BAB II Tinjauan Pustaka

8
TINJAUAN PUSTAKA Indeks Glikemik Indeks Glikemik pertama dikembangkan tahun 1981 oleh Dr. David Jenkins, seorang Profesor Gizi pada Universitas Toronto, Kanada, untuk membantu menentukan pangan yang paling baik bagi penderita diabetes. Pada masa itu, diet bagi penderita diabetes didasarkan pada sistem porsi karbohidrat. Konsep ini menganggap bahwa semua pangan berkarbohidrat menghasilkan pengaruh yang tidak sama pada kadar glukosa darah (Rimbawan & Siagian 2004). Indeks glikemik pangan adalah tingkatan pangan menurut efeknya terhadap kadar glukosa darah. Sebagai perbandingannya, indeks glikemik glukosa murni adalah 100. Indeks glikemik merupakan cara ilmiah untuk menentukan makanan bagi penderita diabetes, orang yang sedang berusaha menurunkan berat badan tubuh, dan olahragawan (Rimbawan & Siagian 2004) Karbohidrat dalam pangan yang dipecah dengan cepat selama pencernaan memiliki indeks glikemik tinggi. Respon glukosa darah terhadap jenis pangan ini cepat dan tinggi. Dengan kata lain, glukosa dalam aliran darah meningkat dengan cepat. Sebaliknya, karbohidrat yang dipecah dengan lambat memiliki indeks glikemik rendah sehingga melepaskan glukosa ke dalam darah dengan lambat. Indeks glukosa murni ditetapkan 100 dan digunakan sebagai acuan untuk penentu indeks glikemik pangan lain. Meskipun demikian penggunaan roti tawar sebagai pangan acuan lebih sering digunakan dalam penelitian. Hal ini didasari atas kelaziman mengonsumsi roti tawar dibandingkan dengan glukosa murni (Rimbawan & Siagian 2004). Namun, menurut Mendosa (2006) baik roti tawar maupun glukosa murni dapat digunakan sebagai pangan kontrol dalam menghitung nilai indeks glikemik pangan uji. Berikut merupakan kategori pangan menurut rentang indeks glikemik. Tabel 1 Kategori pangan menurut indeks glikemik Kategori pangan Rentang indeks glikemik Indeks glikemik rendah <55 Indeks glikemik sedang 55-70 Indeks glikemik tinggi >70 Sumber: Miller et al. (1996) dalam Rimbawan & Siagian (2004) Menurut Miller (1996) dalam Rimbawan dan Siagian (2004), prosedur penentuan indeks glikemik pangan adalah sebagai berikut:

description

tinjauan pustaka II

Transcript of BAB II Tinjauan Pustaka

Page 1: BAB II Tinjauan Pustaka

TINJAUAN PUSTAKA

Indeks Glikemik

Indeks Glikemik pertama dikembangkan tahun 1981 oleh Dr. David

Jenkins, seorang Profesor Gizi pada Universitas Toronto, Kanada, untuk

membantu menentukan pangan yang paling baik bagi penderita diabetes. Pada

masa itu, diet bagi penderita diabetes didasarkan pada sistem porsi karbohidrat.

Konsep ini menganggap bahwa semua pangan berkarbohidrat menghasilkan

pengaruh yang tidak sama pada kadar glukosa darah (Rimbawan & Siagian

2004).

Indeks glikemik pangan adalah tingkatan pangan menurut efeknya

terhadap kadar glukosa darah. Sebagai perbandingannya, indeks glikemik

glukosa murni adalah 100. Indeks glikemik merupakan cara ilmiah untuk

menentukan makanan bagi penderita diabetes, orang yang sedang berusaha

menurunkan berat badan tubuh, dan olahragawan (Rimbawan & Siagian 2004)

Karbohidrat dalam pangan yang dipecah dengan cepat selama

pencernaan memiliki indeks glikemik tinggi. Respon glukosa darah terhadap jenis

pangan ini cepat dan tinggi. Dengan kata lain, glukosa dalam aliran darah

meningkat dengan cepat. Sebaliknya, karbohidrat yang dipecah dengan lambat

memiliki indeks glikemik rendah sehingga melepaskan glukosa ke dalam darah

dengan lambat. Indeks glukosa murni ditetapkan 100 dan digunakan sebagai

acuan untuk penentu indeks glikemik pangan lain. Meskipun demikian

penggunaan roti tawar sebagai pangan acuan lebih sering digunakan dalam

penelitian. Hal ini didasari atas kelaziman mengonsumsi roti tawar dibandingkan

dengan glukosa murni (Rimbawan & Siagian 2004). Namun, menurut Mendosa

(2006) baik roti tawar maupun glukosa murni dapat digunakan sebagai pangan

kontrol dalam menghitung nilai indeks glikemik pangan uji. Berikut merupakan

kategori pangan menurut rentang indeks glikemik.

