BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sistem Penghantaran Obat...
Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sistem Penghantaran Obat...
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Sistem Penghantaran Obat Transdermal
Saat ini, penghantaran obat transdermal menjadi metodepenggunaan obat
yang paling menjanjikan untuk meningkatkan jumlah obat yang disampaikan ke
sirkulasi sistemik melalui kulit. Penyampaian obat transdermal melalui kulit ke
sirkulasi sistemik menyediakan rute yang nyaman dan menawarkan banyak
manfaat, seperti penghilangan first pass metabolism, peningkatan efisiensi terapi
dan memelihara kestabilan obat dalam plasma, mengurangi frekuensi penggunaan
obat, mengurangi efek samping dan meningkatkan kepatuhan pasien (Jadhav dan
Sreenivas, 2012). Parameter obat yang ideal dipilih sebagai sediaan transdermal
yakni memiliki berat molekul < 500 Daltons, pH 5-9, titik lebur < 2000C,
kelarutan dalam air > 1 mg/mL dan lipofilisitas 10<Ko/w<1000 (Patel, et al.,
2011). Menurut Ansari, et al., (2011) kandidat obat yang cocok untuk pelepasan
obat transdermal yaitu: reaksi terhadap kulit tidak mengiritasi, indeks terapi
rendah, bioavabilitas oral obat rendah, waktu paruh obat 10 jam atau kurang, dosis
obat rendah. Contoh formulasi obat transdermal seperti gel, krim, salep, patch dan
sebagainya. Gel transdermal lebih populer karena kemudahan penggunaan dan
penyerapan yang lebih baik (Saroha, et al., 2013).
Pelepasan obat transdermal merupakan cara pelepasan obat secara
terkontrol dan berkelanjutan melalui kulit ke dalam saluran sistemik. Aplikasi
topikal dengan penghantaran obat menuju epidermis atau jaringan dermis kulit
untuk mencapai efek terapi lokal yang mana fraksi obat akan dihantarkan ke
dalam saluran sirkulasi darah. Di kulit stratum korneum adalah penghalang utama
Universitas Sumatera Utara
7
untuk penetrasi obat. Pemahaman yang benar mengenai struktur dan fungsi kulit
dan bagaimana mengubahnya akan memudahkan dalam pengembangan pelepasan
obat secara transdermal (Yadav, et al., 2012).
2.2 Kulit
Kulit merupakan organ yang sangat luas hingga 15% dari total berat badan
(Richardson dan Certed, 2003). Kulit sebagai lapisan pelindung tubuh yang
sempurna terhadap pengaruh luar, baik pengaruh fisik maupun pengaruh kimia.
Meskipun kulit relatif permeabel terhadap senyawa-senyawa kimia, namun dalam
keadaaan tertentu kulit dapat ditembus oleh senyawa obat atau bahan berbahaya
yang dapat menimbulkan efek terapetik atau efek toksik. Pada penelitian efek
sistemik, zat aktif harus masuk ke peredaran darah yang selanjutnya dibawa ke
jaringan yang kadang-kadang terletak jauh dari tempat pemakaian dan pada
konsentrasi tertentu dapat menimbulkan efek farmakologi (Aiache, dkk., 1993).
Kulit memiliki fungsi utama sebagai lapisan pelindung dari berbagai
macam gangguan dan rangsangan luar. Fungsi perlindungan ini terjadi melalui
sejumlah mekanisme biologis, seperti pembentukan lapisan tanduk secara terus-
menerus (keratinasi dan pelepasan sel-sel yang sudah mati), respirasi dan
pengaturan suhu tubuh, produksi sebum dan keringat, dan pembentukan sel kulit
melanin untuk melindungi kulit dari sinar ultraviolet, sebagai peraba dan perasa,
serta pertahanan terhadap tekanan dan infeksi dari luar (Tranggono dan Latifah,
2007). Secara mikroskopik kulit dibagi menjadi dua lapisan utama yaitu epidermis
dan dermis. Struktur kulit dapat dilihat pada Gambar 2.1.
Universitas Sumatera Utara
8
Gambar 2.1 Struktur kulit (Ramteke, et al., 2012)
2.2.1 Epidermis
Ketebalan epidermis yaitu 0,1-1 mm. Keratinosit menjadi komponen
utama (>90%) dan bertanggung jawab sebagai fungsi penghalang. Sel-sel lain
yang terdapat pada epidermis yaitu melanosit dan sel Langerhans (Ramteke, et al.,
2012).
