BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Diabetes Mellitus … II.pdf · 11 BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pada...

28
11 BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pada bab ini akan membahas hal-hal mengenai konsep DM, neuropati sensori pada DM tipe 2, dan konsep senam kaki diabetes. 2.1 Konsep Diabetes Mellitus (DM) Tipe 2 Pada subbab ini akan membahas hal-hal mengenai konsep DM tipe 2 yang terdiri dari definisi, kriteria diagnostik, patofisiologi, komplikasi, penatalaksanaan, serta pembahasan konsep neuropati perifer sensori pada DM tipe 2. 2.1.1 Definisi Diabetes mellitus (DM) tipe 2 merupakan penyakit metabolik kronis yang ditandai dengan kondisi hiperglikemia akibat penurunan efisiensi kerja insulin yang dihasilkan oleh sel beta pankreas (Kishore, 2014). Penurunan efisiensi kerja insulin yang dialami oleh penderita DM tipe 2 ini merupakan kombinasi dari resistensi insulin, penurunan sekresi insulin, dan peningkatan sekresi glukagon (Khardori, 2014). 2.1.2 Kriteria Diagnostik Kriteria diagnostik DM tipe 2 yaitu memenuhi salah satu dari tiga kondisi berikut: 1) kadar glukosa plasma saat puasa ≥126 mg/dL (7.0 mmol/L); 2) kadar glukosa plasma 2 jam setelah makan (post prandial [PP]) ≥200 mg/dL (11.1 mmol/L) selama uji toleransi glukosa dengan pemberian 75 g glukosa per oral (Oral Glucose Tolerance Test, OGTT); atau 3) kadar glukosa plasma sewaktu

Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Diabetes Mellitus … II.pdf · 11 BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pada...

Page 1: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Diabetes Mellitus … II.pdf · 11 BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pada bab ini akan membahas hal-hal mengenai konsep DM, neuropati sensori pada DM tipe

11

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Pada bab ini akan membahas hal-hal mengenai konsep DM, neuropati sensori

pada DM tipe 2, dan konsep senam kaki diabetes.

2.1 Konsep Diabetes Mellitus (DM) Tipe 2

Pada subbab ini akan membahas hal-hal mengenai konsep DM tipe 2 yang

terdiri dari definisi, kriteria diagnostik, patofisiologi, komplikasi, penatalaksanaan,

serta pembahasan konsep neuropati perifer sensori pada DM tipe 2.

2.1.1 Definisi

Diabetes mellitus (DM) tipe 2 merupakan penyakit metabolik kronis yang

ditandai dengan kondisi hiperglikemia akibat penurunan efisiensi kerja insulin

yang dihasilkan oleh sel beta pankreas (Kishore, 2014). Penurunan efisiensi kerja

insulin yang dialami oleh penderita DM tipe 2 ini merupakan kombinasi dari

resistensi insulin, penurunan sekresi insulin, dan peningkatan sekresi glukagon

(Khardori, 2014).

2.1.2 Kriteria Diagnostik

Kriteria diagnostik DM tipe 2 yaitu memenuhi salah satu dari tiga kondisi

berikut: 1) kadar glukosa plasma saat puasa ≥126 mg/dL (7.0 mmol/L); 2) kadar

glukosa plasma 2 jam setelah makan (post prandial [PP]) ≥200 mg/dL (11.1

mmol/L) selama uji toleransi glukosa dengan pemberian 75 g glukosa per oral

(Oral Glucose Tolerance Test, OGTT); atau 3) kadar glukosa plasma sewaktu

Page 2: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Diabetes Mellitus … II.pdf · 11 BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pada bab ini akan membahas hal-hal mengenai konsep DM, neuropati sensori pada DM tipe

12

≥200 mg/dL (11.1 mmol/L) dengan gejala klasik hiperglikemia atau krisis

hiperglikemik. Menjadikan kadar hemoglobin A1c (HbA1c) ≥6,5% sebagai

kriteria diagnostik primer atau opsional masih menjadi kontroversi. Jika

hiperglikemia tegas tidak ada, pemeriksaan sebaiknya diulang dan diagnosis DM

ditetapkan jika seseorang memenuhi dua dari tiga kriteria diagnostik di atas. Pada

kasus dimana dua hasil tidak koheren satu sama lain, pengulangan uji pada hasil

abnormal diperlukan dan jika hasil dari uji tersebut tetap memenuhi kriteria maka

diagnosis DM dapat ditegakkan (McPhee & Ganong, 2010; WHO, 2006; ADA,

2014).

Batas normal dari kadar glukosa plasma saat puasa adalah <100 mg/dL,

kadar glukosa plasma 2 jam PP saat OGTT adalah <140 mg/dL, dan HbA1c

adalah <5,7%. Seseorang dengan hasil uji di atas batas normal namun belum

memenuhi kriteria diagnostik DM disebut sebagai kondisi prediabetes.

Prediabetes dapat disebut gangguan toleransi glukosa (Impaired Glucose

Tolerance, IGT) atau gangguan toleransi glukosa puasa (Impaired Fasting

Glucose, IFG) sesuai dengan hasil abnormal dari uji yang dilakukan. IGT jika

kadar glukosa plasma 2 jam PP saat OGTT 140-199 mg/dL, dan IFG jika kadar

glukosa plasma puasa 100-125 mg/dL (McPhee & Ganong, 2010; WHO, 2006;

ADA, 2014).

2.1.3 Patofisiologi

Ketika perbedaan kebutuhan dan ketersediaan insulin meningkat namun

sel beta pankreas tidak mampu mengkompensasi peningkatan tersebut, hal ini

menyebabkan kondisi hiperglikemia pada diabetesi. Ketidakseimbangan

Page 3: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Diabetes Mellitus … II.pdf · 11 BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pada bab ini akan membahas hal-hal mengenai konsep DM, neuropati sensori pada DM tipe

13

kebutuhan dan ketersediaan insulin dapat diakibatkan oleh resistensi insulin atau

defek sel beta pankreas. Resistensi terhadap insulin oleh jaringan peka-insulin

(terutama hati, otot, dan lemak) menyebabkan gangguan penggunaan dan

penyimpanan glukosa sehingga sel beta harus meningkatkan sekresi insulin. Efek

toksik akibat penumpukan protein di retikulum endoplasma menyebabkan

penurunan kerja sel beta sehingga tidak mampu mengkompensasi peningkatan

kebutuhan insulin lebih lanjut atau disebut dengan kondisi kelelahan sel beta.

Sedangkan pada kondisi dimana proses awal dimulai dari defek sel beta pankreas,

hiperinsulinemia terjadi lebih dulu dan menginduksi timbulnya resistensi insulin.

Peningkatan kadar insulin plasma menekan reseptor insulin hingga menyebabkan

resistensi terhadap insulin. Hal ini kemudian menyebabkan kondisi kelelahan sel

beta (McPhee & Ganong, 2010; Guyton, 2007: 1024-1025).

