Bab ii tinjauan pustaka

42
25 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Budaya Organisasi 2.1.1 Definisi Budaya Organisasi Disiplin ilmu budaya sebenarnya berasal dari disiplin ilmu antropologi. Sekitar tahun 1979 kata budaya seringkali dikaitkan dengan organisasi. Orang yang pertama memunculkan istilah organizational corporate culture ialah Andrew Peettigrew dalam tulisannya di Jurnal Science Quarterly. Ia mendapat perhatian yang cukup luas baik dari kalangan akademis, praktisi maupun organization theoritist. Sopiah (2008:127) mengemukakan bahwa: “Untuk memahami konsep budaya organisasi bukanlah sesuatu hal yang mudah. Belum adanya kesepakatan atas konsep budaya organisasi ini menyebabkan munculnya pemahaman yang bervariasi dan kontroversi. Bidang studi budaya organisasi inipun dapat dikatakan masih sangat muda. Disamping menjadi konsep penting, menurut Rivai dan Mulyadi (2009:256): “Budaya organisasi juga merupakan sebuah perspektif dari yang untuk memahami perilaku individu dan kelompok didalam organisasi mempunyai pembatasannya. Budaya organisasi bukan satu-satunya cara dalam mencerminkan „seperti apa‟ organisasi tersebut. Selain itu, seperti konsep yang lainnya, budaya organisasi banyak digambarkan dengan

Transcript of Bab ii tinjauan pustaka

Page 1: Bab ii tinjauan pustaka

25

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Budaya Organisasi

2.1.1 Definisi Budaya Organisasi

Disiplin ilmu budaya sebenarnya berasal dari disiplin ilmu

antropologi. Sekitar tahun 1979 kata budaya seringkali dikaitkan dengan

organisasi. Orang yang pertama memunculkan istilah organizational

corporate culture ialah Andrew Peettigrew dalam tulisannya di Jurnal

Science Quarterly. Ia mendapat perhatian yang cukup luas baik dari

kalangan akademis, praktisi maupun organization theoritist.

Sopiah (2008:127) mengemukakan bahwa: “Untuk memahami

konsep budaya organisasi bukanlah sesuatu hal yang mudah”. Belum

adanya kesepakatan atas konsep budaya organisasi ini menyebabkan

munculnya pemahaman yang bervariasi dan kontroversi. Bidang studi

budaya organisasi inipun dapat dikatakan masih sangat muda.

Disamping menjadi konsep penting, menurut Rivai dan Mulyadi

(2009:256): “Budaya organisasi juga merupakan sebuah perspektif dari

yang untuk memahami perilaku individu dan kelompok didalam organisasi

mempunyai pembatasannya”. Budaya organisasi bukan satu-satunya cara

dalam mencerminkan „seperti apa‟ organisasi tersebut. Selain itu, seperti

konsep yang lainnya, budaya organisasi banyak digambarkan dengan

Page 2: Bab ii tinjauan pustaka

26

cara yang berbeda-beda oleh para ahli teori manapun ataupun oleh

peneliti. Sebagian dari definisi budaya menguraikan sebagai:

a. Lambang, bahasa, ideologi, upacara agama, dan dongeng.

b. Catatan organisasi diperoleh dari catatan pribadi yang menyangkut

organisasi pendiri atau pemimpin dominan.

c. Suatu produk; historis; berdasarkan pada lambang; dan suatu

abstrak dari perilaku dan produk atas perilaku.

Budaya organisasi mencerminkan tingkat penghayatan secara

umum dari para anggota terhadap norma, nilai dan asumsi yang dianut

oleh organisasi tersebut. Oleh karena itu, setiap organisasi selalu

mengharapkan agar setiap anggotanya, dengan latar belakang berbeda

atau dengan tingkat jabatan yang berbeda tersebut, dapat melaksanakan

budaya organisasi dengan cara-cara yang sama.

Beberapa kutipan definisi budaya organisasi berikut ini diharapkan

dapat membantu pemahaman tentang budaya organisasi.

a. Budaya organisasi adalah suatu pola teladan dari penerimaan dasar ketika ditemukan, atau yang dikembangkan oleh kelompok tertentu sebagai upaya belajar untuk mengatasi permasalahan dari adaptasi eksternal dan integrasi eksternal dan integrasi internal yang telah bekerja cukup lancer untuk menjadi mempertimbangkan yang sah dan, oleh karena itu, untuk mengajarkan ke anggota baru sebagai cara yang benar untuk merasa, berfikir, dan merasakan dalam hubungan dengan masalah (Veithzal Rivai dan Deddy Mulyadi, 2009: 256).

b. Budaya organisasi merupakan pola keyakinan dan nilai-nilai organisasi yang dipahami, dijiwai dan dipraktekan oleh organisasi sehingga pola tersebut memberikan arti tersendiri dan menjadi dasar aturan berperilaku dalam organisasi (Davis dalam Lako, 2004:29).

Page 3: Bab ii tinjauan pustaka

27

c. Budaya organisasi adalah seperangkat asumsi atau sistem keyakinan, nilai-nilai, dan norma yang dikembangkan dalam organisasi yang dijadikan pedoman tingkah laku bagi anggota-anggotanya untuk mengatasi masalah adaptasi eksternal dan internal (Mangkunegara, 2005:113).

d. Budaya organisasi merupakan merupakan sistem makna bersama yang dianut oleh anggota-anggota yang membedakan organisasi itu dari organisasi lain (Stephen P. Robbins, 2006:721).

e. Budaya perusahaan (corporate culture) adalah sistem dari pada nilai-nilai, kepercayaan dan kebiasaan dalam suatu organisasi yang berinteraksi dengan struktur formal sehingga menjadi peraturan tingkah laku (Monday dan Noe dalam Maman Ukas, 1999:141).

f. Budaya perusahaan adalah representasi kolektif: kepercayaan-kepercayaan dan nilai-nilai yang merupakan anggapan-anggapan dasar yang diterima dimana ditemukan pendapat rasional dalam perusahaan tersebut (Shaun Tyson dan Tony Jackson, 2001:253).

Berdasarkan beberapa definisi diatas, dapat disimpulkan bahwa

budaya organisasi adalah seperangkat asumsi atau sistem keyakinan,

nilai-nilai dan norma yang dikembangkan didalam organisasi yang

dijadikan pedoman tingkah laku bagi anggota-anggotanya untuk

mengatasi masalah adaptasi eksternal dan integrasi internal.

2.1.2 Menciptakan dan Mempertahankan Budaya Organisasi

Robbins (2002:284) mengemukakan bahwa: “Kebiasaan, tradisi

dan cara-cara umum dalam mengerjakan sesuatu yang sudah ada di

dalam suatu organisasi berkaitan erat dengan apa yang telah dilakukan

sebelumnya dan dengan tingkat keberhasilan organisasi tersebut dengan

upaya-upayanya”. Dengan demikian, sumber utama budaya organisasi

adalah para pendirinya.

Page 4: Bab ii tinjauan pustaka

28

Para pendiri suatu organisasi secara tradisional memiliki pengaruh

yang dominan dalam membentuk budaya awal. Mereka memiliki visi

bagaimana wujud organisasi tersebut. Mereka tidak dibatasi oleh

kebiasaan-kebiasaan dalam mengerjakan sesuatu atau oleh ideologi-

ideologi sebelumnya. Pemberian karakter terhadap organisasi-organisasi

baru, dengan ruang lingkup yang masih kecil, mempermudah para pendiri

dalam menerapkan visinya pada keseluruhan anggota organisasi.

Dikarenakan para pendiri tersebut memiliki ide yang masih asli, mereka

juga bias tentang cara bagaimana ide-ide tersebut bisa terpenuhi. Budaya

organisasi dihasilkan dari interaksi antara bias dan asumsi para pendiri

dengan apa yang dipelajari selanjutnya oleh anggota awal organisasi, dari

pengalaman mereka sendiri.

Akan tetapi menurut Wahjono (2010:34): “Budaya organisasi

mungkin diciptakan dan ditegakkan oleh pendiri, namun manakala budaya

organisasi di tahap awal itu lemah maka kewajiban penerusnya untuk

memperkuat dan merubah budaya menjadi budaya organisasi baru yang

kuat dan cocok”. Budaya organisasi yang baik adalah kebiasaan yang

memungkinkan setiap anggota organisasi mampu menjadi manusia yang

produktif, kreatif, bekerja dengan antusias sesuai dengan peminatan dan

mampu mengubah produk usang menjadi produk yang mempunyai nilai

tambah tinggi dengan inovasi yang unik.

Masih menurut Wahjono (2010:35): “Eksekutif yang bukan pendiri

biasa melengkapi dengan kebiasaan yang bersifat manajerial”. Apabila

Page 5: Bab ii tinjauan pustaka

29

pendiri lebih menekankan pada bagaimana mencipta, berinovasi,

menjawab tantangan, membuat ada dari tidak ada, maka eksekutif

penerus haruslah melengkapi apa yang telah diciptakan pendiri dengan

hal-hal yang memungkinkan organisasi itu tetap berdiri, berkembang dan

bertumbuh.

