BAB II Tinjauan Pustaka

11
2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Polisiklik Aromatik Hidrokarbon (PAH) Polisiklik aromatik hidrokarbon (PAH) atau juga dikenal sebagai polycyclic organic matter (POM) adalah molekul aromatik yang terdiri atas dua atau lebih molekul cincin aromatik yang disusun oleh atom karbon dan hidrogen. PAH dalam hal ini termasuk indole, quinoline, dan benzothiophene yang memiliki fungsi biologis pada makhluk hidup (Baran et al. 2003) dan juga senyawa karsinogenik dan genotoksik seperti benzo(a)piren, benzo(a)antrasen, benzo(b)fluoranten, dan dibenzo(a,h)antrasen. Polisiklik aromatik hidrokarbon dan beberapa turunannya berada secara alami di alam dan juga dapat terbentuk pada saat proses pembakaran tidak sempurna (suhu 500-800 °C) atau saat pemanasan bahan organik pada suhu 200-300 °C. Secara alami PAH dapat berada di udara, air permukaan, permukaan tanah, pertambangan batu bara, dan daerah gunung berapi. Sumber lain dari PAH adalah rokok. Rokok mengandung kadar tar cukup tinggi dan pembakaran tar diketahui dapat memicu terbentuknya molekul PAH terutama jenis PAH karsinogenik. Mekanisme pembentukan molekul PAH terjadi melalui reaksi pemecahan bahan organik menjadi fragmen yang sederhana (pirolisis) dan pembentukan senyawa aromatik dari fragmen tersebut (pirosintetik) (Morret et al. 1999; Cano- Lerida et al. 2008). Selain melalui mekanisme suhu tinggi (200-800 °C), molekul PAH diketahui dapat terbentuk pada suhu yang relatif rendah, sekitar 100-150 °C, namun dengan waktu yang lebih panjang dibandingkan pirolisis dan pirosintesis (Morret et al. 1999). PAH umumnya bersifat sangat hidrofobik dikarenakan strukturnya yang memiliki banyak cincin aromatik yang bersifat nonpolar. Molekul PAH mulai menarik perhatian pada awal abad 17. Peneliti dari Inggris Pervical Pott menemukan tingginya prevalensi kanker pada pekerja yang sering berada pada cerobong hasil pembakaran batu bara (mengandung ter). Hal ini didukung oleh penelitian Yamagiwa dan Ichikawa pada 1915 yang menemukan adanya kanker pada kulit tikus yang diolesi oleh ter dan menjadikan metode ini (skin painting) sebagai metode untuk mengecek sifat karsinogen ter.

Transcript of BAB II Tinjauan Pustaka

Page 1: BAB II Tinjauan Pustaka

5

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Polisiklik Aromatik Hidrokarbon (PAH)

Polisiklik aromatik hidrokarbon (PAH) atau juga dikenal sebagai polycyclic

organic matter (POM) adalah molekul aromatik yang terdiri atas dua atau lebih

molekul cincin aromatik yang disusun oleh atom karbon dan hidrogen. PAH

dalam hal ini termasuk indole, quinoline, dan benzothiophene yang memiliki

fungsi biologis pada makhluk hidup (Baran et al. 2003) dan juga senyawa

karsinogenik dan genotoksik seperti benzo(a)piren, benzo(a)antrasen,

benzo(b)fluoranten, dan dibenzo(a,h)antrasen.

Polisiklik aromatik hidrokarbon dan beberapa turunannya berada secara

alami di alam dan juga dapat terbentuk pada saat proses pembakaran tidak

sempurna (suhu 500-800 °C) atau saat pemanasan bahan organik pada suhu

200-300 °C. Secara alami PAH dapat berada di udara, air permukaan, permukaan

tanah, pertambangan batu bara, dan daerah gunung berapi. Sumber lain dari PAH

adalah rokok. Rokok mengandung kadar tar cukup tinggi dan pembakaran tar

diketahui dapat memicu terbentuknya molekul PAH terutama jenis PAH

karsinogenik.

