BAB II Tinjauan Pustaka

21
TINJAUAN PUSTAKA Dalam bab ini akan dibahas tentang remaja dan resiliensi. Pada sub bab remaja akan dibahas tentang pengertian dan karakteristik remaja, rentang usia remaja, perubahan yang terjadi pada masa remaja dan permasalahan yang dihadapi remaja. Pada sub bab resiliensi akan dibahas tentang pengertian resiliensi, faktor-faktor yang mempengaruhi resiliensi, perkembangan resiliensi pada individu, penelitian tentang resiliensi dan pengukuran resiliensi. Remaja Pada sub bab remaja akan dibahas tentang pengertian dan karakteristik remaja serta rentang usia remaja. Dalam sub-sub bab perubahan yang terjadi pada masa remaja akan dibahas perubahan fisik, perubahan kognitif dan perubahan psikososial. Selanjutnya akan dibahas pula tentang permasalahan yang dihadapi remaja. Pengertian dan Karakteristik Remaja Remaja atau dalam bahasa Inggris disebut adolescence, berasal dari bahasa Latin adolescere yang artinya “tumbuh untuk mencapai kematangan”. Bangsa primitif memandang masa puber dan masa remaja tidak berbeda dengan periode lain dalam rentang kehidupan. Anak dianggap sudah dewasa apabila sudah mampu bereproduksi (Ali dan Asrori 2009). Istilah adolescence sesungguhnya memiliki arti yang luas, mencakup kematangan mental. emosional, sosial dan fisik. Pandangan ini didukung oleh Piaget, yang mengatakan bahwa secara psikologis, masa remaja adalah masa usia di mana terjadi integrasi individu ke dalam kelompok masyarakat dewasa yang mengandung banyak aspek afektif, lebih atau kurang dari usia pubertas (Hurlock 1993). Menurut Steinberg (1993) masa remaja merupakan suatu masa yang menyenangkan dalam rentang kehidupan manusia, mereka menjadi individu yang telah dapat membuat keputusan-keputusan yang baik bagi dirinya sendiri dipandang telah mampu untuk bekerja serta mempersiapkan perkawinan. Masa remaja merupakan masa yang sangat penting dalam perkembangan individu karena merupakan jembatan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa. Masa ini disebut sebagai masa peralihan karena individu yang berada pada masa ini akan meninggalkan sikap dan tingkah laku yang biasa ditampilkan pada masa kanak-kanak dan mulai belajar menyesuaikan diri dengan tata cara hidup orang dewasa (Ali dan Asrori 2009).

Transcript of BAB II Tinjauan Pustaka

Page 1: BAB II Tinjauan Pustaka

9

 

 

TINJAUAN PUSTAKA

Dalam bab ini akan dibahas tentang remaja dan resiliensi. Pada sub bab

remaja akan dibahas tentang pengertian dan karakteristik remaja, rentang usia

remaja, perubahan yang terjadi pada masa remaja dan permasalahan yang

dihadapi remaja. Pada sub bab resiliensi akan dibahas tentang pengertian

resiliensi, faktor-faktor yang mempengaruhi resiliensi, perkembangan resiliensi

pada individu, penelitian tentang resiliensi dan pengukuran resiliensi. Remaja

Pada sub bab remaja akan dibahas tentang pengertian dan karakteristik

remaja serta rentang usia remaja. Dalam sub-sub bab perubahan yang terjadi

pada masa remaja akan dibahas perubahan fisik, perubahan kognitif dan

perubahan psikososial. Selanjutnya akan dibahas pula tentang permasalahan

yang dihadapi remaja.

Pengertian dan Karakteristik Remaja Remaja atau dalam bahasa Inggris disebut adolescence, berasal dari

bahasa Latin adolescere yang artinya “tumbuh untuk mencapai kematangan”.

Bangsa primitif memandang masa puber dan masa remaja tidak berbeda dengan

periode lain dalam rentang kehidupan. Anak dianggap sudah dewasa apabila

sudah mampu bereproduksi (Ali dan Asrori 2009).

Istilah adolescence sesungguhnya memiliki arti yang luas, mencakup

kematangan mental. emosional, sosial dan fisik. Pandangan ini didukung oleh

Piaget, yang mengatakan bahwa secara psikologis, masa remaja adalah masa

usia di mana terjadi integrasi individu ke dalam kelompok masyarakat dewasa

yang mengandung banyak aspek afektif, lebih atau kurang dari usia pubertas

(Hurlock 1993). Menurut Steinberg (1993) masa remaja merupakan suatu masa

yang menyenangkan dalam rentang kehidupan manusia, mereka menjadi

individu yang telah dapat membuat keputusan-keputusan yang baik bagi dirinya

sendiri dipandang telah mampu untuk bekerja serta mempersiapkan perkawinan.

Masa remaja merupakan masa yang sangat penting dalam

perkembangan individu karena merupakan jembatan dari masa kanak-kanak ke

masa dewasa. Masa ini disebut sebagai masa peralihan karena individu yang

berada pada masa ini akan meninggalkan sikap dan tingkah laku yang biasa

ditampilkan pada masa kanak-kanak dan mulai belajar menyesuaikan diri dengan

tata cara hidup orang dewasa (Ali dan Asrori 2009).

Page 2: BAB II Tinjauan Pustaka

10

 

 

Remaja mendambakan untuk diperlakukan dan dihargai sebagai orang

dewasa. Hal tersebut dikemukakan oleh Erikson, yang diacu dalam Hurlock

(1993) yang menamakan proses tersebut sebagai proses pencarian diri sendiri.

Monks (1989) diacu dalam Ali dan Asrori (2009) juga mengungkapkan hal

senada yaitu bahwa remaja sebetulnya tidak memiliki tempat yang jelas. Mereka

sudah tidak termasuk golongan anak-anak, tetapi belum juga dapat diterima

secara penuh untuk masuk ke golongan orang dewasa. Oleh karena itu, remaja

seringkali dikenal dengan fase “mencari jati diri” atau fase ‘topan dan badai”.

Fase topan dan badai (storm and stress) ini juga digunakan oleh Stanley Hall

yang terkenal sebagai bapak studi ilmiah remaja. Konsep Hall tentang remaja

ditandai sebagai masa goncangan yang penuh dengan konflik dan perubahan

suasana hati (Santrock 2003).

Beberapa karakteristik remaja adalah (1) keadaan emosi yang labil (2)

sikap menentang dan orang lain maupun orang dewasa lainya (3) pertentangan

dalam dirinya menjadi sebab pertentangan dengan orang tuanya (4)

eksperimentasi atau keinginan yang besar dari remaja untuk melakukan kegiatan

orang dewasa yang dapat ditampung melalui saluran ilmu pengetahuan (5)

eksplorasi atau keinginan untuk menjelajahi lingkungan alam sekitar yang sering

disalurkan melalui penjelajahan atau petualangan (6) banyaknya fantasia atau

khayalan dan bualan (7) kecenderungan membentuk kelompok dan melakukan

kegiatan berkelompok (Gunarsa dan Gunarsa, 1995).

Rentang Usia Remaja

Masa remaja menunjukkan masa transisi dari masa kanak-kanak ke

masa dewasa. Batas usia tidak dirinci dengan jelas dan terdapat beberapa

perbedaan dalam menentukan rentang usia remaja. Menurut Atkinson (1983),

remaja berada dalam rentang usia 12 sampai dengan akhir belasan tahun ketika

pertumbuhan jasmani hampir selesai, sedangkan menurut Hurlock (1981) usia

remaja adalah 12 – 18 tahun.

