BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. KONFLIK PERAN GANDA …thesis.binus.ac.id/Doc/Bab2/2011-2-01064-PS...

26
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. KONFLIK PERAN GANDA 2.1.1. Defenisi Konflik Peran Ganda Sejarah dari kata konflik berasal dari akar kata bahasa Latin yaitu, Com yang berarti sama atau figen yang berarti penyerangan. Kata konflik didalam kamus mengacu kepada kata-kata seperti: perkelahian, perselisihan, perjuangan, pertentangan dan benturan (Kartono & Gulo, 2000). Irwanto (1991) mengemukakan bahwa yang maksud dari konflik adalah beberapa kebutuhan yang muncul secara bersamaan. Sedangkan pengertian peran menurut Linton (dalam Biddle & Thomas, 1966) yaitu perilaku – perilaku yang diasosiasikan dengan suatu posisi tertentu dan individu pada posisi tersebut diharapkan berperilaku sesuai. Sedangkan menurut Baron & Byrne (2009) peran adalah suatu set perilaku yang diharapkan dilakukan oleh individu yang memiliki posisi spesifik dalam suatu kelompok. Selanjutnya pengertian peran ganda menurut Kartini (1994) adalah peranan perempuan dalam dua bentuk, yaitu perempuan yang berperan di bidang domestik dan perempuan karier, yang dimaksud dengan tugas domestik adalah perempuan yang hanya bekerja di rumah saja sebagai istri yang setia. Sedangkan yang dimaksud dengan perempuan karier adalah apabila ia bekerja di luar, maupun bekerja secara profesional karena ilmu yang didapat atau karena keterampilannya. Selain itu Santrock (2002) menjelaskan bahwa peran ganda menggambarkan pernikahan antara suami dan istri dan keduanya memiliki pekerjaan tempat mereka dapat berkarier. Adapun peran dalam bidang domestik yang dijalankan oleh perawat wanita adalah sebagai ibu rumah tangga. Menurut Frieze (dalam Rachminiwati, 1988) tugas seorang ibu rumah tangga adalah memperhatikan kondisi fisik, emosi, dan

Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. KONFLIK PERAN GANDA …thesis.binus.ac.id/Doc/Bab2/2011-2-01064-PS...

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. KONFLIK PERAN GANDA

2.1.1. Defenisi Konflik Peran Ganda

Sejarah dari kata konflik berasal dari akar kata bahasa Latin yaitu, Com yang

berarti sama atau figen yang berarti penyerangan. Kata konflik didalam kamus

mengacu kepada kata-kata seperti: perkelahian, perselisihan, perjuangan,

pertentangan dan benturan (Kartono & Gulo, 2000). Irwanto (1991) mengemukakan

bahwa yang maksud dari konflik adalah beberapa kebutuhan yang muncul secara

bersamaan.

Sedangkan pengertian peran menurut Linton (dalam Biddle & Thomas, 1966)

yaitu perilaku – perilaku yang diasosiasikan dengan suatu posisi tertentu dan individu

pada posisi tersebut diharapkan berperilaku sesuai. Sedangkan menurut Baron &

Byrne (2009) peran adalah suatu set perilaku yang diharapkan dilakukan oleh

individu yang memiliki posisi spesifik dalam suatu kelompok.

Selanjutnya pengertian peran ganda menurut Kartini (1994) adalah peranan

perempuan dalam dua bentuk, yaitu perempuan yang berperan di bidang domestik

dan perempuan karier, yang dimaksud dengan tugas domestik adalah perempuan

yang hanya bekerja di rumah saja sebagai istri yang setia. Sedangkan yang

dimaksud dengan perempuan karier adalah apabila ia bekerja di luar, maupun

bekerja secara profesional karena ilmu yang didapat atau karena keterampilannya.

Selain itu Santrock (2002) menjelaskan bahwa peran ganda menggambarkan

pernikahan antara suami dan istri dan keduanya memiliki pekerjaan tempat mereka

dapat berkarier.

Adapun peran dalam bidang domestik yang dijalankan oleh perawat wanita

adalah sebagai ibu rumah tangga. Menurut Frieze (dalam Rachminiwati, 1988)

tugas seorang ibu rumah tangga adalah memperhatikan kondisi fisik, emosi, dan

menampung segala keluh kesah suami, sebagai ibu yang bukan hanya mengandung

dan melahirkan anak, namun juga memberikan perhatian fisik dan emosional pada

anak. Selanjutnya, peran sebagai perempuan karier adalah seorang perawat.

Menurut Nursalam (2009) tugas umum seorang perawat adalah (1) Memberikan

pelayanan keperawatan secara langsung berdasarkan proses keperawatan dengan

sentuhan kasih sayang. (2) Melaksanakan program medis dengan penuh tanggung

jawab. (3) Memerhatikan keseimbangan kebutuhan fisik, mental, moral, dan spiritual

�dari klien. (4) Mempersiapkan klien secara fisik dan mental untuk menghadapi

tindakan �medis keperawatan dan pengobatan sesuai diagnosis. (5) Melatih klien

untuk menolong dirinya sendiri sesuai dengan kemampuannya. (6) Memberikan

pertolongan segera pada klien gawat atau sakaratul maut. (7) Membantu kepala

ruangan dalam pemeriksaan ruangan secara �administrative. (8) Mengatur dan

menyiapkan alat – alat yang ada di ruangan menurut �fungsinya supaya siap pakai.

(9) Menciptakan dan memelihara kebersihan, keamanan, kenyamanan dan

�keindahan ruangan. (10) Melaksanakan tugas dinas pagi, sore, malam, atau hari

libur secara bergantian sesuai dengan jadwal tugas.�(11) Memberi penyuluhan

kesehatan sehubungan dengan penyakitnya (PKMRS). (12) Melaporkan segala

sesuatu mengenai keadaan klien baik secara lisan maupun tertulis.�(13) Membuat

laporan harian klien. Apabila kedua peran tersebut tidak dapat dipenuhi dalam waktu

yang bersamaan saat itulah akan timbul konflik, baik yang berasal dari keluarga

maupun yang berasal dari pekerjaan.

Definisi konflik peran ganda menurut Kahn dkk (dalam Greenhaus & Beutell,

1985) konflik peran ganda adalah bentuk dari konflik antar peran yang mana tekanan

peran dari pekerjaan dan keluarga bertentangan. Selain itu Khan (dalam Behr, 1995)

menyatakan bahwa konflik peran ganda merupakan adanya ketidakcocokan antara

harapan - harapan yang berkaitan dengan suatu peran dimana dalam kondisi yang

cukup ekstrim, kehadiran dua atau lebih harapan atau tekanan akan sangat bertolak

belakang sehingga peran yang lain tidak dapat dijalankan. Penelitian yang dilakukan

oleh Duxburry dan Higgins (2003) sejalan dengan pernyataan sebelumnya, namun ia

menambahkan dampak yang ditimbulkan dari konflik peran ganda yaitu partisipasi

seseorang pada satu peran menyulitkan partisipasi pada peran yang lainnya.