Epidermis memiliki jenis sel utama keratinosit yang merupakan hasil
pembelahan sel pada lapisan epidermis yang paling dalam yaitu stratum basale
(lapisan basal) yang tumbuh terus ke arah permukaan kulit. Keratinosit mengalami
“diferensiasi terminal” untuk membentuk sel-sel lapisan permukaan (stratum
korneum). Selama diferensiasi, filamen keratin pada korneosit mengalami
agregasi dimana proses ini disebut keratinisasi, dan berkas-berkas filamen
membentuk suatu jaringan intraselular kompleks dalam matriks protein yang
merupakan derivat pada stratum granulosum (lapisan glanular). Epidermis
merupakan epitel gepeng yang berlapis dengan beberapa lapisan yang terlihat
jelas pada Gambar 2.2.
Universitas Sumatera Utara
9
Gambar 2.2 Epidermis (Graham, dkk., 2005)
1. Stratum korneum
Merupakan sel-sel gepeng yang mengalami keratinisasi, tanpa inti sel
dan sitoplasma. Sel-sel yang berdekatan saling tumpang-tindih dan bersama-
sama dengan lemak interselular membentuk pertahanan yang sangat efektif.
Ketebalan stratum korneum bervariasi yang paling tebal terletak pada telapak
tangan dan telapak kaki (Graham, dkk., 2005). Stratum korneum terdiri atas
sel yang pipih, mati, tidak memiliki inti, tidak mengalami proses
metabolisme, tidak berwarna dan sangat sedikit mengandung air (Tranggono
dan Latifah, 2007).
Lapisan terluar kulit yang berperan sebagai suatu penghalang fisik
bagi zat yang berkontak dengan kulit. Stratum korneum terdiri dari sepuluh
sampai dua puluh lapisan sel yang terdapat di seluruh tubuh. Setiap sel
berbentuk pipih, memiliki panjang sekitar 34-44 µm, lebar 25-36 µm, dan
tebal 0,15-0,2 µm dengan luas permukaan 750-1200 µm2 di mana satu dengan
yang lainnya terkumpul membentuk suatu susunan yang menyerupai batu
bata (Pathan dan Setty, 2009).
Universitas Sumatera Utara
10
2. Stratum granulosum
Merupakan lapisan yang berada di atas stratum spinosum yang terdiri
dari sel-sel pipih dan banyak mengandung partikel gelap yang disebut
granula keratohialin (Graham, dkk., 2005). Stratum granulosum tersusun oleh
sel-sel keratinosit yang berbentuk poligonal, berbutir kasar, berinti mengkerut
(Tranggono dan Latifah, 2007).
3. Stratum spinosum
Lapisan sel runcing seperi paku dengan sel Langerhans yang tersebar
diantaranya. Sel-sel ini merupakan pertahanan imunologis dalam melawan
antigen dari luar (Graham, dkk., 2005).Lapisan stratum spinosum memiliki
sel yang berbentuk kubus dan seperti berduri. Inti dari lapisan ini besar dan
berbentuk oval dan setiap sel berisi filamen-filamen kecil yang terdiri atas
serabut protein (Tranggono dan Latifah, 2007).
4. Stratum basale
Terdiri dari sel kolumnar yang melekat pada membran basale.
Berselang-selang dari sel basale terdapat melanosit yang berperan dalam
produksi melanin (Graham, dkk., 2005).
2.2.2 Dermis
Dermis merupakan lapisan kulit terbesar hingga 90% dari kulit, terdiri dari
jaringan ikat yang menopang epidermis (Ramteke, et al., 2012). Dermis adalah
lapisan yang terletak di bawah epidermis dan merupakan bagian terbesar dari
kulit. Gambaran utama dermis berupa anyaman serat-serat yang saling mengikat
yang sebagian besar merupakan serat kolagen tetapi sebagian lagi berupa serat
elastin. Dermis terdiri dari fibroblas, sel mast dan makrofag. Fidroblas
Universitas Sumatera Utara
11
membentuk matriks jaringan ikat pada dermis yang biasanya berdekatan dengan
serat kolagen dan elastin. Sel mast berisi granula yang kandungannya mencakup
mediator-mediator seperti histamin, prostaglandin, leukotrien dan faktor-faktor
kemotaksis eusinofil dan neutrofil. Makrofag merupakan sel fagositik yang
berasal dari sumsum tulang. Dermis juga mengandung pembuluh darah, limfe,
saraf dan reseptor sensoris. Di bawah dermis terdapat sebuah lapisan lemak
subkutan yang memisahkan kulit dengan otot yang ada di bawahnya (Graham,
dkk., 2005).
