Bab ii tinjauan pustaka
-
Upload
lulu-nurul -
Category
Documents
-
view
146 -
download
2
Transcript of Bab ii tinjauan pustaka
25
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Budaya Organisasi
2.1.1 Definisi Budaya Organisasi
Disiplin ilmu budaya sebenarnya berasal dari disiplin ilmu
antropologi. Sekitar tahun 1979 kata budaya seringkali dikaitkan dengan
organisasi. Orang yang pertama memunculkan istilah organizational
corporate culture ialah Andrew Peettigrew dalam tulisannya di Jurnal
Science Quarterly. Ia mendapat perhatian yang cukup luas baik dari
kalangan akademis, praktisi maupun organization theoritist.
Sopiah (2008:127) mengemukakan bahwa: “Untuk memahami
konsep budaya organisasi bukanlah sesuatu hal yang mudah”. Belum
adanya kesepakatan atas konsep budaya organisasi ini menyebabkan
munculnya pemahaman yang bervariasi dan kontroversi. Bidang studi
budaya organisasi inipun dapat dikatakan masih sangat muda.
Disamping menjadi konsep penting, menurut Rivai dan Mulyadi
(2009:256): “Budaya organisasi juga merupakan sebuah perspektif dari
yang untuk memahami perilaku individu dan kelompok didalam organisasi
mempunyai pembatasannya”. Budaya organisasi bukan satu-satunya cara
dalam mencerminkan „seperti apa‟ organisasi tersebut. Selain itu, seperti
konsep yang lainnya, budaya organisasi banyak digambarkan dengan
26
cara yang berbeda-beda oleh para ahli teori manapun ataupun oleh
peneliti. Sebagian dari definisi budaya menguraikan sebagai:
a. Lambang, bahasa, ideologi, upacara agama, dan dongeng.
b. Catatan organisasi diperoleh dari catatan pribadi yang menyangkut
organisasi pendiri atau pemimpin dominan.
c. Suatu produk; historis; berdasarkan pada lambang; dan suatu
abstrak dari perilaku dan produk atas perilaku.
Budaya organisasi mencerminkan tingkat penghayatan secara
umum dari para anggota terhadap norma, nilai dan asumsi yang dianut
oleh organisasi tersebut. Oleh karena itu, setiap organisasi selalu
mengharapkan agar setiap anggotanya, dengan latar belakang berbeda
atau dengan tingkat jabatan yang berbeda tersebut, dapat melaksanakan
budaya organisasi dengan cara-cara yang sama.
Beberapa kutipan definisi budaya organisasi berikut ini diharapkan
dapat membantu pemahaman tentang budaya organisasi.
a. Budaya organisasi adalah suatu pola teladan dari penerimaan dasar ketika ditemukan, atau yang dikembangkan oleh kelompok tertentu sebagai upaya belajar untuk mengatasi permasalahan dari adaptasi eksternal dan integrasi eksternal dan integrasi internal yang telah bekerja cukup lancer untuk menjadi mempertimbangkan yang sah dan, oleh karena itu, untuk mengajarkan ke anggota baru sebagai cara yang benar untuk merasa, berfikir, dan merasakan dalam hubungan dengan masalah (Veithzal Rivai dan Deddy Mulyadi, 2009: 256).
b. Budaya organisasi merupakan pola keyakinan dan nilai-nilai organisasi yang dipahami, dijiwai dan dipraktekan oleh organisasi sehingga pola tersebut memberikan arti tersendiri dan menjadi dasar aturan berperilaku dalam organisasi (Davis dalam Lako, 2004:29).
27
c. Budaya organisasi adalah seperangkat asumsi atau sistem keyakinan, nilai-nilai, dan norma yang dikembangkan dalam organisasi yang dijadikan pedoman tingkah laku bagi anggota-anggotanya untuk mengatasi masalah adaptasi eksternal dan internal (Mangkunegara, 2005:113).
d. Budaya organisasi merupakan merupakan sistem makna bersama yang dianut oleh anggota-anggota yang membedakan organisasi itu dari organisasi lain (Stephen P. Robbins, 2006:721).
e. Budaya perusahaan (corporate culture) adalah sistem dari pada nilai-nilai, kepercayaan dan kebiasaan dalam suatu organisasi yang berinteraksi dengan struktur formal sehingga menjadi peraturan tingkah laku (Monday dan Noe dalam Maman Ukas, 1999:141).
f. Budaya perusahaan adalah representasi kolektif: kepercayaan-kepercayaan dan nilai-nilai yang merupakan anggapan-anggapan dasar yang diterima dimana ditemukan pendapat rasional dalam perusahaan tersebut (Shaun Tyson dan Tony Jackson, 2001:253).
Berdasarkan beberapa definisi diatas, dapat disimpulkan bahwa
budaya organisasi adalah seperangkat asumsi atau sistem keyakinan,
nilai-nilai dan norma yang dikembangkan didalam organisasi yang
dijadikan pedoman tingkah laku bagi anggota-anggotanya untuk
mengatasi masalah adaptasi eksternal dan integrasi internal.
2.1.2 Menciptakan dan Mempertahankan Budaya Organisasi
Robbins (2002:284) mengemukakan bahwa: “Kebiasaan, tradisi
dan cara-cara umum dalam mengerjakan sesuatu yang sudah ada di
dalam suatu organisasi berkaitan erat dengan apa yang telah dilakukan
sebelumnya dan dengan tingkat keberhasilan organisasi tersebut dengan
upaya-upayanya”. Dengan demikian, sumber utama budaya organisasi
adalah para pendirinya.
28
Para pendiri suatu organisasi secara tradisional memiliki pengaruh
yang dominan dalam membentuk budaya awal. Mereka memiliki visi
bagaimana wujud organisasi tersebut. Mereka tidak dibatasi oleh
kebiasaan-kebiasaan dalam mengerjakan sesuatu atau oleh ideologi-
ideologi sebelumnya. Pemberian karakter terhadap organisasi-organisasi
baru, dengan ruang lingkup yang masih kecil, mempermudah para pendiri
dalam menerapkan visinya pada keseluruhan anggota organisasi.
Dikarenakan para pendiri tersebut memiliki ide yang masih asli, mereka
juga bias tentang cara bagaimana ide-ide tersebut bisa terpenuhi. Budaya
organisasi dihasilkan dari interaksi antara bias dan asumsi para pendiri
dengan apa yang dipelajari selanjutnya oleh anggota awal organisasi, dari
pengalaman mereka sendiri.
Akan tetapi menurut Wahjono (2010:34): “Budaya organisasi
mungkin diciptakan dan ditegakkan oleh pendiri, namun manakala budaya
organisasi di tahap awal itu lemah maka kewajiban penerusnya untuk
memperkuat dan merubah budaya menjadi budaya organisasi baru yang
kuat dan cocok”. Budaya organisasi yang baik adalah kebiasaan yang
memungkinkan setiap anggota organisasi mampu menjadi manusia yang
produktif, kreatif, bekerja dengan antusias sesuai dengan peminatan dan
mampu mengubah produk usang menjadi produk yang mempunyai nilai
tambah tinggi dengan inovasi yang unik.
Masih menurut Wahjono (2010:35): “Eksekutif yang bukan pendiri
biasa melengkapi dengan kebiasaan yang bersifat manajerial”. Apabila
29
pendiri lebih menekankan pada bagaimana mencipta, berinovasi,
menjawab tantangan, membuat ada dari tidak ada, maka eksekutif
penerus haruslah melengkapi apa yang telah diciptakan pendiri dengan
hal-hal yang memungkinkan organisasi itu tetap berdiri, berkembang dan
bertumbuh.
Hal-hal kecil yang berdampak besar bisa juga dilakukan oleh
eksekutif bukan pendiri, yaitu senantiasa meletakkan dasar-dasar disiplin
dalam bekerja dengan memberi teladan. Apabila teladan eksekutif
tersebut dilakukan dengan konsisten maka dalam jangka panjang akan
memperkuat pembiasaan pendiri dan seterusnya simultan pembiasaan itu
akan menjadi sesuatu yang melembaga yang disepakati semua pihak
yang terlibat dalam kegiatan organisasi. Saat itulah budaya organisasi
terbentuk.
Meskipun pembentukan budaya organisasi itu dengan berbagai cara,
namun menurut Wahjono (2010:36) secara umum melibatkan langkah-
langkah sebagai berikut:
1. seorang pendiri mempunyai ide untuk mendirikan organisasi baru;
2. pendiri menerima orang-orang kunci dan menciptakan kelompok inti yang memiliki kesamaan visi;
3. kelompok inti bergerak merealisasikan ide dan melengkapi segala sesuatu sehingga organisasi bisa berjalan dengan baik dengan mencari dana, memperoleh hak paten, badan hukum, menentukan tempat usaha, dan sebagainya;
4. pendiri dan kelompok inti secara bersama membangun kebiasaan yang bertujuan untuk membangun dan membesarkan organisasi dengan kebiasaan positif dan produktif; akhirnya
5. pembiasaan positif berjalan terus sehingga menjadi sesuatu yang inheren dengan gerak dan tingkah laku seluruh organisasi
30
sehingga tanpa disadari kebiasaan-kebiasaan itu telah melembaga menjadi budaya organisasi.
