BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penelitian...

21
11 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penelitian Terdahulu Penelitian terdahulu yang relevan dengan penelitian ini yaitu: Tabel 2.1. Penelitian Terdahulu No Peneliti Judul Penelitian Hasil Penelitian 1 Lenni Linovpa (2007) Pengaruh Kinerja Anggota Badan Keswadayaan Masyarakat terhadap Keberhasilan Program Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan Pengaruh yang ditimbulkan oleh kinerja anggota BKM terhadap keberhasilan Program Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan (P2KP) adalah sebesar 39 %. Dari hasil penelitian ini dapat diambil kesimpulan bahwa kinerja BKM cukup berpengaruh terhadap keberhasilan dari P2KP. PNPM Mandiri Perkotaan sendiri merupakan program penyempurnaan dari P2KP. Penulis menarik asumsi bahwa hal yang sama juga berlaku terhadap kinerja dari Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM) karena di dalam struktur organisasi PNPM Mandiri Perkotaan, BKM juga memiliki pemimpin atau pendamping yang memiliki fungsi

Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penelitian...

11

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Penelitian Terdahulu

Penelitian terdahulu yang relevan dengan penelitian ini yaitu:

Tabel 2.1. Penelitian Terdahulu

No Peneliti Judul Penelitian Hasil Penelitian

1 Lenni Linovpa

(2007)

Pengaruh Kinerja

Anggota Badan

Keswadayaan

Masyarakat terhadap

Keberhasilan

Program

Penanggulangan

Kemiskinan

Perkotaan

Pengaruh yang ditimbulkan

oleh kinerja anggota BKM

terhadap keberhasilan Program

Penanggulangan Kemiskinan

Perkotaan (P2KP) adalah

sebesar 39 %. Dari hasil

penelitian ini dapat diambil

kesimpulan bahwa kinerja

BKM cukup berpengaruh

terhadap keberhasilan dari

P2KP. PNPM Mandiri

Perkotaan sendiri merupakan

program penyempurnaan dari

P2KP. Penulis menarik asumsi

bahwa hal yang sama juga

berlaku terhadap kinerja dari

Badan Keswadayaan

Masyarakat (BKM) karena di

dalam struktur organisasi

PNPM Mandiri Perkotaan,

BKM juga memiliki pemimpin

atau pendamping yang

memiliki fungsi

12

menggerakkan, memfasilitasi,

dan membimbing anggota

BKM sehingga mampu untuk

mandiri di dalam menjalankan

perannya.

2 Firman (2012) Pengaruh Gaya

Kepemimpinan

Head Collection

terhadap Kinerja

Collector WOM

Finance Cabang

Surabaya

Hasil pengolahan data

menunjukkan bahwa terdapat

pengaruh positif dan signifikan

yang diberikan oleh gaya

kepemimpinan situasional yang

terdiri dari gaya kepemimpinan

telling, selling, participating,

dan, delegating terhadap kinerja

collector. Dengan demikian

semakin efektif gaya

kepemimpinan head collector,

maka semakin tinggi tingkat

kinerja collector yang ada di

WOM Finance Cabang

Surabaya.

13

2.2. Landasan Teori

2.2.1. Kinerja

A. Pengertiaan Kinerja

Kinerja adalah gambaran mengenai tingkat pencapaian pelaksanaan suatu

kegiatan/program/kebijakan dalam mewujudkan sasaran, tujuan, misi, dan

visi organisasi yang tertuang dalam strategi planning suatu organisasi. Istilah

kinerja sering digunakan untuk menyebut prestasi atau tingkat keberhasilan

individu maupun kelompok individu. Kinerja bisa diketahui hanya jika

individu atau kelompok tersebut mempunyai kriteria keberhasilan yang telah

ditetapkan. Kriteria keberhasilan ini berupa tujuan-tujuan atau target tertentu

yang hendak dicapai. Tanpa ada tujuan atau target, kinerja seseorang atau

organisasi tidak mungkin dapat diketahui karena tidak ada tolak ukurnya

(Mahsun, 2006: 25).

Kinerja menurut Anwar Prabu Mangkunegara (2000: 67) kinerja (

prestasi kerja ) adalah hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang dicapai

oleh seseorang pegawai dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan

tanggung jawab yang diberikan kepadanya. Kemudian menurut Malayu S.P.

