BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kajian Empirikeprints.stiei-kayutangi-bjm.ac.id/857/3/BAB II.pdf ·...
Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kajian Empirikeprints.stiei-kayutangi-bjm.ac.id/857/3/BAB II.pdf ·...
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Kajian Empirik
2.1.1. Jamaluddin (2006) mengadakan penelitian dengan judul “Persepsi
Kepuasan Pasien Askes Gakin Tentang Asuhan Keperawatan di Ruang
Bedah Ortopedi RSUD Ulin Banjarmasin”. Penelitian ini bertujuan untuk
mengidentifikasi persepsi kepuasan pasien ASKES GAKIN tentang
asuhan keperawatan di Ruang Bedah Ortopedi RSUD Ulin Banjarmasin.
Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah diskriptif non analitik.
Sebagai populasi adalah pasien ASKES GAKIN yang dirawat di Ruang
Bedah Ortopedi RSUD Ulin Banjarmasin. Sampel berjumlah 30 orang
yang dipilih secara Aksidental sampling. Instrumen penelitian
menggunakan kuesioner. Hasil penelitian ini didapatkan sebagian besar
pasien ASKES GAKIN mempunyai persepsi negatif (80 %). Dari hasil
penelitian ini menunjukkan persepsi kepuasan pasien ASKES GAKIN
tentang asuhan keperawatan kurang baik.
2.1.2. Anniek (2006) mengadakan penelitian dengan judul “Hubungan
Komunikasi Perawat dengan Tingkat Kepuasan Pasien di Divisi Penyakit
Dalam (Ruang Flamboyan, Ruang Tanjung dan Ruang Alamanda) RSUD
Ulin Banjarmasin”. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari sejauh
mana kemampuan terapeutik perawat dalam berkomunikasi dengan
pasien di dalam praktik keperawatan profesional di RSUD Ulin
Banjarmasin. Meliputi gambaran komunikasi perawat dan tingkat
kepuasan pasien yang berhubungan dengan komunikasi perawat.
Rancangan penelitian yang dipergunakan adalah studi korelasional yaitu
hubungan antara 2 (dua) variabel. Hubungan antara komunikasi perawat
6
dengan tingkat kepuasan pasien di Divisi Penyakit Dalam (Ruang
Flamboyan, Ruang Tanjung dan Ruang Alamanda) RSUD Ulin
Banjarmasin. Metode penelitian yang digunakan adalah rancangan
penelitian kuantitatif jenis penelitian analitik. Populasi dalam penelitian ini
adalah seluruh pasien dan perawat di Divisi Penyakit Dalam (Ruang
Flamboyan, Ruang Tanjung dan Ruang Alamanda) RSUD Ulin
Banjarmasin. Sampel dalam penelitian ini adalah 30 orang pasien dan 30
orang perawat yang memenuhi kriteria. Jenis Data yang digunakan
dalam penelitian ini adalah data nominal untuk menanyakan status
demografi sampel. Sedangkan untuk menanyakan praktik komunikasi
terapeutik perawat menggunakan data ordinal. Yang menjadi sumber
data dalam penelitian ini adalah data primer yaitu hasil observasi,
wawancara, kuesioner dan data sekunder yaitu Studi dokumentasi,
koran, studi kepustakaan serta laporan harian dari ruangan yang
bersangkutan. Yang menjadi tempat penelitian adalah RSUD Ulin
Banjarmasin Ruang Flamboyan, Ruang Tanjung dan Ruang Alamanda.
Penelitian dilakukan pada Bulan Februari sampai dengan Maret 2006.
Alat pengumpulan data adalah instrumen yang berupa kuesioner dan
observasi yang mencakup kepuasan pasien dengan jumlah pertanyaan
23 buah dan 23 buah check list observasi untuk perawat. Berdasarkan
hasil penelitian didapatkan bahwa sebagain besar komunikasi yang
dilakukan perawat dalam melaksanakan asuhan keperawatan kepada
pasien adalah komunikasi perawat yang baik sebanyak 16 (53,3%)
mengatakan puas dan 2 (6,7%) tidak puas, sedangkan komunikasi
perawat kurang baik sebanyak 6 (20%) mengatakan puas dan 6 (20%)
mengatakan tidak puas. Berdasarkan uji statistik Chi-Square (X2)
diperoleh p = 0,027 atau p < 0,05, maka H1 diterima berarti ada
7
hubungan yang bermakna antara variabel komunikasi perawat dengan
tingkat kepuasan pasien.