Robbins (2002:284) mengemukakan: “Bila suatu budaya sudah
berlaku, maka praktik-praktik di dalam organisasi berfungsi untuk menjaga
budaya tersebut dengan cara mengekspos karyawan agar memiliki
pengalaman yang serupa”. Ada banyak praktek-praktek cara megekspos
sumber daya manusia suatu organisasi yang dapat mengukuhkan kembali
budaya mereka. Praktek-praktek tersebut akan membiasakan karyawan
untuk mengikuti kebiasaan organisasi. Dengan pembiasaan itu, lambat
laun budaya organisasi akan terinternalisasikan kedalam dirinya dan
menjadi budaya internal karyawan tersebut.
Tiga kekuatan yang memainkan suatu peran penting dalam
mempertahankan suatu budaya tersebut menurut Robbins (2002:284),
yaitu: (1) praktik seleksi, (2) tindakan-tindakan manajemen dan (3) metode
sosialisasi.
Wahjono (2010:37) menambahkan, upaya mempertahankan
budaya organisasi yang baik dapat dilakukan dengan cara sebagai
berikut: (1) Seleksi karyawan baru secara cermat, (2) Tindakan
manajemen puncak, (3) Pelatihan mendalam, (4) Penguasaan kerja, (5)
Mengukur dan memberi penghargaan, (6) Ketaatan pada nilai-nilai yang
ada di organisasi, (7) Hikmat sejarah terhadap organisasi, dan (8) Model
peran dawam (konsisten).
31
Penjelasan singkat mengenai masing-masing upaya yang
dikemukakan oleh Wahjono adalah sebagai berikut:
1) Seleksi karyawan baru secara cermat
Seleksi karyawan baru secara cermat disini adalah perlu
diadakannya seleksi karyawan baru yang cocok dengan budaya
organisasi atau memiliki potensi untuk mengembangkan diri di dalam
organisasi. Praktek seleksi merupakan alat penting untuk menyampaikan
informasi organisasi kepada pihak internal sehingga ia dapat lebih
mengetahui dan mengerti seperti apa organisasi tersebut. Proses seleksi
ini pun bertujuan untuk menyaring individu yang dapat menghancurkan
atau merusak budaya organisasi kearah yang tidak diinginkan.
2) Tindakan manajemen puncak
Tindakan manajemen puncak juga mempunyai dampak besar pada
budaya organisasi. Bagaimana sikap dan perilaku manajemen puncak
akan menjadi cerminan dari budaya organisasi di organisasinya.
Bagaimana cara dia bekerja, berkomunikasi dengan bawahannya,
ketepatan waktu hadir dikantor, bahkan cara berpakaiannya. Manajemen
puncak akan menjadi panutan dan akan diikuti setiap gerak geriknya oleh
bawahan. Dengan kerendahan hati pendiri dan eksekutif, maka
keterbukaan dan penerimaan terhadap budaya organisasi oleh karyawan
baru akan menjadi lebih mudah.
32
3) Pelatihan mendalam
Penempatan kerja yang didahului oleh pelatihan mendalam
diharapkan akan membentuk sumber daya manusia yang baru masuk
mempunyai sikap disiplin yang tinggi sehingga pada saat ditempatkan di
unit manapun dia telah berada dalam kondisi siap untuk mendukung
kebiasaan positif yang sidah berjalan di dalam organisasi tersebut.
4) Penguasaan kerja
Setelah karyawan memasuki masa kerja yang cukup, pada saat itu
diharapkan kebiasaan-kebiasaan positif yang ditanamkan di perusahaan
telah berubah dan bertransformasi melalui internalisasi sehingga
membentuk budaya individual yang sesuai dengan budaya organisasi.
5) Mengukur dan memberi penghargaan
Bila dilakukan dengan cermat dan sesuai dengan tata nilai yang
telah disepakati, mengukur dan memberi penghargaan terhadap karyawan
yang berkinerja baik akan membuka peluang karyawan untuk lebih
mencintai dan menyayangi organisasi. Hal itu pun akan menciptakan rasa
memiliki (sense of belonging) organisasi yang tinggi.
6) Ketaatan pada nilai-nilai yang ada di organisasi
Ketaatan pada nilai-nilai yang penting didalam suatu organisasi
akan timbul dengan sendirinya seiring dengan tumbuhnya rasa memiliki
organisasi. Ketaatan pada nilai-nilai penting organisasi itu juga merupakan
cerminan rasa cintanya terhadap organisasi.
33
7) Hikmat sejarah terhadap organisasi
Hikmat sejarah terhadap organisasi akan memunculkan ketaatan,
rasa cinta, dan rasa memiliki organisasi itu dengan tidak merusak nama
baik organisasi baik dari dalam maupun dari luar organisasi. Karyawan
akan selalu menjaga sikapnya karena hal itu akan mencerminkan
organisasinya, dan senantiasa membela dan melindungi nama baik
organisasi tersebut dari segala gangguan dan ancaman.
8) Model peran dawam (konsisten).
Model peran dawam (konsisten) sangat diperlukan dalam upaya
mempertahankan budaya organisasi. Hal ini dikarenakan, karyawan lama
akan melakukan kegiatan yang sama dengan melakukan perekrutan
anggota organisasi yang baru dan bertanggung jawab agar anggota
organisasi baru tersebut tetap memelihara budaya organisasi yang ada.
Untuk lebih jelasnya, Wahjono (2010:37) menggambarkan sirkulasi
pemeliharaan budaya organisasi yang terlihat pada gambar dibawah ini.
34
Gambar 2.1
Siklus Pemeliharaan Budaya Organisasi
Sumber: Wahjono (2010:37)
2.1.3 Karakteristik Budaya Organisasi
Budaya organisasi yang mengacu kepada suatu makna bersama
yang diyakini anggotanya sehingga membedakannya dengan organisasi
yang lain, karena memiliki seperangkat karakteristik yang dihargai oleh
organisasi tersebut.
Fred Luthas (2005:223) mengidentifikasi ada enam karakteristik
penting dalam budaya organisasi yaitu:
1) Aturan-aturan perilaku (observed behavioral regularities), yaitu setiap anggota organisasi saling berinteraksi dengan menggunakan tata cara, istilah, dan bahasa yang sama yang mencerminkan sikap yang baik dan saling menghormati.
seleksi calon karyawan baru secara cermat
pelatihan mendalam melahirkan disiplin tinggi
sistem penghargaan untuk memperkuat perilaku unggul
kerendahan hati menimbulkan pengalaman
untuk meningkatkan keterbukaan terhadap
penerimaan norma dan nilai organisasi
ketaatan pada nilai memungkinkan rekonsiliasi dari pengorbanan personal
hikmat terhadap sejarah organisasi
model peran dawam (konsisten)
35
2) Norma (norms), yaitu norma yang merupakan standar mengenai perilaku yang ditampilkan tentang pedoman apa saja yang harus dilakukan dan yang tidak boleh dilakukan.
3) Nilai-nilai dominan (dominant values), yaitu ada sejumlah nilai utama yang dianjurkan dan mengharapkan kepada para anggota organisasi mampu melaksanakannya, misalnya kualitas produk yang tinggi, absensi yang rendah, dan efisiensi yang tinggi.
4) Filosofi (philosophy), yaitu kebijakan atau peraturan yang mengarahkan organisasi tentang bagaimana memperlakukan karyawan dan konsumen.
5) Peraturan-peraturan (rules), yaitu terhadap pedoman yang harus ditaati jika mereka bergabung dengan organisasi, dan anggota baru harus mau mempelajari untuk dapat diterima didalam organisasi tersebut.
6) Iklim organisasi (organizational climate), keadaan secara keseluruhan yang dicerminkan oleh tata letak fisik, cara anggota berinteraksi, dan cara mereka berhubungan dengan konsumen atau lingkungan diluar organisasi.