Hasibuan (2001:34) mengemukakan kinerja (prestasi kerja) adalah suatu

hasil kerja yang dicapai seseorang dalam melaksanakan tugas yang

dibebankan kepadanya yang didasarkan atas kecakapan, pengalaman dan

kesungguhan serta waktu.

Dari berbagai penjelasan di atas dapat didefenisikan bahwa pada

hakikatnya kinerja merupakan prestasi yang dicapai oleh seseorang dalam

melaksanakan tugasnya atau pekerjaannya sesuai dengan standar dan kriteria

14

yang ditetapkan untuk pekerjaan itu. Dengan demikian, kinerja adalah

kesediaan seseorang atau kelompok orang untuk melakukan sesuatu kegiatan

dan menyempurnakannya sesuai dengan tanggung jawabnya dengan hasil

seperti yang diharapkan. Jika dikaitkan dengan performance sebagai kata

benda dimana salah satu entry-nya adalah hasil dari sesuatu pekerjaan,

pengertian performance atau kinerja adalah hasil kerja yang dapat dicapai

oleh seseorang atau kelompok orang dalam suatu perusahaan sesuai dengan

wewenang dan tanggung jawab masing-masing dalam upaya pencapaian

tujuan perusahaan secara legal, tidak melanggar hukum, dan tidak

bertentangan dengan moral atau etika. Oleh karena itu, kinerja organisasi

paling tidak mengandung 3 aspek penting yaitu pemenuhan fungsi,

kesesuaian dengan peraturan, dan pencapaian tujuan.

B. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kinerja

Menurut Simanjuntak (2001) kinerja dipengaruhi oleh:

1. Kualitas dan kemapuan pegawai. Yaitu hal – hal yang berhubungan

dengan pendidikan/pelatihan, etos kerja, motivasi kerja, sikap mental

dan kondisi fisik pegawai.

2. Sarana pendukung, yaitu hal yang berhubungan dengan lingkungan

kerja (keselamatan kerja, kesehatan kerja, sarana produksi, teknologi)

dan hal – hal yang berhubungan dengan kesejahteraan pegawai

(upah/gaji, jaminan sosial, keamanan kerja).

3. Sarana, yaitu hal – hal yang berhubungan dengan kebijaksanaan

pemerintah dan hubungan industrial manajemen.

15

Kinerja dalam menjalankan fungsinya tidak berdiri sendiri, tapi

berhubungan dengan kepuasan kerja dan tingkat imbalan, dipengaruhi oleh

keterampilan, kemampuan, dan sifat-sifat individu. Oleh karena itu, menurut

model Partner-Lawyer oleh Donnelly, Gibson, dan Ivancevich (dalam

Rivai, 2004: 16), kinerja individu pada dasarnya dipengaruhi oleh faktor-

faktor:

1. Harapan mengenai imbalan.

2. Dorongan.

3. Kemampuan, kebutuhan, dan sifat.

4. Persepsi terhadap tugas.

5. Imbalan internal dan eksternal.

Persepsi terhadap tingkat imbalan dan kepuasan kerja. Selain itu,

Goleman (2007: 64) mengemukakan bahwa kinerja dipengaruhi oleh gaya

kepemimpinan yang diterapkan oleh pemimpin. Secara umum faktor fisik

dan non fisik sangat mempengaruhi. Berbagai kondisi lingkungan fisik

sangat mempengaruhi kondisi pegawai dalam bekerja. Selain itu, kondisi

lingkungan fisik juga akan mempengaruhi berfungsinya faktor lingkungan

non fisik. Pada kesempatan ini pembahasan kita fokuskan pada lingkungan

non-fisik, yaitu kondisi-kondisi yang sebenarnya sangat melekat dengan

sistem manajerial perusahaan.

C. Pengukuran Kinerja

Soedjono (2005) menyebutkan 7 (tujuh) kriteria yang dapat digunakan

untuk mengukur kinerja pegawai secara individu yakni:

16

1. Kualitas. Hasil pekerjaan yang dilakukan mendekati sempurna atau

memenuhi tujuan yang diharapkan dari pekerjaan tersebut.

2. Kuantitas. Jumlah yang dihasilkan atau jumlah aktivitas yang dapat

diselesaikan.