Penurunan penggunaan glukosa oleh sel menyebabkan menurunnya

aktivitas pusat kenyang di hipotalamus sehingga diabetesi cenderung untuk lebih

sering merasa lapar (polifagia). Glukosa difiltrasi dengan bebas seperti air oleh

glomerulus ginjal. Pada kondisi hiperglikemia terjadi peningkatan filtrasi glukosa,

namun akan direabsorpsi kembali oleh ginjal. Ketika ambang ginjal untuk

mereabsorpsi glukosa terlewati, terjadi peningkatan kadar glukosa pada urin

(glukosuria) yang menyebabkan diuresis osmotik dan bermanifestasi sebagai

poliuria, termasuk nokturia. Peningkatan kehilangan air melalui mekanisme ini,

menstimulasi rasa haus dan menyebabkan polidipsia. Polifagia, poliuria, dan

polifagia merupakan tiga gejala yang umumnya dirasakan oleh diabetesi (McPhee

& Ganong, 2010, Kishore, 2014).

Page 4: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Diabetes Mellitus … II.pdf · 11 BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pada bab ini akan membahas hal-hal mengenai konsep DM, neuropati sensori pada DM tipe

14

2.1.4 Komplikasi

Komplikasi DM tipe 2 diakibatkan oleh hiperglikemia dengan kontrol

yang kurang adekuat. Kondisi hiperglikemia ini menyebabkan komplikasi jangka

pendek dan jangka panjang. Komplikasi jangka pendek mencakup hipoglikemia,

ketoasidosis diabetik, dan sindrom hiperosmolar hiperglikemia nonketotik yang

dapat mengarah pada koma hiperosmolar. Sedangkan komplikasi jangka panjang

dapat berupa komplikasi makrovaskular dan mikrovaskular (McPhee & Ganong,

2010). Komplikasi makrovaskular mencakup angina pektoris, infark miokard,

stroke, dan penyakit arterial perifer. Sedangkan komplikasi mikrovaskular yang

paling umum terjadi adalah retinopati, nefropati, dan neuropati (Kishore, 2014).

Komplikasi makrovaskular terjadi dimulai dari aterosklerosis pembuluh

darah besar. Terdapat beberapa faktor risiko penyakit kardiovaskular berkaitan

dengan kondisi DM, yaitu: 1) hipertensi; 2) perubahan konsentrasi lipoprotein

yang mencakup hipertrigliseridemia; 3) perubahan komposisi lipoprotein yang

berkontribusi pada resistensi insulin dan interaksi abnormal dengan makrofag; 4)

protein glikosilasi salah satunya pada antitrombin III yang menyebabkan

gangguan inhibisi kaskade koagulasi; 5) albuminuria; 6) gangguan fungsi endotel;

dan 7) trombosis (Resnick, Lindsay, & Howard, 2004).

Mekanisme hipertensi pada diabetes belum diketahui secara pasti, namun

resistensi insulin dan kondisi hiperinsulinemia tampak memiliki pengaruh

terhadap kondisi ini. Insulin berperan sebagai vasodilator perifer melalui alur

endothelial bergantung-nitric oxide (NO). Insulin juga meningkatkan retensi

Page 5: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Diabetes Mellitus … II.pdf · 11 BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pada bab ini akan membahas hal-hal mengenai konsep DM, neuropati sensori pada DM tipe

15

natrium di ginjal serta meningkatkan kadar kalsium dan sebaliknya menurunkan

kadar magnesium interseluler (Resnick, Lindsay, & Howard, 2004).

Hipertrigliseridemia juga disebabkan oleh insufisiensi insulin. Insulin

menyebabkan peningkatan pembentukan very low densed lipoprotein (VLDL)

yang berperan dalam transportasi trigliserida ke sel adiposa. Proses ini dibalikkan

oleh efek glukagon yang merangsang lipolisis. Sekresi basal insulin (0,25-1

unit/jam) dapat mencegah lipolisis berlebihan, namun pada kondisi kelelahan sel

beta dan sekresi insulin sangat rendah, insulin tidak mampu menekan kerja

glukagon sehingga terjadi penurunan transportasi trigliserida ke sel adiposa dan

peningkatan lipolisis. Peningkatan trigliserida dan asam lemak bebas pada plasma

meningkatkan pembentukan low density lipoprotein (LDL) melalui alur

katabolisme VLDL serta penurunan produksi high-density lipoprotein (HDL)

yang berperan dalam pembersihan VLDL dan trigliserida sehingga meningkatkan

risiko pembentukan aterosklerosis (McPhee & Ganong, 2010).

Komplikasi mikrovaskular terjadi baik akibat aterosklerosis maupun

hiperglikemia. Aterosklerosis yang terjadi pada makrovaskular berdampak pada

vaskularisasi organ-organ tubuh termasuk jantung, otak, dan ekstremitas bawah.

Di lain pihak, hiperglikemia menyebabkan peningkatan transportasi glukosa ke

intrasel endotel. Endotel merupakan salah satu sel yang tidak dapat menurunkan

atau menekan respon terhadap stimulus transportasi glukosa ke intrasel sehingga

menyebabkan hiperglikemia intraseluler. Hiperglikemia intraseluler endotel

berdampak pada penurunan aktivitas vasodilator dan peningkatan aktivitas faktor-

faktor vasokonstriksi yang menyebabkan abnormalitas aliran darah dan

Page 6: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Diabetes Mellitus … II.pdf · 11 BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pada bab ini akan membahas hal-hal mengenai konsep DM, neuropati sensori pada DM tipe

16

peningkatan tekanan intrakapiler yang pada akhirnya menyebabkan peningkatan

permeabilitas pembuluh darah. Hilangnya endotel pada mikrovaskuler baik akibat

siklus sel (apoptosis) maupun kondisi di atas (nekrosis) kemudian menginduksi

produksi matriks ekstraseluler berlebih oleh faktor-faktor pertumbuhan seperti

Transforming Growth Factor-β (TGF-β) serta pengendapan protein plasma yang

bocor menyebabkan oklusi pembuluh darah. Hiperglikemia juga menurunkan

faktor-faktor tropik seperti neurotropik yang berperan dalam regenerasi sel.

Seluruh kondisi di atas mengarah pada edema, iskemia, dan hipoksia-diinduksi

neurovaskularisasi pada retina; glumerulosklerosis pada ginjal; dan degenerasi

aksonal multifokal pada saraf perifer (Hofmann & Brownlee, 2004).

2.1.5 Penatalaksanaan

Berdasarkan American Association of Clinical Endocrinologists (AACE)

(2015), prinsip algoritma penatalaksanaan DM tipe 2 terdiri dari optimalisasi gaya

hidup dengan tidak mengesampingkan terapi farmakologis, kontrol glikemia,

kontrol berat badan, penatalaksanaan hipoglikemia, serta pentingnya

mempertimbangkan terapi yang akan diberikan dengan kondisi pasien. Gaya

hidup dan kontrol berat badan berperan penting dalam kontrol glikemia, namun

diabetesi perlu membatasi penurunan berat badan berhubungan dengan risiko

mengalami hipoglikemia. Bentuk gaya hidup dan kontrol berat badan yang

mendukung kontrol glikemia adalah diet dan latihan fisik.