Hal-hal kecil yang berdampak besar bisa juga dilakukan oleh

eksekutif bukan pendiri, yaitu senantiasa meletakkan dasar-dasar disiplin

dalam bekerja dengan memberi teladan. Apabila teladan eksekutif

tersebut dilakukan dengan konsisten maka dalam jangka panjang akan

memperkuat pembiasaan pendiri dan seterusnya simultan pembiasaan itu

akan menjadi sesuatu yang melembaga yang disepakati semua pihak

yang terlibat dalam kegiatan organisasi. Saat itulah budaya organisasi

terbentuk.

Meskipun pembentukan budaya organisasi itu dengan berbagai cara,

namun menurut Wahjono (2010:36) secara umum melibatkan langkah-

langkah sebagai berikut:

1. seorang pendiri mempunyai ide untuk mendirikan organisasi baru;

2. pendiri menerima orang-orang kunci dan menciptakan kelompok inti yang memiliki kesamaan visi;

3. kelompok inti bergerak merealisasikan ide dan melengkapi segala sesuatu sehingga organisasi bisa berjalan dengan baik dengan mencari dana, memperoleh hak paten, badan hukum, menentukan tempat usaha, dan sebagainya;

4. pendiri dan kelompok inti secara bersama membangun kebiasaan yang bertujuan untuk membangun dan membesarkan organisasi dengan kebiasaan positif dan produktif; akhirnya

5. pembiasaan positif berjalan terus sehingga menjadi sesuatu yang inheren dengan gerak dan tingkah laku seluruh organisasi

Page 6: Bab ii tinjauan pustaka

30

sehingga tanpa disadari kebiasaan-kebiasaan itu telah melembaga menjadi budaya organisasi.

Robbins (2002:284) mengemukakan: “Bila suatu budaya sudah

berlaku, maka praktik-praktik di dalam organisasi berfungsi untuk menjaga

budaya tersebut dengan cara mengekspos karyawan agar memiliki

pengalaman yang serupa”. Ada banyak praktek-praktek cara megekspos

sumber daya manusia suatu organisasi yang dapat mengukuhkan kembali

budaya mereka. Praktek-praktek tersebut akan membiasakan karyawan

untuk mengikuti kebiasaan organisasi. Dengan pembiasaan itu, lambat

laun budaya organisasi akan terinternalisasikan kedalam dirinya dan

menjadi budaya internal karyawan tersebut.

Tiga kekuatan yang memainkan suatu peran penting dalam

mempertahankan suatu budaya tersebut menurut Robbins (2002:284),

yaitu: (1) praktik seleksi, (2) tindakan-tindakan manajemen dan (3) metode

sosialisasi.

Wahjono (2010:37) menambahkan, upaya mempertahankan

budaya organisasi yang baik dapat dilakukan dengan cara sebagai

berikut: (1) Seleksi karyawan baru secara cermat, (2) Tindakan

manajemen puncak, (3) Pelatihan mendalam, (4) Penguasaan kerja, (5)

Mengukur dan memberi penghargaan, (6) Ketaatan pada nilai-nilai yang

ada di organisasi, (7) Hikmat sejarah terhadap organisasi, dan (8) Model

peran dawam (konsisten).

Page 7: Bab ii tinjauan pustaka

31

Penjelasan singkat mengenai masing-masing upaya yang

dikemukakan oleh Wahjono adalah sebagai berikut:

1) Seleksi karyawan baru secara cermat

Seleksi karyawan baru secara cermat disini adalah perlu

diadakannya seleksi karyawan baru yang cocok dengan budaya

organisasi atau memiliki potensi untuk mengembangkan diri di dalam

organisasi. Praktek seleksi merupakan alat penting untuk menyampaikan

informasi organisasi kepada pihak internal sehingga ia dapat lebih

mengetahui dan mengerti seperti apa organisasi tersebut. Proses seleksi

ini pun bertujuan untuk menyaring individu yang dapat menghancurkan

atau merusak budaya organisasi kearah yang tidak diinginkan.

2) Tindakan manajemen puncak

Tindakan manajemen puncak juga mempunyai dampak besar pada

budaya organisasi. Bagaimana sikap dan perilaku manajemen puncak

akan menjadi cerminan dari budaya organisasi di organisasinya.

Bagaimana cara dia bekerja, berkomunikasi dengan bawahannya,

ketepatan waktu hadir dikantor, bahkan cara berpakaiannya. Manajemen

puncak akan menjadi panutan dan akan diikuti setiap gerak geriknya oleh

bawahan. Dengan kerendahan hati pendiri dan eksekutif, maka

keterbukaan dan penerimaan terhadap budaya organisasi oleh karyawan

baru akan menjadi lebih mudah.

Page 8: Bab ii tinjauan pustaka

32

3) Pelatihan mendalam

Penempatan kerja yang didahului oleh pelatihan mendalam

diharapkan akan membentuk sumber daya manusia yang baru masuk

mempunyai sikap disiplin yang tinggi sehingga pada saat ditempatkan di

unit manapun dia telah berada dalam kondisi siap untuk mendukung

kebiasaan positif yang sidah berjalan di dalam organisasi tersebut.

4) Penguasaan kerja

Setelah karyawan memasuki masa kerja yang cukup, pada saat itu

diharapkan kebiasaan-kebiasaan positif yang ditanamkan di perusahaan

telah berubah dan bertransformasi melalui internalisasi sehingga

membentuk budaya individual yang sesuai dengan budaya organisasi.

5) Mengukur dan memberi penghargaan

Bila dilakukan dengan cermat dan sesuai dengan tata nilai yang

telah disepakati, mengukur dan memberi penghargaan terhadap karyawan

yang berkinerja baik akan membuka peluang karyawan untuk lebih

mencintai dan menyayangi organisasi. Hal itu pun akan menciptakan rasa

memiliki (sense of belonging) organisasi yang tinggi.

6) Ketaatan pada nilai-nilai yang ada di organisasi

Ketaatan pada nilai-nilai yang penting didalam suatu organisasi

akan timbul dengan sendirinya seiring dengan tumbuhnya rasa memiliki

organisasi. Ketaatan pada nilai-nilai penting organisasi itu juga merupakan

cerminan rasa cintanya terhadap organisasi.

Page 9: Bab ii tinjauan pustaka

33

7) Hikmat sejarah terhadap organisasi

Hikmat sejarah terhadap organisasi akan memunculkan ketaatan,

rasa cinta, dan rasa memiliki organisasi itu dengan tidak merusak nama

baik organisasi baik dari dalam maupun dari luar organisasi. Karyawan

akan selalu menjaga sikapnya karena hal itu akan mencerminkan

organisasinya, dan senantiasa membela dan melindungi nama baik

organisasi tersebut dari segala gangguan dan ancaman.

8) Model peran dawam (konsisten).

Model peran dawam (konsisten) sangat diperlukan dalam upaya

mempertahankan budaya organisasi. Hal ini dikarenakan, karyawan lama

akan melakukan kegiatan yang sama dengan melakukan perekrutan

anggota organisasi yang baru dan bertanggung jawab agar anggota

organisasi baru tersebut tetap memelihara budaya organisasi yang ada.

Untuk lebih jelasnya, Wahjono (2010:37) menggambarkan sirkulasi

pemeliharaan budaya organisasi yang terlihat pada gambar dibawah ini.

Page 10: Bab ii tinjauan pustaka

34

Gambar 2.1

Siklus Pemeliharaan Budaya Organisasi

Sumber: Wahjono (2010:37)

2.1.3 Karakteristik Budaya Organisasi

Budaya organisasi yang mengacu kepada suatu makna bersama

yang diyakini anggotanya sehingga membedakannya dengan organisasi

yang lain, karena memiliki seperangkat karakteristik yang dihargai oleh

organisasi tersebut.

Fred Luthas (2005:223) mengidentifikasi ada enam karakteristik

penting dalam budaya organisasi yaitu:

1) Aturan-aturan perilaku (observed behavioral regularities), yaitu setiap anggota organisasi saling berinteraksi dengan menggunakan tata cara, istilah, dan bahasa yang sama yang mencerminkan sikap yang baik dan saling menghormati.

seleksi calon karyawan baru secara cermat

pelatihan mendalam melahirkan disiplin tinggi

sistem penghargaan untuk memperkuat perilaku unggul

kerendahan hati menimbulkan pengalaman

untuk meningkatkan keterbukaan terhadap

penerimaan norma dan nilai organisasi

ketaatan pada nilai memungkinkan rekonsiliasi dari pengorbanan personal

hikmat terhadap sejarah organisasi

model peran dawam (konsisten)

Page 11: Bab ii tinjauan pustaka

35

2) Norma (norms), yaitu norma yang merupakan standar mengenai perilaku yang ditampilkan tentang pedoman apa saja yang harus dilakukan dan yang tidak boleh dilakukan.

3) Nilai-nilai dominan (dominant values), yaitu ada sejumlah nilai utama yang dianjurkan dan mengharapkan kepada para anggota organisasi mampu melaksanakannya, misalnya kualitas produk yang tinggi, absensi yang rendah, dan efisiensi yang tinggi.

4) Filosofi (philosophy), yaitu kebijakan atau peraturan yang mengarahkan organisasi tentang bagaimana memperlakukan karyawan dan konsumen.

