BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanaman Kakaorepository.ump.ac.id/5499/3/Darwati_BAB II.pdf8 BAB II...
Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanaman Kakaorepository.ump.ac.id/5499/3/Darwati_BAB II.pdf8 BAB II...
8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tanaman Kakao
Kakao (Theobroma cacao L.) merupakan salah satu diantara 22 jenis
marga Theobroma yang berasal dari suku Sterculiaceae. Tanaman kakao berasal
dari hutan tropis di Amerika Tengah kemudian menyebar ke seluruh dunia mulai
abad 15 (Baon & Wardani, 2010). Di Indonesia, kakao dikenalkan oleh bangsa
Spanyol pada tahun 1560 di daerah Sulawesi Utara (Baon & Wardani, 2010;
Siregar et al., 2010) dan mulai menyebar ke seluruh wilayah di Indonesia pada
tahun 1970an (Baon & Wardani, 2010; Siregar et al., 2010; Rahayu, 2013). Pada
saat ini, Indonesia merupakan negara penghasil kakao terbesar kedua di dunia di
bawah Côte d'Ivoire dengan total produksi mencapai lebih dari 400 ribu ton per
tahun dengan total devisa yang dihasilkan mencapai lebih dari US $ 1,2 milyard
(FAO, 2014).
2.1.1 Morfologi Kakao
Tanaman kakao berbentuk pohon dengan tinggi sekitar 3,0- 8,0 meter (van
Steenis et al., 2008). Batang kakao mengandung lignin dan memiliki bentuk bulat
(Tjitrosoepomo, 1992). Batang kakao memiliki 2 percabangan yaitu cabang yang
tumbuh ke atas (ortotrop) dan cabang yang tumbuh ke samping (plagiotrop)
sehingga bersifat dimorfisme (Karmawati et al., 2010). Tanaman kakao pada
percabangan ortotrop memiliki tangkai daun lebih panjang dengan jumlah daun
lebih dari 15 lembar sedangkan pada percabangan plagiotrop memiliki tangkai
8
Pengaruh Penambahan 6-furfurylamino purine..., Darwati, FKIP UMP, 2014
9
daun yang lebih pendek dengan jumlah daun sekitar 3- 8 lembar (Prawoto &
Winarsih, 2010).
Tanaman kakao memiliki bentuk helaian daun yang bulat telur terbalik
memanjang (obovatus) dengan panjang mencapai 10- 48 cm dan lebar mencapai
3- 20 cm (Backer & Bakhuizen van den Brink, 1963). Pangkal daun runcing
(acutus), tangkai daun 1-3 cm dan ujung daun meruncing (acuminatus) (Backer &
Bakhuizen van den Brink, 1963). Daun kakao memiliki susunan tulang daun yang
menyirip dan menonjol ke bawah permukaan helai daun (van Steenis et al., 2008;
Prawoto & Winarsih, 2010).
Tanaman kakao berbunga pada umur 3 tahun (Rahardjo, 2011). Pada umur
4-5 tahun, tanaman kakao memproduksi bunga paling banyak. Tanaman kakao
mampu bertahan hidup sekitar umur 20 tahun jika perawatannya maksimal
(Konam et al., 2009). Bunga kakao tumbuh di bekas ketiak daun pada bagian
batang ataupun cabang, sehingga dikenal sebagai tanaman caulifloris (Backer &
Bakhuizen van den Brink, 1963). Kakao dapat berbunga maksimal pada bulan
Februari- April (Prawoto, 2008; Rahardjo, 2011; Gambar 2.1 A). Setiap tahun
satu tanaman kakao akan menghasilkan sekitar 5.000- 12.000 bunga, akan tetapi
hanya 1% saja yang mampu menjadi buah (Siregar et al., 2010).
Bunga kakao termasuk dalam kelompok bunga majemuk yang memiliki
tangkai bunga yang pendek sehingga terlihat seperti bunga tunggal (Backer &
Bakhuizen van den Brink, 1963). Bunga kakao merupakan bunga yang sempurna
yaitu memiliki perhiasan bunga yang lengkap dan kelamin bunga yang lengkap.
Perhiasan bunga terdiri dari kelopak dan mahkota (Tjitrosoepomo, 2002). Kelopak
Pengaruh Penambahan 6-furfurylamino purine..., Darwati, FKIP UMP, 2014
10
bunga (calyx) terdiri dari 5 sepala berbentuk lanset, berwarna putih dengan
panjang mencapai 6- 8 mm (Backer & Bakhuizen van den Brink, 1963). Mahkota
bunga (corolla) terdiri dari 5 petala berbentuk cekung dengan panjang mencapai
4mm (Bakhuizen van den Brink, 1963). Bunga kakao termasuk bunga banci
(hermaproditus) karena memiliki 2 alat kelamin dalam satu kuntum bunga (van
Steenis et al., 2008). Organ betina (gynaecium) yang di dalamnya terdapat bakal
buah (ovary), tangkai putik (stylus), dan kepala putik (stigma) dan organ kelamin
jantan (androecium) tersusun atas 5 benang sari yang steril (staminodia) dan 5
benang sari yang fertile (stamen; van Steenis et al., 2008; Gambar 2.1 B).
Proses pembungaan kakao diawali dari bunga yang masih kuncup
(primordia), setelah 30 hari bunga kakao mekar. Bunga kakao yang sudah mekar
bagian putik dan kepala sari sudah siap melakukan penyerbukan (Prawoto &
Winarsih, 2010; Rahardjo, 2011). Setelah mengalami penyerbukan yang dibantu
oleh serangga maka bakal buah akan berkembang manjadi buah sekitar umur 40
hari (Prawoto & Winarsih, 2010; Rahardjo, 2011).
