BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Keselamatan dan Kesehatan ...repository.untag-sby.ac.id/769/3/BAB...

12
7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) 2.1.1. Pengertian K3 Secara filosofi, Keselamatan dan Kesehatan Kerja dapat diartikan sebagai pemikiran dan upaya untuk menjamin keutuhan dan kesempurnaan tenaga kerja dan manusia pada umumnya baik jasmani maupun rohani. Secara keilmuan Keselamatan dan Kesehatan Kerja diartikan sebagai suatu ilmu pengetahuan dan penerapannya dalam upaya mencegah kecelakaan, kebakaran, peledakan, pencemaran, serta penyakit. Sedangkan kecelakaan diartikan sebagai kejadian yang tidak diduga sebelumnya yang dapat mengakibatkan gangguan terhadap suatu proses pekerjaan yang telah direncanakan. Sedangkan menurut ILO/WHO (1998) Keselamatan dan Kesehatan Kerja adalah suatu promosi, perlindungan dan peningkatan derajat kesehatan yang setinggi-tingginya mencangkup aspek fisik, mental, dan sosial untuk kesejahteraan seluruh pekerja di semua tempat kerja. 2.1.2. Tujuan K3 Secara garis besar, Keselamatan dan Kesehatan Kerja memiliki tujuan untuk: a. Melindungi para pekerja dan orang lain di tempat kerja b. Menjamin agar setiap sumber produksi dapat dipakai secara aman dan efisien. c. Menjamin proses produksi berjalan lancar 2.1.3. Syarat K3 Adapun syarat-syarat keselamatan kerja yang diatur dalam Undang-Undang Keselamatan dan Kesehatan Kerja (Undang-Undang No. 1 Tahun 1970 pasal 3 ayat 1), Keselamatan dan Kesehatan Kerja dibuat untuk : a. Mencegah dan mengurangi kecelakaan; b. Mencegah, mengurangi dan memadamkan kebakaran; c. Mencegah dan mengurangi bahaya peledakan; d. Memberi kesempatan atau jalan menyelamatkan diri pada waktu kebakaran atau kejadian-kejadian lain yang berbahaya; e. Memberi pertolongan pada kecelakaan; f. Memberi alat-alat perlindungan diri kepada pekerja; g. Mencegah dan mengendalikan timbul atau menyebar luasnya suhu, kelembapan, debu, kotoran, asap, uap, gas, hembusan angin, cuaca, sinar atau radiasi, suara dan getaran;

Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Keselamatan dan Kesehatan ...repository.untag-sby.ac.id/769/3/BAB...

7

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3)

2.1.1. Pengertian K3

Secara filosofi, Keselamatan dan Kesehatan Kerja dapat diartikan sebagai

pemikiran dan upaya untuk menjamin keutuhan dan kesempurnaan tenaga kerja dan

manusia pada umumnya baik jasmani maupun rohani.

Secara keilmuan Keselamatan dan Kesehatan Kerja diartikan sebagai suatu

ilmu pengetahuan dan penerapannya dalam upaya mencegah kecelakaan, kebakaran,

peledakan, pencemaran, serta penyakit. Sedangkan kecelakaan diartikan sebagai

kejadian yang tidak diduga sebelumnya yang dapat mengakibatkan gangguan

terhadap suatu proses pekerjaan yang telah direncanakan.

Sedangkan menurut ILO/WHO (1998) Keselamatan dan Kesehatan Kerja

adalah suatu promosi, perlindungan dan peningkatan derajat kesehatan yang

setinggi-tingginya mencangkup aspek fisik, mental, dan sosial untuk kesejahteraan

seluruh pekerja di semua tempat kerja.