Menurut Monks (2000), rentang usia remaja adalah antara 12 sampai

dengan 21 tahun, sedangkan menurut Stanley Hall, remaja berada dalam

rentang usia 12 – 23 tahun (Santrock, 2003). Seifert dan Hoffnung (1987)

menyatakan usia remaja berkisar antara 12 – 20 tahun. Dari beberapa pendapat

para ahli tersebut, terlihat bahwa usia permulaan remaja adalah sama yaitu 12

Page 3: BAB II Tinjauan Pustaka

11

 

 

tahun, namun ada perbedaan dalam menentukan usia akhir dalam rentang masa

remaja (Desifa, 2010). Sedikit berbeda, Davidoff mengatakan bahwa rentang

usia remaja berada dalam kisaran 13 – 18 tahun yang ditandai dengan

perubahan yang pesat dalam dimensi fisik (tubuh), kematangan seksual,

kemampuan kognitif serta harapan dan permintaan dari keluarga, teman dan

masyarakat yang juga berbeda dari sebelumnya (Davidoff 1981).

Perubahan yang Terjadi Pada Masa Remaja

Pada masa remaja inilah terjadi perubahan yang pesat, baik perubahan

secara fisik, kognitif maupun sosial emosional (Seifert dan Hoffnung 1987).

Begitu pula menurut Papalia, Olds dan Feldman (2008) bahwa masa remaja

merupakan masa transisi seseorang dari masa kanak-kanak menuju masa

dewasa yang ditandai dengan perubahan fisik, kognitif dan psikososial.

Perubahan dalam perkembangan seorang remaja merupakan hasil dari

proses biologis (fisik), kognitif dan sosial yang saling terjalin secara erat. Proses

sosial membentuk proses kognitif, proses kognitif mengembangkan atau

menghambat proses sosial dan proses biologis juga mempengaruhi proses

kognitif. Oleh karenanya semua itu harus dilihat sebagai satu kesatuan yang

utuh dari diri seorang manusia yang terintegrasi, yang hanya mempunyai satu

badan dan satu jiwa yang saling tergantung (Santrock 2003). Perubahan yang

terjadi pada remaja, antara lain adalah: 1) perubahan fisik, 2) perubahan kognitif

dan 3) perubahan psikososial.

Perubahan fisik. Pada aspek fisik, seorang anak yang mulai memasuki

periode remaja, ditandai dengan terjadinya pubertas. Pubertas ini

mengakibatkan pertumbuhan pada tinggi dan berat badan, perubahan pada

bentuk dan proporsi tubuh serta kematangan organ seksual. Perubahan fisik

pada masa pubertas termasuk pertumbuhan payudara, tumbuhnya bulu ketiak

dan bulu pubik, perubahan suara yang lebih berat serta perkembangan otot-otot.

Selain itu, kematangan organ reproduksi mengakibatkan terjadinya menstruasi

pertama kali pada wanita serta produksi sperma pada pria (Papalia et al. 2008).

Produksi kelenjar hormonal bagi sementara remaja juga dapat

menyebabkan timbulnya jerawat pada bagian wajah yang seringkali

menimbulkan kegelisahan, terutama pada remaja putri. Pertumbuhan fisik yang

cepat pada remaja sangat membutuhkan zat-zat pembangun yang diperoleh dari

makanan sehingga remaja pada umumnya memiliki nafsu makan yang tinggi (Ali

Page 4: BAB II Tinjauan Pustaka

12

 

 

dan Asrori 2009). Masa pubertas dan menarche (menstruasi pertama)

seringkali dideskripsikan sebagai peristiwa utama dalam sejarah kehidupan

remaja. Secara mendasar, pandangan ini mengisyaratkan bahwa perubahan

pada masa puber dan kejadian-kejadian seperti menarche menyebabkan

perbedaan tubuh yang menuntut perubahan yang cukup bermakna dalam

konsep diri, yang mungkin dapat menyebabkan krisis identitas (Santrock 2003).

Perubahan kognitif. Perubahan dari masa kanak-kanak menjadi remaja

akan membuat perubahan pada kemampuan kognitifnya yang sering

diungkapkan oleh Piaget sebagai tahap formal operational. Pada tahap ini,

remaja membangun kapasitasnya untuk menggunakan alasan-alasan ilmiah dan

menjelaskan berbagai kemungkinan-kemungkinan dalam membuktikan sebuah

hipotesis serta menjelaskan sesuatu yang sifatnya abstrak. Hasilnya, pemikiran

dan kemampuan mereka dalam memecahkan masalah jauh lebih baik ketimbang

beberapa tahun sebelumnya saat masih berada dalam tahap concrete-

operational (Hall 1983). Menurut teori Moral Reasoning Kohlberg, remaja

berada dalam tahapan perkembangan Conventional Stage dimana moral yang

baik tercapai jika seseorang disukai oleh orang lain (interpersonal conformity)

dan jika moral baik tersebut sah atau legal sesuai dengan hukum atau aturan

yang berlaku (law and order) (Hastuti 2008). Pada tahapan ini, remaja

cenderung untuk mendukung konvensi sosial, mendukung status quo dan

melakukan hal yang benar untuk mematuhi peraturan atau untuk membuat orang

lain merasa senang (Papalia et al. 2008).

Perubahan psikososial. Menurut teori perkembangan psiko-seksual

yang dikemukakan oleh Sigmund Freud dikenal adanya 5 tahapan yaitu: (1) oral,

(2) anal, (3) phallic, (4) laten, (5) genital. Dalam hal ini remaja termasuk ke

dalam tahapan kelima, yaitu tahapan genital yang berlangsung mulai masa puber

yang ditandai dengan keinginan seksual yang mulai bangkit (Seifert dan

Hoffnung 1987). Adapun berdasarkan tahapan psiko-sosial dari Erik Erikson

yang dikenal dengan Erikson’s the Psychosocial Stages, remaja termasuk dalam

tahapan identity versus identity confusion. Pada tahap ini remaja berada dalam

tahapan pencarian identitas diri dengan mengintegrasikan beragam identitas

yang mereka bawa sejak masa anak-anak menjadi suatu identitas yang semakin

lengkap. Dalam tahap perkembangan ini, sebagian besar remaja menghabiskan

lebih banyak waktu bersama dengan teman sebaya dibandingkan dengan orang

Page 5: BAB II Tinjauan Pustaka

13

 

 

tua. Remaja mendapatkan sumber afeksi, simpati, pengertian dan bimbingan

moral dari teman sebayanya (Papalia et al. 2008). Berdasarkan teori belajar

sosial (social learning theory) dari Albert Bandura, dinyatakan bahwa anak-anak

belajar bersosialisasi melalui pengamatannya pada orang lain. Melalui belajar

dengan melakukan observasi ini (imitasi atau meniru), anak secara kognitif

mempresentasikan tingkah laku orang lain yang kemudian tingkah laku ini

diadopsi ke dalam tingkah laku dirinya sendiri. Dalam perkembangan sosial ini

diperlukan adanya self efficacy, yaitu kepercayaan akan adanya kemampuan diri

untuk menghasilkan hal-hal yang positif. Selain itu diperlukan juga kepercayaan

diri (confidence) dengan cara meyakinkan diri sendiri untuk dapat mengatasi atau

melakukan suatu tindakan (Puspitawati 2009). Bagi seorang remaja yang

sedang dalam masa pencarian identitas diri, kepercayaan diri dan memahami jati

diri memegang peranan yang amat penting agar kelak dapat memainkan peran

sosial yang positif dalam masyarakat (Hastuti 2008). Banyak kasus

menunjukkan bahwa anak remaja yang kehilangan jati diri akan melakukan

perbuatan yang antisosial untuk menunjukkan eksistensi dirinya agar diakui oleh

lingkungannya (Puspitawati 2009). Kemampuan lain yang tidak kalah pentingnya

adalah kemampuan untuk menghadapi situasi atau tantangan yang sulit yang

ditemui remaja dalam rentang kehidupannya. Dalam hal ini diperlukan sebuah

proses adaptasi yang kemudian dikenal dengan resiliensi.