2.1.3. Haryadi (2007) mengadakan penelitian dengan judul “Studi Deskriptif
Tentang Tingkat Kepuasan Pasien dalam Pelaksanaan Komunikasi
Perawat di Ruang Kasuari RSUD Banjarbaru”. Penelitian ini bertujuan
untuk mendapatkan gambaran tentang tingkat kepuasan pasien dalam
Pelaksanaan komunikasi perawat di RSUD Banjarbaru. Metode
penelitian yang digunakan adalah rancangan penelitian kuantitatif jenis
penelitian deskriptif mengenai gambaran tingkat kepuasan pasien dalam
pelaksanaan komunikasi perawat di RSUD Banjarbaru. Sedangkan
populasi adalah pasien yang sakit dan dirawat di RSUD Banjarbaru,
sampel adalah pasien yang sakit dan dirawat di Ruang Bedah, Penyakit
Dalam, VIP dan Zaal RSUD Banjarbaru, Sampling menggunakan
Porposive sampling. Hasil penelitian dari 20 orang responden didapatkan
bahwa sebagian besar komunikasi yang dilakukan perawat dalam
melaksanakan asuhan keperawatan kepada pasien adalah Baik 13
orang (65%) kurang baik 5 orang (25%) dan sangat baik 2 orang (10%).
Sebagian besar kepuasan yang dirasakan pasien dalam melaksanakan
asuhan keperawatan kepada pasien adalah puas yaitu sebanyak 19
(95%), dan kurang puas 1 orang (5%). Dari hasil penelitian diketahui
bahwa lebih banyak responden yang menyatakan puas dan adanya
faktor-faktor yang berperan mempengaruhi tingkat kepuasan pasien
maupun faktor-faktor yang mempengaruhi komunikasi antara perawat
dan pasien. Masih adanya ketidak puasan pasien merupakan salah satu
indikator agar mutu pelayanan kesehatan termasuk keperawatan perlu
ditingkatkan lagi.
8
2.1.4. Donny Jie Samsoe (2011) mengadakan penelitian dengan judul
“Hubungan antara Kualitas Pelayanan dengan Kepuasan Klien di
Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit Umum Daerah Ulin Banjarmasin”.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara kualitas
pelayanan dengan kepuasan klien di IGD RSUD Ulin Banjarmasin.
Penelitian ini merupakan penelitian observasional (analitik) dengan
pendekatan cross sectional. Populasinya adalah seluruh klien di IGD
RSUD Ulin Banjarmasin. Sampel diambil dari sebagian klien yang
dirawat di IGD RSUD Ulin Banjarmasin yang memenuhi kriteria inklusi.
Metode pengambilan sampelnya adalah porposife sampling
Pengumpulan data menggunakan kuesioner. Hasil penelitian sebagian
besar kualitas pelayanan di IGD RSUD Ulin Banjarmasin menunjukkan
kategore sangat berkualitas. Sebagian besar kepuasan klien di IGD
RSUD Ulin Banjarmasin menunjukkan kategore sangat puas. Terdapat
hubungan kualitas pelayanan dengan kepuasan klien di IGD RSUD Ulin
Banjarmasin.
9
Tabel 2.1. Perbandingan Penelitian-penelitian Terdahulu dengan Penelitian yang Dilakukan
No Nama
Peneliti Judul penelitian Alat Analisis
dan Unit Analisis
Hipotesis Penelitian
Persamaan Perbedaan
1 Jamaluddin (2006)
Persepsi Kepuasan Pasien Askes Gakin Tentang Asuhan Keperawatan di Ruang Bedah Ortopedi RSUD Ulin Banjarmasin
diskriptif non analitik
Unit Analisis sama sama : Kepuasan Pasien di RSUD Ulin Banjarmasin
lokasi penelitian variabel penelitian : variabel penelitian Asuhan Keperawatan di Ruang Bedah Ortopedi
2 Anniek (2006)
Hubungan Komunikasi Perawat dengan Tingkat Kepuasan Pasien di Divisi Penyakit Dalam (Ruang Flamboyan, Ruang Tanjung dan Ruang Alamanda) RSUD Ulin Banjarmasin
uji statistik Chi-Square (X2)
Ada hubungan komunikasi terapeutik dari perawat terhadap tingkat kepuasan pasien
Unit analisis sama yaitu Kepuasan Pasien di RSUD Ulin Banjarmasin
Uji Statistik, Lokasi penelitian, waktu, variabel penelitian Komunikasi Perawat
3 Haryadi (2007)
Studi Deskriptif Tentang Tingkat Kepuasan Pasien dalam Pelaksanaan Komunikasi Perawat di Ruang Kasuari RSUD Banjarbaru
dianalisis secara deskriptif
Unit analisis sama yaitu Tingkat Kepuasan Pasien
Lokasi penelitian, variabel penelitian yaitu Pelaksanaan Komunikasi Perawat
4 Donny Jie Samsoe (2011)
Hubungan antara Kualitas Pelayanan dengan Kepuasan Klien di Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit Umum Daerah Ulin Banjarmasin
analisis nonparametrik, dengan uji Chi-square.
