BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Teori Keagenan (Agency … II.pdf · Akuntabilitas pemerintah daerah...

download BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Teori Keagenan (Agency … II.pdf · Akuntabilitas pemerintah daerah dalam menghasilkan pelayanan publik ... Desentralisasi fiskal dalam bentuk ... menyatakan

If you can't read please download the document

Transcript of BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Teori Keagenan (Agency … II.pdf · Akuntabilitas pemerintah daerah...

  • 10

    BAB II.

    TINJAUAN PUSTAKA

    Teori utama penelitian ini menggunakan Teori Keagenan didukung dengan Teori

    Kontijensi dan Desentralisasi.

    2.1 Teori Keagenan (Agency Theory)

    Masyarakat di era keterbukaan saat ini semakin kritis menanggapi tingkat

    keberhasilan kinerja instansi pemerintah. Kesenjangan antara harapan masyarakat

    dengan kinerja pemerintah dalam menyediakan layanan publik sering terjadi dan

    menimbulkan ketidak harmonisan pemerintah dengan masyarakat. Hal ini

    disebabkan belum ada sistem pengukuran kinerja pemerintah yang bersifat formal,

    yang dapat memberikan informasi tingkat keberhasilan suatu instansi pemerintah.

    Untuk itu diperlukan teori-teori yang dapat dijadikan dasar untuk menjelaskannya.

    Teori keagenan menurut Jensen dan Meckling (1976) merupakan interaksi

    antara agen dan principal. Agen adalah pihak yang menerima perintah dan prinsipal

    menjadi pihak pemberi perintah, pengawas, memberikan nilai dan masukan terhadap

    pelaksanaan tugas-tugas oleh agen. Sugiyono (2013) menyatakan bahwa principal

    memberikan wewenang pengaturan kepada agent, dan memberikan sumber daya

    kepada agent (dalam bentuk pajak dan lain-lain).

    Eisenhardt (1989) menyatakan bahwa teori agensi menggunakan tiga asumsi

    sifat manusia yaitu: (1) manusia pada umumya mementingkan diri sendiri (self

    interest), (2) manusia memiliki daya pikir terbatas mengenai persepsi masa

  • 11

    mendatang (bounded rationality), dan (3) manusia selalu menghindari resiko (risk

    averse). Berdasarkan asumsi sifat dasar manusia tersebut agent sebagai manusia akan

    bertindak opportunistic, yaitu mengutamakan kepentingan pribadinya (Haris, 2004).

    Hubungan agen dan prinsipal di sektor pemerintah harus tetap pada tujuan untuk

    meningkatkan kesejahteraan masyarakat didasari peraturan-peraturan yang berlaku.

    Hal tersebut untuk mengurangi perilaku oportunistik antara agen dan prinsipal.

    2.2 Teori Kontijensi

    Pendekatan kontijensi pada akuntansi didasarkan pada premis bahwa tidak ada

    sistem akuntansi secara universal selalu tepat untuk bisa diterapkan pada seluruh

    organisasi dalam setiap keadaan, tetapi dipengaruhi juga oleh faktor-faktor

    situasional yang ada dalam organisasi (Hanu, 2006). Adopsi teori kontijensi pada

    akuntansi muncul sebagai suatu kebutuhan untuk menginterpretasikan hasil riset

    empiris (Hanu, 2006).

    Penelitian yang menggunakan pendekatan kontijensi dilakukan, dengan tujuan

    mengidentifikasi berbagai variabel kontijensi yang memengaruhi perancangan.

    Hakikat teori kontijensi adalah tidak ada satu cara terbaik yang bisa digunakan dalam

    semua keadaan (situasi) lingkungan. Tujuan akhir sebuah organisasi dalam

    beroperasi menurut Teori Kontijensi adalah agar bisa bertahan (survive) dan bisa

    tumbuh (growth) atau disebut juga keberlangsungan (viability). Teori kontijensi

    memberi penekanan pada perlunya memfokuskan pada perubahan dengan asumsi

    tidak ada satu aturan atau hukum yang memberi solusi terbaik untuk setiap waktu,

    tempat, semua orang atau semua situasi. Pendekatan kontijensi tersebut

  • 12

    memungkinkan adanya variabel-variabel yang dapat bertindak sebagai moderating

    dan intervening.

    2.3 Desentralisasi

    Desentralisasi dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 merupakan

    merupakan salah satu asas penyelenggaraan pemerintahan daerah yang dimaknai

    sebagai penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah

    otonom dalam kerangka negara kesatuan republik Indonesia, yang secara utuh dan

    bulat dilaksanakan pada daerah kabupaten dan kota. Pendapat yang sama juga

    disampaikan Pide (1997) dalam Akam (2011) bahwa desentralisasi pada dasarnya

    adalah pelimpahan atau penyerahan kekuasaan atau wewenang di bidang tertentu

    secara vertikal dari institusi/lembaga/pejabat yang lebih tinggi kepada

    institusi/lembaga/fungsionaris bawahannya, sehingga yang menerima kuasa

    wewenang tertentu itu berhak bertindak atas nama sendiri dalam urusan tertentu

    tersebut. Desentralisasi pada dasarnya merupakan pelimpahan kewenangan penentu

    kebijaksanaan pemerintah terhadap potensi dan kemampuan daerah dengan

    melibatkan wakil-wakil rakyat di daerah dalam menyelenggarakan pemerintahan dan

    pembangunan, dan memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk menggunakan

    hak yang seimbang dengan kewajiban. Pendapat Barkley (1978) yang dikutip Akam

    (2011) menyatakan desentralisasi dapat mendorong pengambilan keputusan yang

    lebih cepat dan lebih luas bahkan mampu memberi dukungan yang lebih konstruktif

    di dalam proses pengambilan keputusan.