5) Peraturan-peraturan (rules), yaitu terhadap pedoman yang harus ditaati jika mereka bergabung dengan organisasi, dan anggota baru harus mau mempelajari untuk dapat diterima didalam organisasi tersebut.

6) Iklim organisasi (organizational climate), keadaan secara keseluruhan yang dicerminkan oleh tata letak fisik, cara anggota berinteraksi, dan cara mereka berhubungan dengan konsumen atau lingkungan diluar organisasi.

Stephen P. Robbins (2006:721) mengemukakan ada tujuh

karakteristik primer yang secara bersama-sama menangkap hakikat

budaya suatu organisasi apapun bentuk organisasinya. Ketujuh

karakteristik tersebut, yaitu:

1. Inovasi, yaitu sejauh mana para karyawan didorong untuk inovatif dan berani mengambil resiko,

2. Perhatian kepada detail, yaitu sejauh mana para karyawan diharapkan mau memperlihatkan kecermatan, analisis dan perhatian kepada rincian,

3. Orientasi hasil, yaitu sejauh mana manajemen fokus pada hasil, bukan pada teknik dan proses yang digunakan untuk mendapatkan hasil itu,

4. Orientasi manusia, yaitu sejauh mana keputusan manajemen memperhitungkan efek hasil pada orang-orang didalam organisasi itu,

5. Orientasi tim, yaitu sejauh mana kegiatan kerja diorganisasikan dalam tim-tim kerja, bukan individu-individu,

6. Agresifitas, yaitu sejauh mana orang itu agresif dan kompetitif, bukan bersantai, dan

7. Stabilitas, yaitu sejauh mana kegiatan organisasi menekankan dipertahankannya status quo sebagai lawan dari pertumbuhan atau inovasi.

Page 12: Bab ii tinjauan pustaka

36

Selanjutnya Gordon dan Cummincs (dalam Sopiah, 2008:133)

mengajukan sepuluh karakteristik budaya organisasi yang meliputi

dimensi struktural dan perilaku, yaitu meliputi:

1) Inisiatif individual,; tingkat tanggung jawab, kebebasan, dan independensi yang dimiliki individu.

2) Toleransi terhadap tingkat beresiko; sejauh mana para anggota dianjurkan untuk bertindak agresif, inovatif dan berani mengambil resiko.

3) Arah; sejauh mana organisasi tersebut mencerminkan sasaran dan harapan mengenai prestasi dengan jelas.

4) Integrasi; sejauh mana unit-unit dalam organisasi didorong untuk bekerja dengan cara yang terkoordinasi.

5) Dukungan dari manajemen; sejauh mana para manajer dapat berkomunikasi dengan jelas, memberi bantuan serta dukungan terhadap bawahan mereka.

6) Kontrol; sejumlah peraturan dan pengawasan langsung yang digunakan untuk mengawasi dan mengendalikan perilaku anggota.

7) Identitas; sejauh mana para anggota mengidentifikasi dirinya secara keseluruhan dengan organisasinya ketimbang dengan kelompok kerja tertentu atau dengan bidang keahlian professional.

8) Sistem imbalan; sejauh mana alokasi imbalan (misalnya kenaikan gaji dan promosi) didasarkan atas kriteria prestasi pegawai sebagai kebalikan dari senioritas, sikap pilih kasih dan sebagainya.

9) Toleransi terhadap konflik; sejauh mana para pegawai didorong untuk mengemukakan konflik atau kritik secara terbuka.

10) Pola-pola komunikasi; sejauh mana komunikasi organisasi dibatasi oleh hierarki kewenangan formal.

Semua karakteristik budaya organisasi sebagaimana dikemukakan

di atas tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya, artinya unsur-

unsur tersebut mencerminkan budaya yang berlaku dalam suatu jenis

organisasi, baik yang berorientasi pada pelayanan jasa ataupun

organisasi yang menghasilkan barang, juga pada organisasi yang

menghasilkan barang dan jasa.

Page 13: Bab ii tinjauan pustaka

37

2.1.4 Jenis Budaya Organisasi

Stephen P. Robbins (2006:724) mengembangkan tipe budaya

organisasi kedalam tiga macam. Yaitu: (1) Budaya yang kuat vs budaya

yang lemah, (2) Budaya vs formalitas dan (3) Budaya organisasi vs

budaya nasional.

Saat ini banyak orang membandingkan antara budaya yang kuat

dengan budaya yang lemah. Tentu saja alasannya adalah: budaya yang

kuat memiliki dampak yang lebih besar terhadap sikap karyawan dan lebih

tertuju langsung untuk mengurangi keluar masuknya karyawan.

Robbins (2006:724) menjelaskan bahwa: “Suatu budaya yang kuat

ditandai oleh nilai-nilai inti organisasi itu dipegang secara mendalam dan

dianut bersama secara luas”. Semakin banyak anggota organisasi yang

menerima nilai-nilai tersebut, maka semakin kuat budaya itu. Sejalan

dengan hal tersebut, suatu budaya yang kuat jelas sekali akan memiliki

pengaruh yang besar dalam sikap anggota organisasi dibandingkan

dengan budaya yang lemah.

Hasil spesifik dari suatu budaya yang kuat adalah keluar masuknya

pekerja yang rendah. Suatu budaya yang kuat akan memperlihatkan

kesepakatan yang tinggi mengenai tujuan organisasi diantara anggota-

anggotanya. Kebulatan suara terhadap tujuan akan membentuk

keterikatan, kesetiaan dan komitmen organisasi. Kondisi ini selanjutnya

akan mengurangi kecenderungan karyawan untuk keluar dari organisasi.

Page 14: Bab ii tinjauan pustaka

38

Robbins (2006:724) juga mengemukakan bahwa: “Budaya juga

betentangan dengan formalitas”. Suatu budaya yang kuat akan

meningkatkan konsistensi sikap. Dalam hal ini, budaya organisasi yang

kuat dapat berlaku sebagai pengganti formalisasi.

Peraturan dan formalisasi berlaku sebagai pengganti sikap

karyawan. Formalisasi yang tinggi di dalam suatu organisasi akan

menciptakan kepastian, ketertiban dan konsistensi. Suatu budaya yang

kuat dapat mencapai hasil yang sama tanpa perlu adanya dokumentasi

tertulis. Dengan begitu, kita harus dapat melihat bahwa formalisasi dan

budaya adalah dua jalan berbeda menuju tujuan yang sama. Semakin

kuat suatu budaya organisasi, semakin kurang keharusan manajemen

untuk mengembangkan peraturan dan ketentuan formal untuk memandu

sikap karyawan. Panduan ini akan berpadu dengan karyawan bila mereka

dapat menerima suatu budaya organisasi.

Stephen P. Robbins (2006:724) menambahkan selain budaya kuat

vs budaya lemah dan budaya vs formalitas yang dikemukakan diatas,

budaya yang dominan ketiga adalah budaya organisasi vs budaya

nasional.

Budaya nasional harus dipertahankan jika mau membuat ramalan

yang tepat mengenai perilaku organisasi dalam negara-negara yang

berlainan. Stephen P. Robbins (2006:724) mengemukkan bahwa: “Budaya

nasional mempunyai dampak yang lebih besar pada karyawan dari pada

organisasi mereka”. Ini berarti bahwa meskipun pengaruh budaya

Page 15: Bab ii tinjauan pustaka

39

organisasi dalam membentuk perilaku karyawan itu besar, budaya

nasional bahkan memiliki pengaruh yang lebih besar lagi.

Sedangkan menurut Kotler dan James L. Heskett (1992:15-49),

berdasarkan hasil serangkaian penelitian yang dilakukannya,

mengemukakan tiga tipe budaya organisasi yaitu (1) Budaya kuat dan

budaya lemah, (2) Budaya yang secara strategis cocok, dan (3) Budaya

yang adaptif dan tidak adaptif.

Kotler dan James L. Heskett (1992:16) menjelaskan pada budaya

kuat dan budaya lemah:

Nilai-nilai, norma-norma dan asumsi-asumsi yang terinternalisasi dan dipegang teguh oleh para anggota organisasi dapat melahirkan perasaan tenang, komitmen, loyalitas, memacu kerja lebih keras, kohesifitas, keseragaman sasaran (goal alignment), dan mengendalikan perilaku anggota organisasi, serta produktivitas.

Logika tentang cara kekuatan budaya berhubungan dengan kinerja

menurut Kotler dan Heskett (1992:16) meliputi tiga gagasan, yaitu: (1)

penyatuan tujuan, dalam organisasi dengan budaya yang kuat, pegawai

cenderung melakukan tindakan kearah yang sama. (2) menciptakan

motivasi, komitmen, dan loyalitas luar biasa dalam diri pegawai, dan (3)

memberikan struktur dan kontrol yang dibutuhkan tanpa harus bersandar

pada birokrasi formal yang dapat menekan tumbuhnya motivasi dan

inovasi.