Paden dan Buchler (dalam Simon, 2002) mendefinisikan konflik peran ganda

merupakan konflik peran yang muncul antara harapan dari dua peran yang berbeda

yang dimiliki seseorang. Dalam pekerjaan, seorang wanita yang profesional

diharapkan agresif, kompetitif, dan dapat menjalankan komitmennya dalam

pekerjaan. Sedangkan di rumah, wanita sering kali diharapkan untuk merawat anak,

menyayangi, dan menjaga suami dan anaknya.

Menurut Netemeyer dkk (dalam Hennesy, 2005) mendefinisikan konflik peran

ganda sebagai konflik yang muncul akibat tanggungjawab yang berhubungan

dengan pekerjaan mengganggu permintaan, waktu, dan ketegangan dalam keluarga.

Hennesy (2005) juga memberikan defenisi dari konflik peran ganda yaitu, konflik

yang terjadi ketika konflik sebagai hasil dari kewajiban pekerjaan yang mengganggu

kehidupan rumah tangga.

Greenhaus & Beutell (1985) mendefinisikan konflik peran ganda sebagai

sebuah bentuk dari konflik antar peran dimana tekanan dari peran dalam pekerjaan

dan keluarga saling bertentangan, yaitu menjalankan peran dalam pekerjaan

menjadi lebih sulit karena juga menjalankan peran dalam keluarga, begitu juga

sebaliknya, menjalankan peran dalam keluarga menjadi lebih sulit karena juga

menjalankan peran dalam pekerjaan.

Sedangkan Frone, Russell & Cooper (1992) mendefinisikan konflik pekerjaan

keluarga sebagai konflik peran yang terjadi pada karyawan, dimana di satu sisi ia

harus melakukan pekerjaan di kantor dan di sisi lain harus memperhatikan keluarga

secara utuh, sehingga sulit membedakan antara pekerjaan mengganggu keluarga

dan keluarga mengganggu pekerjaan. Pekerjaan mengganggu keluarga, artinya

sebagian besar waktu dan perhatian dicurahkan untuk melakukan pekerjaan

sehingga kurang mempunyai waktu untuk keluarga. Sebaliknya, keluarga

mengganggu pekerjaan berarti sebagian besar waktu dan perhatiannya digunakan

untuk menyelesaikan urusan keluarga sehingga mengganggu pekerjaan. Konflik

pekerjaan-keluarga ini terjadi ketika kehidupan rumah seseorang berbenturan

dengan tanggungjawabnya di tempat kerja, seperti masuk kerja tepat waktu,

menyelesaikan tugas harian, atau kerja lembur. Demikian juga tuntutan kehidupan

rumah yang menghalangi seseorang untuk meluangkan waktu untuk pekerjaannya

atau kegiatan yang berkenaan dengan kariernya.

Gutek dan Larwood, (1987) mengatakan bahwa banyak wanita telah

mencoba untuk mengkombinasikan antara karir profesional dan kehidupan keluarga.

Di dalam prosesnya, mereka harus dapat mengatasi konflik dalam perjuangannya

untuk menyeimbangkan antara keluarga, perkawinan, anak - anak, dan kerja. Situasi

tersebut membangkitkan adanya pertentangan emosional yang menjadi sifat

terjadinya konflik antara keluarga dan kerja.

Konflik peran ganda yang dialami wanita mempunyai kesulitan – kesulitan

dalam pemenuhan tuntutan peran dari salah satu perannya yaitu sebagai ibu rumah

tangga, individu, istri, wanita bekerja, dan warga masyarakat. Kegagalan pemenuhan

tuntutan dari salah satu peran baik sebagai ibu rumah tangga, individu, istri, maupun

sebagai wanita bekerja dan warga masyarakat tersebut akan menimbulkan konflik.

Maka dapat disimpulkan bahwa konflik peran ganda adalah konflik yang

terjadi pada seseorang yang menjalankan kedua perannya secara bersamaan, yaitu

peran dalam bekerja dan peran dalam keluarga, sehingga tidak dapat terpenuhinya

salah satu peran akibat pemenuhan peran yang lainnya.

2.1.2. Dimensi Konflik Peran Ganda

Menurut Greenhaus & Beutell (1985) konflik peran ganda memiliki sifat yang

bidirectional dan multidimensi. Adapun bidirectional yang dimaksud terdiri dari:

a. Work-family conflict yaitu konflik yang muncul karena tanggungjawab

pekerjaan yang mengganggu tanggungjawab terhadap keluarga.

b. Family-work conflict yaitu konflik yang muncul karena tanggungjawab

terhadap keluarga mengganggu tanggung jawab terhadap pekerjaan.

Menurut Greenhaus & Beutell (1985) multidimensi dari konflik peran ganda

dapat muncul dari masing-masing direction dimana antara keduanya baik itu work

family conflict maupun family work conflict memiliki masing-masing 3 dimensi yaitu:

a. Time Based Conflict

Yang dimaksud dengan time based conflict adalah konflik yang terjadi

karena waktu yang digunakan untuk memenuhi satu peran tidak dapat

digunakan untuk memenuhi peran lainnya, artinya pada saat yang

bersamaan seorang yang mengalami konflik peran ganda tidak akan bisa

melakukan dua atau lebih peran sekaligus. Tuntutan waktu ini dapat terjadi

tergantung dari alokasi waktu kerja dan kegiatan keluarga yang dipilih

berdasarkan preferensi dan nilai yang dimiliki individu.

Peran ganda mungkin dapat menyulitkan dan seolah berlomba

mendapatkan waktu seseorang. Waktu yang dihabiskan dalam satu peran

secara umum tak bisa di curahkan kepada aktivitas dalam peran lainnya.

Time based conflict memiliki 2 bentuk; (a) tuntutan waktu dari peran yang

satu membuat individu secara fisik tidak dapat memenuhi ekspektasi dari

peran yang lain; (b) adanya tuntutan waktu, dapat menyebabkan individu

terokupasi dengan peran yang satu, pada saat seharusnya individu mencoba

memenuhi tuntutan peran yang lain (Bartolome & Evans, dalam Greenhaus &

Beutell, 1985).

Dalam dimensi ini sumber konflik terbagi menjadi dua:

- Sumber konflik yang berasal dari pekerjaan.