  • 13

    Desentralisasi memberikan kewenangan kepada daerah untuk membuat

    kebijakan terkait pemberian pelayanan, meningkatkan partisipasi, pemberdayaan dan

    prakarsa masyarakat. Pemerintah daerah dapat mengoptimalkan pembangunan

    berorientasi pada kepentingan masyarakat dengan adanya kebijakan desentralisasi,

    untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pendelegasian wewenang kepada

    pemerintah daerah diharapkan mampu membuat pemerintah daerah lebih sensitif dan

    lebih bisa memahami kebutuhan dan masalah yang terjadi di masyarakat, untuk itu

    informasi dari masyarakat menjadi pendukung terlaksananya kebijakan yang lebih

    efektif. Pemerintah daerah harus menjalin kedekatan dengan masyarakat agar dapat

    menjaring aspirasi sebagai masukan bagi pemerintah dalam menyusun dan

    merumuskan rencana kegiatan pembangunan. Harmoni hubungan antara pemerintah

    dengan masyarakat dalam sistem pemerintahan yang desentralistik akan

    meningkatkan efisiensi dalam perekonomian sehingga akhirnya akan meningkatkan

    kesejahteraan masyarakat, dalam bidang ekonomi, stabilitas politik, dan kualitas

    pelayanan publik. Melalui penyelenggaraan desentralisasi daerah diharapkan dapat

    mandiri dengan sumber daya yang dimiliki. Namun tidak tertutup kemungkinan ada

    daerah-daerah yang menghadapi kesulitan dalam menyelenggarakan tugas

    desentralisasi, mengingat keterbatasan sumber daya yang dimiliki.

    Kajian-kajian tentang desentralisasi terus berkembang, tetapi inti dari

    desentralisasi sebagai alat untuk mencapai kesatuan, demokrasi dan kemandirian.

    Menurut Ryaas (2002), mengatakan bahwa kebijakan desentralisasi dan otonomi

    daerah adalah kebijakan yang paling sukses dan didasarkan pada komitmen

    reformasi secara nasional dengan dukungan perangkat hukum yang luas dan jelas

  • 14

    serta diterima luas oleh pemerintah daerah, partai politik, organisasi masyarakat dan

    kaum intelektual bahkan pemuka agama.

    2.4 Keuangan Daerah

    Penyelenggaraan otonomi daerah bergantung pada pengelolaan sumber daya

    daerah untuk meningkatkan kemampuan keuangan daerah dalam membiayai

    kebutuhan pembangunan. Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 13

    Tahun 2006 tentang pengelolaan keuangan daerah, menjelaskan keuangan daerah

    adalah semua hak dan kewajiban daerah dalam rangka penyelenggaraan

    pemerintahan daerah yang dapat dinilai dengan uang termasuk segala bentuk

    kekayaan yang berhubungan dengan hak dan kewajiban daerah. Sejalan dengan hal

    tersebut Halim (2007) mengungkapkan bahwa kemampuan pemda dalam mengelola

    keuangan daerah dituangkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

    (APBD) yang langsung maupun tidak langsung mencerminkan kemampuan pemda

    dalam membiayai pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan, pembangunan dan

    pelayanan sosial masyarakat.

    Keuangan daerah menjadi faktor penting karena tanpa biaya yang cukup

    pemerintah tidak dapat menjalankan fungsinya dengan baik dalam memberikan

    pelayanan dan melakukan pembangunan. Keuangan daerah juga merupakan salah

    satu indikator untuk mengetahui kemampuan pemerintah daerah dalam mengatur dan

    mengurus sendiri daerahnya. Menurut Kunarjo (1996) untuk melaksanakan

    pembangunan prasarana, pemerintah daerah dapat membiayai dari sumber

    pendapatan asli daerah, dana perimbangan maupun pinjaman daerah.

  • 15

    2.5 Kinerja Keuangan

    Literatur manajemen menyatakan pentingnya pengukuran kinerja yang dapat

    dijelaskan dengan dua teori yaitu teori keagenan dan teori pensinyalan. Teori

    keagenan menjelaskan bahwa hubungan agen-prinsipal sangat tergantung pada

    penilaian prinsipal tentang kinerja agen. Kinerja yang baik akan berpengaruh positif

    pada kompensasi yang mereka terima, dan sebaliknya kinerja yang buruk akan

    berpengaruh negatif. Teori pensinyalan menjelaskan bahwa laporan keuangan yang

    baik merupakan sinyal atau tanda bahwa organisasi telah beroperasi dengan baik.

    Sinyal yang baik akan direspon dengan baik oleh pihak lain.

    Kinerja adalah gambaran mengenai tingkat pencapaian pelaksanaan suatu

    kegiatan/program/kebijakan dalam mewujudkan sasaran, tujuan, misi dan visi yang

    (Sularso dan Restianto, 2011). Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri)

    No.13 tahun 2006 menyebutkan kinerja sebagai keluaran/hasil dari kegiatan/program

    yang akan atau telah dicapai sehubungan dengan penggunaan anggaran dengan

    kuantitas dan kualitas yang terukur. Pengukuran kinerja berfungsi untuk menilai

    sukses atau tidaknya suatu organisasi, kegiatan/program dan menilai tingkat

    penyimpangan antara kinerja aktual dan kinerja yang diharapkan (Pauwah, 2014).