Kotler dan James L. Heskett (1992:22) menjelaskan pada budaya

yang secara strategis cocok: “Pentingnya kandungan budaya yang cocok

dan serasi dengan kondisi objektif perusahaan dimana perusahaan itu

Page 16: Bab ii tinjauan pustaka

40

berada”. Artinya, suatu budaya dikatakan baik apabila serasi dan selaras

dengan konteks bisnis dalam karakteristik lingkungan industrinya, dan

segmen industrinya yang dispesifikan oleh strategi perusahaan atau

strategi bisnisnya. Semakin besar kecocokan dengan lingkungan, maka

semakin jelek kinerjanya. Dengan demikian, tidak ada kriteria umum untuk

menyatakan seperti apa hirarki budaya yang baik dan bersifat satu ukuran

untuk semua, dan berfungsi baik dalam organisasi apapun.

Kritik terhadap tipe budaya organisasi ini adalah bahwa lingkungan

organisasi tidak pernah stabil, melainkan selalu berubah, sehingga

budaya yang dianggap cocok pada kurun waktu tertentu, mungkin tidak

akan cocok di waktu yang lain. Implikasinya budaya organisasi harus

selalu mengadaptasi dirinya dengan tuntutan perubahan dari lingkungan.

Karena itulah Kotler dan James L. Heskett mengajukan tipe budaya

adaptif dan tidak adaptif.

Kotler dan James L. Heskett (1992:33) menjelaskan pada budaya

yang adaptif dan tidak adaptif bahwa: “Hanya budaya yang dapat

membantu organisasi mengantisipasi dan beradaptasi dengan perubahan

lingkungan (adaptif), yang diasosiasikan dengan kinerja tinggi dalam

waktu yang panjang”. Teori ini mengarahkan budaya organisasi untuk

senantiasa bersikap adaptif dan inovatif sesuai dengan perubahan

lingkungan yang terjadi.

Hal terpenting dari penelitian pada teori ketiga adalah bahwa

perusahaan yang budayanya adaptif secara ideal manajer pada seluruh

Page 17: Bab ii tinjauan pustaka

41

tingkatan organisasinya menampakkan kepemimpinan yang mempelopori

perubahan dalam strategi dan taktik kapan saja diperlukan untuk

memuaskan kepentingan para pemegang saham, pelanggan dan para

pegawainya. Sedangkan perusahaan yang budayanya tidak adaptif pada

manajer pada seluruh tingkatan organisasinya cenderung berperilaku

secara hati-hati dan politis untuk melindungi dan memajukan diri sendiri,

produknya, atau kelompoknya. Perbedaan budaya adptif dan tidak adaptif

dapat dilihat pada tabel berikut ini.

Tabel 2.1

Budaya Organisasi yang Adaptif dan Tidak Adaptif

Budaya Adaptif

Budaya Tidak Adaptif

Nilai inti

Kebanyakan manajer sangat peduli akan pelanggan, pemegang saham, dan pegawainya. Mereka juga sangat menghargai orang dan proses yang dapat menciptakan perubahan yang bermanfaat (misalnya kepemimpinan ke atas dan kebawah pada hirarki manajemen)

Kebanyakan manajer mempedulikan terutama diri mereka sendiri, kelompok kerja terdekat mereka, atau beberapa produk (teknologi) yang berhubungan dengan kelompok kerja tersebut. Mereka menilai proses manajemen yang teratur dan kurang resikinya jauh lebih tinggi daripada inisiatif kepemimpinan

Perilaku umum

Manajer memberi perhatian yang cermat terhadap semua konstituensi mereka, khususnya pelanggan, memprakarsai perubahan bila dibutuhkan untuk melayani kepentingan mereka yang sah, bahkan walaupun menuntut pengambilan beberapa resiko

Para manajer cenderung berperilaku agak picik, politis dan birokratis. Akibatnya, mereka tidak cepat mengubah strategi mereka untuk menyesuaikan diri dengan atau mengambil keuntungan dari perubahan-perubahan dalam lingkungan bisnis mereka.

Sumber: Kotler dan James L. Heskett (1992, 33)

Karakteristik budaya adaptif secara umum tercermin dari kualitas

seperti kepemimpinan, kewiraswastaan, penanggungan resiko yang

bijaksana, pembahasan yang jujur, fleksibel, proaktif terhadap kehidupan

Page 18: Bab ii tinjauan pustaka

42

organisasi dan kehidupan individu, para anggota organisasi aktif

mendukung usaha satu sama lain untuk mengidentifikasi semua masalah

dan mengimplementasikan pemecahan masalah yang dapat berfungsi,

rasa percaya diri (confidence) yang dimiliki bersama, tanpa rasa bimbang,

bahwa mereka dapat menata olah secara efektif masalah baru dan

peluang apa saja yang akan mereka temui, kegairahan yang menyebar

luas, semangat dalam mencapai keberhasilan suatu organisasi, serta para

anggota organisasi reseptif terhadap perubahan dan inovasi.

Tipe budaya organisasi ini pun masih memiliki kelemahan-

kelemahan. Kelemahan yang menonjol dari teori budaya adaptif adalah

bahwa perubahan budaya dapat mendorong anggota organisasi

(pimpinan) untuk mengubah sesuatu ke arah yang salah.

2.1.5 Efek Fungsional Budaya

a. Fungsi Budaya

Budaya organisasi dapat berpengaruh terhadap perilaku

anggotanya, budaya organisasi yang kuat dapat meningkatkan mutu

suasana kerja karyawan, meningkatkan komitmen terhadap organisasi

dan meningkatkan konsistensi perilaku karyawannya, mengurangi

ketidakjelasan dalam bersikap dan berperilaku yang pada akhirnya dapat

memberikan keupasan kerja karyawan. Keadaan tersebut tentu akan

memberikan manfaat bagi perusahaan.

Page 19: Bab ii tinjauan pustaka

43

Menurut Sentot Imam Wahjono (2010:41), fungsi dari budaya

organisasi yaitu:

1. Menetapkan tapal batas. Budaya akan menciptakan pembeda yang jelas antara satu organisasi dan yang lainnya.

2. Membawa suatu rasa identitas bagi anggota-anggota organisasinya.

3. Mempermudah timbulnya komitmen pada suatu yang lebih luas dari pada kepentingan diri pribadi seseorang.

4. Meningkatkan kemantapan sistem sosial, membantu mempersatukan organisasi itu dengan memberikan standar-standar yang tepat untuk apa yang harus dikatakan dan dilakukan oleh para karyawan.

5. Mekanisme pembuat makna dan kendali yang memandu dan membentuk sikap serta perilaku para karyawan.

WT Heelen dan Hunger (dalam Sopiah, 2008:136) secara spesifik

mengemukakan sejumlah peran penting yang dimainkan oleh budaya

perusahaan, yaitu: (1) Membantu menciptakan rasa memiliki jati diri bagi

pekerja. (2) Dapat dipakai untuk mengembangkan ikatan pribadi dengan

perusahaan. (3) Membantu stabilisasi perusahaan sebagai suatu sistem

sosial, dan (4) menyajikan pedoman perilaku sebagai hasil dari norma-

norma perilaku yang sudah terbentuk.

Dari fungsi budaya tersebut dapat disimpulkan bahwa budaya

bernilai untuk organisasi atau karyawan, budaya meningkatkan komitmen

organisasi dan konsistensi dari perilaku karyawan/ anggota organisasi.

Bahkan Rivai (2003:433) menegaskan bahwa budaya mempunyai

dampak yang kuat dan semakin besar pada prestasi kerja organisasi,

diantaranya yaitu:

1) Budaya perusahaan dapat mempunyai dampak signifikan pada prestasi kerja ekonomi perusahaan dalam jangka panjang.

Page 20: Bab ii tinjauan pustaka

44

2) Budaya perusahaan bahkan mungkin merupakan faktor yang lebih penting dalam menentukan sukses atau gagalnya perusahaan dalam masa mendatang.

3) Budaya perusahaan yang menghambat prestasi keuangan yang kokoh dalam jangka panjang sering terjadi dan budaya tersebut berkembang dengan mudah.

4) Walaupun sulit untuk diubah, budaya perusahaan dapat dibuat untuk ;lebih meningkatkan prestasi.

Akhirnya secara singkat dapat dikatakan bahwa budaya

perusahaan sangat penting perannya di dalam mendukung terciptanya

suatu organisasi yang efektif.

b. Budaya sebagai suatu kewajiban

Wahjono (2010:41) mengemukakan bahwa: “Dari titik pandang

seorang karyawan, budaya bernilai karena mengurangi kemenduaan

(ambiguitas)”. Budaya memberi tahu para karyawan tentang bagaimana

segala sesuatu harus dilakukan dan mana yang terpenting yang harus

didahulukan. Namun kita tidak boleh mengabaikan aspek budaya yang

secara potensial bersifat disfungsional, teristimewa budaya yang kuat,

pada keefektifan suatu organisasi.

Budaya organisasi dapat bersifat negatif apabila serangkaian nilai,

norma, dan asumsinya tidak sesuai dengan nilai, norma, dan asumsi yang

dapat meningkatkan efektifitas perusahaan. Apabila keadaan tersebut

terjadi, menurut Wahjono (2010:41) dapat menyebabkan hal-hal sebagai

berikut: (1) hambatan terhadap perubahan, (2) hambatan terhadap

keanekaragaman dan (3) hambatan terhadap merger dan akuisisi.