Stephen P. Robbins (2006:721) mengemukakan ada tujuh
karakteristik primer yang secara bersama-sama menangkap hakikat
budaya suatu organisasi apapun bentuk organisasinya. Ketujuh
karakteristik tersebut, yaitu:
1. Inovasi, yaitu sejauh mana para karyawan didorong untuk inovatif dan berani mengambil resiko,
2. Perhatian kepada detail, yaitu sejauh mana para karyawan diharapkan mau memperlihatkan kecermatan, analisis dan perhatian kepada rincian,
3. Orientasi hasil, yaitu sejauh mana manajemen fokus pada hasil, bukan pada teknik dan proses yang digunakan untuk mendapatkan hasil itu,
4. Orientasi manusia, yaitu sejauh mana keputusan manajemen memperhitungkan efek hasil pada orang-orang didalam organisasi itu,
5. Orientasi tim, yaitu sejauh mana kegiatan kerja diorganisasikan dalam tim-tim kerja, bukan individu-individu,
6. Agresifitas, yaitu sejauh mana orang itu agresif dan kompetitif, bukan bersantai, dan
7. Stabilitas, yaitu sejauh mana kegiatan organisasi menekankan dipertahankannya status quo sebagai lawan dari pertumbuhan atau inovasi.
36
Selanjutnya Gordon dan Cummincs (dalam Sopiah, 2008:133)
mengajukan sepuluh karakteristik budaya organisasi yang meliputi
dimensi struktural dan perilaku, yaitu meliputi:
1) Inisiatif individual,; tingkat tanggung jawab, kebebasan, dan independensi yang dimiliki individu.
2) Toleransi terhadap tingkat beresiko; sejauh mana para anggota dianjurkan untuk bertindak agresif, inovatif dan berani mengambil resiko.
3) Arah; sejauh mana organisasi tersebut mencerminkan sasaran dan harapan mengenai prestasi dengan jelas.
4) Integrasi; sejauh mana unit-unit dalam organisasi didorong untuk bekerja dengan cara yang terkoordinasi.
5) Dukungan dari manajemen; sejauh mana para manajer dapat berkomunikasi dengan jelas, memberi bantuan serta dukungan terhadap bawahan mereka.
6) Kontrol; sejumlah peraturan dan pengawasan langsung yang digunakan untuk mengawasi dan mengendalikan perilaku anggota.
7) Identitas; sejauh mana para anggota mengidentifikasi dirinya secara keseluruhan dengan organisasinya ketimbang dengan kelompok kerja tertentu atau dengan bidang keahlian professional.
8) Sistem imbalan; sejauh mana alokasi imbalan (misalnya kenaikan gaji dan promosi) didasarkan atas kriteria prestasi pegawai sebagai kebalikan dari senioritas, sikap pilih kasih dan sebagainya.
9) Toleransi terhadap konflik; sejauh mana para pegawai didorong untuk mengemukakan konflik atau kritik secara terbuka.
10) Pola-pola komunikasi; sejauh mana komunikasi organisasi dibatasi oleh hierarki kewenangan formal.
Semua karakteristik budaya organisasi sebagaimana dikemukakan
di atas tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya, artinya unsur-
unsur tersebut mencerminkan budaya yang berlaku dalam suatu jenis
organisasi, baik yang berorientasi pada pelayanan jasa ataupun
organisasi yang menghasilkan barang, juga pada organisasi yang
menghasilkan barang dan jasa.
37
2.1.4 Jenis Budaya Organisasi
Stephen P. Robbins (2006:724) mengembangkan tipe budaya
organisasi kedalam tiga macam. Yaitu: (1) Budaya yang kuat vs budaya
yang lemah, (2) Budaya vs formalitas dan (3) Budaya organisasi vs
budaya nasional.
Saat ini banyak orang membandingkan antara budaya yang kuat
dengan budaya yang lemah. Tentu saja alasannya adalah: budaya yang
kuat memiliki dampak yang lebih besar terhadap sikap karyawan dan lebih
tertuju langsung untuk mengurangi keluar masuknya karyawan.
Robbins (2006:724) menjelaskan bahwa: “Suatu budaya yang kuat
ditandai oleh nilai-nilai inti organisasi itu dipegang secara mendalam dan
dianut bersama secara luas”. Semakin banyak anggota organisasi yang
menerima nilai-nilai tersebut, maka semakin kuat budaya itu. Sejalan
dengan hal tersebut, suatu budaya yang kuat jelas sekali akan memiliki
pengaruh yang besar dalam sikap anggota organisasi dibandingkan
dengan budaya yang lemah.
Hasil spesifik dari suatu budaya yang kuat adalah keluar masuknya
pekerja yang rendah. Suatu budaya yang kuat akan memperlihatkan
kesepakatan yang tinggi mengenai tujuan organisasi diantara anggota-
anggotanya. Kebulatan suara terhadap tujuan akan membentuk
keterikatan, kesetiaan dan komitmen organisasi. Kondisi ini selanjutnya
akan mengurangi kecenderungan karyawan untuk keluar dari organisasi.
38
Robbins (2006:724) juga mengemukakan bahwa: “Budaya juga
betentangan dengan formalitas”. Suatu budaya yang kuat akan
meningkatkan konsistensi sikap. Dalam hal ini, budaya organisasi yang
kuat dapat berlaku sebagai pengganti formalisasi.
Peraturan dan formalisasi berlaku sebagai pengganti sikap
karyawan. Formalisasi yang tinggi di dalam suatu organisasi akan
menciptakan kepastian, ketertiban dan konsistensi. Suatu budaya yang
kuat dapat mencapai hasil yang sama tanpa perlu adanya dokumentasi
tertulis. Dengan begitu, kita harus dapat melihat bahwa formalisasi dan
budaya adalah dua jalan berbeda menuju tujuan yang sama. Semakin
kuat suatu budaya organisasi, semakin kurang keharusan manajemen
untuk mengembangkan peraturan dan ketentuan formal untuk memandu
sikap karyawan. Panduan ini akan berpadu dengan karyawan bila mereka
dapat menerima suatu budaya organisasi.
Stephen P. Robbins (2006:724) menambahkan selain budaya kuat
vs budaya lemah dan budaya vs formalitas yang dikemukakan diatas,
budaya yang dominan ketiga adalah budaya organisasi vs budaya
nasional.
Budaya nasional harus dipertahankan jika mau membuat ramalan
yang tepat mengenai perilaku organisasi dalam negara-negara yang
berlainan. Stephen P. Robbins (2006:724) mengemukkan bahwa: “Budaya
nasional mempunyai dampak yang lebih besar pada karyawan dari pada
organisasi mereka”. Ini berarti bahwa meskipun pengaruh budaya
39
organisasi dalam membentuk perilaku karyawan itu besar, budaya
nasional bahkan memiliki pengaruh yang lebih besar lagi.
Sedangkan menurut Kotler dan James L. Heskett (1992:15-49),
berdasarkan hasil serangkaian penelitian yang dilakukannya,
mengemukakan tiga tipe budaya organisasi yaitu (1) Budaya kuat dan
budaya lemah, (2) Budaya yang secara strategis cocok, dan (3) Budaya
yang adaptif dan tidak adaptif.
Kotler dan James L. Heskett (1992:16) menjelaskan pada budaya
kuat dan budaya lemah:
Nilai-nilai, norma-norma dan asumsi-asumsi yang terinternalisasi dan dipegang teguh oleh para anggota organisasi dapat melahirkan perasaan tenang, komitmen, loyalitas, memacu kerja lebih keras, kohesifitas, keseragaman sasaran (goal alignment), dan mengendalikan perilaku anggota organisasi, serta produktivitas.
Logika tentang cara kekuatan budaya berhubungan dengan kinerja
menurut Kotler dan Heskett (1992:16) meliputi tiga gagasan, yaitu: (1)
penyatuan tujuan, dalam organisasi dengan budaya yang kuat, pegawai
cenderung melakukan tindakan kearah yang sama. (2) menciptakan
motivasi, komitmen, dan loyalitas luar biasa dalam diri pegawai, dan (3)
memberikan struktur dan kontrol yang dibutuhkan tanpa harus bersandar
pada birokrasi formal yang dapat menekan tumbuhnya motivasi dan
inovasi.
Kotler dan James L. Heskett (1992:22) menjelaskan pada budaya
yang secara strategis cocok: “Pentingnya kandungan budaya yang cocok
dan serasi dengan kondisi objektif perusahaan dimana perusahaan itu
40
berada”. Artinya, suatu budaya dikatakan baik apabila serasi dan selaras
dengan konteks bisnis dalam karakteristik lingkungan industrinya, dan
segmen industrinya yang dispesifikan oleh strategi perusahaan atau
strategi bisnisnya. Semakin besar kecocokan dengan lingkungan, maka
semakin jelek kinerjanya. Dengan demikian, tidak ada kriteria umum untuk
menyatakan seperti apa hirarki budaya yang baik dan bersifat satu ukuran
untuk semua, dan berfungsi baik dalam organisasi apapun.
