BAB II Tinjauan Pustaka

12
2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ikan Layang Ikan layang merupakan salah satu hasil perikanan lepas pantai yang terdapat di Indonesia. Ikan ini termasuk jenis pemakan zooplankton, hidup di dekat permukaan laut (pelagis), berkadar garam tinggi dan membentuk gerombolan besar. Klasifikasi ikan layang (Saanin 1984) adalah sebagai berikut: Filum : Chordata Subfilum : Vertebrata Kelas : Pisces Subkelas : Teleostei Ordo : Percomorphi Sub ordo : Percoidea Famili : Carangidae Genus : Decapterus Spesies : Decapterus spp. Bagian punggung ikan layang berwarna biru kehijauan dan bagian perutnya berwarna putih perak sedangkan sirip-siripnya berwarna kuning kemerahan. Bentuk tubuhnya memanjang dan dapat mencapai 30 cm. Pada umumnya, rata- rata panjang badan ikan layang adalah 20-25 cm. Ikan layang memiliki dua sirip punggung, dua sirip tambahan di belakang sirip punggung kedua dan satu sirip tambahan di belakang sirip dubur. Ikan layang memiliki finlet yang merupakan ciri khas dari genus Decapterus (Saanin 1984). Morfologi ikan layang disajikan pada Gambar 1. Gambar 1 Ikan layang ( Decapterus spp). Ikan layang termasuk ikan pelagis dan dikelompokkan sebagai ikan pelagis kecil berdasarkan ukurannya. Di perairan Indonesia, terdapat lima jenis (spesies)

Transcript of BAB II Tinjauan Pustaka

Page 1: BAB II Tinjauan Pustaka

5

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Ikan Layang

Ikan layang merupakan salah satu hasil perikanan lepas pantai yang terdapat

di Indonesia. Ikan ini termasuk jenis pemakan zooplankton, hidup di dekat

permukaan laut (pelagis), berkadar garam tinggi dan membentuk gerombolan

besar. Klasifikasi ikan layang (Saanin 1984) adalah sebagai berikut:

Filum : Chordata

Subfilum : Vertebrata

Kelas : Pisces

Subkelas : Teleostei

Ordo : Percomorphi

Sub ordo : Percoidea

Famili : Carangidae

Genus : Decapterus

Spesies : Decapterus spp.

Bagian punggung ikan layang berwarna biru kehijauan dan bagian perutnya

berwarna putih perak sedangkan sirip-siripnya berwarna kuning kemerahan.

Bentuk tubuhnya memanjang dan dapat mencapai 30 cm. Pada umumnya, rata-

rata panjang badan ikan layang adalah 20-25 cm. Ikan layang memiliki dua sirip

punggung, dua sirip tambahan di belakang sirip punggung kedua dan satu sirip

tambahan di belakang sirip dubur. Ikan layang memiliki finlet yang merupakan

ciri khas dari genus Decapterus (Saanin 1984). Morfologi ikan layang disajikan

pada Gambar 1.

Gambar 1 Ikan layang ( Decapterus spp).

Ikan layang termasuk ikan pelagis dan dikelompokkan sebagai ikan pelagis

kecil berdasarkan ukurannya. Di perairan Indonesia, terdapat lima jenis (spesies)

Page 2: BAB II Tinjauan Pustaka

6

ikan layang, yaitu Decapterus ruselli, Decapterus macrosoma, Decapterus

kurroides, Decapterus tabl dan Decapterus maruadsi (Burhanudin et al. 1983).

Daerah penyebaran ikan layang di perairan Indonesia adalah Selat Bali, Ambon,

dan Laut Jawa (Suyedi 2001).

Ikan pelagis pada umumnya merupakan filter feeder, yaitu jenis ikan

pemakan plankton dengan cara menyaring plankton yang masuk. Pada siang hari,

ikan pelagis kecil berada di dasar perairan yang membentuk gerombolan yang

padat dan kompak sedangkan pada malam hari ikan ini naik ke permukaan

membentuk gerombolan yang menyebar (Suyedi 2001). Ikan layang merupakan

ikan perenang cepat yang hidup berkelompok di laut yang jernih dan bersalinitas

tinggi. Ikan layang (Decapterus russelli) hidup di perairan dengan salinitas tinggi

yaitu ± 32‰ (Hariati 2005).