3. Ketepatan waktu, yaitu dapat menyelesaikan pada waktu yang telah

ditetapkan serta memaksimalkan waktu yang tersedia untuk aktivitas

yang lain.

4. Efektivitas. Pemanfaatan secara maksimal sumber daya yang ada pada

organisasi untuk meningkatkan keuntungan dan mengurangi kerugian.

5. Kemandirian, yaitu dapat melaksanakan kerja tanpa bantuan guna

menghindari hasil yang merugikan.

6. Komitmen kerja, yaitu komitmen kerja antara pegawai dengan

organisasinya dan

7. Tanggung jawab pegawai terhadap organisasinya.

Selanjutnya, menurut Hasibuan (2005:93) secara umum standar berarti

apa yang akan dicapai sebagai ukuran untuk penilaian. Secara garis besar

standar penilaian kinerja dibedakan atas dua (Hasibuan, 2005:93):

1. Tangible standard yaitu sasaran yang dapat ditetapkan alat ukurnya

atau standarnya. Standar dalam bentuk fisik terbagi atas: standar

kuantitas, standar kualitas, dan standar waktu.

2. Intangible standard adalah sasaran yang tidak dapat ditetapkan alat

ukur atau standarnya. Misalnya, standar perilaku, kesetiaan,

partisipasi, loyalitas, serta dedikasi terhadap institusi.

17

Menurut Dwiyanto (2006: 50), ada beberapa indikator yang biasanya

digunakan untuk mengukur kinerja organisasi publik, yaitu sebagai berikut:

1. Produktivitas

Konsep produktivitas tidak hanya mengukur tingkat efisiensi, tetapi

juga efektivitas pelayanan. Produktivitas pada umumnya dipahami

sebagai rasio antara input dengan output. Menurut Hasibuan (1994:

41) produktivitas adalah perbandingan antara output (hasil) dengan

input (masukan). Jika produktivitas naik ini hanya dimungkinkan oleh

adanya peningkatan efisiensi (waktu, bahan, tenaga) dan sistem kerja,

teknik produksi dan adanya peningkatan keterampilan dari tenaga

kerja.

2. Kualitas Layanan

Banyak pandangan negatif yang terbentuk mengenai organisasi publik

muncul karena ketidakpastian masyarakat terhadap kualitas layanan

yang diterima dari organisasi publik. Dengan demikian, kepuasan

masyarakat terhadap layanan dapat dijadikan indikator kinerja

organisasi publik. Secara umum pelayanan yang berkualitas dapat

diartikan sebagai pelayanan yang dapat memuaskan setiap pemakai

jasa pelayanan, sesuai dengan tingkat kepuasan rata-rata masyarakat,

serta penyelenggaraannya sesuai dengan standar dan prosedur yang

telah ditetapkan.

3. Responsivitas

Responsivitas adalah kemampuan organisasi untuk mengenali

kebutuhan masyarakat, menyusun agenda dan prioritas pelayanan, dan

18

mengembangkan program-program pelayanan publik sesuai dengan

kebutuhan dan aspirasi masyarakat. Secara singkat responsivitas di

sini menunjuk pada keselarasan antara program dan kegiatan

pelayanan dengan kebutuhan dan aspirasi masyarakat. Responsivitas

dimasukkan sebagai salah satu indikator kinerja karena responsivitas

secara langsung menggambarkan kemampuan organisasi publik dalam

menjalankan misi dan tujuannya, terutama untuk memenuhi

kebutuhan masyarakat.

4. Responsibilitas

Responsibilitas menjelaskan apakah pelaksanaan kegiatan organisasi

publik itu dilakukan sesuai dengan prinsip-prinsip administrasi yang

benar atau sesuai kebijakan organisasi, baik yang eksplisit maupun

implisit. Oleh sebab itu, responsibilitas bisa saja pada suatu ketika

berbenturan dengan responsivitas. Responsibilitas dapat dinilai dari

analisis terhadap dokumen dan laporan kegiatan organisasi. Penilaian

dilakukan dengan mengecek apakah pelaksanaan kegiatan dan

program organisasi cocok atau sesuai dengan prosedur administrasi

dan ketentuanketentuan yang ada dalam organisasi.

