BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Mahasiswa 2.1.1...
Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Mahasiswa 2.1.1...
-
10
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Mahasiswa
2.1.1 Definisi Mahasiswa
Menurut Kamus Bahasa Indonesia (2014), mahasiswa adalah orang yang belajar
di perguruan tinggi. Dari perspektif psikologis, mahasiswa dalam tahap
perkembangannya digolongkan sebagai remaja akhir dan memasuki masa dewasa
awal, yaitu usia 18-21 tahun dan 22-24 tahun. Pada usia tersebut mahasiswa
mengalami masa peralihan dari remaja akhir ke dewasa awal (Ismiati, 2015).
2.1.2 Problematika Mahasiswa Menyusun Tugas Akhir
Skripsi atau tugas akhir adalah suatu karya ilmiah yang disusun oleh seorang
mahasiswa berdasarkan hasil penelitian dengan menggunakan data primer atau data
sekunder yang penulisannya terikat pada sistematika formal dan tunduk pada asas
logika ilmiah serta metodologi yang benar (Tatan, 2012). Ada berbagai persoalan yang
dihadapi mahasiswa yang sedang menyusun skripsi, antara lain sebagai berikut: 1)
merasa terbebani dan bingung. Perasaan bingung disebabkan karena mereka
beranggapan ini adalah dunia dan pengalaman baru, yang belum pernah dilalui selama
kuliah dan dianggap berbeda dengan makalah sehari-hari. Pada umumnya mahasiswa
berpendapat bahwa skripsi adalah aktivitas yang paling menentukan dalam
memperoleh gelar sarjana. Tugas skripsi dipandang tidak hanya menulis, tetapi juga
harus mempertanggungjawabkan secara individual baik di hadapan pembimbing
maupun ketika ujian sidang di hadapan dewan penguji; (2) Tegang dan gelisah pada
saat akan menemui dosen pembimbing ataupun pada saat akan ujian; (3) Perasaan
cemas dan khawatir. Mahasiswa mengakui adanya perasaan takut dan khawatir akan
-
11
bermasalah dengan pembimbing dan cemas karena takut tidak mampu melaksanakan
penelitian tersebut karena keterbatasan pengetahuan dalam meneliti (Ismiati, 2015).
2.2 Konsep Stres
2.2.1 Definisi Stres
Stres adalah reaksi fisik dan mental dari tubuh terhadap situasi yang
menakutkan, mengejutkan, membingungkan, membahayakan, dan merisaukan
seseorang. Stres diawali dengan adanya ketidakseimbangan antara tuntutan yang
dimiliki seseorang, semakin tinggi kesenjangan semakin tinggi pula tingkat stres yang
dialami individu, dan akan merasa terancam (Yosep, 2009). Stres adalah respon
terhadap lingkungan eksternal, sehingga stres dianggap sebagai variabel dependen
yang mempengaruhi psikologi, emosional, dan fungsi kognitif pada tubuh
(Thawabieh & Qaisy, 2012).
Menurut Nasir dan Muhith (2011), stres merupakan mekanisme yang bersifat
individual dan bersifat kompleks. Mekanisme tersebut menghasilkan respon yang
saling terkait, baik fisiologis, psikologis maupun perilaku pada individu yang
mengalaminya. Tubuh manusia berusaha mengatasinya dengan menciptakan
keseimbangan antara tuntutan luar, kebutuhan dan nilai-nilai internal, kemampuan
koping personal, serta lingkungan untuk memberikan dukungan dan mengatasi
tuntutan tersebut. Menurut Agung dan Budiani (2013), stress yaitu segala masalah
atau tuntutan penyesuaian diri yang dapat mengganggu keseimbangan dan bila tidak
mampu mengatasinya dengan baik, maka akan muncul gangguan pada badan ataupun
jiwa. Stres memiliki ciri identik dengan perilaku beradaptasi dengan lingkunganya,
dimana lingkungan ini bisa berupa hal di luar diri (outerworld), tetapi bisa juga dari
dalam diri (inner world).
-
12
2.2.2 Penyebab Stres
Stressor adalah faktor-faktor dalam kehidupan manusia yang menyebabkan
terjadinya stres. Ada beberapa faktor yang dianggap sebagai pemicu timbulnya stres,
yaitu antara lain: 1) faktor fisik dan biologis meliputi genetika seperti kondisi berupa
ibu hamil yang perokok, alkoholik, dan penggunaan obat-obatan yang menyebabkan
stres pada anak yang dilahirkan, case history dapat berupa penyakit di masa kecil yang
mengakibatkan kehilangan organ, pengalaman hidup dapat berupa pengalaman hidup
yang mempengaruhi perasaan seseorang yang menyangkut kematangan organ-organ
seksual pada masa remaja, gangguan tidur yang dapat mempengaruhi konsentrasi, diet
yang berlebihan, dan penyakit seperti tuberkulosis, kanker, atau impotensi; 2) Faktor
psikologis meliputi persepsi yaitu bagaimana individu berpresepsi terhadap stresor,
emosi seperti kecemasan, sedih, atau cemburu, dan situasi psikologis; 3) Faktor
lingkungan meliputi lingkungan fisik seperti bencana alam, gempa bumi, kondisi
lingkungan yang padat, atau lingkungan kerja yang kotor, lingkungan biotik misalnya
penderita alergi bisa menjadi stres bila lingkungannya menjadi pemicu alergi, dan
lingkungan sosial seperti hubungan buruk dengan orangtua, teman, atau rekan kerja
(Nasir & Muhith, 2011).