Tabel 1 Kategori pangan menurut indeks glikemik Kategori pangan Rentang indeks glikemik

Indeks glikemik rendah <55 Indeks glikemik sedang 55-70 Indeks glikemik tinggi >70

Sumber: Miller et al. (1996) dalam Rimbawan & Siagian (2004)

Menurut Miller (1996) dalam Rimbawan dan Siagian (2004), prosedur

penentuan indeks glikemik pangan adalah sebagai berikut:

Page 2: BAB II Tinjauan Pustaka

1. Pangan tunggal yang akan ditentukan indeks glikemiknya (mengandung

50 g karbohidrat) diberikan kepada relawan yang telah menjalani puasa

penuh (kecuali air) selama semalam (sekitar pukul 20.00 sampai pukul

08.00 pagi besoknya).

2. Selama dua jam pasca pemberian, sampel darah sebanyak 50 µL –

finger-prick cappilary blood samples method-diambil setiap 15 menit pada

jam pertama kemudian setiap 30 menit pada jam kedua untuk diukur

kadar glukosanya.

3. Pada waktu berlainan hal yang sama dilakukan dengan memberikan 50 g

glukosa murni kepada relawan.

4. Kadar glukosa darah ditebar pada dua sumbu yaitu sumbu waktu dan

kadar glukosa darah

5. Indeks glikemik ditentukan dengan membandingkan luas daerah dibawah

kurva antaran pangan yang diukur indeks glikemik-nya dengan pangan

acuan.

Kurva respon glukosa darah yang dibuat digunakan untuk menghitung

luas area bawah kurva (Area Under Curve). Luas daerah di bawah kurva dapat

dihitung dengan beberapa cara, seperti intergral dari persamaan polinom dan

menghitung luas bangun.

Cara perhitungan dengan luas bangun yaitu dengan cara menarik garis

horizontal dan membuat garis vertikal berdasarkan waktu pengambilan darah

sehingga kurva membentuk luas bangun segitiga dan trapesium. Luas daerah di

bawah kurva diperoleh dengan cara menjumlahkan masing-masing luas bangun.

(Waspadji et al. 2003). Berikut ini merupakan gambar area under curve yang

dihitung menurut FAO (1998) dalam Brouns et al. (2005) yang menunjukkan

bahwa luas yang dihitung adalah bagian diatas garis horizontal.

Gambar 1 Incremental AUC (FAO 1998 dalam Brouns et al. 2005)

5

Page 3: BAB II Tinjauan Pustaka

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Indeks Glikemik Pangan

Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi indeks glikemik pada pangan

antara lain: cara pengolahan (tingkat gelatinisasi pati dan ukuran partikel),

perbandingan amilosa dengan amilopektin, tingkat keasaman dan daya osmotik,

kadar serat, kadar lemak dan protein serta kadar anti-gizi pangan (Rimbawan &

Siagian 2004)

Proses pengolahan dapat menyebabkan meningkatnya nilai indeks

glikemik pangan karena melalui proses pengolahan struktur pangan menjadi

lebih mudah dicerna dan diserap sehingga dapat mengakibatkan kadar glukosa

naik dengan cepat. Selain itu ukuran partikel yang semakin kecil sehingga

memudahkan terjadinya degradasi oleh enzim juga dapat menyebabkan indeks

glikemik semakin meningkat. Proses pemasakan atau pemanasan akan

menyebabkan terjadinya gelatinisasi pada pati. Dengan adanya proses pecahnya

granula pati ini molekul pati akan lebih mudah dicerna karena enzim pencerna

pada usus mendapatkan tempat bekerja yang lebih luas. Hal inilah yang

menyebabkan proses pemasakan atau pemanasan dapat menyebabkan

terjadinya kenaikan indeks glikemik pangan (Rimbawan & Siagian 2004)

Penelitian terhadap pangan yang memiliki kadar amilosa dan amilopektin

berbeda menunjukkan bahwa kadar glukosa darah dan respon insulin lebih

rendah setelah mengonsumsi pangan berkadar amilosa tinggi daripada pangan

berkadar amilopektin tinggi (Miller et al. 1992 dalam Rimbawan & Siagian 2004).

Sebaliknya, bila kadar amilopektin pangan lebih tinggi daripada kadar amilosa,

respon glukosa darah lebih tinggi (Rimbawan & Siagian 2004).