Ikan pelagis memiliki proporsi daging merah yang tinggi yaitu berkisar

antara 10-20%, juga memiliki kandungan glikogen yang tinggi di dalam daging.

Pada saat ikan mengalami post-mortem, akan cepat mengalami glikolisis

membentuk dan mengakumulasi asam laktat yang menyebabkan pH daging ikan

turun secara cepat, mencapai pH 5,6 (Shimizu et al. 1992; Matsumoto dan

Noguchi 1992).

Pada umumnya, komposisi kimia daging ikan terdiri dari air 66-84%;

protein 15-24%; lemak 0,1-22%; karbohidrat 1-3% dan bahan anorganik 0,8-2%

(Suzuki 1981). Komposisi kimia daging ikan sangat bervariasi tergantung

spesies, jenis kelamin, umur, musim dan kondisi lingkungan tempat ikan tersebut

ditangkap. Komposisi kimia daging ikan layang ( Decapterus spp.) disajikan

pada Tabel 1.

Tabel 1 Komposisi kimia daging ikan layang ( Decapterus spp.) dalam 100 g

Parameter Ikan Layang

Kadar Air (% ) 78,58

Kadar Abu (% ) 1,03

Lemak ( % ) 1,90

Protein ( % ) 18,13

TVB (mg N/100g ) 9,79

pH 5,98 Sumber: Chairita (2008)

Page 3: BAB II Tinjauan Pustaka

7

2.2 Tepung Ikan

Tepung ikan adalah produk padat yang dihasilkan dengan jalan

mengeluarkan sebagian besar air dan sebagian atau seluruh lemak dalam ikan

(Ilyas 2003). Tepung ikan merupakan sumber protein yang sangat baik,

umumnya berwarna cokelat yang diperoleh setelah melalui proses pemasakan,

pengepresan, pengeringan dan penggilingan. Produksi pembuatan tepung ikan

dalam jumlah yang besar menurut FAO PBB yaitu hampir 90% digunakan

sebagai konsumsi makanan manusia (Green 2010). Tepung ikan memiliki kadar

air tidak lebih dari 4% ( BPOM 2006).

Produksi tepung ikan di Indonesia mencapai 57.010 ton dengan nilai

ekspornya adalah sebesar 39.945 ton (BPS 2011). Tepung ikan mengandung nilai

gizi yang tinggi terutama kandungan protein yang kaya akan asam amino

esensial, yaitu lisin dan metionin. Tahap pembuatan tepung ikan teri untuk bahan

pangan seperti terlihat pada Gambar 2.

Gambar 2 Bagan alir pembuatan tepung ikan teri untuk pangan

(Dullah et al. 1985).

Ikan Teri

Sortasi

Pemasakan Pengeringan

Penggilingan basah Penggilingan

Pengeringan Tepung ikan

Segar

Penggilingan kering

Tepung ikan

Page 4: BAB II Tinjauan Pustaka

8

2.3 Mutu tepung Ikan

Tepung ikan dengan mutu yang tinggi mempunyai tekstur tepung ikan

halus, bebas benda asing dan serangga, baunya khas tepung ikan, berwarna coklat

kekuningan khas tepung ikan. Mutu tepung ikan dipengaruhi oleh beberapa

faktor, yaitu bahan baku yang digunakan, metode pengolahan serta cara dan lama

penyimpanan. Proses pembuatan yang semakin baik diharapkan dapat

meningkatkan kualitas dan rendemen tepung yang dihasilkannya sehingga dapat

meningkatkan dan memenuhi kebutuhan tepung ikan dalam negeri (Annafi 2009).

Proses pembuatan tepung ikan menggunakan metode konvensional, yaitu

persiapan bahan baku, pemasakan, pengepresan, pengeringan dan pengangin-

anginan. Mutu tepung ikan yang dihasilkan tergantung pada jenis dan kesegaran

bahan mentah yang diolah dan juga teknologi pengolahannya (Annafi 2009).