Gambar 2.1 A. Bunga kakao yang muncul dari berkas ketiak daun pada cabang
dari satu bantalan bunga (Caulifloris), B. Struktur bunga kakao (s)
menunjukkan sepala, (p) menunjukkan petala, (sta) menunjukkan
stamen, (sto) menunjukkan staminodia, (pi) menunjukkan pistil, (t)
menunjukkan tangkai bunga dan (dt) menunjukkan dasar tangkai
bunga. Sumber: (Prawoto & Winarsih, 2010).
A B
Pengaruh Penambahan 6-furfurylamino purine..., Darwati, FKIP UMP, 2014
11
Buah kakao merupakan buah buni yang berbentuk telur memanjang
tersusun atas kulit buah (pod) yang tebal, arilus (pulp), dan biji (van Steenis et al.,
2008; Limbongan, 2012). Kulit buah kakao mempunyai alur yang kedalamannya
bervariasi tergantung dari kultivarnya. Biji terbungkus oleh daging buah (pulp)
yang berwarna putih disebut dengan arilus. Arilus ini memiliki rasa yang asam
manis dan diduga memiliki kandungan zat untuk menghambat perkecambahan
(Prawoto & Winarsih, 2010). Biji kakao memiliki bentuk bulat telur dengan
panjang 2 cm dan lebar 1,5 cm.
Gambar 2.2 A. Kulit buah kakao dipotong membujur yang terdiri dari lapisan
eksokarp, mesokarp dan endokarp. B. Biji kakao. Sumber : (A) dari
Limbongan, 2011 dan (B) dari Sari et al., 2013.
2.1.2 Kultivar Kakao
Buah kakao yang umum dibudidayakan ada 3 kultivar, yaitu kakao
Criollo, Forastero dan Trinitario. Kultivar Criollo (Gambar 2.3 A) merupakan
kakao yang menghasilkan biji dengan kualitas tinggi dengan cita rasa yang khas.
Kakao tersebut termasuk dalam kakao mulia (Susanto, 1994). Namun, kultivar ini
memiliki pertumbuhan yang kurang kuat, produktivitas yang tergolong rendah dan
mudah terserang penyakit (Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, 2012).
A B
Pengaruh Penambahan 6-furfurylamino purine..., Darwati, FKIP UMP, 2014
12
Kulit buah Criollo kasar pada permukaannya dan memiliki alur yang dalam serta
berwarna kuning atau merah (Karmawati et al., 2010).
Kultivar Forastero merupakan kakao yang mampu menghasilkan biji
dengan kualitas sedang. Kakao ini memiliki pertumbuhan yang kuat, produktivitas
tinggi, cepat berbuah dan tahan terserang hama serta penyakit. Kultivar ini
biasanya dikenal dengan kakao curah atau lindak (Gambar 2.3 B; Prawoto &
Winarsih, 2010). Kulit buah Forastero halus pada permukaannya dan memiliki
alur yang dangkal serta warna kulit hijau (Prawoto & Winarsih, 2010).
Kultivar Trinitario merupakan kakao hasil persilangan antara Criollo dan
Forastero. Kakao jenis ini yang memiliki ciri morfologi dan fisiologi yang
bervariasi (Gambar 2.3 C; Prawoto & Winarsih, 2010).
Gambar 2.3 Tiga kultivar kakao, meliputi A. Criollo, B. Forastero dan
C.Trinitario. Sumber : http://www.google/images/kakao.com
A B C
Pengaruh Penambahan 6-furfurylamino purine..., Darwati, FKIP UMP, 2014
13
2.1.3 Manfaat kakao
Tanaman kakao dibudidayakan oleh petani untuk dimanfaatkan buahnya
(Wahyudi & Rahardjo, 2008). Bagian yang dapat dimanfaatkan dari buah kakao,
yaitu kulit buah, pulp dan biji (Erniati et al., 2012). Kulit buah kakao dapat
dimanfaatkan sebagai pakan ternak hewan ruminansia, bahan pupuk organik cair
dan kompos, bahan untuk membuat briket sebagai pengganti arang aktif, bahan
baku pembuatan bioetanol dan bahan baku pembuatan pektin dalam industri
pangan, kosmetik maupun obat- obatan (Dachlan et al., 2009; Patabang, 2011;
Sari et al., 2012).
Pulp buah kakao dapat dimanfaatkan sebagai bahan olahan produk pangan
seperti nata de cacao. Selain itu, juga digunakan untuk olahan produk non pangan
yaitu bahan pembuat kertas, rayon dan bioherbisida (Elizabeth, 2006; Harsini &
Susilowati, 2010; Pratama et al., 2013).
Biji kakao juga mengandung lemak dengan kadar tinggi, sehingga dapat
digunakan sebagai bahan utama pembuatan coklat bubuk (Gambar 2.4 a;
Mertade & Basri, 2011; Erniati et al., 2012). Coklat bubuk memiliki cita rasa
yang enak, manis dan aroma yang khas, sehingga dimanfaatkan sebagai bahan
olahan produk makanan dan minuman yang digemari oleh semua lapisan
masyarakat seperti hot choco, ice cream dan campuran pembuatan kue (Gambar
2.4 b; Zairisman, 2006; Roesmanto, 1991). Manfaat lain dari coklat bubuk adalah
dimanfaatkan di bidang kosmetik seperti untuk perawatan kulit yaitu spa dan
masker (Gambar 2.4 c) dan juga digunakan di bidang kesehatan.