2.1.2. Tujuan K3

Secara garis besar, Keselamatan dan Kesehatan Kerja memiliki tujuan untuk:

a. Melindungi para pekerja dan orang lain di tempat kerja

b. Menjamin agar setiap sumber produksi dapat dipakai secara aman dan

efisien.

c. Menjamin proses produksi berjalan lancar

2.1.3. Syarat K3

Adapun syarat-syarat keselamatan kerja yang diatur dalam Undang-Undang

Keselamatan dan Kesehatan Kerja (Undang-Undang No. 1 Tahun 1970 pasal 3 ayat

1), Keselamatan dan Kesehatan Kerja dibuat untuk :

a. Mencegah dan mengurangi kecelakaan;

b. Mencegah, mengurangi dan memadamkan kebakaran;

c. Mencegah dan mengurangi bahaya peledakan;

d. Memberi kesempatan atau jalan menyelamatkan diri pada waktu kebakaran

atau kejadian-kejadian lain yang berbahaya;

e. Memberi pertolongan pada kecelakaan;

f. Memberi alat-alat perlindungan diri kepada pekerja;

g. Mencegah dan mengendalikan timbul atau menyebar luasnya suhu,

kelembapan, debu, kotoran, asap, uap, gas, hembusan angin, cuaca, sinar

atau radiasi, suara dan getaran;

8

h. Mencegah dan mengendalikan timbulnya penyakit akibat kerjabaik physic

maupun psikis. Peracunan, infeksi dan penularan;

i. Menyelenggarakan suhu dan lembab udara yang baik;

j. Memperoleh penerangan yang cukup dan sesuai;

k. Menyelenggarakan penyegaran udara yang cukup;

l. Memelihara kebersihan, kesehatan dan ketertiban;

m. Memperoleh keserasian antara tenaga kerja, alat kerja, lingkungan, cara dan

proses kerjanya;

n. Mengamankan dan memperlancar pengangkutan orang, binatang, tanaman

dan barang;

o. Mengamankan dan memelihara segala jenis bangunan;

p. Mengamankan dan memperlancar bongkar muat, perlakuan dan

penyimpanan barang;

q. Mencegah terkena aliran listrik berbahaya;

r. Menyesuaikan dan menyempurnakan pengamanan pada pekerjaan yang

bahaya kecelakaannya menjadi bertambah tinggi.

2.2. Kecelakaan Akibat Kerja

2.2.1. Pengertian Kecelakaan Akibat Kerja

Kecelakaan kerja adalah kejadian tidak diharapkan yang mengakibatkan

kesakitan (cedera atau korban jiwa) pada orang, kerusakan pada properti dan

kerugian dalam proses yang terjadi saat pekerjaan dilakukan (Bird and germain,

1990). Kecelakaan akibat kerja adalah kecelakaan yang terjadi dalam hubungan

kerja atau sedang melakukan pekerjaan di suatu tempat.

2.2.2. Penyebab Kecelakaan Akibat Kerja

ILO (1989) mengemukakan bahwa kecelakaan akibat kerja pada dasarnya

disebabkan oleh tiga faktor yaitu faktor pekerja, pekerjaannya dan faktor lingkungan

di tempar kerja.

a. Faktor Pekerja

1. Umur

Umur mempunyai pengaruh yang penting terhadap kejadian

kecelakaan akibat kerja. Golongan umur tua mempunyai

kecenderungan yang lebih tinggi untuk mengalami kecelakaan akibat

kerja dibandingkan dengan golongan umur muda karena umur muda

mempunyai reaksi dan kegesitan yang lebih tinggi (Hunter, 1975).

Namun umur muda pun sering pula mengalami kasus kecelakaan akibat

kerja, hal ini mungkin karena kecerobohan dan sikap suka tergea-gesa

(Tresnaningsih, 1991).

9

Banyak alasan mengapa tenaga kerja golongan umur muda mempunyai

kecenderungan untuk menderita kecelakaan akibat kerja lebih tinggi

dibandingkan dengan golongan umur yang lebih tua. Oborno (1982),

menyebutkan beberapa faktor yang mempengaruhi tingginya kejadian

kecelakaan akibat kerja pada golongan umur muda antara lain karena kurang

perhatian, kurang disiplin, cenderung menuruti kata hati, ceroboh, dan tergea-

gesa.

2. Tingkat Pendidikan

Pendidikan sesorang berpengaruh dalam pola pikir sesorang dalam

menghadapi pekerjaan yang dipercayakan kepadanya, selain itu pendidikan

juga akan mempengaruhi tingkat penyerapan terhadap pelatihan yang

diberikan dalam rangka melaksanakan pekerjaan dan keselamatan kerja.