Pengolahan tepung ikan pada dasarnya adalah perubahan bentuk dari ikan

utuh menjadi tepung ikan melalui tahap-tahap pemasakan, pengepresan,

pengeringan dan penggilingan (Mulki 2005), sedangkan teknologi pengolahannya

dapat ditentukan berdasarkan ketersediaan bahan mentah yang akan diolah.

Komposisi kimia tepung ikan ditentukan oleh jenis ikan, mutu bahan baku

yang digunakan dan cara pengolahannya. Tepung ikan yang bermutu harus

mempunyai komposisi seperti yang tercantum pada Tabel 2.

Tabel 2 Syarat mutu tepung ikan sebagai bahan pangan

Zat gizi Kandungan (%)

Air 10-12

Lemak 8-12

Protein 45-65

Abu 20-30

Serat 1,5-3

Calcium (Ca) 2,5-7,0

Fosfor 1,6-4,7

NaCL 2-4 Sumber: BSN (1996)

Tepung ikan akan lebih baik mutunya bila bahan mentah yang dipakai

terdiri dari ikan yang tidak berlemak (lean fish). Jika bahan mentah berasal dari

ikan yang berlemak, tepung yang dihasilkan akan banyak mengandung

Page 5: BAB II Tinjauan Pustaka

9

lemak (Ilyas 2003). Kebanyakan tepung ikan mengandung kadar air 18%, lemak

5-10% dan protein sebesar 60-65%.

2.4 Singkong

Singkong atau ubi kayu (Manihot esculenta CRANTZ) merupakan sumber

utama kalori di daerah tropis dan biasanya terdapat pada daerah dataran tinggi.

Menurut Oluwole et al. (2007), singkong merupakan sumber utama kalori di

daerah tropis yang dapat diproses menjadi beberapa makanan dan mengandung

senyawa sianogen.

Singkong dikelompokkan menjadi singkong yang agak manis dan singkong

yang agak pahit sehingga memerlukan pemrosesan yang lebih ekstensif sebelum

dikonsumsi (Fregene et al. 2003; Manu-Aduening et al. 2005). Menurut Agbor-

Egbe dan Lape Mbome (2006) serta Aloys (2006), umbi singkong dapat diproses

menjadi beberapa makanan. Tanaman singkong memiliki banyak kelebihan,

yakni (a) dapat tumbuh pada kondisi yang kurang baik dan iklim yang ekstrim,

seperti tanah masam, (b) mampu berproduksi pada tanah yang subur tetapi tetap

menghasilkan pada tanah yang kurang atau tidak subur, (c) rentang panen yang

panjang, yakni antara 10 hingga 30 bulan, (d) merupakan makanan pokok terbesar

dunia setelah gandum, beras dan jagung, (e) sumber terbesar karbohidrat, (f)

sekitar 500 juta orang bergantung padanya dan (g) memiliki umbi manis dan pahit

(Laswai et al. 2006; Vessia 2008).

Tanaman yang akan digunakan sebagai bahan baku pati (tapioka) harus

memiliki kandungan protein rendah, viskositas (kekentalan) pati tinggi,

kandungan pati tinggi, dan kandungan serat rendah.

Secara tradisional, ubi kayu digunakan oleh sebagian masyarakat sebagai

makanan pokok seperti halnya beras dan jagung. Ubi kayu merupakan komoditas

tanaman pangan nomor tiga di Indonesia setelah padi dan jagung sekaligus

sumber kalori pangan termurah dan cukup ketersediaannya. Ubi kayu di

Indonesia terutama digunakan untuk bahan pangan (58%), bahan baku industri

(28%), ekspor dalam bentuk gaplek (8%) dan pakan (2%) (DKU 2004). Umbi

ubikayu dari setiap jenis dan cara pengolahan umbi sangat berpengaruh terhadap

komposisi kimianya. Kandungan gizi ubi kayu, gaplek dan tepung tapioka yang

Page 6: BAB II Tinjauan Pustaka

10

dibandingkan dengan beras dan terigu serta tepung ubi kayu untuk jelasnya

disajikan pada Tabel 2 dan standar mutu tepung singkong menurut SNI No.