Terdapat hubungan antara kualitas pelayanan dengan kepuasan klien
Unit analisis sama yaitu Kepuasan Klien di RSUD Ulin Banjarmasin
Uji Statistik, Lokasi penelitian, variabel penelitian yaitu Kualitas Pelayanan
Sumber : Data di olah, 2015
10
2.2. Kajian Teoritik
2.2.1. Konsep Kepuasan Pasien
Kepuasan pasien merupakan cerminan kualitas pelayanan
kesehatan yang mereka terima. Kualitas pelayanan kesehatan
menunjukkan pada tingkat kesempurnaan pelayanan kesehatan dalam
menimbulkan rasa puas pada diri setiap pasien. Makin sempurna
kepuasan makin baik pula mutu pelayanan kesehatan (Azrul Azwar,
1996).
Tingkat kepuasan merupakan fungsi dari perbedaan antara
kinerja pelayanan yang di dapat dengan yang diharapkan, apabila kinerja
di bawah harapan maka pelanggan akan merasa kecewa, sedangkan
jika kinerja pelayanan sesuai dengan harapan maka pelanggan akan
merasa puas, jika kinerja pelayanan melebihi daripada harapan maka
pelanggan akan merasa sangat puas. Pelanggan memang harus
dipuaskan sebab kalau pelanggan merasa tidak puas maka mereka akan
meninggalkannya dan mencari tempat pelayanan lain yang kinerja
pelayanannya lebih baik (Inbalo S, 2003). Meskipun timbul banyak
kesulitan dalam pengukuran kepuasan pasien, namun pada prinsipnya,
kepuasan pasien dapat diukur. Di mana pada hakikatnya pengukuran
kepuasan pasien menyangkut penentuan 3 faktor, yaitu:
1. Pilihan tentang ukuran kinerja yang tepat.
2. Proses pengukuran secara normatif.
3. Instrumen dan teknik pengukuran yang dipergunakan menciptakan
suatu indikator (Parasuraman, 1988).
Tingkat kepuasan pasien dapat diukur secara kualitatif dan
kuantitatif, pengukuran tingkat kepuasan pasien mutlak diperlukan untuk
meningkatkan kepuasan dalam pelayanan kesehatan, di mana pasien
11
yang merasa puas akan berdampak positif bagi kelangsungan pelayanan
kesehatan, karena pasien yang puas biasanya akan bersikap:
1. Memiliki kecenderungan untuk kembali menggunakan jasa
pelayanan kesehatan.
2. Lebih loyal terhadap jasa pelayanan kesehatan yang ditawarkan oleh
pihak pemberi layanan.
3. Sedikit perhatian terhadap promosi yang ditawarkan oleh fasilitas
kesehatan pesaing.
4. Memberikan informasi yang baik pada pihak lain tentang pelayanan
kesehatan yang diberikan oleh pihak pemberi layanan yaitu rumah
sakit.
5. Kurang sensitif terhadap kenaikan harga pelayanan kesehatan yang
diberikan oleh layanan kesehatan (Parasuraman, 1988).
2.2.2. Tingkat Kepuasan Pasien
Tingkat kepuasan pasien merupakan fungsi dari perbedaan
antara kinerja yang dirasakan dengan harapan. Bila kinerja di bawah
harapan maka pasien akan merasa tidak puas. Bila kinerja sesuai
dengan harapan maka pasien akan merasa puas. Sedangkan bila kinerja
melebihi harapan maka pelanggan akan merasa sangat puas (Kotler
Philip, 2007).
Kemudian menurut Kementerian Pendayagunaan Aparatur
Negara, bahwa kepuasan pelayanan adalah hasil pendapat dan
penilaian masyarakat terhadap kinerja pelayanan yang diberikan oleh
penyelenggara pelayanan publik, (Menpan RI, 2004). Artinya bahwa
pasien akan membandingkan antara apa yang diterima dengan yang
menjadi harapan. Jika yang diterima sesuai atau lebih baik dari apa yang
12
diharapkan maka pasien akan merasa puas, dan sebaliknya jika yang
diterima tidak sesuai atau lebih buruk dari yang diharapkan maka pasien
akan merasa tidak puas.
Fokus kepuasan dalam sebuah pelayanan kesehatan adalah
pasien pengguna jasa pelayanan. Apabila pasien merasa puas, maka ia
akan kembali menggunakan jasa pelayanan tersebut dan lebih loyal
terhadap jasa-jasa pelayanan kesehatan yang ditawarkan oleh pihak
pemberi jasa pelayanan. Jika pasien merasa tidak puas, maka mereka
akan meninggalkan dan mencari tempat pelayanan lain yang kinerja
pelayanannya lebih baik (Said Rahmatsyah, 2003).