Kritik terhadap tipe budaya organisasi ini adalah bahwa lingkungan
organisasi tidak pernah stabil, melainkan selalu berubah, sehingga
budaya yang dianggap cocok pada kurun waktu tertentu, mungkin tidak
akan cocok di waktu yang lain. Implikasinya budaya organisasi harus
selalu mengadaptasi dirinya dengan tuntutan perubahan dari lingkungan.
Karena itulah Kotler dan James L. Heskett mengajukan tipe budaya
adaptif dan tidak adaptif.
Kotler dan James L. Heskett (1992:33) menjelaskan pada budaya
yang adaptif dan tidak adaptif bahwa: “Hanya budaya yang dapat
membantu organisasi mengantisipasi dan beradaptasi dengan perubahan
lingkungan (adaptif), yang diasosiasikan dengan kinerja tinggi dalam
waktu yang panjang”. Teori ini mengarahkan budaya organisasi untuk
senantiasa bersikap adaptif dan inovatif sesuai dengan perubahan
lingkungan yang terjadi.
Hal terpenting dari penelitian pada teori ketiga adalah bahwa
perusahaan yang budayanya adaptif secara ideal manajer pada seluruh
41
tingkatan organisasinya menampakkan kepemimpinan yang mempelopori
perubahan dalam strategi dan taktik kapan saja diperlukan untuk
memuaskan kepentingan para pemegang saham, pelanggan dan para
pegawainya. Sedangkan perusahaan yang budayanya tidak adaptif pada
manajer pada seluruh tingkatan organisasinya cenderung berperilaku
secara hati-hati dan politis untuk melindungi dan memajukan diri sendiri,
produknya, atau kelompoknya. Perbedaan budaya adptif dan tidak adaptif
dapat dilihat pada tabel berikut ini.
Tabel 2.1
Budaya Organisasi yang Adaptif dan Tidak Adaptif
Budaya Adaptif
Budaya Tidak Adaptif
Nilai inti
Kebanyakan manajer sangat peduli akan pelanggan, pemegang saham, dan pegawainya. Mereka juga sangat menghargai orang dan proses yang dapat menciptakan perubahan yang bermanfaat (misalnya kepemimpinan ke atas dan kebawah pada hirarki manajemen)
Kebanyakan manajer mempedulikan terutama diri mereka sendiri, kelompok kerja terdekat mereka, atau beberapa produk (teknologi) yang berhubungan dengan kelompok kerja tersebut. Mereka menilai proses manajemen yang teratur dan kurang resikinya jauh lebih tinggi daripada inisiatif kepemimpinan
Perilaku umum
Manajer memberi perhatian yang cermat terhadap semua konstituensi mereka, khususnya pelanggan, memprakarsai perubahan bila dibutuhkan untuk melayani kepentingan mereka yang sah, bahkan walaupun menuntut pengambilan beberapa resiko
Para manajer cenderung berperilaku agak picik, politis dan birokratis. Akibatnya, mereka tidak cepat mengubah strategi mereka untuk menyesuaikan diri dengan atau mengambil keuntungan dari perubahan-perubahan dalam lingkungan bisnis mereka.
Sumber: Kotler dan James L. Heskett (1992, 33)
Karakteristik budaya adaptif secara umum tercermin dari kualitas
seperti kepemimpinan, kewiraswastaan, penanggungan resiko yang
bijaksana, pembahasan yang jujur, fleksibel, proaktif terhadap kehidupan
42
organisasi dan kehidupan individu, para anggota organisasi aktif
mendukung usaha satu sama lain untuk mengidentifikasi semua masalah
dan mengimplementasikan pemecahan masalah yang dapat berfungsi,
rasa percaya diri (confidence) yang dimiliki bersama, tanpa rasa bimbang,
bahwa mereka dapat menata olah secara efektif masalah baru dan
peluang apa saja yang akan mereka temui, kegairahan yang menyebar
luas, semangat dalam mencapai keberhasilan suatu organisasi, serta para
anggota organisasi reseptif terhadap perubahan dan inovasi.
Tipe budaya organisasi ini pun masih memiliki kelemahan-
kelemahan. Kelemahan yang menonjol dari teori budaya adaptif adalah
bahwa perubahan budaya dapat mendorong anggota organisasi
(pimpinan) untuk mengubah sesuatu ke arah yang salah.
2.1.5 Efek Fungsional Budaya
a. Fungsi Budaya
Budaya organisasi dapat berpengaruh terhadap perilaku
anggotanya, budaya organisasi yang kuat dapat meningkatkan mutu
suasana kerja karyawan, meningkatkan komitmen terhadap organisasi
dan meningkatkan konsistensi perilaku karyawannya, mengurangi
ketidakjelasan dalam bersikap dan berperilaku yang pada akhirnya dapat
memberikan keupasan kerja karyawan. Keadaan tersebut tentu akan
memberikan manfaat bagi perusahaan.
43
Menurut Sentot Imam Wahjono (2010:41), fungsi dari budaya
organisasi yaitu:
1. Menetapkan tapal batas. Budaya akan menciptakan pembeda yang jelas antara satu organisasi dan yang lainnya.
2. Membawa suatu rasa identitas bagi anggota-anggota organisasinya.
3. Mempermudah timbulnya komitmen pada suatu yang lebih luas dari pada kepentingan diri pribadi seseorang.
4. Meningkatkan kemantapan sistem sosial, membantu mempersatukan organisasi itu dengan memberikan standar-standar yang tepat untuk apa yang harus dikatakan dan dilakukan oleh para karyawan.
5. Mekanisme pembuat makna dan kendali yang memandu dan membentuk sikap serta perilaku para karyawan.
WT Heelen dan Hunger (dalam Sopiah, 2008:136) secara spesifik
mengemukakan sejumlah peran penting yang dimainkan oleh budaya
perusahaan, yaitu: (1) Membantu menciptakan rasa memiliki jati diri bagi
pekerja. (2) Dapat dipakai untuk mengembangkan ikatan pribadi dengan
perusahaan. (3) Membantu stabilisasi perusahaan sebagai suatu sistem
sosial, dan (4) menyajikan pedoman perilaku sebagai hasil dari norma-
norma perilaku yang sudah terbentuk.
Dari fungsi budaya tersebut dapat disimpulkan bahwa budaya
bernilai untuk organisasi atau karyawan, budaya meningkatkan komitmen
organisasi dan konsistensi dari perilaku karyawan/ anggota organisasi.
Bahkan Rivai (2003:433) menegaskan bahwa budaya mempunyai
dampak yang kuat dan semakin besar pada prestasi kerja organisasi,
diantaranya yaitu:
1) Budaya perusahaan dapat mempunyai dampak signifikan pada prestasi kerja ekonomi perusahaan dalam jangka panjang.
44
2) Budaya perusahaan bahkan mungkin merupakan faktor yang lebih penting dalam menentukan sukses atau gagalnya perusahaan dalam masa mendatang.
3) Budaya perusahaan yang menghambat prestasi keuangan yang kokoh dalam jangka panjang sering terjadi dan budaya tersebut berkembang dengan mudah.
4) Walaupun sulit untuk diubah, budaya perusahaan dapat dibuat untuk ;lebih meningkatkan prestasi.
Akhirnya secara singkat dapat dikatakan bahwa budaya
perusahaan sangat penting perannya di dalam mendukung terciptanya
suatu organisasi yang efektif.
b. Budaya sebagai suatu kewajiban
Wahjono (2010:41) mengemukakan bahwa: “Dari titik pandang
seorang karyawan, budaya bernilai karena mengurangi kemenduaan
(ambiguitas)”. Budaya memberi tahu para karyawan tentang bagaimana
segala sesuatu harus dilakukan dan mana yang terpenting yang harus
didahulukan. Namun kita tidak boleh mengabaikan aspek budaya yang
secara potensial bersifat disfungsional, teristimewa budaya yang kuat,
pada keefektifan suatu organisasi.
Budaya organisasi dapat bersifat negatif apabila serangkaian nilai,
norma, dan asumsinya tidak sesuai dengan nilai, norma, dan asumsi yang
dapat meningkatkan efektifitas perusahaan. Apabila keadaan tersebut
terjadi, menurut Wahjono (2010:41) dapat menyebabkan hal-hal sebagai
berikut: (1) hambatan terhadap perubahan, (2) hambatan terhadap
keanekaragaman dan (3) hambatan terhadap merger dan akuisisi.
45
Penjelasan singkat mengenai masing-masing hambatan yang
dikemukakan oleh Wahjono adalah sebagai berikut:
1. Hambatan terhadap perubahan.
Budaya merupakan suatu beban, bilamana nilai-nilai bersama tidak
cocok dengan nilai yang akan meningkatkan keefektifan organisasi itu. Hal
ini akan terjadi bila lingkungan berubah secara dinamis. Bila lingkungan itu
mengalami perubahan yang cepat, budaya yang telah berakar mungkin
tidak lagi tepat sehingga membuat para karyawan kesulitan dalam
menghadapi perubahan.