Menurut Saam dan Wahyuni (2012), ada beberapa faktor penyebab stres yang
di alami oleh mahasiswa, antara lain: 1) Faktor pribadi meliputi seperti tidak bisa
mengatur waktu, terlalu memforsir diri untuk belajar, sakit yang tak kunjung sembuh,
dan dijauhi oleh teman-teman; 2) Faktor keluarga meliputi orang tua bercerai, terlalu
dikekang orang tua, keinginan orang tua yang dipaksakan kepada anaknya, keinginan
yang belum bisa dipenuhi orang tua, kurang di perhatikan orang tua, dan ada masalah
dengan anggota keluarga lainnya; 3) Faktor kampus meliputi tugas menumpuk, kuliah
dari pagi sampai sore dalam sehari, bahan ujian yang tidak dibahas sebelumnya, nilai
-
13
ujian jelek, tidak mengerti penjelasan dosen, dan tidak bisa menjawab pertanyaan
yang dilontarkan dosen; 4) Faktor masyarakat meliputi dikucilkan masyarakat, selalu
dikritik masyarakat, tinggal di lingkungan yang kurang kondusif, dan tidak
mempunyai teman di lingkungan sekitar.
Menurut Sudarya, Bagia dan Suwendra (2014), faktor-faktor penyebab stres
(stressor) secara umum dapat diklasifikasikan sebagai stressor internal dan stressor
eksternal. Stressor internal berasal dari dalam diri seseorang misalnya kondisi fisik,
perilaku, kognisi atau suatu keadaan emosi. Stressor eksternal berasal dari luar diri
seseorang misalnya perubahan lingkungan sekitar, kebisingan, polusi dan penerangan,
lingkungan pekerjaan, keluarga dan sosial budaya.
2.2.3 Dampak Stres
Stres dapat berdampak terhadap kondisi emosional sehingga seseorang akan
mudah gelisah, mood atau suasana hati akan sering berubah-ubah, mudah/cepat
marah, mudah tersinggung dan stres yang berkepanjangan dapat menyebabkan
seseorang menjadi cemas dan depresi. Untuk menghindari dampak negatif dari stres
tersebut, maka diperlukan adanya suatu pengelolaan stres yang baik (Rahayuni, Utami
& Swedarma 2015).
Menurut Syahrial & Robica (2014), dampak stres dapat dikelompokkan
menjadi tiga kategori, yaitu: 1) Gejala fisik meliputi perubahan-perubahan yang terjadi
pada metabolisme organ tubuh seperti denyut jantung yang meningkat, tekanan darah
yang meningkat, sakit kepala, dan sakit perut yang bisa dialami dan harus diwaspadai;
2) Gejala psikologis meliputi perubahan sikap yang terjadi seperti ketegangan,
kegelisahan, ketidaksenangan, kebosanan, cepat marah, dan lain-lain; 3) Gejala
keprilakuan meliputi perubahan atau situasi dimana produktivitas seseorang
-
14
menurun, absensi meningkat, kebiasaan makan berubah, merokok bertambah,
insomnia, berbicara tidak tenang, dan banyak minum minuman keras.
Stres juga dapat mengakibatkan meningkatnya kadar hormon tiroid yang
mengakibatkan insomnia dan berkurangnya berat badan, menipisnya endorfin yang
mengakibatkan rasa sakit secara jasmaniah, berkurangnya hormon seks yang
mengakibatkan aminore atau ketidaksuburan, mati/beristirahatnya sistem pencernaan
yang mengakibatkan pusing, kembung, dan mulut kering, dan pelepasan kolesterol
yang dapat berkontribusi pada penyumbatan arteri, tekanan darah meningkat sampai
dengan 40%, stroke, dan aneurisma (Pomerantz, 2013).
Dampak yang terjadi pada mahasiswa yang mengalami stres akibat
skripsi/tugas akhir adalah merasa cemas, khawatir, panik, gelisah, timbul perasaan
takut dan resah, jenuh, dan perasaan bosan. Disamping itu juga reaksi bisa muncul
dalam bentuk merasa bersalah, jengkel, apatis, depresi, dan gangguan kognitif seperti
tingkat rangsangan emosi tinggi yang dapat mengganggu pengolahan informasi yang
dipikirkan (Ismiati, 2015).
-
15
2.2.4 Tahapan dan Tingkatan Stres
Menurut Yosep (2009) tahapan stres adalah sebagai berikut :
Tabel 2.1 Tahapan Stres
Tingkatan Stres Tahapan
Stres tingkat I Stres ringan dengan disertai perasaan seperti semangat besar, penglihatan tajam, dan kemampuan menyelesaikan pekerjaan lebih dari biasanya.