Page 7: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Diabetes Mellitus … II.pdf · 11 BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pada bab ini akan membahas hal-hal mengenai konsep DM, neuropati sensori pada DM tipe

17

2.1.6 Konsep Neuropati Perifer Sensori (NPS) pada DM Tipe 2

Pada subbab ini akan membahas hal-hal mengenai konsep NPS pada DM

tipe 2 yang meliputi definisi, etiologi, faktor-faktor risiko, patofisiologi, gejala,

penatalaksanaan, komplikasi, dan penilaian NPS.

a. Definisi

Neuropati perifer sensori adalah gangguan pada saraf perifer yang terjadi

pada sensori (The Neuropathy Association, 2014). Berdasarkan International

Consensus Meeting, disepakati bahwa batasan definisi dari neuropati perifer pada

diabetisi adalah “adanya gejala dan/atau tanda disfungsi saraf perifer pada orang

dengan diabetes setelah mengeksklusi penyebab lainnya” (Boulton, 2005).

Neuropati perifer pada DM tipe 2 dapat mengenai saraf sensori, motorik, dan/atau

otonom. Neuropati perifer dapat mengenai ketiga saraf tersebut atau hanya satu

atau dua saraf (NINDS, 2014; Quan, 2014).

Neuropati perifer sensori disebabkan oleh kerusakan pada akson

(degenerasi aksonal), kerusakan pada selubung mielin (demielinasi), atau

kombinasi keduanya yang terjadi pada saraf sensori. Gangguan pada saraf sensori

ini menyebabkan pasien mengalami penurunan sensasi sentuhan, nyeri, atau

perubahan suhu atau sebaliknya merasakan sensasi nyeri secara berlebihan pada

stimulus yang normalnya tidak mencetuskan nyeri (alodinia) (NINDS, 2014).

Neuropati perifer sensori pada DM tipe 2 juga disebut sebagai

polineuropati distal simetris yang biasanya bermanifestasi sebagai penurunan

sensasi sensori simetris di ekstremitas distal (distribusi kaus kaki/stocking) yang

didahului oleh kesemutan, baal, dan parestesia. Gangguan saraf sensori ini

Page 8: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Diabetes Mellitus … II.pdf · 11 BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pada bab ini akan membahas hal-hal mengenai konsep DM, neuropati sensori pada DM tipe

18

kemudian meluas ke proksimal dan salah satunya mengenai tangan (distribusi

sarung tangan) (McPhee & Ganong, 2010: 583).

b. Etiologi

Sebagian besar NPS disebabkan oleh DM, namun menurut Rochester

Diabetic Neuropathy Study, 10% NPS pada diabetesi berpeluang disebabkan oleh

penyebab nondiabetik (Boulton, 2005). Etiologi neuropati perifer secara umum

terbagi menjadi beberapa kategori patofisiologi. Kategori tersebut meliputi:

gangguan endokrin, toksin, nutrisi, dan gangguan metabolisme (Donofrio, 2012).

Tabel 2.1 Etiologi lain neuropati perifer

Gangguan Penyebab

Endokrin Hipotiroidisme, hipertiroidisme

Toksin Penyalahgunaan alkohol

Zat toksin: industry, terapi, medikasi, agen antiretroviral, agen kemoterapi,

keracunan logam berat, toksisitas mineral Zinc (Zn)

Nutrisi Defisiensi vitamin B1, B2, B12, asam folat, pasca pembedahan bypass

lambung, dan asupan vitamin piridoksin berlebih

Metabolisme Uremia, penyakit hati, porpiria

Sarkoidosis granuloma

Penyakit jaringan ikat: systemic lupus erythematosus (SLE), artritis

rheumatoid, polyarteritis nodosa, dan scleroderma

Vaskulitis

Amiloidosis: sekunder dan turun-temurun

Genetik: penyakit Charcot-Marie-Tooth dan neuropati turunan lainnya

Penyakit peradangan: sindroma Guillain-Barre, chronic inflammatory

demyelination polyneuropathy (CIDP), diskrasia sel plasma, infeksi HIV,

penyakit lyme, dan kusta

Sindrom paraneoplastik: karsinoma, limfoma, dan leukemia

Sumber: Donofrio, 2012

c. Faktor risiko

Terdapat beberapa faktor yang meningkatkan risiko diabetesi mengalami

neuropati. Faktor-faktor yang berkontribusi besar dalam peningkatan risiko

berkembangnya NPS pada diabetesi mencakup rendahnya kontrol glikemia,

merokok, asupan alkohol yang tinggi, orang dengan DM tipe 2 yang belum

Page 9: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Diabetes Mellitus … II.pdf · 11 BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pada bab ini akan membahas hal-hal mengenai konsep DM, neuropati sensori pada DM tipe

19

terdiagnosis, status sosial ekonomi yang rendah, dan gagal ginjal (Cornblath,

2004). Faktor risiko yang dapat dimodifikasi mencakup kadar trigliserida dan

indeks massa tubuh yang tinggi, serta hipertensi (Gregory, 2008). Beberapa

penelitian menunjukkan bahwa usia, tinggi badan, etnis, mikroalbuminuria, dan

hipoalbuminuria meningkatkan risiko diabetesi mengalami neuropati namun

masih perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai validitas faktor-faktor ini

(Tapp & Shaw, 2009).

Salah satu faktor risiko terbesar diabetesi mengalami neuropati adalah

lamanya seseorang menderita DM. Berdasarkan dua penelitian dengan

menggunakan uji konduksi saraf, neuropati ditemukan pada 10%-18% diabetesi

saat diagnosis DM ditegakkan (Lehtinen et al. & Cohen et al. dalam Zilliox &

Russell, 2011). Prevalensi NPS pada diabetesi dengan durasi > 6 bulan mendekati

empat kali lipat lebih tinggi dibandingkan dengan durasi ≤ 6 bulan (Bansal et al.,

2014). Selain itu, berdasarkan penelitian pada 60 diabetesi yang terbagi menjadi

kelompok durasi DM < 5 tahun, 5-10 tahun, dan >10 tahun, didapatkan bahwa

insiden NPS meningkat masing-masing dua kali lipat pada setiap kelompok (Inceu

& Veresiu, 2014) . Hal ini menunjukkan bahwa risiko mengalami NPS meningkat

sejajar dengan durasi seseorang menderita DM. Hal ini berhubungan dengan

lamanya tubuh terpapar dengan kondisi hiperglikemia.

Beberapa penelitian menunjukkan adanya hubungan antara durasi

seseorang terpapar hiperglikemia dengan derajat neuropati (Dyck, Kratz, Karnes,

et al. dalam Tracy & Dyck, 2008:2; NDIC, 2013). Berdasarkan penelitian-

penelitian tersebut, semakin lama seseorang terpapar dengan kondisi

Page 10: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Diabetes Mellitus … II.pdf · 11 BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pada bab ini akan membahas hal-hal mengenai konsep DM, neuropati sensori pada DM tipe

20

hiperglikemia, semakin tinggi risiko mengalami NPS. Kondisi hiperglikemia

berkelanjutan juga akan menyebabkan peningkatan derajat NPS.

Usia merupakan salah satu faktor risiko seseorang mengalami NPS dan

tidak dapat dimodifikasi. Berdasarkan beberapa penelitian, terdapat peningkatan

persentase tanda-tanda gangguan saraf yang mengarah pada neuropati seiring

dengan peningkatan usia seseorang. Hal ini berhubungan dengan proses penuaan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa setelah usia 70 tahun terjadi penurunan

signifikan pada refleks lutut enam kali dibandingkan ketika berusia 50 tahun ke

atas (Dyck et al. dalam Mohamed & Freimer, 2006: 889). Selain itu, amplitudo

potensial aksi saraf sensori menurun 50% pada usia 70 tahun ke atas dibandingkan

ketika berusia 20 tahun (Buchtal et al. dalam Mohamed & Freimer, 2006: 889).

