalami hidrolisis maka bentuk non glikosidanya (antosianidin) kurang larut dalam air (Wijaya et al. 2001). Jenis pigmen yang terdapat dalam bunga dan buah sebagian besar tidak berada dalam bentuk antosianidin, melainkan dalam bentuk glikosilasi, sehingga pigmen antosianin menjadi lebih stabil dan larut dalam air.

Faktor yang mempengaruhi kestabilan antosianin dalam bahan pangan adalah suhu, cahaya, pH, oksigen, asam askorbat, gula dan produk turunannya, logam, kondensasi, dan sulfur dioksida (Markakis 1982). Antosianin akan lebih stabil pada larutan yang bersifat asam daripada larutan yang bersifat netral atau basa (Jackman dan Smith 1996). Dalam larutan (medium) asam tampak berwarna merah dan ketika pH meningkat akan menjadi lebih berwarna biru.

Komponen senyawa fenol biasanya bersifat polar dan memiliki fungsi sebagai penangkap radikal bebas dan peredam terbentuknya oksigen singlet (Kumalaningsih 2006). Menurut Gordon (1990), senyawa fenol jika berdiri sendiri bersifat tidak aktif sebagai antioksidan. Aktivitas antioksidan senyawa fenol dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain agen pengkelat, pH lingkungan sekitar, kelarutan, ketersediaan senyawa fenol dalam suatu bahan, dan stabilitas senyawa fenol itu sendiri (Tang 1991).

Berbagai macam metode pengukuran aktivitas antioksidan telah banyak dilakukan untuk melihat dan membandingkan aktivitas antioksidan pada berbagai macam sumber antioksidan. Salah satu metode pengukuran aktivitas antioksidan yang dapat digunakan, yaitu metode DPPH. Metode DPPH merupakan metode yang murah, sederhana, dan cepat dalam mengukur aktivitas antioksidan suatu bahan pangan dengan melibatkan penggunaan radikal bebas 1,1-diphenyl-2-picrylhydrazyl (DPPH). Metode ini pun dapat digunakan untuk sampel padat atau cair dan tidak spesifik untuk komponen antioksidan tertentu, akan tetapi berlaku untuk aktivitas antioksidan seluruh sampel (Prakash et al. 2012).

DPPH merupakan senyawa radikal bebas yang bersifat stabil sehingga dapat bereaksi dengan atom hidrogen yang berasal dari suatu antioksidan membentuk DPPH tereduksi (Molyneux 2004). Prinsip metode DPPH adalah atom hidrogen dari suatu senyawa antioksidan akan membuat larutan DPPH berubah warna dari ungu menjadi tidak berwarna yang dapat diukur menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 517 nm akibat dari terbentuknya DPPH tereduksi (DPPH-H) (Gambar 4) (Sharma dan Bhat 2009). Semakin tinggi kemampuan suatu senyawa antioksidan dalam meredam radikal DPPH, maka warna yang dihasilkan akan semakin kuning dan mendekati jernih yang ditandai dengan semakin kecilnya nilai absorbansi yang terukur.

Gambar 4. Reaksi antara DPPH dan antioksidan (Prakash et al. 2012)

Page 5: Bab II. Tinjauan Pustaka

7

Aktivitas antioksidan dapat dinyatakan dengan persentase penghambatan (inhibisi) yang diperoleh dari nilai absorbansi blanko dikurangi dengan absorbansi sampel (Sandrasari 2008, Andarwulan et al. 2010). Selain itu, aktivitas antioksidan dapat dinyatakan dengan nilai AEAC (Ascorbic Acid Equivalen Antioxidant Capacity) (Prangdimurti et al. 2010). AEAC merupakan nilai kapasitas atau aktivitas antioksidan bahan dalam mereduksi radikal bebas DPPH yang setara dengan kemampuan radikal bebas asam askorbat atau vitamin C. 2. Senyawa Non Fenolik

a. Asam Askorbat (Vitamin C)