Konflik pekerjaan – keluarga berhubungan positif dengan jumlah jam

kerja dalam setiap minggunya (Burke dkk, Keith & Schaf, Plect dkk,

dalam Greenhaus & Beutell, 1985) dan jumlah jam perjalanan pulang –

pergi rumah ke tempat kerja dalam setiap minggunya (Bohen & Viveros-

Long, dalam Greenhaus & Beutell, 1985). Konflik pekerjaan – keluarga

juga memiliki hubungan yang positif dengan jumlah dan frekuensi lembur

serta adanya ketidak teraturan dalam pengaturan jam kerja (Pleck dkk,

dalam Greenhaus & Beutell, 1985). Jadwal kerja yang tidak fleksibel juga

akan menimbulkan konflik pekerjaan – keluarga (Pleck dkk, dalam

Greenhaus & Beutell, 1985). Khususnya pada ibu bekerja yang memiliki

tanggung jawab mengurus anak.

- Sumber konflik yang berasal dari keluarga.

Karakteristik peran keluarga yang mengharuskan seseorang

menghabiskan sebagian besar dari waktunya dalam aktivitas keluarga

dapat menghasilkan konflik pekerjaan – keluarga. Sependapat dengan

itu, Herman & Gyllstrom (dalam Greenhaus & Beutell, 1985) menemukan

bahwa orang – orang yang menikah lebih banyak mengalami konflik

pekerjaan – keluarga dibandingkan dengan mereka yang tidak menikah.

Selanjutnya, dapat diperkirakan bahwa mereka yang memiliki anak akan

mengalami konflik pekerjaan – keluarga yag lebih besar ketimbang

mereka yang belum memiliki anak. Tanggung jawab yang besar dalam

perkembangan anak mungkin akan menjadi konstributor yang besar bagi

konflik pekerjaan – keluarga (Bohen & Viveros-Long, dalam Greenhaus &

Beutell, 1985).

Sejumlah studi menunjukan bahwa orang tua dari anak yang masih kecil

(usia prasekolah) merasakan konflik yang lebih besar daripada orang tua

yang memiliki anak relatif sudah lebih besar (Greenhaus & Beutell,

Greenhaus & Kopelman, Pleck dkk, dalam Greenhaus & Beutell, 1985).

Keluarga yang besar yang diasumsikan memiliki lebih banyak tuntutan

daripada keluarga kecil, memiliki hubungan yang positif dengan tingginya

tingkat konflik pekerjaan – keluarga (Cartwright, Keith & Schefer, dalam

Greenhaus & Beutell, 1985).

Kesimpulannya, jadwal kerja, orientasi kerja, pernikahan, anak – anak, dan

pola pekerjaan pasangan seluruhnya mungkin menghasilkan tekanan untuk

berpartisipasi secara luas dalam peran pekerjaan atau peran keluarga.

Konflik dialami ketika tekanan – tekanan waktu ini tidak kompetibel dengan

tuntutan domain peran lain.

b. Strain Based Conflict

Yang dimaksud dengan strain based conflict yaitu ketegangan yang

dihasilkan oleh salah satu peran membuat seseorang sulit untuk memenuhi

tuntutan peran yang lain. Ketegangan yang ditimbulkan akan mempengaruhi

kualitas hidup secara keseluruhan. Ketegangan peran ini termasuk stres,

tekanan darah meningkat, kecemasan, cepat marah, dan sakit kepala.

Strain based conflict muncul saat ketegangan yang diakibatkan dari

menjalankan peran yang satu, mempengaruhi performa individu di perannya

yang lain. Peran – peran tersebut menjadi bertentangan karena ketegangan

akibat peran yang satu membuat individu lebih sulit memenuhi tuntutan

perannya yang lain.

Dalam dimensi ini sumber konflik terbagi menjadi dua:

- Sumber konflik yang berasal dari pekerjaan.

Peran dalam pekerjaan yang tidak jelas (ambigu) dan atau konflik dalam

peran di pekerjaan memiliki hubungan yang positif dengan konlik

pekerjaan – keluarga (Jones & Butler, Kopelman dkk, dalam Greenhaus &

Beutell, 1985). Kurangnya dukungan dari atasan juga menyebabkan

tingginya konflik peran pekerjaan (Jones & Butler, dalam Greenhaus &

Beutell, 1985). Stresor yang berasal dari pekerjaan seperti budaya kerja

yang berubah – ubah, stres dalam komunikasi dan konsentrasi yang

dibutuhkan dalam menajalankan pekerjaan, menurut Bruke dkk (dalam

Greenhaus & Beutell, 1985) memiliki hubungan yang positif dengan

konflik pekerjaan – keluarga. Selain itu, penggunaan sebagian besar

waktu untuk melakukan salah satu peran juga dapat mengakibatkan

ketegangan. Seperti, jam kerja yang panjang dan tidak fleksibel, serta

adanya kerja lembur dapat menyebabkan time based conflict begitu juga

strain based conflict. Walaupun keduanya merupakan konsep yang

berbeda, namun ada beberapa sumber konflik yang dapat digolongkan

kepada kedua dimensi konflik tersebut.

- Sumber konflik yang berasal dari keluarga.

Bagi mereka yang mempunyai pasangan yang mendukung dapat

mengurangi tingkat konflik pekerjaan – keluarga (Holahan & Gilbert,

dalam Greenhaus & Beutell, 1985). Menurut Beutell & Greenhaus (dalam

Greenhaus & Beutell, 1985) perempuan yang memiliki orientasi karier

yang berbeda dengan suaminya, merasakan tingkatan konflik antar peran

yang lebih tinggi. Besar kemungkinan perbedaan pasangan dalam

keyakinan – keyakinan fundamental dapat melemahkan sistem dukungan

mutual dan dapat menghasilkan stres.

Kesimpulannya, ketegangan, konflik, atau kurangnya dukungan dari keluarga

dapat menyebabkan konflik pekerjaan – keluarga. Sedangkan pada domain

pekerjaan, karakteristik peran keluarga yang menghasilkan komitmen waktu

ekstensi juga dapat secara langsung atau tidak langsung memberikan

ketegangan.

c. Behaviour Based Conflict

Yang dimaksud dengan behaviour based conflict adalah konflik yang

muncul ketika suatu tingkah laku efektif untuk satu peran namun tidak efektif

digunakan untuk peran yang lain. Ketidak efektifan tingkah laku ini dapat

disebabkan oleh kurangnya kesadaran individu akan akibat dari tingkah

lakunya kepada orang lain.

Atau perilaku – perilaku yang diharapkan muncul pada saat

menjalankan peran yang satu kadang bertentangan dengan ekspektasi dari

peran yang lain. Misalnya seorang ibu yang diharapkan menekankan perilaku

yang tegas, stabil secara emosional dan objektif (Schein, dalam Greenhaus &

Beutell, 1985), diharapkan oleh anggota keluarganya untuk berperilaku

hangat, penuh kasih sayang, emosional dan peka saat berinteraksi dengan

mereka.

