BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Etnobotani - repository.ipb.ac.id · dengan tumbuhan yang mendasarkan...

12
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Etnobotani Etnobotani berasal dari Bahasa Yunani yang tersusun atas kata ethnos dan botany. Ethnos berarti bangsa dan botany yang berarti tumbuh-tumbuhan, sehingga etnobotani dapat diartikan sebagai disiplin ilmu yang mempelajari hubungan langsung antara manusia dengan tumbuhan dalam pemanfaatan secara tradisional. Istilah etnobotani pada awalnya diusulkan oleh Harsberger pada tahun 1893 dan didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari pemanfaatan tumbuhan secara tradisional oleh suku bangsa yang masih primitif atau terbelakang (Soekarman & Riswan 1992). Rifai dan Walujo (1992) menyatakan bahwa yang dimaksud dengan etnobotani adalah ilmu yang mendalami hubungan budaya suatu masyarakat dengan komunitas alam hayati di sekitarnya (khususnya tumbuhan). Dharmono (2007) mendefinisikan etnobotani sebagai ilmu botani mengenai pemanfaatan tumbuhan dalam keperluan sehari-hari dan adat suku bangsa. Etnobotani ini merupakan ilmu yang kompleks karena tidak hanya melibatkan satu disiplin ilmu. Banyak disiplin ilmu yang dibutuhkan untuk menunjang pelaksanaan dan pendekatan etnobotani, misalnya linguistik, antropologi, sejarah, pertanian, kedokteran, farmasi dan lingkungan (Suwahyono et al. 1992). Menurut Purwanto (2000) ruang lingkup kajian etnobotani, di antaranya : 1) etnoekologi, mempelajari sistem pengetahuan tradisional tentang fenologi tumbuhan, adaptasi dan interaksi dengan organisme lainnya, pengaruh pengelolaan tradisional terhadap lingkungan alam; 2) pertanian tradisional, mempelajari sistem pengetahuan tradisional tentang varietas tanaman dan sistem pertanian, pengaruh alam dan lingkungan pada seleksi tanaman serta sistem pengelolaan sumberdaya tanaman; 3) etnobotani kognitif, studi tentang persepsi tradisional terhadap keanekaragaman sumberdaya alam tumbuhan, melalui analisis simbolik dalam ritual dan mitos serta konsekuensi ekologinya, organisasi dari sistem pengetahuan melalui studi etnoksonomi; 4) budaya materi, mempelajari sistem pengetahuan tradisional dan pemanfaatan tumbuhan serta

Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Etnobotani - repository.ipb.ac.id · dengan tumbuhan yang mendasarkan...

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Etnobotani

Etnobotani berasal dari Bahasa Yunani yang tersusun atas kata ethnos dan

botany. Ethnos berarti bangsa dan botany yang berarti tumbuh-tumbuhan,

sehingga etnobotani dapat diartikan sebagai disiplin ilmu yang mempelajari

hubungan langsung antara manusia dengan tumbuhan dalam pemanfaatan secara

tradisional. Istilah etnobotani pada awalnya diusulkan oleh Harsberger pada tahun

1893 dan didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari pemanfaatan tumbuhan

secara tradisional oleh suku bangsa yang masih primitif atau terbelakang

(Soekarman & Riswan 1992).

Rifai dan Walujo (1992) menyatakan bahwa yang dimaksud dengan

etnobotani adalah ilmu yang mendalami hubungan budaya suatu masyarakat

dengan komunitas alam hayati di sekitarnya (khususnya tumbuhan). Dharmono

(2007) mendefinisikan etnobotani sebagai ilmu botani mengenai pemanfaatan

tumbuhan dalam keperluan sehari-hari dan adat suku bangsa. Etnobotani ini

merupakan ilmu yang kompleks karena tidak hanya melibatkan satu disiplin ilmu.

Banyak disiplin ilmu yang dibutuhkan untuk menunjang pelaksanaan dan

pendekatan etnobotani, misalnya linguistik, antropologi, sejarah, pertanian,

kedokteran, farmasi dan lingkungan (Suwahyono et al. 1992).