Stres tingkat II Stres yang menyenangkan mulai menghilang disertai perasaan letih saat bangun pagi, merasa lelah sesudah makan siang dan menjelang sore hari, dan adanya gangguan sistem pencernaan.
Stres tingkat III Keluhan letih semakin nampak disertai dengan gejala seperti gangguan usus lebih terasa sakit, otot-otot terasa tegang, dan gangguan tidur.
Stres tingkat IV Tahapan ini sudah menampakkan keadaan yang lebih buruk dengan ciri-ciri seperti kehilangan kemampuan untuk menanggapi situasi, kemampuan berkonsentrasi menurun, dan sering terbangun dini hari.
Stres tingkat V Tahapan ini menampakkan keadaan yang lebih buruk dari tahap IV disertai dengan keletihan, tidak mampu mengerjakan pekerjaan yang sederhana, dan gangguan sistem pencernaan seperti sulit buang air besar atau sebaliknya.
Stres tingkat VI Tahapan ini merupakan tahapan puncak. Tidak jarang penderita dalam tahapan ini dibawa ke Rumah Sakit. Gejala yang timbul meliputi debar jantung sangat cepat, sesak nafas, gemetar, tubuh dingin, dan tidak sadarkan diri.
Sumber: Yosep, 2009.
Menurut Puspitaningsih (2015), mengklasifikasikan tingkat stres yaitu : 1) Stres
ringan. Pada tingkat stres ini sering terjadi pada kehidupan sehari-hari dan kondisi ini
dapat membantu individu menjadi waspada dan bagaimana mencegah berbagai
kemungkinan yang akan terjadi; 2) Stres sedang. Pada stres tingkat ini individu lebih
memfokuskan hal penting saat ini dan mengesampingkan yang lain sehingga
mempersempit lahan persepsinya; 3) Stres berat. Pada tingkat ini lahan persepsi
individu sangat menurun dan cenderung memusatkan perhatian pada hal-hal lain,
semua perilaku ditujukan untuk mengurangi stres, individu tersebut mencoba
memusatkan perhatian pada lahan lain dan memerlukan banyak pengarahan.
-
16
2.2.5 Jenis-Jenis Stres
Menurut Datt dan Washington (2015), mengkategorikan jenis-jenis stres
menjadi dua, yaitu : 1) Eustress, yaitu hasil dari respon terhadap stres yang bersifat
sehat, positif, dan konstruktif (bersifat membangun). Eustress bersifat menyenangkan
dan merupakan pengalaman yang memuaskan. Eustress dapat meningkatkan kesiagaan
mental, kewaspadaan, dan kognisi. Hal tersebut termasuk kesejahteraan individu dan
juga organisasi yang diasosiasikan dengan pertumbuhan, fleksibilitas, kemampuan
adaptasi, dan tingkat performance yang tinggi; 2) Distress yaitu hasil dari respon
terhadap stres yang bersifat tidak sehat, negatif, dan destruktif (bersifat merusak). Hal
tersebut akan membuat individu mengalami rasa cemas, ketakutan, khawatir atau
gelisah. Sehingga individu mengalami keadaan psikologis yang negatif, menyakitkan,
dan timbul keinginan untuk menghindarinya.
Handono dan Bashori (2013), juga mengatakan bahwa jenis-jenis stres ada dua
macam yaitu stres yang merusak dan stres yang menguntungkan. Stres yang merusak
dapat menyebabkan seseorang merasa tidak berdaya, frustasi dan kecewa. Stres juga
dapat mengakibatkan kerusakan fisik maupun psikologis. Stres yang merusak disebut
dengan distress. Jenis stres yang menguntungkan ialah yang dapat memberikan
keberhasilan, kepuasan, kebermaknaan, keseimbangan, dan kesehatan. Stres ini
membantu hidup lebih lama dan lebih bahagia dan jenis stres ini disebut eustress.
2.2.6 Mekanisme Koping pada Stres
Perilaku coping merupakan suatu tingkah laku dimana individu melakukan
interaksi dengan lingkungan sekitarnya dengan tujuan menyelesaikan tugas atau
masalah. Tingkah laku koping merupakan suatu proses dinamis dari suatu pola
tingkah laku maupun pikiran-pikiran yang secara sadar digunakan untuk mengatasi
tuntutan-tuntutan dalam situasi yang menekan dan menegangkan. Banyak definisi
-
17
yang dilontarkan oleh para pakar psikologi dalam mengartikan koping. Koping
merupakan suatu cara yang dilakukan individu untuk mengatasi masalah yang dialami,
baik sebagai ancaman atau suatu tantangan yang menyakitkan. Namun koping
bukanlah usaha untuk menguasai seluruh situasi yang menekan, karena tidak semua
situasi tertekan tersebut benar-benar dapat dikuasai (Ismiati, 2015).