5. Akuntabilitas

Konsep akuntabilitas publik dapat digunakan untuk melihat seberapa

besar kebijakan dan kegiatan organisasi publik itu konsisten dengan

kehendak masyarakat banyak. Suatu kegiatan publik memiliki

akuntabilitas yang tinggi kalau kegiatan itu dianggap benar dan sesuai

dengan nilai dan norma yang berkembang dalam masyarakat. Selain

19

itu, akuntabilitas juga dapat dilihat dari seberapa jauh kepentingan

pengguna jasa memperoleh prioritas dan orientasi pelayanan dari

aparat birokrasi.

2.2.2. Gaya Kepemimpinan

A. Pengertian Gaya Kepemimpinan

Menurut istilah Drucker, pemimpin adalah individu yang made things

happen. Pemimpin adalah ‘yang membuat sesuatu menjadi sesuatu itu

sendiri’, membuat organisasi menjadi sebuah organisasi yang sesungguhnya

Dalam hal ini, pemimpin adalah individu manusianya, sementara

kepemimpinan adalah sifat yang melekat kepadanya sebagai pemimpin

(Moeljono, 2008:30). Menurut Sims (2002:216) pemimpin atau leader

adalah individu yang bertanggung jawab untuk memberikan pengarahan

berupa visi dan strategi bagi organisasi dan tim. Pemimpin adalah orang

yang memutuskan apa tujuan dan sasaran organisasi atau kelompok dan

mengarahkan aktivitas yang diperlukan untuk mencapai tujuan tersebut.

Pemimpin adalah orang yang dengan perilakunya sendiri, keyakinannya,

dan kata-katanya dapat mempengaruhi tindakan orang lain.

Selanjutnya dari kata pemimpin tersebut, kepemimpinan didefinisikan

sebagai “the art of getting others to want to do something that individual is

convinced should be done” Kouzes dan Posner (dalam Sims, 2002:216).

Artinya bahwa kepemimpinan adalah seni untuk mempengaruhi orang lain

agar mengerjakan sesuatu yang diyakini harus dikerjakan. Kepemimpinan

merupakan terjemahan dari leadership. Robbins (2003:39) juga

mendefinisikan kepemimpinan sebagai kemampuan mempengaruhi suatu

20

kelompok ke arah pencapaian tujuan. Menurut Hasibuan (2005:170)

kepemimpinan adalah cara seorang pemimpin mempengaruhi perilaku

bawahan agar mau bekerja sama dan bekerja secara produktif untuk

mencapai tujuan organisasi.

Berdasarkan definisi di atas, kepemimpinan memiliki beberapa implikasi,

yaitu:

1. Kepemimpinan adalah seni atau art, yang artinya bahwa kepemimpinan

bukan merupakan ilmu pasti, serangkaian keahlian, atau atribut. Seni

merupakan karakteristik khusus yang ada dalam kepemimpinan yang

sulit untuk diukur dan dikembangkan dalam diri individu.

2. Kepemimpinan berarti melibatkan orang atau pihak lain (others), yaitu

para anggota atau bawahan (followers). Para bawahan harus memiliki

kemauan untuk menerima arahan dari pemimpin. Walaupun demikian,

tanpa adanya anggota atau bawahan, kepemimpinan tidak akan ada

juga.

3. Kepemimpinan berarti bahwa seorang pemimpin yang dengan

kekuasaannya (his or her power) mampu menggugah pengikutnya

untuk mencapai kinerja yang memuaskan (should be done) sesuai

dengan visi, misi, dan tujuan yang telah dikomunikasikan kepada

bawahannya. Kekuasaan yang dimiliki oleh para pemimpin dapat

bersumber dari:

a. Reward power, yang didasarkan atas persepsi bawahan bahwa

pemimpin mempunyai kemampuan dan sumberdaya untuk

21

memberikan penghargaan kepada bawahan yang mengikuti arahan-

arahan pemimpinnya.

b. Coercive power, yang didasarkan atas persepsi bawahan bahwa

pemimpin mempunyai kemampuan memberikan hukuman bagi

bawahan yang tidak mengikuti arahan-arahan pemimpinnya

c. Legitimate power, yang didasarkan atas persepsi bawahan bahwa

pemimpin mempunyai hak untuk menggunakan pengaruh dan

otoritas yang dimilikinya.

d. Referent power, yang didasarkan atas identifikasi (pengenalan)

bawahan terhadap sosok pemimpin. Para pemimpin dapat

menggunakan pengaruhnya karena karakteristik pribadinya,

reputasinya atau karismanya.

e. Expert power, yang didasarkan atas persepsi bawahan bahwa

pemimpin adalah seeorang yang memiliki kompetensi dan

mempunyai keahlian dalam bidangnya.