Mekanisme pembentukan molekul PAH terjadi melalui reaksi pemecahan

bahan organik menjadi fragmen yang sederhana (pirolisis) dan pembentukan

senyawa aromatik dari fragmen tersebut (pirosintetik) (Morret et al. 1999; Cano-

Lerida et al. 2008). Selain melalui mekanisme suhu tinggi (200-800 °C), molekul

PAH diketahui dapat terbentuk pada suhu yang relatif rendah, sekitar 100-150 °C,

namun dengan waktu yang lebih panjang dibandingkan pirolisis dan pirosintesis

(Morret et al. 1999). PAH umumnya bersifat sangat hidrofobik dikarenakan

strukturnya yang memiliki banyak cincin aromatik yang bersifat nonpolar.

Molekul PAH mulai menarik perhatian pada awal abad 17. Peneliti dari

Inggris Pervical Pott menemukan tingginya prevalensi kanker pada pekerja yang

sering berada pada cerobong hasil pembakaran batu bara (mengandung ter). Hal

ini didukung oleh penelitian Yamagiwa dan Ichikawa pada 1915 yang

menemukan adanya kanker pada kulit tikus yang diolesi oleh ter dan menjadikan

metode ini (skin painting) sebagai metode untuk mengecek sifat karsinogen ter.

Page 2: BAB II Tinjauan Pustaka

6

Secara alami PAH dengan bobot molekul rendah terdapat di atmosfer dalam

konsentrasi yang cukup rendah, sedangkan PAH dengan bobot molekul tinggi

umumnya terbentuk karena proses pemanggangan (Cano-Lerida et al. 2008).

Namun demikian, kontaminasi PAH dari lingkungan hanya terjadi pada makhluk

laut avertebrata seperti kerang dan tiram yang tidak dapat melakukan metabolisme

PAH (Wootton et al. 2003; Oros & Ross 2005). Sedangkan pada hewan

vertebrata, seperti sapi, ayam, dan ikan, molekul PAH, dalam konsentrasi sangat

rendah, dapat dimetabolisme lebih lanjut sehingga tidak mengkontaminasi daging

yang berasal dari hewan tersebut (Narbonne et al. 2005; Cano-Lerida et al. 2008).

2.2 Benzo(a)piren (BAP) dan Dibenzo(a,h)antrasen (DBA)

Beberapa senyawa PAH diketahui memiliki sifat karsinogenik yang cukup

tinggi, terutama yang memiliki 4 sampai 6 cincin aromatik (Luch & Baird 2005).

Sebanyak 16 jenis PAH dikategorikan sebagai polutan berbahaya dengan

benzo(a)piren (BAP) dan dibenzo(a,h)antrasen (DBA) yang memiliki sifat

karsinogenik tertinggi dibanding PAH yang lain (Tabel 1). Beberapa senyawa

PAH seperti chrysene tidak bersifat karsinogen saat berada di tubuh, tetapi dengan

adanya promotor, seperti tetradecanoylphorobol-acetate (TPA), senyawa PAH ini

dapat bersifat karsinogen, atau lebih dikenal sebagai inisiator kanker.

Benzo(a)piren (Gambar 1) memiliki lima cincin aromatik dan memiliki

bagian bay region dan K-region yang diduga berperan dalam sifat karsinogen dari

molekul tersebut. Sifat karsinogenik dari molekul ini baru terlihat saat

dimetabolisme oleh makhluk hidup. Molekul Benzo(a)piren telah dikategorikan

sebagai molekul karsinogen tipe 1 (terbukti dapat menyebabkan kanker pada

manusia) oleh IARC (Harvey 2011). Molekul ini dikenal sangat sulit untuk

didegradasi secara alami. Karena potensi karsinogeniknya yang sangat tinggi,

molekul BAP sering diteliti dan dijadikan indikator pencemaran PAH pada

lingkungan (Demaneche et al. 2004; Amir et al. 2005).

Gambar 1 Rumus molekul benzo(a)piren dan dibenzo(a,h)antrasen (Luch 2005a).