01.2997.1992 dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3 Kandungan gizi dalam 100 g singkong, beras giling, gaplek, dan

tepung tapioka yang dibandingkan dengan terigu

Zat Makanan Singkong Beras Giling Gaplek Tapioka Terigu

Kalori (kal) 154,00 360,00 338,00 363,00 365,00

Protein (g) 1,00 6,80 1,50 1,10 8,90

Lemak (g) 0,30 0,70 0,70 0,50 1,30

Karbihidrat (g) 36,80 78,90 81,30 83,20 77,30

Zat Kapur (mg) 33,00 6,00 80,00 89,00 16,00

Phospor (mg) 40,00 140,00 60,00 125,00 106,00

Zat Besi (mg) 1,10 0,80 1,90 1,00 1,20

Vitamin B1 (mg) 0,06 0 0 0 0,12

Thiamine (mg) 20,00 0 0 0,40 0

Vitamin C (mg) 30,00 0,12 0 0 0,12

Sumber : Dir. Gizi Depkes diacu dalam DKU (2004)

Tabel 4 Standar mutu tepung singkong menurut SNI No. 01.2997.1992

Uraian Satuan Persyaratan

Keadaan:

Bau

Rasa

Warna

Benda-benda asing

Derajat putih

Abu

Air

Derajat Asam

Asam sianida

Kehalusan

Pati

%,b/b

BaSO4 = 100 %0

%, bb

%, bb

Ml N NaOH/100g

mg/Kg

%

%,

Khas ubi kayu

Khas ubi kayu

Putih

Tidak boleh ada

Min . 85

Maks. 1.5

Maks. 12

Maks 3

Maks. 40

Min. 90

Min. 75

Sumber: (DKU 2004)

2.5 Enbal

Enbal (dalam bahasa daerah Kei) merupakan salah satu makanan pokok

masyarakat Daerah Kei Kabupaten Maluku Tenggara dan Kota Tual.

Enbal terbuat dari bahan ubi kayu yang telah diparut dan diperas untuk

Page 7: BAB II Tinjauan Pustaka

11

mengeluarkan air dari patinya yang kemudian disebut enbal gepe, lalu diayak

untuk mendapatkan tepung enbal.

Bagi masyarakat Maluku Tenggara, enbal memiliki arti penting dan

strategis. Enbal dijadikan makanan pokok sekaligus sebagai media keakraban dan

persaudaraan. Suasana seperti itu semakin terasa pada saat datang dari rantau,

niaga maupun setelah menyelesaikan pendidikan. Enbal dijadikan makanan

utama mengalahkan jenis makanan pokok lainnya (beras dan jagung) atau sebagai

bekal perjalanan dan buah tangan untuk sesama masyarakat Maluku Tenggara

(Tual). Proses pengolahan enbal secara tradisional disajikan pada Gambar 3.

Gambar 3 Diagram alir pembuatan tepung enbal cara tradisional.

(komunikasi pribadi).

2.6 Pengeringan

Pengeringan merupakan suatu cara untuk mengeluarkan atau

menghilangkan sebagian besar air dari suatu bahan padat dengan cara

menguapkan sebagian besar air yang dikandungnya menggunakan energi panas.

Singkong segar

Pemarutan Tangan

Pengepresan dengan

papan penjepit

Enbal mentah

Pengayakan

Penepungan

Tepung enbal

Page 8: BAB II Tinjauan Pustaka

12

Biasanya kandungan air bahan tersebut dikurangi sampai batas tertentu, dimana

mikroorganisme tidak dapat tumbuh lagi pada bahan (Muchtadi 2008).

Tujuan pengeringan pada suatu bahan pangan di antaranya adalah untuk

mempertahankan daya awet dengan cara mengurangi aktivitas air (aw),

mengurangi berat dan volume sehingga menghemat ruang pengangkutan,

pengepakan, serta mempermudah transportasi. Pengeringan juga bertujuan untuk

meningkatkan nilai sensori pada suatu produk pangan, yaitu aroma yang berbeda,

kerenyahan, kekenyalan, dan parameter sensori lainnya (Berk 2009).