Berdasarkan hasil penelitian Berry (2004) bahwa ada lima
kesenjangan yang menyebabkan kegagalan penyampaian jasa pada
pelayanan kesehatan, yaitu:
1. Kesenjangan antara harapan konsumen dan persepsi manajemen. Di
mana manajemen tidak selalu memahami secara tepat apa yang
diinginkan pelanggan. Manajer pelayanan mungkin berpikir bahwa
pasien menginginkan program yang lebih baik, tetapi pasien mungkin
lebih mementingkan daya tanggap/tanggung jawab petugas
kesehatan yang sesuai harapan.
2. Kesenjangan antara persepsi manajemen dan spesifikasi kualitas
jasa. Di mana manajemen mungkin memahami secara tepat
keinginan pasien, tetapi tidak menetapkan suatu standar kinerja
spesifik. Pimpinan pelayanan memerintahkan petugas kesehatan
untuk memberikan pelayanan yang ”cepat” tanpa menentukannya
secara kuantitatif.
3. Kesenjangan antara spesifikasi kualitas jasa dan penyampaian jasa.
Di mana para personil mungkin kurang terlatih dan kurang mampu
13
atau tidak mau memenuhi standar, atau mereka diharapkan pada
standar yang berlawanan, seperti dalam menyediakan waktu untuk
mendengarkan para pelanggan dan melayani mereka dengan cepat.
4. Kesenjangan antar penyampaian jasa dan komunikasi eksternal. Di
mana harapan pasien dipengaruhi oleh pernyataan yang dibuat para
petugas kesehatan dalam melakukan pelayanan. Jika suatu brosur
pelayanan memperlihatkan tatanan ruang pelayanan yang bersih dan
indah, tetapi dalam kenyataannya memperlihatkan yang tidak sesuai
mungkin terkesan tidak terawat, maka komunikasi eksternal itu telah
mendistorsi harapan pelanggan.
5. Kesenjangan antara jasa yang dialami dan jasa yang diharapkan. Di
mana kesenjangan ini terjadi bila mereka memiliki persepsi yang
keliru tentang kualitas jasa pelayanan tersebut. Petugas kesehatan
mungkin terus mengunjungi/berkomunikasi dengan pasien untuk
menunjukkan kepeduliannya, tetapi pasien menganggap sesuatu
yang tidak beres.
Menurut Jacobalis S, (1993) bahwa kepuasan adalah rasa lega
atau senang karena harapan atau hasrat tentang sesuatu terpenuhi.
Kepuasan mempunyai dimensi fisik, mental dan sosial. Sedangkan
ketidakpuasan adalah kesenjangan antara harapan dengan kenyataan
layanan yang diterima oleh pasien.
14
2.2.3. Kualitas Pelayanan Kesehatan
Pelayanan kesehatan menurut Philip Kotler (2007) adalah
tindakan atau capaian dengan satu pihak menawarkan kepada pihak lain
yang terukur dan tidak mengakibatkan kepemilikan apapun, jadi
pelayanan adalah suatu produksi yang mungkin atau tidak mungkin
diikat ke fisik produk.
Pemberian pelayanan jasa agar dapat memenuhi keinginan
pelanggan dan berkualitas harus dapat diberikan pelayanan yang
unggul. Pada prinsipnya ada tiga kunci dalam memberikan pelayanan
yang unggul yaitu:
1. Kemampuan memahami kebutuhan dan keinginan pelanggan
termasuk di dalamnya tipe pelanggan yang loyal.
2. Pengembangan data base yang lebih akurat daripada pesaing yang
mencakup data kebutuhan dan keinginan setiap pelanggan dan
perubahan kondisi persaingan.
3. Pemanfaatan informasi strategis yang diperoleh dari riset pasar
dalam suatu kerangka strategis (Nasution.M.N, 2004).
Kualitas pelayanan menurut Juran (dalam Nasution, M. N, 2004)
adalah kecocokan penggunaan produk untuk memenuhi kebutuhan dan
kepuasan pelanggan. Kecocokan penggunaan itu didasarkan pada lima
ciri utama yaitu:
1. Teknologi, yaitu kekuatan atau daya tahan.
a. Psikologi, yaitu citra rasa atau status.
b. Waktu, yaitu kehandalan.
c. Kontraktual, yaitu adanya jaminan.
d. Etika, yaitu sopan santun, ramah dan jujur.
Kualitas harus dimulai dari kebutuhan pelanggan dan berakhir
15
pada persepsi pelanggan. Hal ini berarti bahwa citra kualitas yang baik
bukanlah berdasarkan sudut pandang atau persepsi pihak penyedia
jasa, melainkan berdasarkan sudut pandang atau persepsi pelanggan.
Karena pelangganlah yang mengkonsumsi atau menikmati suatu jasa
atau produk.