Menurut Achmadi (1990) yang dimaksud dengan pendidikan adalah

pendidikan formal yang diperoleh disekolah dan ini sangat berpengaruh

terhadap perilaku pekerja. Namun disamping pendidikan formal, pendidikan

non formal seperti penyuluhan dan pelatihan juga dapat berpengaruh terhadap

pekerja dalam pekerjaannya.

3. Pengalaman Kerja

Pengalaman kerja merupakan faktor yang dapat mempengaruhi

terjadinya kecelakaan akibat kerja. Berdasarkan berbagai penelitian dengan

meningginya pengalaman dan keterampilan akan disertai dengan penurunan

angka kecelakaan akibat kerja. Kewaspadaan terhadap kecelakaan akibat kerja

bertambah baik sejalan dengan pertambahan usia dan lamanya kerja di tempat

kerja yang bersangkutan ( Suma’mur 1989).

Tenaga kerja baru biasanya belum mengetahui secara mendalam seluk-

beluk pekerjaannya.

Penelitian dengan studi restropektif di Hongkong dengan 383 kasus

membuktikan bahwa kecelakaan akibat kerja karena mesin terutama terjadi

pada buruh yang mempunyai pengalaman kerja di bawah 1 tahun (Ong, Sg,

1982).

10

b. Pekerjaan

1. Giliran Kerja (Shift )

Giliran kerja adalah pembagian kerja dalam waktu dua puluh empat

jam (Andrauler P. 1989). Terdapat dua masalah utama pada pekerja yang

bekerja secara bergiliran, yaitu ketidak mampuan pekerja untuk

beradaptasi dengan sistem shift dan ketidak mampuan pekerja untuk

beradaptasi dengan kerja pada malam hari dan tidur pada siang hari

(Andrauler P. 1989). Pergeseran waktu kerja dari pagi, siang dan malam

hari dapat mempengaruhi terjadinya peningkatan kecelakaan akibat kerja

(Achmadi, 1980).

2. Jenis (Unit) Pekerjaan

Jenis pekerjaan mempunyai pengaruh besar terhadap resiko terjadinya

kecelakaan akibat kerja (Suma’mur, 1989). Jumlah dan macam

kecelakaan akibat kerja berbeda-beda di berbagai kesatuan operasi dalam

suatu proses.

c. Faktor Lingkungan

1. Lingkungan Fisik

Faktor lingkungan fisik dapat berupa pencahayaan dan kebisingan.

Pencahayaan merupakan suatu aspek lingkungan fisik yang penting bagi

keselamatan kerja. Beberapa penelitian membuktikan bahwa

pencahayaan yang tepat dan sesuai dengan pekerjaan akan dapat

menghasilkan produksi yang maksimal dan dapat mengurangi terjadinya

kecelakaan akibat kerja (ILO, 1989).

Kebisingan ditempat kerja dapat berpengaruh terhadap pekerja karena

kebisingan dapat menimbulkan gangguan perasaan, gangguan

komunikasi sehingga menyebabkan salah pengertian, tidak mendengar

isyarat yang diberikan, hal ini dapat berakibat terjadinya kecelakaan

akibat kerja disamping itu kebisingan juga dapat menyebabkan hilangnya

pendengaran sementara atau menetap. Nilai ambang batas kebisingan

adlah 85 dBa untuk 8 jam kerja sehari atau 40 jam kerja dalam seminggu

(Suma’mur, 1990).

2. Lingkungan Kimia

Faktor lingkungan kimia merupakan salah satu faktor lingkungan

yang memungkinkan penyebab kecelakaan kerja. Faktor tersebut dapat

11

berupa bahan baku suatu produksi, hasil suatu produksi dari suatu proses,

proses produksi sendiri ataupun limbah dari suatu produksi.

3. Faktor Lingkungan Biologi

Bahaya biologi disebabkan oleh jasad renik, gangguan dari serangga

maupun binatang lain yang ada di tempat kerja. Berbagai macam penyakit

dapat timbul seperti infeksi, allergi, dan sengatan serangga maupun gigitan

binatang berbisa berbagai penyakit serta bisa menyebabkan kematian (Syukri

Sahap, 1998).