Berdasarkan uraian di atas maka dapat dijelaskan bahwa kepemimpinan

harus memiliki kejujuran terhadap diri sendiri (integrity), sikap

bertanggungjawab yang tulus (compassion), pengetahuan (cognizance),

keberanian bertindak sesuai dengan keyakinan (commitment), kepercayaan

pada diri sendiri dan orang lain (confidence) dan kemampuan untuk

meyakinkan orang lain (communication) dalam membangun organisasi.

B. Pendekatan Teori Gaya Kepemimpinan

Beberapa pendekatan dalam teori kepemimpinan menurut Yukl (dalam

Moeljono, 2008:31-32) meliputi:

22

1. Pendekatan berdasarkan ciri. Pendekatan ini menekankan pada atribut-

atribut pribadi para pemimpin. Dasar dari pendekatan ini adalah asumsi

bahwa beberapa orang merupakan pemimpin dengan beberapa ciri yang

tidak dimiliki oleh orang lain. Teori-teori kepemimpinan ini pada tahap

awal (1930-1940an) gagal menemukan garansi mengenai ciri-ciri

kepemimpinan yang berhasil, karena hanya mengacu pada unsur-unsur

alamiah. Teori-teori selanjutnya menekankan pada upaya mencari

korelasi yang signifikan tentang atribut pemimpin dan criteria

keberhasilan seorang pemimpin. Dalam kelompok ini antara lain

terdapat teori karismatik dan transformasional.

2. Pendekatan berdasarkan perilaku. Pendekatan ini merupakan kritisi

terhadap generasi pertama pendekatan berdasarkan ciri. Sebagaimana

namanya, pendekatan ini sangat diwarnai oleh psikologi dengan focus

menemukan dan mengklasifikasikan perilaku-perilaku yang membantu

pengertian tentang kepemimpinan. Di dalam pendekatan ini terdapat

teori-teori tentang kelompok.

3. Pendekatan kekuasaan-pengaruh. Pendekatan ini mencoba memperoleh

pengertian tentang kepemimpinan dengan mempelajari proses

mempengaruhi antara para pemimpin dengan para pengikutnya. Para

teoritisi dalam lingkungan pendekatan ini mencoba menjelaskan

efektivitas kepemimpinan dalam kaitannya dengan jumlah dan jenis

kekuasaan yang dipunyai seorang pemimpin dan cara kekuasaan

tersebut. Dalam kelompok ini terdapat antara lain teori-teori

kepemimpinan otriter-demokratik-bebas (laizes faire).

23

4. Pendekatan situasional. Pendekatan ini menekankan pada pentingnya

factor-faktor kontekstual seperti sifat pekerjaan yang dilaksanakan oleh

unit pemimpin, sifat lingkungan eksternal, dan karakteristik para

pengikut. Teori-teori dalam kelompok ini sering diidentifikasikan ke

dalam teori “kontinjensi” yang dapat dikontraskan dengan teori

”universal” tentang kualitas umum kepemimpinan yang efektif.

Pada praktiknya, keempat pendekatan tersebut bersifat saling

melengkapi, bahwa seorang pemimpin harus mempunyai kualitas

kepemimpinan yang berbasiskan ciri universal seorang pemimpin,

mempunyai perilaku pemimpin tatkala berada pada kelompok kerja,

menggunakan format kekuasaan-pengaruh dalam melaksanakan tugas

kepemimpinannya, dan selalu menakankan perlunya konteks ruang dan

waktu di mana kepemimpinan dilaksanakan.

Goleman, dkk (2007: 64) menyatakan, meskipun semua gaya

kepemimpinan yang akan diuraikan di sini sudah dikenal dengan sebutan

lain, tetapi hal baru dari model kepemimpinan mereka adalah pemahaman

tentang latar belakang kemampuan kecerdasan emosi yang diperlukan untuk

setiap gaya, dan yang paling menarik, hubungan sebab akibat dari setiap

gaya terhadap iklim emosi, dan demikian ini berarti kinerja. Hubungan

sebab akibat ini adalah tambahan pengetahuan yang sangat dibutuhkan

untuk seni keberhasilan pemimpin.

