BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Diabetes Mellitus … II.pdf · Glukosa pada urin meningkatkan...
Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Diabetes Mellitus … II.pdf · Glukosa pada urin meningkatkan...
10
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Diabetes Mellitus Tipe 2
2.1.1 Definisi
Diabetes mellitus merupakan penyakit kronis yang ditandai dengan
kekurangan produksi insulin oleh pankreas atau insulin yang diproduksi tidak
efektif yang disebabkan oleh keturunan dan/atau didapat (WHO, 2014). Diabetes
mellitus juga diartikan sebagai penyakit metabolik yang ditandai dengan
hiperglikemia yang disebabkan oleh defek produksi insulin, defek reaksi insulin,
atau keduanya (Goldenberg & Punthakee, 2013). Diabetes mellitus
diklasifikasikan menjadi DMT1, DMT2, dan DM gestasional. Diabetes mellitus
tipe 1 merupakan DM yang disebabkan oleh kerusakan sel β pancreas yang
diakibatkan oleh genetik, autoimun, dan faktor lingkungan (seperti virus).
Diabetes meliitus tipe 2 merupakan DM yang disebabkan menurunnya sensitifitas
terhadap insulin (resistensi insulin) atau produksi insulin tidak adekuat. Diabetes
mellitus gestasional merupakan intoleransi glukosa selama kehamilan yang
biasanya pada trimester kedua atau ketiga. (Smeltzer, Hinkle, & Cheever, 2014)
2.1.2 Patofisiologi
Diabetes mellitus tipe 2 merupakan DM yang disebabkan oleh penurunan
sensitivitas insulin atau produksi insulin yang tidak adekuat. Insulin adalah
hormon yang disekresikan sel β pankreas yang berfungsi dalam memindahkan
glukosa ke otot, hati dan sel lemak. Insulin memiliki peran dalam proses
11
metabolisme dan transportasi glukosa menjadi energi, proses anabolisme glukosa
menjadi glikogen pada hati, merangsang penyimpanan lemak pada jaringan
adiposa, dan mempercepat proses transport asam amino ke dalam sel (Smeltzer,
Hinkle, & Cheever, 2014). Pada fase awal (fase prediabetes) resistensi insulin
dikompensasi dengan hipersekresi insulin oleh pankreas sehingga kadar glukosa
darah tetap normal. Secara perlahan sel β pankreas gagal dalam mempertahankan
hipersekresi diikuti dengan resistensi insulin menyebabkan timbulnya gejala klinis
diabetes. Hiperglikemia kronis dapat menyebabkan penurunan sel β pankreas.
Proses penuaan normal menyebabkan penurunan sebesar 1% per tahun berbanding
7% pada penderita DMT2 dewasa. (Mohan & Unnikrishnan, 2014)
2.1.3 Tanda dan Gejala
Penderita DMT2 akan mengalami tiga gejala klasik yaitu poliuri, poldipsi,
dan polifagi. Poliuri merupakan gejala yang ditandai dengan peningkatan
frekuensi berkemih. Poliuri disebabkan oleh tingginya kadar glukosa darah yang
melewati kemampuan filtrasi ginjal dan menyebabkan terjadinya glukosuria.
Glukosa pada urin meningkatkan tekanan osmotik urin dan menghambat
reabsorpsi air oleh ginjal yang menyebabkan peningkatan produksi urin dan
kehilangan cairan. Polidipsi merupakan gejala yang ditandai dengan rasa haus
yang meningkat yang disebabkan oleh kehilangan cairan melalui urin akibat
poliuri. Polifagi merupakan gejala dimana penderita DMT2 merasakan
peningkatan rasa lapar (Chattophadhyay & Eddouks, 2012). Beberapa gejala
klinis lain yang dapat ditemukan pada penderita DMT2 adalah kelemahan dan
kelelahan, perubahan penglihatan, mati rasa atau kadang geli pada tangan atau
12
kaki, kulit kering, luka yang sulit sembuh, dan infeksi berulang. (Smeltzer,
Hinkle, & Cheever, 2014)
2.1.4 Kriteria Diagnosis
Kriteria diagnosis DM dilakukan melalui pemeriksaan glukosa darah vena
dan ditentukan berdasarkan: 1) gula darah puasa (tidak ada asupan kalori dalam 8
jam atau lebih) ≥7 mmol/L (≥126 mg/dL); 2) kadar HbA1C ≥ 6,5% dan; 3) 2
hours plasma glucose (2hPG) dengan 75 g oral glucose tolerance test (OGTT)
atau random PG ≥11,1 mmol/L (≥200 mg/dL) yang disertai oleh gejala klasik DM
(poliuri, polifagia, dan polidipsi). Apabila dalam pemeriksaan laboratorium
ditemukan hasil hiperglikemi namun tidak menunjukkan gejala maka perlu
dilakukan pemeriksaan kembali (FPG, HbA1C, dan 2hPG dengan 75 g OGTT)
pada hari yang berbeda. Pada pemeriksaan dengan random PG jika menemukan
hasil hiperglikemia tanpa gejala maka perlu dilakukan pemeriksaan alternatif yang
lain (Goldenberg & Punthakee, 2013; Perkeni, 2011).
2.1.5 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan DMT2 memiliki tujuan untuk menjaga kadar glukosa darah
dalam batas normal sehingga tidak menimbulkan gejala klasik dan mencegah atau
memperlambat terjadinya komplikasi (Khardori, 2014). Diet dan aktivitas adalah
penatalaksanaan non-farmakologis utama pada penderita DMT2 (WHO, 2014).