Pengaruh Penambahan 6-furfurylamino purine..., Darwati, FKIP UMP, 2014
14
Gambar 2.4 (a) Coklat bubuk; (b) Minuman berbahan baku coklat bubuk; (c)
Masker (http://www.google/images/manfaatcocoa.com)
2.2 Budidaya Kakao dan Permasalahan Kakao di Indonesia
2.2.1 Produksi Kakao
Di Indonesia, kakao merupakan salah satu tanaman perkebunan yang
banyak dibudidayakan oleh petani kakao (Kurniasih et al., 2011; Respati et al.,
2010). Pada tahun 2009, jumlah petani yang membudidayakan kakao mencapai
lebih dari 1,4 juta kepala keluarga sehingga memiliki peranan penting bagi
perekonomian Indonesia khususnya penyerapan tenaga kerja, sumber pendapatan
dan devisa negara (Respati et al., 2010; Limbongan, 2011). Kakao juga sebagai
komoditas eksport terbesar ke tiga pada sub sektor perkebunan setelah kelapa
sawit dan karet dengan nilai total devisa mencapai lebih dari US $ 1,2 milyard
(FAO, 2014).
Indonesia merupakan negara penghasil kakao terbesar kedua di dunia
dengan total produksi mencapai lebih dari 1,5 juta ton pada tahun 2010 (Gambar
2.5; FAO, 2014). Sementara, negara Côte d'Ivoire adalah negara dengan produksi
kakao terbesar pertama didunia dengan total produksi mencapai 2,5 juta ton per
tahun (FAO,2014)
a c b
Pengaruh Penambahan 6-furfurylamino purine..., Darwati, FKIP UMP, 2014
15
Gambar 2.5 Sepuluh negara penghasil kakao terbesar di dunia tahun 2009- 2010.
Indonesia (panah hitam) menempati posisi kedua sebagai penghasil
kakao terbesar dunia (FAO, 2014)
Total produksi kakao di Indonesia dihasilkan dari luas perkebunan kakao
yang meningkat dari tahun ke tahun (FAO, 2014). Pada tahun 2003, luas
perkebunan kakao sekitar 900 ribu Ha, sedangkan tahun 2010, mencapai lebih
dari 1,6 juta Ha (Gambar 2.6; FAO, 2014). Dengan luas perkebunan kakao
tersebut maka menjadikan Indonesia sebagai negara dengan perkebunan kakao
terluas kedua di dunia setelah Côte d'Ivoire (FAO, 2014).
0500000
10000001500000200000025000003000000
Côt
e d'I
voir
e
Indon
esia
Ghan
a
Nig
eria
Cam
eroo
n
Bra
zil
Ecu
ador
Mex
ico
Dom
inic
an …
Peru
Prod
uksi K
akao
(ton
/th)
Negara Penghasil Kakao
2010
2009
Pengaruh Penambahan 6-furfurylamino purine..., Darwati, FKIP UMP, 2014
16
Gambar 2.6 Perkembangan luas area negara penghasil kakao terbesar dunia dari
tahun 2003- 2010. Indonesia (panah hitam; FAO, 2014).
2.2.2 Permasalahan Budidaya Kakao di Indonesia
Sebagai negara produsen kakao terbesar kedua di dunia Indonesia juga
memiliki perkebunan kakao terluas kedua di dunia (Gambar 2.6; FAO, 2014).
Namun dalam hal produktivitasnya, perkebunan kakao di Indonesia hanya mampu
menghasilkan 550 kg biji kakao per Ha per tahunnya. Produktivitas tersebut hanya
seperlima produktivitas kakao dari negara dengan produktivitas kakao tertinggi di
dunia seperti Guatemala dan Thailand yang mampu menghasilkan biji kakao
mencapai lebih dari 2,6 ton per Ha per tahunnya. Hal inilah yang menempatkan
Indonesia di peringkat ke-17 dalam hal produktivitas perkebunan kakao dari
sekitar 58 negara penghasil kakao di dunia (Gambar 1.1; FAO, 2014).
Banyak faktor yang diduga menjadi penyebab rendahnya produktivitas
kakao di Indonesia, seperti usia tanaman kakao yang dibudidayakan sudah tua.
Tanaman kakao yang sudah tua dapat menurunkan produksi kakao mencapai 50%
0
500000
1000000
1500000
2000000
2500000
20
03
20
04
20
05
20
06
20
07
20
08
20
09
20
10
Lua
s are
a K
akao
(Ha)
Tahun
Côte d'Ivoire
Indonesia
Ghana
Nigeria
Brazil
Pengaruh Penambahan 6-furfurylamino purine..., Darwati, FKIP UMP, 2014
17
dari potensi produksinya (Limbongan, 2011). Saat ini tanaman kakao yang sudah
tua di Indonesia sudah mencapai 90% sehingga perlu diadakannya peremajaan
(Taufik et al., 2010).
Faktor lain yang diduga menjadi penyebab utama rendahnya produktivitas
kakao di Indonesia adalah faktor kualitas bibit yang ditanam (Martede & Basri,
2011; Sugiharti, 2006). Oleh karena itu, perlu adanya upaya penyediaan bibit
kakao yang berkualitas dalam jumlah yang banyak dengan kualitas unggul
sehingga dapat meningkatkan produktivitas kakao di Indonesia.