2.3. Angka Kecelakaan Kerja

Menurut Dainur (1992), angka kecelakaan kerja yang dapat dihitung meliputi:

2.3.1. Frekuensi Kecelakaan (Frequency Rate)

Frequency Rate digunakan untuk mengidentifikasi jumlah cidera yang

menyebabkan tidak bisa bekerja per sejuta orang pekerja. Ada dua data penting yang

harus ada untuk menghitung Frequency Rate, yaitu jumlah jam kerja hilang akibat

kecelakaan kerja (Lost Time Injury /LTI) dan jumlah jam kerja orang yang telah

dilakukan (man hours).

Angka LTI diperoleh dari catatan lama mangkirnya tenaga kerja akibat

kecelakaan kerja. Sedang jumlah jam kerja orang yang terpapar diperoleh dari

bagian absensi atau pembayaran gaji. Bila tidak memungkinkan, angka ini dihitung

dengan mengalikan jam kerja normal tenaga kerja terpapar, hari kerja yang

diterapkan dan jumlah tenaga kerja keseluruhan yang beresiko.

Rumus untuk menghitung Frequency Rate adalah:

𝐹𝑟𝑒𝑞𝑢𝑒𝑛𝑐𝑦 𝑅𝑎𝑡𝑒 =𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝐾𝑒𝑐𝑒𝑙𝑎𝑘𝑎𝑎𝑛 𝑑𝑒𝑛𝑔𝑎𝑛 𝑗𝑎𝑚 𝑘𝑒𝑟𝑗𝑎 𝑦𝑎𝑛𝑔 ℎ𝑖𝑙𝑎𝑛𝑔 × 1.000.000

𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑗𝑎𝑚 𝑘𝑒𝑟𝑗𝑎 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑡𝑒𝑙𝑎ℎ 𝑑𝑖𝑙𝑎𝑘𝑢𝑘𝑎𝑛

2.3.2. Rasio Keparahan Cidera (Severity Rate)

Severity Rate menyatakan indicator hilangnya hari kerja akibat kecelakaan kerja

untuk persejuta jam kerja orang. Rumus untuk menghitung Severity Rate adalah:

𝑆𝑒𝑣𝑒𝑟𝑖𝑡𝑦 𝑅𝑎𝑡𝑒 =𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ ℎ𝑎𝑟𝑖 𝑘𝑒𝑟𝑗𝑎 𝑦𝑎𝑛𝑔 ℎ𝑖𝑙𝑎𝑛𝑔 × 1.000.000

𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑗𝑎𝑚 𝑘𝑒𝑟𝑗𝑎 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑡𝑒𝑙𝑎ℎ 𝑑𝑖𝑙𝑎𝑘𝑢𝑘𝑎𝑛

12

2.3.3. Rerata Hilangnya Waktu Kerja (Average Lost Time Rate / ALTR)

ALTR mengindikasikan tingkat keparahan suatu kecelakaan. Indikator ini

dikenal dengan nama lain duration rate. Rumus untuk menghitung ALTR adalah:

𝐴𝐿𝑇𝑅 =𝐹𝑟𝑒𝑞𝑢𝑒𝑛𝑐𝑦 𝑅𝑎𝑡𝑒

𝑆𝑒𝑣𝑒𝑟𝑖𝑡𝑦 𝑅𝑎𝑡𝑒

2.3.4. Incidence Rate

Angka ini memberi informasi tentang persentase jumlah kecelakaan di tempat

kerja. Rumus untuk menghitung Incidence Rate adalah:

𝐼𝑛𝑐𝑖𝑑𝑒𝑛𝑐𝑒 𝑅𝑎𝑡𝑒 (%) =𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝐾𝑎𝑠𝑢𝑠 × 100

𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑡𝑒𝑛𝑎𝑔𝑎 𝑘𝑒𝑟𝑗𝑎 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑡𝑒𝑟𝑝𝑎𝑝𝑎𝑟

2.3.5. Frequency Severity Indicator (FSI)

Indikator ini merupakan gabungan dari frequency rate dan severity rate. Nilai

FSI dapat dijadikan ranking kinerja antar bagian di tempat kerja. Rumus untuk

menghitung FSI adalah:

𝐹𝑆𝐼 =𝐹𝑟𝑒𝑞𝑢𝑒𝑛𝑐𝑦 𝑅𝑎𝑡𝑒 × 𝑆𝑒𝑣𝑒𝑟𝑖𝑡𝑦 𝑅𝑎𝑡𝑒

1000

2.3.6. Safe-T Score

Safe-T Score merupakan nilai indicator untuk menilai tingkat perbedaan

antara dua kelompok yang dibandingkan. Dalam statistik biasa dikenal

dengan t-test. Rumus untuk menghitung Safe-T Score adalah:

𝑆𝑎𝑓𝑒 − 𝑇 𝑆𝑐𝑜𝑟𝑒 =𝐹𝑟𝑒𝑞𝑢𝑒𝑛𝑐𝑦 𝑅𝑎𝑡𝑒 𝑆𝑒𝑘𝑎𝑟𝑎𝑛𝑔 − 𝐹𝑟𝑒𝑞𝑢𝑒𝑛𝑐𝑦 𝑅𝑎𝑡𝑒 𝑆𝑒𝑏𝑒𝑙𝑢𝑚𝑛𝑦𝑎

𝐹𝑟𝑒𝑞𝑢𝑒𝑛𝑐𝑦 𝑅𝑎𝑡𝑒 𝑆𝑒𝑏𝑒𝑙𝑢𝑚𝑛𝑦𝑎

13

2.4. Tingkat Keparahan Kecelakaan

Menurut Peraturan Pemerintah No. 11 Tahun 1979, tingkat keparahan

kecelakaan kerja dibagi menjadi 4, yaitu:

a. Mati

b. Berat

c. Sedang

d. Ringan

Penggolongan tingkat keparahan kecelakaan kerja diketahui dengan menghitung

jumlah jam kerja yang hilang.

2.5. Bahaya

Menurut OHSAS 18001 : 2007, pengertian bahaya (hazard) adalah semua

sumber, kondisi maupun kesibukan yang mempunyai potensi menyebabkan cedera

(kecelakaan kerja) serta atau penyakit akibat kerja (PAK).

2.5.1. Jenis Bahaya

Jenis bahaya dapat diklasifikasikan menjadi 4 yaitu:

a. Bahaya Mekanis

Bahaya mekanis bersumber dari peralatan mekanis atau benda bergerak

dengan gaya mekanika.

b. Bahaya Listrik

Bahaya listrik bersumber dari energi listrik yang dapat mengakibatkan

berbagai bahaya seperti kebakaran, sengatan listrik serta hubungan arus

pendek.

c. Bahaya Kimiawi

Bahaya kimiawi berasal dari bahan kimia yang dapat menimbulkan potensi

bahaya sesuai dengan sifat dari bahan kimia tersebut.

d. Bahaya Fisik

Bahaya fisik berasal dari faktor fisik, diantaranya getaran, tekanan gas,

kebisingan, suhu, cahaya, serta radiasi.

2.6. Manajemen Risiko

2.6.1. Pengertian Manajemen Risiko

Menurut OHSAS 18001, risiko adalah kombinasi dari kemungkinan terjadinya

kejadian berbahaya atau paparan dengan keparahan dari cidera atau gangguan

kesehatan yang disebabkan oleh kejadian atau paparan tersebut.

14

Menurut Ramli (2010), manajemen risiko adalah suatu upaya mengelola risiko

untuk mencegah terjadinya kecelakaan yang tidak diinginkan secara komprehensif,

terencana dan terstruktur dalam suatu kesisteman yang baik.

2.6.2. Tujuan Manajemen Risiko

Adapun tujuan manajemen risiko dalam suatu perusahaan adalah:

a. Memberikan perlindungan terhadap perusahaan dari tingkat risiko

signifikan yang dapat menghambat proses tercapainya tujuan

perusahaan.

b. Membantu proses pembuatan kerangka kerja yang konsisten..

c. Mendorong manajemen agar bertindak proaktif dalam mengurangi

potensi risiko.

d. Mendorong setiap personel perusahaan agar bertindak hati-hati dalam

menghadapi risiko.

e. Membantu meningkatkan kinerja perusahaan dalam mengembangkan

strategi dan perbaikan proses secara berkesinambungan.