Permasalahan yang dihadapi Remaja Adanya perubahan-perubahan yang dialami oleh remaja dan juga

perubahan lingkungan yang menuntut remaja untuk menjadi dewasa seperti yang

diharapkan lingkungan dapat membuat remaja mengalami kebingungan yang

pada awalnya hanyalah permasalahan pribadi, namun akhirnya dapat

berkembang menjadi masalah sosial. Santrock (2003) menyebut sebuah istilah

abnormal behaviour atau tingkah laku abnormal yang berarti sebuah tingkah laku

yang mal-adaptif serta berberbahaya dan bukan sekedar tingkah laku yang

berbeda dengan orang lain pada umumnya. Tingkah laku seperti ini tidak

mampu mendukung kesejahteraan, perkembangan dan pemenuhan masa

remaja.

Tingkah laku mal-adaptif antara lain seperti bunuh diri, mengalami

depresi, memiliki keyakinan yang aneh dan tidak rasional, menyerang orang lain

(berkelahi/tawuran), mengalami ketergantungan pada obat-obatan terlarang.

Tingkah laku abnormal seperti ini mempengaruhi kemampuan remaja untuk

Page 6: BAB II Tinjauan Pustaka

14

 

 

dapat berfungsi secara efektif dan juga dapat membahayakan orang lain

(Santrock 2003).

Permasalahan lain yang kerap terjadi adalah konflik dengan orang tua.

Konflik yang paling sering terjadi dalam keluarga biasanya ditemui pada saat

anak dalam keluarga tersebut berada di awal masa remaja ketika emosi negatif

mencapai puncaknya. Akan tetapi konflik akan semakin intens pada

pertengahan masa remaja (Papalia, Olds dan Feldman 2008). Dalam

penelitiannya, Aufseeser, Jekjelek dan Brown (2006) menyatakan bahwa remaja

usia 15 tahun paling sering ditemukan kesulitan dalam hal menceritakan hal-hal

yang mengganggu dirinya pada ayah maupun ibunya.

Resiliensi

Pada sub bab resiliensi akan dibahas tentang pengertian resiliensi, faktor-

faktor yang mempengaruhi resiliensi, perkembangan resiliensi pada individu,

penelitian tentang resiliensi dan pengukuran resiliensi. Lingkungan keluarga

sebagai salah satu faktor yang mempengaruhi resiliensi dibahas juga dalam sub-

sub bab tersendiri dengan mempertimbangkan kedalaman dan keluasan variabel

ini. Dalam sub-sub bab penelitian tentang resiliensi juga akan dibahas tentang

penelitian berdasarkan jenis kelamin dan juga penelitian yang berlatar belakang

budaya. Pengertian Resiliensi

Resiliensi didefinisikan dengan beberapa cara yang berbeda. Semua

definisi resiliensi meliputi kapasitas untuk menghadapi tantangan dan

kesanggupan untuk menghadapi berbagai kesulitan. Sebagian besar definisi

menekankan bahwa resiliensi bukan sekedar atribut yang menetap, tetapi

merupakan sebuah proses yang dipengaruhi oleh keputusan harian (Masten

2001 diacu dalam LaFromboise et al. 2006).

Menurut Kalil (2003), resiliensi adalah sebuah proses dinamis yang

mengarah pada adaptasi positif dalam menghadapi situasi yang sulit Definisi ini

tidak hanya berimplikasi pada tindakan individu menghadapi situasi sulit agar

memperoleh kesejahteraan, namun juga bagaimana individu tersebut

menunjukkan kompetensinya dalam menghadapi kesulitan atau tantangan

tersebut. Resiliensi dapat diartikan sebagai kemampuan mengembalikan diri dari

kesulitan dan perubahan yang terjadi kepada fungsi sebelumnya dan bergerak

Page 7: BAB II Tinjauan Pustaka

15

 

 

maju menuju perbaikan. Orang yang dikatakan resilien dapat mengatasi dan

beradapatasi secara efektif terhadap tekanan dan tantangan yang dihadapi serta

belajar dari pengalamannya agar dapat mengelola sebuah situasi secara efektif,

dan mampu mengatasi tekanan dan tantangan di masa yang akan datang.

Tabel 1. Definisi resiliensi menurut beberapa sumber Teori Sumber Definisi

Gail Wagnild and Heather

Young

Wagnild, G., & Young, H. (1993). Development and psychometric evaluation of the Resilience Scale. Journal of Nursing Measurement, 1(2), 165-178

Keberhasilan seseorang untuk mengatasi perubahan atau ketidakberuntungan

Montheit & Gilboa

Hutapea EA. 2010. Gambaran resiliensi pada mahasiswa perantau tahun pertama perguruan tinggi di

asrama UI: menggunakan resilience scale. Tesis UI

Karakteristik seseorang untuk mengembangkan kemampuan beradaptasi terhadap situasi-situasi berat dalam hidupnya

Michael Ungar

Ungar M. 2008. Resilience across culture. British Journal of Social

Work 38, 218-235

Kemampuan individu untuk mengatasi kesulitan dan melanjutkan perkembangan normalnya seperti semula

Ariel Kalil Kalil A. 2003. Family Resilience and Good Child Outcomes.

http://citeseerx.ist.psu.edu/viewdoc

Sebuah proses dinamis yang mengarah pada adaptasi positif dalam mengahadapi situasi sulit dan bergerak menuju perbaikan

Edith Grothberg

Grothberg, E. 1995. A Guide to Promoting Resilience in Children.

The Hague: Benard van Leer Voundation

http://resilnet.uiuc.edu/library/grotb9

Kapasitas individu untuk menghadapi, mengatasi bahkan menjadi lebih kuat dalam tekanan hidup yang sulit

Bonnie Benard

Benard B. 2004. The Foundations of the Resiliency Framework From Research to Practice

http://www.resiliency.com/htm/ 

Kemampuan untuk bangkit kembali dari kondisi yang sulit

Froma Walsh Walsh, F. (2006) Strengthening Family Resilience (Second Edition).

New York: The Guilford Press http://winnebago.uwex.edu/files/201

1/03/FR-KeystoResilience.pdf

kemampuan untuk pulih dari kesulitan dan melakukan perubahan positif untuk mengatasi tantangan secara lebih efektif

Menurut Ungar (2008), resiliensi memiliki makna sebagai suatu

kemampuan individu untuk mengatasi kesulitan dan melanjutkan perkembangan

normalnya seperti semula. resiliensi dapat dipahami dengan pemahaman

sebagai berikut, pertama, mengarahkan (navigate) sumberdaya fisik, psikologi

dan sosial budaya untuk mempertahankan kesejahteraan dan kedua,

Page 8: BAB II Tinjauan Pustaka

16

 

 

merundingkan (negotiate) sumberdaya yang dimiliki tersebut untuk memperoleh

sesuatu yang bermakna secara budaya. Wagnild dan Young (1993) menyatakan

bahwa resiliensi adalah keberhasilan untuk dapat mengatasi perubahan atau

ketidakberuntungan atau dengan kata lain resiliensi adalah kemampuan untuk

bangkit dan melanjutkan kehidupan setelah jatuh dan terpuruk.

Dari sejumlah definisi yang ada, definisi resiliensi yang digunakan dalam

penelitian ini adalah kemampuan yang dimiliki individu untuk mampu bertahan

dalam situasi yang kurang menguntungkan atau penuh tekanan dan menjalani

hidup secara positif bahkan lebih baik dari sebelumnya. Resiliensi itu sendiri

dapat diprediksi dengan memperhatikan faktor-faktor protektif yang dimiliki oleh

seseorang. Hal ini pernah dilakukan oleh Kaya (2007) pada siswa sekolah dasar

di Regional Boarding Elementary School Ankara.