Menurut Purwanto (2000) ruang lingkup kajian etnobotani, di antaranya : 1)

etnoekologi, mempelajari sistem pengetahuan tradisional tentang fenologi

tumbuhan, adaptasi dan interaksi dengan organisme lainnya, pengaruh

pengelolaan tradisional terhadap lingkungan alam; 2) pertanian tradisional,

mempelajari sistem pengetahuan tradisional tentang varietas tanaman dan sistem

pertanian, pengaruh alam dan lingkungan pada seleksi tanaman serta sistem

pengelolaan sumberdaya tanaman; 3) etnobotani kognitif, studi tentang persepsi

tradisional terhadap keanekaragaman sumberdaya alam tumbuhan, melalui

analisis simbolik dalam ritual dan mitos serta konsekuensi ekologinya, organisasi

dari sistem pengetahuan melalui studi etnoksonomi; 4) budaya materi,

mempelajari sistem pengetahuan tradisional dan pemanfaatan tumbuhan serta

5

produk tumbuhan dalam seni dan teknologi; 5) fitokimia tradisional, studi tentang

pengetahuan tradisional mengenai penggunaan berbagai spesies tumbuhan dan

kandungan bahan kimianya, contohnya insektisida lokal dan tumbuhan obat-

obatan; 6) paleobotani, studi tentang interaksi masa lalu antara populasi manusia

dengan tumbuhan yang mendasarkan pada interpretasi peninggalan arkeologi.

Disiplin ilmu lain yang terkait kajian etnobotani adalah ilmu taksonomi, ekologi

dan geografi tumbuhan, pertanian, kehutanan, sejarah, antropologi dan ilmu yang

lain (Soekarman & Riswan 1992).

Pengkajian etnobotani saat ini menjadi penting di tengah krisis dimensional

yang terjadi. Banyak di antara para ilmuan mengkaji aspek ini sebagai upaya

pencapaian kemakmuran dan kesejahteraan nasional juga upaya konservasi mulai

dari keanekaragaman flora yang ada, juga kearifan tradisional yang mulai

menghilang. Dengan kajian etnobotani diharapkan dapat menggali potensi

tumbuhan berguna dan pola pemanfaatannya. Dengan diketahuinya pola

pemanfaatan tradisional terhadap tumbuhan oleh masyarakat diharapkan dapat

mengimbangi perkembangan teknologi yang pesat.

Bentuk pemanfaatan tumbuhan disetiap daerah di Indonesia sangat beragam.

Hal ini dipengaruhi oleh pengetahuan, potensi tumbuhan dan kebudayaan yang

dimiliki oleh masyarakat tersebut. Misalnya, pada masyarakat Papua, tumbuhan

yang banyak dijadikan sumber pangan adalah ubi dan sagu (Somantri 2008).

Kemudian masyarakat Etnis Dani yang menempati Lembah Baliem, Jaya Wijaya,

di sekitar Wamena dan Karulu. Mereka menganggap bahwa hutan tidak hanya

sebagai hal yang magis religius, tetapi juga sebagai sumber yang menguntungkan

dan memberi hidup bagi mereka. Mereka menggunakan sumberdaya alam sebagai

bahan sandang, pangan, obat tradisional dan lain-lain (Purwanto & Walujo 1992).

Pemanfaatan tumbuhan sebagai bahan obat juga ditunjukkan oleh

masyarakat Suku Sasak di Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat. Tidak kurang

dari 25 spesies tumbuhan yang digunakan untuk mengobati berbagai penyakit

rakyat seperti sakit batuk, diare, luka, cacingan, gatal karena jelateng, demam,

gatal, cacar, terkena gigitan kalajengking, malaria, mata merah, goaman, “keloh”,

disentri, sesak nafas dan terkena gigitan ular. Hal ini merupakan wujud bentuk

6

kearifan lokal masyarakat Suku Sasak yang berada di Desa Senaru dalam

memanfaatkan tumbuhan (Riswan & Andayaningsih 2008).

Beragamnya bentuk pemanfaatan tumbuhan dari berbagai daerah dapat

menjadi kekayaan bagi kebudayaan Indonesia. Selain perbedaan dalam pola

pemanfaatan tumbuhan, juga memungkinkan masyarakat dapat memanfaatkan

tumbuhan yang sama dalam manfaat yang berbeda maupun tumbuhan berbeda

dengan manfaat yang sama.

Terdapat empat usaha utama yang berkaitan erat dengan etnobotani, yaitu:

1) pendokumentasian pengetahuan etnobotani tradisional; 2) penilaian kuantitatif

tentang pemanfaatan dan pengelolaan sumber-sumber botani; 3) pendugaan

tentang keuntungan yang dapat diperoleh dari tumbuhan, untuk keperluan sendiri

maupun untuk tujuan komersial; dan 4) proyek yang bermanfaat untuk

memaksimalkan nilai yang dapat diperoleh masyarakat lokal dari pengetahuan

ekologi dan sumber-sumber ekologi (Martin 1998).