    Pengukuran kinerja dalam organisasi sektor publik dilakukan setelah adanya

    anggaran untuk menilai prestasi serta akuntabilitas organisasi dan manajemen dalam

    menghasilkan pelayanan publik yang lebih baik. Pengukuran kinerja bertujuan untuk

    membantu penilaian atas hasil capaian melalui alat ukur finansial dan non finansial

    dan dapat menjadi alat pengendalian organisasi. Pengukuran kinerja dilakukan agar

    dapat dipastikan apakah pengambilan keputusan dilakukan secara tepat dan obyektif.

  • 16

    Selain itu juga bisa memantau dan mengevaluasi pelaksanaan kinerja dan

    membandingkannya dengan rencana kerja serta melakukan tindakan untuk

    memperbaiki kinerja periode berikutnya.

    Kinerja keuangan merupakan suatu ukuran kinerja yang menggunakan indikator

    keuangan (Fajar, 2013). Kinerja keuangan pemerintah daerah adalah kemampuan

    suatu daerah untuk menggali dan mengelola sumber keuangan asli daerah dalam

    memenuhi kebutuhannya guna mendukung berjalannya sistem pemerintahan,

    pelayanan kepada masyarakat dan pembangunan daerah (Nuritomo, 2014). Kinerja

    keuangan dapat menunjukkan bagaimana kondisi keuangan dan kemampuan

    pemerintah dalam memperoleh dan menggunakan dana untuk pembangunan (Kalalo

    dkk, 2014). Akuntabilitas pemerintah daerah dalam menghasilkan pelayanan publik

    dapat diketahui dengan mengukur kinerja keuangan. Mardiasmo (2002) menyatakan

    pengukuran kinerja keuangan pemerintah daerah dilakukan untuk memenuhi 3 tujuan

    yaitu: 1) Memperbaiki kinerja pemerintah. 2) Membantu mengalokasikan sumber

    daya dan pembuatan keputusan. 3) Mewujudkan pertanggungjawaban publik dan

    memperbaiki komunikasi kelembagaan. Ukuran penilaian kinerja pemerintah dalam

    mengelola keuangan adalah dengan menggunakan analisis rasio keuangan.

    Sularso dan Restianto (2011) menyatakan analisis kinerja keuangan pada

    dasarnya dilakukan untuk menilai kinerja masa lalu sehingga didapat posisi

    keuangan yang mewakili realitas dan potensi potensi-potensi kinerja yang

    bermanfaat untuk di masa datang. Kaidah pengukuran kinerja keuangan pada sektor

    pemerintahan belum mencapai kesepakatan, tetapi tetap harus dilaksanakan untuk

    menjaga transparansi, akuntabilitas, efektis dan efisiensi pengelolaan keuangan

  • 17

    daerah. Secara umum kinerja keuangan diukur dengan analisis rasio. Kinerja

    keuangan pemerintah dapat diukur dengan rasio derajat desentralisasi, rasio

    ketergantungan keuangan daerah, rasio kemandirian, rasio efektivitas PAD, rasio

    efektivitas pajak daerah dan rasio derajat kontribusi BUMD (Sularso dan Restianto,

    2011).

    2.5.1 Derajat Desentralisasi

    Desentralisasi merupakan wewenang pemerintahan daerah otonom untuk

    mengatur dan mengurus urusan pemerintahan. Derajat desentralisasi menunjukkan

    kontribusi PAD terhadap total penerimaan daerah. Sumber keuangan pemerintah

    daerah adalah PAD yang merupakan semua penerimaan uang melalui rekening kas

    daerah yang akan menambah ekuitas dana untuk membiayai keperluan daerah dalam

    membiayai kegiatan rutin maupun pembangunannya, yang berasal dari pajak daerah,

    retribusi daerah, hasil usaha milik daerah dan lain-lain pendapatan asli daerah yang

    sah. Semakin tinggi kontribusi PAD maka semakin tinggi kemampuan daerah dalam

    menyelenggarakan otonomi. Kontribusi PAD yang cukup signifikan dikaitkan

    dengan kemampuan melaksanakan otonomi daerah ditunjukkan Saemoela (2012).

    Kalalo dkk (2014) menyatakan peningkatan PAD setiap tahun berpengaruh pada

    membaiknya rasio derajat desentralisasi kinerja keuangan. Sedangkan hasil

    pengukuran kinerja keuangan daerah yang dilakukan Prabowo (2012) menunjukan

    rasio desentralisasi yang masih rendah.