Proses pengeringan terdiri dari tiga tahap, yaitu tahap sebelum pemanasan

(preheating period), tahap kecepatan pengeringan konstan (constant drying-rate

period) dan tahap penurunan kecepatan pengeringan (decreasing drying-rate

period). Tahap pertama, air bebas dan terikat masih berada dalam bahan dengan

tidak mengalami perubahan. Pada tahap kedua, air bebas berada di permukaan

bahan, suhu bahan tetap konstan dan sebanding dengan suhu basah pada udara

panas. Semua panas yang diterima oleh bahan digunakan untuk proses

penguapan. Pada tahap ketiga, tidak ada air bebas pada permukaan bahan,

penguapan telah terjadi di seluruh bagian permukaan sehingga terjadi penurunan

kecepatan pengeringan sampai akhir waktu pengeringan yaitu saat terjadi

kesetimbangan kadar air (Masuda et al. 2006).

Menurut Brooker et al. (2004), beberapa parameter yang mempengaruhi

waktu yang dibutuhkan dalam proses pengeringan, antara lain:

1) Suhu udara pengering

Laju penguapan air bahan dalam pengering sangat ditentukan oleh kenaikan

suhu. Bila suhu pengeringan dinaikkan maka panas yang dibutuhkan untuk

penguapan air bahan menjadi berkurang. Suhu udara pengering berpengaruh

terhadap lama pengeringan dan kualitas bahan hasil pengeringan. Makin tinggi

suhu udara pengering maka proses pengeringan makin singkat. Biaya

pengeringan dapat ditekan pada kapasitas yang besar jika digunakan pada suhu

tinggi, selama suhu tersebut tidak sampai merusak bahan.

2) Kelembaban relatif udara pengering

Kelembaban relatif udara adalah perbandingan massa uap air aktual pada

volume yang diberikan dengan masa uap air saturasi pada temperatur yang sama.

Page 9: BAB II Tinjauan Pustaka

13

Kelembaban mutlak udara berpengaruh terhadap pemindahan cairan dari dalam ke

permukaan bahan. Kelembaban relatif juga menentukan besarnya tingkat

kemampuan udara pengering dalam menampung uap air di permukaan bahan.

Semakin rendah RH udara pengering, makin cepat pula proses pengeringan yang

terjadi karena mampu menyerap dan menampung uap air lebih banyak dari pada

udara dengan RH yang tinggi.

3) Kecepatan udara pengering

Pada proses pengeringan, udara berfungsi sebagai pembawa panas untuk

menguapkan kandungan air pada bahan serta mengeluarkan uap air tersebut. Air

dikeluarkan dari bahan dalam bentuk uap dan harus secepatnya dipindahkan dari

bahan. Bila tidak segera dipindahkan maka air akan menjenuhkan atmosfer pada

permukaan bahan sehingga akan memperlambat pengeluaran air selanjutnya.

Aliran udara yang cepat akan membawa uap air dari permukaan bahan dan

mencegah uap air tersebut menjadi jenuh di permukann bahan. Semakin besar

volume udara yang mengalir, maka semakin besar pula kemampuannya dalam

membawa dan menampung air dari permukaan bahan.

4) Kadar air bahan

Pada proses pengeringan, sering dijumpai adanya variasi jumlah kadar air

pada bahan yang mana variasi kadar air ini akan mempengaruhi lamanya proses

pengeringan, sehingga perlu diketahui berapa persen kadar air pada bahan saat

basah dan pada saat kering.

Pengeringan dapat dilakukan dengan memakai suatu alat pengering

(artificial drying) atau dengan penjemuran (sun drying), yaitu pengeringan dengan

menggunakan energi sinar matahari langsung. Pengeringan buatan (artificial

drying) mempunyai keuntungan karena suhu dan aliran udara dapat diatur

sehingga waktu pengeringan dapat ditentukan dan kebersihan dapat diawasi

(Winarno dan Fardiaz 1973).