Ada dua strategi yang bisa dilakukan untuk melakukan koping, yaitu : 1) Problem
focus coping yaitu bentuk coping yang lebih diarahkan kepada upaya untuk mengurangi
tuntutan dari situasi yang penuh tekanan. Artinya coping yang muncul terfokus pada
masalah individu yang akan mengatasi stres dengan mempelajari cara-cara
keterampilan yang baru. Individu cenderung menggunakan strategi ini ketika mereka
percaya bahwa tuntutan dari situasi dapat diubah. Strategi ini melibatkan usaha
mengatasi stres dengan cara mengatur atau mengubah masalah yang dihadapi
lingkungan sekitarnya yang menyebabkan terjadinya stres dengan cara mencari usaha
untuk mengubah keadaan yang dianggap menekan dan usaha untuk mendapatkan
kenyaman emosional; 2) Emotion focused coping yaitu usaha untuk mengatasi stres
dengan cara mengatur respons emosional dalam menyesuaikan diri dengan dampak
yang akan ditimbulkan dengan cara: Self-control yaitu usaha untuk mengatur emosi saat
menghadapi situasi yang menekan, Distancing yaitu usaha untuk menghindar dari
permasalahan dengan berpikir positif, Positive reapprasial yaitu usaha mencari makna
positif dengan melibatkan hal-hal yang bersifat religius, Accepting responsibility yaitu
usaha utuk menyadari tanggung jawab diri sendiri dalam permasalahnnya, dan
Escape/avoidence yaitu usaha untuk mengatasi stres dengan beralih pada hal yang
positif (Nasir & Muhith, 2011).
Menurut Yusuf, Fitryasari, dan Nihayati (2015), menyebutkan bahwa
mekanisme koping ada tiga tipe, yaitu : 1) Mekanisme koping problem focus yaitu
-
18
mekanisme yang terdiri dari tugas dan usaha langsung untuk mengatasi ancaman
sendiri; 2) Mekanisme koping cognititively focus yaitu berupa seseorang yang dapat
mengontrol masalah dan menetralisirnya; 3) Mekanisme koping emoticon focus yaitu
mekanisme dengan cara menyesuaikan diri terhadap distres emosional secara tidak
berlebihan.
Strategi coping yang dilakukan mahasiswa dalam rangka menghadapi stres ketika
menyusun skripsi adalah sebagai berikut: 1) Mengalihkan perhatian pada aktivitas lain
yang tidak ada hubungan dengan skripsi; 2) Melakukan aktifitas fisik, seperti: lari pagi,
menggerak-gerakkan badan seperti senam; 3) Berdoa dan melakukan aktifitas
keagamaan seperti shalat dhuha dan tahajud secara rutin, agar dapat menenangkan
dalam melakukan hal apa saja; 4) Menambah pengetahuan tentang cara menulis karya
ilmiah; 5) Mencari referensi buku-buku terbaru sesuai judul skripsi baik di media
cetak seperti koran, buku dan alat komunikasi lainnya; 6) Bergabung dengan teman
dan sharing informasi; 7) Mencari waktu dan tempat yang nyaman untuk
menyelesaikan skripsi; 8) Berpikir positif (positive thinking) (Ismiati, 2015).
2.2.7 Mencegah dan Mengatasi Stres
Menurut Cahyani, Sutresna dan Putra (2013), ada beberapa cara untuk
mengatasi stres yaitu : 1) Farmakologis yaitu dengan menggunakan obat-obatan yang
berkhasiat memulihkan fungsi gangguan neurotransmitter di susunan saraf pusat otak
(sistem limbik), dimana sistem limbik tersebut merupakan bagian otak yang mengatur
alam pikiran dan alam perasaan seseorang; 2) Non farmakologis. Terapi farmakologis
yang dapat dilakukan diantaranya seperti olahraga dan relaksasi.
Ada beberapa cara yang dapat dilakukan untuk mengatasi stres, yaitu
diantaranya adalah: 1)Terapi yoga yang mampu memberikan reaksi rileks/tenang pada
seseorang; 2) Terapi musik yang berperan sebagai teknik relaksasi untuk
-
19
memperbaiki, memelihara, mengembangkan mental, serta kesehatan emosi; 3)
Acupressure yaitu pijatan pada titik tertentu yang dapat membantu menstimulasi titik-
titik penyembuhan; 4) Olah raga yang dapat membantu melancarkan peredaran darah
dan dapat menstimulasi tubuh untuk memproduksi endorphins yang merupakan
hormon yang menyebabkan kita merasa bahagia; 5) Menyalurkan hobi; 6) Minum air
putih. Dengan minum satu atau dua gelas air putih akan membantu untuk lebih
rileks/tenang karena dengan cairan yang cukup akan membuat tubuh terhindar dari
kelelahan dan kepenatan yang akan memperburuk keadaan stres;7) Istirahat cukup; 8)
Melakukan terapi dengan mengunjungi ahli terapi ( Lukluk & Bandiyah, 2011).