2. Hambatan terhadap keanekaragaman.
Manajemen menginginkan karyawan baru itu menerima nilai
budaya inti dari organisasi itu. Bila tidak, karyawan ini kecil kemungkinan
cocok atau diterima. Padahal kepedulian atas keragaman dapat membuat
kesuksesan perencanaan dan beberapa usaha dari bagian SDM.
3. Hambatan terhadap merger dan akuisisi.
Saat ini bukan hanya faktor finansial dan manajerial yang biasanya
menjadi patokan dalam melakukan merger ataupun akuisisi dalam suatu
perusahaan, akan tetapi juga faktor kecocokan budaya kedua organisasi.
Kecocokan budaya organisasi ini akan mempengaruhi sejauh mana
akuisisi atau merger tersebut akan benar-benar berhasil atau tidak.
46
2.2 Kinerja Karyawan
2.2.1 Definisi Kinerja Karyawan
Istilah „kinerja‟ dalam bahasa Indonesia bermakna sama dengan
prestasi kerja, pelaksanaan kerja, pencapaian kerja, atau hasil kerja, yang
merupakan terjemahan dari bahasa Inggris yaitu „performance‟.
Mangkunegara (2009:9) mengemukakan:
Kinerja karyawan (prestasi kerja) adalah hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang dicapai oleh seseorang karyawan dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan kepadanya.
Hasibuan (2007:94) menjelaskan:
Prestasi kerja adalah suatu hasil kerja yang dicapai seseorang dalam melaksanakan tugas-tugas yang dibebankan kepadanya yang didasarkan atas kecakapan, pengalaman, dan kesungguhan serta waktu.
Selanjutnya Simanjuntak (2005:103) menegaskan:
“Kinerja individu adalah tingkat pencapaian atau hasil kerja
seseorang dari sasaran yang harus dicapai atau tugas yang harus
dilaksanakan dalam kurun waktu tertentu”.
Dari beberapa definisi diatas dapat disimpulkan bahwa kinerja
adalah unjuk kerja berupa kualitas dan kuantitas dari pencapaian tugas-
tugas yang dilakukan seseorang, kelompok maupun perusahaan
berdasarkan kecakapan, pengalaman dan kesungguhan.
47
2.2.2 Penilaian Kinerja Karyawan
Kinerja sangat terkait dengan produktifitas karena merupakan
indikator dalam menentukan usaha mencapai tingkat produktifitas
organisasi. Dengan demikian, melaksanakan penilaian terhadap kinerja
merupakan hal yang penting. Penilaian kinerja memerlukan adanya
penetapan standar kerja atau standard performance. Jika hasil penelitian
kinerja telah mencapai standar atau lebih, maka berarti manajemen
perusahaan tersebut telah dilaksanakan secara efektif.
Berikut ini beberapa kutipan definisi penilaian kinerja menurut para
ahli:
a. Penilaian prestasi kerja adalah evaluasi yang sistematis terhadap pekerjaan yang telah dilakukan oleh karyawan dan ditujukan untuk pengembangan. (Sikula dalam Hasibuan, 2007:87)
b. Evaluasi kinerja adalah penilaian yang dilakukan secara sistematis untuk mengetahui hasil pekerjaan karyawan dan kinerja organisasi. Disamping itu, juga untuk menentukan kebutuhan pelatihan kerja secara tepat, memberikan tanggung jawab yang sesuai kepada karyawan sehingga dapat melaksanakan pekerjaan yang lebih baik di masa mendatang dan sebagai dasar untuk menentukan kebijakan dalam hal promosi jabatan dan penentuan imbalan. (Mangkunegara, 2009:10)
c. Penilaian prestasi merupakan sebuah proses formal untuk melakukan peninjauan ulang dan evaluasi prestasi kerja seseorang secara periodik. (Panggabean, 2004:66)
d. Penilaian kinerja (Performance Appraisal) merupaka proses dimana organisasi mendapat informasi tentang seberapa baik seorang karyawan melakukan pekerjaannya. (Raymond A Noe, dkk, 2010:452)
e. Penilaian prestasi adalah kegiatan manajer untuk mengevaluasi perilaku prestasi kerja karyawan serta menetapkan kebijaksanaan selanjutnya. (Hasibuan, 2007:87)
48
f. Penilaian prestasi kerja adalah proses melalui mana organisasi-organisasi mengevaluasi atau menilai prestasi kerja karyawan. (Handoko, 2001:135)
g. Penilaian kinerja berarti mengevaluasi kinerja karyawan saat ini dan/atau di masa lalu relatif terhadap standar prestasinya. (Dessler, 2006:322)
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa: (1) Penilaian
prestasi ini merupakan evaluasi terhadap perilaku, prestasi kerja, dan
potensi pengembangan yang telah dilakukan. (2) Penilaian prestasi ini
pada dasarnya merupakan suatu proses mengestimisasi dan menentukan
nilai dan keberhasilan pelaksanaan tugas para karyawan. (3) Penilaian
prestasi ini membandingkan realisasi nyata dengan standar (required
performance) yang dicapai karyawan. (4) Penilaian prestasi dilaksanakan
oleh manajer terhadap bawahannya. (5) Penilaian prestasi ini akan
menentukan kebijaksanaan selanjutnya.
2.2.3 Tahapan dalam Penilaian Kinerja
Proses penilaian kinerja terdiri dari tiga tahap yaitu:
1. Mendefinisikan pekerjaan, menilai kinerja, dan memberikan umpan balik. Pendefinisian pekerjaan berarti memastikan bahwa pimpinan dan karyawan setuju dengan kewajiban dan standar pekerjaannya.
2. Penilaian kinerja berarti membandingkan kinerja sesungguhnya dari karyawan dengan standar yang telah ditetapkan; ini biasanya melibatkan beberapa jenis formulir peringkat.
3. Penilaian kinerja biasanya membutuhkan sesi umpan balik. Disini, atasan dan bawahan mendiskusikan kinerja dan kemajuan bawahan dan membuat rencana untuk pengembangan apapun yang dibutuhkan. (Gary Dessler, 2006:327)
49
Handoko (2001:137-138) hanya merinci kedalam tiga langkah
dalam penilaian kinerja yaitu mendefinisikan pekerjaan, melakukan
penilaian kinerja dan umpan balik. Elemen-elemen dalam penilaian kinerja
tergambarkan sebagai berikut:
Gambar 2.2
Elemen Pokok Penliaian Kinerja
Sumber: Handoko (2001:138)
2.2.4 Tujuan Penilaian/Evaluasi Kinerja
Tujuan evaluasi kinerja adalah untuk memperbaiki atau
meningkatkan kinerja organisasi melalui peningkatan kinerja dari sistem
organisasi. Secara lebih spesifik, tujuan dari evaluasi kinerja sebagaimana
dikemukakan Agus Sunyoto dalam Mangkunegara (2009:10) adalah
sebagai berikut:
Prestasi Kerja Karyawan
Penilaian Prestasi Kerja
Umpan Balik Bagi Karyawan
Prestasi Kerja Karyawan
Prestasi Kerja Karyawan
Kriteria yang ada hubungannya dengan
pelaksanaan kerja
Ukuran-ukuran Prestasi Kerja
50
a. Meningkatkan saling pengertian antara karyawan tentang persyaratan kinerja.
b. Mencatat dan mengakui hasil kerja seorang karyawan, sehingga mereka termotivasi untuk berbuat yang lebih baik, atau sekurang-kurangnya berprestasi sama dengan prestasi yang terdahulu.
c. Memberikan peluang kepada karyawan untuk mendiskusikan keinginan dan aspirasinya dan meningkatkan kepedulian terhadap karier atau terhadap pekerjaan yang diembannya sekarang.
d. Mendefinisikan atau merumuskan kembali sasaran masa depan, sehingga karyawan termotivasi untuk berprestasi sesuai dengan potensinya.
e. Memeriksa rencana pelaksanaan dan pengembangan yang sesuai dengan kebutuhan pelatihan, khusus rencana diklat, dan kemudian menyetujui rencana itu jika tidak ada hal-hal yang perlu diubah.