Model ini mengemukakan bahwa jika semua hal lainnya setara, para

pemimpin yang menggunakan gaya-gaya kepemimpinan yang berdampak

emosi positif jelas menghasilkan hasil yang lebih baik daripada mereka

24

yang tidak. Dan yang terpenting adalah bahwa para pemimpin yang

mempunyai hasil terbaik ternyata tidak menggunakan satu gaya saja.

Sebaliknya, pada suatu hari atau pekan tertentu, mereka menggunakan

banyak gaya – dengan mulus dan dengan derajat yang berbeda-beda –

tergantung situasi.

Adapun gaya kepemimpinan yang dikemukakan oleh Goleman, dkk

(2007: 65), adalah sebagai berikut:

1. Visioner

Pemimpin visioner akan mengartikulasikan suatu tujuan yang baginya

merupakan tujuan sejati dan selaras dengan nilai bersama orang-orang

yang dipimpinnya. Pemimpin visioner mengartikulasikan kemana

kelompok berjalan, tetapi bukan bagaimana cara mencapai tujuan –

membebaskan orang untuk berinovasi, bereksperimen, dan menghadapi

resiko yang sudah diperhitungkan. Pemimpin tipe ini meyakini visi

dapat membimbing orang-orang menuju visi tersebut dengan tegas.

Pemimpin menggerakkan orang-orang ke arah impian bersama. Adapun

dampak gaya ini terhadap iklim emosi adalah yang paling positif.

Penggunaannya yang paling tepat adalah ketika perubahan

membutuhkan visi baru, atau ketika dibutuhkan arah yang jelas.

2. Pembimbing

Pemimpin tipe ini memungkinkan seorang pemimpin untuk

mengembangkan orang lain dan bertindak sebagai penasihat, yang

menggali tujuan dan nilai-nilai pegawai dan membantu mereka

mengembangkan kemampuannya sendiri. Mampu menghubungkan apa

25

yang diinginkan seseorang dengan sasaran organisasi. Adapun dampak

gaya ini terhadap iklim emosi adalah sangat positif. Penggunaan yang

tepat adalah ketika membantu karyawan atau bawahan memperbaiki

kinerjanya dengan membangun kemampuan jangka panjang.

3. Afiliatif

Pemimpin tipe ini ingin memajukan harmoni dan mendorong interaksi

yang ramah, menumbuhkan relasi pribadi yang mengembangkan

jaringan relasi dengan orang-orang yang dipimpinnya. Para pemimpin

tipe ini akan memusatkan perhatian pada kebutuhan emosi pegawai,

bahkan lebih daripada tujuan kerja. Pemimpin seperti ini kadangkadang

juga mengandalkan kompetensi pengelolaan konflik ketika

tantangannya adalah menyatukan perbedaan atau bahkan menyatukan

orang-orang yang sedang terlibat konflik ke dalam kelompok kerja yang

harmonis. Dampak gaya ini terhadap iklim emosi adalah positif.

Penggunaan yang tepat adalah ketika menengahi benturan dalam tim,

memotivasi di saat-saat yang menekan, atau menguatkan hubungan.

4. Demokratis

Pemimpin seperti ini menciptakan perasaan bahwa mereka sungguh-

sungguh ingin mendengarkan pikiran dan kepedulian pegawai dan

mereka bersedia mendengarkan. Pemimpin ini menghargai masukan

orang dan mendapatkan komitmen melalui partisipasi. Mereka juga

kolaborator sejati, bekerja sebagai anggota kelompok dan bukan

sebagai pemimpin yang berposisi di atas. Dan mereka tahu cara

meredakan konflik dan menciptakan harmoni, misalnya memperbaiki

26

keretakan di dalam kelompok. Dampak gaya ini terhadap iklim emosi

adalah positif. Penggunaan yang tepat adalah ketika membangun

persetujuan atau kesepakatan, atau mendapat masukan yang berharga

dari pegawai.

5. Penentu Kecepatan

Ciri-cirinya adalah pemimpin memegang teguh dan melaksanakan

standar kinerja yang tinggi. Ia bersikap obsesif bahwa segala sesuatu

bisa dilakukan dengan lebih baik dan lebih cepat, serta meminta hal

yang sama dari semua orang lain. Ia akan cepat menunjuk orang-orang

yang berkinerja buruk, menuntut lebih banyak dari mereka, dan jika

mereka tidak meningkatkannya, ia sendiri yang akan melakukannya.