Perkeni (2011) menyebutkan terdapat empat pilar utama dalam menanggulangi
DMT2 yaitu edukasi, terapi gizi medis, aktivitas fisik, dan terapi farmakologi.
13
Edukasi adalah upaya yang dilakukan untuk meningkatkan pengetahuan
yang dimiliki penderita DMT2. Pengetahuan merupakan aspek yang penting
dalam mempengaruhi perilaku seseorang. Pengetahuan yang penting untuk
dimiliki oleh seorang penderita DMT2 adalah mengenai pola makan yang sehat,
aktivitas fisik, pengobatan medis yang dijalani, pencegahan dan penanganan
komplikasi terutama penanganan hipo-/hiperglikemia. (Jones et al., 2013; Perkeni,
2011)
Terapi gizi medis adalah salah satu intervensi yang sangat penting pada
DMT2. Berbagai organisasi menyarankan terapi gizi pada diabetes bertujuan
untuk menurunkan atau menjaga berat badan melalui gaya hidup. Penurunan berat
badan dapat menurunkan tingkat resistensi insulin (Hartono, 2006; Ley et al.,
2014). Terapi gizi pada penderita DMT2 secara umum adalah makanan gizi
seimbang dan sesuai dengan kebutuhan kalori dan gizi masing-masing individu
dengan menekankan keteraturan pada jadwal, jenis, dan jumlah makanan yang
dikonsumsi. (Perkeni, 2011)
Latihan fisik merupakan kegiatan yang penting dalam penanganan DMT2.
Latihan fisik disarankan dilakukan minimal 150 menit per minggu minimal dalam
tiga hari per minggu berupa aktivitas fisik aerobik intensitas sedang hingga tinggi
dan tidak melewatkan dua hari tanpa latihan (ADA, 2013). Latihan fisik bertujuan
untuk menjaga kebugaran, menurunkan berat badan dan meningkatkan sensitivitas
insulin sehingga akan memperbaiki kadar glukosa darah. (Perkeni, 2011)
Terapi farmakologi merupakan terapi obat-obatan antiglikemik yang
diberikan seiring dengan gaya hidup sehat. Terapi farmakologis dapat berupa obat
14
oral dan injeksi. Obat oral metformin merupakan pilihan pertama untuk terapi
awal DMT2. Obat oral lainnya selain metformin adalah tiazolidindion, glinid, dan
DPP-IV inhibitor. Apabila obat oral monoterapi non-insulin dengan dosis
toleransi tertinggi tidak dapat mencapai target atau mempertahankan kadar
HbA1C selama 3-6 bulan, terapi oral ditambahkan dengan glucagon-like peptide-
1 (GLP 1) receptor agonist atau dengan insulin. Obat injeksi yang diindikasikan
pada penderita DMT2 adalah insulin. (Perkeni, 2011; ADA, 2013)
2.1.6 Komplikasi
Komplikasi pada DMT2 disebabkan oleh kerusakan akibat hiperglikemia
yang tidak ditangani dengan baik. Secara garis besar komplikasi DMT2 dibagi
menjadi komplikasi makrovaskuler dan mikrovaskuler. (Litwak et al., 2013)
a. Komplikasi makrovaskuler
Penyebab utama terjadinya penyakit makrovaskuler adalah aterosklerosis
sehingga menyebabkan terjadinya penyempitan pembuluh darah. Pada DMT2
terjadi peningkatan resiko terjadinya adesi platelet dan hiperkoagulasi sehingga
meningkatkan kemungkinan terjadinya aterosklerosis. Penyakit kardiovaskuler
merupakan penyebab kematian baik pada DMT1 dan DMT2. Penyakit
kardiovaskuler yang sering dikaitkan sebagai komplikasi DMT2 adalah
penyakit jantung koroner. Komplikasi makrovaskuler lainnya adalah angina,
infark miokard, gagal jantung kongestif, peripheral artery disease (PAD), dan
stroke. (Fowler, 2008; IDF, 2013)
15
b. Komplikasi mikrovaskuler
1) Retinopati
Retinopati merupakan komplikasi mikrovaskuler yang paling sering terjadi
pada DMT2. Retinopati pada DMT2 merupakan komplikasi yang
disebabkan kerusakan pembuluh kapiler pada retina sehingga terjadinya
penurunan kemampuan penglihatan. Glukosa darah yang tinggi
menyebabkan banyak glukosa yang dikonversi menjadi sorbitol dan
terakumulasi di dalam sel. Sorbitol menyebabkan stress osmotik pada sel
dan berujung pada retinopati. (Fowler, 2008; WHO, 2014)
2) Gagal Ginjal
Gagal ginjal pada DMT2 disebabkan oleh terjadinya kerusakan pada
pembuluh kapiler pada ginjal yang berujung pada nefropati. Gejala klinis
yang timbul bisa berupa mikroalbuminuria ataupun proteinuria. (Fowler,
2008; IDF, 2013)
3) Neuropati
Neuropati pada DMT2 berhubungan dengan lama dan tingkat hiperglikemia
pada penderita. Mekanisme terjadinya neuropati bisa serupa seperti
terjadinya retinopati yaitu akibat akumulasi poliol dan stress oksidatif.