Kondisi ini berhubungan dengan berbagai kausa termasuk trauma atau iskemia

saraf perifer dan perubahan struktur mielin, akson, atau reseptor perifer

(Mohamed & Freimer, 2006:889).

Jenis kelamin sebagai faktor risiko yang dapat mempengaruhi diabetesi

mengalami NPS masih kontroversi. Pengaruh signifikan jenis kelamin terhadap

perkembangan NPS masih belum dapat dipastikan (Al-Shamma, Khudhair, & Al-

Aridie, 2011). Selain itu, jenis kelamin dengan risiko lebih tinggi terhadap

perkembangan NPS juga belum dapat dipastikan (Wheeler, Singh, & Boyko,

2007; Herrera-Rangel et.al, 2014; Katulanda et.al, 2012).

Konsumsi alkohol berlebih dan berkepanjangan juga meningkatkan risiko

mengalami NPS. Gejala NPS pada alkoholik timbul setelah konsumsi alkohol

minimal 100 mL per hari selama tidak kurang dari 3 tahun (Behse & Buchthal

Page 11: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Diabetes Mellitus … II.pdf · 11 BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pada bab ini akan membahas hal-hal mengenai konsep DM, neuropati sensori pada DM tipe

21

dalam Maiya & Messing, 2014: 513). Hal ini disebabkan oleh kerusakan neuron

langsung oleh toksin alkohol maupun kecenderungan malnutrisi (terutama

thiamin) pada alkoholik kronis (Chopra & Tiwari, 2012; Ramachandran, 2015).

Kebiasaan lain yang juga meningkatkan risiko diabetesi mengalami NPS

adalah merokok (Cornblath, 2004; CDC, 2010). Jumlah waktu dan konsumsi

rokok mempengaruhi kecepatan seseorang mengalami NPS. Berdasarkan hasil

penelitian oleh Garg, Loyal, dan Biswas (2014) pada pasien dengan COPD,

derajat penurunan kecepatan konduksi saraf pada ekstremitas atas sebanding

dengan peningkatan jumlah total konsumsi rokok dan lamanya seseorang

memiliki riwayat kebiasaan merokok. Selain itu, merokok juga memperburuk

gejala NPS akibat konstriksi pembuluh darah yang menyebabkan penurunan

transportasi nutrisi, oksigen, dan metabolit ke dan dari neuron (NINDS, 2015).

d. Patofisiologi

NPS pada DM tipe 2 dapat berawal dari kondisi hiperglikemia maupun

resistensi insulin. Pada beberapa penelitian dengan uji toleransi glukosa yang

dilakukan pada pasien dengan neuropati idiopatik, ditemukan sebagian neuropati

idiopatik dengan manifestasi neuropati ringan hingga sedang dialami oleh pasien

dengan intoleransi glukosa (prediabetes) atau mengalami paparan hiperglikemia

dalam waktu singkat dan DM (Tracy & Dyck, 2012). Hiperglikemia dan resistensi

insulin berperan dalam produksi bahan-bahan aterogenik yang mempengaruhi

vaskularisasi sel-sel saraf baik secara langsung maupun tidak langsung (Hofmann

& Brownlee, 2004; Kahn, 2005).

Page 12: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Diabetes Mellitus … II.pdf · 11 BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pada bab ini akan membahas hal-hal mengenai konsep DM, neuropati sensori pada DM tipe

22

Sel saraf termasuk salah satu jenis sel khusus yang tidak memerlukan

insulin dalam transportasi glukosa ke intrasel. Pada kondisi hiperglikemia terjadi

peningkatan produk-produk glikasi (advanced glycosylated end product, AGEs)

plasma dan intrasel neuron serta memicu aktivasi alur poliol intrasel neuron. AGE

berperan dalam induksi stres oksidatif dan demielinasi. Alur poliol merubah

glukosa menjadi poliol, salah satunya sorbitol, segera setelah di dalam sel. Poliol

tidak dapat dengan bebas berdifusi ke luar sel sehingga terjadi penumpukan poliol.

Akumulasi poliol ini menimbulkan gradient osmotik yang menyebabkan difusi

natrium dan air berlebih ke intrasel (Head, 2006).

Berdasarkan beberapa studi ditemukan bahwa pada sel-sel saraf diabetesi

terjadi peningkatan kadar glukosa, fruktosa, dan sorbitol endoneurial serta

terdapat hubungan terbalik antara kadar sorbitol dan selubung mielin. Akumulasi

sorbitol dan fruktosa juga telah terbukti menurunkan aktivitas (Na+/K

+)-ATPase

yang berperan dalam mempertahankan kadar ion Na dan K intrasel dan ekstrasel

serta berperan dalam eksitasi sel saraf. Selain melalui mekanisme sorbitol dan

fruktosa, penurunan aktivitas (Na+/K

+)-ATPase juga disebabkan oleh penurunan

rangsangan NO akibat produksi radikal superoksida endotelial berlebih pada

kondisi hiperglikemia (Kahn, 2005; Head, 2006; Tracy & Dyck, 2012). Stres

oksidatif yang menyebabkan gangguan fungsi saraf juga disebabkan oleh

penurunan regenerasi glutathione akibat konsumsi NADPH (Nicotinamide

Adenine Dinucleotide Phosphate) dalam alur poliol (Hofmann & Brownlee, 2004;

Kahn, 2005).

Page 13: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Diabetes Mellitus … II.pdf · 11 BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pada bab ini akan membahas hal-hal mengenai konsep DM, neuropati sensori pada DM tipe

23

Dalam alur poliol, fruktosa dihasilkan sebagai produk sampingan oleh

enzim sorbitol dehidrogenase. Peningkatan kadar fruktosa menyebabkan

peningkatan ketersediaan prekursor AGEs. Pada gilirannya, AGEs akan

menyebabkan penurunan glutathione serta peningkatan nuclear factor kappa B

dan tumor necrosis factor α (TNF-α) yang menyebabkan kerusakan sel saraf oleh

stres oksidatif dan sitokin proinflamatori. Selain itu, pada sel-sel saraf diabetesi

ditemukan marked AGEs immunoreactivity serta peningkatan ketebalan

perineurial, penyempitan lumen pembuluh darah mikro, dan penurunan akson

dalam kondisi fungsional. AGEs menyebabkan kerusakan mikrovaskular yang

mengarah pada iskemia serta berdampak langsung pada enzim-enzim intraselular

dan transportasi aksonal (Tracy & Dyck, 2012).

e. Gejala

Gejala merupakan bukti atau indikasi subjektif dari penyakit atau kondisi

pasien yang dipersepsikan oleh pasien sendiri. Gejala NPS dapat diabaikan oleh

diabetesi karena kerusakan sebagian besar saraf terjadi setelah beberapa tahun.

Gejala berkembang seiring dengan durasi seseorang telah menderita DM dan usia

diabetesi.