Keberadaan serat pada pangan ternyata sangat memberikan pengaruh

pada kenaikan kadar glukosa dalam darah (Fernandes 2005). Pengaruh serat

pada indeks glikemik pangan tergantung pada jenis seratnya. Serat dapat

bertindak sebagai penghambat fisik pada pencernaan, maka indeks glikemik

cenderung lebih rendah (Miller et al. 1996 dalam Rimbawan & Siagian 2004).

Nishimune et al. (1991) dalam Rimbawan dan Siagian (2004) menemukan bahwa

serat terlarut dapat menurunkan respon glikemik pangan secara bermakna. Serat

dapat memperlambat terjadinya proses pencernaan di dalam tubuh sehingga

hasil akhir yang diperoleh adalah respon glukosa darah akan lebih rendah

(Brennan 2005).

6

Page 4: BAB II Tinjauan Pustaka

Ganyong

Tanaman ganyong sejak dahulu telah dikenal oleh seluruh masyarakat di

daerah asal Amerika Selatan sekitar tahun 2500 sebelum masehi. Penduduk

kawasan ini menggunakannya sebagai makanan yang pada waktu itu belum

mengenal jagung dan singkong (Purseglove 1975 dalam Krisnayudha 2007).

Saat ini tanaman ganyong sudah menyebar di seluruh belahan bumi yaitu daerah

yang mempunyai iklim tropis dan hangat, seperti kawasan Asia Tenggara (Flach

& Rumawas 1996 dalam Krisnayudha 2007). Menurut Ropiq (1988) dalam

Krisnayudha (2007) tanaman ganyong telah tumbuh dengan baik di pulau jawa.

Sekarang ini sudah tersebar di seluruh Indonesia terutama Jawa Tengah, Jawa

Barat dan Bali.

Menurut Sastrapradja et al. (1977) dalam Krisnayudha (2007), ganyong

mempunyai batang yang berwarna ungu, tingginya mencapai 0.9 m atau dapat

mencapai 3.0 m. Daunnya besar dan lebar, pada umumnya mempunyai panjang

30 cm dan lebar nya 12.5 cm, tebal dan bertulang daun tebal di tengahnya,

seringkali permukaan bawahnya berwarna keunguan. Warna daun beragam dari

hijau sampai hijau tua. Kadang-kadang bergaris ungu atau ungu keseluruhan

(Lingga et al. 1986 dalam Krisnayudha 2007).

Di Indonesia dikenal dua jenis ganyong yaitu ganyong merah dan

ganyong putih. Ganyong merah ditandai dengan warna batang, daun dan

pelepahnya berwarna merah atau ungu, sedangkan ganyong putih ditandai

dengan batang, daun dan pelepahnya hijau serta sisik ubinya kecoklatan.

Ganyong merah mempunyai batang yang lebih besar dan tinggi, agak tahan

terhadap kekeringan, sulit menghasilkan biji dan ubinya lazim dimakan segar

(direbus). Ganyong putih mempunyai sifat lebih pendek dan kecil, tahan terhadap

sinar dan kekeringan, selalu menghasilkan biji serta ubinya diambil patinya.

(Lingga et al. 1986 dalam Krisnayudha 2007). Selain itu, ciri-ciri ganyong putih

yaitu bunga berwarna merah, daun dan batang berwarna hijau serta umbi

berwarna keputih-putihan (Damayanti 2007). Gambar ganyong putih disajikan

pada Gambar 2.

Menurut Flach & Rumawas (1996) tanaman ganyong dapat tumbuh pada

ketinggian sampai 1000 m di atas permukaan laut. Dengan curah hujan 1000-

1200 mm. Produksi optimum akan dicapai apabila ditanam pada tanah liat yang

berpasir. Perbanyakan tanaman dapat dilakukan denga rimpangnya yang telah

7

Page 5: BAB II Tinjauan Pustaka

mencapai ukuran normal dan mengandung 1 sampai 2 tunas sehat (Sastrapradja

1977 dalam Krisnayudha 2007).

Gambar 2 Ganyong putih

Tanaman ganyong tumbuh dari rhizoma yang dapat dipanen setelah 4

bulan penanaman, tetapi pemanenan setelah 8 bulan akan memberikan

produktivitas yang tinggi karena rhizoma mengalami perbesaran maksimum.