Page 3: BAB II Tinjauan Pustaka

7

Tabel 1 Toxic equivalency factor (TEF) molekul PAH karsinogen terhadap BAP Rumus Molekul TEF

(Nisbet & Lagoy 1992) Rumus Molekul TEF

(Nisbet & Lagoy 1992)

Rumus Molekul TEF

(Nisbet & Lagoy 1992)

0.001

0.001

0.100

0.001

0.001 1.000

0.001

0.100 1.000

0.001

0.010 0.010 0.001

0.010 0.100 0.100

Sumber: Chen 1997; Petry et al. 1996

7

Page 4: BAB II Tinjauan Pustaka

8

Dibenzo(a,h)antrasen (Gambar 1) memiliki rumus kimia yang mirip dengan

benzo(a)piren namun rumus bangun dari molekul ini berbeda. Sifat karsinogen

dari DBA dikategorikan kedua tertinggi setelah BAP. Sifat karsinogen dari

molekul DBA baru terlihat setelah terjadi metilasi oleh promotor kanker seperti

tetradecanoylphorobol-asetat (TPA), sehingga seperti chrysene molekul ini lebih

sering dikategorikan sebagai inisiator terjadinya kanker. Reaksi metilasi dari

molekul DBA akan membentuk 7,12-dimetilbenz(a,h)antrasen (DMBA) yang

memiliki potensi karsinogenik lebih besar dibandingkan molekul awalnya dan

bahkan lebih besar dari BAP (Luch 2005b).

Molekul BAP dan DBA dapat mengadakan ikatan kovalen dengan DNA

dan setelah terikat dengan DNA molekul ini baru bersifat karsinogen. Terdapat

hipotesis awal mengenai kemungkinan K-region yang menjadi salah satu situs

ikatan kovalen dengan DNA. Namun penelitian terbaru menunjukkan bahwa

K-region bukan situs pengikatan pada DNA dan molekul DBA yang tidak

memiliki K-region terbukti memiliki sifat karsinogen. Penelitian kemudian beralih

pada bay region namun tidak ditemukan hasil penelitian yang mendukung kedua

situs ini sebagai situs ikatan PAH dengan DNA (Luch 2005b).

Penelitian akan sifat karsinogen dari kedua molekul ini kemudian

berkembang ke arah adanya pengaruh enzim tertentu yang mengaktivasi kedua

molekul tersebut sehingga memiliki sifat karsinogenik. Salah satu enzim yang

diduga berperan pada tahap awal adalah enzim P-450 yang berada di retikulum

endoplasma. Enzim ini akan mengoksidasi molekul BAP dan DBA dan

membentuk molekul oksida dari BAP dan DBA yang tidak stabil dan berubah

menjadi turunan fenol, quinone, dan diol-epoksida-nya (Harvey 2011).

Molekul turunan dari reaksi awal enzim P-450 ini dapat mengadakan ikatan

kovalen dengan DNA seperti terlihat pada Gambar 2. Ikatan kovalen antara

molekul ini dengan DNA akan menyebabkan terjadinya kerusakan dan mutasi

DNA. Mutasi yang umum terjadi adalah perubahan basa Guanin (dG) menjadi

Timin (dG) dan perubahan dari Adenosin (dA) menjadi Timin (dA). Mutasi ini

umum terjadi pada sel kanker. Selain itu pembentukan epoksida dapat memicu

terbentuknya radikal kation yang dapat merusak ikatan dalam DNA (Luch 2005b).

Page 5: BAB II Tinjauan Pustaka

9

Gambar 2 Mekanisme pembentukan ikatan kovalen BAP dan DNA (Luch 2005a).

2.3 Penelitian PAH dalam Makanan

Senyawa PAH dalam makanan dapat berasal dari berbagai macam sumber

seperti kontaminasi lingkungan, pemberian panas pada makanan, dan juga berasal

dari bahan baku makanan itu sendiri. Penelitian pertama tentang senyawa PAH

dalam makanan dilakukan oleh Fazio pada 1973. Peneliti ini melakukan analisis

zat dalam makanan yang menyerap cahaya pada panjang gelombang UV dan

melakukan pemisahan dengan kromatografi lapis tipis (Wenzl et al. 2006).

Larsson et al. (1983) meneliti tentang pengaruh pemasakan daging terhadap

kandungan PAH. Penggorengan dan pemasakan dengan menggunakan oven

elektrik tidak menyebabkan terbentuknya senyawa PAH, sedangkan proses

pemasakan dengan menggunakan arang menunjukkan peningkatan PAH yang

signifikan. Penelitian ini menemukan bahwa pemasakan dengan kontak langsung

antara api dari pembakaran kayu dengan bahan organik pada matriks pangan

menunjukkan pembentukan PAH karsinogenik yang sangat tinggi.