Dermis merupakan lapisan paling tebal atau jaringan ikat yang mengandung
darah, lapisan getah bening, kelenjar keringat dan saraf kulit (Bavaskar, et al.,
2015). Peranan utama dermis adalah sebagai pemberi nutrisi pada epidermis dan
merupakan jaringan penyangga berserat dengan ketebalan rata-rata 3-5 mm,
(Aiache, dkk., 1993).
2.2.3 Penetrasi obat melalui kulit
Obat dapat mempenetrasi kulit yang utuh setelah pemakaian topikal
melalui dinding folikel rambut, kelenjar keringat atau kelenjar lemak atau antara
sel-sel dari selaput tanduk. Sebenarnya bahan obat yang dipakai mudah memasuki
kulit yang rusak atau pecah-pecah, akan tetapi penetrasi semacam itu bukan
absorbsi perkutan yang benar. Apabila kulit utuh, maka cara utama untuk
penetrasi obat umumnya melalui lapisan epidermis, lebih baik daripada melalui
folikel rambut atau kelenjar keringat (Ansel, 2008).
Sediaan topikal digunakan untuk mendapatkan efek lokal di lokasi aplikasi
berdasarkan penetrasi obat ke dalam lapisan yang mendasari kulit atau mukosa
membran. Keuntungan utama sistem pelepasan topikal adalah untuk menghindari
Universitas Sumatera Utara
12
first pass effect, menghindari resiko ketidaknyamanan terapi intravena, perubahan
pH, dan waktu pengosongan lambung. Dalam segala keanekaragamannya
formulasi semi-solid mendominasi sediaan sistem pelepasan topikal (Sharma, et
al., 2012).Untuk mengurangi resistensi stratum corneum dan variabilitas
biologinya, peningkat penetrasi (promotor untuk mempercepat absorpsi)
digabungkan ke dalam sediaan kulit (Jadhav dan Sreenivas, 2012).
Ada dua jalur utama obat berpenetrasi menembus stratum korneum, yaitu:
jalur transepidermal dan jalur pori.
Gambar 2.3 Jalur penetrasi obat melalui stratum korneum (Trommer dan Neubert, 2006)
Jalur transepidermal dibagi lagi menjadi jalur transselular dan jalur
interselular. Pada jalur transelular, obat melewati kulit dengan menembus secara
langsung lapisan lipid stratum korneum dan sitoplasma dari keratinosit yang mati.
Jalur ini merupakan jalur terpendek, tetapi obat mengalami resistensi yang
signifikan karena harus menembus struktur lipofilik dan hidrofilik. Jalur yang
lebih umum bagi obat untuk berpenetrasi melalui kulit adalah jalur interselular.
Pada jalur ini, obat berpenetrasi melalui ruang antar korneosit (Trommer dan
Neubert, 2006).
Jalur melalui pori dapat dibagi menjadi jalur transfolikular dan
Universitas Sumatera Utara
13
transglandular. Kelenjar dan folikel rambut hanya menempati sekitar 0,1% dari
total luas tubuh manusia, oleh karena itu kontribusi rute ini terhadap penetrasi
dianggap kecil. Tetapi, jalur transfolikular dapat menjadi jalur yang penting bagi
penetrasi obat yang diberikan secara topikal. Hal ini karena folikel rambut
menyediakan suatu reservoir yang efisien bagi zat yang berpenetrasi melalui kulit.
Pada jalur transfolikular, zat hanya dapat berpenetrasi melalui folikel rambut yang
terbuka. Untuk membuka folikel rambut yang tertutup dapat dilakukan pemijatan
ringan (Lademann, et al., 2004).