2.7 Pengaruh pengeringan terhadap beberapa sifat bahan

Pengeringan dapat menyebabkan perubahan warna, tekstur, aroma dan

lainnya walaupun perubahan-perubahan tersebut dapat dibatasi seminimal

mungkin dengan cara memberikan perlakuan pendahuluan terhadap bahan pangan

Page 10: BAB II Tinjauan Pustaka

14

yang akan dikeringkan. Pada umumnya, bahan pangan yang dikeringkan berubah

warnanya menjadi coklat. Perubahan warna tersebut disebabkan oleh reaksi-

reaksi browning, baik enzimatik maupun non-enzimatik. Reaksi browning non-

enzimatik yang sering terjadi adalah reaksi antara asam-asam amino dengan gula

pereduksi (Muchtadi 2008).

Pengurangan kadar air akan menyebabkan kandungan protein, karbohidrat,

lemak dan mineral-mineral pada bahan pangan terkonsentrasi lebih tinggi namun

sejumlah vitamin dan zat warna pada umumnya menjadi rusak atau berkurang

(Winarno dan Fardiaz 1973). Menurut hasil penelitian Chukwu (2009), jika

dibandingkan dengan bahan baku, ikan jenis tilapia yang telah dikeringkan

mengalami penurunan persentase kadar air, sedangkan persentase kadar protein,

lemak, vitamin A, potassium, serta fosfor mengalami kenaikan.

Jika pengeringan dilakukan pada suhu yang terlalu tinggi maka dapat

menyebabkan terjadinya case hardening yaitu suatu keadaan di mana bagian

dalamnya masih basah. Hal ini disebabkan suhu pengeringan yang terlalu tinggi

akan mengakibatkan bagian permukaan cepat mengering dan menjadi keras

sehingga akan menghambat penyerapan air selanjutnya. Case hardening juga

dapat disebabkan oleh adanya perubahan-perubahan kimia tertentu, misalnya

terjadinya pengumpulan protein pada permukaan bahan karena adanya panas atau

terbentuknya dekstrin dari pati yang dikeringkan (Winarno dan Fardiaz 1973).

Pemanasan yang berlebih pada proses pemasakan produk seafood kering dapat

mengakibatkan hilangnya asam amino yang tidak stabil terhadap panas (Pan 1988

diacu dalam Shahidi dan Botta 1994).

Suatu tipe pengeringan memberikan pengaruh terhadap kualitas produk

akhir. Pengeringan dengan suhu tinggi dapat menyebabkan denaturasi protein.

Denaturasi protein adalah terjadinya modifikasi struktur sekunder, tersier dan

kuartener dari protein tanpa menyebabkan pemutusan ikatan peptida dan

perubahan sekuen asam amino pada struktur protein (Kusnandar 2010).

2.8 Umur Simpan

Pengembangan teknologi pengolahan, pengemasan dan metode lain untuk

mengukur dan meramalkan masa simpan produk makanan sangat penting dan

Page 11: BAB II Tinjauan Pustaka

15

strategis. Semakin tinggi masa simpan produk makanan, semakin jauh jangkauan

pemasarannya sehingga makin ekonomis.

Penyimpanan bertujuan untuk menjaga dan mempertahankan mutu produk

olahan yang disimpan dengan cara menghindari, mengurangi ataupun

menghilangkan berbagai faktor yang dapat menurunkan kualitas dan kuantitas

komoditi tersebut. Reaksi deteriorasi dimulai dengan persentuhan produk dengan

udara, oksigen, uap air, cahaya akibat mekanis contoh vibrasi, kompresi, dan

abrasi (Arpah 2001).

Umur simpan produk pangan dapat diduga dan kemudian diterapkan waktu

kadaluarsanya dengan menggunakan dua konsep studi penyimpanan produk

pangan, yaitu dengan Extended Storage Studies (ESS) dan Accelerated Storage

Studies (ASS) (Floros dan Gnanasekharan 1993). Metode ESS sering juga disebut

sebagai metode konvensional adalah penentuan tanggal kadaluarsa dengan cara

menyimpan suatu seri produk pada kondisi normal sehari-hari dan dilakukan

pengamatan terhadap penurunan mutunya sehingga mencapai tingkat mutu

kadaluarsa. Penentuan umur simpan suatu produk dilakukan dengan mengamati

produk selama penyimpanan sampai terjadi perubahan yang tidak lagi dapat

diterima oleh konsumen. Metode ESS sering digunakan untuk produk yang

memiliki waktu kadaluarsa kurang dari 3 bulan.