Kazerouni et al. (2001) melakukan penelitian kandungan PAH pada 200

sampel makanan di Amerika. Peneliti menemukan bahwa kandungan PAH

tergantung pada cara pengolahan dan tingkat kematangan dari daging tersebut dan

kandungan PAH tertinggi ditemukan pada ayam dan daging sapi yang dibakar

hingga matang. Selain itu peneliti juga menemukan adanya PAH dalam jumlah

Page 6: BAB II Tinjauan Pustaka

10

cukup tinggi pada beberapa jenis sayuran dan gandum-ganduman dan dikonsumsi

dalam jumlah banyak oleh masyarakat Amerika. Hal ini menunjukkan bahwa

PAH tidak hanya berasal dari proses pemasakan tetapi juga dari cemaran

lingkungan sekitar.

Beberapa peneliti juga menemukan kandungan PAH pada makanan yang

tidak mengandung protein namun mengandung lemak tinggi. Guillen et al. (2004)

menemukan kandungan PAH dengan konsentrasi cukup tinggi dalam minyak

zaitun. PAH pada minyak zaitun ini diduga berasal dari kontaminasi lingkungan,

proses pengeringan dengan suhu tinggi, dan ekstraksi dari minyak zaitun yang

menggunakan pelarut organik. Rey-Salgueiro et al. (2008) melakukan penelitian

pengaruh proses pemanggangan roti terhadap kandungan PAH dari roti bakar.

Penelitian ini membuktikan bahwa proses pemanasan dengan api langsung dapat

memicu pembentukan PAH hingga mencapai di atas 100 ug/g sampel, sedangkan

pemanasan dengan menggunakan oven dan bread toaster tidak memicu

pembentukan PAH.

2.4 Penelitian Reduksi PAH dalam Makanan

PAH dalam produk makanan sangat berkaitan dengan metode pengolahan

yang digunakan. Pengolahan dengan pengasapan ataupun pemanggangan dengan

bara api sangat berkaitan dengan peningkatan jumlah PAH dalam makanan.

Berbagai penelitian telah dilakukan untuk mengurangi jumlah PAH baik yang

terdapat dalam bahan makanan maupun yang terdapat secara alami di lingkungan.

Salah satu cara untuk menurunkan kontaminasi PAH adalah dengan

menggunakan mikroorganisme. Salah satu jenis mikroorganisme yang sering

digunakan adalah bakteri dari genus Mycobacterium dan dari genus Rhodococcus.

Kedua genus bakteri ini mampu mendegradasi benzo(a)piren menjadi asam ftalat

dan asam protocatechuic yang tidak beracun. Selain bakteri, degradasi PAH dapat

dilakukan dengan menggunakan fungi dan alga (Haritash & Kaushik 2009).

Farhadian et al. (2011) menunjukkan bahwa terjadi penurunan yang

signifikan pada kandungan PAH daging sapi dan ayam yang diberi perlakuan

pemanasan dengan microwave dan steam sebelum pemanggangan serta

pembungkusan saat pemanggangan. Penurunan ini disebabkan berkurangnya

waktu pemanggangan yang dibutuhkan dan berkurangnya interaksi langsung

Page 7: BAB II Tinjauan Pustaka

11

antara lemak dari makanan dengan sumber panas sehingga pirolisis dapat

dihambat. Farhadian et al. (2011) juga menunjukkan bahwa daging ayam yang

dibakar memiliki kandungan PAH rendah dibanding daging sapi karena tekstur

daging ayam yang lebih lembut sehingga waktu pemasakan lebih singkat dan

pirolisis dapat dihambat.

Selain itu telah berkembang pula penelitian tentang penyerapan PAH pada

bahan makanan yang dibungkus dengan lapisan film ataupun plastik. Penelitian

yang dilakukan oleh Chen J dan Chen S (2005) menunjukkan bahwa terjadi

penurunan nilai PAH pada daging bakar yang dibungkus dengan plastik low

density polyethylene (LDPE). Penurunan ini diduga disebabkan akibat penyerapan

senyawa PAH oleh plastik LDPE.