2.2.4 Difusi melalui membran
Difusi merupakan suatu proses ketika obat melewati membran agar
molekul-molekul menurunkan gradien konsentrasinya. Penembusan terjadi karena
adanya perbedaan konsentrasi tanpa memerlukan energi, sehingga mencapai
kesetimbangan dikedua membran. Kebanyakan zat aktif merupakan basa atau
asam organik, maka dalam keadaan terlarut sebagian molekul berada dalam
bentuk terionkan dan sebagian dalam bentuk tak terionkan. Hanya fraksi zat aktif
yang tak terionkan dan larut dalam lemak yang dapat melalui membran dengan
cara difusi pasif (Aiache, dkk., 1993).
Gambar 2.4 Multilayer kulit yang memperlihatkan permeasi obat transdermal untuk pelepasan sistemik (Jadhav dan Sreenivas, 2012).
Universitas Sumatera Utara
14
Ketika obat digunakan secara topikal maka obat akan mengalami difusi
pasif menuju permukaan jaringan kulit selanjutnya. Perpindahan massa melewati
stratum corneum menuju ke bagian lapisan epidermis selanjutnya dan kemudian
ke dalam lapisan dermis hingga ke sirkulasi darah.
2.2.5 Faktor-faktor yang mempengaruhi penyampaian obat melalui kulit
2.2.5.1 Faktor biologis
Hal-hal yang termasuk ke dalam faktor biologis yang
mempengaruhipenyampaian obat melalui kulit, yaitu meliputi (Barry, 1983):
a. Kondisi dan umur kulit
Kulit utuh merupakan suatu sawar (barrier) difusi yang efektif dan
efektivitasnya berkurang bila terjadi perubahan dan kerusakan pada sel-sel
lapisan tanduk. Difusi obat melalui kulit juga tergantung pada umur subyek, di
mana kulit bayi dan anak anak lebih permeabel dibandingkan kulit orang
dewasa.
b. Aliran darah
Secara teoritis, perubahan sirkulasi pada daerah perifer, atau perubahan aliran
darah pada kulit (jaringan dermis), dapat mempengaruhi absorbsi perkutan. Di
mana dengan meningkatnya aliran darah, maka waktu yang dimiliki zat aktif
untuk berada pada jaringan dermis akan berkurang, dengan demikian gradien
konsentrasi zat aktif yang berpenetrasi melalui kulit akan meningkat.
c. Tempat pemakaian
Jumlah yang diserap untuk suatu molekul yang sama akan berbeda dan hal ini
tergantungpada ketebalan stratum korneum dan kerapatan folikel rambut,
maupun kelenjar keringat yang terdapat di kulit.
Universitas Sumatera Utara
15
d. Perbedaan spesies
Kulit mamalia dari spesies yang berbeda akan menunjukkan beberapa
perbedaan karakteristik dari segi anatomi.
2.2.5.2Faktor fisikokimia
Hal-hal yang termasuk ke dalam faktor fisikokimia yang mempengaruhi
penyampaian obat melalui kulit, yaitu:
a. Hidrasi kulit
Peningkatan hidrasi kulit bisa membuka struktur stratum korneum sehingga
penetrasi meningkat (Benson, 2005).
b. Temperatur
Secara klinis, temperatur kulit akan meningkat dengan digunakannya suatu
pembawa yang bersifat oklusif, seperti vaselin. Pada penggunaan suatu
pembawa yang bersifat oklusif, kelenjar keringat tidak dapat mengeluarkan air
maupun panas sehingga menyebabkan meningkatnya suhu sekitar kulit. Jika
suhu meningkat, maka kelembaban (hidrasi) pun akan meningkat. Dalam
keadaan terhidrasi permeabilitas kulit akan meningkat, sehingga memudahkan
absorbsi zat aktif melalui kulit (Barry, 1983).
c. Bobot molekul dan polaritas senyawa
Dipandang dari segi bobot molekulnya, senyawa dengan bobot molekul
yangrendah akan berdifusi lebih cepat dibandingkan dengan senyawa
denganbobot molekul tinggi (Barry, 1983).
d. Konsentrasi zat aktif
Berdasarkan hukum Fick, jumlah zat aktif yang diserap pada setiap satuan luas
permukaan dan satuan waktu adalah sebanding dengan konsentrasi senyawa
Universitas Sumatera Utara
16
dalam media pembawa (Barry, 1983).