    Kontribusi PAD terhadap peningkatan kemampuan keuangan pemerintah daerah

    dalam penyelenggaraan desentralisasi dinyatakan masih kurang optimal. Waluyo

    (2007) menemukan desentralisasi fiskal meningkatkan pertumbuhan ekonomi lebih

  • 18

    tinggi pada daerah yang tergolong area bisnis dan memiliki kekayaan alam

    melimpah. Desentralisasi fiskal dalam bentuk pemberian otonomi di bidang

    keuangan kepada daerah-daerah merupakan suatu proses pengintensifikasian peranan

    dan sekaligus pemberdayaan daerah dalam pembangunan. Hasil berbeda ditunjukan

    oleh Parhah (2003) bahwa kontribusi desentralisasi belum memiliki dampak yang

    berarti, karena hasil penelitian menunjukan bahwa desentralisasi fiskal tidak

    berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi. Penelitian Pepinsky dan Wihardja

    (2009) juga menyatakan desentralisasi fiskal tidak berpengaruh terhadap

    pertumbuhan ekonomi yang diukur melalui produk domestik bruto. Rasio derajat

    desentralisasi merupakan perbandingan PAD dengan total penerimaan daerah. Rasio

    derajat desentralisasi dapat diformulasikan sebagai berikut (BPKP, 2012):

    Keterangan:

    RD : Rasio Desentralisasi

    PAD : Pendapatan Asli Daerah

    TPD : Total Pendapatan Daerah

    2.5.2 Ketergantungan Keuangan

    Pemerintah daerah harus menunjukan kesungguhan dalam melakukan upaya-

    upaya meningkatkan PAD dan mengalokasikan dana yang cukup untuk belanja

    pembangunan. Peran PAD dalam membiayai belanja daerah terutama porsi untuk

    belanja pembangunan sangat besar yang mencerminkan kualitas pelaksanaan

    pelayanan publik. Wong (2004) memberikan bukti empiris adanya kenaikan pajak

    ketika pemerintah menaikkan belanja pembangunan untuk sektor industri. Jadi,

    RD =

    PAD

    TPD

    X 100 % 2.1

  • 19

    pelayanan publik yang semakin baik dapat mendorong penerimaan PAD menjadi

    semakin tinggi. Kontribusi PAD untuk mengurangi tingkat ketergantungan

    pemerintah daerah terhadap pemerintah pusat sangat besar.

    Kajian Bappenas (2003) menyatakan bahwa dalam era otonomi seharusnya

    peran PAD semakin besar dalam membiayai berbagai belanja daerah. Sedangkan Adi

    (2006) mengindikasikan kecenderungan untuk tetap mempertahankan (bahkan

    meningkatkan) transfer dari pemerintah pusat yang jumlahnya sangat besar terutama

    DAU. Rasio ketergantungan keuangan diukur dengan (BPKP, 2012):

    Keterangan:

    RTK : Rasio Ketergantungan Keuangan

    PT : Pendapatan Transfer

    TPD : Total Pendapatan Daerah

    2.5.3 Efektifitas PAD

    Rasio efektifitas menunjukkan kemampuan daerah merealisasikan PAD yang

    telah direncanakan dibandingkan dengan target yang ditetapkan berdasarkan potensi

    riil daerah (Sularso dan Restianto, 2011). Kemampuan daerah dalam menjalankan

    tugas dikategorikan efektif apabila rasio yang dicapai minimal sebesar satu atau 100

    persen (Randa dan Paledung, 2013). Rasio efektivitas bertujuan untuk mengetahui

    sejauh mana kemampuan pemerintah daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan.

    Penyelenggaraan pemerintahan khususnya ditinjau dari segi keuangan dikatakan

    efektif bila ratio efektifitas tinggi yang berarti kinerja pemerintah semakin baik.

    Keadaan tersebut menunjukkan seluruh kegiatan yang direncanakan dan ditetapkan

    RTK =

    PT

    TPD

    X 100 % . 2.2

  • 20

    diawal terlaksana dengan baik. Nilai efektifitas diperoleh dari perbandingan realisasi

    penerimaan PAD dengan realisasi target penerimaan PAD yang ditetapkan.

    Efektivitas PAD menunjukkan kemampuan pemerintah daerah dalam

    memobilisasi penerimaan PAD sesuai dengan yang ditargetkan. Penelitian Kalalo

    dkk (2014) mendukung pernyataan tersebut yang menyatakan bahwa Rasio

    efektivitas PAD Pemerintah Kota Manado mengalami peningkatan, ditunjukan

    dengan terus meningkatkan realisasi penerimaan PAD setiap tahun. Sedangkan Rasio

    efektivitas Kabupaten Poso pada tahun 2010-2012 berdasarkan penelitian Randa dan

    Paledung (2012) menunjukan kemampuan daerah dalam menjalankan tugas belum

    efektif karena persentase rasio efektifitasnya belum mencapai maksimal (100%).

    Rasio efektivitas PAD diukur dengan (Halim, 2002 dalam Sularso dan Restianto,

    2011):

    Keterangan:

    RE PAD : Rasio Efektivitas Pendapatan Asli Daerah

    R PAD : Realisasi Pendapatan Asli Daerah

    TrPAD : Target Pendapatan Asli Daerah

    2.5.4 Kemandirian Keuangan

    Rasio kemandirian keuangan daerah menunjukkan kemampuan daerah dalam

    membiayai sendiri kegiatan pemerintahan, pembangunan, dan pelayanan kepada

    masyarakat yang telah membayar pajak dan retribusi sebagai sumber pendapatan

    yang diperlukan daerah. Kemandirian keuangan menurut Saragih (2003) diartikan

    sebagai suatu proses distribusi anggaran dari tingkat pemerintahan yang lebih tinggi

    kepada pemerintahan yang lebih rendah, untuk mendukung fungsi atau tugas

    RE PAD =

    R PAD

    TrPAD X 100 % .. 2.3

  • 21

    pemerintahan dan pelayanan publik sesuai dengan banyaknya kewenangan bidang

    pemerintahan yang dilimpahkan.