2.5 Metode Analisis PAH dalam Makanan

Molekul PAH umumnya terdapat dalam konsentrasi sangat rendah di dalam

makanan sehingga proses ekstraksi dan sensitivitas alat untuk deteksi PAH

menjadi hal yang penting dalam penentuan jumlah PAH dalam makanan.

Beberapa masalah yang umum ditemui pada analisis PAH dalam makanan yang

kompleks diantaranya adalah PAH umumnya hanya terdapat pada konsentrasi

sangat rendah di dalam makanan, banyaknya molekul organik yang akan ikut

terekstrak bersama dengan PAH sehingga menimbulkan interferensi atau

gangguan saat analisis kromatografi, dan molekul PAH umumnya terdapat dalam

bentuk isomer sehingga identifikasi masing-masing PAH lebih sulit. Selain itu

kemurnian dari pelarut yang digunakan harus dijaga karena pelarut organik yang

digunakan umumnya merupakan turunan dari minyak bumi dan ter yang secara

alami mengandung PAH (Janoszka et al. 2004; Guillen et al. 2004).

Identifikasi PAH pada sampel daging terutama yang telah mengalami proses

termal sangat sulit karena terbentuknya asam amino dan asam lemak bebas dan

molekul lain yang dihasilkan selama pemanasan (misalnya azaarenes dan

aminoazaarenes). Hal ini membuat analisis PAH secara garis besar dilakukan

dalam tiga tahapan, yaitu pemisahan PAH dari matriks pangan, pemisahan PAH

dari molekul pengganggu, dan analisis kandungan PAH dengan instrumen.

Beberapa metode ekstraksi dan metode analisis PAH makanan telah mulai

dikembangkan sejak tahun 1973 (Wenzl et al. 2006).

Page 8: BAB II Tinjauan Pustaka

12

Chen et al. (1996) melakukan ekstraksi PAH dengan menggunakan tandem

Soxhlet dan sonikasi dan analisis PAH dengan menggunakan HPLC dengan aliran

isokratik. Metode sonikasi menggunakan banyak sekali pelarut dari golongan

klorida dan diperlukan tahapan deep freezing pada sampel selama 48 jam sebelum

sonikasi. Sedangkan untuk analisis dengan Soxhlet memerlukan waktu ekstraksi

yang sangat lama dan volume pelarut yang digunakan banyak. Nilai recovery

benzo(a)piren dari metode Soxhlet dan sonikasi ini berkisar antara 62% - 95%.

Beberapa metode terbaru untuk ekstraksi PAH diantaranya adalah ekstraksi

dengan bantuan microwave (Camel 2000), ekstraksi dengan larutan super-kritis

(Castro & Carmona 2000), dan accelerated solvent extraction yang memiliki ciri

peningkatan suhu dan tekanan selama ekstraksi (Wang et al. 1999; Michalski &

Germuska 2002). Jumlah pelarut yang digunakan pada metode ini jauh lebih

sedikit dibandingkan dengan metode Soxhlet, sonikasi, ekstraksi liquid-liquid

ataupun SPE dan ekstraksi dapat dilakukan dalam waktu singkat dan mudah

dalam pengoperasiannya. Namun peralatan dan pelarut yang digunakan untuk

ketiga metode ekstraksi ini sangat mahal.

Mottier et al. (2000) melakukan analisis PAH pada sampel sosis dengan

cara ekstraksi liquid-liquid (LLE), clean up dengan SPE dan analisis dengan

menggunakan instrumen GC-MS. Tahapan analisis yang dilakukan adalah

saponifikasi dari sampel, ekstraksi dengan menggunakan sikloheksan kemudian

dilanjutkan dengan pemisahan PAH dari molekul lain melalui metode SPE. Nilai

recovery dari analisis BAP hasil penelitian Mottier et al. (2000) adalah 60%.

Untuk mendapatkan hasil recovery yang lebih baik, Janoszka et al. (2004)

melakukan modifikasi metode ekstraksi PAH dengan menggunakan tandem SPE

dan HPLC. Tahapan ekstraksi yang dikembangkan peneliti ini lebih singkat dan

nilai recovery dari metode ini berkisar antara 65%-95% lebih baik dibandingkan

metode yang dikembangkan Mottier et al. (2000). Peneliti lain yang menggunakan

metode yang dikembangkan oleh Janoszka (2004) adalah Farhadian et al. (2011).