e. Koefisien partisi
Koefisien partisi didefenisikan sebagai pembagian konsentrasi dalam
lemakdengan konsentrasi dalam fase air. Bila molekul semakin larut lemak,
maka koefisien partisinya semakin besar dan difusi transmembran terjadi lebih
mudah. Tidak boleh dilupakan bahwa organisme terdiri dari fase lemak dan
air, sehingga bila koefisien partisi sangat tinggi ataupun sangat rendah maka
hal tersebut merupakan hambatan pada proses difusi zat aktif (Aiache, dkk.,
1993).
f. Lipofilisitas
Peningkatan lipofilisitas obat menyebabkan berkurangnya permeasi. Sebuah
studi serupa dengan nalbuphine dan prodrugnya yang menunjukkan bahwa
peningkatan lipofilisitas menyebabkan rasio peningkat penetrasi menurun
(Sung, et al., 2003).
g. Formulasi
Faktor lain yang mempengaruhi penetrasi senyawa bioaktif melalui kulit
adalah jenis formulasi yang dirancang untuk masuknya obat. Konsentrasi obat
mempengaruhi penghantaran topikal. Selanjutnya, peningkatan viskositas
pada formulasi menurunkan penetrasi obat ke dalam kulit yang mungkin
disebabkan oleh penurunan difusi (Regnier, et al., 1998).
h. Tempat pengolesan
Jumlah yang diserap oleh molekul yang sama, akan berbeda tergantung pada
anatomi tempat pengolesan. Perbedaan ketebalan kulit terutama disebabkan
oleh perbedaan ketebalan lapisan tanduk (stratum corneum) pada setiap bagian
tubuh (Aiache, dkk., 1993).
Universitas Sumatera Utara
17
2.3 Peningkat Penetrasi Obat
Peningkat penetrasi dapat digunakan dalam formulasi obat transdermal
untuk memperbaiki fluks obat yang melewati membran. Fluks obat yang melewati
membran dipengaruhi oleh koefisien difusi obat melewati stratum corneum,
konsentrasi efektif obat yang terlarut dalam pembawa, koefisien partisi antara obat
dengan stratum corneum dan dengan tebal lapisan membran. Peningkat penetrasi
yang efektif dapat meningkatkan penghalangan dari stratum corneum (Williams
dan Barry, 2004). Peningkatan penetrasi obat dapat dilakukan menggunakan
peningkat penetrasi kimia (Sharma, et al., 2012).
2.3.1 Kriteria peningkat penetrasi
Menurut Saroha, et al., (2013) peningkat penetrasi yang ideal, diantaranya:
1. Efeknya ke dalam kulit bersifat reversible dan tidak menyebabkan kerusakan
pada sel.
2. Secara farmakologi inert
3. Tidak toksik, tidak mengiritasi, dan tidak menimbulkan alergi.
4. Mudah bercampur dengan obat dan bahan tambahan lainnya.
5. Efek cepat
6. Saat penetrasi berlangsung mencegah hilangnya bahan endogen tubuh seperti
cairan tubuh, elektrolit.
7. Penetrasi berlangsung searah saja, hanya memungkinkan molekul obat yang
melewati kulit sedangkan bahan endogen tubuh tidak hilang.
2.3.2 Mekanisme enhancer
Atas dasar konsep partisilemak dan protein,ada tiga
mekanismepeningkatan penetrasi yaitu:
Universitas Sumatera Utara
18
1. Gangguan lipid: enhancer mengubah struktur organisasi lipid stratum korneum
dan membuatnya permeabel terhadap obat. Banyak enhancer bekerja dengan
cara ini misalnya: Azone, terpen, asam lemak, dimetil sulfoxide (DMSO) dan
alkohol.
2. Mengubah protein: Ionik surfaktan, dan desil metil sulfoksida berinteraksi
dengan keratin di korneosit dan mengubah struktur protein yang padat
sehingga membuatnya lebih permeabel.
3. Promotor partisi: Banyak pelarut mengubah sifat kelarutan dari lapisan tanduk
dengan demikian meningkatkan partisi obat. Etanol meningkatkan penetrasi
nitro gliserin dan estradiol melalui stratum corneum (Jadhav dan Sreenivas,
2012).