Cara mencegah stres yaitu dapat dilakukan dengan melihat atau mengukur
kemampuan sendiri, merencanakan waktu dengan baikdan membuat daftar yang
harus dikerjakan sesuai prioritas, membuat keputusan dengan hati-hati, membiarkan
orang lain memikirkan masalah yang dihadapi, merencanakan waktu untuk rekreasi,
dan melakukan teknik relaksasi atau meditasi yang bisa membantu mengurangi atau
menghilangkan stres (Cahyani, Sutresna & Putra, 2013).
Dalam mengelola stres yang terpenting adalah bagaimana cara mengelola stres
tersebut. Banyak hal yang dapat dilakukan untuk mencegah atau mengatasi stres salah
satunya dengan melakukan upaya peningkatan kekebalan stres dengan mengatur pola
hidup sehari-hari seperti makanan dan pergaulan. Selain itu yang seperti disebutkan di
atas, terapi farmakologis dan non farmakologis juga sangat berperan dalam mengelola
stres dengan baik (Prasetyorini & Prawesti, 2012).
2.2.8 Psikofisiologi Stres
Stres merupakan tanggapan non spesifik terhadap setiap tuntutan yang
diberikan pada suatu organisme. Konsep ini menunjukkan reaksi stres dalam tiga
-
20
fase, yaitu : 1) Fase sinyal (alarm); 2) Fase perlawanan (resistance); 3) Fase keletihan
(exhaustion) (Yosep, 2009).
Tahap sinyal adalah mobilisasi awal dimana badan menemui tantangan yang
diberikan oleh penyebab stres. Ketika penyebab stres ditemukan, otak mengirimkan
suatu pesan biokimia kepada semua sistem tubuh. Pernafasan meningkat, tekanan
darah naik, ketegangan otot. Jika penyebab stres terus aktif, maka selanjutnya akan
beralih pada tahap perlawanan. Tanda-tanda perlawanan yaitu keletihan, ketegangan,
dan ketakutan. Tahap terakhir adalah keletihan. Perlawanan pada penyebab stres yang
sama dalam jangka panjang dan terus menerus akhirnya menaikkan penggunaan
energi penyesuaian, dan sistem menyerang penyebab stres menjadi letih (Yosep,
2009).
2.2.9 Cara Mengukur Stres Psikologis
Tingkat stres psikologis dapat diukur dengan Depression Anxiety Stress Scale
(DASS) yang terdiri dari 42 item pernyataan. DASS bertujuan untuk menilai gejala
depresi, cemas dan stres atau ketegangan pada beberapa minggu sebelumnya.
Instrumen ini memiliki 3 skala yaitu depresi, stres dan cemas. Masing-masing
memiliki 3 item, dan dibagi lagi dalam subskala 2-5 item dengan topik yang sama.
Skoring pada instrumen ini adalah sebagai berikut: skor untuk skala stres yaitu
0-14 termasuk dalam kategori normal, skor 15-18 kategori ringan, skr 19-25 kategori
sedang, skor 26-33 kategori berat dan > 34 kategori sangat berat (Lam, Michalak &
Swinson, 2005).
2.2.10 Mekanisme Respon Tubuh Terhadap Stres
Menurut Sugiharto (2012), mengatakan bahwa kehidupan merupakan sesuatu
yang dinamis, terdapat tantangan baik intrinsik maupun ekstrinsik yang menyebabkan
stres. Tantangan tersebut dapat menyebabkan stres fisik maupun emosional,
-
21
seseorang dalam menghadapi hal tersebut akan relatif melakukan respon-respon
adaptif yang stereotif dan tidak alamiah yang juga akan melibatkan sistem saraf dan
hormon dalam merespon stres. Pusat kontrol stres terdapat di hipotalamus dan
batang otak, termasuk parvoselular kortikotropin-vasopressin (AVP), paraventricular nuclei
(PVN) dalam hipotalamus dan Locus Ceruleus (LS)-norepineprin (sistem saraf simpatik).
Hipotalamik-pituitari-adrenal axis (HPA axis) yang merupakan representatif dari sistem
limbik, melalui otak mempengaruhi seluruh organ tubuh.
Secara fisiologi stres mengaktifkan HPA axis dan sistem saraf simpatis,
corticotrophin-releasing hormone –corticotrophin releasing factor (CRH-CRF) dan arginine
vasopressin (AVP). Hal tersebut menyebabkan peningkatan produksi ACTH dari
kelenjar posterior dan mengaktifkan neuron andregenik dari locus caeruleas/norepinephrine
(LC/NE). Sistem LC/NE bertanggung jawab untuk merespon langsung terhadap
stressor dengan “melawan atau lari/fight or flight”, yang didorong oleh epinefrin dan
norepinefrin, sedangkan ACTH merangsang disekresinya kortisol dari kortek adrenal.
Peningkatan sekresi kortisol memiliki efek metabolik dengan meningkatkan
glukoneogenesis, meningkatkan mobilitas lemak dan protein, dan menurunkan
sensitifitas insulin. Respon stres terhadap tubuh menyebabkan beberapa perubahan
fisiologis antara lain : menurunkan nafsu makan, meningkatkan responsibilitas
terhadap ancaman/ketidaknyamanan, meningkatkan kerja jantung, respirasi,
distribusi aliran darah, dan perubahan sistem respon imun tubuh (Sugiharto, 2012).