Dokumentasi sebagai salah satu usaha utama dalam etnobotani merupakan

pengumpulan bukti-bukti dan keterangan-keterangan. Dokumentasi tersebut dapat

berupa dokumen tertulis, rekaman foto, majalah, film dokumenter. Dalam hal

botani, dokumentasi juga dilakukan dengan cara pengumpulan spesimen

(herbarium).

2.2 Kearifan Tradisional

Kearifan tradisional adalah semua bentuk pengetahuan, keyakinan,

pemahaman atau wawasan, serta adat kebiasaan atau etika yang menuntun

perilaku manusia dalam kehidupan di dalam komunitas ekologis (Keraf 2002).

Pengetahuan tradisional adalah pengetahuan yang dimiliki oleh masyarakat lokal

secara turun temurun (Soekarman & Riswan 1992).

Pengetahuan merupakan kapasitas manusia untuk memahami dan

menginterpretasikan baik hasil pengamatan langsung maupun pengalaman

sehingga dapat digunakan untuk meramalkan ataupun sebagai dasar pertimbangan

dalam pengambilan keputusan (Kartikawati 2004). Bangsa Indonesia yang

tersebar dari Sabang hingga Merauke terdiri dari suku-suku mempunyai

kebudayaan dan adat istiadat masing-masing yang berkembang dan diwariskan

7

secara turun-temurun dari satu generasi ke generasi selanjutnya. Kehidupan suku-

suku tersebut terutama yang mempunyai interaksi dekat dengan sumberdaya dan

lingkungannya secara turun-temurun pula mewarisi pola hidup tradisional yang

dijalani oleh leluhurnya. Pola hidup tradisional inilah yang kemudian membentuk

kearifan tradisional.

Kearifan tradisional menyangkut pengetahuan, pemahaman adat dan

kebiasaan tentang manusia, alam dan bagaimana hubungan di antara semua

penghuni komunitas ekologis harus dibangun. Berdasarkan hal tersebut di atas

Keraf (2002) menyebutkan bahwa :

1. Kearifan tradisional adalah milik komunitas bukan individu.

2. Kearifan tradisional yang juga berarti pengetahuan tradisional, lebih bersifat

praktis mencakup bagaimana memperlakukan setiap kehidupan di alam

dengan baik.

3. Kearifan tradisional lebih bersifat holistik karena menyangkut pengetahuan

dan pemahaman tentang seluruh kehidupan dengan segala relasinya di alam

semesta.

4. Berdasarkan kearifan tradisional masyarakat adat juga memahami semua

aktivitasnya sebagai aktivitas moral.

2.3 Pemanfaatan Tumbuhan

Pemanfaatan tumbuhan tradisional dilakukan secara turun temurun oleh

masyarakat adat, tradisional maupun masyarakat sekitar kawasan yang masih

menurunkan warisan kearifan tradisional leluhurnya. Pemanfaatan ini bukan

dipandang sebagai suatu yang misterius, melainkan sebagai sumber yang

menguntungkan dan memberi hidup bagi masyarakat.

Menurut Soekarman dan Riswan (1992), baru sekitar 3-4% tumbuhan

bermanfaat yang ada di Indonesia sudah dibudidayakan dan ditanam, sementara

sisanya masih tumbuh liar di hutan-hutan. Pemanfaatan tumbuhan oleh

masyarakat yang berasal dari hutan digunakan sebagai bahan sandang, bahan

noken (anyaman), bahan pewarna, bahan obat tradisional, upacara adat dan

kegiatan sosial, bahan pangan, bahan bangunan, bahan tali-temali, kayu bakar,

8

bahan alat (tani, parang atau senjata) dan bahan lain-lain (Purwanto & Walujo

1992).

Menurut Zuhud et al. (2004), tumbuhan dapat diklasifikasikan dalam

beberapa kelompok kegunaan di antaranya tumbuhan obat, tumbuhan aromatik,

tumbuhan pangan, tumbuhan penghasil warna, tumbuhan penghasil pestisida

nabati, tumbuhan hias, tumbuhan penghasil pakan ternak, tumbuhan untuk

keperluan ritual dan keagamaan, tumbuhan penghasil tali, anyaman, kerajinan,

tumbuhan penghasil kayu bakar, tumbuhan penghasil minuman dan tumbuhan

penghasil bahan bangunan. Selain beragamnya pemanfaatan (fungsi) tumbuhan di

atas, setiap bagian tumbuhan yang dimanfaatkan juga berbeda-beda, misalnya saja

bagian yang dimanfaatkan adalah buah, daun, umbi, akar, kulit, bunga, biji, getah,

batang dan sebagainya.