2.3.3 Jenis-jenis enhancer
Beberapa senyawa telah diketahui berperan senagai enhancer kimia antara
lain (Trommer dan Neubert, 2006):
a. Sulfoksida dan senyawa yang mirip
b. Azone
c. Pirolidon
d. Asam lemak
e. Ester
f. Minyak atsiri, terpen, dan terpenoid
g. Surfaktan
h. Propilen glikol
i. Urea dan turunannya
Universitas Sumatera Utara
19
2.4 Uraian Bahan
2.4.1 Ketoprofen
Gambar 2.5 Struktur kimia ketoprofen
Ketoprofen mengandung tidak kurang dari 98,5% dan tidak lebih dari
100,5% C16H14O3, dihitung terhadap zat yang sudah dikeringkan. Pemeriannya
yaitu serbuk hablur, putih atau hampir putih, tidak atau hampir tidak
berbau.Mudah larut dalam etanol, dalam kloroform dan dalam eter; praktis tidak
larut dalam air. Berat molekul ketoprofen yaitu 254,3 (Ditjen, POM., 1995). Nilai
pKa ketoprofen 4,07 (Meloun, et al., 2007).
Ketoprofen adalah senyawa obat turunan asam propionat yang
menghambat cyclooxygenase secara nonselektif dan lipoxygenase, yang bekerja
sebagai antiinflamasi, dan analgetik. Sebagaimana anti-inflamasi non-steroid
lainnya, ketoprofen bekerja menghambat sintesa prostaglandin. Ketoprofen
banyak digunakan dalam pengobatan atritis reumatoid, osteoartritis dan keadaan
nyeri lainnya (Katzung, 2002).
2.4.2 Natrium alginat
Asam alginat adalah polimer glycuronan yang terdiri dari campuran asam
β-(1→4)-D- asam mannosyluronic dan α-(1→4)-L- asam gulosyluronic, formula
umumnya (C6H8O)n dengan berat molekul biasanya 20.000-240.000 (Rowe, et
al., 2009).
Universitas Sumatera Utara
20
Asam alginat tidak larut dalam air, karena itu yang digunakan dalam
industri dalam bentuk garam natrium dan garam kalium. Salah satu sifat dari
natrium alginat yakni mempunyai kemampuan membentuk gel dengan
penambahan larutan garam-garam kalsium seperti kalsium glukonat, kalsium
tartat dan kalsium sitrat. Pembentukan gel ini disebabkan oleh terjadinya kelat
antara rantai L-guluronat dengan ion kalsium (Thom, dkk., 1982).
Natrium alginat adalah produk pemurnian karbohidrat yang diekstraksi
dari alga coklat (Phaeophyceae) dengan menggunakan basa lemah. Natrium
alginat larut dengan lambat di dalam air, membentuk larutan kental, tidak larut
dalam etanol dan ester. Alginat diperoleh dari spesies Macrocrystis pyrifera,
Laminaria, Ascophylum dan Sargassum (Belitz dan Grosch, 1987).
2.4.3 Etanol
Gambar 2.6 Struktur etanol
Etanol dalam berbagai konsentrasi secara luas digunakan dalam formulasi
sediaan farmasi dan kosmetik. Penggunaan etanol secara topikal dikembangkan
untuk pelepasan obat transdermal sebagai peningkat penetrasi (Rowe, et al.,
2009). Sebagai pelarut etanol mampu meningkatkan kelarutan obat. Perembesan
etanol ke dalam stratum corneum bisa mengubah kelarutan jaringan dan
memperbaiki partisi obat ke dalam membran. Sebagai peningkat penetrasi juga
memiliki aktivitas mengubah termodinamik obat sehingga terjadi peningkatan
konsentrasi obat yang mana menguapnya etanol juga menyebabkan tercapainya
kelarutan dalam kondisi jenuh sehingga peningkatan penetrasi lebih tinggi (Raut,
et al., 2014).
Universitas Sumatera Utara
21
2.4.4 Gliserin
Gliserin digunakan diberbagai jenis formulasi farmasetik, termasuk
sediaan oral, mata, topikal dan sediaan parenteral. Pada formulasi sediaan topikal
dan kosmetik, gliserin digunakan sebagai humektan dan emolien. Gliserin
digunakan juga sebagai pelarut dan cosolvent. Gliserin digunakan juga sebagai
plasticizer dalam pembuatan kapsul lunak gelatin dan supositoria gelatin (Rowe,
et al., 2009).
Gliserin atau gliserol memiliki rumus kimia C3H8O3 yang dapat bercampur
dengan air dan dengan etanol, tidak larut dalam kloroform, dalam eter, dalam
minyak lemak dan dalam minyak menguap (Ditjen, POM., 1995).
Universitas Sumatera Utara