2.2.11 SEFT untuk Menurunkan Stres
Menurut Zainuddin (2013), SEFT termasuk teknik relaksasi yang
memfokuskan pada spiritualitas dan penyelarasan sistem energi tubuh untuk
mengatasi masalah fisik dan masalah emosional seperti stres, depresi, dan cemas.
Menurut Dhyani, Sen dan Raghumahanti (2015), teknik relaksasi dapat membuat
-
22
otot-otot polos pembuluh darah arteri dan vena menjadi rileks bersama otot-otot lain
dalam tubuh. Efek dari relaksasi otot-otot ini menyebabkan kadar norepinefrin dalam
darah menurun. Otot-otot yang rileks ini akan menyebarkan stimulus ke hipotalamus
sehingga jiwa dan organ dalam manusia merasakan ketenangan dan kenyamanan.
Stres dapat menurun jika kondisi emosional dalam keadaan tenang dan nyaman.
Menurut Zainuddin (2013), di dalam tubuh manusia ada sistem energi tubuh, sistem
energi tubuh merupakan energi yang berpengaruh besar dalam gangguan emosi. Jika
enegi ini terhambat, maka timbulah emosi. Dengan teknik tapping/ketukan ringan
pada titik-titik tertentu, maka akan dapat menetralisir gangguan emosi yang muncul.
2.3 Konseptual Emotional Freedom Technique (SEFT)
2.3.1 Konsep Spiritual Emotional Freedom Technique (SEFT)
Spiritual Emotional Freedom Technique (SEFT), merupakan sebuah gabungan dari
S dan EFT dimana S merupakan spiritual atau doa, EFT yaitu salah satu varian dari
cabang ilmu baru psikologi yang disebut energy psychology (seperangkat prinsip dan
teknik memanfaatkan sistem energi tubuh untuk memperbaiki kondisi pikiran, emosi
dan perilaku) (Budianto, 2015). SEFT dilakukan dengan suatu kegiatan yang seperti
relaksasi dimana seseorang diminta untuk santai, mendalami perasaan dan
menenangkan diri. Selain dengan pendekatan psikis dan emosional, SEFT juga
dilakukan pendekatan fisik yaitu dengan tapping atau ketukan ringan pada titik-titik
tertentu ditubuh klien. Hal yang terakhir dan terpenting adalah aspek spiritualitas,
yaitu adanya proses keikhlasan, kepasrahan dan doa atas masalah yang dihadapi
individu. SEFT dilakukan dengan menggabungkan spiritual dan teknik ketukan pada
titik-titik tertentu di tubuh klien. Energi tubuh adalah energi yang dapat memperbaiki
kondisi pikiran, emosi dan perilaku. Dalam teknik SEFT ada tiga aspek penting, yaitu
-
23
aspek psikis, aspek fisik dan aspek spiritualitas. Aspek psikis yaitu aspek yang
mencakup suatu kegiatan yang sekilas mirip dengan relaksasi dimana seseorang
diminta untuk santai, mendalami perasaan dan menenangkan diri. Aspek fisik yaitu
melakukan ketukan ringan pada titik-titik tertentu di tubuh klien. Dan aspek
religiusitas yaitu adanya proses keikhlasan, kepasrahan dan doa atas masalah yang
dihadapi individu (Yunita, et,al, 2013).
2.3.2 Teknik-Teknik yang Mendasari SEFT
Menurut Zainuddin (2013), menguraikan tentang teknik-teknik terapi yang
mendasari SEFT antara lain:
1. Chiropractic dan Applied Kinesiology, Dr. George Goodheart merupakan seorang ahli
pijatan tulang belakang untuk penyembuhan berbagai penyakit fisik, pada tahun
1964 mulai meneliti hubungan antara kekuatan otot, organ dan kelenjar tubuh
dengan energy meridian. Metode muscle testing yang dikembangkannya disebut
applied kinesiology. Metode ini mendiagnostik penyakit dengan menyentuh beberapa
bagian otot tubuh, diyakini bahwa penyakit tertentu akan berdampak pada
melemahnya beberapa bagian otot, dengan menemukan otot yang lemah maka
akan ditemukan penyakit yang menyerang.
2. Energi Psikologi, Dr. John Diamond adalah salah satu murid dari Dr. George
Goodheart yang menindaklanjuti penemuannya, beliau menemukan konsep baru
yaitu hubungan antara sistemenergi tubuh dengan gangguan psikologis yang
mendasari lahirnya cabang baru psikologi yaitu Energi Psikologi. Energi Psikologi ini
mempengaruhi pikiran, perasaan dan perilaku. Teori tersebut mendasari lahirnya
TFT.