Gejala NPS dapat dikeluhkan terjadi pada jari-jari kaki, kaki, tungkai kaki,

tangan, telapak tangan, dan/atau jari-jari tangan dan meliputi penurunan sensasi

terhadap perubahan suhu dan nyeri; kesemutan; perasaan geli, terbakar, atau

nyeri; nyeri yang tajam; keram; alodinia; dan/atau kehilangan keseimbangan dan

keseimbangan (NDIC, 2013; Said, 2015). Neuropati diabetik yang melibatkan

serat saraf besar (large fiber) menyebabkan gangguan proprioseptif dan sentuhan

Page 14: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Diabetes Mellitus … II.pdf · 11 BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pada bab ini akan membahas hal-hal mengenai konsep DM, neuropati sensori pada DM tipe

24

ringan, sedangkan neuropati diabetik yang hanya melibatkan serat saraf kecil

menyebabkan gangguan pada persepsi nyeri dan suhu yang mengarah pada

parestesia, disestesia, dan/atau nyeri neuropati (Edwards, Vincent, Cheng, &

Feldman, 2008).

f. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan NPS akibat kondisi DM terutama adalah kontrol glikemia,

penanganan gejala (manajemen nyeri dan/atau gastroparesis), serta perawatan

kaki (Quan, 2014).

1) Kontrol glikemia

Secara umum, pasien dengan kontrol glikemia ketat menunjukkan lebih

sedikit tanda dan gejala komplikasi neuropati diabetik. Berdasarkan beberapa

penelitian, kontrol glikemia ketat dengan terapi insulin yang agresif

mengurangi risiko berkembangnya neuropati. Pada penelitian Diabetes

Control and Complications Trial (DCCT) yang meneliti perbedaan kejadian

neuropati pada kelompok kontrol dan perlakuan yang diberikan terapi insulin

intensif dengan insulin pump atau injeksi insulin harian tiga kali atau lebih,

didapatkan bahwa kelompok kontrol mengalami neuropati hampir tiga kali

lebih tinggi dibandingkan kelompok perlakuan dan risiko mengalami

neuropati menurun 64% pada kelompok perlakuan setelah 5 tahun (Pasnoor,

Dimachkie, Kluding, & Barohn, 2013). Selain insulin, metformin (metformin

hidroklorida) merupakan antidiabetik oral untuk mengontrol glikemia.

Page 15: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Diabetes Mellitus … II.pdf · 11 BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pada bab ini akan membahas hal-hal mengenai konsep DM, neuropati sensori pada DM tipe

25

2) Penatalaksanaan gejala

Terapi farmakologi umumnya digunakan untuk mengatasi atau mengontrol

gejala. Antidepresan tricyclic, carbamazepine, gabapentin, mexiletene,

pregabalin dan cymbalta merupakan beberapa medikasi yang umumnya

digunakan untuk mengontrol nyeri neuropati diabetik. Venlafaxine, duloxetine,

amitriptyline, valproate, opioid (morphine sulfate, tramadol, dan oxycodone

dengan pelepasan terkontrol), serta capsaicin dapat dipertimbangkan untuk

penatalaksanaan nyeri neuropati diabetik. Namun masih sedikit penelitian

yang memberikan informasi memadai mengenai pengaruh terapi farmakalogi

di atas terhadap fungsi dan kualitas hidup serta berbagai efek samping yang

ditimbulkan sehingga penggunaan terapi farmakologi masih terbatas (Head,

2006; Pasnoor, Dimachkie, Kluding, & Barohn, 2013).

3) Perawatan kaki

Perawatan kaki meliputi follow-up teratur, pemberian pendidikan kesehatan

(penkes) kepada pasien, dan latihan fisik (Quan, 2014). Follow-up teratur

membantu pasien dan tim kesehatan mendeteksi dini potensi pasien

mengalami neuropati diabetik dan mengevaluasi efektivitas terapi yang sedang

diberikan. Pemberian penkes kepada pasien dapat mencakup pengertian

neuropati diabetik, faktor-faktor yang meningkatkan risiko terjadinya

neuropati, penjelasan ringkas proses terjadinya neuropati pada kondisi DM,

komplikasi yang dapat terjadi, tanda dan gejala, serta tindakan pencegahan

yang dapat dilakukan (Tidy, 2014).

Page 16: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Diabetes Mellitus … II.pdf · 11 BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pada bab ini akan membahas hal-hal mengenai konsep DM, neuropati sensori pada DM tipe

26

Latihan fisik merupakan salah satu tindakan pencegahan yang dapat dilakukan.

Latihan fisik telah terbukti dapat mempengaruhi kesehatan seseorang secara

holistik. Latihan fisik mempertahankan dan meningkatkan fungsi fisiologis

tubuh, membantu koping stres, memberikan pengaruh positif terhadap depresi

dan aspek sosial seseorang.

Latihan fisik memberikan pengaruh jangka pendek dan jangka panjang

terhadap kondisi DM. Pengaruh jangka pendek meliputi peningkatan

penggunaan glukosa oleh otot yang diseimbangkan oleh glikolisis hati,

menurunkan kadar glukosa darah puasa, dan memperbaiki kerja insulin yang

bertahan selama dua hingga 72 jam. Sedangkan pengaruh jangka panjang

meliputi perbaikan kontrol glikemia, kerja insulin, serta oksidasi dan

penyimpanan lemak pada otot; meningkatkan massa otot rangka; menurunkan

kadar LDL, kolesterol, tekanan darah sistolik, dan risiko mengalami penyakit

kardiovaskular; serta menurunkan gejala depresi dan meningkatkan kualitas

hidup (Colberg et al., 2010).

Berbagai penelitian sedang dilakukan untuk mengetahui lebih lanjut pengaruh

latihan fisik sebagai terapi modalitas pada neuropati diabetik. Berdasarkan

sebuah studi pendahuluan pada 17 pasien tanpa kontrol dengan latihan fisik

selama 10 minggu, didapatkan bahwa terdapat perbaikan nyeri dan gejala

neuropati serta percabangan serat saraf kutan pada biopsi kulit proksimal.

Latihan fisik juga terbukti mengurangi keram, memperbaiki kekuatan otot,

dan mencegah atrofi otot pada neuropati diabetik motorik (Pasnoor,

Dimachkie, Kluding, & Barohn, 2013; NINDS 2014).

Page 17: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Diabetes Mellitus … II.pdf · 11 BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pada bab ini akan membahas hal-hal mengenai konsep DM, neuropati sensori pada DM tipe

27

g. Komplikasi

Komplikasi NPS yang ditakuti adalah ulkus kaki dan artropati neuropati.

Ulkus kaki dapat terjadi pada pasien dengan neuropati pada serabut saraf besar

maupun kecil. Ulkus kaki disebabkan oleh penurunan kemampuan diabetesi

merasakan sensasi nyeri, gangguan proprioseptif, atrofi otot-otot kaki,

maldistribusi beban, gangguan sekresi keringat, gangguan vaskularisasi (iskemia

pada makro dan mikrovaskular) akibat neuropati otonom, dan edema

noninflamatorik. Ulkus kaki umumnya terjadi pada bagian metatarsal. Sedangkan

artropti neuropati (sendi Charcot atau osteoartropati diabetik) lebih jarang terjadi.