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Resiliensi

Menurut Barankin dan Khanlou (2009) ada dua hal yang harus

diperhatikan untuk memahami resiliensi. Kedua faktor tersebut adalah faktor

resiko (risk factor) dan faktor protektif (protective factor). Faktor protektif

merupakan faktor yang bersifat menunda, meminimalisir bahkan menetralisir

hasil akhir yang negatif. Faktor protektif juga membantu melindungi anak dan

remaja dari efek-efek negatif faktor resiko.

Faktor resiko terdapat pada tingkat individu, keluarga dan masyarakat,

yang merupakan prediktor awal dari sebuah hasil yang tidak menguntungkan dan

sesuatu yang membuat orang menjadi rentan (Kaplan 1999) atau variabel yang

mengarah pada ketidakmampuan (Rutter 1990) atau mediator yang

menyebabkan terjadinya perilaku bermasalah (Luthar 1999 yang diacu dalam

Kalil 2003). Alimi (2005) menyatakan bahwa faktor resiko adalah variabel-

variabel yang secara langsung bisa memperbesar dosis potensi resiko bagi

individu dan sekaligus meningkatkan kemungkinan berkembangnya perilaku dan

gaya hidup yang mal-adaptif. Beberapa hal yang termasuk dalam faktor resiko

adalah: kemiskinan (status sosial ekonomi yang rendah), ketidaknyamanan

akibat perubahan fisik yang terjadi, penerimaan yang rendah dari peers, efek

kumulatif dari ketidakberuntungan, adanya hambatan dalam perkembangan.

Secara umum, Gizir (2004) mengelompokkan faktor resiko menjadi tiga

kelompok besar berdasarkan penelitian-penelitian terdahulu yaitu yang berasal

Page 9: BAB II Tinjauan Pustaka

17

 

 

dari individu, keluarga dan lingkungan. Faktor resiko yang berasal dari individu

antara lain seperti kelahiran prematur, penyakit kronis atau kejadian buruk yang

dialami dalam kehidupannya. Faktor resiko yang berasal dari keluarga antara

lain seperti penyakit yang dialami orang tua, perceraian atau perpisahan orang

tua, orang tua tunggal, dan ibu yang masih remaja, sedangkan yang termasuk

faktor lingkungan antara lain adalah status sosial ekonomi yang rendah,

peperangan, kesulitan ekonomi dan kemiskinan.

Faktor protektif dibagi menjadi dua, yaitu internal dan eksternal (Benard

1995 yang diacu dalam Alimi 2005). Faktor internal adalah ketrampilan dan

kemampuan sehat yang dikuasai individu, sedangkan faktor eksternal adalah

karakteristik tertentu dari lingkungan yang dapat menjadikan individu mampu

menghindar dari tekanan hidup dan mampu bertahan kendati berada dalam

kondisi beresiko tinggi. Faktor protektif internal terdiri atas (1) kompetensi sosial

(ketrampilan sosial dan empati), (2) ketrampilan menyelesaikan masalah

(membuat keputusan dan berpikir kritis), (3) otonomi (self esteem, self efficacy,

locus of control), (4) memiliki tujuan. Faktor eksternal yang dimaksud adalah

berupa kesempatan untuk dapat berpartisipasi dalam aktivitas kelompok,

hubungan yang hangat dan harapan yang tinggi dari lingkungan (Benard 1995,

diacu dalam Alimi 2005).

Menurut Sun dan Stewart (2007), faktor internal atau karakteristik individu

yang berpengaruh pada resiliensi, terdiri atas (1) komunikasi dan kerjasama; (2)

self-esteem; (3) empati; (4) help seeking behavior; dan (5) tujuan dan aspirasi,

sedangkan yang termasuk faktor eksternal adalah: (1) dukungan keluarga; (2)

dukungan sekolah; (3) dukungan masyarakat; (4) autonomy experience; (5)

hubungan dengan teman sebaya; (6) partisipasi dalam kegiatan ekstrakurikuler

dan (7) dukungan teman sebaya.

California Healthty Kids Survey menggunakan The Resilience and Youth

Development Module (RYDM) untuk mengukur faktor internal (personal strength)

dan faktor ekstenal (developmental support and opportunities). Faktor internal

terdiri atas 18 item dibangun untuk mengukur 6 aspek inti yang terdapat dalam

Benard’s Resilience Model (Benard & Slade 2009, diacu dalam Furlong et al

2009). Asset internal dalam Resilience and Youth Development Module adalah

(1) kerjasama dan komunikasi,(2) self efficacy, (3) empati, (4) problem solving,

(5) self-awareness, (6) tujuan dan aspirasi. Faktor eksternal dalam RYDM

Page 10: BAB II Tinjauan Pustaka

18

 

 

meliputi hubungan yang baik, harapan yang tinggi dan partisipasi dalam aktivitas

di rumah, sekolah, teman sebaya dan masyarakat.

Dengan demikian secara garis besar, dapat dikatakan bahwa faktor

protektif yang mempengaruhi resiliensi terbagi menjadi 2, yaitu faktor internal dan

faktor eksternal. Faktor internal adalah faktor yang ada dalam diri individu (faktor

individu), sedangkan faktor eksternal (faktor di luar individu), yaitu keluarga dan

lingkungan (sekolah, teman sebaya dan masyarakat). Pada Tabel 2 disajikan

beberapa pendapat ahli mengenai faktor yang mempengaruhi resiliensi.

Penelitian ini akan menggunakan faktor internal dan eksternal

berdasarkan acuan dari Resilience and Youth Development Module (Austin et al.

2010). Ada enam faktor internal, yaitu: kerjasama dan komunikasi, self-efficacy,

empati, kemampuan memecahkan masalah, self-awareness dan memiliki tujuan

dan aspirasi.

Kerjasama dan komunikasi yaitu kompetensi sosial yang mengarah

pada fleksibilitas dalam menjalin hubungan, kemampuan untuk bekerja secara

efektif dengan orang lain, mampu saling bertukar informasi dan gagasan serta

mengekspresikan perasaan pada orang lain. Kemampuan individu untuk

bekerjasama dan berkomunikasi ini dapat menjadi sebuah kekuatan dalam

membentuk hubungan yang baik (caring relationship). Sebaliknya, kurangnya

kompetensi sosial ini dapat menyebabkan terjadi kriminalitas, penyakit mental

dan penyalahgunaan obat-obatan terlarang.

Self-efficacy berhubungan dengan kepercayaan seseorang akan

kompetensi yang dimilikinya untuk membuat sesuatu yang berbeda, seperti

kemahirannya dalam melakukan pekerjaan dan kemampuan untuk bekerja

dengan baik.

Empati merupakan kemampuan untuk memahami dan peduli pada

perasaan orang lain dan apa yang dialami orang lain. Empati ini merupakan akar

dari moralitas dan rasa menghormati. Daniel Goleman (1995) menyatakan

bahwa “Empathy is the single human quality that leads individuals to override

self-interest and act with compassion and altruism.” Penelitian pada bayi

menemukan bahwa bayi berusia dua tahun sudah dapat mengetahui bahwa

perasaan orang lain mungkin saja berbeda dengan dirinya. Kurangnya rasa

empati berhubungan dengan banyaknya tindakan plagiat, bullying, mengganggu

orang lain dan bentuk kekerasan lainnya.

Page 11: BAB II Tinjauan Pustaka

19   

 Tabe

l 2.