Recovery metode analisis PAH yang dilaporkan berkisar antara 75-105%.

2.6 Analisis PAH dengan Tandem SPE dan HPLC

Molekul PAH diperbolehkan berada dalam makanan berada dalam

konsentrasi yang sangat rendah, yaitu sekitar 10 μg/kg makanan atau 10 ppb. Oleh

Page 9: BAB II Tinjauan Pustaka

13

sebab itu dibutuhkan metode penyiapan sampel yang baik dan instrumen yang

cukup sensitif untuk dapat mendeteksi molekul PAH dalam konsentrasi yang

rendah tersebut. Proses ekstraksi PAH dari matriks sampel umumnya diawali

dengan saponifikasi matriks sampel dengan menggunakan alkali kemudian clean

up dari molekul PAH dengan menggunakan kromatografi kolom, soklet, maupun

solid phase extraction (SPE). Kandungan PAH kemudian dianalisis dengan

instrumen HPLC atau GC (Janoszka et al. 2004). Instrumen GC dan HPLC telah

banyak digunakan dalam analisis molekul PAH dalam makanan dan telah terbukti

sensitivitasnya (Barranco et al. 2003; Cano-Lerida et al. 2008).

Proses clean up sangat penting pada proses ekstraksi PAH dalam matriks

pangan. Hal ini dikarenakan kandungan PAH dalam makanan umumnya berada

dalam jumlah rendah dan adanya kemungkinan kontaminasi dari pelarut maupun

molekul organik lain yang terkandung dalam matriks pangan yang dapat

menyebabkan noise maupun kesalahan positif saat analisis PAH (Janoszka et al.

2004; Guillen et al. 2004). Salah satu metode clean up yang banyak digunakan

untuk ekstraksi PAH dalam matriks pangan adalah SPE.

Metode ini menggunakan prinsip yang sama dengan ekstraksi liquid/liquid,

yaitu mengekstrak sampel dengan menggunakan pelarut yang memiliki kelarutan

yang sama dengan sampel (like dissolve like). Pada SPE, proses retensi sampel

dilakukan pada medium padat (solid surface). Keunggulan dari metode ini

dibandingkan metode clean up yang lain adalah proses clean up lebih sederhana,

waktu analisis lebih singkat, dan jumlah pelarut yang digunakan lebih sedikit

dibandingkan metode yang lain, seperti ekstraksi LLE (Barranco et al. 2003).

Metode clean up ini memberikan hasil recovery yang baik pada analisis PAH

dalam berbagai jenis matriks pangan seperti minyak nabati (Barranco et al. 2003)

dan beberapa jenis daging (Janoszka et al. 2004, Farhadian et al. 2011).

Dewasa ini deteksi PAH dalam makanan lebih banyak dilakukan dengan

menggunakan instrumen HPLC dibandingkan dengan kromatografi gas (GC). Hal

ini dikarenakan GC memiliki beberapa kelemahan, diantaranya kebanyakan PAH

akan mengalami degradasi saat terkena suhu tinggi pada analisis dengan GC dan

instrumen GC sulit digunakan untuk memisahkan PAH yang berbentuk isomer.

Sebaliknya, analisis PAH menggunakan HPLC memiliki keunggulan karena tidak

menggunakan suhu tinggi dan kolom serta detektor yang digunakan, yaitu

Page 10: BAB II Tinjauan Pustaka

14

fluoresens ataupun UV, memiliki sensitivitas dan selektifitas yang lebih baik

untuk pemisahan molekul PAH, termasuk isomer-isomernya (Janoszka 2004).

Chen et al. (1996) membandingkan sensitivitas detektor UV dan fluoresens

dalam analisis 16 molekul PAH yang dikategorikan pencemar lingkungan oleh

EPA. Hasil penelitian menunjukkan bahwa detektor fluoresens memiliki

sensitivitas hingga 320 kali lebih sensitif dibanding detektor UV. Limit deteksi

analisis molekul PAH dengan menggunakan detektor UV pada penelitian ini

berkisar antara 0.02-1.54 ng. Berbagai hasil penelitian dalam Janoszka et al.