Ganyong akan menjadi keras apabila lebih dari 10 bulan tidak dipanen. Hal ini

juga akan menyebabkan kandungan pati berkurang (Flach & Rumawas 1996)

Ganyong terdiri dari bagian kulit yang agak keras dan bagian daging yang

berserat. Bagian kulit berlapis-lapis yang melindungi bagian daging yang berserat

(Ropiq 1988 dalam Krisnayudha 2007). Hal ini didukung dengan adanya

kandungan serat kasar sebesar 0.6% (Kay 1973). Menurut Flach dan Rumawas

(1996), kadar pati pada ganyong adalah 90% sedangkan kadar gula nya 10%

sehingga ganyong rasanya tidak terlalu manis. Pada Tabel 2 disajikan komposisi

kimia ganyong.

Tabel 2 Komposisi kimia ganyong Komponen (%) Ganyong

1 Ganyong

2

Air 75.0 72.6 Karbohidrat 22.6 24.6 Protein 1.0 1.0 Lemak 0.1 0.1 Abu - 1.4 Serat Kasar - 0.6

Sumber:

1 Depkes RI 1992

2 Kay 1973

Ganyong sangat baik digunakan sebagai sumber karbohidrat untuk

penyediaan energi. Kandungan karbohidrat ganyong memang tinggi, setara

dengan umbi-umbi yang lain, namun lebih rendah daripada singkong, tetapi

karbohidrat umbi dan tepung ganyong lebih tinggi bila dibandingkan dengan

kentang, begitu juga dengan kandungan mineral kalsium, fosfor dan besi.Hal

ini dapat dilihat dari komposisi kimia ganyong yang disajikan pada Tabel 3.

8

Page 6: BAB II Tinjauan Pustaka

Tabel 3 Kandungan gizi dalam 100 g ganyong Komponen Satuan Jumlah

Kalori Kal 95 Protein g 1,0 Lemak g 0,1 Karbohidrat g 22,6 Kalsium mg 21 Fosfor mg 70 Besi mg 20 Vitamin B1 mg 100 Vitamin C Mg 10 Air G 75 Bahan yang dapat dikonsumsi % 65

Sumber : Direktorat Gizi Departemen Kesehatan RI (1981)

Cookies

Menurut SNI 01-2973-1992, cookies merupakan salah satu jenis biskuit

yang dibuat dari adonan lunak, berkadar lemak tinggi, relatif renyah bila

dipatahkan dan penampang potongannya bertekstur padat. Cookies yang

dihasilkan harus memenuhi syarat mutu yang ditetapkan agar aman untuk

dikonsumsi. Syarat mutu cookies yang digunakan merupakan syarat mutu yang

berlaku secara umum di Indonesia berdasarkan Standar Nasional Indonesia (SNI

01-2973-1992), seperti tercantum pada tabel 4 berikut ini.

Tabel 4 Syarat mutu cookies Kriteria uji Klasifikasi

Kalori (Kalori/100 gram) Air (%) Protein (%) Lemak (%) Karbohidrat (%) Abu (%) Serat kasar (%) Logam berbahaya Bau dan rasa Warna

Minimum 400 Maksimum 4 Minimum 6 Minimum 18 Minimum 70 Maksimum 2 Maksimum 0.5 Negatif Normal dan tidak tengik Normal

Sumber : Badan Standardisasi Nasional (1992)

Bahan-bahan Cookies

Menurut Faridah (2008), bahan yang digunakan dalam pembuatan

cookies dibedakan menjadi bahan pengikat (binding material) dan bahan

pelembut (tenderizing material). Bahan pengikat terdiri dari tepung, air, susu

bubuk, putih telur, sedangkan bahan pelembut terdiri dari gula, lemak, bahan

pengembang dan kuning telur.

Tepung terigu

Tepung terigu adalah salah satu bahan yang mempengaruhi proses pembuatan

adonan dan menentukan kualitas akhir produk berbasis tepung terigu. Fungsi

9

Page 7: BAB II Tinjauan Pustaka

tepung sebagai struktur cookies. Tepung terigu dengan protein rendah (8-9%)

akan menghasilkan kue yang rapuh dan kering merata.

Gula

Jumlah gula yang ditambahkan biasanya berpengaruh terhadap tekstur dan

penampilan cookies. Fungsi gula dalam proses pembuatan cookies selain

sebagai pemberi rasa manis, juga berfungsi memperbaiki tekstur, memberikan

warna pada permukaan cookies. Cookies sebaiknya menggunakan gula halus

atau tepung gula. Jenis ini akan menghasilkan tekstur cookies berpori-pori kecil

dan halus.

Lemak

Lemak berfungsi sebagai shortening, tekstur dan pemberi flavor. Lemak yang

biasanya digunakan pada pembuatan cookies adalah mentega dan margarin.