Sumber vitamin C sebagian besar berasal dari sayuran dan buah-buahan, terutama buah-buahan

segar. Karena itu vitamin C sering kali disebut fresh food vitamin. Buah yang dikonsumsi dalam kondisi segar mengandung asam askorbat (vitamin C) yang lebih tinggi dan kehilangan kapasitas antioksidan dalam buah lebih rendah dibandingkan buah yang telah mengalami pemanasan atau proses pengolahan (Kalt et al. 1999). Maka dari itu, vitamin C merupakan vitamin yang mudah larut air, dan mudah rusak oleh oksidasi, panas, sinar, enzim, alkali, oksidator, dan katalis tembaga dan besi. Oksidasi dapat dihambat dengan membiarkan vitamin C dalam kondisi asam atau pada suhu rendah (Winarno 1997).

Struktur kimia vitamin C terdiri dari rantai enam atom C dan kedudukannya tidak stabil (C6H8O6), karena mudah bereaksi dengan oksigen di udara (teroksidasi) secara reversibel. Bentuk asam askorbat yang ada di alam adalah L-asam askorbat. Asam L-askorbat dengan adanya enzim asam askorbat oksidase akan teroksidasi menjadi asam L-dehidroaskorbat. Asam ini secara kimia juga sangat labil dan mengalami perubahan lebih lanjut menjadi asam L-diketogulonat yang tidak lagi memiliki keaktifan sebagai asam askorbat. Suasana basa menyebabkan asam L-diketogulonat teroksidasi menjadi asam oksalat dan asam L-treonat (Safaryani et al. 2007). Reaksi metabolisme asam askorbat (vitamin C) dapat dilihat pada Gambar 5.

Vitamin C merupakan zat antioksidan yang tangguh, karena berfungsi menjaga kesehatan sel, meningkatkan penyerapan asupan zat besi, dan memperbaiki sistem kekebalan tubuh. Selain itu, fungsi vitamin C sebagai penjaga dan pemelihara kesehatan pembuluh-pembuluh kapiler, kesehatan gigi dan gusi, menghambat produksi nitrosamin yang merupakan zat pemicu kanker, dan membantu penyembuhan luka (Kumalaningsih 2006).

Gambar 5. Reaksi metabolisme asam askorbat (vitamin C)

Page 6: Bab II. Tinjauan Pustaka

8

b. Alkaloid

Alkaloid merupakan salah satu golongan senyawa organik yang utama. Alkaloid dapat ditemukan pada tumbuhan dan hewan. Namun dalam dunia tumbuhan, senyawa alkaloid merupakan golongan senyawa organik (metabolit sekunder) terbesar diantara senyawa lainnya baik secara jumlahnya maupun penyebarannya (Astuti et al. 1995). Alkaloid pada tumbuhan telah diketahui pada 40 suku dari tumbuhan berbunga. Umumnya, suku tumbuhan itu termasuk kelas dikotil dan hanya sedikit pada monokotil.

Alkaloid sering bersifat racun bagi manusia dan memiliki banyak kegiatan fisiologi yang menonjol, sehingga digunakan secara luas dalam bidang pengobatan (Harborne 1996). Berdasarkan strukturnya, jenis alkaloid sangatlah banyak dan beragam. Hanya saja sebagian besar alkaloid memiliki kerangka polisiklik dengan kandungan atom karbon, oksigen, nitrogen, hidrogen, dan substituen yang tidak begitu beragam. Umumnya, alkaloid tidak berwarna walaupun masih ada yang berwarna, bersifat basa sehingga jika ditambahkan asam akan membentuk garam, dan larut dalam pelarut organik. c. Terpenoid/Steroid

Terpenoid terdapat dalam senyawa tumbuhan, memiliki struktur siklik dan satu gugus fungsi

atau lebih (hidroksil, karbonil, dan lain-lain). Umumnya, terpenoid larut lemak dan berada di dalam sitoplasma sel tumbuhan. Penggolongan senyawa terpenoid, berdasarkan kemudahannya dalam menguap dibagi menjadi tiga golongan, yaitu : mudah menguap (monoterpen dan seskuiterpen sebagai minyak atsiri), sulit menguap (diterpenoid), dan tidak menguap (triterpenoid dan steroid) (Direja 2007).