Menurut Stamais (dalam Nasution, M. N, 2004) bahwa kualitas
jasa terpadu (TQS) didefinisikan sebagai suatu system manajemen
strategis dan integratif yang melibatkan semua manajer dan karyawan
serta menggunakan metode-metode kuantitatif dan kualitatif untuk
memperbaiki secara berkesinambungan berbagai proses agar memenuhi
dan melebihi kebutuhan, keinginan dan harapan pelanggan. Hal ini
berarti kualitas jasa terpadu merupakan kualitas pelayanan secara total
yang bersifat strategis.
Ada dua faktor yang mempengaruhi kualitas jasa, yaitu expected
service dan perceived service yang dapat dijelaskan bahwa apabila jasa
yang diterima atau dirasakan sesuai dengan yang diharapkan. Maka
kualitas jasa dipersepsikan baik dan memuaskan, jika jasa diterima
melebihi harapan pelanggan, kualitas dipersepsikan sebagai kualitas
yang ideal.
Menurut Parasuraman et al (1988) kepuasan customer dapat
dinilai dengan metode Servqual dengan cara menilai gap mutu kinerja
pelayanan suatu organisasi terhadap kebutuhan mutu pelayanan
customer. Hal itu dilakukan dengan menilai dimensi mutu yaitu reliability,
responsiveness, assurance, emphaty dan tangibles.
Perilaku konsumen sangat erat hubungannya dengan perwujudan
dari ke lima unsur di atas, kepuasan dan ketidakpuasan pelanggan
terhadap unsur tersebut selanjutnya akan mempengaruhi perilaku
16
konsumen dalam hubungan usaha pelayanan kesehatan di masa
mendatang.
2.2.4. Pengukuran Kepuasan Pelanggan
Upaya untuk mewujudkan kepuasan pelanggan total bukanlah hal
yang mudah, kepuasan pelanggan total tidak mungkin tercapai,
sekalipun hanya sementara waktu.
Ada beberapa metode yang dapat dipergunakan untuk mengukur
dan memantau kepuasan pelanggan. Menurut Hafizurrahman (2004)
dengan menggunakan enam metode untuk mengukur kepuasan
pelanggan yaitu:
1. Sistem Keluhan dan Sarana
Bahwa setiap lembaga pelayanan yang berorientasi pada
pelanggan (costumer oriented) perlu memberikan kesempatan yang
seluas-luasnya bagi para pelanggannya untuk menyampaikan saran,
pendapat dan keluhan mereka. Media yang bisa digunakan antara
lain kotak saran, kartu komentar, saluran telepon khusus dan lain-
lain. Informasi yang diperoleh melalui metode ini dapat memberikan
ide-ide baru dan masukan yang berharga bagi lembaga pelayanan,
sehingga memungkinkan untuk memberikan respon cepat dan
tanggap pada setiap masalah yang timbul. Namun karena metode ini
bersifat pasif, maka sulit mendapatkan gambaran lengkap mengenai
kepuasan dan ketidakpuasan pelanggan. Tidak semua pelanggan
yang tidak puas dan lantas dalam menyampaikan keluhannya. Bisa
saja mereka langsung beralih pada lembaga jasa pelayanan yang
lain.
17
2. Survei Kepuasan Pelanggan
Umumnya banyak penelitian mengenai pelanggan dilakukan
dengan metode survei baik melalui pos, telepon maupun wawancara
pribadi melalui survei perbaikan pelayanan akan memperoleh
tanggapan dan umpan balik secara langsung dari pelanggan dan
sekaligus juga dalam memberikan tanda (signal) positif bahwa
pelayanan menaruh perhatian terhadap para pelanggannya.
Pengukuran kepuasan pelanggan dengan metode ini dapat dilakukan
dengan cara pengukuran kepuasan yang dilaporkan secara langsung
(directly reported satisfaction) dan pertanyaan yang diajukan
menyangkut dua hal utama yakni besarnya harapan pelanggan
terhadap atribut tertentu dan besarnya kinerja yang mereka rasakan
(derived disstisfaction).
3. Analisis Problem
Pelanggan yang dijadikan responden diminta untuk
mengungkapkan dua hal pokok. Pertama masalah-masalah yang
mereka hadapi berkaitan dengan penawaran dari perbaikan
pelayanan. Dan kedua saran-saran untuk melakukan perbaikan.
4. Importence Performance Analysis
Penilaian dengan teknik ini, di mana responden diminta untuk
merangking seberapa baik kinerja perbaikan pelayanan dalam
masing-masing elemen atau atribut tersebut.
5. Ghost Shopping
Metode ini dilakukan dengan cara mempekerjakan beberapa
orang (ghost shopper) untuk berperan atau bersikap sebagai
pelanggan atau pembeli potensial produk layanan dan pesaing
berdasarkan pengalaman mereka dalam pembelian produk tersebut.