Neuropati yang paling sering terjadi adalah polineuropati simetris distal
kronis atau disebut juga neuropati perifer. Gejala neuropati yang dirasakan
seperti terbakar, geli, kesemutan, dan mati rasa. Neuropati yang berujung
pada ulcer merupakan penyebab utama dilakukannya amputasi. (Fowler,
2008)
16
2.2 Konsep Pola Makan Penderita DMT2
Pola makan penderita DMT2 ditinjau dari jenis, jumlah, dan jadwal makan.
Jenis makanan yang sesuai untuk dikonsumsi pada penderita DMT2 adalah
makanan yang mengandung zat makro karbohidrat (45-65% dari total energi),
protein (15-20% dari total energi), dan lemak (20-35% dari total energi)
(Dworatzek, 2013; Ley et al., 2014). Jumlah makanan yang dikonsumsi adalah
sesuai dengan kriteria kebutuhan tubuh ± 10% (Parajuli et al, 2014). Jadwal
makan yang sesuai adalah tiga kali makan utama dan tiga kali selingan dengan
rentang waktu tiga jam antara makan utama dan makan selingan. Sarapan dimulai
sebaiknya pada pukul 07.00 pagi sehingga makan dan selingan malam tidak larut
malam. Setiap jadwal makan diberi skor 1 dan jika tidak sesuai diberikan skol 0
sehingga jadwal makan dikatakan sesuai jika skor ≥75% (Waspadji, 2007; Parajuli
et al, 2014)
2.2.1 Jenis Makanan
Pola makan pada penderita DMT2 merupakan bagian yang penting dalam
perawatan diri. Pola makan penderita DMT2 dipengaruhi oleh nilai, kesukaan, dan
kemampuan masing-masing individu (Dworatzek et al., 2013). Banyak penelitian
yang menunjukkan bahwa tidak ada pola makan yang bersifat “one-size-fits-all”
pada individu dengan DMT2 (Georgoulis et al., 2014). Beberapa komposisi
makanan yang dianjurkan kepada penderita DMT2 adalah sebagai berikut:
a. Karbohidrat
Asupan karbohidrat yang disarankan berkisar 45-65% dari total energi dan
tidak boleh <130 g/hari untuk tetap menjaga suplai glukosa ke otak. Sumber
17
karbohidrat yang disarankan adalah karbohidrat dengan kandungan serat yang
tinggi. Karbohidrat dengan indeks glikemik yang rendah dapat mengurangi
respon glikemik saat konsumsi makanan. Konsumsi karbohidrat dengan indeks
glikemik rendah menunjukkan penurunan HbA1C lebih baik daripada
konsumsi karbohidrat dengan indeks glikemik tinggi. Contoh makanan dengan
indeks glikemik rendah adalah roti gandum hitam, nasi setengah matang, buah
apel, pir, dan jeruk (Perkeni, 2011; Dworatzek, 2013; Ley et al., 2014). Sumber
karbohidrat lainnya adalah lontong, jagung, roti, ubi, singkong, kentang, bihun,
dan makanan lain yang terbuat dari tepung-tepungan (Kariadi, 2009). Gula
merupakan bentuk sederhana dari karbohidrat. Gula yang dapat dikonsumsi
pada penderita DMT2 adalah sukrosa dan fruktosa. Sukrosa dapat dikonsumsi
sebanyak ≤ 10% dari total energi yang dibutuhkan (sekitar 50-65 g/hari dalam
kebutuhan energi 2.000-2.600 kkal/hari atau ±10 sendok teh). Fruktosa murni
dari buah-buahan disarankan pada penderita DMT2 sebanyak ≤ 10%
kebutuhan energi total atau ≤ 60 g/hari (Dworatzek, 2013).
b. Protein
Konsumsi protein pada penderita DMT2 penting untuk menjaga suplai asam
amino dan mencegah kehilangan massa otot terutama pada diet penurunan
berat badan. Asupan protein yang dibutuhkan sebanyak 10-20% dari total
kebutuhan energi. Sumber protein yang baik adalah ikan, cumi-cumi, udang,
daging tanpa lemak, daging ayam tanpa kulit, produk susu rendah lemak,
tempe, tahu, dan kacang-kacangan. Pada penderita DMT2 disertai CKD maka
18
protein yang dapat dikonsumsi sebesar 10% dari kebutuhan energi total (0,8
g/kg BB/hari). (Perkeni, 2011; Dworatzek, 2013; Ley et al., 2014)
c. Lemak
Konsumsi lemak yang dianjurkan pada penderita DMT2 adalah sebanyak 20-
30% dari total kebutuhan energi total. Lemak yang dianjurkan adalah
monounsaturated fatty acids (MUFAs) dan polyunsaturated fats (PUFAs).
MUFAs dapat diperoleh dari minyak zaitun, minyak canola, minyak kacang,
dan alpukat. Asam lemak omega-3 dan omega-6 termasuk PUFAs. Omega-3
dapat diperoleh dari minyak ikan laut dan omega-6 dapat diperoleh dari
minyak jagung, minyak kacang tanah, biji-bijian, serta kacang-kacangan.