Page 21: Bab ii tinjauan pustaka

45

Penjelasan singkat mengenai masing-masing hambatan yang

dikemukakan oleh Wahjono adalah sebagai berikut:

1. Hambatan terhadap perubahan.

Budaya merupakan suatu beban, bilamana nilai-nilai bersama tidak

cocok dengan nilai yang akan meningkatkan keefektifan organisasi itu. Hal

ini akan terjadi bila lingkungan berubah secara dinamis. Bila lingkungan itu

mengalami perubahan yang cepat, budaya yang telah berakar mungkin

tidak lagi tepat sehingga membuat para karyawan kesulitan dalam

menghadapi perubahan.

2. Hambatan terhadap keanekaragaman.

Manajemen menginginkan karyawan baru itu menerima nilai

budaya inti dari organisasi itu. Bila tidak, karyawan ini kecil kemungkinan

cocok atau diterima. Padahal kepedulian atas keragaman dapat membuat

kesuksesan perencanaan dan beberapa usaha dari bagian SDM.

3. Hambatan terhadap merger dan akuisisi.

Saat ini bukan hanya faktor finansial dan manajerial yang biasanya

menjadi patokan dalam melakukan merger ataupun akuisisi dalam suatu

perusahaan, akan tetapi juga faktor kecocokan budaya kedua organisasi.

Kecocokan budaya organisasi ini akan mempengaruhi sejauh mana

akuisisi atau merger tersebut akan benar-benar berhasil atau tidak.

Page 22: Bab ii tinjauan pustaka

46

2.2 Kinerja Karyawan

2.2.1 Definisi Kinerja Karyawan

Istilah „kinerja‟ dalam bahasa Indonesia bermakna sama dengan

prestasi kerja, pelaksanaan kerja, pencapaian kerja, atau hasil kerja, yang

merupakan terjemahan dari bahasa Inggris yaitu „performance‟.

Mangkunegara (2009:9) mengemukakan:

Kinerja karyawan (prestasi kerja) adalah hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang dicapai oleh seseorang karyawan dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan kepadanya.

Hasibuan (2007:94) menjelaskan:

Prestasi kerja adalah suatu hasil kerja yang dicapai seseorang dalam melaksanakan tugas-tugas yang dibebankan kepadanya yang didasarkan atas kecakapan, pengalaman, dan kesungguhan serta waktu.

Selanjutnya Simanjuntak (2005:103) menegaskan:

“Kinerja individu adalah tingkat pencapaian atau hasil kerja

seseorang dari sasaran yang harus dicapai atau tugas yang harus

dilaksanakan dalam kurun waktu tertentu”.

Dari beberapa definisi diatas dapat disimpulkan bahwa kinerja

adalah unjuk kerja berupa kualitas dan kuantitas dari pencapaian tugas-

tugas yang dilakukan seseorang, kelompok maupun perusahaan

berdasarkan kecakapan, pengalaman dan kesungguhan.

Page 23: Bab ii tinjauan pustaka

47

2.2.2 Penilaian Kinerja Karyawan

Kinerja sangat terkait dengan produktifitas karena merupakan

indikator dalam menentukan usaha mencapai tingkat produktifitas

organisasi. Dengan demikian, melaksanakan penilaian terhadap kinerja

merupakan hal yang penting. Penilaian kinerja memerlukan adanya

penetapan standar kerja atau standard performance. Jika hasil penelitian

kinerja telah mencapai standar atau lebih, maka berarti manajemen

perusahaan tersebut telah dilaksanakan secara efektif.

Berikut ini beberapa kutipan definisi penilaian kinerja menurut para

ahli:

a. Penilaian prestasi kerja adalah evaluasi yang sistematis terhadap pekerjaan yang telah dilakukan oleh karyawan dan ditujukan untuk pengembangan. (Sikula dalam Hasibuan, 2007:87)

b. Evaluasi kinerja adalah penilaian yang dilakukan secara sistematis untuk mengetahui hasil pekerjaan karyawan dan kinerja organisasi. Disamping itu, juga untuk menentukan kebutuhan pelatihan kerja secara tepat, memberikan tanggung jawab yang sesuai kepada karyawan sehingga dapat melaksanakan pekerjaan yang lebih baik di masa mendatang dan sebagai dasar untuk menentukan kebijakan dalam hal promosi jabatan dan penentuan imbalan. (Mangkunegara, 2009:10)

c. Penilaian prestasi merupakan sebuah proses formal untuk melakukan peninjauan ulang dan evaluasi prestasi kerja seseorang secara periodik. (Panggabean, 2004:66)

d. Penilaian kinerja (Performance Appraisal) merupaka proses dimana organisasi mendapat informasi tentang seberapa baik seorang karyawan melakukan pekerjaannya. (Raymond A Noe, dkk, 2010:452)

e. Penilaian prestasi adalah kegiatan manajer untuk mengevaluasi perilaku prestasi kerja karyawan serta menetapkan kebijaksanaan selanjutnya. (Hasibuan, 2007:87)

Page 24: Bab ii tinjauan pustaka

48

f. Penilaian prestasi kerja adalah proses melalui mana organisasi-organisasi mengevaluasi atau menilai prestasi kerja karyawan. (Handoko, 2001:135)

g. Penilaian kinerja berarti mengevaluasi kinerja karyawan saat ini dan/atau di masa lalu relatif terhadap standar prestasinya. (Dessler, 2006:322)

Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa: (1) Penilaian

prestasi ini merupakan evaluasi terhadap perilaku, prestasi kerja, dan

potensi pengembangan yang telah dilakukan. (2) Penilaian prestasi ini

pada dasarnya merupakan suatu proses mengestimisasi dan menentukan

nilai dan keberhasilan pelaksanaan tugas para karyawan. (3) Penilaian

prestasi ini membandingkan realisasi nyata dengan standar (required

performance) yang dicapai karyawan. (4) Penilaian prestasi dilaksanakan

oleh manajer terhadap bawahannya. (5) Penilaian prestasi ini akan

menentukan kebijaksanaan selanjutnya.

2.2.3 Tahapan dalam Penilaian Kinerja

Proses penilaian kinerja terdiri dari tiga tahap yaitu:

1. Mendefinisikan pekerjaan, menilai kinerja, dan memberikan umpan balik. Pendefinisian pekerjaan berarti memastikan bahwa pimpinan dan karyawan setuju dengan kewajiban dan standar pekerjaannya.

2. Penilaian kinerja berarti membandingkan kinerja sesungguhnya dari karyawan dengan standar yang telah ditetapkan; ini biasanya melibatkan beberapa jenis formulir peringkat.

3. Penilaian kinerja biasanya membutuhkan sesi umpan balik. Disini, atasan dan bawahan mendiskusikan kinerja dan kemajuan bawahan dan membuat rencana untuk pengembangan apapun yang dibutuhkan. (Gary Dessler, 2006:327)

Page 25: Bab ii tinjauan pustaka

49

Handoko (2001:137-138) hanya merinci kedalam tiga langkah

dalam penilaian kinerja yaitu mendefinisikan pekerjaan, melakukan

penilaian kinerja dan umpan balik. Elemen-elemen dalam penilaian kinerja

tergambarkan sebagai berikut:

Gambar 2.2

Elemen Pokok Penliaian Kinerja

Sumber: Handoko (2001:138)

2.2.4 Tujuan Penilaian/Evaluasi Kinerja

Tujuan evaluasi kinerja adalah untuk memperbaiki atau

meningkatkan kinerja organisasi melalui peningkatan kinerja dari sistem

organisasi. Secara lebih spesifik, tujuan dari evaluasi kinerja sebagaimana

dikemukakan Agus Sunyoto dalam Mangkunegara (2009:10) adalah

sebagai berikut:

Prestasi Kerja Karyawan

Penilaian Prestasi Kerja

Umpan Balik Bagi Karyawan

Prestasi Kerja Karyawan

Prestasi Kerja Karyawan

Kriteria yang ada hubungannya dengan

pelaksanaan kerja

Ukuran-ukuran Prestasi Kerja

Page 26: Bab ii tinjauan pustaka

50

a. Meningkatkan saling pengertian antara karyawan tentang persyaratan kinerja.

b. Mencatat dan mengakui hasil kerja seorang karyawan, sehingga mereka termotivasi untuk berbuat yang lebih baik, atau sekurang-kurangnya berprestasi sama dengan prestasi yang terdahulu.

c. Memberikan peluang kepada karyawan untuk mendiskusikan keinginan dan aspirasinya dan meningkatkan kepedulian terhadap karier atau terhadap pekerjaan yang diembannya sekarang.

d. Mendefinisikan atau merumuskan kembali sasaran masa depan, sehingga karyawan termotivasi untuk berprestasi sesuai dengan potensinya.

e. Memeriksa rencana pelaksanaan dan pengembangan yang sesuai dengan kebutuhan pelatihan, khusus rencana diklat, dan kemudian menyetujui rencana itu jika tidak ada hal-hal yang perlu diubah.