Karena seringkali dilaksanakan secara buruk, dampaknya seringkali

sangat negatif. Gaya ini bisa membangun resonansi (suasana hati yang

baik, kemampuan pemimpin untuk mengatakan sesuatu hal dengan

benar, dan menciptakan kegiatan yang terkoordinasi) pada saat

pemimpin menghadapi tantangan dan mencapai tujuan dengan terus

menemukan cara-cara untuk memperbaiki kinerja bersamaan dengan

sejumlah inisiatif dalam menangkap kesempatan. Penggunaan yang

tepat terhadap gaya ini adalah ketika ingin mendapatkan hasil

berkualitas tinggi dari tim yang bermotivasi dan kompeten.

6. Memerintah

Para pemimpin ini menuntut kepatuhan langsung pada perintahnya,

tetapi tidak mau repot-repot menjelaskan alasan yang ada dibalik

perintahnya. Jika bawahannya tidak mengikuti perintahnya begitu saja,

27

para pemimpin ini akan mengancam. Dan bukannya mendelegasikan

kekuasaan, mereka malah ingin mengendalikan setiap situasi dengan

ketat dan memantaunya dengan teliti. Sejalan dengan itu, umpan balik

kinerja jika ada lebih berfokus pada kesalahan, bukan pada apa yang

telah dilakukan orang dengan baik. Pemimpin seperti ini jarang memuji

tetapi mudah mengkritik bawahan. Karena sering disalahgunakan,

dampaknya sangat negatif. Namun, gaya ini mempunyai tempat penting

dalam perlengkapan pemimpin yang cerdas emosi, jika digunakan

dengan penuh pertimbangan dan tepat sehingga dapat membangun

resonansi apabila pemimpin bertujuan untuk menenangkan rasa takut

dengan memberi arah yang jelas di dalam keadaan darurat.

Dari keenam gaya kepemimpinan yang dikemukakan Goleman di atas

ada empat gaya kepemimpinan yang bisa mendukung terjadinya resonansi

diantaranya visioner, pembimbing, afiliatif, dan demokratis. Selanjutnya,

dua gaya kepemimpinan lain yaitu penentu kecepatan dan memerintah juga

mempunyai tempat tersendiri di dalam kotak alat pemimpin. Tetapi

keduanya harus digunakan dengan sangat hati-hati dan terampil jika ingin

mendapatkan dampak positif. Jika pemimpin berlebihan dalam

menggunakan gaya terakhir ini, terlalu sering menggunakannya atau

menggunakannya dengan sembrono, mereka akan membangun disonansi,

bukan resonansi (Goleman, 2007: 82).

C. Fungsi Gaya Kepemimpinan

Adair (2008:11) menjelaskan fungsi kepemimpinan sebagai berikut:

28

1. Fungsi perencanaan, meliputi mencari informasi yang tersedia;

mendefinisikan tugas, maksud, atau tujuan kelompok; dan membuat

rencana yang dapat terlaksana (dalam kerangka membuat keputusan

yang tepat.

2. Fungsi pemrakarsaan, meliputi memberikan pengarahan pada kelompok

mengenai sasaran dan rencana; menjelaskan mengapa penetapan

sasaran atau rencana merupakan hal penting; membagi tugas pada

kelompok; dan menetapkan standar kelompok.

3. Fungsi pengendalian, meliputi memelihara standar kelompok;

mempengaruhi tempo; memastikan semua tindakan diambil dalam

upaya meraih tujuan; menjaga relevansi diskusi; dan mendorong

kelompok mengambil tindakan/keputusan.

4. Fungsi pendukungan, meliputi pengakuan terhadap orang dan

kontribusi mereka; memberi semangat pada kelompok/individu;

mendisiplinkan kelompok/individu; menciptakan semangat tim;

meredakan ketegangan dengan humor; dan merukunkan perselisihan

atau meminta orang lain menyelidikinya.

5. Fungsi penginformasian, meliputi memperjelas tugas dan rencana;

memberi informasi baru pada kelompok, seperti melibatkan mereka;

menerima informasi dari kelompok; dan memberi ringkasan atas usul

dan gagasan yang masuk akal.