    Kebijakan kemandirian keuangan pada akhirnya menimbulkan perbedaan

    orientasi kebijakan ekonomi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, yang

    dipicu keterbatasan keuangan yang dihadapi pemerintah daerah. Pemerintah daerah

    cenderung fokus pada pengalokasian dana daripada upaya untuk menjaga stabilitas

    perekonomian. Perekonomian yang stabil dengan tingkat pertumbuhan ekonomi yang

    tinggi menjadi terabaikan, demikian juga dengan pemerataan distribusi pendapatan.

    Rasio kemandirian keuangan dapat diukur dengan (BPKP, 2012):

    Keterangan:

    RKK : Rasio Kemandirian Keuangan

    PAD : Pendapatan Asli Daerah

    TP : Transfer Pusat

    TV : Transfer Provinsi

    P : Pinjaman

    2.5.5 Derajat Kontribusi BUMD

    Pendapatan Asli Daerah (PAD) dapat berasal dari pajak daerah, retribusi daerah,

    hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan lain-lain PAD yang sah.

    Hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan merupakan pendapatan yang

    berasal dari Perusahaan Daerah (PD) atau BUMD. Menurut kajian Badan Pemeriksa

    Keuangan Perwakilan Banten, BUMD memiliki peran dalam mewujudkan

    kemakmuran daerah dengan memberikan kontribusi terhadap penerimaan PAD baik

    dalam bentuk deviden atau pajak. Upaya meningkatkan PAD salah satunya dengan

    meningkatkan peran/kontribusi BUMD. Secara makro menurut BPK Perwakilan

    RKK = PAD

    TP+TV+P X 100 %

    . 2.4

  • 22

    Banten, peranan PD/BUMD terhadap perekonomian daerah dapat diukur melalui

    kontribusi nilai tambahnya terhadap Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB)

    dan kemampuannya menyerap tenaga kerja.

    Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1962 tentang Perusahaan Daerah, menyatakan

    BUMD didirikan bertujuan untuk turut serta melaksanakan pembangunan daerah

    khususnya dan pembangunan ekonomi nasional umumnya untuk memenuhi

    kebutuhan rakyat menuju masyarakat yang adil dan makmur. Perkembangan

    selanjutnya BUMD justru menjadi salah satu masalah keuangan daerah. BPK

    Perwakilan Banten juga menyebutkan kontribusi BUMD terhadap PDRB nasional

    baru sekitar 0,5 persen dan jika BUMD mampu meningkatkan kontribusinya mejadi

    10 persen saja terhadap PDRB nasional, maka perekonomian nasional akan sangat

    kuat. Berdasarkan http://www.hariansumutpos.com/, diakses pada 12 Februari 2013

    dalam Kajian BPK Perwakilan Banten BUMD menyebutkan perlu UU yang

    memihak agar dapat memenuhi kontribusi tersebut. Berdasarkan penelitian yang

    dilakukan Ir. Purwadi, paling tidak terdapat 13 masalah umum yang dimiliki BUMD

    yang menyebabkan BUMD belum mampu berperan mendukung PAD dan

    pertumbuhan ekonomi, yaitu:

    1) Campur tangan birokrasi tinggi;

    2) Kondisi mesin dan peralatan yang sudah ketinggalan;

    3) Lemahnya kemampuan permodalan;

    4) Banyaknya aset perusahaan yang tidak produktif (idle capacity), seperti

    tanah dan bangunan yang menyebabkan overhead relatif tinggi;

    5) Keterampilan pegawai pada umumnya masih rendah;

  • 23

    6) Kurang jelasnya dasar hukum yang digunakan, tidak sesuai dengan kondisi

    saat ini;

    7) Marketing system yang dilakukan oleh BUMD relatif lemah;

    8) Adanya persaingan dari pihak swasta yang memproduksi barang sejenis;

    9) Kurang berfungsinya Badan Pengawas;

    10) Perusahaan-perusahaan daerah pada umumnya mempunyai posisi Debt to

    Equity Ratio yang tidak menguntungkan, sehingga resiko finansial dari

    perusahaan relatif tinggi;

    11) Beban keharusan untuk menyetor sebagian laba;

    12) Masih dipertahankannya BUMD yang merugi;

    13) Adanya BUMD yang pendiriannya dipaksakan, walaupun secara ekonomis

    tidak layak didirikan (tidak feasible), dengan alasan menyangkut kebutuhan

    pelayanan umum sehingga usahanya tidak efisien (merugi).

    Perusahaan publik seperti BUMD memang membutuhkan manajemen khusus,

    karena orientasi BUMD bertujuan untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat

    tanpa profit oriented. Keuntungan yang diperoleh akan digunakan untuk kepentingan

    masyarakat. Tolok ukur keberhasilan BUMD akan ditunjukan oleh kemampuannya

    bersaing dalam bidang public service dan profit motive. Rasio derajat kontribusi

    BUMD dapat diukur dengan (BPKP, 2012):

    Keterangan:

    RK BUMD : Rasio Derajat Kontribusi Badan Usaha Milik Daerah

    Pbl BUMD : Penerimaan bagian laba Badan Usaha Milik Daerah

    P PAD : Penerimaan Pendapatan Asli Daerah

    RK BUMD =

    Pbl BUMD

    P PAD

    X 100 % . 2.5

  • 24

    2.6 Belanja Modal

    Belanja modal adalah pengeluaran yang dikeluarkan dalam rangka pembentukan

    modal yang sifatnya menambah aset tetap/inventaris yang memberikan manfaat lebih

    dari satu periode akuntansi, termasuk didalamnya pengeluaran untuk biaya

    pemeliharaan yang sifatnya mempertahankan atau menambah masa manfaat,

    meningkatkan kapasitas dan kualitas aset. Belanja modal menurut Pernyataan

    Standar Akuntansi Pemerintahan (PSAP) No. 2 Laporan Realisasi Anggaran,

    merupakan pengeluaran anggaran untuk memperoleh aset tetap dan aset lainnya yang

    memberi manfaat lebih dari satu periode akuntansi. Belanja modal meliputi belanja

    modal tanah, belanja modal peralatan dan mesin, belanja modal gedung dan

    bangunan, belanja modal jalan, irigasi dan jaringan, belanja modal fisik lainnya.