Kegunaan penilaian prestasi kerja (kinerja) karyawan menurut

Mangkunegara (2009:11) adalah:

a. Sebagai dasar dalam pengambilan keputusan yang digunakan untuk prestasi, pemberhentian dan besarnya balas jasa.

b. Untuk mengukur sejauh mana seorang karyawan dapat menyelesaikan pekerjaannya.

c. Sebagai dasar untuk mengevaluasi efektivitas seluruh kegiatan dalam perusahaan.

d. Sebagai dasar untuk mengevaluasi program latihan dan keefektifan jadwal kerja, metode kerja, struktur organisasi, gaya pengawasan, kondisi kerja dan pengawasan.

e. Sebagai indikator untuk menentukan kebutuhan akan latihan bagi karyawan yang berada di dalam organisasi.

f. Sebagai alat untuk meningkatkan motivasi kerja karyawan sehingga dicapai performance yang baik.

g. Sebagai alat untuk dapat melihat kekurangan atau kelemahan dan meningkatkan kemampuan karyawan selanjutnya.

h. Sebagai kriteria menentukan, seleksi dan penempatan karyawan.

i. Sebagai dasar untuk memperbaiki atau mengembangkan uraian tugas (job description).

Page 27: Bab ii tinjauan pustaka

51

Adapun tujuan dan kegunaan penilaian prestasi karyawan menurut

Hasibuan (2007:89) yaitu:

1) Sebagai dasar dalam pengambilan keputusan yang digunakan untuk promosi, demosi, pemberhentian, dan penetapan besarnya balas jasa.

2) Untuk mengukur prestasi kerja, yaitu sejauh mana karyawan bisa sukses dalam pekerjaannya.

3) Sebagai dasar untuk mengevaluasi efektifitas seluruh kegiatan didalam perusahaan.

4) Sebagai dasar untuk mengevaluasi program latihan dan keefektivan jadwal kerja, metode kerja, struktur organisasi, gaya pengawasan, kondisi kerja, dan peralatan kerja.

5) Sebagai indikator untuk menentukan kebutuhana akan latihan bagi karyawan yang berada di dalam organisasi.

6) Sebagai alat untuk meningkatkan motivasi kerja karyawan sehingga dicapai tujuan untuk mendapatkan performance kerja yang baik.

7) Sebagai alat untuk mendorong atau membiasakan para atasan (supervisior, manajers, administrator) untuk mengobservasi perilaku bawahan (subordinate) supaya diketahui minat dan kebutuhan-kebutuhan bawahannya.

8) Sebagai alat untuk bisa melihat kekurangan atau kelemahan-kelemahan dimasa lampau dan meningkatkan kemampuan karyawan selanjutnya.

9) Sebagai kriteria didalam menentukan seleksi dan penempatan karyawan.

10) Sebagai alat untuk mengidentifikasi kelemahan-kelemahan personel dan dengan demikian bisa sebagai bahan pertimbangan agar bisa diikutsertakan dalam latihan kerja tambahan.

11) Sebagai alat untuk memperbaiki atau mengembangkan kecakapan karyawan, dan

12) Sebagai dasar untuk memperbaiki dan mengembangkan uraian pekerjaan (job description).

2.2.5 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pencapaian Kinerja

Mangkunegara (2009:13) mengemukakan bahwa faktor yang

mempengaruhi pencapaian kinerja adalah faktor kemampuan (ability) dan

Page 28: Bab ii tinjauan pustaka

52

faktor motivasi (motivation). Hal ini sesuai dengan pendapat Keith Davis

dalam Mangkunegara (2009:13) yang merumuskan bahwa:

Human Performance = Ability x Motivation

Motivation = Attitude x Situation

Ability = Knowledge x Skill

Penjelasan:

a. Faktor Kemampuan (Ability)

Secara psikologis, kemampuan (ability) terdiri dari kemampuan

potensi (IQ) dan kemampuan reality (knowledge + skill).

Artinya, pimpinan dan karyawan yang memiliki IQ diatas rata-rata (IQ

110-120) apalagi IQ superior, very superior, gifted dan genius dengan

pendidikan yang memadai untuk jabatannya dan terampil dalam

mengerjakan pekerjaan sehari-hari maka akan lebih mudah mencapai

kinerja maksimal.

b. Faktor Motivasi (motivation)

Motivasi diartikan suatu sikap (attitude) pimpinan dan karyawan

terhadap situasi kerja (situation) dilingkungan organisasinya. Mereka

yang bersikap positif (pro) terhadap situasi kerjanya akan menunjukan

motivasi kerja tinggi dan sebaliknya jika mereka bersikap negative

(kontra) terhadap situasi kerjanya akan menunjukan motivasi kerja

yang rendah. Situasi kerja yang dimaksud mencakup antara lain

hubungan kerja, fasilitas kerja, iklim kerja, kebijakan pimpinan, pola

kepemimpinan kerja dan kondisi kerja.

Page 29: Bab ii tinjauan pustaka

53

Menurut A Dale Timple (dalam Mangkunegara, 2009:15), faktor-

faktor kinerja terdiri dari faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal

(disposisional) yaitu faktor yang dihubungkan dengan sifat-sifat

seseorang. Misalnya, kinerja seseorang baik disebabkan karena

mempunyai kemampuan tinggi dan seseorang itu tipe pekerja keras,

sedangkan seseorang mempunyai kinerja jelek disebabkan orang tersebut

mempunyai kemampuan rendah dan orang tersebut tidak memiliki upaya-

upaya untuk memperbaiki kemampuannya.

Faktor eksternal yaitu faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja

seseorang yang berasal dari lingkungan seperti perilaku, sikap, dan

tindakan-tindakan rekan kerja, bawahan ataupun pimpinan, fasilitas kerja,

dan iklim organisasi.

Faktor internal dan faktor eksternal ini merupakan jenis-jenis

atribusi yang mempengaruhi kinerja seseorang. Jenis-jenis atribusi yang

dibuat para karyawan memiliki sejumlah akibat psikologis yang

berdasarkan kepada tindakan. Seseorang karyawan yang menganggap

kinerjanya baik berasal dari faktor-faktor internal seperti kemampuan atau

upaya, diduga orang tersebut akan mengalami lebih banyak perasaan

positif tentang kinerjanya dibandingkan dengan jika ia menghubungkan

kinerjanya yang baik dengan faktor eksternal. Seperti nasib baik, suatu

tugas yang mudah atau ekonomi yang baik. Jenis atribusi yang dibuat

seorang pimpinan tentang kinerja seorang bawahan mempengaruhi sikap

dan perilaku terhadap bawahan tersebut. Misalnya, seorang pimpinan

Page 30: Bab ii tinjauan pustaka

54

yang mempermasalahkan kinerja buruk seseorang bawahan karena

kekurangan ikhtiar mungkin diharapkan mengambil tindakan hukum,

sebaliknya pimpinan yang tidak menghubungkan dengan kinerja buruk

dengan kekurangan kemampuan/keterampilan, pimpinan akan

merekomendasikan suatu program pelatihan didalam ataupun diluar

perusahaan. Oleh karena itu, jenis atribusi yang dibuat oleh seorang

pimpinan dapat menimbulkan akibat-akibat serius dalam cara bawahan

tersebut diperlakukan. Cara-cara seorang karyawan menjelaskan

kinerjanya sendiri juga mempunyai implikasi penting dalam bagaiman dia

berperilaku dan berbuat ditempat kerja.

Akhirnya, Mangkunegara (2009:16) menyimpulkan bahwa: “Faktor-

faktor penentu prestasi kerja individu dalam organisasi adalah faktor

inidvidu dan faktor lingkungan kerja organisasi”. Hal ini sesuai denga teori

Convergen William Stern. Pendapat William Stern dalam teorinya tersebut

sebenarnya merupakan perpaduan dari pandangan teori heriditas dari

Schopenhauer dan teori lingkungan dari John Locke. Secara inti

Schopenhauer dalam teori heriditasnya berpandangan bahwa hanya

faktor individu (termasuk faktor keturunannya) yang sangat menentukan

seorang individu mampu berprestasi atau tidak; sedangkan John Locke

dalam teori lingkungan berpandangan bahwa hanya faktor lingkungan

yang sangat menentukan seorang individu mampu berprestasi atau tidak.

Mangkunegara, sependapat dengan pandangan teori convergen dari

Page 31: Bab ii tinjauan pustaka

55

William Stern bahwa faktor-faktor penentu prestasi kerja individu adalah

faktor individu dan faktor lingkungan kerja organisasi.

Mangkunegara (2009:16) menjelaskan faktor individu: “Dengan

adanya integrias yang tinggi antara fungsi psikis dan fisik, maka individu

tersebut memiliki konsentrasi diri yang baik”. Konsentrasi yang baik ini

merupakan modal utama sumber daya manusia untuk mampu mengelola

dan mendayagunakan potensi dirinya secara optimal dalam

melaksanakan kegiatan atau aktifitas kerja sehari-hari dalam mencapai

tujuan organisasi. Konsentrasi individu dalam bekerja sangat dipengaruhi

oleh kemampuan potensi, yaitu kecerdasan pikiran/ Intelegensi Quotiont

(IQ) dan kecerdasan emosi/ Emotional Quotiont (EQ).