2.2.3 Pembibitan Tanaman Kakao di Indonesia
Sebagian besar petani kakao di Indonesia membudidayakan kakao dengan
menggunakan bibit yang berasal dari biji (Rahardjo, 2010). Biji kakao yang
berkualitas dibersihkan dari pulp kemudian dikeringkan hingga kadar air 40% dan
dikecambahkan selama 12 hari (Rahardjo, 2010). Benih kakao yang sudah
berkecambah kemudian dipelihara pada media tanam kurang lebih 2 bulan
kemudian bibit kakao siap untuk ditanam setelah berumur 4- 5 bulan.
Teknik pembibitan biji tersebut memiliki keunggulan di antaranya adalah
mudah dilakukan dan dapat menghasilkan bibit dengan jumlah yang banyak
dengan biaya yang murah (Winarsih et al., 2003; Prawoto et al., 2010). Namun
pembibitan kakao menggunakan biji akan menghasilkan tanaman yang tidak
seragam secara genetik (Maximova et al., 2002). Hal tersebut karena kakao
merupakan salah satu tanaman yang melakukan penyerbukan silang (Li et al.,
1998).
Pengaruh Penambahan 6-furfurylamino purine..., Darwati, FKIP UMP, 2014
18
Alternatif lain yang dapat digunakan untuk mendapatkan bibit kakao yang
memiliki genetik seragam dan sama dengan induknya adalah dengan
menggunakan teknik pembibitan secara vegetatif (Siregar et al., 2010). Pada
umumnya pembibitan kakao secara vegetatif dilakukan dengan teknik stek,
okulasi ataupun sambung pucuk (Winarsih et al., 2003).
Teknik stek dilakukan dengan cara memotong batang atau ranting yang
masih muda kemudian ditanam ke dalam pot (Siregar et al., 2010). Batang atau
ranting yang di stek akan muncul akar sekitar umur 3 minggu dan siap untuk
dipindahkan ke tanah setelah berumur 6 bulan (Rahardjo, 2010). Teknik ini akan
menghasilkan tanaman yang memiliki sifat genetik yang sama dengan induknya
dan biasanya akan cepat berbunga serta berbuah (Siregar et al., 2010; Rahardjo,
2010). Namun teknik pembibitan secara vegetatif tersebut hanya mampu
menghasilkan bibit dengan jumlah yang terbatas dan dapat merusak tanaman
induk (Li et al., 1998).
Teknik vegetatif lain yang dikembangkan oleh petani kakao adalah melalui
okulasi. Teknik ini dilakukan dengan mengambil mata tunas berwarna hijau dari
tanaman pertama yang berkualitas dan ditempelkan pada kulit kayu tanaman
kedua yang sudah disayat kemudian diikat dan dipelihara sampai mata tunas
tumbuh menjadi batang baru (Rahardjo, 2010). Tanaman yang diperoleh
menggunakan pembibitan teknik ini akan membutuhkan waktu sekitar 12 bulan
agar bibit siap ditanam. Kelebihan teknik ini adalah pertumbuhannya lebih cepat
dibandingkan dengan bibit dari stek dan tingkat keberhasilannya tinggi yaitu
mencapai 90% (Rahardjo, 2010). Namun, teknik ini juga akan merusak tanaman
Pengaruh Penambahan 6-furfurylamino purine..., Darwati, FKIP UMP, 2014
19
induk dan jumlah mata tunas yang terbatas sehingga jumlah bibit yang
diperolehpun sedikit (Li et al., 1998; Rahardjo, 2010).
Cara lain yang digunakan oleh petani kakao adalah melalui sambung
pucuk (Siregar et al., 2010). Teknik ini dilakukan dengan cara memotong cabang
muda dari tanaman yang berkualitas kemudian disambungkan pada bibit kakao
yang berasal dari biji. Teknik sambung pucuk ini akan menghasilkan bibit dengan
sifat genetika yang sama dengan induknya, akan tetapi teknik tersebut memiliki
tingkat keberhasilan yang relatif rendah serta akan dihasilkan bibit dengan jumlah
yang terbatas, karena terbatasnya jumlah pucuk yang akan disambung (Li et al.,
1998). Oleh karena itu perlu dikembangkan teknik produksi bibit kakao yang
mampu menghasilkan bibit dalam jumlah yang banyak dengan kualitas yang
unggul dan sama dengan induknya.
2.3 Perkembangan Penelitian Embryogenesis Somatik Kakao
Salah satu upaya yang dapat dipergunakan untuk mengatasi kelemahan
teknik pembibitan kakao secara konvensional di atas adalah menggunakan teknik
kultur jaringan (Avivi et al., 2010). Kultur jaringan tanaman adalah teknik
perbanyakan tanaman secara vegetatif dengan cara mengisolasi jaringan
tumbuhan yang ditanam dan dipelihara pada medium buatan yang aseptis
(Zulkarnain, 2009). Teknik ini mampu menghasilkan bibit dengan sifat yang
seragam seperti induknya dan mampu menghasilkan tanaman dengan jumlah
masal dalam waktu singkat (Hendaryono & Wijayani, 1994; Avivi et al., 2010).
Namun, penggunaan teknik ini terdapat kelemahan utama yaitu tidak semua
tanaman dapat berhasil diperbanyak melalui kultur jaringan. Selain itu,
Pengaruh Penambahan 6-furfurylamino purine..., Darwati, FKIP UMP, 2014
20
penggunaan teknik ini juga memerlukan keahlian khusus yang dikerjakan di
laboratorium sehingga membutuhkan biaya yang mahal (Hendaryono & Wijayani,
1994).