Fakt

or-fa

ktor

yan

g m

empe

ngar

uhi r

esili

ensi

Bon

nie

Ben

ard

Gro

tber

g M

aste

n &

Coa

stw

orth

Su

n &

Stew

art

RYD

M

Fakt

or P

rote

ktif

ada

dua

yaitu

inte

rnal

dan

ek

ster

nal

Fakt

or In

tern

al (i

ndiv

idu)

: 1

. Kom

pete

nsi S

osia

l (k

etra

mpi

lan

sosi

al d

an

empa

ti)

2. K

etra

mpi

lan

men

yele

saik

an m

asal

ah

(mem

buat

kep

utus

an d

an

berp

ikir

kriti

s)

3. O

tono

mi (

self

este

em,

self

effic

acy,

locu

s of

co

ntro

l) 4.

Mem

iliki t

ujua

n (o

ptim

ism

e, m

otiv

asi

untu

k be

rpre

stas

i, m

inat

, ke

yaki

nan)

Fakt

or E

kste

rnal

(li

ngku

ngan

): 1.

Kes

empa

tan

untu

k be

rpar

tisip

asi

2. H

ubun

gan

yang

han

gat

3. H

arap

an y

ang

tingg

i

1. I

Am

Fakt

or I

Am

mer

upak

an k

ekua

tan

yang

be

rasa

l dar

i dal

am d

iri, s

eper

ti pe

rasa

an,

tingk

ah la

ku d

an k

eper

caya

an y

ang

terd

apat

da

lam

diri

ses

eora

ng.

Fakt

or I

Am

terd

iri d

ari b

angg

a pa

da d

iri

send

iri, p

eras

aan

dici

ntai

dan

sik

ap y

ang

men

arik

, ind

ivid

u di

penu

hi h

arap

an, i

man

, da

n ke

perc

ayaa

n, m

enci

ntai

, em

pati

dan

altru

istic

, yan

g te

rakh

ir ad

alah

man

diri

dan

berta

nggu

ng ja

wab

. 2.

I H

ave

Asp

ek in

i mer

upak

an b

antu

an d

an s

umbe

r da

ri lu

ar y

ang

men

ingk

atka

n re

silie

nsi.

Fa

ktor

I H

ave

terd

iri d

ari m

embe

ri se

man

gat

agar

man

diri,

stru

ktur

dan

atu

ran

rum

ah,

Rol

e M

odel

s, a

dany

a hu

bung

an.

3. I

Can

Fa

ktor

I C

an a

dala

h ko

mpe

tens

i sos

ial d

an

inte

rper

sona

l ses

eora

ng. B

agia

n-ba

gian

dar

i fa

ktor

ini a

dala

h m

enga

tur b

erba

gai p

eras

aan

dan

rang

sang

an, m

enca

ri hu

bung

an y

ang

dapa

t dip

erca

ya, k

eter

ampi

lan

berk

omun

ikas

i, m

engu

kur t

empe

ram

en d

iri

send

iri d

an o

rang

lain

, ke

mam

puan

m

emec

ahka

n m

asal

ah.

Ada

3 fa

ktor

pel

indu

ng:

1.Fa

ktor

indi

vidu

K

emam

puan

in

tele

ktua

l, so

ciab

le,

self

conf

iden

t, se

lf ef

ficac

y, m

emilik

i bak

at

2.

Fak

tor K

elua

rga:

H

ubun

gan

yang

dek

at,

kepe

dulia

n, p

erha

tian,

po

la a

suh

yang

han

gat,

hubu

ngan

yan

g ha

rmon

is

3. F

akto

r

M

asya

raka

t: P

erha

tian

dari

lingk

unga

n, a

ktif

dala

m

orga

nisa

si

kem

asya

raka

tan

Fakt

or in

divi

du:

1. K

omun

ikas

i dan

ke

rjasa

ma

2. S

elf e

stee

m

3. E

mpa

ti 4.

Hel

p se

ekin

g be

havi

or

5. T

ujua

n da

n as

pira

si

Fakt

or e

kste

rnal

: 1.

Duk

unga

n ke

luar

ga

2. D

ukun

gan

seko

lah

3. D

ukun

gan

mas

yara

kat

4. A

uton

omy

expe

rienc

e 5.

Hub

unga

n de

ngan

tem

an

seba

ya

6. P

artis

ipas

i dal

am

kegi

atan

7.

Duk

unga

n te

man

se

baya

Ada

2 k

ompo

nen

yang

mem

peng

aruh

i re

silie

nsi y

aitu

ase

t in

tern

al d

an a

sset

ek

ster

nal.

Fakt

or in

tern

al:

1. K

erja

sam

a da

n ko

mun

ikas

i 2.

Sel

f effi

cacy

3.

Em

pati

4. P

robl

em s

olvi

ng

5. S

elf a

war

enes

s 6.

Tuj

uan

dan

aspi

rasi

Fa

ktor

eks

tern

al:

1. H

ubun

gan

yang

ba

ik

. 2. H

arap

an y

ang

tingg

i . 3

. Par

tisip

asi

. Dar

i kel

uarg

a, te

man

, se

kola

h da

n m

asya

raka

t

19

Page 12: BAB II Tinjauan Pustaka

20

 

 

Kemampuan memecahkan masalah adalah kemampuan untuk

merencanakan, memberdayakan, berpikir kritis dan kreatif serta menggunakan

perspektif yang beragam sebelum mengambil keputusan atau melakukan

tindakan. Penelitian tentang resiliensi menunjukkan adanya identitas problem

solving yang secara konsisten terlihat pada orang-orang dewasa yang sukses.

Self-awareness adalah kemampuan untuk mengetahui dan memahami

diri sendiri. Self-awareness merupakan tanda orang yang sukses yang memiliki

perkembangan yang sehat. Kemampuan ini juga termasuk pada pemahaman

bahwa pemikiran yang dimiliki seseorang akan mempengaruhi tingkah laku dan

perasaannya. Dalam hal ini pula, seseorang memiliki kesadaran akan kekuatan

dan tantangan yang dihadapinya.

Tujuan dan aspirasi mengarah kepada mimpi, visi, rencana yang dimiliki

seseorang untuk fokus pada masa depannya, serta memiliki ekspetasi (harapan)

yang tinggi pada dirinya. Tujuan dan aspirasi merupakan motivasi intrinsik yang

dimiliki oleh individu yang menuntunnya pada makna dari kehidupan yang

dijalaninya. Penelitian yang dilakukan oleh National Longitudinal Study of

Adolescent Health (1999), diacu dalam Austin et al (2010) mengidentifikasikan

bahwa individu yang memiliki tujuan dan aspirasi akan membangun hubungan

mendalam (deep connectedness) yang merupakan sebuah kekuatan pelindung

dari perilaku negatif. Perilaku negatif yang dimaksud antara lain adalah

kehamilan usia remaja, putus sekolah, tekanan emosional, bunuh diri, kekerasan

dan keterlibatan dengan alkohol atau obat-obatan terlarang.

Faktor eksternal yang digunakan dalam penelitian ini dibedakan menjadi

faktor eksternal keluarga dan faktor eksternal lingkungan. Faktor eksternal

keluarga akan dibahas tersendiri dalam sub bab lingkungan keluarga,

sedangkan faktor eksternal lainnya, yaitu sekolah, teman sebaya dan masyarakat

dilihat berdasarkan kesempatan untuk dapat berpartisipasi (participation) dalam

aktivitas kelompok, hubungan yang hangat (caring relationship) dan harapan

yang tinggi (high expectations) dari lingkungan kepada individu (Austin 2010).