3. Trough Field Therapy (TFT), metode ini juga sering disebut dengan Callahan
Technique karena penemuannya adalah Dr. Roger Callahan. Pertama kali Dr. Roger
-
24
Callahan berusaha menyembuhkan klien yang mengalami ketakutan pada air dan
semua metode psikoterapi konvensional tidak berhasil. Dengan belajar mengenai
sistem energi tubuh beliau mengetuk (tapping) dengan ujung jari pada bagian
bawah kelopak mata dan berhasil menyembuhkan phobia pada pasiennya.
4. Emotional Freedom Technique, metode ini ditemukan oleh Gary Craig. Berawal dari
rumitnya TFT yang menyebabkan metode tersebut tidak dapat dinikmati oleh
masyarakat luas, Garry mencoba menyederhanakan teknik TFT sehingga mudah
untuk dipraktikkan maupun diajarkan.
5. Spiritualitas, Dokter ahli penyakit dalam Larry Dossey, menemukan bahwa
spiritualitas memiliki kekuatan yang sama besar dengan pengobatan.
2.3.3 Perbedaan EFT dan SEFT
Menurut Zainuddin (2013), menyebutkan bahwa SEFT merupakan metode
baru dalam melakukan EFT sebagai versi original. Dari ungkapan tersebut dapat
disimpulkan bahwa SEFT merupakan bentuk modifikasi dari EFT yang telah ada
sebelumnya dengan memperbarui aspek-aspek didalamnya. Perbedaan yang dapat
ditemukan antara lain: a) Dasar filosofi EFT adalah berpusat pada diri sendiri
sedangkan SEFT pada Tuhan; b) Sikap saat tapping pada EFT dilakukan dalam
suasana santai, pada SEFT terjadi kegiatan kognitif dan afektif dengan berusaha
meningkatkan keyakinan kepada Tuhan dengan khusyu’, ikhlas, pasrah, dan syukur; c)
EFT menggunakan tujuh teknik atau 14 titik, sedangkan SEFT hanya beberapa titik
saja; d) Semua teknik dalam EFT dimiliki SEFT namun ditambah dengan powerfull
prayer.
-
25
2.3.4 Kunci Keberhasilan SEFT
Ada lima hal yang harus diperhatikan untuk mendapatkan hasil maksimal dan
mencegah kegagalan SEFT. Adapun lima hal tersebut adalah: a) Yakin. Keyakinan
terhadap kuasa Tuhan adalah yang paling utama, dengan merendahkan dan
menyerahkan seluruh diri kepadaNya maka semakin baik proses dan hasil dari SEFT;
b) Khusyu’. Selama terapi, khususnya saat set-up, klien harus dalam keadaan
konsentrasi (khusyu’) dalam berdoa dan memohon kepada Tuhan; c) Ikhlas yaitu
menerima semua ketentuan Tuhan; d) Pasrah. Pasrah atau tawakal merupakan
konsep usaha yang optimal dengan penyerahan tentang apa yang akan terjadi kepada
sang Pencipta; e) Syukur. Discipline of gratitude adalah mendisiplinkan pikiran, hati dan
tindakan untuk selalu bersyukur kepada Allah (Zainuddin, 2013).
2.3.5 Manfaat SEFT
Menurut Zainuddin (2013), banyak manfaat yang didapatkan saat melakukan
teknik SEFT, seperti :1) Memberikan makna spiritual seperti keikhlasan, kepasrahan,
dan rasa syukur kepada Tuhan; 2) Mempunyai kemampuan menerima dan
melepaskan masalah dengan nyaman; 3) Menciptakan harapan dan rasa optimis
dalam pikiran; 4) Mengatasi berbagai gangguan emosi (stres, depresi, cemas, dan lain-
lain). SEFT dapat diterapkan pada beberapa bidang, seperti: 1) Pada individu dapat
dimanfaatkan sebagai pengembangan diri; 2) Pada keluarga dapat dimanfaatkan untuk
menstabilkan emosi yang sering timbul dalam keluarga; 3) Pada bidang sekolah dapat
dimanfaatkan sebagai penyelesaian masalah yang berkaitan dengan pendidikan seperti
mengajarkan SEFT pada muridnya yang mengalami gangguan emosi seperti malas
belajar, sulit berkonsentrasi, dan lain-lain; 4) Pada bidang bisnis dapat dimanfaatkan
sebagai penghilang rasa takut gagal, kesulitan dalam menyusun target, takut berbicara
didepan publik, cemas menjelang negosiasi, dan menghilangkan rasa malas; 5) Bidang
-
26
olahraga dan seni dapat dimanfaatkan untuk mengurangi atau menghilangkan sulit
berkonsentrasi, memotivasi untuk menjalani rutinitas yang membosankan, atau
menghilangkan rasa takut gagal atau sulit bangkit dari kegagalan.