Beberapa teknik kultur jaringan telah dikembangkan dalam upaya
perbanyakan tanaman kakao adalah teknik kultur tunas aksiler dan melalui
embryogenesis somatik. Kultur tunas aksiler merupakan teknik in vitro yang
dilakukan dengan cara mengkultur tunas aksiler pada medium tanam dan
dipelihara sampai menjadi tanaman baru yang lengkap (Zulkarnain, 2009). Teknik
ini hanya memperbanyak tunas, memanjangkan tunas dan diferensiasi akar
sehingga tidak memerlukan waktu lama untuk menjadi tanaman yang lengkap
(Figuera et al., 1991). Namun, teknik ini belum berhasil dipergunakan untuk
perbanyakan tanaman kakao (Figuera et al., 1991).
Salah satu teknik in vitro yang mulai dikembangkan dalam pembibitan
kakao untuk mendapatkan hasil yang lebih baik dibandingkan menggunakan
teknik in vitro lain yaitu melalui teknik kultur embryogenesis somatik (Avivi et
al., 2010). Embryogenesis somatik merupakan salah satu teknik perbanyakan
tanaman dari sel somatik yang akan berkembang membentuk tanaman baru
melalui tahap perkembangan embryo yang spesifik tanpa terjadinya fusi gamet
(Purnamaningsih, 2002). Tahap embryogenesis somatik pada tanaman kakao
melalui 4 tahap, yaitu (1) induksi kalus embryogenik, (2) induksi embryo somatik,
(3) perkecambahan, dan (4) aklimatisasi (Purnamaningsih, 2002).
Pada tahap induksi kalus, eksplan yang diisolasi kemudian ditumbuhkan
pada medium tanam dengan ditambahkannya zat pengatur tumbuh (ZPT) dengan
Pengaruh Penambahan 6-furfurylamino purine..., Darwati, FKIP UMP, 2014
21
konsentrasi yang tinggi (Purnamaningsih, 2002). Eksplan yang ditanam dipelihara
sampai terbentuk kalus. Terdapat dua macam kalus yang dapat diinduksi dari
eksplan kakao, yaitu kalus kompak dan kalus remah. Kalus kompak memiliki ciri-
ciri berupa kalus yang keras, berwarna putih dan tidak bisa dipisah-pisahkan
dengan mudah, sedangkan kalus remah memiliki ciri berupa kalus yang lunak,
mudah dipisah-pisahkan dan berwarna kuning kecoklat-coklatan (Hilyatunnisa,
2013; Purwasih, 2013; Rahayu, 2013). Dari kedua jenis kalus tersebut, hanya
kalus remah yang mampu diinduksi pembentukan embryo atau biasa disebut kalus
embryogenik. Namun, tidak semua eksplan yang ditanam akan membentuk kalus
yang bersifat embryogenik (Hilyatunnisa, 2013).
Tahap induksi embryo adalah tahap perkembangan kalus yang dipelihara
pada medium induksi embryo hingga terbentuk embryo. Perkembangan embrio
yang spesifik dimulai dari tahap globular, hati, torpedo, dan kotiledon (Gambar
2.7; Purnamaningsih, 2002). Tahap ketiga adalah perkecambahan yang dilakukan
dengan menanam embryo somatik dan dipelihara sampai menjadi tanaman yang
memiliki tunas dan akar (Planlet; Gambar 2.7; Purnamaningsih, 2002). Pada
tahap aklimatisasi, tanaman yang lengkap dengan tunas dan akar kemudian
dipindahkan pada medium ex vitro (Gambar 2.7; Purnamaningsih, 2002).
Pengaruh Penambahan 6-furfurylamino purine..., Darwati, FKIP UMP, 2014
22
Gambar 2.7 Tahap perkembangan embryo somatik kakao: (a) tahap globular, (b)
tahap hati, (c) tahap torpedo, (d) tahap kotiledon, (e) tahap planlet
dan (f) tahap aklimatisasi (Li et al., 1998; Minyaka et al., 2008).
Teknik kultur embryogenesis somatik memiliki kelebihan antara lain dapat
menghasilkan bibit dalam jumlah yang banyak (Li et al., 1998), sifat genetik bibit
yang dihasilkan seragam seperti induknya, bibit yang dihasilkan memiliki sistem
perakaran tunggang yang sama seperti biji dan menghasilkan embryo yang
bersifat bipolar yaitu dapat berkembang membentuk tunas dan akar yang
diperlukan bagi pertumbuhan tanaman (Purnamaningsih, 2002). Namun, teknik
ini juga memiliki kelemahan yaitu keberhasilan induksi embryo somatik kakao
masih rendah dan bervariasi dari 0 - 100% tergantung kultivar yang ditanam
(Winarsih et al., 2003; Avivi et al., 2010) dan membutuhkan perawatan yang
khusus seperti melakukan sub kultur yang berulang kali untuk mendapatkan kalus
yang embryonik (Purnamaningsih, 2002).
Teknik embryogenesis somatik telah banyak dilaporkan berhasil digunakan
untuk memperbanyak berbagai jenis tanaman seperti pada tanaman tanaman kopi
a b c
d e f
Pengaruh Penambahan 6-furfurylamino purine..., Darwati, FKIP UMP, 2014
23
(Coffea arabica L.) yang ditanam pada medium MS menggunakan eksplan daun
dengan tingkat keberhasilan mencapai 100% (Riyadi & Tirtoboma, 2004).