Kegunaan penilaian prestasi kerja (kinerja) karyawan menurut
Mangkunegara (2009:11) adalah:
a. Sebagai dasar dalam pengambilan keputusan yang digunakan untuk prestasi, pemberhentian dan besarnya balas jasa.
b. Untuk mengukur sejauh mana seorang karyawan dapat menyelesaikan pekerjaannya.
c. Sebagai dasar untuk mengevaluasi efektivitas seluruh kegiatan dalam perusahaan.
d. Sebagai dasar untuk mengevaluasi program latihan dan keefektifan jadwal kerja, metode kerja, struktur organisasi, gaya pengawasan, kondisi kerja dan pengawasan.
e. Sebagai indikator untuk menentukan kebutuhan akan latihan bagi karyawan yang berada di dalam organisasi.
f. Sebagai alat untuk meningkatkan motivasi kerja karyawan sehingga dicapai performance yang baik.
g. Sebagai alat untuk dapat melihat kekurangan atau kelemahan dan meningkatkan kemampuan karyawan selanjutnya.
h. Sebagai kriteria menentukan, seleksi dan penempatan karyawan.
i. Sebagai dasar untuk memperbaiki atau mengembangkan uraian tugas (job description).
51
Adapun tujuan dan kegunaan penilaian prestasi karyawan menurut
Hasibuan (2007:89) yaitu:
1) Sebagai dasar dalam pengambilan keputusan yang digunakan untuk promosi, demosi, pemberhentian, dan penetapan besarnya balas jasa.
2) Untuk mengukur prestasi kerja, yaitu sejauh mana karyawan bisa sukses dalam pekerjaannya.
3) Sebagai dasar untuk mengevaluasi efektifitas seluruh kegiatan didalam perusahaan.
4) Sebagai dasar untuk mengevaluasi program latihan dan keefektivan jadwal kerja, metode kerja, struktur organisasi, gaya pengawasan, kondisi kerja, dan peralatan kerja.
5) Sebagai indikator untuk menentukan kebutuhana akan latihan bagi karyawan yang berada di dalam organisasi.
6) Sebagai alat untuk meningkatkan motivasi kerja karyawan sehingga dicapai tujuan untuk mendapatkan performance kerja yang baik.
7) Sebagai alat untuk mendorong atau membiasakan para atasan (supervisior, manajers, administrator) untuk mengobservasi perilaku bawahan (subordinate) supaya diketahui minat dan kebutuhan-kebutuhan bawahannya.
8) Sebagai alat untuk bisa melihat kekurangan atau kelemahan-kelemahan dimasa lampau dan meningkatkan kemampuan karyawan selanjutnya.
9) Sebagai kriteria didalam menentukan seleksi dan penempatan karyawan.
10) Sebagai alat untuk mengidentifikasi kelemahan-kelemahan personel dan dengan demikian bisa sebagai bahan pertimbangan agar bisa diikutsertakan dalam latihan kerja tambahan.
11) Sebagai alat untuk memperbaiki atau mengembangkan kecakapan karyawan, dan
12) Sebagai dasar untuk memperbaiki dan mengembangkan uraian pekerjaan (job description).
2.2.5 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pencapaian Kinerja
Mangkunegara (2009:13) mengemukakan bahwa faktor yang
mempengaruhi pencapaian kinerja adalah faktor kemampuan (ability) dan
52
faktor motivasi (motivation). Hal ini sesuai dengan pendapat Keith Davis
dalam Mangkunegara (2009:13) yang merumuskan bahwa:
Human Performance = Ability x Motivation
Motivation = Attitude x Situation
Ability = Knowledge x Skill
Penjelasan:
a. Faktor Kemampuan (Ability)
Secara psikologis, kemampuan (ability) terdiri dari kemampuan
potensi (IQ) dan kemampuan reality (knowledge + skill).
Artinya, pimpinan dan karyawan yang memiliki IQ diatas rata-rata (IQ
110-120) apalagi IQ superior, very superior, gifted dan genius dengan
pendidikan yang memadai untuk jabatannya dan terampil dalam
mengerjakan pekerjaan sehari-hari maka akan lebih mudah mencapai
kinerja maksimal.
b. Faktor Motivasi (motivation)
Motivasi diartikan suatu sikap (attitude) pimpinan dan karyawan
terhadap situasi kerja (situation) dilingkungan organisasinya. Mereka
yang bersikap positif (pro) terhadap situasi kerjanya akan menunjukan
motivasi kerja tinggi dan sebaliknya jika mereka bersikap negative
(kontra) terhadap situasi kerjanya akan menunjukan motivasi kerja
yang rendah. Situasi kerja yang dimaksud mencakup antara lain
hubungan kerja, fasilitas kerja, iklim kerja, kebijakan pimpinan, pola
kepemimpinan kerja dan kondisi kerja.
53
Menurut A Dale Timple (dalam Mangkunegara, 2009:15), faktor-
faktor kinerja terdiri dari faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal
(disposisional) yaitu faktor yang dihubungkan dengan sifat-sifat
seseorang. Misalnya, kinerja seseorang baik disebabkan karena
mempunyai kemampuan tinggi dan seseorang itu tipe pekerja keras,
sedangkan seseorang mempunyai kinerja jelek disebabkan orang tersebut
mempunyai kemampuan rendah dan orang tersebut tidak memiliki upaya-
upaya untuk memperbaiki kemampuannya.
Faktor eksternal yaitu faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja
seseorang yang berasal dari lingkungan seperti perilaku, sikap, dan
tindakan-tindakan rekan kerja, bawahan ataupun pimpinan, fasilitas kerja,
dan iklim organisasi.
Faktor internal dan faktor eksternal ini merupakan jenis-jenis
atribusi yang mempengaruhi kinerja seseorang. Jenis-jenis atribusi yang
dibuat para karyawan memiliki sejumlah akibat psikologis yang
berdasarkan kepada tindakan. Seseorang karyawan yang menganggap
kinerjanya baik berasal dari faktor-faktor internal seperti kemampuan atau
upaya, diduga orang tersebut akan mengalami lebih banyak perasaan
positif tentang kinerjanya dibandingkan dengan jika ia menghubungkan
kinerjanya yang baik dengan faktor eksternal. Seperti nasib baik, suatu
tugas yang mudah atau ekonomi yang baik. Jenis atribusi yang dibuat
seorang pimpinan tentang kinerja seorang bawahan mempengaruhi sikap
dan perilaku terhadap bawahan tersebut. Misalnya, seorang pimpinan
54
yang mempermasalahkan kinerja buruk seseorang bawahan karena
kekurangan ikhtiar mungkin diharapkan mengambil tindakan hukum,
sebaliknya pimpinan yang tidak menghubungkan dengan kinerja buruk
dengan kekurangan kemampuan/keterampilan, pimpinan akan
merekomendasikan suatu program pelatihan didalam ataupun diluar
perusahaan. Oleh karena itu, jenis atribusi yang dibuat oleh seorang
pimpinan dapat menimbulkan akibat-akibat serius dalam cara bawahan
tersebut diperlakukan. Cara-cara seorang karyawan menjelaskan
kinerjanya sendiri juga mempunyai implikasi penting dalam bagaiman dia
berperilaku dan berbuat ditempat kerja.
Akhirnya, Mangkunegara (2009:16) menyimpulkan bahwa: “Faktor-
faktor penentu prestasi kerja individu dalam organisasi adalah faktor
inidvidu dan faktor lingkungan kerja organisasi”. Hal ini sesuai denga teori
Convergen William Stern. Pendapat William Stern dalam teorinya tersebut
sebenarnya merupakan perpaduan dari pandangan teori heriditas dari
Schopenhauer dan teori lingkungan dari John Locke. Secara inti
Schopenhauer dalam teori heriditasnya berpandangan bahwa hanya
faktor individu (termasuk faktor keturunannya) yang sangat menentukan
seorang individu mampu berprestasi atau tidak; sedangkan John Locke
dalam teori lingkungan berpandangan bahwa hanya faktor lingkungan
yang sangat menentukan seorang individu mampu berprestasi atau tidak.
Mangkunegara, sependapat dengan pandangan teori convergen dari
55
William Stern bahwa faktor-faktor penentu prestasi kerja individu adalah
faktor individu dan faktor lingkungan kerja organisasi.
Mangkunegara (2009:16) menjelaskan faktor individu: “Dengan
adanya integrias yang tinggi antara fungsi psikis dan fisik, maka individu
tersebut memiliki konsentrasi diri yang baik”. Konsentrasi yang baik ini
merupakan modal utama sumber daya manusia untuk mampu mengelola
dan mendayagunakan potensi dirinya secara optimal dalam
melaksanakan kegiatan atau aktifitas kerja sehari-hari dalam mencapai
tujuan organisasi. Konsentrasi individu dalam bekerja sangat dipengaruhi
oleh kemampuan potensi, yaitu kecerdasan pikiran/ Intelegensi Quotiont
(IQ) dan kecerdasan emosi/ Emotional Quotiont (EQ).