(2004) menunjukkan bahwa kandungan PAH produk olahan daging berkisar

antara 0.01-42.20 ng/g. Nilai ini berada dalam limit deteksi detektor UV dan

menunjukkan bahwa detektor ini cukup sensitif untuk analisis PAH dalam

makanan, terutama produk olahan daging. Penelitian oleh Riverra et al. (1996)

menunjukkan hasil recovery yang baik untuk analisis PAH dengan detektor UV.

Analisis PAH umumnya dilakukan pada kolom C18 ataupun kolom khusus

PAH, yang berisi C18 dan silika ultra pure untuk meningkatkan deteksi alat.

Sistem HPLC yang digunakan adalah reversed phase chromatography (RPC)

dengan fase gerak campuran asetonitril dan air ataupun metanol dan air dengan

jenis elusi isokratik (Chen et al. 1996, Farhadian et al. 2011, Janoszka et al. 2004,

Riverra et al. 1996). Pemisahan dengan sistem RPC umumnya lebih cepat,

mudah, dan aman dan telah banyak digunakan sejak 1970an. Selain itu pelarut

yang digunakan pada kromatografi RPC umumnya kompatibel dengan detektor

UV (Snyder 2010; Dong 2006). Untuk analisis lebih dari 10 molekul PAH secara

simultan, Chen et al. (1996) menyarankan penggunaan aliran gradien

dibandingkan aliran isokratik. Hal ini dikarenakan penggunaan aliran gradien

akan menghasilkan peak yang terpisah dan waktu analisis yang lebih singkat.

2.7 Response Surface Methodology

Response surface methodology (RSM) merupakan kumpulan teknik

matematika dan statistika yang berguna untuk analisis dan permodelan dari suatu

permasalahan (respons) dengan satu atau lebih perlakuan dalam penelitian

(Montgomery 2001). Perancangan model dengan menggunakan RSM dapat

memberikan hubungan atau korelasi dari suatu permasalahan dengan kombinasi

perlakuan yang berbeda. Tujuan utama dari RSM adalah membantu peneliti untuk

Page 11: BAB II Tinjauan Pustaka

15

merancang percobaan agar mendapatkan hasil paling optimum dari percobaan

tersebut (Montgomery 2001).

Metode RSM umum digunakan untuk optimasi proses kimia maupun

biokimia seperti optimasi reaksi enzimatis, optimasi formula dalam pembuatan

roti, optimasi proses ekstraksi zat tertentu dari matriks pangan, dan juga optimasi

proses untuk reduksi komponen berbahaya seperti akrilamid (Lasekan & Abbas

2011; Mestadagh et al 2008). Lasekan dan Abbas (2011) melakukan optimasi

kondisi pemanggangan dengan menggunakan RSM-central composite design

(CCD) pada kacang almond untuk menurunkan kandungan akrilamid dari kacang

almond tersebut. Mestadagh et al. (2008) melakukan optimasi proses blansir

dengan RSM dengan desain CCD pada kentang untuk mereduksi akrilamid yang

terbentuk pada produk olahan kentang goreng. Kedua peneliti tersebut berhasil

melakukan optimasi proses pengolahan dengan RSM untuk menurunkan

akrilamid yang terbentuk pada produk pangan.

Optimasi proses untuk mereduksi PAH dengan RSM pada makanan belum

banyak dilaporkan. Penelitian hanya sebatas pada optimasi metode ekstraksi PAH

dengan metode LC-MS maupun microwave-assisted dengan bantuan RSM seperti

yang dilaporkan oleh Ramalhosa et al. (2012) dan Gonzalez et al. (2007). Contoh

penelitian optimasi reduksi PAH adalah penelitian yang dilakukan Ghevariya et

al. (2011) yang meneliti tentang komposisi media pertumbuhan yang optimum

(dengan bantuan RSM) bagi bakteri Achronobacter cylosoxidians untuk

mereduksi chrysene. Penelitian optimasi proses pemasakan untuk reduksi PAH

pada makanan belum pernah dilakukan sebelumnya.