Tanaman yang lain seperti cendana (Santalum album L.) menggunakan eksplan
embryo zigot muda yang ditanam pada medium MS (Sukmadjaja, 2005) maupun
pada tanaman manggis (Garcinia indica Choiss) menggunakan eksplan biji yang
ditanam pada medium WPM (Thengane et al., 2006) juga berhasil diperbanyak
melalui teknik embryogenesis somatik dengan tingkat keberhasilan yang tinggi,
yaitu sekitar 80 %.
Pada tanaman kakao teknik embryogenesis somatik juga telah dicobakan
untuk perbanyakan tanaman tersebut. Upaya pembibitan kakao melalui teknik
embryogenesis somatik telah dimulai sejak tahun 1970-an dengan tingkat
keberhasilan yang masih cukup rendah (Young et al., 2000). Penelitian tentang
embryogenesis somatik tanaman kakao dilaporkan pada tahun 1977 - 1980 dengan
menggunakan eksplan embryo zygotik, namun hasil penelitian-penelitian tersebut
belum berhasil menginduksi pembentukan embryo somatik (Alemanno, 1997).
Penelitian lebih lanjut menggunakan eksplan jaringan somatik juga belum
berhasil dilakukan sampai Lopez-Baez et al. (1993) berhasil menginduksi embryo
somatik kakao dari eksplan jaringan bunga. Meskipun demikian penelitian
tersebut juga belum berhasil mendapatkan tanaman baru dari embryo somatik
yang dihasilkan. Li et al. (1998) melaporkan keberhasilan induksi embryo somatik
dari eksplan bunga dan embryo yang diperoleh berhasil dikecambahkan untuk
dihasilkan tanaman kakao pertama kalinya, namun persentase keberhasilan
Pengaruh Penambahan 6-furfurylamino purine..., Darwati, FKIP UMP, 2014
24
induksi embryo masih sangat bervariasi dari 1 sampai 100 % tergantung genotip
tanaman yang digunakan.
Di Universitas Muhammadiyah Purwokerto, upaya pembibitan kakao
melalui teknik embryogenesis somatik juga telah dilakukan dengan menggunakan
kultivar Criollo. Pada penelitian yang dilakukan oleh Hilyatunnisa (2013)
menggunakan eksplan staminodia dan petala yang ditanam pada medium DKW
dengan kombinasi Adenin 10-6
M & 2,4-D belum berhasil digunakan untuk
induksi embryo, tetapi medium tersebut berhasil untuk menginduksi kalus.
Pada penelitian yang dilakukan oleh Purwasih (2013) menggunakan medium
DKW yang dikombinasikan dengan 10-6
M 2,4-D & 10-7
M BAP merupakan
medium terbaik yang digunakan untuk menginduksi kalus. Medium tersebut dapat
membentuk kalus dengan tipe yang friabel sehingga mampu untuk membentuk
embryo somatik. Namun, tingkat keberhasilan dalam induksi embryo masih
rendah sekitar 1%.
Hasil yang sama juga dilaporkan oleh Rahayu (2013) dengan menanam
kalus pada medium DKW (Driver & Kuniyuki, 1984) dengan penambahan kinetin
5x10-7
M & 10-6
M 2,4-D ke dalam medium tanam. Medium tersebut mampu
menginduksi kalus bersifat embryogenik dan medium DKW yang hanya ditambah
kinetin 5x10-8
M berhasil menginduksi embryo somatik, meskipun tingkat
keberhasilan masih relatif rendah yaitu 1 %.
Salah satu faktor yang diduga menjadi penyebab rendahnya tingkat
keberhasilan induksi embryo somatik pada penelitian sebelumnya diduga karena
Pengaruh Penambahan 6-furfurylamino purine..., Darwati, FKIP UMP, 2014
25
belum ditemukannya komposisi medium tanam yang tepat untuk menginduksi
pembentukan embryo somatik pada tanaman kakao.
2.4. Medium Tanam
Medium kultur jaringan adalah medium tanam yang berisi berbagai
komposisi dan macam - macam unsur hara (Nursetiadi, 2008). Medium kultur
jaringan adalah salah satu penentu dari keberhasilan perbanyakan tanaman secara
in vitro (Yusnita, 2003). Medium dasar yang banyak digunakan dalam kultur
jaringan antara lain medium dasar MS (Murashige & Skoog, 1962); medium dasar
B5 (Gambrog, 1968) medium dasar WPM (Woody Plant Medium, 1981) maupun
medium dasar DKW (Driver & Kuniyuki, 1984). yang banyak diaplikasikan
untuk embryogenesis somatik pada tanaman kakao (Hendaryono & Wijayanti,
1994). Komposisi medium yang tepat bagi suatu tanaman tergantung dari jenis
tanaman dan jenis eksplan yang digunakan. Misalnya, medium dasar MS dapat
diaplikasikan ke hampir semua jenis kultur, medium dasar B5 banyak
diaplikasikan untuk kultur sel pada tanaman kedelai dan legume lain sedangkan
medium dasar banyak diaplikasikan untuk tanaman berkayu. Untuk tanaman
kakao, komposisi medium dasar DKW (Driver & Kuniyuki, 1984) banyak
diaplikasikan untuk menginduksi pembentukan embryo somatik pada
(Hendaryono & Wijayanti, 1994). Pada umumnya, media tanam mengandung
unsur garam makro, garam mikro, vitamin, asam - asam amino essensial, gula dan
zat pengatur tumbuh (ZPT).