2.3.6 Teknik SEFT
Menurut Zainuddin (2013), SEFT dapat dilakukan atau dipraktekkan sendiri
oleh setiap orang, karena teknik ini mudah dipahami dan mudah dilakukan. Ada dua
cara untuk melakukan teknik SEFT ini, yaitu :
A. Versi lengkap
SEFT terdiri dari 3 tahap:
1. The Set-Up
The set-up bertujuan untuk memastikan agar aliran energi tubuh kita terarahkan
dengan tepat. The Set-up terdiri dari 2 aktifitas, yang pertama adalah mengucapkan
kalimat “Ya Allah meskipun saya .....(keluhan) saya ikhlas menerimanya dan saya
pasrahkan semuanya kepada-Mu” dengan penuh rasa khusyu', ikhlas dan pasrah
sebanyak 3 kali. Dan yang kedua adalah klien menekan dadanya, tepatnya di bagian
"Sore Spot" (titik nyeri = daerah di sekitar dada atas yang jika ditekan terasa agak sakit)
sambil mengucapkan kalimat Set-Up seperti di atas, kemudian klien diminta untuk
berelaksasi.
2. The Tune-In
Pada tahap ini yang dilakukan adalah memikirkan sesuatu atau peristiwa tertentu
yang dapat membangkitkan emosi negatif yang ingin dihilangkan. Ketika terjadi reaksi
negatif (marah, sedih, takut, dan sebagainya) maka hati dan mulut berdoa. Bersamaan
dengan Tune-In ini kita melakukan langkah ketiga (Tapping). Pada proses inilah kita
menetralisir emosi negatif atau rasa sakit fisik.
-
27
3. The Tapping
Tapping adalah mengetuk ringan dengan dua ujungjari pada titik-titik tertentu di
tubuh. Titik-titik ini adalah titik-titik kunci dari "The Major Energy Meridians", yang jika
diketuk beberapa kali akan berdampak pada ternetralisirnya gangguan emosi atau rasa
sakit yang dirasakan. Karena aliran energi tubuh berjalan dengan normal dan
seimbang kembali (Zainuddin, 2013).
Setelah menyelesaikan teknik Tapping, dilanjutkan dengan The Gamut Procedure (G-
Procedure). The Gamut Procedure adalah 9 gerakan untuk merangsang otak. Tiap gerakan
dimaksudkan untuk merangsang bagian otak tertentu. Sembilan gerakan itu dilakukan
sambil tapping pada salah satu titik energi tubuh yang dinamankan “Gamut Spot”. Titik
Gamut terletak diantara ruas tulang jari kelingking dan jari manis. Sembilan gerakan
tersebut yaitu: 1) menutup mata; 2) membuka mata; 3) mata digerakkan dengan kuat
ke kanan bawah; 4) mata digerakkan dengan kuat ke kiri bawah; 5) memutar bola
mata searah jarum jam; 6) memutar bola mata berlawanan jarum jam; 7) bergumam
dengan berirama selama 3 detik; 8) menghitung 1, 2, 3, 4, 5; 9) bergumam lagi selama
3 detik (Zainuddin, 2013).
B. Versi inti
The Set-Up, lalu dilanjutkan The Tune-In beserta doa: "saya ikhlas, saya pasrah"
disertai sebagian langkah ketiga (the Tapping), mulai dari titikpertama (the Crown)
hingga titik ke 9 (Below Nipple) dan akhiri dengan tarik nafas panjang dan hembuskan
(Zakiyyah, 2013).
-
28
Gambar 2.1Titik-titik Kunci “The Major Energy Meridians” (Zakiyyah, 2013)
Berikut ini adalah titik-titik tersebut: a) Cr = Crown (Pada titik di bagian atas
kepala); b) EB = Eye Brow (Pada titik permulaan alis mata); c) SE = Side of the Eye (Di
atas tulang di samping mata); d) UE = Under the Eye (2 cm di bawah kelopak mata); e)
UN = Under the Nose (Tepat di bawah hidung); f) Ch = Chin (Di antara dagu dan
bagian bawah bibir); g) CB = Collar Bone (Di ujung tempat bertemunya tulang dada,
collar bone dan tulang rusuk pertama); h) UA = Under the Arm (Di bawah ketiak sejajar
dengan puting susu (pria) atau tepat di bagian tengah tali bra (wanita)); i) BN = Bellow
Nipple (2,5 cm di bawah puting susu (pria) atau di perbatasan antara tulang dada dan
bagian bawah payudara; j) IH = Inside of Hand (Di bagian dalam tangan yang
berbatasan dengan telapak tangan; k) OH = Outside of Hand (Di bagian luar tangan
yang berbatasan dengan telapak tangan); l) Th = Thumb (Ibu jari di samping luar
bagian bawah kuku); m) IF = Index Finger (Jari telunjuk di samping luar bagian bawah
-
29
kuku); n) MF = Middle Finger (Jari tengah samping luar bagian bawah kuku); o) RF =
Ring finger (Jari manis di samping luar bagian bawah kuku); p) BF = Baby finger (Di jari
kelingking di samping luar bagian bawah kuku); q) KC = Karate Chop (Di samping
telapak tangan, bagian yang kita gunakan untuk mematahkan balok saat karate); r) GS
= Gamut Spot, (Di bagian antara perpanjangan tulang jari manis dan tulang jari
kelingking) (Zainuddin, 2013).