    Belanja modal sebagian besar berhubungan dengan pelayanan publik, sehingga

    pada setiap tahun anggaran jumlahnya seharusnya relatif besar. Alokasi belanja

    modal pada prinsinya dibuat untuk menghasilkan aset tetap milik pemerintah daerah

    yang sesuai dengan kebutuhan pemerintah daerah dan atau masyarakat di daerah

    untuk kelancaran pelaksanaan tugas pemerintahan maupun untuk mengadaan dan

    pemeliharaan fasilitas publik. Alokasi belanja modal erat kaitannya dengan

    ketersediaan pendanaan dari pendapatan daerah dinyatakan Halim dan Abdullah

    (2006). Sularso dan Restianto (2011), menunjukan bahwa alokasi belanja modal

    berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi sehingga anggaran yang

    dialokasikan dapat menjadi stimulus terhadap perekonomian. Belanja modal yang

    semakin tinggi memberi peluang pembangunan infrastruktur sarana prasarana dan

    perbaikan fasilitas umum daerah akan semakin besar, dan peluang daerah untuk

  • 25

    mendapatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang lebih tinggi juga semakin besar

    karena dengan fasilitas umum seperti jalan, irigasi dan jaringan yang memadai dapat

    menarik investasi. Investasi dapat meningkatkan PAD melalui retribusi dan pajak.

    Alokasi belanja modal dapat dihitung dengan formula sebagai berikut (Sularso dan

    Restianto, 2011):

    Keterangan:

    ABM: Alokasi Belanja Modal

    BM : Belanja Modal

    TB : Total Belanja

    2.7 Pertumbuhan Ekonomi

    Pertumbuhan ekonomi (Economic Growt) merupakan perkembangan kegiatan

    perekonomian yang menyebabkan meningkatnya produksi barang dan jasa yang di

    masyarakat sehingga kesejahteraan masyarakat meningkat. Perekonomian suatu

    daerah menunjukan pertumbuhan jika jumlah balas jasa riil terhadap penggunaan

    faktor-faktor produksi pada tahun tertentu lebih besar daripada tahun sebelumnya.

    Peningkatan faktor produksi umumnya tidak selalu diikuti pertambahan produksi

    barang dan jasa dengan kapasitas sama besar. Pertambahan potensi memproduksi

    seringkali lebih besar dari pertambahan produksi yang sebenarnya.

    Pertumbuhan ekonomi menurut Sukirno (1996) adalah proses kenaikan output

    perkapita yang terus menerus dalam jangka panjang. Simon Kuznets dalam Sukirno

    (1996) menyatakan pertumbuhan ekonomi merupakan kemampuan suatu negara

    dalam menyediakan kebutuhan masyarakat yang disebabkan adanya kemajuan

    ABM = BM

    TB

    X 100 % .. 2.6

    http://jurnal-sdm.blogspot.com/2009/04/produk-jasa-pengertian-karakteristik.html

  • 26

    teknologi, kelembagaan, dan penyesuaian teknologi terhadap berbagai tuntutan yang

    ada. Pertumbuhan ekonomi tersebut merupakan salah satu indikator keberhasilan

    pembangunan.

    Teori pertumbuhan ekonomi yang dikemukakan Walt Whiltman Rostow

    mempengaruhi cara pandang dan persepsi para ahli ekonomi mengenai strategi

    pembangunan dengan membagi menjadi beberapa tahap, yaitu: 1) Tahap

    Perekonomian tradisional; 2) Tahap prakondisi tinggal landas; 3) Tahap tinggal

    landas; 4) Tahap menuju kedewasaan; 5) Tahap konsumsi masa tinggi.

    Menurut Rostow perekonomian tradisonal memiliki gambaran tingkat

    produktifitas terbatas dengan struktur sosial bersifat hirarki sehingga pemanfatan

    sumberdaya yang ada fokus pada sektor pertanian. Tahap prakondisi tinggal landas

    merupakan masa transisi persiapan untuk mencapai pertumbuhan atas usaha sendiri

    (self-sustained growth). Pada tahap ini dan sesudahnya pertumbuhan ekonomi akan

    terjadi secara otomatis. Rostow menekankan pada tahap ini terjadinya perubahan

    dalam masyarakat baik dalam investasi, pemanfaatan ilmu pengetahuan, perubahan

    teknik produksi, pengambilan resiko dan sebagainya. Tahap tinggal landas diyakini

    Rostow sebagai tahap kepastian pertumbuhan ekonomi akan selalu terjadi. Revolusi

    politi, perkembanngan inovasi dan terbukanya pasar-pasar baru terjadi di awal tahap

    ini. Perubahan-perubahan ini memacu peningkatan pertumbuhan pendapatan per

    kapita yang akan meningkatkan laju pertumbuhan pendapatan nasional. Rostow

    kemudian menyimpulkan untuk mencapai tahap tinggal landas tidak ada satupun

    sektor ekonomi yang berlaku baku, tetapi memerlukan inovasi dan pengembangan

    untuk mencapainya.