Adapun Mangkunegara (2009:16) menjelaskan: “Faktor lingkungan

organisasi yang dimaksud antara lain uraian jabatan yang jelas, autoritas

yang memadai, target kerja yang menantang, pola komunikasi kerja

efektif, hubungan kerja harmonis, iklim kerja respek dan dinamis, peluang

berkarier dan fasilitas kerja yang relatif memadai”. Sekalipun, jika faktor

lingkungan organisasi kurang menunjang, maka bagi individu yang

memiliki tingkat kecerdasan pikiran memadai dengan tingkat kecerdasan

emosi baik, sebenarnya ia tetap dapat berprestasi dalam bekerja. Hal ini

bagi individu tersebut, lingkungan organisasi itu dapat diubah dan bahkan

dapat diciptakan oleh dirinya serta merupakan pemacu (pemotivator),

tantangan bagi dirinya dalam berprestasi di organisasi.

Page 32: Bab ii tinjauan pustaka

56

2.2.6 Unsur-Unsur Penilaian Kinerja Karyawan

Ukuran-ukuran dalam menilai kinerja karyawan menurut Grensig

(2001:250-251) adalah:

1) Kulaitas. Standar kualitas yang didasarkan pada berapa banyak kesalahan, kelalaian atau keluhan dalam jangka waktu tertentu.

2) Kuantitas. Standar terukur berdasarkan kuantitas kerja yang dihasilkan.

3) Batas waktu. Standar-standar waktu untuk penyelesaian tugas/ jumlah perubahan waktu yang diizinkan.

4) Efisiensi biaya. Beberapa jabatan bertugas untuk mencapai anggaran atau mempergunakan biaya-biaya.

Menurut Hasibuan (2007:95), kinerja karyawan dapat dikatakan

baik atau dapat dinilai dari beberapa hal, yaitu: (1) Kesetiaan, (2) Prestasi

kerja, (3) Kejujuran, (4) Kedisiplinan, (5) Kreatifitas, (6) Kerja sama, (7)

Kepemimpinan, (8) Kepribadian, (9) Prakarsa, (10) Kecakapan, dan (11)

Tanggung jawab.

Adapun penjelasan singkat mengenai masing-masing unsur yang

dikemukakan oleh Hasibuan adalah sebagai berikut:

1. Kesetiaan.

Penilai perlu mengukur kesetiaan atau loyalitas karyawan, baik

terhadap pekerjaannya, jabatannya, maupun organisasinya. Kesetiaan ini

dicerminkan oleh kesediaan karyawan untuk menjaga dan membela

organisasi di dalam maupun di luar pekerjaan dari rongrongan orang yang

tidak bertanggung jawab.

Page 33: Bab ii tinjauan pustaka

57

2. Prestasi kerja.

Penilai menilai hasil kerja baik kualitas maupun kuantitas yang

dapat dihasilkan karyawan tersebut dari uraian pekerjaannya. Penilai perlu

mengukur sejauh mana karyawan tersebut dapat mengerjakan tugasnya

dengan hasil yang memuaskan dalam batas waktu yang telah ditentukan.

3. Kejujuran.

Kejujuran sangatlah penting dalam sebuah bisnis. Dengan adanya

kejujuran, maka akan timbul rasa saling percaya satu sama lain. Penilai

perlu menilai kejujuran karyawan, baik dalam melaksanakan tugas-

tugasnya ataupun dalam memenuhi perjanjian.

4. Kedisiplinan.

Penilai perlu menilai kedisiplinan karyawan dalam mematuhi

peraturan-peraturan yang ada dan melakukan pekerjaannya sesuai

dengan instruksi yang diberikan kepadanya. Seperti kedisiplinan dalam

waktu masuk kerja, waktu pulang kerja, waktu penyerahan tugas,

mengikuti langkah-langkah pengerjaan sesuai dengan prosedur yang ada,

dan lain sebagainya.

5. Kreativitas.

Kemampuan karyawan dalam mengembangkan kreatifitasnya

untuk menyelesaikan pekerjaannya pun perlu dinilai oleh penilai.

Kreatifitas disini dimaksudkan sebagai segala aktifitas yang dilakukan

karyawan yang menunjang pekerjaannya, sehingga karyawan tersebut

bekerja lebih berdaya guna dan berhasil guna.

Page 34: Bab ii tinjauan pustaka

58

6. Kerja sama.

Penilai perlu menilai kesediaan karyawan berpartisipasi dan bekerja

sama dengan karyawan lainnya, baik secara vertikal atau horizontal di

dalam maupun di luar pekerjaan sehingga hasil pekerjaan semakin baik.

7. Kepemimpinan.

Kemampuan untuk memimpin, berpengaruh, mempunyai pribadi

yang kuat, dihormati, berwibawa, dan dapat memotivasi orang lain atau

bawahannya untuk bekerja secara efektif juga perlu dinilai.

8. Kepribadian.

Penilai menilai karyawan dari sikap perilakunya di dalam

perusahaan. Kesopanan, periang, disukai oleh rekan kerja atau

atasannya, memberi kesan menyenangkan, memperlihatkan sikap yang

baik, serta berpenampilan simpatik dan wajar dapat menjadi unsur-unsur

penilaian kinerja suatu karyawan.

9. Prakarsa.

Penilai menilai kemampuan berfikir yang orisinal dan berdasarkan

inisiatif sendiri untuk menganalisis, menilai, menciptakan, memberi alasan,

mendapatkan kesimpulan, dan membuat keputusan dalam penyelesaian

masalah yang dihadapinya.

10. Kecakapan.

Penilai menilai kecakapan karyawan dalam menyatukan dan

menyelaraskan bermacam-macam elemen yang semuanya terlibat di

dalam penyusunan kebijaksanaan dan di dalam situasi manajemen.

Page 35: Bab ii tinjauan pustaka

59

11. Tanggung jawab.

Penilai menilai kesediaan karyawan dalam

mempertanggungjawabkan kebijaksanaannya, pekerjaan, dan hasil

kerjanya, sarana dan prasarana yang dipergunakannya, serta perilaku

kerjanya.

Hasibuan (2007:96) berpendapat bahwa, unsur-unsur prestasi

karyawan yang akan dinilai oleh organisasi atau perusahaan tidak selalu

sama, tetapi pada dasarnya unsur-unsur yang dinilai itu mencakup seperti

hal-hal di atas.

2.2.7 Metode Penilaian Kinerja

Penilai (appraiser) setelah mengetahui pengertian, tahapan

penilaian, tujuan, faktor-faktor yang mempengaruhi, juga harus

mengetahui skala nilai dan metode penilaian yang akan dipergunakan

dalam penilaian prestasi karyawan di perusahaan atau organisasi.

Berbagai teknik dapat dipilih dalam pelaksanaan penilaian kinerja.

Teknik-teknik penilaian kinerja tersebut oleh Handoko (2001:142-152)

dikelompokkan menjadi dua kelompok dengan rincian teknik untuk

masing-masing metode sebagai berikut:

1. Metode Penilaian Berorientasi Masa Lalu, mencakup teknik: a. Rating scale b. Checklist c. Metode peristiwa kritis d. Field review method

Page 36: Bab ii tinjauan pustaka

60

e. Tes dan observasi prestasi kerja f. Metode evaluasi kelompok

2. Metode Penilaian Berorientasi Masa Depan, mencakup teknik: a. Penilaian diri (self appraisal) b. Penilaian psikologis c. Pendekatan Management By Objective (MBO) d. Teknik pusat penelitian

Sedangkan Hasibuan (2006:96-100) membagi metode penilaian

kerja kedalam dua kelompok, yaitu (1) metode tradisional dan (2) metode

modern, dengan klasifikasi sebagai berikut:

1. Metode Tradisional: a. Rating scale b. Employee comparation c. Check list d. Freeform essay e. Critical incident

2. Metode Modern: a. Assessment centre b. Management By Objective (MBO) c. Human asset accounting

Masing-masing metode dan teknik mempunyai kelebihan dan

kekurangan, oleh karena itu pemilihan metode dan teknik penilaian kinerja

tergantung tujuan atau kebutuhan dari penilaian kinerja yang akan

dilakusanakan.

2.2.8 Kendala-Kendala Penilaian Kinerja

Indeks prestasi karyawan harus ditetapkan dengan baik, jujur,

objektif sesuai dengan kenyataan yang ada. Akan tetapi, penilai sering

tidak berhasil untuk tidak melibatkan emosionalnya dalam menilai prestasi

kerja karyawan. Ini menyebabkan evaluasi menjadi bias (distorsi

pengukuran yang tidak akurat). Masalah kemungkinan terjadi bias

Page 37: Bab ii tinjauan pustaka

61

terutama bila ukuran-ukuran yang digunakan bersifat subjektif. Berbagai

bias yang paling umum terjadi menurut T. Hani Handoko (2001:140)

adalah: (1) Halo effect, (2) Kesalahan kecenderungan terpusat, (3) Bias

terlalu lunak dan terlalu keras, (4) Prasangka pribadi, dan (5) Pengaruh

kesan terakhir.