Dalam dimensi ini sumber konflik terbagi menjadi dua:

- Sumber konflik yang berasal dari pekerjaan.

Sumber konflik yang berasal dari pekerjaan adalah work ambiguity dan

work involvement. Yang dimaksud dengan work involvement adalah

sebuah konsep yang menjelaskan tentang respon psikologis individu

tentang perannya dalam pekerjaan serta tingkatan dimana individu secara

psikologis mengidentifikasikan dirinya dengan pekerjaannya, dan

pentingnya pekerjaan tersebut terhadap gambaran dan konsep dirinya

(Lodahl & Kehner, 1965, Yogev & Brett, 1985, dalam Duxburry & Higgins,

1991)

- Sumber konflik yang berasal dari keluarga.

Sumber konflik dari keluarga misalnya adalah peran yang

membingungkan di dalam keluarga (ambigu), konflik intra keluarga,

dukungan sosial dan family role involvement (Carlson, Kecmar, &

Williams, 2000, dalam Greenhaus & Beutell, 1985). Family role

involvement adalah sebuah konsep yang menjelaskan tentang tingkatan

dimana individu secara psikologis mengidentfikasikan dirinya dengan

peran – peran dalam keluarga, pentingnya keluarga terhadap konsep diri

dan gambaran dirinya serta komitmen individu terhadap peran – peran

dalam keluarga (Yogev & Brett, 1985 dalam Duxburry & Higgins, 1991).

Dimensi – dimensi yang diungkapkan oleh Greenhaus & Beutell (1985)

merupakan elemen – elemen yang dapat menimbulkan konflik pekerjaan – keluarga.

Setiap dimensi memiliki sumber konflik yang sesuai dengan defenisi dimensi.

2.1.3. Faktor – faktor yang Mempengaruhi Konflik Pe ran Ganda

Menurut Stonner dkk (1990), faktor – faktor yang mempengaruhi konflik

peran ganda adalah:

a. Time Pressure, jika waktu yang digunakan untuk bekerja lebih banyak, maka

waktu yang digunakan untuk keluarga akan semakin sedikit.

b. Family size dan support, jika anggota keluarga semakin banyak jumlahnya maka

akan semakin banyak konflik yang akan timbul. Apabila dengan banyaknya

jumlah anggota keluarga yang memberikan dukungan maka akan sedikit terjadi

konflik.

c. Job Satisfaction, konflik akan dirasakan lebih sedikit apabila kepuasan kerja

seorang karyawan tersebut tinggi.

d. Marital and life satisfaction, apabila seorang wanita bekerja, maka semakin

banyak konsekuensi negatif dalam pernikahannya.

e. Size of firm, konflik peran ganda mungkin juga dipengaruhi oleh banyak

karyawan yang bekerja di perusahaan tersebut.

2.1.4. Dampak dari Konflik Peran Ganda

Konflik peran ganda yang dialami oleh para wanita yang bekerja berdampak

tidak hanya terhadap dirinya sendiri, namun juga terhadap keluarga dan perusahaan

atau instansi tempat ia bekerja. Dalam perusahaan atau instansi tempat ia bekerja

akan dapat menurunkan kepuasan kerja, meningkatnya tingkat stres kerja,

meningkatnya beban kerja dan jumlah jam kerja, dan juga akan dapat meningkatkan

tingkat absensi pada para karyawan yang terkait (Duxburry & Higgins, 2003).

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Schwartzberg & Dytell (dalam

Hennesy, 2005) mengatakan bahwa ada pengaruh pekerjaan dan stres keluarga

terhadap kesejahteraan psikologis. Selanjutnya penelitian mengarah kepada

perbedaan gender dan penelitian terbaru menemukan bahwa wanita menunjukan

level distres yang lebih tinggi yang berhubungan dengan konflik peran ganda

(Clearly dalam Hannessy, 2005).

2.2. STRES KERJA

2.2.1. Defenisi Stres Kerja

Stres adalah suatu kondisi yang selalu dihindari oleh individu. Namun

seringkali pekerjaan seseorang justru menimbulkan stres bagi dirinya. Stres pun

pasti dialami oleh setiap orang apalagi jika dihubungkan dengan pekerjaan yang

dijalaninya sehari-hari. Menurut Lazarus dan Launier (1978) stres adalah situasi

yang terjadi akibat tuntutan lingkungan melebihi kemampuan yang dimiliki oleh

individu yang bersangkutan dan dampaknya dapat mempengaruhi lingkungan

sekitarnya. Terkadang stres yang dialami seseorang itu adalah kecil dan hampir

tidak berarti, namun bagi yang lainnya dianggap sangat mengganggu dan berlanjut

dalam waktu yang relatif lama (Efendi, 2001).

Pekerjaan merupakan peran yang sangat penting bagi kehidupan manusia,

maka pekerjaan dapat menimbulkan stres (Darwis, dkk, 1990). Lingkungan kerja

sama dengan lingkungan lainnya yang menuntut seseorang untuk dapat

menyesuaikan diri agar dapat menempatinya. Oleh karena itu, individu akan memiliki

kemungkinan untuk mengalami suatu keadaan stres dalam lingkungan kerja (Rice,

1992).

Stres sering diartikan sebagai perasaan khawatir dan takut (Dawis, dkk, 1990).

Stres atau ketegangan timbul sebagai suatu hasil ketidak seimbangan antara

persepsi orang tersebut mengenai tuntutan yang dihadapinya dan persepsinya

mengenai kemampuannya untuk menanggulangi tuntutan tersebut (Rice,1992).

Stres yang kemunculannya mengacu pada pekerjaan seseorang disebut

stres kerja (Austin, 2004). Stres kerja menurut Behr & Newman (dalam Rice, 1999)

kondisi dimana pekerjaan naik turun sehingga para pekerja melakukan aktifitas yang

sama. Interaksi dan kondisi kerja tersebut akan mempengaruhi perubahan fungsi

fisik dan psikologis dari seorang pekerja. Cooper (dalam Rice, 1999) mengemukakan

bahwa stres kerja adalah ketidakmampuan untuk memahami atau menghadapi

tekanan, dimana tingkat stres setiap individu berbeda-beda dan bereaksi sesuai

perubahan lingkungan atau keadaan.

Menurut Handoko (2000) Stres kerja merupakan suatu kondisi ketegangan

yang mempengaruhi emosi, proses berpikir, dan kondisi seseorang. Stres yang

terlalu besar dapat mengancam kemampuan seseorang untuk menghadapi

lingkungan. Selye (dalam Behr, 1995) menyatakan bahwa stres kerja dapat diartikan

sebagai sumber atau stressor kerja yang menyebabkan reaksi individu berupa reaksi

fisiologis, psikologis, dan perilaku.