Lingkungan Keluarga Keluarga didefinisikan sebagai sekelompok orang yang mempunyai

tingkat hubungan spesifik melalui pernikahan, adopsi dan hubungan darah (Rice

& Tucker, 1986). Menurut Burges dan Locke dalam Puspitawati (2009), ada 4

ciri keluarga yaitu: (a) keluarga adalah susunan orang-orang yang disatukan

Page 13: BAB II Tinjauan Pustaka

21

 

 

oleh ikatan perkawinan (pertalian antar suami dan istri), darah (hubungan antara

orang tua dan anak) atau adopsi; (b) anggota-anggota keluarga ditandai dengan

hidup bersama di bawah satu atap dan merupakan susunan satu rumah tangga;

(c) keluarga merupakan kesatuan dari orang-orang yang berinteraksi dan

berkomunikasi yang menciptakan peranan-peranan sosial; (d) keluarga adalah

pemelihara suatu kebudayaan bersama yang diperoleh dari kebudayaan umum. Keluarga merupakan institusi pertama dan utama pembangunan sumber

daya manusia. Pertama adalah karena dalam keluargalah, seorang individu

tumbuh berkembang, dimana tingkat pertumbuhan dan perkembangan tersebut

menentukan kualitas individu yang kelak akan menjadi pemimpin masyarakat

bahkan pemimpi negara. Alasan kedua adalah karena di keluargalah aktivitas

utama kehidupan seorang individu berlangsung (Sunarti 2008). Sehubungan dengan kesehatan reproduksi remaja (KRR) diketahui

bahwa akses remaja terhadap peningkatan pengetahuan tentang masalah

reproduksi lebih banyak diperoleh dari media elektronik, media cetak dan teman

sebaya dibandingkan dari orang tua atau keluarga, padahal pesan tentang

kesehatan reproduksi remaja dari orang tua dinilai lebih baik karena

mengikutsertakan nilai moral dan agama (Sunarti 2008). Orang tua sebagai pengasuh anak akan memainkan peranan yang

menentukan dalam perkembangan anak. Orang tua yang permisif akan

menghasilkan anak yang memiliki regulasi emosi yang rendah, pemberontak,

menunjukkan tingkah laku yang antisocial dan memiliki ketahanan yang rendah

dalam menghadapi hal-hal yang menantang, sementara itu orang tua yang

otoritatif akan menghasilkan anak bahagia, memiliki rasa percaya diri, memiliki

regulasi emosi dan kemampuan sosial yang baik (Brooks 2001). Moos dan Moos (2009) membagi lingkungan keluarga dalam 3 dimensi

utama dan 10 sub skala. Tiga dimensi yang dimaksud adalah dimensi

hubungan, perkembangan personal dan sistem pemeliharaan. Dimensi

hubungan (relationship) merupakan evaluasi lingkungan keluarga dalam hal

hubungan antar anggota keluarga yang terdiri dari 3 sub skala yaitu: (1) Kohesi

(cohesion) yang menunjukkan komitmen dan dukungan antaranggota keluarga;

(2) Ekspresif (expressiveness) yang berhubungan dengan tindakan anggota

keluarga untuk mengekspresikan perasaan mereka secara langsung, dan (3)

Konflik (conflict) yang berhubungan dengan tindakan anggota keluarga

Page 14: BAB II Tinjauan Pustaka

22

 

 

mengungkapkan secara terbuka perasaan tidak senang, kemarahan dan

ketidaksetujuannya.

Dimensi perkembangan personal (personal growth) merupakan evaluasi

lingkungan keluarga dalam hubungannya dengan pertumbuhan dan

perkembangan pribadi yang terdiri atas 5 sub skala yaitu: (1) Kebebasan

(independence) berarti tingkat dimana anggota keluarga memiliki ketegasan dan

kemampuan untuk membuat keputusan sendiri; (2) Orientasi untuk berprestasi

(achievement orientation) berhubungan dengan aktivitas anggota keluarga yang

mengarah pada pencapaian prestasi atau berkompetisi; (3) Orientasi pada

intelektual dan budaya (intelectual-cultural orientation) berhubungan dengan

banyaknya aktivitas yang dilakukan dalam kegiatan politik, kemasyarakatan,

budaya dan intelektual; (4) Orientasi pada rekreasi aktif (active-recreational

orientation) berhubungan dengan tingkat partisipasi dalam kegiatan rekreasi; (5)

Penanaman moral agama (moral-religion emphasis) berhubungan dengan etika,

nilai-nilai dan moral agama dalam keluarga

Dimensi sistem pemeliharaan (system maintenance) berhubungan

dengan sistem pemeliharaan nilai-nilai dan aturan dalam keluarga. Dimensi ini

terdiri atas dua sub skala, yaitu: (1) Organisasi (organization) yaitu tingkat

perencanaan dan pengaturan kewajiban dalam keluarga dan (2) Kontrol (control)

yaitu seberapa banyak peraturan dan prosedur digunakan dalam kehidupan

keluarga.

Perkembangan Resiliensi pada Individu Sesungguhnya tidak ada alasan sederhana yang menjelaskan mengapa

seseorang begitu ulet dan tangguh (resilien), sementara yang lainnya tidak

demikian padahal mereka hidup dan dibesarkan dalam situasi dan lingkungan

yang sama. Faktor resiko dan faktor pelindung ini tidak terbentuk di ruang

hampa ataupun bersifat independen satu sama lain. Resiliensi ini terbentuk dari

hubungan saling mempengaruhi antara karakteristik individu, karakteristik

keluarga dimana individu ini hidup di dalamnya dan karakteristik lingkungan baik

fisik maupun sosial. Contohnya, tinggal dengan orang tua yang utuh merupakan

faktor pelindung bagi anak atau remaja. Namun jika salah satu orang tua

bertindak kasar, maka tinggal dengan orang tua akan menjadi faktor resiko dan

sebaliknya, tidak tinggal dengan orang tua akan menjadi faktor pelindung

(Barankin dan Khanlou 2009).

Page 15: BAB II Tinjauan Pustaka

23

 

 

Lingkungan yang berperan secara signifikan dalam perkembangan

individu adalah lingkungan mikrosistem yang mencakup keluarga, sekolah dan

lingkungan tempat tinggal. Kebutuhan psikologis pada individu dapat terpenuhi

dengan adanya dukungan yang memadai dari lingkungan berupa hubungan yang

hangat, peraturan dan batasan, dukungan untuk mandiri, dukungan untuk

berprestasi dan role model yang positif (Kalil 2003).

Bronfenbrener, pencetus teori ekologi menyatakan bahwa lingkungan

sosiokultural anak sangat mempengaruhi perkembangan anak. Lingkungan itu

dimulai dari lingkungan yang sangat dekat dengan anak yaitu hubungannya

dengan keluarga, meluas pada teman sebaya, sekolah, dan masyarakat;

bagaimana pengalaman yang anak alami dalam lingkungan-lingkungan tersebut;

bagaimana interaksi antara lingkungan-lingkungan itu mempengaruhi anak dan

kemudian meluas pada bagaimana kebudayaan dalam lingkungan tempat tinggal

anak mempengaruhi perkembangannya. Teori ekologi Bronfrenbrenner ini

merupakan suatu pandangan sosiokultural tentang perkembangan yang terdiri

dari lima sistem lingkungan, dari mulai lingkungan yang terdekat dan berinteraksi

secara langsung sampai lingkungan yang sangat luas. Kelima sistem dalam teori

ekologi Bronfenbrenner adalah: mikrosistem, mesosistem, eksosistem,

makrosistem dan kronosistem (Santrock 2003).

Bronfenbrenner (2002) menyatakan bahwa mikrosistem adalah tempat

dimana individu tinggal, termasuk di dalamnya yaitu keluarga (orang tua), teman

sebaya, tetangga, kehidupan sekolah. Sistem ini membantu perkembangan

seorang anak melalui interaksi secara langsung. Mesosistem meliputi hubungan

antara beberapa mikrosistem atau hubungan antara beberapa konteks.