DMT2 meningkatkan resiko terjadinya penyakit kardiovaskuler sehingga
konsumsi lemak harus diperhatikan. Konsumsi kolesterol dan lemak jenuh
yang tinggi pada penderita diabetes meningkatkan resiko penyakit
kardiovaskuler. Pada DMT2 asupan kolesterol dibatasi <200 mg/hari. (Perkeni,
2011; Dworatzek, 2013; Supariasa, 2013; Ley et al., 2014)
d. Serat
Serat yang dapat larut memperlambat pengosongan lambung dan
memperpanjang waktu penyerapan glukosa pada usus halus sehingga dapat
meningkatkan kontrol gula darah setelah makan. Asupan serat dianjurkan ±25
g/hari yang diperoleh dari kacang-kacangan, buah, sayuran, dan karbohidrat
dengan kandungan serat yang tinggi. (Perkeni, 2011; Dworatzek, 2013)
19
e. Natrium dan zat gizi mikro lain
Asupan natrium yang dianjurkan tidak boleh lebih dari 3000 mg/hari atau
sekitar satu sendok teh garam dapur. Natrium juga dapat terdapat dalam vetsin,
soda, dan bahan pengawet seperti natrium benzoate dan natrium nitrit (Perkeni,
2011). Diet Dietary Approaches to Stop Hypertension (DASH) pada DMT2
dengan asupan natrium 2400 mg/hari menunjukkan hasil pada penurunan
tekanan sistol dan diastol, gula darah puasa, BB, dan kadar HbA1C dalam
delapan minggu (Dworatzek, 2013). Kebutuhan mineral selain natrium tetap
harus terpenuhi seperti kalium, magnesium, kromium, dan seng. (Arisman,
2013)
f. Bahan Penukar
Daftar Penukar Bahan Makanan (DPBM) adalah daftar makanan yang dapat
menjadi acuan penderita DMT2 dalam memvariasikan dan menentukan jumlah
makanan untuk dijadikan menu harian. DPBM menyediakan jumlah makanan
dalam gram dan ukuran rumah tangga (URT) yang ditampilkan pada Tabel 2.1
pada lampiran. DPBM menyediakan daftar makanan dengan nilai gizi yang
sama sehingga satu sama lain dapat ditukar. (Kariadi, 2009)
2.2.2 Jumlah Kebutuhan Kalori
Berikut adalah metode dapat digunakan dalam menghitung kebutuhan kalori
pada seseorang berdasarkan kg berat badan ideal (BBI) dan ditambah faktor
koreksi/aktivitas. Pada penderita DM rumus yang sering digunakan adalah pada
laki-laki 30 kkal/kg BB dan pada perempuan 25 kkal/kg BB. (Perkeni, 2011;
Supariasa, 2013)
20
BBI dihitung dengan menggunakan rumus Brocca yang dimodifikasi yaitu:
BBI = 90% x (TB dalam cm – 100) x 1 kg
Untuk laki-laki dengan TB dibawah 160 cm dan perempuan dengan TB
dibawah 150 cm maka rumus yang dapat digunakan adalah:
BBI = (TB dalam cm – 100) x 1 kg
Indeks Massa Tubuh (IMT) digunakan untuk menentukan kategori BB
seseorang. BB disebut normal jika IMT dalam rentang 18,5-22,9. BB
dikategorikan sebagai kurang jika IMT <18,5; BB dengan resiko jika IMT dalam
rentang 23,0-24,9; obesitas I jika IMT dalam rentang 25,0-29,9; dan obesitas II
jika IMT >30. IMT dapat diukur dengan rumus: (Perkeni, 2011)
IMT = BB (kg) : TB (m2)
Kebutuhan kalori seseorang dipengaruhi oleh usia, aktivitas fisik atau
pekerjaan, dan berat badan. (Perkeni, 2011; Supariasa, 2013)
a. Usia
Kebutuhan kalori rentang usia 40-59 tahun dikurangi 5% dari kebutuhan energi
berdasarkan BBI. Rentang usia 60-69 dikurangi 10% dan rentang usia di atas
70 tahun dikurangi 20%.
b. Aktivitas Fisik atau Pekerjaan
Kebutuhan energi meningkat sesuai dengan aktivitas fisik yang dilakukan.
Aktivitas fisik digolongkan menjadi istirahat atau sangat ringan, aktivitas
ringan, aktivitas sedang, berat, dan aktivitas sangat berat. Kebutuhan kalori
pada aktivitas sangat ringan ditambah 10% dari kebutuhan kalori berdasarkan
21
BBI, aktivitas ringan ditambahkan 20%, aktivitas sedang ditambahkan 30%,
aktivitas berat ditambahkan 40%, dan aktivitas sangat berat ditambahkan 50%.
c. Berat Badan
Kalori pada pasien yang mengalami kegemukan dikurangi sekitar 20-30%
tergantung pada tingkat kegemukan. Kebutuhan kalori pada pasien yang kurus
ditambah sekitar 20-30% yang bertujuan untuk meningkatkan BB
2.2.3 Jadwal Makan
Jadwal makan pada penderita DM dianjurkan sebanyak tiga kali makan
utama dan tiga kali makan selingan dengan interval tiga jam. Jadwal makan yang
dianjurkan pada penderita DM disajikan dalam Tabel 2.2 berikut. (Waspadji,
2007)
Tabel 2.2 Jadwal Makan Penderita DM
Jenis Makan Waktu Total Kalori
Sarapan 07.00 20%
Selingan Pagi 10.00 10%
Makan Siang 13.00 30%
Selingan Sore 16.00 10%
Makan Malam 19.00 20%
Selingan Malam 21.00 10%
Sumber: Waspadji, S., 2007
2.2.4 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pola Makan Penderita DMT2
a. Pengetahuan
Penelitian yang dilakukan Malek (2013) menunjukkan bahwa pemberian
edukasi pada penderita DMT2 meningkatkan pengetahuan dan memperbaiki
pola makan. Penelitian yang dilakukan Tol et al, (2014) menunjukkan adanya
22
hubungan yang signifikan antara pola makan terhadap kehadiran dalam edukasi
diabetes. Menurut Didarloo et al, (2014) pengetahuan sangat berhubungan
dengan pola makan penderita DMT2. Pengetahuan tentang diabetes dan
strategi penanganannya akan membantu penderita dalam merawat diri
termasuk melakukan pola makan yang sehat.