Komplikasi ini merupakan kombinasi gangguan sensasi nyeri, proprioseptif, dan

neuropati otonom dan terjadi dimulai dari sendi metatarsophalangeal dan

metatarsal-tarsal. Selain itu, trauma dan pembedahan pada kaki dapat menjadi

faktor presipitasi terjadinya neuropati artropati (Kahn, 2005; Said, 2015).

h. Penilaian

The San Antonio Conference on Diabetic Neuropathy (1998)

merekomendasikan minimal salah satu dari lima alat ukur untuk mengklasifikasi

neuropati diabetik, yaitu gejala klinis, pemeriksaan klinis, studi eketrodiagnostik

(electrodiagnostic study, EDX), pemeriksaan sensori kuantitatif (quantitative

sensory testing, QST), dan pemeriksaan fungsi otonom (autonomic function

testing, AFT) (Cornblath, 2004; ADA, 2014). Pemeriksaan klinis dirancang untuk

mengetahui hilangnya sensasi protektif (loss of protective sensation, LOPS) yang

diperlukan sebagai upaya pencegahan sekunder terhadap ulkus kaki. Beberapa

metode yang umumnya digunakan dalam pemeriksaan klinis meliputi

Page 18: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Diabetes Mellitus … II.pdf · 11 BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pada bab ini akan membahas hal-hal mengenai konsep DM, neuropati sensori pada DM tipe

28

pemeriksaan refleks, pemeriksaan nyeri superfisial, persepsi sentuhan ringan,

pemeriksaan vibrasi, respon kulit simpatetik, studi konduksi saraf, dan QST

(Cornblath, 2004; Boulton et al., 2008).

1) Pemeriksaan refleks

Pemeriksaan refleks yang umumnya dilakukan untuk mengkaji neuropati

diabetik adalah refleks lutut yang dilakukan pada kedua kaki. Pemeriksaan

dilakukan ketika pasien duduk atau berlutut, pemeriksa memposisikan kaki

dorsofleksi dan dengan lembut memukul tendon Achilles menggunakan

refleks hammer (Cornblath, 2004). Namun probabilitas terjadinya ulkus kaki

kurang dapat diprediksi dari hasil pemeriksaan menggunakan metode ini

(Cornblath, 2004; Aring, Jones, & Falko, 2005; Said, 2007; Swenson, 2008).

2) Pemeriksaan nyeri superfisial

Pemeriksaan nyeri superfisial dilakukan dengan jarum steril. Pemeriksaan

dilakukan pada dorsal ibu jari kaki atau bagian plantar dari distal ibu jari, jari

tengah dan kelingking masing-masing kaki. Umumnya rangsangan diberikan

satu kali dan pasien diminta untuk mengidentifikasi adanya rangsangan dan

karakteristik rangsangan (tajam atau tumpul). Namun hasil pemeriksaan

dengan alat ukur ini memiliki subjektivitas yang tinggi dan tingkat

reprodusibilitas yang rendah (Cornblath, 2004; Barker, 2006)

3) Quantitative sensory testing (QST)

QST merupakan alat ukur yang mengkaji integritas akson dalam sistem saraf

perifer serta reseptor-reseptor distalnya. Pengkajian dengan QST membantu

membedakan adanya penurunan relatif pada fungsi akson serabut saraf kecil

Page 19: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Diabetes Mellitus … II.pdf · 11 BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pada bab ini akan membahas hal-hal mengenai konsep DM, neuropati sensori pada DM tipe

29

atau besar serta membedakan neuropati perifer dengan mononeuropati. QST

dilakukan dengan dua jenis alat yaitu alat yang memberikan rangsangan getar

atau termal spesifik serta alat yang memberikan rangsangan berupa impuls

listrik dengan frekuensi tertentu (Cornblath, 2004).

Subcommittee on Therapeutics and Technology Assessment of the American

Academy of Neurology menyatakan bahwa QST merupakan alat ukur yang

efektif untuk mendeteksi abnormalitas pada pasien dengan neuropati diabetik.

Namun belum terdapat bukti prospektif bahwa abnormalitas ini akan

berkembang menjadi neuropati klinis (Shy et al., 2003).

4) Uji vibrasi

Uji vibrasi dilakukan untuk mengevaluasi fungsi saraf. Alat ukur yang

umumnya digunakan adalah garpu tala 128 Hz. Ketidakmampuan merasakan

rangsangan vibrasi pada ibu jari kaki secara signifikan berhubungan dengan

perkembangan ulkus kaki. Berdasarkan penelitian prospektif dengan 2022

diabetesi, didapatkan graduated tuning fork memiliki sensitivitas dan nilai

prediktif positif yang tinggi dalam mendiagnosis neuropati simptomatik.

Namun dalam analisis 3 cohort sudy dengan total sampel sebanyak 787

sampel, ditemukan bahwa uji vibrasi menggunakan garpu tala meningkatkan

taksiran (overestimate) sensasi vibrasi dibandingkan QST. Perbedaan ini

berhubungan dengan usia, tinggi, dan luas permukaan tubuh yang perlu

dipertimbangkan dalam menetapkan hasil. Faktor-faktor tersebut

menyebabkan uji vibrasi dengan garpu tala memiliki tingkat subjektivitas

yang tinggi dan reprodusibilitas yang rendah (Cornblath, 2004).

Page 20: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Diabetes Mellitus … II.pdf · 11 BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pada bab ini akan membahas hal-hal mengenai konsep DM, neuropati sensori pada DM tipe

30

5) Respon kulit simpatetik

Respon kulit simpatetik merupakan refleks sebagai respon terhadap perubahan

potensial listrik pada kulit. Refleks ini bersifat sementara dan dapat dihasilkan

oleh berbagai rangsangan. Pengukuran respon ini memerlukan peralatan

khusus yang jarang terdapat pada sebagian besar pelayanan kesehatan

(Cornblath, 2004).

6) Studi konduksi saraf

Studi konduksi saraf merupakan alat ukur yang sering digunakan untuk

mengkaji keberadaan dan derajat keparahan gangguan saraf perifer pada

diabetesi. Alat ukur ini sensitif, spesifik, reprodusibel, dan mudah

distandarisasi. Pemeriksaan dapat dilakukan dengan menempelkan elektroda

pada permukaan kulit atau dengan elektroda jarum. Pemeriksaan dengan

elektroda pada permukaan kulit lebih mudah dan nyaman dilakukan serta hasil

lebih mudah diukur sehingga lebih umum digunakan.

Abnormalitas hasil elektrodiagnostik menandakan perubahan metabolik yang

tidak berhubungan dengan manifestasi gejala dan sebaliknya tanda dan gejala

tidak secara langsung berhubungan dengan perubahan elektrodiagnostik.

Akibat hal tersebut, studi konduksi saraf tidak selalu berhubungan dengan

tanda dan gejala neuropati diabetik (Cornblath, 2004).

7) Persepsi sentuhan ringan

Persepsi sentuhan ringan dapat dievaluasi menggunakan tangan, kapas, atau

alat yang secara spesifik telah dikalibrasi. Alat terkalibrasi yang umumnya

digunakan adalah Semmes-Weinstein monofilament 10 g (SWM 10g) yang

Page 21: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Diabetes Mellitus … II.pdf · 11 BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pada bab ini akan membahas hal-hal mengenai konsep DM, neuropati sensori pada DM tipe

31

terdiri dari sebuah filamen nilon yang terkait dengan sebuah pegangan plastik.