18
Salain itu mereka juga dapat mengamati atau menilai cara lembaga
pelayanan dan pesaingnya untuk menjawab atas pertanyaan
pelanggan dan menangani setiap keluhan. Ada baiknya para manajer
turun langsung menjadi ghost shopper untuk mengetahui langsung
bagaimana karyawannya berinteraksi dan memperlakukan
pelanggannya, dan tentunya hal ini tanpa sepengatahuan para
karyawannya.
6. Lost Costumer Analysis
Metode ini sedikit unik bagi pelayanan kesehatan untuk
berusaha menghubungi para pelanggannya yang telah berhenti
membeli atau telah beralih pelayanan yang diharapkannya akan
diperolehnya informasi penyebab terjadinya hal tersebut. Informasi ini
sangat bermanfaat bagi penyedia layanan untuk mengambil
kebijakan selanjutnya dalam rangka untuk dapat meningkatkan
kepuasan dan loyalitas pelanggan. Pentingnya tempat pelayanan
yang berkarakter yang meliputi pelayanan yang ramah, sopan dan
santun, gesit dan peduli dengan keluhan pasien.
2.2.5. Pengertian Asuransi Kesehatan
Yang dimaksud dengan Asuransi Kesehatan adalah suatu sistem
pengorganisasian dana yang diperoleh dari kontribusi anggota secara
teratur oleh suatu bentuk organisasi guna membiayai pelayanan
kesehatan yang dibutuhkan anggota. Secara teoritis menurut Azrul
Azwar (1996) bahwa peranan yang dapat dimainkan oleh asuransi dalam
pelayanan kesehatan dapat dibedakan atas beberapa macam yakni:
a. Membebaskan rasa khawatir anggota masyarakat akan biaya
pelayanan kesehatan yang dibutuhkannya jika kebetulan jatuh sakit.
19
b. Jika asuransi dikelola oleh pemerintah maka mutu dan biaya
pengobatan dapat diawasi, dan kesemuanya ini akan
menguntungkan masyarakat secara keseluruhan.
c. Dengan diterapkannya sistem asuransi maka akan menjamin
pendapatan pihak penyelenggara pelayanan kesehatan, dengan
demikian petugas kesehatan dapat lebih memusatkan perhatian
secara serius pada pekerjaan yang pada gilirannya akan
menguntungkan masyarakat secara keseluruhan.
d. Karena asuransi memerlukan kecermatan dalam mencatat dan
melaporkan kegiatannya, maka kelengkapan data akan lebih terjamin
dan ini berarti akan membantu para perencana kesehatan.
UU No.24 Th.2014 tentang BPJS : Jaminan Kesehatan Nasional
diselenggarakan oleh Badan Penyelengara Jaminan Sosial (BPJS)
Kesehatan dimulai 1 Januari 2014. Dan sejak 1 Januari 2014, PT
ASKES (PERSERO) Menjadi BPJS Kesehatan.
2.2.6. Instalasi Farmasi Rumah Sakit
Farmasi Rumah Sakit adalah suatu departemen atau pelayanan
yang ada dalam Rumah Sakit yang dipimpin oleh seorang profesional,
yaitu farmasis yang mempunyai kualifikasi resmi (Hassan, 1986).
Menurut standar pelayanan rumah sakit yang dikeluarkan direktorat
rumah sakit umum dan pendidikan dikatakan bahwa pelayanan farmasi
rumah sakit adalah bagian yang tidak dapat terpisahkan dari sistem
pelayanan kesehatan rumah sakit yang utuh dan berorientasi pada
pelayanan pasien, penyediaan obat yang bermutu dan terjangkau bagi
semua lapisan masyarakat (Anonim, 1996).
Instalasi Farmasi Rumah Sakit merupakan satu-satunya unit di
20
rumah sakit yang mengadakan barang farmasi, mengelola dan
mendistribusikannya kepada pasien, bertanggungjawab atas pengadaan
dan penyajian informasi obat siap pakai ke semua pihak di rumah sakit,
baik tenaga kesehatan lain maupun pasien (Aditama, 2004).
Adapun ruang lingkup fungsi farmasi ada dua yaitu fungsional
(klinik) dan menejerial. Fungsi klinik adalah fungsi yang secara langsung
dilakukan sebagai bagian terpadu perawatan pasien atau memerlukan
terapi dengan tenaga kesehatan lain yang secara langsung terlibat
dalam pelayanan. Pelayanan pasien mencakup fungsi farmasi yang
dilakukan dalam program rumah sakit yaitu: pemantauan terapi obat,
evaluasi penggunaan obat, penanganan bahan sitostatik, pelayanan
pada unit pelayanan klinis, penyusunan dan pemeliharaan formularium,
penelitian, pengendalian infeksi di rumah sakit, sentra informasi obat,
pemantauan dan pelaporan reaksi obat merugikan, buletin terapi obat,
program edukasi ”in service” bagi apoteker dan tenaga kesehatan lain,
investigasi obat, dan gawat darurat. Fungsi menejerial adalah kegiatan
dalam mewujudkan fungsi tersebut agar tercipta pelayanan yang sesuai
dengan standar (Siregar dan Amalia, 2004).