b. Dukungan Sosial
Dukungan sosial yang paling mempengaruhi pola makan penderita DMT2
adalah dukungan keluarga. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Shamsi et al,
(2013) dan Tol et al, (2014) menujukkan dukungan keluarga mempengaruhi
pola makan. Keluarga mempengaruhi kebiasaan makan, kelezatan makanan,
dan waktu makan dari penderita. Dukungan keluarga yang dapat ditemukan
berupa dukungan dalam menaati diet yang dianjurkan, membantu dalam
menjaga pola makan yang sehat, dan meningkatkan pengetahuan dalam
perawatan diri. (Om et al., 2013)
c. Keyakinan Diri
Menurut Om et al, (2013), keyakinan diri penderita DMT2 sangat berhubungan
dengan pola makan. Keyakinan diri adalah keadaan dimana seseorang percaya
diri terhadap kemampuan yang dimiliki untuk mewujudkan sesuatu. Keyakinan
diri yang tinggi dapat mengurangi stress dan meningkatkan perilaku perawatan
diri. Penelitian yang dilakukan di Iran menunjukkan keyakinan diri merupakan
faktor yang paling mempengaruhi pola makan penderita DMT2. (Didarloo et
al., 2014).
23
d. Pendapatan
Pendapatan dapat mempengaruhi pola makan penderita DMT2. Pendapatan
bulanan yang rendah akan memicu penderita mengonsumsi makanan tinggi
karbohidrat dan kalori, rendah protein, buah-buahan, dan sayuran sehingga
berdampak pada peningkatan IMT. (Om et al., 2013; Tol et al., 2014; Didarloo
et al., 2014)
e. Kebudayaan
Latar belakang budaya mempengaruhi pola makan penderita DMT2. Kebiasaan
dalam mengonsumsi karbohidrat yang tinggi akan sangat sulit dikurangi.
Kebiasaan makan yang menjadi makna dan simbol tertentu juga dapat
mempengaruhi pola makan. Contoh kebudayaan yang memengaruhi adalah
perayaan upacara seperti upacara pernikahan yang menyediakan berbagai
makanan termasuk yang manis-manis. (Muchiri, 2013; Om et al., 2013)
f. Hambatan
Hambatan yang diperkirakan dan dialami penderita DMT2 dapat menghalangi
ketaatan diet dan mempengaruhi pola makan. Hambatan yang sering ditemui
adalah waktu dan upaya dalam mempersiapkan makanan, rekomendasi
makanan tidak disukai oleh penderita, dan sumber makanan yang tidak tersedia
dan terjangkau (Om et al., 2013). Penelitian yang dilakukan Todd et al, (2011)
yang mengidentifikasi hambatan dalam melakukan pola makan yang sesuai
pada pasien DMT2 dengan penghasilan rendah menunjukkan penderita DMT2
sangat mementingkan rasa makanan dan harga yang dibayar. Masalah yang
24
penting yang mungkin dihadapi adalah masalah karena diabetes dan masalah
selain diabetes seperti kesulitan membeli makanan, masalah pada keuangan
lain, masalah terhadap pengobatan yang dijalani, stress keluarga, dan kesulitan
emosional.
2.2.5 Instrumen untuk Mengkaji Pola Makan
a. Food Recall 24 Hours
Metode food recall 24 hours adalah metode yang digunakan untuk mengkaji
makanan dan minuman yang dikonsumsi dalam periode waktu 24 jam
sebelumnya. Makanan dan minuman yang biasanya dikaji adalah pada satu hari
sebelumnya dan responden harus mengingat kembali semua makanan dan
minuman yang dikonsumsi. Responden menyatakan jumlah yang dikonsumsi
dalam perkiraan porsi. Food recall 24 hours akan lebih akurat bila digunakan
untuk mengkaji lebih dari sehari (Wrieden et al., 2003; Lestari, 2012; Arisman,
2013). Menurut Yunsheng et al. (2009) frekuensi recall yang efektif dilakukan
sebanyak dua sampai dengan tiga kali karena hasil rata-ratanya perkiraan intake
energi mendekati energy expenditure (EE).