Penentuan umur simpan produk dengan metode konvensional dapat

dilakukan dengan menganalisis kadar air suatu bahan, mengeplotkan kadar air

tersebut pada grafik kemudian menarik titik tersebut sesuai dengan kadar air kritis

produk. Perpotongan antara garis hasil pengukuran kadar air dan kadar air kritis

ditarik garis ke bawah sehingga dapat diketahui nilai umur simpan produk

(Herawati 2008). Penentuan umur simpan produk dapat dipercepat dengan

menggunakan metode Accelerated Storage Studies (ASS), yaitu kondisi

penyimpanan diatur di luar kondisi normal sehingga produk dapat lebih cepat

rusak dan penentuan umur simpan dapat dilakukan ( Arpah dan Syarief 2000).

Penentuan umur simpan produk dengan metode akselerasi dapat dilakukan

dengan dua pendekatan (Herawati 2008), yaitu:

1) Pendekatan kadar air kritis dengan teori difusi menggunakan perubahan kadar

air dan aktivitas air sebagai kriteria kadaluarsa.

Page 12: BAB II Tinjauan Pustaka

16

2) Pendekatan semi empiris dengan bantuan persamaan Arrhenius, yaitu

menggunakan teori kinetika yang pada umumnya menggunakan ordo nol atau

satu untuk produk pangan.

Analisis penurunan mutu dengan metode akselerasi memerlukan beberapa

pengamatan, yaitu harus ada parameter yang diukur secara kuantitatif dan

parameter tersebut dapat berupa hasil pengukuran kimiawi, uji organoleptik atau

uji mikrobiologi seperti daya serap O2, kadar peroksida, kadar vitamin C, uji cita

rasa, tekstur, warna, total mikroba dan lain sebagainya. Jenis parameter yang diuji

tergantung pada jenis produknya. Untuk produk berlemak, parameternya

biasanya ketengikan. Produk yang disimpan dalam bentuk beku atau dalam

kondisi dingin parameternya berupa pertumbuhan mikroba. Produk berwujud

cair, bubuk atau kering yang diukur adalah kadar airnya. Untuk satu produk, tidak

semua parameter yang diuji melainkan salah satunya saja, yakni parameter yang

paling cepat yang mempengaruhi konsumen (Syarief dan Halid 1993).

Selama penyimpanan dan distribusi, produk pangan terbuka pada kondisi

lingkungan. Faktor-faktor lingkungan, yaitu suhu, kelembaban, kandungan

oksigen dan cahaya dapat memicu beberapa reaksi yang dapat menyebabkan

penurunan mutu produk tersebut. Penyimpangan mutu produk dari mutu awalnya

disebut sebagai deteriorasi (Arpah 2001). Produk pangan mengalam deteriorasi

segera setelah diproduksi. Reaksi deteriorasi dimulai dari persinggungan produk

dengan udara, oksigen, uap air, cahaya atau akibat perubahan suhu. Reaksi ini

dapat juga diawali oleh hentakan mekanis seperti vibrasi, kompresi dan abrasi.

Reaksi deteriorasi pada produk pangan juga dapat disebabkan oleh faktor intrinsik

maupun ekstrinsik yang selanjutnya akan memicu reaksi di dalam produk berupa

reaksi kimia, enzimatis atau lainnya seperti proses fisik dalam bentuk penyerapan

uap air atau gas dari lingkungan (Arpah 2001). Hal ini akan meyebabkan

perubahan-perubahan terhadap produk yang meliputi perubahan tekstur, flavor,

warna, penampakan fisik, nilai gizi maupun mikrobiologis. Data yang diperlukan

untuk menentukan umur simpan produk yang dianalisis di laboratorium dapat

diperoleh dari analisis atau evaluasi sensori, analisis kimia dan fisik serta

pengamatan kandungan mikroba (Koswara 2004).