Adapun penjelasan dari kendala-kendala tersebut diuraikan

sebagai berikut:

1) Halo effect

Halo effect dapat terjadi apabila pendapat pribadi penilai tentang

karyawan mempengaruhi pengukuran prestasi kerja. Masalah ini paling

mudah terjadi ketika para penilai harus menilai orang yang dikenalnya

atau teman mereka.

Penilai sering kali mendasarkan penilaiannya atas dasar rasa (like

or dislike) bukan atas dasar fisik pikir (right or wrong). Bahkan penilai

sering mempertimbangkan orang ketiga atau keluarga karyawan yang

dinilainya, seperti anak pejabat, kesukuan, golongan, dan adanya

kesalahan penilaian karena hanya meninjau atau melihat secara sepintas

saja.

Menurut Malayu (2007:100), “Penilai juga cenderung memberikan

nilai baik jika ia mengetahui salah satu sifat yang baik dari karyawan, dan

sebaliknya….”.

Halo effect akan mengakibatkan indeks prestasi karyawan tidak

memberikan gambaran nyata dari karyawan yang dinilai.

Page 38: Bab ii tinjauan pustaka

62

2) Kesalahan kecenderungan terpusat

Banyak penilai merasa tidak suka menilai para karyawan antara

karyawan yang efektif dan tidak efektif, sangat baik atau sangat jelek,

sehingga penilaian dibuat rata-rata. Handoko (2001:140) mengemukakan:

“…. penilai menghindari penilaian ‟ekstrim‟ tersebut, dan menempatkan

penilaian pada atau dekat dengan nilai tengah”.

Pada kesalahan ini, karyawan yang berkinerja tinggi disamakan

dengan karyawan yang berkinerja rendah. Hal ini akan menyebabkan

ketidakpuasan terhadap nilai yang dihasilkan. Sehingga bisa menimbulkan

motivasi kerja berkurang dan pada akhirnya malah menurunkan kinerja

yang sudah baik.

3) Bias terlalu lunak dan terlalu keras.

Menurut Handoko (2001:140): “Kesalahan terlalu lunak (leniency

bias) disebabkan oleh kecenderungan penilai untuk terlalu mudah

memberikan nilai baik dalam evaluasi prestasi kerja karyawan”. Dan

kesalahan terlalu keras (strickness bias) adalah sebaliknya, terjadi karena

penilai terlalu ketat dalam melakukan evaluasi mereka. Kedua kesalahan

ini umumnya terjadi apabila standar-standar prestasi kerja tidak jelas.

Noe (2010:498) menambahkan bahwa: Kesalahan tersebut akan

menimbulkan dua masalah: (1) kesalahan tersebut menyebabkan sulit

membedakan antara para karyawan yang dinilai oleh orang yang sama

dan (2) kesalahan tersebut menciptakan masalah-masalah dalam

Page 39: Bab ii tinjauan pustaka

63

membandingkan kinerja individu yang dinilai oleh para peneliti yang

berbeda.

Jika salah seorang penilai bersifat lunak, sedangkan penilai lainnya

ketat, para karyawan dari penilai ketat akan mendapatkan berbagai imbal

jasa yang lebih sedikit daripada para karyawan yang dinilai oleh penilai

lunak.

4) Prasangka Pribadi

Faktor-faktor yang membentuk prasangka pribadi kepada

seseorang dapat mengubah penilaian menjadi subjektif. Menurut Handoko

(2001:141) prasangka pribadi yang dapat mempengaruhi penilaian

mencakup faktor senioritas, kesukuan, agama, kesamaan kelompok dan

status sosial.

5) Pengaruh kesan terakhir

Bila menggunakan penilaian dengan cara subjektif, penilaian akan

sangat dipengaruhi oleh kegiatan-kegiatan karyawan yang paling akhir.

Seperti yang diungkapkan Handoko (2001:141) bahwa: “Kegiatan-

kegiatan terakhir baik atau buruk – cenderung diingat oleh penilai”.

Pengabaian penilaian kegiatan diawal dan pengabaian kinerja yang

baik karena salah satu kinerja yang buruk harus dihindari. Karyawan

mungkin bisa melakukan kesalahan, tapi bukan berarti semua yang ia

kerjakan salah. Kegiatan terakhirpun tidak bisa dijadikan patokan dalam

menilai kinerja. Penilai harus menilainya dari keseluruhan total setiap

kegiatan yang telah ia jalani.

Page 40: Bab ii tinjauan pustaka

64

2.3 Hubungan Budaya Organisasi dengan Kinerja Karyawan

Budaya perusahaan yang disosialisasikan dengan komunikasi yang

baik dapat menentukan kekuatan menyeluruh perusahaan, kinerja dan

daya saing dalam jangka panjang. Menurut Stephen P. Robbins dalam

Mangkunegara (2009:28) menggambarkan hubungan antara komunikasi,

budaya perusahaan berdampak pada kinerja karyawan sebagaimana

tertera pada gambar dibawah ini.

Gambar 2.3 Diagram Dampak Hubungan antara Budaya Perusahaan

terhadap Kinerja Karyawan

sumber : AA Prabu Mangkunegara (2009:29)

Berdasarkan diagram tersebut, tampak bahwa pembentukan kinerja

yang baik dihasilkan jika terdapat komunikasi antara seluruh karyawan

sehingga membentuk internalisasi budaya perusahaan yang kuat dan

dipahami sesuai dengan nilai-nilai organisasi yang dapat menimbulkan

persepsi yang positif antara semua tingkatan karyawan untuk mendukung

FAKTOR OBJEKTIF

a. Inovasi dan pengambilan

keputusan

b. Perhatikan kerincian

c. Orientasi hasil

d. Orientasi orang

e. Orientasi tim

f. Keagresifan

g. Stabilitas

Manajemen

Puncak

Faktor Komunikasi

atau Sosialisasi

Tinggi

Rendah

Kinerja

Kepuasan

Page 41: Bab ii tinjauan pustaka

65

dan mempengaruhi iklim kepuasan yang berdampak pada kinerja

karyawan.

Nurjanah (2008:38) mengatakan: ”Mengingat budaya organisasi

merupakan suatu kesepakatan bersama para anggota dalam organisasi

atau perusahaan sehingga mempermudah lahirnya kesepakatan yang

lebih luas untuk kepentingan perorangan”. Keutamaan budaya organisasi

yaitu merupakan pengendali dan arah dalam membentuk sikap dan

perilaku manusia yang melibatkan diri dalam suatu kegiatan organisasi,

sebagaimana Deal dan Kennedy (1982) dan Ouchi (1981) dalam Nurjanah

(2008:38) menyatakan bahwa budaya organisasi mempengaruhi

produktivitas, kinerja, komitmen, kepercayaan diri, dan perilaku etis.

Penelitian yang dilakukan Nurjanah (2008:130) ini berhasil

menyimpulkan bahwa: “Budaya organisasi berpengaruh positif terhadap

kinerja karyawan”.

Menurut Kotler dan Heskett (1992:16): “Budaya yang kuat dapat

menghasilkan efek yang sangat mempengaruhi individu dan kinerja,

bahkan dalam suatu lingkungan bersaing pengaruh tersebut dapat lebih

besar dari faktor-faktor lain seperti struktur organisasi, alat analisis

keuangan, kepemimpinan dan lain-lain”. Budaya organisasi yang mudah

menyesuaikan dengan perubahan jaman (adaptif) adalah yang dapat

meningkatkan kinerja.

Soedjono (2005:22-47) dalam penelitiannya menyatakan: “Budaya

organisasi berpengaruh signifikan dan positif terhadap kinerja organisasi”.

Page 42: Bab ii tinjauan pustaka

66

Penelitian ini mendukung penelitian Kotler dan Heskett (1992,33) yang

menyatakan bahwa: “Budaya organisasi mempunyai dampak yang kuat

terhadap prestasi kerja organisasi”.

Koesmono (2005:171-185) menambahkan dalam penelitiannya

mengemukakan bahwa: “Budaya organisasi berpengaruh terhadap

motivasi dan kepuasan kerja serta kinerja pada karyawan industri

pengolahan kayu skala menengah di Jawa Timur”. Selain itu Kosemono

menambahkan, “…. ada pengaruh tidak langsung dari budaya organisasi

terhadap kinerja melalui variabel antara yaitu kepuasan kerja”.

Budaya organisasi yang kuat akan membantu organisasi dalam

memberikan kepastian kepada seluruh pegawai untuk berkembang

bersama, tumbuh dan berkembangnya instansi. Pemahaman tentang

budaya organisasi perlu ditanamkan sejak dini kepada pegawai. Bila pada

waktu permulaan masuk kerja, mereka masuk ke instansi dengan

berbagai karakteristik dan harapan yang berbeda-beda, maka melalui

training, orientasi dan penyesuaian diri, pegawai akan menyerap budaya

organisasi yang kemudian akan berkembang menjadi budaya kelompok,

dan akhirnya diserap sebagai budaya pribadi. Bila proses internalisasi

budaya organisasi menjadi budaya pribadi telah berhasil, maka pegawai

akan merasa identik dengan instansinya, merasa menyatu dan tidak ada

halangan untuk mencapai kinerja yang optimal. Ini adalah kondisi yang

saling menguntungkan, baik bagi instansi maupun pegawai.