b. Food Frequency Questionnaire (FFQ) dan Semi-Quantitative FFQ (SQ-FFQ)
FFQ digunakan untuk mengkaji kebiasaan pola makan dengan menanyakan
daftar makanan yang tercantum dalam FFQ berhubungan dengan frekuensi (dalam
kali per hari, minggu, atau bulan). FFQ biasa dipakai untuk mengkaji pola makan
dalam rentang waktu 2-3 bulan atau lebih dari 1 tahun dan dapat digunakan dalam
jumlah yang besar (100 orang atau lebih) dan mencangkup antara 50-150 jenis
makanan. (Wrieden et al., 2003; Arisman, 2013). Semi-Quantitative FFQ adalah
25
FFQ yang dilengkapi dengan perkiraan porsi makanan yang dikonsumsi sehingga
dapat dihitung dan diperkirakan rentang kebiasaan asupan makanan responden
untuk menilai asupan gizi relatif ataupun mutlak. (Wrieden et al., 2003; Lestari,
2012; Arisman, 2013)
c. Estimated Food Record
Food Record adalah pendekatan monitoring konsumsi makanan dan minuman
dalam sehari atau lebih. Food record baik dilakukan ketika setelah makan atau
minum sehingga hasilnya akurat. Jumlah makanan atau minuman yang
dikonsumsi diperkirakan dengan menggunakan URT atau jika ada food model
yang telah diberlakukan (Thompson & Subar, 2013). Estimated food record
(EFR) adalah sebuah buku harian terstruktur yang mengandung golongan
makanan, waktu, tempat, dan kuantitas berupa perkiraan jumlah dalam URT, unit
atau berat, spesifikasi tertentu dan jika ada dapat disebutkan merek dagangnya
(Keyzer et al., 2011). Jumlah food record yang digunakan untuk memperkirakan
jumlah intake energi dan nutrisi berbeda pada pria dan wanita. Jumlah food record
yang diperlukan untuk pria sebanyak dua sampai dengan 28 hari dan untuk wanita
sebanyak tiga sampai dengan delapan hari (Pereira et al., 2010).
2.3 Konsep Edukasi Dua Lintas pada Penderita DMT2
2.3.1 Pengertian
Edukasi pada penderita DMT2 adalah proses memberikan pengetahuan,
melatih kemampuan, dan meningkatkan motivasi penderita dalam melaksanakan
perawatan diri. Tujuan dari edukasi perawatan diri adalah mencapai keadaan
26
metabolik terkontrol, mencegah komplikasi, dan meningkatkan kualitas hidup
(Muchiri, 2013). Edukasi pada penderita DMT2 merupakan dasar pertama dalam
penataksanaan DM. Edukasi dapat meningkatkan pengetahuan, kemampuan, dan
keyakinan diri, dan motivasi penderita DMT2 untuk dapat melakukan perawatan
diri dalam kehidupan sehari-hari (Jones et al., 2013).
American Association of Diabetes Educators menyatakan terdapat tujuh
aspek yang harus dikuasai oleh penderita DMT2 yaitu: 1) monitoring gula darah
mandiri; 2) melakukan pengobatan; 3) pola makan sehat; 4) aktivitas fisik; 5)
mengurangi resiko; 6) koping yang sehat; dan 7) problem-solving (Fitzpatrick,
Schumann, & Hill-Briggs, 2013). Edukasi dua lintas menyasarkan pada dua dari
tujuh aspek yang ditetapkan oleh AADE.
Edukasi dua lintas merupakan perpaduan edukasi gizi dan edukasi teknik
problem-solving. Lintas dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti trayek atau
jalan yang dilalui. Dua lintas bermakna dua jalan pendekatan yang digunakan
yaitu edukasi gizi yang merupakan intervensi yang berorientasi pada kognitif dan
edukasi problem-solving yang merupakan intervensi perilaku-kognitif. Menurut
Jones et al, (2013) intervensi kombinasi antara strategi meningkatkan
pengetahuan dan perilaku-kognitif lebih efektif dalam meningkatkan pengetahuan,
keyakinan diri, dan perawatan diri sehingga kontrol metabolik dapat tercapai.
Edukasi dua lintas terdiri dari dua bagian utama yaitu edukasi gizi dan
edukasi teknik problem-solving. Edukasi gizi dalam edukasi dua lintas
mencangkup pola makan sehat bagi penderita DMT2 berdasarkan 3J yaitu jenis,
jumlah, dan jadwal. Edukasi jenis makanan untuk penderita DMT2 yaitu berfokus
27
pada komposisi makanan berupa karbohidrat, protein, lemak, serat, gula, dan
natrium. Penderita DMT2 juga diberikan edukasi tentang bahan makanan yang
dapat dikonsumsi dengan bebas, terbatas, dan dihindari. Edukasi tentang jumlah
makanan diberikan berupa ukuran makanan yang dapat dikonsumsi dalam URT.
Jadwal makan penderita DMT2 dianjurkan memiliki interval tiga jam antara
jadwal makan utama dengan camilan.
Penelitian yang dilakukan oleh Bayat et al, (2013) menunjukkan edukasi
meningkatkan keyakinan diri penderita DMT2 untuk melaksanakan perawatan
diri. Mengatur pola makan merupakan salah satu bagian perawatan diri oleh
penderita DMT2. Malek dan Cakiroglu (2013) menyatakan edukasi gizi yang
diberikan pada penderita DMT2 mempengaruhi asupan energi, karbohidrat,
protein, dan lemak. Penelitian yang dilakukan oleh Sutiawati, Jafar, dan Yustini
(2013) menunjukkan bahwa edukasi juga memiliki pengaruh terhadap pola makan
penderita DMT2.
Bagian kedua dari edukasi dua lintas adalah edukasi teknik problem-solving.
Problem-solving penting untuk dimiliki oleh penderita DMT2. Problem-solving
merupakan proses seseorang dalam menemukan solusi yang efektif dan adaptif
bagi dirinya dari masalah spesifik yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari.