Menurut Rice (1992), seseorang dapat mengalami stres kerja jika :

a. Urusan stres yang dialami seseorang melibatkan juga pihak organisasi atau

perusahaan tempat individu bekerja. Namun penyebabnya tidak hanya di dalam

perusahaan, karena masalah rumah tangga yang terbawa ke dalam pekerjaan

dan masalah pekerjaan yang terbawa ke dalam urusan rumah tangga dapat juga

menjadi penyebab stres kerja.

b. Mengakibatkan dampak negatif bagi individu dan juga perusahaan. Oleh karena

itu diperlukan kerjasama antara kedua belah pihak untuk menyelesaikan

persoalan stres tersebut.

Jadi dapat disimpulkan bahwa definisi stres kerja adalah interaksi antara

kondisi kerja dengan sifat-sifat karyawan yang bekerja yang merubah fungsi normal

secara fisik, psikologis maupun perilaku yang berasal dari tuntutan pekerjaan yang

melebihi kemampuan karyawan atau kondisi lingkungan yang menimbulkan stres

yang dapat menyebabkan pengaruh negatif bagi karyawan maupun organisasi

tempat dia bekerja yang membutuhkan solusi, baik itu dari personal maupun

perusahaan.

2.2.2 Gejala-gejala stres kerja

Beehr dan Newman (dalam Rice, 1999) telah memeriksa sejumlah penelitian

tentang stres kerja dan dirangkumkan ke dalam 3 tipe dari hal negatif individu

terhadap stres kerja yaitu gejala fisik, gejala psikologis, dan gejala perilaku.

a. Gejala fisik dari stres kerja

Yang termasuk dalam gejala-gejala fisik yaitu :

1) Meningkatnya detak jantung dan tekanan darah

2) Meningkatnya sekresi adrenalin dan non-adrenalin

3) Timbulnya gangguan perut

4) Kelelahan fisik

5) Kematian

6) Timbulnya penyakit kardiovaskuler

7) Ketegangan otot

8) Keringat berlebihan

9) Gangguan kulit

10) Sakit kepala

11) Kanker

12) Gangguan tidur

Salah satu masalah yang membuat hubungan antara pekerjaan, stres,

kesehatan adalah beberapa wanita yang bekerja membawa masalah kesehatan

fisiknya ke dalam pekerjaan. Hal ini bisa berhubungan dengan perilaku yang berisiko

tinggi pada lingkungan sosial. Kondisi tempat kerja bisa memperberat masalah

kesehatan, walaupun hal ini membuat lebih nyata tetapi pekerjaanlah yang

berindikasi besar pada masalah kesehatan.

b. Gejala psikologis dari stres kerja

Yang termasuk dalam gejala-gejala psikologis yaitu :

1) Ketegangan, kecemasan, kebingungan, dan mudah tersinggung

2) Perasaan frustasi, marah, dan kesal

3) Emosi yang menjadi sensitif dan hiperaktif

4) Perasaan tertekan

5) Kemampuan berkomunikasi efektif menjadi kurang

6) Menarik diri dan depresi

7) Perasaan terisolir dan terasing

8) Kebosanan dan ketidakpuasan dalam bekerja

9) Kelelahan mental dan menurunnya fungsi intelektual

10) Menurunnya harga diri

Kemungkinan besar prediksi efek stres kerja adalah ketidakpuasan

pekerjaan. Ketika hal ini muncul, seseorang merasa kurang termotivasi untuk

bekerja, tidak bekerja dengan baik, atau tidak melanjutkan pekerjaan. Gejala- gejala

ini muncul pada tahapan yang berbeda di dalam perjalanan dari pekerjaan tersebut,

dan bervariasi antara satu orang dengan yang lainnya.

c. Gejala perilaku dari stres kerja

Yang termasuk dalam gejala-gejala perilaku yaitu :

1) Bermalas-malasan dan menghindari pekerjaan

2) Kinerja dan produktivitas menurun

3) Meningkatnya penggunaan alkohol dan obat-obat terlarang

4) Melakukan sabotase pada pekerjaan

5) Makan berlebihan sebagai pelarian yang bisa mengakibatkan obesitas

6) Mengurangi makan sebagai perilaku menarik diri dan berkombinasi dengan

depresi.

7) Kehilangan selera makan dan menurunnya berat badan secara tiba-tiba

8) Meningkatnya perilaku yang berisiko tinggi

9) Agresif, brutal, dan mencuri

10) Hubungan yang tidak harmonis dengan keluarga dan teman

11) Kecenderungan melakukan bunuh diri.

Uraian di atas menunjukkan bahwa gejala stres kerja merupakan gejala yang

kompleks, yang meliputi kondisi fisik, psikologis, maupun perilaku. Namun demikian

gejala tersebut tidak muncul bersamaan waktunya pada seseorang, kemunculannya

bersifat kumulatif, yang sebenarnya telah terjadi dalam waktu yang cukup lama,

hanya saja tidak terdeteksi jika tidak menunjukkan perilaku tertentu.

2.2.3. Sumber-sumber Stres Kerja

Kebanyakan orang menghabiskan waktu untuk bekerja daripada mereka

melakukan berbagai aktivitas lainnya. Wajarlah jika kemudian pekerjaan menjadi

sumber utama dari stres. Fakta menunjukkan bahwa stres pekerjaan berdampak

pada kesehatan fisik dan mental dari karyawan. Menurut Cooper (dalam Rice, 1999)

mengidentifikasikan sumber-sumber stres kerja sebagai berikut :

a. Kondisi pekerjaan

Kondisi pekerjaan meliputi :

1) Lingkungan kerja. Kondisi kerja yang buruk berpotensi menjadi penyebab

karyawan mudah jatuh sakit, mudah stres, sulit berkonsentrasi, dan menurunnya

produktivitas kerja.

2) Overload, dapat dibedakan secara kuantitatif dan kualititatif. Dikatakan

overload secara kuantitatif jika banyaknya pekerjaan yang ditargetkan melebihi

kapasitas karyawan tersebut. Akibatnya karyawan tersebut mudah lelah dan

berada dalam “tegangan tinggi”. Overload secara kualitatif bila pekerjaan tersebut

sangat kompleks dan sulit, sehingga menyita kemampuan teknis dan kognitif

karyawan.

3) Deprivational stress, yaitu kondisi pekerjaan yang tidak lagi menantang, atau

tidak lagi menarik bagi karyawan. Biasanya keluhan yang muncul adalah

kebosanan, ketidakpuasan, atau pekerjaan tersebut kurang mengandung unsur

sosial (kurangnya komunikasi sosial).