Adapun Mangkunegara (2009:16) menjelaskan: “Faktor lingkungan
organisasi yang dimaksud antara lain uraian jabatan yang jelas, autoritas
yang memadai, target kerja yang menantang, pola komunikasi kerja
efektif, hubungan kerja harmonis, iklim kerja respek dan dinamis, peluang
berkarier dan fasilitas kerja yang relatif memadai”. Sekalipun, jika faktor
lingkungan organisasi kurang menunjang, maka bagi individu yang
memiliki tingkat kecerdasan pikiran memadai dengan tingkat kecerdasan
emosi baik, sebenarnya ia tetap dapat berprestasi dalam bekerja. Hal ini
bagi individu tersebut, lingkungan organisasi itu dapat diubah dan bahkan
dapat diciptakan oleh dirinya serta merupakan pemacu (pemotivator),
tantangan bagi dirinya dalam berprestasi di organisasi.
56
2.2.6 Unsur-Unsur Penilaian Kinerja Karyawan
Ukuran-ukuran dalam menilai kinerja karyawan menurut Grensig
(2001:250-251) adalah:
1) Kulaitas. Standar kualitas yang didasarkan pada berapa banyak kesalahan, kelalaian atau keluhan dalam jangka waktu tertentu.
2) Kuantitas. Standar terukur berdasarkan kuantitas kerja yang dihasilkan.
3) Batas waktu. Standar-standar waktu untuk penyelesaian tugas/ jumlah perubahan waktu yang diizinkan.
4) Efisiensi biaya. Beberapa jabatan bertugas untuk mencapai anggaran atau mempergunakan biaya-biaya.
Menurut Hasibuan (2007:95), kinerja karyawan dapat dikatakan
baik atau dapat dinilai dari beberapa hal, yaitu: (1) Kesetiaan, (2) Prestasi
kerja, (3) Kejujuran, (4) Kedisiplinan, (5) Kreatifitas, (6) Kerja sama, (7)
Kepemimpinan, (8) Kepribadian, (9) Prakarsa, (10) Kecakapan, dan (11)
Tanggung jawab.
Adapun penjelasan singkat mengenai masing-masing unsur yang
dikemukakan oleh Hasibuan adalah sebagai berikut:
1. Kesetiaan.
Penilai perlu mengukur kesetiaan atau loyalitas karyawan, baik
terhadap pekerjaannya, jabatannya, maupun organisasinya. Kesetiaan ini
dicerminkan oleh kesediaan karyawan untuk menjaga dan membela
organisasi di dalam maupun di luar pekerjaan dari rongrongan orang yang
tidak bertanggung jawab.
57
2. Prestasi kerja.
Penilai menilai hasil kerja baik kualitas maupun kuantitas yang
dapat dihasilkan karyawan tersebut dari uraian pekerjaannya. Penilai perlu
mengukur sejauh mana karyawan tersebut dapat mengerjakan tugasnya
dengan hasil yang memuaskan dalam batas waktu yang telah ditentukan.
3. Kejujuran.
Kejujuran sangatlah penting dalam sebuah bisnis. Dengan adanya
kejujuran, maka akan timbul rasa saling percaya satu sama lain. Penilai
perlu menilai kejujuran karyawan, baik dalam melaksanakan tugas-
tugasnya ataupun dalam memenuhi perjanjian.
4. Kedisiplinan.
Penilai perlu menilai kedisiplinan karyawan dalam mematuhi
peraturan-peraturan yang ada dan melakukan pekerjaannya sesuai
dengan instruksi yang diberikan kepadanya. Seperti kedisiplinan dalam
waktu masuk kerja, waktu pulang kerja, waktu penyerahan tugas,
mengikuti langkah-langkah pengerjaan sesuai dengan prosedur yang ada,
dan lain sebagainya.
5. Kreativitas.
Kemampuan karyawan dalam mengembangkan kreatifitasnya
untuk menyelesaikan pekerjaannya pun perlu dinilai oleh penilai.
Kreatifitas disini dimaksudkan sebagai segala aktifitas yang dilakukan
karyawan yang menunjang pekerjaannya, sehingga karyawan tersebut
bekerja lebih berdaya guna dan berhasil guna.
58
6. Kerja sama.
Penilai perlu menilai kesediaan karyawan berpartisipasi dan bekerja
sama dengan karyawan lainnya, baik secara vertikal atau horizontal di
dalam maupun di luar pekerjaan sehingga hasil pekerjaan semakin baik.
7. Kepemimpinan.
Kemampuan untuk memimpin, berpengaruh, mempunyai pribadi
yang kuat, dihormati, berwibawa, dan dapat memotivasi orang lain atau
bawahannya untuk bekerja secara efektif juga perlu dinilai.
8. Kepribadian.
Penilai menilai karyawan dari sikap perilakunya di dalam
perusahaan. Kesopanan, periang, disukai oleh rekan kerja atau
atasannya, memberi kesan menyenangkan, memperlihatkan sikap yang
baik, serta berpenampilan simpatik dan wajar dapat menjadi unsur-unsur
penilaian kinerja suatu karyawan.
9. Prakarsa.
Penilai menilai kemampuan berfikir yang orisinal dan berdasarkan
inisiatif sendiri untuk menganalisis, menilai, menciptakan, memberi alasan,
mendapatkan kesimpulan, dan membuat keputusan dalam penyelesaian
masalah yang dihadapinya.
10. Kecakapan.
Penilai menilai kecakapan karyawan dalam menyatukan dan
menyelaraskan bermacam-macam elemen yang semuanya terlibat di
dalam penyusunan kebijaksanaan dan di dalam situasi manajemen.
59
11. Tanggung jawab.
Penilai menilai kesediaan karyawan dalam
mempertanggungjawabkan kebijaksanaannya, pekerjaan, dan hasil
kerjanya, sarana dan prasarana yang dipergunakannya, serta perilaku
kerjanya.
Hasibuan (2007:96) berpendapat bahwa, unsur-unsur prestasi
karyawan yang akan dinilai oleh organisasi atau perusahaan tidak selalu
sama, tetapi pada dasarnya unsur-unsur yang dinilai itu mencakup seperti
hal-hal di atas.
2.2.7 Metode Penilaian Kinerja
Penilai (appraiser) setelah mengetahui pengertian, tahapan
penilaian, tujuan, faktor-faktor yang mempengaruhi, juga harus
mengetahui skala nilai dan metode penilaian yang akan dipergunakan
dalam penilaian prestasi karyawan di perusahaan atau organisasi.
Berbagai teknik dapat dipilih dalam pelaksanaan penilaian kinerja.
Teknik-teknik penilaian kinerja tersebut oleh Handoko (2001:142-152)
dikelompokkan menjadi dua kelompok dengan rincian teknik untuk
masing-masing metode sebagai berikut:
1. Metode Penilaian Berorientasi Masa Lalu, mencakup teknik: a. Rating scale b. Checklist c. Metode peristiwa kritis d. Field review method
60
e. Tes dan observasi prestasi kerja f. Metode evaluasi kelompok
2. Metode Penilaian Berorientasi Masa Depan, mencakup teknik: a. Penilaian diri (self appraisal) b. Penilaian psikologis c. Pendekatan Management By Objective (MBO) d. Teknik pusat penelitian
Sedangkan Hasibuan (2006:96-100) membagi metode penilaian
kerja kedalam dua kelompok, yaitu (1) metode tradisional dan (2) metode
modern, dengan klasifikasi sebagai berikut:
1. Metode Tradisional: a. Rating scale b. Employee comparation c. Check list d. Freeform essay e. Critical incident
2. Metode Modern: a. Assessment centre b. Management By Objective (MBO) c. Human asset accounting
Masing-masing metode dan teknik mempunyai kelebihan dan
kekurangan, oleh karena itu pemilihan metode dan teknik penilaian kinerja
tergantung tujuan atau kebutuhan dari penilaian kinerja yang akan
dilakusanakan.
2.2.8 Kendala-Kendala Penilaian Kinerja
Indeks prestasi karyawan harus ditetapkan dengan baik, jujur,
objektif sesuai dengan kenyataan yang ada. Akan tetapi, penilai sering
tidak berhasil untuk tidak melibatkan emosionalnya dalam menilai prestasi
kerja karyawan. Ini menyebabkan evaluasi menjadi bias (distorsi
pengukuran yang tidak akurat). Masalah kemungkinan terjadi bias
61
terutama bila ukuran-ukuran yang digunakan bersifat subjektif. Berbagai
bias yang paling umum terjadi menurut T. Hani Handoko (2001:140)
adalah: (1) Halo effect, (2) Kesalahan kecenderungan terpusat, (3) Bias
terlalu lunak dan terlalu keras, (4) Prasangka pribadi, dan (5) Pengaruh
kesan terakhir.
Adapun penjelasan dari kendala-kendala tersebut diuraikan
sebagai berikut:
1) Halo effect
Halo effect dapat terjadi apabila pendapat pribadi penilai tentang
karyawan mempengaruhi pengukuran prestasi kerja. Masalah ini paling
mudah terjadi ketika para penilai harus menilai orang yang dikenalnya
atau teman mereka.