Hubungan ini dapat terbentuk dari kehidupan sekolah dengan kehidupan yang

ada dalam keluarga atau juga tetangga sekitarnya. Sebagai contoh, lingkungan

teman sebaya dapat mempengaruhi tingkah laku individu di sekolahnya atau

bahkan juga mempengaruhi hubungan individu tersebut dengan keluarganya.

Eksosistem yaitu sebuah sistem dimana terjadi interaksi tidak langsung

antara individu dengan setting sosial lainnya dimana individu tidak memiliki peran

aktif di dalamnya, namun memiliki dampak pada individu tersebut. Misalnya

kebijakan yang ada di lingkungan tempat bekerja orang tua, akan memberikan

dampak pada anak. Atau pengalaman kerja istri dapat mempengaruhi

hubungannya dengan suami dan atau anaknya. Makrosistem meliputi

kebudayaan dimana individu hidup. Kebudayaan mengacu pada pola perilaku,

Page 16: BAB II Tinjauan Pustaka

24

 

 

keyakinan, dan semua produk lain dari sekelompok manusia yang diteruskan dari

generasi ke generasi. Contohnya adalah ideologi, agama, etnik.

Sistem yang kelima dalam teori ekologi bronfenbrenner adalah

kronosistem yang meliputi pemolaan peristiwa-peristiwa lingkungan dan transisi

sepanjang rangkaian kehidupan dan keadaan-keadaan sosiohistoris. Dengan

kata lain, sistem ini merupakan hasil dari pengalaman-pengalaman individu

semasa hidupnya termasuk kejadian-kejadian yang terjadi di lingkungan dan

transisi dalam kehidupan serta sejarah individu itu sendiri. Misalnya, dengan

mempelajari dampak perceraian terhadap anak-anak, para peneliti menemukan

bahwa dampak negatif sering memuncak pada tahun pertama setelah perceraian

dan dampaknya lebih negatif bagi anak laki-laki daripada anak perempuan

(Hetherington 1989, diacu dalam Bronfenbrenner 2002).

Resiliensi berhubungan dengan sumber-sumber faktor pelindung dan

peningkatan kesehatan yang mencakup kesempatan yang dimiliki oleh individu,

hubungan kekerabatan keluarga yang erat dan kesempatan individu dan orang

tua dalam mendapatkan dukungan dari lingkungan masyarakat (Wolfe & Mash

2005, diacu dalam Nurfadillah 2006). Hal ini sejalan dengan teori ekologi yang

menekankan bahwa seseorang tidak dianggap terpisah dari lingkungannya,

melainkan merupakan bagian yang integral dari lingkungan dimana ia berada.

Faktor resiko yang saling terkait dan bertumpuk-tumpuk semakin

memudahkan berkembangnya permasalahan dan akan semakin menyulitkan

individu untuk mendapatkan pijakan yang positif dalam rangka membalikkan

keadaan negatif menjadi potensi yang menguntungkan bagi dirinya. Jika

pengalaman ini terus berlangsung maka akumulasi resiko semakin bertambah

sehingga akan semakin memperburuk kondisi remaja (Davis 1999).

Faktor internal yang berkembang pada individu sesuai dengan dukungan

dari lingkungan maupun karakteristik pada individu yang bersifat genetik

kemudian berinteraksi dengan faktor protektif eksternal untuk membentuk suatu

mekanisme perlindungan dan meningkatkan resiliensi individu terhadap

pengaruh negatif dari faktor resiko (Craig 1999, diacu dalam Chugani 2006).

Page 17: BAB II Tinjauan Pustaka

25

 

 

Gambar 1. Sistem lapisan dalam teori ekologi Bronfenbrenner (Sumber: http://www.des.emory.edu/mfp)

Penelitian tentang Resiliensi Pada awalnya penelitian tentang resiliensi terfokus pada faktor resiko,

defisiensi dan patologis seperti anak-anak yang lahir pada kondisi yang beresiko

tinggi, yakni keluarga yang mengkonsumsi minum minuman keras, cenderung

melakukan abuse terhadap anak, melakukan tindakan kriminal, pada masyarakat

miskin atau pada situasi perang. Namun pada saat ini fokus riset mengenai

resiliensi telah beralih dan menekankan pada identifikasi proses yang dapat

meningkatkan resiliensi ketika berada dalam kondisi normatif (Davey et al. 2003).

Menurut Neil (2006) diacu dalam Sanni (2009) resiliensi bukanlah suatu

kebetulan yang menguntungkan, resiliensi muncul pada orang yang telah terlatih

keras, mempunyai sikap yang istimewa, kemampuan kognitif yang baik, emosi

dan ketetapan hati yang teguh untuk mengatasi tantangan berat. Ada beberapa

faktor yang berperan dalam pengembangan resiliensi antara lain adalah social

support yang termasuk di dalamnya pengaruh budaya, community support dan

personal support. Budaya dan komunitas dimana seseorang itu tinggal sangat

mempengaruhi kemampuan resiliensi seseorang. Para remaja sadar akan

pentingnya kebudayaan sebagai tolak ukur terhadap tingkah laku sendiri.

Kebudayaan memberikan pengaruh pada perkembangan remaja. Pada

gilirannya akan terjadi remaja yang berbeda-beda pola tingkah lakunya antara

Page 18: BAB II Tinjauan Pustaka

26

 

 

satu masyarakat dengan masyarakat yang lain (Holaday & McPhearson 1997,

diacu dalam Santrock 2003).

Dukungan sosial termasuk dukungan keluarga memberikan manfaat bagi

remaja antara lain meningkatkan kesejahteraan psikologis dan penyesuaian diri

dengan menyediakan rasa memiliki, memperjelas identitas diri, menambah harga

diri dan mengurangi stress. Meningkatkan dan memelihara kesehatan fisik.

Semakin tinggi dukungan sosial yang diterima seorang remaja, semakin besar

resiliensi remaja tersebut (Johnson & Johnson 1991, diacu dalam Sanni 2009).

Orang tua, anak dan remaja berlatar belakang penghasilan rendah,

beresiko tinggi untuk mengalami masalah kesehatan mental (McLoyd 1993).

Kesulitan dalam adaptasi sosial dan masalah sosial dan masalah psikologis

seperti depresi, rendah diri, konflik dengan teman sebaya dan kenakalan remaja

lebih banyak terjadi pada remaja miskin dibanding dengan yang lebih berada

(Gibbs dan Huang 1989 diacu dalam Santrock 2003). Meskipun masalah

psikologis lebih sering terjadi pada remaja miskin, fungsi intelektual dan

psikologis mereka cukup bervariasi. Misalnya, ketika remaja miskin memperoleh

prestasi di sekolah, adalah umum bila ditemukan bahwa orang tuanya berkorban

cukup banyak untuk menghidupi keluarga dan mendukung keberhasilan sekolah

anaknya. Hal ini dapat diartikan bahwa lingkungan keluarga yang dimiliki remaja

tersebut mendukung untuk terpenuhinya hak-hak anak yang menyebabkan ia

mampu untuk berprestasi walau dalam kondisi yang sulit.

Menurut Werner dan Smith (1982) dalam Benard (2007), hasil penelitian

longitudinal yang dilakukan selama 50 tahun tentang resiliensi di pulau Kauai,

faktor protektif dalam diri individu (temperamen dan kemampuan nalar yang

baik, self-esteem, dan internal locus control) secara konsisten cenderung

memberikan dampak yang lebih besar pada kualitas koping wanita dibanding

pada laki-laki. Pada saat remaja, perempuan memiliki lebih beragam faktor

protektif seperti kemampuan memecahkan masalah, ukuran keluarga yang lebih

kecil dan memiliki ibu yang “gainfully and steadily employed”. Pada usia 17-18

tahun memiliki rencana pendidikan dan vokasional dan konsep diri yang positif

menjadi faktor yang terpenting. Dalam keluarga, remaja memiliki status urutan

kelahiran sebagai anak tunggal, sulung, tengah dan bungsu yang memiliki

karakteristik yang berbeda. Namun dalam penelitian Rosyidah (2010) tidak

terlihat perbedaan resiliensi remaja berdasarkan urutan kelahiran.