  • 27

    Tahap menuju kedewasaan diartikan Rostow sebagai masa penerapan teknologi

    modern secara efektif oleh masyarakat pada semua sektor produksi. Sektor-sektor

    baru muncul menggantikan sektor-sektor lama yang ditentukan oleh perkembanngan

    teknologi, kekayaan alam, tahap tinggal landas dan kebijakan pemerintah. Tahap

    konsumsi tinggi merupakan tahap terakhir dari teori Rostow dengan fokus pada

    masalah-masalah konsumsi dan peningkatan kesejahteraan.

    Menurut Sirojuzilam dan Mahalli (2010) pertumbuhan ekonomi merupakan

    suatu gambaran mengenai dampak kebijaksanaan pemerintah yang dilaksanakan

    khususnya dalam bidang ekonomi. Perekonomian dikatakan mengalami

    pertumbuhan bila tingkat kegiatan ekonomi yang dicapai sekarang lebih tinggi dari

    yang dicapai pada masa sebelumnya.

    Adam Smith mengemukakan bahwa sumber daya alam (SDA) adalah hal

    mendasar dari proses produksi dan jumlahnya menentukan batas maksimum

    pertumbuhan ekonomi. Sumber daya manusia (SDM) menurut Smith berperan pasif

    dalsm peningkatan output. Berbeda dengan SDM, modal adalah faktor produktif dan

    secara aktif menetukan tingkat output. Pengaruh modal secara langsung dapat

    meningkatkan output dan secara tidak langsung dapat meningkatkan produktifitas

    perkapita.

    Kesimpulan-kesimpulan David Ricardo secara garis besar tidak jauh berbeda

    dengan teori Adam Smith, tetapi lebih fokus pada laju pertumbuhan penduduk dan

    petrumbuhan output. Ricardo juga mengungkapkan bawa SDA akan membatasi

    pertumbuhan ekonomi, berarti pertumbuhan ekonomi suatu daerah hanya terjadi

    sampai batas yang dimungkinkan oleh SDA.

  • 28

    Pertumbuhan ekonomi berdasarkan teori Solow-Swan (Neo Klasik) tergantung

    pada pertambahan penyediaan faktor-faktor produksi, seperti tenaga kerja, penduduk,

    akumulasi modal) dan kemajuan teknologi. Teori ini didasarkan pada anggapan

    bahwa perkembangan perekonomian tergantung pada perkembangan penduduk,

    akumulasi modal dan teknologi.

    Teori Harrod-Domar menyampaikan syarat-syarat yang agar tercapai

    pertumbuhan ekonomi yang baik (staydie growth). Teori ini memberi asumsi

    perekonomian full empoyement dan barang modal dimanfaatkan secara baik, saving

    masyarakat proporsional dengan pendapatan nasional.

    Berdasarkan konsep dan teori yang dikemukakan beberapa ekonom dapat

    disimpulkan bahwa pertumbuhan ekonomi dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti:

    1) Akumulasi modal berwujud tanah (lahan), peralatan fiskal, dan SDM.

    2) Pertumbuhan penduduk

    3) Kemajuan teknologi.

    Produk domestik bruto (PDB) merupakan indikatornya konsep pengukuran

    pertumbuhan ekonomi dalam ekonomi makro. Menurut Mankiw (2006) PDB adalah

    nilai pasar semua barang dan jasa akhir yang diproduksi dalam perekonomian selama

    kurun waktu tertentu. PDB dalam konsep regional dikenal sebagai Produk Domestik

    regional bruto (PDRB). Menurut Saggaf (1999) menghitung PDRB secara teliti dan

    akurat baik atas dasar harga berlaku maupun atas dasar harga konstan disimpulkan

    sebagai keberhasilan pembangunan suatu daerah, yang memperlihatkan laju

    pertumbuhan ekonomi yang mewakili peningkatan produksi di berbagai sektor

    lapangan usaha. Menurut Sukirno (1996), pertumbuhan ekonomi adalah proses

  • 29

    kenaikan output perkapita yang terus menerus dalam jangka panjang. Pertumbuhan

    ekonomi tersebut merupakan salah satu indikator keberhasilan pembangunan.

    Dengan demikian makin tingginya pertumbuhan ekonomi biasanya makin tinggi pula

    kesejahteraan masyarakat, meskipun terdapat indikator yang lain yaitu distribusi

    pendapatan.

    Berdasarkan konsep regional, pertumbuhan ekonomi daerah adalah angka yang

    ditunjukkan oleh besarnya tingkat pertumbuhan PDRB yang diukur atas dasar harga

    konstan. Pertumbuhan ekonomi dapat dilihat dari data konsumsi rumah tangga,

    konsumsi pemerintah, pembentukan modal bruto, perubahan persediaan, ekspor dan

    impor. Pertumbuhan ekonomi dapat menjadi salah satu faktor pendorong

    peningkatan kemampuan keuangan daerah. Saragih (2003) mengatakan kenaikan

    PAD merupakan akses dari pertumbuhan ekonomi. Bappenas (2004) menyatakan

    pertumbuhan PAD seharusnya sensitif terhadap pertumbuhan ekonomi. Menurut

    Sularso dan Restianto (2011) menyatakan pertumbuhan ekonomi daerah merupakan

    kenaikan PDRB tanpa memandang apakah kenaikan tersebut lebih besar atau lebih

    kecil dari tingkat pertumbuhan penduduk. Laju pertumbuhan ekonomi merupakan

    laju pertumbuhan dari tahun ke tahun yang dihitung dengan formula (Sularso dan

    Restianto, 2011):