Problem-solving melibatkan kemampuan dan aktivitas penderita DMT2 untuk
mengenali, menyebutkan, dan mengatasi masalah untuk meningkatkan efektivitas
perawatan diri terkait DM. Edukasi teknik problem-solving menunjukkan
perbaikan pada kadar HbA1C penderita DMT2. Edukasi teknik problem-solving
tidak hanya berfokus pada mengajari teknik saja tapi juga bertujuan untuk
28
mengembangkan teknik dan membantu dalam memecahkan masalah yang
dimiliki penderita DMT2 (Fitzpatrick, Schumann, & Hill-Briggs, 2013; Jones et
al., 2013).
Problem-solving memiliki 5 tahapan utama dan dapat dibagi menjadi 10
langkah yaitu: (Cruickshank, 2009)
a. Tahap 1 adalah mengidentifikasi masalah dan kepemilikan masalah yang
terdiri dari 3 langkah:
1) Menyatakan masalah yang dihadapi.
2) Mengidentifikasi tujuan yang ingin diwujudkan.
3) Mengidentifikasi siapa pemilik masalah dan siapa yang ingin mewujudkan
tujuan.
b. Tahap 2 adalah klarifikasi nilai. Masalah dan tujuan sudah diidentifikasi
dilanjutkan dengan langkah berikut:
4) Memberikan nilai pada tujuan yang ingin dicapai seberapa ingin tujuan
tersebut tercapai.
c. Tahap 3 adalah analisis situasi masalah yang terdiri dari tiga langkah:
5) Mengidentifikasi hambatan yang mencegah pemilik masalah untuk
mencapai tujuan.
6) Membuat strategi untuk menghilangkan, menanggulangi, atau menghindari
masalah tersebut.
7) Membuat efek samping yang negatif pada setiap solusi yang potensial.
d. Tahap 4 adalah memberikan peringkat pada solusi potensial
29
8) Memberikan nilai pada setiap solusi yang potensial dan menemukan solusi
yang terbaik. Solusi yang baik adalah solusi yang paling sedikit memiliki
efek samping negatif dan dapat diimplementasikan.
e. Tahap 5 adalah mengimplementasikan dan mengevaluasi solusi terbaik.
9) Memutuskan bagaimana mengimplementasikan solusi terbaik.
10) Memutuskan perluasan terhadap solusi yang paling dekat terhadap tujuan
dengan mengurangi masalah atau mengeliminasi masalah.
Menurut Mulvaney (2009) problem-solving yang dapat diterapkan oleh
penderita DMT2 dalam perawatan diri terdiri dari tujuh langkah yaitu: 1)
Mengidentifikasi masalah; 2) Mengidentifikasi hambatan atau penyebab yang
menimbulkan masalah utama; 3) Menyusun solusi; 4) Menyusun rencana
implementasi; 5) Implementasi; 6) Evaluasi; dan 7) Revisi. Menurut Stetson et al,
(2010) terdapat delapan langkah dalam melakukan problem-solving yaitu: 1)
Mengidentifikasi dan memahami masalah; 2) Menyusun tujuan; 3) Menyusun
solusi alternatif; 4) Memilih solusi alternatif yang sudah disusun; 5) Mengkaji
kemungkinan dari alternatif yang dipilih; 6) Mengimplementasikan; 7)
memonitoring dan mengkaji efek dari rencana yang telah dilakukan; dan 8)
Menggunakan problem-solving untuk meyusun rencana sampai tujuan dapat
tercapai.
Menurut ketiga sumber mengenai langkah-langkah problem-solving, dapat
disimpulkan terdapat lima langkah utama yaitu: 1) Identifikasi masalah dan
penyebab; 2) Susun tujuan; 3) Susun solusi alternatif dan prioritaskan; 4)
Implementasi; dan 5) Evaluasi.
30
2.3.2 Metode
Metode adalah cara atau pendekatan tertentu. Menurut Santoso Karo Karo
dalam Supariasa (2013), metode pendidikan kesehatan adalah setiap cara, teknik,
maupun media yang terencana yang diterapkan berdasarkan prinsip-prinsip yang
dianut. Metode edukasi yang baik adalah metode yang disesuaikan dengan jenis
sasaran, waktu, dan tempat. (Maulana, 2009; Supariasa, 2013)
Metode edukasi dua lintas yang digunakan adalah metode edukasi ceramah.
Ceramah adalah metode menyampaikan informasi kepada sasaran sehingga
sasaran dapat melakukan proses belajar. Ceramah cocok digunakan kepada
berbagai jenis sasaran, mudah pengaturannya, dapat digunakan dalam sasaran
jumlah besar, dan waktu yang digunakan efisien (Maulana, 2009; Supariasa,
2013). Setting edukasi dilakukan di rumah penderita dan dilakukan dengan cara
tatap muka langsung karena edukasi dengan tatap muka langsung memiliki efek
yang lebih luas dan edukasi di rumah dapat membantu responden dalam
menentukan keputusan terutama kebebasan dalam melakukan problem-solving
(Jones et al., 2013).
Dalam penelitian yang dilakukan Hill-Briggs et al, (2011) menyatakan
pelatihan problem-solving dapat dilakukan dengan metode tradisional sebanyak
delapan sesi atau dapat disingkat menjadi satu sesi. Dalam penelitian tersebut juga
menjelaskan edukasi tentang diabetes dan CVD dilakukan dalam satu sesi.
Intervensi kognitif-perilaku sejenis yaitu penelitian oleh Buhse et al, (2013)
tentang shared decision making dilakukan sebanyak satu sesi dengan durasi 60-90
menit. Penelitian yang dilakukan Rurik et al, (2010) tentang konseling gizi
31
menerapkan dua jenis konseling yaitu konseling kelompok dan individu.