Penilai sering kali mendasarkan penilaiannya atas dasar rasa (like
or dislike) bukan atas dasar fisik pikir (right or wrong). Bahkan penilai
sering mempertimbangkan orang ketiga atau keluarga karyawan yang
dinilainya, seperti anak pejabat, kesukuan, golongan, dan adanya
kesalahan penilaian karena hanya meninjau atau melihat secara sepintas
saja.
Menurut Malayu (2007:100), “Penilai juga cenderung memberikan
nilai baik jika ia mengetahui salah satu sifat yang baik dari karyawan, dan
sebaliknya….”.
Halo effect akan mengakibatkan indeks prestasi karyawan tidak
memberikan gambaran nyata dari karyawan yang dinilai.
62
2) Kesalahan kecenderungan terpusat
Banyak penilai merasa tidak suka menilai para karyawan antara
karyawan yang efektif dan tidak efektif, sangat baik atau sangat jelek,
sehingga penilaian dibuat rata-rata. Handoko (2001:140) mengemukakan:
“…. penilai menghindari penilaian ‟ekstrim‟ tersebut, dan menempatkan
penilaian pada atau dekat dengan nilai tengah”.
Pada kesalahan ini, karyawan yang berkinerja tinggi disamakan
dengan karyawan yang berkinerja rendah. Hal ini akan menyebabkan
ketidakpuasan terhadap nilai yang dihasilkan. Sehingga bisa menimbulkan
motivasi kerja berkurang dan pada akhirnya malah menurunkan kinerja
yang sudah baik.
3) Bias terlalu lunak dan terlalu keras.
Menurut Handoko (2001:140): “Kesalahan terlalu lunak (leniency
bias) disebabkan oleh kecenderungan penilai untuk terlalu mudah
memberikan nilai baik dalam evaluasi prestasi kerja karyawan”. Dan
kesalahan terlalu keras (strickness bias) adalah sebaliknya, terjadi karena
penilai terlalu ketat dalam melakukan evaluasi mereka. Kedua kesalahan
ini umumnya terjadi apabila standar-standar prestasi kerja tidak jelas.
Noe (2010:498) menambahkan bahwa: Kesalahan tersebut akan
menimbulkan dua masalah: (1) kesalahan tersebut menyebabkan sulit
membedakan antara para karyawan yang dinilai oleh orang yang sama
dan (2) kesalahan tersebut menciptakan masalah-masalah dalam
63
membandingkan kinerja individu yang dinilai oleh para peneliti yang
berbeda.
Jika salah seorang penilai bersifat lunak, sedangkan penilai lainnya
ketat, para karyawan dari penilai ketat akan mendapatkan berbagai imbal
jasa yang lebih sedikit daripada para karyawan yang dinilai oleh penilai
lunak.
4) Prasangka Pribadi
Faktor-faktor yang membentuk prasangka pribadi kepada
seseorang dapat mengubah penilaian menjadi subjektif. Menurut Handoko
(2001:141) prasangka pribadi yang dapat mempengaruhi penilaian
mencakup faktor senioritas, kesukuan, agama, kesamaan kelompok dan
status sosial.
5) Pengaruh kesan terakhir
Bila menggunakan penilaian dengan cara subjektif, penilaian akan
sangat dipengaruhi oleh kegiatan-kegiatan karyawan yang paling akhir.
Seperti yang diungkapkan Handoko (2001:141) bahwa: “Kegiatan-
kegiatan terakhir baik atau buruk – cenderung diingat oleh penilai”.
Pengabaian penilaian kegiatan diawal dan pengabaian kinerja yang
baik karena salah satu kinerja yang buruk harus dihindari. Karyawan
mungkin bisa melakukan kesalahan, tapi bukan berarti semua yang ia
kerjakan salah. Kegiatan terakhirpun tidak bisa dijadikan patokan dalam
menilai kinerja. Penilai harus menilainya dari keseluruhan total setiap
kegiatan yang telah ia jalani.
64
2.3 Hubungan Budaya Organisasi dengan Kinerja Karyawan
Budaya perusahaan yang disosialisasikan dengan komunikasi yang
baik dapat menentukan kekuatan menyeluruh perusahaan, kinerja dan
daya saing dalam jangka panjang. Menurut Stephen P. Robbins dalam
Mangkunegara (2009:28) menggambarkan hubungan antara komunikasi,
budaya perusahaan berdampak pada kinerja karyawan sebagaimana
tertera pada gambar dibawah ini.
Gambar 2.3 Diagram Dampak Hubungan antara Budaya Perusahaan
terhadap Kinerja Karyawan
sumber : AA Prabu Mangkunegara (2009:29)
Berdasarkan diagram tersebut, tampak bahwa pembentukan kinerja
yang baik dihasilkan jika terdapat komunikasi antara seluruh karyawan
sehingga membentuk internalisasi budaya perusahaan yang kuat dan
dipahami sesuai dengan nilai-nilai organisasi yang dapat menimbulkan
persepsi yang positif antara semua tingkatan karyawan untuk mendukung
FAKTOR OBJEKTIF
a. Inovasi dan pengambilan
keputusan
b. Perhatikan kerincian
c. Orientasi hasil
d. Orientasi orang
e. Orientasi tim
f. Keagresifan
g. Stabilitas
Manajemen
Puncak
Faktor Komunikasi
atau Sosialisasi
Tinggi
Rendah
Kinerja
Kepuasan
65
dan mempengaruhi iklim kepuasan yang berdampak pada kinerja
karyawan.
Nurjanah (2008:38) mengatakan: ”Mengingat budaya organisasi
merupakan suatu kesepakatan bersama para anggota dalam organisasi
atau perusahaan sehingga mempermudah lahirnya kesepakatan yang
lebih luas untuk kepentingan perorangan”. Keutamaan budaya organisasi
yaitu merupakan pengendali dan arah dalam membentuk sikap dan
perilaku manusia yang melibatkan diri dalam suatu kegiatan organisasi,
sebagaimana Deal dan Kennedy (1982) dan Ouchi (1981) dalam Nurjanah
(2008:38) menyatakan bahwa budaya organisasi mempengaruhi
produktivitas, kinerja, komitmen, kepercayaan diri, dan perilaku etis.
Penelitian yang dilakukan Nurjanah (2008:130) ini berhasil
menyimpulkan bahwa: “Budaya organisasi berpengaruh positif terhadap
kinerja karyawan”.
Menurut Kotler dan Heskett (1992:16): “Budaya yang kuat dapat
menghasilkan efek yang sangat mempengaruhi individu dan kinerja,
bahkan dalam suatu lingkungan bersaing pengaruh tersebut dapat lebih
besar dari faktor-faktor lain seperti struktur organisasi, alat analisis
keuangan, kepemimpinan dan lain-lain”. Budaya organisasi yang mudah
menyesuaikan dengan perubahan jaman (adaptif) adalah yang dapat
meningkatkan kinerja.
Soedjono (2005:22-47) dalam penelitiannya menyatakan: “Budaya
organisasi berpengaruh signifikan dan positif terhadap kinerja organisasi”.
66
Penelitian ini mendukung penelitian Kotler dan Heskett (1992,33) yang
menyatakan bahwa: “Budaya organisasi mempunyai dampak yang kuat
terhadap prestasi kerja organisasi”.
Koesmono (2005:171-185) menambahkan dalam penelitiannya
mengemukakan bahwa: “Budaya organisasi berpengaruh terhadap
motivasi dan kepuasan kerja serta kinerja pada karyawan industri
pengolahan kayu skala menengah di Jawa Timur”. Selain itu Kosemono
menambahkan, “…. ada pengaruh tidak langsung dari budaya organisasi
terhadap kinerja melalui variabel antara yaitu kepuasan kerja”.
Budaya organisasi yang kuat akan membantu organisasi dalam
memberikan kepastian kepada seluruh pegawai untuk berkembang
bersama, tumbuh dan berkembangnya instansi. Pemahaman tentang
budaya organisasi perlu ditanamkan sejak dini kepada pegawai. Bila pada
waktu permulaan masuk kerja, mereka masuk ke instansi dengan
berbagai karakteristik dan harapan yang berbeda-beda, maka melalui
training, orientasi dan penyesuaian diri, pegawai akan menyerap budaya
organisasi yang kemudian akan berkembang menjadi budaya kelompok,
dan akhirnya diserap sebagai budaya pribadi. Bila proses internalisasi
budaya organisasi menjadi budaya pribadi telah berhasil, maka pegawai
akan merasa identik dengan instansinya, merasa menyatu dan tidak ada
halangan untuk mencapai kinerja yang optimal. Ini adalah kondisi yang
saling menguntungkan, baik bagi instansi maupun pegawai.