Pengaruh Penambahan 6-furfurylamino purine..., Darwati, FKIP UMP, 2014
26
2.4.1 Makronutrien
Kebutuhan garam mineral yang digunakan pada kultur jaringan kurang lebih
sama dengan tanaman utuh. Unsur makro dibutuhkan tanaman dalam jumlah besar
(1-15 mg/bk tanaman) seperti nitrogen (N), kalium (K), kalsium (Ca), fosfor (P),
magnesium (Mg), dan sulfur (S; George dan Klerk, 2008; Nursyamsi, 2010). Pada
umumnya unsur tersebut diberikan dalam bentuk persenyawaan (George dan
Sherrington, 1984).
Beberapa unsur- unsur makro yang umum diberikan adalah dalam bentuk
garam, antara lain: KNO3; NH4NO3; Ca(NO3).4H2O; NaNO3; CaCl2. 2H2O;
MgSO4.7H2O; KCl; KH2PO4; NH4H2PO4; NaH2PO4. 2H2O; Na2SO4; (NH4)2SO4;
NH4Cl; dan K2SO4 (George dan Sherrington, 1984). Macam dan konsentrasi
garam makro yang optimum dari tiap-tiap komponen dalam memenuhi
pertumbuhan yang maksimal untuk setiap jenis tanaman dan setiap jenis eksplan
sangat bervariasi.
Salah satu garam yang banyak ditambahkan ke dalam medium tanam adalah
garam kalium sulfat (Potassium Sulphate; K2SO4). Garam K2SO4 mengandung ion
K dan ion sulfat. Ion K berperan dalam memacu pembelahan sel, sintesa
karbohidrat dan protein, pembuatan klorofil serta untuk mereduksi nitrat
(Salisbury & Ross, 1995). Selain itu, juga berperan untuk memperlancar
metabolisme dan penyerapan makanan, serta mengatur tekanan osmotik di antara
sel (Salisbury & Ross, 1995).
Ion sulfat berperan dalam meningkatkan proses metabolisme seperti sintesis
asam amino dan sintesis protein di dalam sel (Saito, 2004; Leustek, 2002). Sulfur
Pengaruh Penambahan 6-furfurylamino purine..., Darwati, FKIP UMP, 2014
27
banyak ditemukan sebagai komponen penyusun asam amino sistein dan metionin,
dan sebagai penyusun vitamin thiamin dan biotin, serta penyusun koenzim A
(Salisbury & Ross, 1995). Kondisi tersebut merupakan prasarat utama untuk
terjadi proses-proses biologi pada tumbuhan tinggi termasuk proses
embryogenesis (Minyaka et al., 2008). Ion sulfat yang terdapat di garam K2SO4
berfungsi untuk memacu perkembangan akar dan ketahanan atau proteksi tubuh
tumbuhan.
Penambahan senyawa K2SO4 ke dalam medium tanam untuk menginduksi
pembentukan kalus dan embryo somatik tanaman kakao telah dilaporkan.
Penambahan K2SO4 sebanyak 4,473 mM ke dalam medium tanam DKW mampu
menginduksi pembentukan kalus kakao genotipe Sca6 dari eksplan petala dengan
tingkat keberhasilan 8%, sedangkan penambahan K2SO4 sebanyak 4 kali lebih
tinggi (17,892 mM) mampu meningkatkan pembentukan kalus sampai 18%
(Minyaka et al., 2008).
Perlakuan yang sama juga memberikan respon yang hampir sama dalam hal
pembentuk embryo somatik kakao. Penambahan 4,473 mM K2SO4 ke dalam
medium tanam DKW tidak mampu menginduksi pembentukan embryo somatik,
sedangkan penambahan K2SO4 sebanyak 35,784 mM mampu menginduksi
embryo somatik sampai 35% (Minyaka et al., 2008). Namun demikian, respon
tersebut sangat bergantung dengan genotip tanaman kakao yang digunakan. Pada
genotip IMC67, penambahan K2SO4 ke dalam medium tanam dengan konsentrasi
tersebut hanya berhasil menginduksi embryo somatik sebesar 8 % (Minyaka et al.,
2008).
Pengaruh Penambahan 6-furfurylamino purine..., Darwati, FKIP UMP, 2014
28
Upaya peningkatan keberhasilan induksi embryo somatik tanaman kakao
kultivar Criollo dengan menambahkan K2SO4 ke dalam medium tanam belum
pernah dilaporkan, sehingga pada penelitian ini dilakukan uji pengaruh
penambahan K2SO4 ke dalam medium tanam terhadap keberhasilan induksi
embryo somatik pada tanaman kakao.
2.4.2 Mikronutrien
Mikronutrien adalah unsur hara yang dibutuhkan oleh tanaman dalam
jumlah yang sangat sedikit (0,1μg - 0,1mg/g berat kering tanaman). Menurut
Gamborg dan Shylluk (1981), yang termasuk dalam unsur mikronutrien adalah
Besi (Fe), Mangan (Mn), Seng (Zn), Bor (B), Tembaga (Cu), Klor (Cl), dan
Molibdenum (Mo). Unsur- unsur mikro yang diberikan dalam medium kultur
jaringan seperti MnSO4.4H2O, ZnSO4.4H2O, H3BO3, KJ, NaMoO4.2H2O,
CuSO4.5H2O dan CoCl2.6H2O (Indrianto, 2002). Walaupun hanya diperlukan
dalam jumlah sedikit, akan tetapi jika tidak ada unsur hara mikro di dalam
medium tanam maka dapat menyebabkan kelainan pertumbuhan.