Konseling individu dilakukan dengan tiga sesi masing-masing maksimal selama
60 menit namun hanya sesi ketiga yang berupa intervensi konseling gizi.
Berdasarkan ketiga penelitian tersebut peneliti melakukan edukasi dua lintas
dalam satu sesi dengan durasi 90 menit.
Berikut adalah gambaran pelaksanaan edukasi dua lintas:
Sumber: Pereira et al., 2010; Hill-Briggs et al., 2011
Gambar 1. Gambaran Pelaksanaan Edukasi Dua Lintas
2.3.3 Media
Media atau dapat disebut juga sebagai alat peraga merupakan komponen
penting dalam proses edukasi. Media membantu edukator mencapai tujuan utama
yaitu menyampaikan informasi kepada sasaran dan meningkatkan efektivitas
proses edukasi. Media dapat menarik perhatian sasaran, mempermudah
menyampaikan informasi, mengatasi banyak hambatan dalam penyampaian,
mempermudah sasaran memahami apa yang disampaikan oleh edukator, dan
dapat menstimulus sasaran menyebarkan informasi yang didapat. (Maulana, 2009;
Supariasa, 2013)
Media yang digunakan dalam edukasi dua lintas adalah media visual berupa
leaflet dan flipchart. Media yang digunakan adalah media cetak leaflet dan
flipchart karena informasi paling banyak disalurkan melalui mata yaitu ± 75-87%.
Posttest
EFR 3x24 jam Pretest
EFR 3x24 jam
Edukasi Dua
Lintas
Minggu ke-0 Minggu ke-1 Minggu ke-2 Minggu ke-3 Minggu ke-4
32
Leaflet merupakan media penyampaian informasi kesehatan dengan tulisan,
gambar, ataupun kombinasi yang tercantum dalam kertas terlipat. Tulisan pada
leaflet terdiri atas 200-400 kata dan dapat dimengerti isinya dengan sekali baca.
Flipchart merupakan alat yang serupa lembar balik namun berukuran lebih kecil
sekitar 21 x 28 cm. Flipchart mengandung gambar dan/atau tulisan pada lembar
yang akan diperlihatkan pada sasaran dan juga pada lembar dibaliknya yang
menghadap ke edukator sehingga mempermudah edukator dalam memberikan
informasi (Maulana, 2009; Supariasa, 2013). Media lain yang digunakan adalah
lembar problem-solving yaitu lembar yang diisi oleh penderita DMT2 mulai dari
masalah sampai dengan solusi dan evaluasi.
2.3.4 Pengaruh Edukasi Dua Lintas terhadap Pola Makan Penderita DMT2
Teori Lawrence Green dalam Notoatmodjo (2007) menyatakan ada tiga
faktor yang mempengaruhi perubahan perilaku yaitu: 1) Predisposing factor; 2)
Enabling factor; dan 3) Reinforcing factor. Pengetahuan merupakan bagian dari
predisposing factor atau faktor predisposisi terjadinya perubahan perilaku.
Edukasi yang dilakukan pada penderita DMT2 bertujuan untuk meningkatkan
pengetahuan, kemampuan, dan perilaku yang sesuai dalam perawatan diri.
Edukasi gizi meningkatkan pengetahuan mengenai pola makan sehat dan
berpengaruh terhadap pola makan penderita DMT2. Edukasi gizi juga secara tidak
langsung mempengaruhi glukosa darah dan kadar HbA1C penderita DMT2.
(Muchiri, 2013; Malek & Cakiroglu, 2013)
Pendekatan edukasi yang dapat dilakukan adalah melibatkan penderita
dalam proses edukasi dan pembuatan keputusan. Edukasi teknik problem-solving
33
melibatkan penderita secara langsung dalam pengambilan keputusan dalam
menyelesaikan masalah yang ditemukan saat menjalani diet sehat DMT2 sehari-
hari (Muchiri, 2013). Prinsip problem-solving sesuai dengan prinsip pembuatan
keputusan pada orang dewasa. Orang dewasa cenderung akan melakukan
perubahan perilaku jika perubahan tersebut berarti bagi dirinya dan bebas dipilih.
(Jones et al., 2013)
Edukasi dua lintas yang mengandung teknik problem-solving memiliki
pengaruh terhadap psikologis penderita DMT2. Kemampuan dalam
menyelesaikan suatu masalah dapat meningkatkan kepercayaan diri penderita
DMT2 dalam menjalani perawatan diri (Fitzpatrick, Schumann, & Hill-Briggs,
2013). Kepercayaan diri berhubungan dengan pelaksanaan perawatan diri salah
satunya pola makan sehat. Kepercayaan diri yang semakin tinggi menunjukkan
peningkatan implementasi pola makan sehat. (Didarlo et al., 2014; King et al.,
2010)
Edukasi dua lintas dapat meningkatkan pengetahuan mengenai pola makan
sehat dan melatih penderita DMT2 dalam memecahkan masalah yang dihadapi
khususnya dalam menjalani pola makan sehat. Kombinasi strategi meningkatkan
pengetahuan dan intervensi perilaku-kognitif lebih efektif dalam meningkatkan
pengetahuan, perilaku perawatan diri, dan keyakinan diri sehingga dapat
meningkatkan kontrol metabolik yang lebih baik dibandingkan strategi yang
hanya berorientasi pada pengetahuan saja (Jones et al., 2013). Edukasi dua lintas
merupakan salah satu bentuk dari kombinasi tersebut.