Telur

Telur berpengaruh terhadap tekstur produk cookies sebagai hasil dari fungsi

emulsifikasi, pelembut tekstur, dan daya pengikat. Telur digunakan untuk

menambah rasa dan warna.

Susu skim

Susu skim berbentuk padatan (serbuk) memiliki aroma khas kuat dan sering

digunakan pada pembuatan cookies. Skim merupakan bagian susu yang

mengandung protein tinggi sebesar 36,4%. Susu skim berfungsi memberikan

aroma, memperbaiki tekstur dan warna permukaan.

Uji Organoleptik

Menurut Setyaningsih et al. (2010), pengujian sensori atau pengujian

dengan indra atau dikenal juga dengan pengujian organoleptik untuk menilai

kuantitas dan keamanan suatu makanan dan minuman. Analisis sensori akan

memberi keyakinan terhadap pengambilan keputusan penting yang sangat

bergantung pada data pengujian kualitas sensori produk. Mengingat pentingnya

analisis ini, maka beberapa hal yang harus diperhatikan adalah: 1)

merencanakan tujuan uji dengan benar, 2) mengikutsertakan panelis-panelis

yang sesuai, 3) menanyakan pertanyaan yang sesuai, 4) mengurangi adanya

bias, dan 5) mengontrol lingkungan tempat pengujian dan penyajian produk.

Uji kesukaan disebut juga uji hedonik, dilakukan apabila uji didesain untuk

memilih satu produk diantara produk lain secara langsung. Uji kesukaan meminta

panelis untuk memilih satu pilihan diantara yang lain. Maka itu, produk yang tidak

dipilih dapat menunjukkan bahwa produk tersebut disukai atau tidak disukai. Data

10

Page 8: BAB II Tinjauan Pustaka

yang diperoleh dari hasil uji hedonik biasanya dianalisis dengan menggunakan

ANOVA dan jika ada perbedaan digunakan uji lanjut seperti Duncan.

Berbeda dengan uji kesukaan, uji mutu hedonik tidak menyatakan suka

atau tidak suka melainkan menyatakan kesan tentang baik atau buruk. Kesan

baik-buruk ini disebut kesan mutu hedonik. Kesan mutu hedonik lebih spesifik

daripada sekedar kesan suka atau tidak suka. Mutu hedonik dapat bersifat

umum, yaitu baik-buruk dan bersifat spesifik seperti empuk-keras.

Metode pengukuran respon panelis salah satunya dengan penskalaan

(scalling). Panelis diminta untuk menilai contoh dengan menggunakan skala

angka tertentu, skala garis biasanya menghasilkan data interval dan dikonversi

ke dalam bentuk angka mengunakan penggaris. Metode scaling biasanya

menggunakan angka atau kata untuk mengekspresikan intensitas atribut tertentu

atau reaksi dari suatu atribut. Atribut sensori adalah karakteristik mutu suatu

produk yang akan diuji, misalnya aroma, flavor, rasa, warna, kerenyahan, dan

lain-lain.

Serat Makanan

Serat Makanan (Dietary Fiber) adalah suatu bahan yang tidak dapat

dicerna oleh enzim pencernaan manusia. Beberapa bakteri dalam saluran

pencernaan dapat mencerna serat ini dan menghasilkan suatu produk yang

dapat diserap dan berkontribusi memberikan kalori penghasil energi. Respon

physiological yang bersumber pada dietary fiber adalah menurunkan konsentrasi

plasma kolestrol, memodifikasi respon glikemik, memperbaiki fungsi usus besar,

dan menurunkan nilai gizi yang tersedia (Departemen Gizi dan Kesehatan

Masyarakat 2009).

Pangan berserat tinggi meningkatkan distensi (pelebaran) lambung yang

berkaitan dengan peningkatan rasa kenyang. Serat terfermentasi juga

mendorong peningkatan produksi hormon usus yang berkaitan dengan sinyal

rasa lapar. Beberapa serat terutama yang lebih larut seperti dari buah dan

sayuran menurunkan penyerapan seluruh lemak dan protein. Pengaruh serat

pada indeks glikemik pangan tergantung pada jenis seratnya. Serat dapat

bertindak sebagai penghambat fisik pada proses perncernaan, sehingga indeks

gllikemik dari bahan yang mengandung serat cenderung lebih rendah. Hal ini

menjadi salah satu alasan mengapa tepung biji-bijian memiliki indeks glikemik

rendah (Rimbawan & Siagian 2004).

11