4) Pekerjaan beresiko tinggi. Jenis pekerjaan yang beresiko tinggi, atau

berbahaya bagi keselamatan, misalnya pekerjaan di pertambangan minyak lepas

pantai, tentara, dan pemadam kebakaran, berpotensi menimbulkan stres kerja

karena mereka setiap saat dihadapkan pada kemungkinan terjadinya kecelakaan.

b. Stres karena peran

Sebagian besar karyawan yang bekerja di perusahaan yang sangat besar,

khususnya para wanita yang bekerja dikabarkan sebagai pihak yang mengalami

stres lebih tinggi dibandingkan dengan pria. Masalahnya, wanita bekerja ini

menghadapi konflik peran sebagai wanita karir sekaligus ibu rumah tangga.

Terutama dalam alam kebudayaan Indonesia, wanita sangat dituntut perannya

sebagai ibu rumah tangga yang baik dan benar sehingga banyak wanita karir yang

merasa bersalah ketika harus bekerja. Perasaan bersalah ditambah dengan tuntutan

dari dua sisi, yaitu pekerjaan dan ekonomi rumah tangga, sangat berpotensi

menyebabkan wanita bekerja mengalami stres.

c. Faktor interpersonal

Hubungan interpersonal di tempat kerja merupakan hal yang sangat penting

di tempat kerja. Dukungan dari sesam pekerja, manajemen, keluarga, dan teman-

teman diyakini dapat menghambat timbulnya stres. Dengan demikian perlu ada

kepedulian pihak manajemen pada karyawannya agar selalu tercipta hubungan yang

harmonis.

d. Pengembangan karir

Karyawan biasanya mempunyai berbagai harapan dalam kehidupan karir

kerjanya, yang ditujukan pada pencapaian prestasi dan pemenuhan kebutuhan untuk

mengaktualisasikan diri. Apabila perusahaan tidak dapat memenuhi kebutuhan

karyawan untuk berkarir, misalnya sistem promosi yang tidak jelas, kesempatan

untuk meningkatkan penghasilan tidak ada, karyawan akan merasa kehilangan

harapan, tumbuh perasaan ketidakpastian yang dapat menimbulkan perilaku stres.

e. Struktur Organisasi

Struktur organisasi berpotensi menimbulkan stres apabila diberlakukan

secara kaku, pihak manajemen kurang mempedulikan inisiatif karyawan, tidak

melibatkan karyawan dalam proses pengambilan keputusan, dan tidak adanya

dukungan bagi kreativitas karyawan.

f. Tampilan rumah-pekerjaan

Ketika pekerjaan berjalan dengan lancar, tekanan yang ada di rumah

cenderung bisa dihilangkan. Bagi kebanyakan orang, rumah sebagai tempat untuk

bersantai, mengumpulkan dan membangun kembali kekuatan yang hilang. Tetapi,

ketika keheningan terganggu, bisa karena pekerjaan atau konflik di rumah, efek dari

stres cenderung meningkat.

2.2.4 Hubungan antara Konflik Peran Ganda dengan St res Kerja

1. Penelitian yang dilakukan Steve Poelmans (2001) dengan judul “Work Family

Conflict as A Mediator Work Stres - Mental Health Relationship”. Hasil dari

penelitian itu sendiri adalah menerangkan bahwa konflik peran ganda memiliki

pengaruh yang positif dengan stres kerja maupun dalam hubungan dalam dunia

kerja maupun masyarakat.

2. Penelitian yang dilakukan Sariati Ahmad dan Martin Skitmore (2003) dengan judul

“Work – Family Conflict : A Survey of Singaporean Workers” yang meneliti tentang

bagaimana Work – Family Conflict terjadi pada pekerja di Singapura. Dalam

penelitian tersebut ditemukan bahwa pekerja wanita lebih sering mengalami Work

– Family Conflict dibandingkan pria. Dalam penelitian ini juga dibahas tentang

hubungan antara Work – Family Conflict, Stres, dan kinerja dimana tingkat Work –

Family Conflict akan memperngaruhi stres dan kinerja karyawan secara garis

lurus.

3. Penelitian yang dilakukan oleh Afina Murtiningrum, SS (2009) dengan judul

“Analisis pengaruh Konflik Pekerjaan – Keluarga Terhadap Stres Kerja dengan

Dukungan Sosial Sebagai Variabel Moderasi”. Dari penelitian tersebut didapatkan

hasil bahwa terdapat hubungan yang positif dan signifikan antara variabel konflik

pekerjaan – keluarga dengan variabel stres kerja.

4. Penelitian yang dilakukan oleh Nyoman Triaryati (2003) dengan judul “Pengaruh

Adaptasi Kebijakan Mengenai Work – Family Conflict terhadap Absen dan Turn

Over”, ditemukan bahwa karyawan wanita telah terbukti menderita depresi dan

mengalami stres lebih cepat dibandingkan pria, merupakan korban terbesar

dalam work-family conflict. Ketika karyawan wanita tersebut menghadapi situasi

kerja yang kurang menyenangkan karena tidak adanya adaptasi yang dibutuhkan

oleh mereka, maka dengan mudah akan timbul stres yang kemudian berpengaruh

pada kepuasan mereka. Dengan dasar penelitian tersebut, dapat disimpulkan

bahwa work-family conflict akan menimbulkan stres kerja, dan akan terbawa ke

tempat kerja. Dan karyawan yang rentan mengalami work-family conflict adalah

wanita, karena wanita akan dihadapkan pada pola tradisional yang berbeda

dengan laki-laki, meskipun memiliki jenjang karir yang sama, yakni mengurus

anak dan keluarga. Sehingga wanita menjadi lebih rentan mengalami stres di

tempat kerja, dan akan mempengaruhi tingkat kepuasan karyawan.

2.3. Perawat

2.3.1. Defenisi Perawat

Sesuai dengan Kepmenkes RI No. 1239 tahun 2001 tentang Registrasi dan

praktik perawat, perawat adalah seseorang yang telah lulus pendidikan perawat, baik

didalam maupun di luar negri sesuai dengan ketentuan peraturan perundang –

undangan yang berlaku. Dalam menjalankan praktik keperawatan harus senantiasa

meningkatkan mutu pelayanan profesinya, dengan mengikuti perkembangan ilmu

pengetahuan dan teknologi melalui pendidikan dan pelatihan sesuai dengan bidang

tugasnya. Dalam melaksanakan praktik keperawatan, perawat juga dituntut

melakukan peran dan fungsi sebagaimana yang diharapkan oleh profesi dan

masyarakat sebagai pengguna jasa pelayanan keperawatan (Kusnanto, 2003).

Menurut Taylor C Lilis C Lemone (dalam Sukma Nolo Widyawati, 2012)

perawat adalah seseorang yang berperan dalam merawat atau memelihara,

membantu dengan melindungi seseorang karena sakit, luka dan proses penuaan.