2.6.3. Manfaat Manajemen Risiko

Menurut Ramli (2010) dengan adanya manajemen risiko, perusahaan akan

memperoleh manfaat antara lain:

a. Menjamin kelangsungan usaha dengan mengurangi risiko dari setiap

kegiatan yang mengandung bahaya.

b. Menekan biaya untuk penanggulangan kejadian yang tidak diinginkan.

c. Menimbulkan rasa aman dikalangan pemegang saham mengenai

kelangsungan investasinya.

d. Meningkatkan pemahaman dan kesadaran mengenai risiko operasi bagi

setiap unsur dalam organisasi perusahaan.

e. Memenuhi persyaratan perundangan yang berlaku.

15

2.6.4. Metode Manajemen Risiko

Dalam pelaksanaan manajemen risiko, terdapat beberapa metode yang dapat

digunakan, diantaranya adalah:

a. Preliminary Hazard Analysis (PHA)

Preliminary Hazard Analysis menurut Budiono (2003), adalah suatu

metode yang digunakan sebagai analisis awal. Metode ini digunakan

sebagai rekomendasi untuk pekerjaan tahap final. Hasil dari PHA

berupa daftar sumber bahaya dan risiko yang berhubungan dengan detail

rancangan beserta rekomendasi upaya mengendalikan sumber bahaya

dan risiko. Data yang diperlukan dalam menyusun PHA adalah kriteria

desain tempat kerja, spesifikasi peralatan dan instalasi serta spesifikasi

bahan atau produk terkait.

b. Hazard and Operability Study (HAZOPS)

Hazard and Operability Study merupakan suatu metode yang bertujuan

untuk meninjau proses pada suatu system untuk menentukan apakah

proses penyimpangan dapat mendorong kearah kejadian atau kecelakaan

yang ridak diinginkan.

c. Failure Modes and Effect Analysis (FMEA)

FMEA merupakan suatu metode yang digunakan untuk menganalisis

sistem yang berhubungan dengan engineering yang mungkin mengalami

kegagalan dan efek yang ditimbulkan dari kegagalan. Metode ini

menilai komponen dari suatu sistem tentang bagaimana sistem dapat

gagal, lalu mengevaluasi efek dari kegagalan tersebut, termasuk tingkat

bahaya dari kegagalan, serta bagaimana mengurangi atau mencegah

kegagalan tersebut.

d. Job Safety Analysis

Merupakan teknik analisis untuk mengkaji langkah-langkah suatu

kegiatan dan mengidentifikasikan sumber bahaya yang ada dari tiap-tiap

langkah tersebut serta merencanakan tindakan pencegahan utnuk

mengurangi risiko.

e. What if

Merupakan pemeriksaan yang dilakukan dari proses operasi yang

dilakukan oleh sekelompok individu yang berpengalaman sehingga

dapat mengajukan pertanyaan atau menyumbang suara tentang

peristiwa-peristiwa yang tidak diinginkan. What if mengidentifikasi

kejadian kecelakaan yang mungkin terjadi, konsekuensinya, dan tingkat

16

keselamatan yang ada, sehingga dapat menyarankan alternatif untuk

pengurangan risiko.

f. Brainstroming

Brainstroming merupakan teknik diskusi dan pertemuan berbagai pihak

dan individu yang berbeda untuk menggali potensi bahaya yang ada.

g. Fault Tree Analysis (FTA)

FTA menggunakan metode analisis yang bersifat deduktif. Pohon

keputusan dibuat dengan menetapkan kejadian puncak yang mungkin

terjadi dalam sistem atau proses, dilanjutkan dengan mengidentifikasi

kejadian yang dapat menimbulkan kejadian puncak dalam bentuk pohon

logika ke bawah.

h. Task Risk Assesment

Merupakan teknik mengidentifikasi bahaya tugas tertentu untuk

mengurangi risiko cedera dengan memperkirakan tingkat risiko suatu

kegiatan tertentu dengan mengklasifikasikan potensi konsekuensi untuk

mengetahui tindakan yang berguna membatasi risiko yang timbul.

i. Check list

Metode ini dilakukan dengan membuat daftar periksa pemeriksaan di

tempat kerja. Pemeriksaan dilakukan oleh personel yang mengenal

dengan baik lingkungan kerja, semakin dalam pemahaman, maka

semakin rinci identifikasi bahaya yang dapat dilakukan, maka

pengembangan daftar periksa sebaiknya melibatkan pekerja setempat.

j. Hazard Identification Risk Assesment and Risk Control (HIRARC)

Merupakan serangkaian proses mengidentifikasi bahaya yang dapat

terjadi dalam aktivitas rutin maupun non rutin di perusahaan, kemudian

dilakukan penilaian risiko bahaya dilanjutkan dengan membuat program

pengendalian bahaya tersebut agar dapat meminimalisir tingkat risiko

untuk mencegah terjadinya kecelakaan.