Triterpenoid merupakan senyawa berkerangka karbon dari enam satuan isoprene dan secara biosintesis diturunkan dari hidrokarbon asiklik, yaitu skualena. Triterpenoid dibagi menjadi empat golongan senyawa, yaitu triterpena, steroid, saponin, dan glikosida jantung. Sterol adalah triterpena yang kerangka dasarnya sistem cincin siklopentana penhidrofenantrena.

d. Saponin

Saponin adalah senyawa glikosida triterpena dan sterol yang tersebar luas pada tumbuhan tingkat tinggi. Saponin merupakan senyawa aktif permukaan dan bersifat seperti sabun serta dapat dideteksi dengan kemampuannya membentuk busa yang mantap (tahan lama) ketika diekstraksi dan menghemolisis darah. Saponin memiliki sifat antimikroba, baik triterpen maupun steroidal (Naidu 2000). Saponin memiliki rasa pahit menusuk dan menyebabkan bersin serta iritasi pada selaput lendir.

C. Aktivitas Phenylalanine Ammonia Lyase (PAL)

Phenylalanine Ammonia Lyase (PAL) (E.C. 4.1.1.5) merupakan salah satu enzim yang

berperan dalam metabolisme sekunder pada tanaman. Enzim ini dapat ditemukan di semua tanaman hijau termasuk cryptogam tertinggi, Basidiomycetes, dan Streptomyces (Camm et al. 1973). Menurut Sadasivam dan Manickam (1996), PAL berperan dalam konversi substrat asam amino aromatik L-fenilalanin menjadi asam trans-sinamat. Senyawa aromatik asam amino fenilalanin terbentuk melalui jalur sikimat dengan menghasilkan shikimic acid yang dilanjutkan dengan pembentukan chorismic

Page 7: Bab II. Tinjauan Pustaka

9

acid. Chorismic acid merupakan prekursor terbentuknya senyawa aromatik asam amino fenilalanin, tirosin, dan triptofan. Pada proses pembentukan fenilalanin membutuhkan perubahan chorismic acid menjadi prephenic acid yang dikatalisis oleh chorismate mutase dan mengalami perubahan lanjut secara reversibel menjadi L-arogenic acid. Kemudian, L-arogenic acid berubah menjadi L-fenilalanin dengan dikatalisis oleh arogenate dehydratase (Dewick 2009).

PAL adalah enzim kunci di dalam sintesa berbagai senyawa fenolik (Higuchi 1990). Asam sinamat yang dihasilkan dari deaminasi fenilalanin akan dimetabolisme lebih lanjut menjadi asam kumarat, kafeat, ferulat, dan sinapat. Dengan kata lain, asam sinamat berfungsi sebagai prekursor untuk biosintesis senyawa, seperti senyawa koumarin, isoflavonoid, dan lignin. Senyawa tersebut penting bagi tanaman terhadap serangan hama dan penyakit. Hasil penelitian mengenai perubahan aktivitas PAL disertai dengan infeksi fungi, bakteri, dan virus pada tanaman telah dilaporkan. Selain itu, perubahan aktivitas PAL telah diketahui pada beberapa sistem tanaman yang distimulasi oleh sinar atau cahaya (Zucker 1972), seperti tanaman asaparagus.

Aktivitas PAL biasanya akan berkaitan dengan total antosianin dan komponen fenol sederhana. Aktivitas PAL suatu buah atau bahan pun akan lebih tinggi ketika sudah dalam keadaan matang daripada masih dalam keadaan mentah (Ju et al. 1995). Beberapa faktor yang mempengaruhi aktivitas PAL adalah cahaya atau sinar, keragaman buah (bahan), perlakuan stress pada tanaman, dan kematangan buah. Biosintesis senyawa-senyawa yang turut melibatkan enzim PAL dapat dilihat pada Gambar 6.

Gambar 6 . Biosintesis senyawa yang melibatkan enzim PAL (Dewick 2009)