Reliabilitas dan validitas penggunaan SWM 10g dalam mendeteksi NPS dan

potensi perkembangan ulkus telah teruji (Shaffer, Harrison, Brown, &

Brennan, 2005; Dros, Wewerinke, Bindels, & Weert, 2009). Berdasarkan dua

studi awal pada pasien dengan DM dan Hansen’s disease, rangsangan dengan

SWM 10 g tidak dapat dirasakan oleh seluruh pasien dengan neuropati

(Cornblath, 2004). Alat ukur ini murah, mudah dibawa dan digunakan, serta

nilai prediktif negatif (negative predictive value, NPV) yang tinggi. Semakin

tinggi NPV suatu alat ukur menandakan bahwa alat ukur tersebut semakin

mendekati gold standard dari suatu penyakit (Parikh, Mathai, Parikh, Sekhar,

& Thomas, 2008). Penggunaan berulang monofilament ini akan mengurangi

keakuratannya. Setelah 10 kali penggunaan dalam sekali pemakaian,

monofilament membutuhkan waktu “pemulihan” selama 24 jam sebelum

digunakan kembali. Namun perbedaan bahan dasar dan faktor-faktor

lingkungan juga dapat merubah karakteristik monofilament (Lavery &

Armstrong, 2012).

Terdapat beberapa jenis SWM dan SWM 10 g merupakan monofilamen

dengan gauge sebesar 5,07. Angka 5.07 merupakan nilai turunan dari

logaritma aplikasi gaya dalam miligram. Monofilamen 5.07 memberikan gaya

tekuk sebesar 10g. Nilai gaya ini merupakan besarnya gaya yang dirasakan

oleh pasien saat pemeriksaan (Feng, Schlӧsser, & Sumpio, 2009).

Tahap-tahap pelaksanaan pemeriksaan klinis menggunakan SWM 10g

terdapat pada disajikan pada Lampiran 7. Berdasarkan tinjauan sistematis oleh

Page 22: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Diabetes Mellitus … II.pdf · 11 BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pada bab ini akan membahas hal-hal mengenai konsep DM, neuropati sensori pada DM tipe

32

Feng, Schlӧsser, & Sumpio (2009) pada 30 artikel penelitian, sensitivitas

skrining NPS dengan SWM 10g berbanding lurus dengan banyaknya daerah

uji. Namun pengujian pada tiga daerah uji (bagian plantar dari ibu jari, jari

tengah, dan kelingking) memiliki sensitivitas yang sebanding dengan menguji

pada delapan hingga sepuluh daerah uji pada masing-masing kaki. Hasil

tinjauan sistematis ini juga merekomendasikan NPS sebaiknya ditegakkan jika

hasil pemeriksaan negatif pada minimal satu daerah uji. Hal ini

mempertimbangkan bahwa SWM 10g menilai integritas serabut saraf besar

sehingga hasil negatif pada daerah uji harus dinilai sebagai daerah dengan

risiko NPS.

Clinical Practice Guidelines of the Canadian Diabetes Association

merekomendasikan skrining neuropati tahunan menggunakan SWM 10 g atau

garpu tala 128 Hz. Pada pasien dengan DM tipe 2, skrining sebaiknya dimulai saat

diagnosis ditegakkan dan diulangi setiap tahun, sedangkan pada DM tipe 1,

skrining sebaiknya dilakukan setelah 5 tahun pada durasi penyakit dan diabetesi

telah melewati masa pubertas (Bril, Perkins, & Toth, 2013; Fowler, 2008: 81).

Berdasarkan rekomendasi ADA, diabetesi sebaiknya melakukan

pemeriksaan kaki tahunan untuk mengidentifikasi kondisi berisiko tinggi.

Pengkajian mencakup evaluasi status vaskular, integritas kulit, mekanisme

pelindung, serta struktur dan biomekanika kaki. Evaluasi pada kaki berisiko

rendah sebaiknya mencakup uji ambang somatosensori kuantitatif menggunakan

SWM 10-g. Individu dengan satu atau lebih kondisi kaki berisiko tinggi sebaiknya

Page 23: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Diabetes Mellitus … II.pdf · 11 BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pada bab ini akan membahas hal-hal mengenai konsep DM, neuropati sensori pada DM tipe

33

dievaluasi lebih teratur. Individu dengan neuropati sebaiknya dilakukan inspeksi

kaki setiap kali kunjungan (Armstrong, 2004; ADA, 2015).

Tabel konversi diperlukan untuk menentukan peringkat atau kategori dari skor

NPS. Penentuan tabel konversi dilakukan dengan perhitungan Mi (Mean ideal)

dan SDi (Standar Deviasi ideal).

Mi = ½ x (skor minimal ideal + skor minimal ideal)

SDi = 1/6 x (skor maksimal ideal – skor minimal ideal)

Gambar 2.1 Rumus Perhitungan Menentukan Peringkat atau Kategori (Koyan,

2007 dalam Widastra, 2010)

Berdasarkan perhitungan tersebut, didapatkan konversi klasifikasi skor negatif

atau (-) sebagai berikut:

- Skor (-) 0 termasuk kategori baik

- Skor (-) 1-2 termasuk kategori NPS ringan

- Skor (-) 3-5 termasuk kategori NPS sedang

- Skor (-) 6-8 termasuk kategori NPS berat

2.2 Senam Kaki Diabetes

Pada subbab ini akan membahas hal-hal mengenai konsep senam kaki diabetes

yang meliputi pengertian, pengaruh senam kaki diabetes terhadap fisiologis tubuh,

kontraindikasi, serta prosedur pelaksanan senam kaki diabetes.

Page 24: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Diabetes Mellitus … II.pdf · 11 BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pada bab ini akan membahas hal-hal mengenai konsep DM, neuropati sensori pada DM tipe

34

2.2.1 Pengertian Senam Kaki Diabetes

Senam merupakan serangkaian latihan fisik yang tersusun dengan

sistematis, melibatkan gerakan-gerakan terpilih, dan terencana untuk

mempertahankan dan meningkatkan daya tahan, kekuatan, kelenturan, dan

koordinasi gerak tubuh (Muhajir, 2007). Berdasarkan pengertian tersebut, senam

termasuk olahraga isotonik aerobik yang menyebabkan kontraksi isotonik. Dalam

kontraksi isotonik, otot berkontraksi dan panjang otot berubah (Potter & Perry,

2009).

Latihan fisik merupakan salah satu penatalaksanaan NPS yang dapat

dilakukan diabetesi. Latihan fisik merupakan salah satu bentuk pencegahan primer

dan sekunder bagi diabetesi dengan NPS. Pencegahan primer merupakan tindakan

untuk menurunkan timbulnya penyakit dengan cara menghilangkan penyebab

penyakit atau mencegah kerusakan yang dapat ditimbulkannya. Pencegahan

sekunder merupakan tindakan deteksi dan koreksi awal terhadap efek penyakit

sebelum bermanifestasi menjadi gejala dan tanda klinis (Jeyaratnam & Koh,

2009:351). Diabetesi dianjurkan untuk melakukan latihan fisik intensitas sedang

dengan total waktu 150 menit dalam seminggu (IDF, 2005; Colberg et al., 2010).

Senam kaki diabetes merupakan serangkaian gerakan kaki yang dilakukan

oleh diabetesi dan bertujuan untuk mempersiapkan dan memelihara kondisi kaki,

mempertahankan dan meningkatkan kebugaran dan kesehatan, serta dapat

berfungsi sebagai kegiatan terapeutik.