2.7. Hazard Identification Risk Assesment and Risk Control (HIRARC)

Prinsip dari HIRARC adalah mengklasifikasikan jenis pekerjaan dilanjutkan

dengan mengidentifikasi sumber bahaya kemudian diketahui risiko yang ada. Risiko

tersebut dilakukan penilaian untuk selanjutnya dilakukan pengendalian untuk

mengurangi bahaya yang terdapat pada setiap jenis pekerjaan.

17

2.7.1. Identifikasi Bahaya

Menurut Stuart Hawthron, cara sederhana untuk melakukan

identifikasi bahaya adalah dengan mengamati. Identifikasi bahaya

memberikan manfaat antaralain:

a. Mengurangi peluang kecelakaan dengan mengetahui faktor penyebab

kecelakaan.

b. Memberikan pemahaman bagi semua pihak terkait potensi bahaya

sehingga meningkatkan kewaspadaaan.

c. Sebagai landasan untuk menentukan tindakan pencegahan yang

efektif serta sesuai prioritas risiko.

d. Memberikan informasi terkait sumber bahaya kepada semua pihak

yang memberi gambaran terkait risiko yang timbul dari suatu

pekerjaan.

2.7.2. Penilaian Risiko

Langkah kedua dalam implementasi HIRARC adalah melakukan

penilaian risiko melalui analisa dan evaluasi risiko. Langkah ini

bertujuan untuk menentukan besar suatu risiko dengan

mempertimbangkan kemungkinan terjadi serta besar dampak yang timbul

sehingga peringkat risiko dapat diketahui.

Hasil analisa risiko dievaluasi dan dibandingkan dengan kriteria

yang telah ditetapkan untuk mengetahui diterima atau tidaknya risiko

tersebut.

Setelah menentukan tingkat risiko, tahap selanjutnya adalah

mengklasifikasikan risiko dari tingkatan terendah ketingkat yang lebih

tinggi.

2.7.3. Pengendalian Risiko

Tindakan pengendalian dilakukan melalui eliminasi, subsitusi,

engineering control, warning system, admisnistrative control, alat serta

pelindung diri.

a. Eliminasi

Tujuan dari eliminasi adalah menghilangkan kemungkinan kesalahan

manusia dalam menjalankan suatu sistem karena adanya kekurangan

pada desain. Penghilangan bahaya merupakan metode paling efektif

namun terkadang tidak praktis serta ekonomis.

b. Substitusi

Tujuan dari substitusi adalah mengganti bahan, proses, operasi

ataupun peralatan dari yang berbahaya menajdi tidak berbahaya.

18

Pengendalian ini menurunkan bahaya risiko melalui sistem ulang

maupun desain ulang.

c. Engineering Control

Pengendalian ini bertujuan untuk memisahkan bahaya dengan

pekerja serta mencegah terjadinya kesalahan manusia. Pengendalian

ini terpasang dalam suatu unit sistem mesin atau peralatan.

d. Warning System

Pengendalian ini dilakukan dengan memberikan peringatan,

instruksi, tanda, label yang akan membuat orang waspada akan

bahaya dilokasi tersebut. Contoh aplikasi dari metode ini adalah alrm

system, detektor asap, serta tanda peringatan.

e. Administratif Control

Pengendalian ini dilakukan dengan melakukan modifikasi interaksi

pekerja dengan lingkungan kerja seperti rotasi kerja, pelatihan,

pengembangan standar kerja (SOP), shift kerja, dan housekeeping.

f. Alat Pelindung Diri (APD)

Perlindungan tenaga kerja melalui usaha-usaha teknis pengamanan

tempat, peralatan dan lingkungan kerja adalah sangat perlu

diutamakan. Namun kadang bahaya masih belum dapat dikendalikan

sepenuhnya, sehingga perlu digunakan alat-alat pelindung diri