Sejalan dengan itu ICN (International Council of Nursing), perawat adalah

seseorang yang telah menyelesaikan pendidikan keperawatan yang memenuhi

syarat serta berwenang di negeri bersangkutan untuk memberikan pelayanan

keperawatan yang bertanggung jawab untuk meningkatkan kesehatan pencegahan

penyakit dan pelayanan penderita sakit (dalam Sukma Nolo Widyawati, 2012).

2.3.2. Peran, Fungsi dan Tanggung jawab Perawat

Peran merupakan seperangkat tingkah laku yang diharapkan orang lain

terhadap seseorang, sesuai kedudukannya dalam suatu sistem. Peran perawat

dipengaruhi oleh keadaan sosial baik dari dalam maupun dari luar profesi

keperawatan dan bersifat konstan.

Menurut Konsorsium ilmu kesehatan tahun 1989 (dalam Sukma Nolo

Widyawati, 2012) terdapat beberapa elemen peran perawat profesional, meliputi:

1. Sebagai pemberi asuhan keperawatan

Peran ini dapat dilakukan perawat dengan memperhatikan keadaan kebutuhan

dasar manusia yang dibutuhkan melalui pemberian pelayanan keperawatan.

Pemberian asuhan keperwatan ini dilakukan dari yang sederhana sampai

dengan yang kompleks.

2. Sebagai Advokat klien

Peran ini dilakukan perawat dalam membantu klien dan keluarga dalam

menginterpretasikan berbagai informasi dari pemberi pelayanan khususnya

dalam pengambilan persetujuan atas tindakan keperawatan. Perawat juga

berperan dalam mempertahankan dan melingungi hak – hak pasien.

3. Sebagai Edukator (Pendidik)

Peran ini dilakukan dengan membantu klien dalam meningkatkan tingkat

pengetahuan kesehatan, gejala penyakit bahkan tindakan yang diberikan

sehingga terjadi perubahan perilaku dari klien setelah dilakukan pendidikan

kesehatan.

4. Sebagai Koordinator

Peran ini dilaksanakan dengan mengarahkan, merencakan serta

mengorganisasi pelayanan kesehatan dari tim kesehatan sehingga pemberi

pelayanan kesehatan dapat terserah serta sesuai dengan kebutuhan klien.

5. Sebagai Kolaborator

Peran ini dilakukan karena perawat bekerja melalui tim kesehatan yang terdiri

dari dokter, fisioterapi, ahli gizi, dan lain – lain dengan berupaya

mengidektifikasi pelayanan keperawatan yang diperlukan.

6. Sebagai Konsultan

Perawat berperan sebagai tempat konsultasi dengan mengadakan

perencanaan, kerja sama, perubahan yang sistematis dan terarah sesuai

dengan metode pemberian pelayanan keperawatan.

7. Sebagai Pemabaharu

Perawat mengadakan perencanaan, kerjasama, perubahan yang sistematis

dan terarah sesuai dengan metode pemberian pelayanan keperawatan.

Menurut Henderson (dalam Chris Brooker, 2005), peran perawat adalah

membantu individu, sakit atau sehat, dalam melakukan tindakan – tindakan yang

berperan untuk kesehatan dan kesembuhan (atau kematian yang damai), tindakan –

tindakan itu akan dilakukan sendiri oleh individu tersebut seandainya ia memiliki

kekuatan, kemauan, atau pengetahuan. Perawat melakukan hal ini sedemikian rupa

sehingga individu tersebut memperoleh kemandirian secepat mungkin.

Fungsi adalah suatu pekerjaan yang harus dilaksanakan sesuai dengan

perannya, fungsi dapat berubah dari suatu keadaan ke keadaan yang lain. Ruang

lingkup dan fungsi keperawatan semakin berkembang dengan fokus manusia tetap

sebagai sentral pelayanan keperawatan. Bentuk asuhan yang menyeluruh dan utuh,

dilandasi keyakinan tentang manusia sebagai makhluk bio-psiko-sosio-spiritual yang

unik dan utuh (Kusnanto, 2003).

Adapun fungsi perawat terdiri dari:

1. Fungsi Independen

Merupakan fungsi mandiri dan tidak tergantung pada orang lain, dimana

perawat dalam melaksanakan tugasnya dilakukan secara sendiri dengan

keputusan sendiri dalam melakukan tindakan untuk memenuhi KDM.

2. Fungsi Dependen

Merupakan fungsi perawat dalam melaksanakan kegiatannya atas pesan

atau instruksi dari perawat lain sebagai tindakan pelimpahan tugas yang

diberikan. Biasanya dilakukan oleh perawat spesialis kepada perawat umum,

atau dari perawat primer ke perawat pelaksana.

3. Fungsi Interdependen

Fungsi ini dilakukan dalam kelompok tim yang bersifat saling

ketergantungan diantara satu tim satu dengan yang lainnya. Fungsi ini dapat

terjadi apabila bentuk pelayanan membutuhkan kerjasama tim dalam

pemberian pelayanan. Keadaan ini tidak dapat diatasi dengan tim perawat saja

melainkan juga dari dokter ataupun lainnya.

Tanggung jawab perawat secara umum adalah memberikan

asuhan/pelayanan keperawatan, meningkatkan ilmu pengetahuan dan meningkatkan

diri sebagai profesi. Tanggung jawab dalam memberi asuhan keperawatan kepada

klien mencakup aspek bio – psiko – sosial – kultural dan spiritual, dalam upaya

pemenuhan kebutuhan dasarnya dengan menggunakan pendekatan proses

keperawatan yang meliputi:

1. Membantu klien memperoleh kembali kesehatannya;

2. Membantu klien yang sehat untuk memelihara kesehatannya;

3. Membantu klien yang tidak dapat disembuhkan untuk menerima kondisinya;

4. Membantu klien yang menghadapi ajal untuk di perlakukan secara manusiawi

sesuai martabatnya sampai meninggal dengan tenang.

2.4. Wanita Dewasa Muda

2.4.1. Definisi Dewasa Muda

Yang dimaksud dengan dewasa muda adalah kelompok dengan rentang usia

antara 20 – 40 tahun (Papalia, Feldman, dan Gross, 2004). Masa dewasa muda

merupakan masa transisi dari masa remaja ke masa dewasa.

2.4.2. Perkembangan Psikososial Dewasa Muda

Perkembangan psikososial dewasa muda dijelaskan oleh Erikson berada

pada tahap keenam, yaitu intimacy vs isolation. Pada tahan ini, dewasa muda

diharapkan mampu membangun komitmen pribadi yang menuntut adanya

pengorbanan dan kompromi. Resolusi pada tahap ini adalah cinta, yang merupakan

devosi mutual dua orang yang memutuskan untuk hidup bersama, memiliki dan

membesarkan anak. Menurut Erikson (dalam Papalia, Olds, Feldman, dan Gross,

2004) keputusan tidak memenuhi dorongan prokreasi alamiah akan berpengaruh

serius terhadap perkembangan seseorang dewasa muda.