Instalasi Farmasi seperti tecantum dalam Keputusan Menteri
Republik Indonesia No.134/Menkes/SK/IV/78 mempunyai tugas (Anonim,
1978), sebagai berikut:
1. Peracikan, penyimpanan dan penyaluran obat-obatan, gas medis
serta bahan kimia.
2. Penyimpanan dan penyaluran alat kedokteran, alat keperawatan dan
alat kesehatan.
Tugas pokok seorang apoteker di Rumah Sakit adalah melakukan
pengawasan agar pengobatan yang diresepkan dokter pada pasien
21
rasional dan memenuhi syarat, yaitu tepat indikasi, tepat pasien, tepat
obat, tepat dosis dan regimen dosisnyanya, dan dengan harga yang
tepat. Selain hal tersebut, sistem informasi dan pelayanan yang
dijalankan apoteker kepada pasien juga harus tepat. Hal tersebut
mencakup keramahan, kecepatan pelayanan, dan penerangan atau
informasi yang harus diberikan kepada pasien (Setiawan, 1991).
2.2.7. Pelayanan Farmasi
Menurut kamus Bahasa Indonesia arti pelayanan ada tiga
macam, yaitu perihal atau cara melayani, usaha melayani kebutuhan
orang lain dengan memperoleh imbalan (uang) atau jasa, serta
kemudahan yang diberikan sehubungan dengan jual beli barang atau
jasa. Pelayanan medis adalah pelayanan yang diterima seseorang
dalam hubungannya dengan diagnosis, pencegahan, dan pengobatan
suatu gangguan kesehatan tertentu (Anonim, 2002). Pelayanan
merupakan suatu proses, dalam arti luas proses menyangkut segala
usaha yang dilakukan oleh seseorang dalam rangka mencapai tujuan.
Menghubungi pihak-pihak yang tepat di perusahaan untuk medapatkan
pelayanan, jawaban, dan penyelesaian masalah yang cepat dan
memuaskan merupakan proses pelayanan konsumen atau pelanggan.
Pelayanan farmasi di Rumah Sakit merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari pelayanan Rumah Sakit secara keseluruhan. Menurut
Surat Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No
983/Menkes/SK/XI/1992 tentang pedoman organisasi Rumah Sakit
Umum menyatakan bahwa setiap Rumah Sakit Umum harus
melaksanakan beberapa fungsi, satu diantaranya adalah
menyelenggarakan pelayanan penunjang medik, maka salah satu
22
pelayanan penting di dalamnya adalah pelayanan obat dan farmasi
(Aditama, 2004).
Pelayanan farmasi meliputi penyediaan dan distribusi semua
perbekalan farmasi, pelayanan keprofesian serta membuat informasi dan
mejamin kualitas pelayanan yang berhubungan dengan penggunaan
obat (Aditama, 2004), meliputi:
1. Sistem pengadaan dan inventaris
2. Pembuatan obat dan termasuk pembungkusan kembali, sesuai
kebutuhan dan fasilitas yang tersedia dan Cara Pembuatan Obat
yang Baik (CPOB)
3. Bantuan penyelenggaraan sistem distribusi yang efisien, baik bagi
penderita rawat inap maupun rawat jalan atau poliklinik
4. Penyelenggara pelayanan keprofesian yang meliputi penyiapan,
pencampuran, penyampaian informasi obat dalam dosis, indikasi
Efek Samping, pemakaian, memperhitungkan kadar dan harga obat
5. Pelayanan obat dan bahan steril keperluan pembedahan, kegiatan
medis dan perawatan tertetu, di ruangan dan di dalam Rumah Sakit
6. Pemberian informasi obat yang baik kepada staf dan penderita
Tugas pokok seorang apoteker di Rumah Sakit adalah
pengawasan agar pengobatan yang diresepkan dokter untuk pasien
adalah rasional dan memenuhi syarat. Obat yang tepat harus diberikan
pada pasien dengan tepat dengan dosis yang tepat diberikan pada
waktu yang tepat, dan dengan harga yang tepat. Selain itu sistem
informasi dan pelayanan yang harus dilaksanakan seorag apoteker
kepada pasien juga harus tepat. Hal tersebut mecakup keramahan,
kecepatan pelayanan, dan penerangan atau informasi yang harus
diberikan kepada pasien (Setiawan, 1991).