6. Fungsi pengevaluasian, meliputi mengevaluasi kelayakan gagasan;

menguji konsekuensi solusi yang diusulkan; mengevaluasi prestasi

29

kelompok; dan membantu kelompok mengevaluasi sendiri prestasi

mereka berdasarkan standar yang ada.

Berdasarkan uraian fungsi kepemimpinan di atas maka dapat dijelaskan

bahwa fungsi kepemimpinan meliputi fungsi perencanaan, pemrakarsaan,

pendukungan, pengendalian, peenginformasian, dan pengevaluasian.

2.3. Hubungan Antara Kepemimpinan dengan Kinerja

Thoha (2005: 49) mengemukakan bahwa jika seseorang berusaha untuk

mempengaruhi perilaku orang lain, maka kegiatan semacam itu telah melibatkan

seseorang ke dalam aktivitas kepemimpinan. Selanjutnya, jika kepemimpinan

tersebut terjadi dalam suatu organisasi tertentu, dan seseorang tadi perlu

mengembangkan staf dan membangun iklim motivasi yang menghasilkan tingkat

produktivitas yang tinggi, maka orang tersebut lantas perlu memikirkan gaya

kepemimpinannya.

PNPM Mandiri Perkotaan sendiri juga memiliki struktur organisasi

pelaksana PNPM Mandiri. Salah satu badan pelaksananya adalah BKM yang

merupakan dewan pimpinan kolektif masyarakat dalam menangani permasalahan

yang ada di wilayahnya. Jika kita mengamati struktur organisasi pelaksana PNPM

Mandiri Perkotaan, maka BKM sendiri juga memiliki pemimpin yang

memberikan bimbingan administrasi dan manajemen terhadap BKM. Hal ini

diperlukan agar BKM memiliki kinerja yang baik dalam menjalankan perannya.

Tentunya pemimpin dari BKM tersebut juga menerapkan gaya kepemimpinannya

masing-masing.

Goleman (2007: 64) mengemukakan bahwa kinerja dipengaruhi oleh gaya

kepemimpinan yang diterapkan oleh pemimpin. Selain itu, secara teoritis ada tiga

30

kelompok variabel yang mempengaruhi perilaku kerja dan kinerja individu, yaitu:

variabel individu, variabel organisasi dan variabel psikologis. Kelompok variabel

individu terdiri dari variabel kemampuan dan ketrampilan, latar belakang pribadi,

dan demografis. Variabel kemampuan dan keterampilan merupakan faktor utama

yang mempengaruhi perilaku kerja dan kinerja individu. Sedangkan variabel

demografis mempunyai pengaruh yang tidak langsung. Kelompok variabel

psikologis terdiri dari variabel persepsi, sikap, kepribadian, belajar dan motivasi.

Variabel ini banyak dipengaruhi oleh keluarga, tingkat sosial, pengalaman kerja

sebelumnya dan variabel demografis. Kelompok variabel organisasi menurut

terdiri dari variabel sumber daya, kepemimpinan, imbalan, struktur dan desain

pekerjaan.

Jika kepemimpinan adalah perihal memimpin dan gaya kepemimpinan

merupakan cara atau tingkah laku dalam memimpin, maka hal yang hampir sama

juga diungkapkan oleh Meter dan Horn (dalam Winarno, 2002: 121) bahwa salah

satu variabel yang secara tidak langsung mempengaruhi kinerja implementasi

adalah gaya kepemimpinan dari badan pelaksana. Salah satu unsur yang

melakukan pendampingan kepada BKM adalah Fasilitator Kelurahan yang

mengarahkan, membimbing, dan mengajak BKM untuk bersama-sama mencapai

visi dan misi PNPM Mandiri Perkotaan.

2.4. Rancangan Penelitian

Selanjutnya untuk melihat efektivitas gaya kepemimpinan Fasilitator

Kelurahan dalam meningkatkan kinerja BKM tersebut maka peneliti membuat

rancangan penelitian ini sebagai berikut:

31

Gambar 2.1. Rancangan Penelitian

Analisis Data

Kesimpulan

Rekapitulasi Data

Studi Literatur

Efektivitas GayaKepemimpinan Fasilitator

Kinerja Badan KeswadayaanMasyarakat (BKM)

Penyebaran Kuesioner