2.4.3 Vitamin
Vitamin berperan sebagai kofaktor dari reaksi-reaksi enzimatis dan
dibutuhkan dalam jumlah yang sedikit. Vitamin juga berperan dalam
menstimulasi inisiasi, pertumbuhan dan perkembangan akar. Vitamin- vitamin
yang umum diberikan dalam medium kultur jaringan yaitu tiamin (vitamin B1),
piridoksin (vitamin B6) dan asam nikotinat. Beberapa macam vitamin yang umum
digunakan dalam medium dasar kultur jaringan, antara lain: Thiamin-HCl, myo-
inositol, Pyridoxin-HCl, Ca D-panthothenate, Folic acid, Choline chloride,
Pengaruh Penambahan 6-furfurylamino purine..., Darwati, FKIP UMP, 2014
29
Riboflavin, Nicotinamida, Niasin, Glisin, Biotin dan Pyridoxin fosfat . Vitamin
tersebut merupakan anggota dari vitamin B kompleks (George dan Sherrington,
1984).
2.4.4 Asam- Asam Amino
Asam amino berperan dalam pertumbuhan dan diferensiasi kalus. Untuk
setiap tanaman asam amino yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhannya
berbeda- beda. Asparagin dan Glutamin berperan dalam metabolisme asam amino,
karena dapat menjadi pembawa dan sumber amonia untuk sintesis asam – asam
amino baru dalam jaringan. Beberapa asam amino yang umum diberikan dalam
medium kultur jaringan seperti glutamine, glycine, L-cycteine, L-arginine, L-
Aspartic acid, L-methionine (Hendaryono & Wijayanti, 1994).
2.4.5 Sumber Energi
Pada kultur jaringan, sel dan jaringan tumbuhan belum sempurna untuk
melakukan asimilasi fotoautotrof, sehingga diperlukan gula sebagai sumber
karbon dan energi. Selain sebagai sumber energi bagi sel dan jaringan, gula juga
berfungsi sebagai penjaga keseimbangan tekanan osmotik potensial didalam
medium.
Umumnya gula yang diberikan pada medium kultur berupa sukrosa atau
komponen-komponennya seperti monosakarida glukosa atau fruktosa. Sukrosa
pada medium kultur ditambahkan sebanyak 30 gr/l (Hendaryono & Wijayanti,
1994). Glukosa atau D-glukosa biasanya ditambahkan dengan konsentrasi 20 - 30
gr/l, tergantung dari jenis eksplan. Sukrosa lebih berpengaruh dalam
Pengaruh Penambahan 6-furfurylamino purine..., Darwati, FKIP UMP, 2014
30
perkembangan kalus, sedangkan pengaruhnya terhadap organogenesis belum
dapat dipastikan (George dan Sherrington, 1984).
2.5 Zat Pengatur Tumbuh (ZPT)
Zat pengatur tumbuh berbeda dengan hormon tumbuhan (George &
Sherrington, 1984). Hormon adalah senyawa aktif alami yang terdapat pada
jaringan tumbuhan dengan konsentrasi rendah untuk pengatur tumbuh (George &
Sherrington, 1984). Zat pengatur tumbuh merupakan senyawa organik maupun
senyawa kimia sintetik dengan jumlah yang sedikit yang mampu mendukung,
menghambat dan mempengaruhi respon fisiologis tumbuhan (George &
Sherrington, 1984; Fahruddin, 2011).
Zat pengatur tumbuh yang umum digunakan pada kultur jaringan
tumbuhan ada 4 kelompok, yaitu auksin, sitokinin, giberelin dan asam absisat
(Salisbury & Ross, 1992). Sitokinin adalah salah satu ZPT yang berfungsi dalam
pemacu pembelahan sel, pembentukan organ, pemanjangan sel, menunda
penuaan, memacu perkembangn kloroplas dan sintesis klofil (Salisbury & Ross,
1992). Pada kultur jaringan sitokinin berperan dalam peningkatan pembelahan sel,
merangsang pembentukan pucuk, dan mengontrol perkecambahan biji
(Zulkarnain, 2009).
Salah satu zat pengatur tumbuh sitokinin yang banyak digunakan pada
kultur jaringan adalah kinetin. Penambahan kinetin ke dalam medium tanam juga
terbukti mampu menginduksi pembentukan embryo somatik pada tanaman kakao.
Penambahan 0,1 mg/L kinetin ke dalam medium tanam DKW hanya mampu
menginduksi pembentukan embryo somatik kakao sebesar 4,4% (Tan dan Furtek,
Pengaruh Penambahan 6-furfurylamino purine..., Darwati, FKIP UMP, 2014
31
2004). Di Universitas Muhammadiyah Purwokerto, induksi embryo somatik
terbaik dilakukan dengan menggunakan medium DKW dengan penambahan
kinetin sebesar 5x10-8
M, namun tingkat keberhasilannya masih cukup rendah,
yaitu sekitar 1 %. Oleh karena itu dalam penelitian ini dilakukan uji perlakuan
kinetin yang dikombinasikan dengan penambahan K2SO4 guna menginduksi
pembentukan embryo somatik kakao.
Pengaruh Penambahan 6-furfurylamino purine..., Darwati, FKIP UMP, 2014