23
2.2.8. Teori Kepuasan dan Harapan
Menurut Winarti Damayanti (2000) bahwa harapan merupakan
dasar dari kepuasan konsumen. Di mana dalam pelayanan kesehatan
diformulasikan sebagai pelayanan yang dipikirkan oleh pasien akan
diterimanya.
Harapan pasien dipengaruhi oleh karakter pasien (umur, tingkat
pendidikan dan pekerjaan) respon emotional, frekuensi sakit dan
pengalaman perawatan. Kepuasan dipengaruhi oleh faktor privider,
dituntut memberikan dan memenuhi kebutuhan dan memenuhi
kebutuhan yang bersifat medis dan non-medis.
Pemenuhan tersebut merupakan proses pelayanan yang
dipengaruhi oleh input organisasi yang meliputi SDM, keuangan,
teknologi dan sarana dan prasarana fisik. SDM memegang peranan
penting dalam pengelolaan rumah sakit, karena tenaga medis dan
paramedis yang berinteraksi langsung dengan pasien dalam proses
perawatan yang rentan menjadi sumber konflik dan ketidakpuasan
pasien.
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran, pelayanan
kesehatan semakin diberi kepercayaan untuk menanggulangi dan
mengatasi berbagai permasalahan manusia. Pelayanan kesehatan dasar
semakin dirasakan tidak dapat memenuhi kebutuhan dan harapan
masyarakat, terutama lapisan masyarakat menengah dan atas, yang
kondisi sosial ekonominya meningkat. Taraf pendidikan masyarakat juga
semakin banyak menuntut dan mengharapkan bahwa pelayanan
kesehatan tidak hanya mengatasi berbagai masalah medis, tetapi juga
berbagai masalah manusia yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari
(Lumenta, 1989).
24
Kepuasaan adalah perasaan atau keadaan seseorang yang telah
mengalami suatu tindakan atau perilaku sesuai dengan harapannya,
sedang harapan merupakan dasar dari kepuasaan konsumen dalam
pelayanan kesehatan harapan dirumuskan sebagai pelayanan yang
dipikirkan oleh pasien dan yang akan diterimanya, Bennet dan
N.B.Silalahi (dalam Assauri, S 2004).
Kepuasaan pasien tentunya sangat dipengaruhi oleh faktor
provider yaitu pemberi layanan kesehatan yang dimaksud disini adalah
petugas kesehatan itu sendiri yang dituntut wajib memberikan dan
memenuhi kebutuhan pelayanan kesehatan yang bersifat medis atau
non medis dan secara langsung melayani pasien (Inbalo. S, 2003).
2.3. Hubungan antara Kualitas Pelayanan Terhadap Kepuasan Pasien
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi tingkat kepuasan pasien
peserta BPJS terhadap pelayanan kesehatan. Namun karena terbatasnya waktu
penelitian maka variabel dalam penelitian ini dibatasi hanya pada faktor internal
tentang umur, tingkat pendidikan, pekerjaan dan faktor eksternal tentang
fasilitas, prosedur pelayanan dan obat-obatan. Hal ini sejalan dengan konsep
Marsudi (2000) dan Winarti Damayanti (2000).
Pelayanan farmasi meliputi penyediaan dan distribusi semua perbekalan
farmasi, pelayanan keprofesian serta membuat informasi dan mejamin kualitas
pelayanan yang berhubungan dengan penggunaan obat (Aditama, 2004),
meliputi:
1. Sistem pengadaan dan inventaris
2. Pembuatan obat dan termasuk pembungkusan kembali, sesuai kebutuhan
dan fasilitas yang tersedia dan Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB)
25
3. Bantuan penyelenggaraan sistem distribusi yang efisien, baik bagi penderita
rawat inap maupun rawat jalan atau poliklinik
4. Penyelenggara pelayanan keprofesian yang meliputi penyiapan,
pencampuran, penyampaian informasi obat dalam dosis, indikasi Efek
Samping, pemakaian, memperhitungkan kadar dan harga obat
5. Pelayanan obat dan bahan steril keperluan pembedahan, kegiatan medis
dan perawatan tertetu, di ruangan dan di dalam Rumah Sakit
6. Pemberian informasi obat yang baik kepada staf dan penderita
Fokus kepuasan dalam sebuah pelayanan kesehatan adalah pasien
pengguna jasa pelayanan. Apabila pasien merasa puas, maka ia akan kembali
menggunakan jasa pelayanan tersebut dan lebih loyal terhadap jasa-jasa
pelayanan kesehatan yang ditawarkan oleh pihak pemberi jasa pelayanan. Jika
pasien merasa tidak puas, maka mereka akan meninggalkan dan mencari
tempat pelayanan lain yang kinerja pelayanannya lebih baik (Said Rahmatsyah,
2003).