Page 25: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Diabetes Mellitus … II.pdf · 11 BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pada bab ini akan membahas hal-hal mengenai konsep DM, neuropati sensori pada DM tipe

35

2.2.2 Pengaruh Senam Kaki Diabetes Terhadap NPS

Senam kaki diabetes memberikan pengaruh positif terhadap neuropati

diabetik. Secara fisiologis, senam kaki diabetes menyebabkan peningkatan

penggunaan glukosa, mempertahankan fungsi dan struktur endotel, serta

meningkatkan aliran darah dari dan ke kaki. Hal ini membantu mempertahankan

homeostasis jaringan saraf sehingga mencegah terjadinya neuropati dan

menurunkan progresivitas neuropati pada diabetesi.

Gerakan-gerakan kaki pada senam kaki diabetes membantu meningkatkan

metabolisme otot kaki. Peningkatan metabolisme ini menyebabkan peningkatan

penggunaan glukosa yang membantu kontrol glikemia pada kaki dan

menyebabkan penurunan kadar bahan-bahan aterogenik, laju alur poliol, dan

kadar AGE. Selain itu, peningkatan penggunaan glukosa juga menurunkan kadar

pemaparan endotel oleh hiperglikemia sehingga membantu mempertahankan

aktivitas vasodilator dan vasokonstriksi endotel dan mencegah nekrosis sel-sel

endotel.

Kontraksi otot selama senam kaki diabetes juga menyebabkan peningkatan

aliran darah ke dan dari kaki. Kondisi ini dipicu oleh peningkatan metabolisme

saat otot berkontraksi (Guyton & Hall, 2007). Peningkatan metabolisme otot

menyebabkan peningkatan kebutuhan metabolisme. Kontraksi otot dan

peningkatan kebutuhan metabolisme memicu produksi nitrit oksida (NO) oleh sel

endotel dan miosit otot rangka. NO dalam jangka pendek memediasi vasodilatasi

untuk memenuhi kebutuhan metabolisme. Dalam jangka panjang, NO memicu

Page 26: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Diabetes Mellitus … II.pdf · 11 BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pada bab ini akan membahas hal-hal mengenai konsep DM, neuropati sensori pada DM tipe

36

perubahan struktur endotel melalui kaskade sinyal sebagai bentuk adaptasi

terhadap kontraksi dan metabolisme otot (Levine & Levine, 2013).

Kontraksi otot juga menyebabkan peningkatan tekanan darah. Kontraksi

otot memaksa lebih banyak darah melalui pembuluh darah. Gaya ini

menyebabkan vasokonstriksi sementara. Hal ini menyebabkan vasodilatasi arteriol,

penurunan tekanan vaskular, dan membantu aliran balik vena (Guyton & Hall,

2007). Aliran balik vena mentransportasi metabolit-metabolit sisa dari jaringan

pada kaki. Hal ini mempertahankan fungsi dan struktur jaringan pada kaki.

Kelebihan senam kaki diabetes adalah salah satu jenis latihan fisik yang

dapat dilakukan oleh diabetesi dengan ulkus kaki. Diabetesi dengan ulkus kaki

atau sedang dalam periode penyembuhan ulkus kaki tidak diperkenankan

melakukan latihan fisik yang menumpukan berat badan pada kaki (Kauffman,

Barr, & Moran, 2007:312; Bowker & Pfeifer, 2008:570). Senam kaki diabetes

merupakan jenis latihan fisik tanpa penumpuan berat badan pada kaki. Senam ini

dilakukan pada posisi duduk tegak dengan kaki menyentuh lantai.

2.2.3 Kontraindikasi Senam Kaki Diabetes

Kontraindikasi senam kaki diabetes bagi diabetesi menurut Kushariyadi &

Setyoadi (2011, hal. 119) berhubungan dengan kenyamanan dan keselamatan

pasien, yaitu sebagai berikut:

a. Pasien dengan masalah fisiologis yang menghambat dan mengganggu

pergerakan pasien seperti nyeri dan dispneu.

b. Pasien dengan masalah kejiwaan yang menghambat dan/atau mengganggu

fungsi kognitif pasien seperti cemas, gangguan panik, depresi, dan khawatir.

Page 27: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Diabetes Mellitus … II.pdf · 11 BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pada bab ini akan membahas hal-hal mengenai konsep DM, neuropati sensori pada DM tipe

37

2.2.4 Prosedur Pelaksanaan Senam Kaki Diabetes

Latihan fisik memiliki lima komponen utama yaitu frekuensi, durasi,

intensitas, jenis latihan fisik dan progresivitas (Skinner, 2005). Frekuensi latihan

fisik isotonik bagi diabetesi yang direkomendasikan adalah minimal tiga kali

seminggu dengan tidak ada dua hari berturut-turut tanpa latihan fisik. Durasi yang

direkomendasikan adalah total 150 menit selama seminggu dengan anjuran dibagi

dengan rata setiap harinya. Melakukan latihan fisik dapat dimulai selama 10 menit

dengan frekuensi tiga kali dan jeda waktu diantara pengulangan dalam satu hari

dan ditingkatkan sesuai toleransi pasien. Intensitas latihan fisik yang dianjurkan

adalah intensitas sedang (Skinner, 2005; NHS, 2011; CDA, 2014). Latihan fisik

intensitas sedang didefinisikan sebagai latihan fisik dengan intensitas dalam

kapasitas yang dapat dipertahankan seseorang dengan nyaman dalam waktu lama

dengan total waktu latihan dalam satu hari adalah minimal selama 45 menit

(Henriques, 2015).

Senam kaki diabetes merupakan salah satu jenis latihan fisik isotonik yang

dianjurkan sebagai latihan fisik bagi diabetesi. Senam kaki diabetes mudah

dilakukan serta tidak membutuhkan ruangan dan peralatan khusus sehingga dapat

dilakukan pada berbagai ruang dan waktu. Prosedur pelaksanaan senam kaki

diabetes disajikan pada Lampiran 8. Namun, terdapat beberapa hal yang perlu

diperhatikan sebelum dan selama melaksanakan senam kaki diabetes, yaitu

(Lumenta, dkk, 2006; Sutedjo, 2014; Grimm, 2012):

1. Periksa kaki sebelum dan setelah melakukan senam kaki diabetes.

2. Hindari berlatih pada saat atau setelah mengalami hipoglikemia.

Page 28: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Diabetes Mellitus … II.pdf · 11 BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pada bab ini akan membahas hal-hal mengenai konsep DM, neuropati sensori pada DM tipe

38

3. Sediakan asupan air dan karbohidrat dalam jumlah cukup, dan latihan

sebaiknya dilakukan 1-3 jam setelah makan.

4. Latihan senam dapat dilakukan setiap hari secara teratur dalam kondisi santai

dan ketika kaki terasa dingin.

5. Latihan tidak dilakukan jika mengalami hiperglikemia dengan kadar glukosa

darah sewaktu > 250 mg/dl

6. Berikan interval 2-3 jam setelah makan terakhir/injeksi insulin untuk

menghindari risiko hipoglikemia. Periode ini merupakan periode puncak kerja

insulin short-acting sehingga berisiko tinggi terjadi hipoglikemi.