Page 19: BAB II Tinjauan Pustaka

27

 

 

Berdasarkan hasil penelitian Yuliatin (2007), diperoleh kesimpulan bahwa

subyek yang mengalami pelecehan seksual di masa kanak-kanak ternyata

mampu terhindar dari perbuatan yang menyimpang secara norma. Dengan kata

lain, subyek tersebut mampu resilient dengan didukung faktor protektif resilience,

berupa: pertama, faktor instrinsik, yaitu: kekuatan diri yang solid, keoptimisan,

percaya diri, konsep diri yang jelas, kontrol diri yang bagus dan sensitifitas

terhadap lingkungan sosial; kedua, faktor ekstrinsik, yaitu: penanaman falsafah

hidup dari orang tua dan kerabat, pertemanan yang solid dan positif, aktifitas

sekolah yang menyenangkan dan teladan dari seorang guru, serta komunitas

yang responsif terhadap subjek. Sehubungan dengan resiliensi, hasil survey

terhadap 524 eksekutif senior dari 20 negara, dapat diambil kesimpulan bahwa

perempuan dianggap lebih resilien dibanding laki-laki (Wen 2010). Riset selama 30 tahun mengungkapkan bahwa individu yang resilien

adalah individu yang tampak sehat, berumur panjang, jarang mengalami depresi,

bahagia dan berprestasi baik di tempat kerja maupun di sekolah. Individu yang

resilien dapat terlihat pada sebuah studi longitudinal yang dilakukan pada tahun

1955 terhadap 833 anak dan 698 anak diantaranya ditelusuri perkembangannya

sejak masih dalam kandungan. Individu yang yang resilien antara lain dapat

mengembangkan sense of efficacy dengan baik, menjadi orang dewasa yang

sangat mendukung dan mau mencoba kesempatan kedua (Reivich & Shatte

2002, diacu dalam Nurfadillah 2006).

Menurut Barankin dan Khanlou (2009), ciri-ciri anak yang resilien antara

lain adalah mampu berempati atau dapat memahami dan bersimpati terhadap

perasaan orang lain, dapat menjadi komunikator yang baik dalam memecahkan

masalah, memiliki minat yang kuat di sekolah, dan berdedikasi untuk belajar,

memiliki dorongan kuat untuk mencapai tujuan, selalu terlibat dalam kegiatan

yang bermakna, selalu memiliki harapan dan memiliki hubungan yang baik

dengan orang lain serta hidup dengan perasaan aman di keluarga maupun

masyarakatnya.

Pengukuran Resiliensi

Pengukuran resiliensi dapat dilakukan dengan beberapa alat ukur atau

instrument, yaitu antara lain Baruth Protective Factors Inventory (BPFI), Connor-

Davidson Resilience Scale (CD-RISC), Resilience Scale for Adults (RSA),

Adolescent Resilience Scale (ARS), Brief-Resilient Coping Scale (BRCS) dan

Page 20: BAB II Tinjauan Pustaka

28

 

 

Resilience Scale (RS). Ahern (2006) melakukan perbandingan diantara alat-alat

ukur resiliensi tersebut berdasarkan beberapa indicator seperti dasar teori yang

digunakan, target populasi dan seting penelitian, bidang atau konstruk yang

diukur serta kelebihan dan kekurangan yang dimiliki alat ukur tersebut.

Perbandingan domain yang digunakan dan beberapa karakteristik lainnya yang

terdapat pada beberapa alat ukur disajikan dalam Tabel 3 dan Tabel 4.

Hasil review yang dilakukan oleh Ahern (2006) menemukan bahwa BPFI

dan BRCS tidak tepat diadministrasikan pada populasi remaja, sedangkan ARS,

CD-RISC dan RSA membutuhkan studi lebih lanjut jika ingin diadministrasikan

untuk remaja. Dalam penelitian ini, instrumen yang digunakan untuk mengukur

skala resilien adalah Resilience Scale (RS) yang dikembangkan oleh Wagnild

and Young karena beberapa pertimbangan sebagai berikut: (1) dinilai sebagai

intrumen yang paling sesuai untuk digunakan pada berbagai jenis kelamin,

kelompok etnis, dan kelompok usia (termasuk remaja); (2) banyak digunakan

dalam berbagai penelitian; (3) memiliki reliabilitas yang tinggi (0.91) dan (4)

memiliki kualitas pengukuran yang baik dibanding instrument lainnya (Ahern

2006).

Skala Resilien atau Resilience Scale (RS) dipublikasikan tahun 1993

(Wagnild & Young, 1993) yang pada awalnya terdiri dari 50 item pertanyaan yang

menggambarkan 5 karakteristik dari resilien yaitu: (1) meaningful life; (2)

perseverance; (3) self reliance; (4) equanimity dan (5) coming home to yourself

(existensial aloneness). Setelah dilakukan faktor analisis, Skala Resilien ini

diindikasikan memiliki 2 faktor yaitu personal competence (yang berindikasi pada

keyakinan diri, kemandirian, tekad, penguasaan, akal) dan acceptance of self

and life (yang berindikasi pada adaptasi, keseimbangan, fleksibilitas, perspektif

seimbang terhadap kehidupan (Wagnild & Young 1993).

Skala resiliensi yang dibuat oleh Wagnild dan Young ini pernah

digunakan oleh Skehil (2001) untuk melihat resiliensi remaja yang berusia 12

sampai 18 tahun. Dalam penelitian tersebut Skehil menggunakan 15 item

pertanyaan. Pada penelitian lainnya, Skehil juga pernah menggunakan 10 item

pertanyaan dari Resilience Scale ini. Skala resiliensi ini mempunyai reliabilitas

0.91 dan berkorelasi secara signifikan dengan alat ukur yang berhubungan erat

dengan konstruk resiliensi (Ahern 2006). Hal tersebut membuktikan bahwa skala

resiliensi yang dikembangkan oleh Wagnild dan Young ini terbukti memiliki

keterandalan dan dapat mengukur resiliensi seseorang (Ardias 2008).

Page 21: BAB II Tinjauan Pustaka

29

 

 

Tabel 3. Perbandingan beberapa alat ukur resiliensi berdasarkan domain Instrumen Resilience Scale Connor-

Davidson Resilience Scale (CD-RISC)

Baruth Protective Factor Inventory (BPFI)

Resilience Scale for Children and Adolescent (RSCA)

Domain *) 1.Personal Competence 2.Acceptance of Self and Life

1. Personal Competence

2. tolerance of negative effect

3.Positive Acceptance of change and secure relationship

4.Control 5.Spiritual Influences

1. Adaptable personality 2. Supportive environment 3. Fewer stressor 4.Compensating experiences

1. Sense of mastery 2. Sense of relatedness 3. Emotional reactivity

Reliabilitas**) 0.91 0.89 0.83 0.93

Jumlah Item **)

25 25 16 20

Kelebihan **) Dapat diaplikasikan pada berbagai usia, etnis, jenis kelamin dengan reliabitas yang baik serta banyak ditemukan dalam berbagai jenis penelitian

Diujicobakan pada populasi umum dan pada populasi klinis dan kurang tepat digunakan pada remaja

Dapat digunakan oleh para pendidik dan konselor namun kurang tepat diaplikasikan pada remaja

Spesifik digunakan untuk anak dan remaja namun tidak banyak digunakan dalam penelitian

Kualitas**) Baik Cukup Kurang ---

Keterangan: *) sumber : Wagnild( 2010); **) sumber: Ahern (2006)