Vaillant (dalam Papalia, Olds, Feldman, dan Gross, 2004) melalui Grant

Studynya menemukan pola tipikal dewasa muda. Pada usia 20 tahun, kebanyakan

orang masih didominasi orang tua, di usia 20 – 30 tahun, orang mulai mencapai

otonomi, berkeluarga, memiliki anak dan menjalin persahabatan. Pada usia 30 – 40

tahun, orang memasuki masa konsolidasi karir, yaitu masa orang bekerja keras

sekaligus mengabdikan diri sepenuhnya pada keluarga.

Levinson (dalam Papalia, Olds, Feldman, dan Gross, 2004) sejalan dengan

Vaillant, berpendapat bahwa saat seseorang memasuki usia dewasa muda (usia 17

– 33 tahun), orang membangun struktur kehidupan dengan meninggalkan orang tua

dan mulai mandiri baik secara finansial maupun emosional, memilih pekerjaan dan

pasangan hidup. Pada masa transisi di usia 30 tahun, seseorang mengevaluasi

ulang dan memperbaiki hidupnya hingga dimasa kulminasi mulai menetapkan tujuan

beserta waktu pencapaiannya. Dalam studinya, Levinson juga menemukan bahwa

perempuan melalui masa, fase, dan transisi yang sama, namun pembagian peran

tradisional antara perempuan dan laki – laki menyebabkan perempuan dapat

menghadapi keterbatasan psikologis dan lingkungan dalam membentuk struktur

hidup dan masa transisinya cenderung lebih lama.

Papalia, Olds, Feldman, dan Gross (2004) juga menyebut dewasa muda

sebagai masa perubahan drastis dalam hubungan personal. Di masa tersebut, orang

membangun, menegosiasi ulang dan memantapkan ikatan relasi berdasarkan cinta

dan seksualitas. Erikson memandang perkembangan hubungan intim sebagai tugas

penting dewasa muda. Persahabatan selama dewasa muda dan dewasa madya

cenderung berpusat pada pekerjaan dan pengasuhan anak, yaitu berbagai rahasia

dan saran – saran.

2.4.3. Tugas Perkembangan Dewasa Muda

Papalia, Olds, Feldman, dan Gross (2004) menerangkan pada masa dewasa

muda, orang membuat piihan karir sekaligus membentuk hubungan intim untuk

seumur hidup. Di masa itu, kebanyakan orang menikah dan menjadi orang tua. Di

sisi lain, pekerjaan yang mereka jalani juga menjadi hal penting yang menjadi pusat

hidup mereka.

Dengan memperoleh pekerjaan, perempuan dan laki – laki dewasa muda

memperoleh perannya sebagai pekerja. Secara khusus, saat kemudian perempuan

dewasa muda memutuskan untuk menikah, ia memperoleh peran sebagai istri.

Ketika kemudian anaknya lahir, perempuan memperoleh peran baru sebagai ibu.

Semua peran yang dijalani perempuan dewasa muda membawa serta tuntutan dan

tanggung jawab yang harus dipenuhinya. Konflik peran ganda secara teotiris

memeiliki resiko tinggi untuk individu dan keluarga karena keberhasilan integrasi

pekerjaan dan keluarga merupakan tugas utama selama dewasa muda dan dewasa

madya (Gryzwacs dan Bass, 2003).

2.5 Kerangka Berpikir

Berdasarkan uraian dari latar belakang dan teori yang telah dijabarkan,

penelitian ini dibuat dan dijalankan karena stroke merupakan penyakit paling

berbahaya yang mengancam nyawa seseorang. Dengan demikian seharusnya

banyak terdapat rumah sakit yang khusus dalam menangani pasien yang terserang

penyakit berbahaya tersebut.

Sumatera Barat merupakan salah satu provinsi di pulau Sumatra yang sangat

terkenal akan makanan yang mengandung kolesterol tinggi yang sangat cepat

memicu timbulnya penyakit stroke. Maka didirikanlah Rumah Sakit yang khusus

melayani pasien stroke di Sumatera Barat, tepatnya di kota Bukittinggi. Rumah sakit

tersebut juga dijadikan sebagai pusat rujukan bagi pasien yang terindikasi stroke.

Dalam pengembangan rumah sakit tersebut pastinya dibutuhkan tenaga yang

ahli dalam melayani pasiennya. Perawat merupakan tenaga medis yang paling

sering berinteraksi dengan para pasien. Di Rumah Sakit Stroke Nasional Bukittinggi

sendiri para perawat telah diberikan pelatihan mengenai bagaimana melayani dan

memberikan penyuluhan kepada para pasien yang terserang stroke. Dengan

harapan agar mereka dapat menangani pasien stroke dengan baik dan semestinya.

Namun data dilapangan menunjukkan bahwa pasien seringkali mengeluhkan

sikap dari perawat di rumah sakit tersebut. Hal ini mencerminkan buruknya kinerja

dari perawat tersebut. Kinerja menurut peneltian yang dilakukan Yerkes dan Dodson

(1908) menunjukkan hubungan yang terbalik dengan stres kerja yaitu, semakin

rendah kinerja maka tingkat stres kerja semakin tinggi. Dengan berdasarkan

pernyataan di atas peneliti menduga bahwa kinerja perawat yang buruk disebabkan

oleh stres kerja yang dialaminya. Berdasarkan wawancara yang dilakukan pun

tergambar beberapa gejala stres kerja yang dialami oleh perawat tersebut. Dari

wawancara tersebut juga tergambar apa yang menyebabkan stres kerja tersebut

bisa terjadi. Faktor dominan yang terlihat adalah karena sulitnya perawat dalam

pembagian perannya.

Perawat cenderung mengeluhkan kesulitannya memenuhi peran gandanya

yaitu perannya sebagai ibu di rumah dan perannya sebagai perawat yang bekerja di

rumah sakit. Dengan diadakannya penelitian ini akan membuktikan apakah benar

terdapat hubungan antara konflik peran ganda yang dialami oleh perawat dengan

stres kerja. Penelitian ini penting agar indikasi bisa diatasi dengan baik oleh individu

maupun instansi tempat bekerja, mengingat tugas dari perawat berkaitan langsung

dengan nyawa pasien yang ditanganinya.

Gambar 2.1 Gambar kerangka Berpikir

Sumber: Diolah Oleh Penulis

Banyaknya keluhan yang dilayangkan oleh para pasien mengenai

perawat

Kinerja perawat yang

buruk

Stres kerja menyebabkan

buruknya kinerja

Konflik peran ganda diindikasikan sebagai penyebab stres kerja

perawat

KORELASI