    Keterangan:

    G : Pertumbuhan PDRB

    PDRBt : Produk Domestik Regional Bruto Tahun t PDRBt1 : Produk Domestik Regional BrutoTahunt1

    G =

    =

    PDRBt PDRBt1

    PDRBt1 X 100 % . 2.7

  • 30

    2.8. Penelitian Sebelumnya

    Dikatakan Taiwo dan Abayomi (2008) yang memanfaatkan data sekunder

    (1970-2008) menggunakan ekonometrik model dengan Ordinary Least Square

    (OLS) teknik menunjukkan dengan jelas bahwa ada hubungan positif antara PDB,

    belanja rutin dan belanja modal. Dukungan fakta juga menunjukkan bahwa ada

    dampak yang besar dari pengeluaran pemerintah dalam kaitannya dengan

    pertumbuhan ekonomi Nigeria. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa semakin

    tinggi pengeluaran pemerintah, semakin tinggi tingkat pertumbuhan ekonomi (ceteris

    paribus) dan semakin rendah pengeluaran pemerintah, semakin rendah tingkat

    pertumbuhan ekonomi bangsa.

    Nishimura (2007) menggunakan data panel lima puluh negara bagian Amerika

    Serikat selama periode 1992-1997, membahas implikasi desentralisasi fiskal bagi

    stabilitas ekonomi. Menunjukkan hubungan negatif yang signifikan antara

    desentralisasi fiscal dan volatilitas ekonomi, serta menunjukkan hubungan yang kuat

    ketika memperhitungkan endogenitas desentralisasi fiskal.

    Sugiono (2014) menggunakan data sekunder mulai periode 2009 sampai dengan

    2013 yang diperoleh dari Badan Keuangan dan Aset Daerah Provinsi Jawa Timur.

    Metode analisis yang digunakan adalah regresi sederhana dan moderated regression

    analysis, menunjukkan bahwa secara parsial, belanja modal berpengaruh terhadap

    kemandirian keuangan daerah dan PAD mampu memoderasi hubungan antara

    belanja modal dan kemandirian keuangan daerah. Semakin tinggi PAD maka akan

    meningkatkan anggaran belanja modal. Meningkatnya belanja modal akan

  • 31

    meningkatkan kemandirian daerah dalam pembiayaan maupun pengelolaan keuangan

    daerah.

    Malau (2013) meneliti pengaruh PAD, Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana

    Alokasi Khusus (DAK) terhadap pertumbuhan ekonomi dan menguji pengaruh

    belanja modal sebagai variabel moderating terhadap hubungan antara PAD, DAU,

    DAK dengan pertumbuhan ekonomi. Populasi dalam penelitian ini adalah sebanyak

    33 kabupaten/kota pada Propinsi Sumatera Utara. Sampel ditentukan dengan metode

    purposive sampling sebanyak 30 kabupaten/kota yang mempublikasikan APBD

    secara konsisten dari tahun 2009-2011. Jenis data yang digunakan dalam penelitian

    ini adalah data sekunder dengan metode analisis regresi linier berganda. Hasil

    penelitian menunjukkan bahwa PAD, DAU dan DAK secara simultan berpengaruh

    terhadap Pertumbuhan Ekonomi. Secara parsial PAD, DAU dan DAK berpengaruh

    terhadap pertumbuhan ekonomi.

    Penelitian Maulida (2014) menunjukan bahwa secara simultan kinerja keuangan

    dan alokasi belanja modal tidak berpengaruh pada pertumbuhan ekonomi, kinerja

    keuangan tidak dapat menjadi alat dalam memprediksi kontribusi anggaran terhadap

    pertumbuhan ekonomi kabupaten/kota di Jawa Barat tahun 2008-2011. Penelitian ini

    menggunakan data sekunder dengan metode analisis eksplanatori dan path analysis

    untuk analisis statistik.

    Sasana (2009) meneliti pengaruh PAD, PDRB, dana perimbangan, dan jumlah

    penduduk, terhadap belanja pemerintah daerah di kabupaten/kota di Provinsi Jawa

    Barat. Temuan dari penelitian ini menunjukkan bahwa PDRB, transfer dana, dan

  • 32

    pengaruh populasi berpengaruh positif terhadap belanja pemerintah daerah di

    kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat.

    Menurut Sularso dan Restianto (2011) menyatakan salah satu faktor yang

    mempengaruhi pertumbuhan ekonomi secara tidak langsung adalah kinerja keuangan

    daerah. Penelitian ini menggunakan data sekunder dan alat analisis structural

    equation modeling (SEM).

    Penelitian Yuana (2014) menyatakan secara langsung kinerja keuangan

    memilikipengaruh positif signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi, sedangkan

    secara tidak langsung rasio kemandirian dan rasio efektivitas memiliki pengaruh

    negatif signifikan terhadap ketimpangan regional melalui pertumbuhan ekonomi.

    Penelitian ini menggunakan secara sensus dengan data sekunder berbentuk time

    series dan metode analisis jalur (Path Analysis).

    Ringkasan hasil penelitan-penelitian sebelumnya disajikan pada Lampiran 3.