Berdasarkan habitus tumbuhan yang dimanfaatkan, tumbuhan juga

dikelompokkan dalam beberapa habitus. Habitus merupakan penampakan luar dan

sifat tumbuh suatu tumbuhan. Adapun habitus berbagai spesies tumbuhan menurut

Tjitrosoepomo (1988) adalah sebagai berikut:

a) Pohon merupakan tumbuhan berkayu yang tinggi besar, memiliki satu batang

yang jelas dan bercabang jauh dari permukaan tanah.

b) Perdu merupakan tumbuhan berkayu yang tidak terlalu besar dan bercabang

dekat dengan permukaan tanah atau di dalam tanah.

c) Semak merupakan tumbuhan berkayu yang mengelompok dengan anggota

yang sangat banyak membentuk rumpun, tumbuh pada permukaan tanah dan

tingginya dapat mencapai 1 m.

d) Herba merupakan tumbuhan tidak berkayu dengan batang lunak dan berair.

e) Liana merupakan tumbuhan berkayu, yang batangnya menjalar/memanjat

pada tumbuhan lain.

f) Epifit merupakan tumbuhan yang menumpang pada tumbuhan lain sebagai

tempat hidupnya.

2.3.1 Tumbuhan pangan

Pangan merupakan kebutuhan pokok bagi kehidupan manusia. Pangan

berasal dari bahan hewani dan nabati (tumbuh-tumbuhan). Menurut Kamus Besar

9

Bahasa Indonesia bahan pangan nabati atau lebih dikenal tumbuhan pangan

adalah segala sesuatu yang tumbuh, hidup, berbatang, berakar, berdaun dan dapat

dimakan atau dikonsumsi oleh manusia (apabila dikonsumsi hewan disebut

pakan).

Produk pangan yang telah lama diproduksi, berkembang dan dikonsumsi di

suatu daerah atau suatu kelompok masyarakat lokal tertentu, produk tersebut

umumnya diolah dari bahan baku lokal menggunakan teknologi lokal dikenal

dengan sebutan pangan lokal. Proses pengadaan pangan lokal tersebut

berdasarkan pengetahuan lokal dan biasanya dikembangkan sesuai dengan

preferensi konsumen lokal pula. Biasanya produk lokal sering menggunakan nama

daerah seperti dodol garut dan talas bogor.

Menurut Undang-Undang No. 7 Tahun 1996 menjelaskan pengertian

pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang

diolah maupun yang tidak diolah, yang diperuntukkan sebagai makanan atau

minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku

pangan dan bahan lain yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan,

dan/atau pembuatan makanan atau minuman. Menurut Depkes RI (1983)

pengertian tanaman pangan yaitu kelompok tanaman yang biasa dikonsumsi

sehari-hari oleh manusia, berupa sayuran dan buah-buahan, memiliki kandungan

nutrien, vitamin dan mineral yang berguna bagi kesehatan manusia serta

merupakan komponen penting untuk diet sehat.

Tumbuhan pangan ada yang berasal dari tumbuhan rendah dan tumbuhan

tingkat tinggi. Tumbuhan tingkat tinggi ini dapat diperoleh dari hasil hutan berupa

buah-buahan, dedaunan dan biji-bijian. Pada umumnya tumbuhan pangan berasal

dari kelompok buah-buahan, sayur-sayuran dan sereal (Sunarti et al. 2007) atau

mengandung karbohidrat, sayuran, buah-buahan dan kacang-kacangan

(Purwadarminta 1988). Tumbuhan penghasil pangan dapat dikelompokkan

menjadi tiga (Moeljopawiro & Manwan 1992) yaitu:

a) Komoditas utama: padi (Oryza sativa), jagung (Zea mays), kedelai (Glycine

max), kacang tanah (Arachis hypogaea), kacang hijau (Phaseolus radiatus),

ubi kayu (Manihot utilissima) dan ubi jalar (Ipomoea batatas).

10

b) Komoditas potensial: sorgum (Andropogon sorgum), kacang tunggak (Vigna

sinensis), kacang gude (Cajanus cajan), wijen (Sesamum orientale), talas

(Colocasia esculenta), ubi kelapa (Dioscorea alata) dan sagu (Metroxylon

spp.).

c) Komoditas introduksi: ganyong (Canna edulis), jawawut (Panicum viridae),

terigu (Triticum sativum) dan kara (Dolichos lablab).

Tumbuhan pangan di alam memiliki kandungan gizi yang dibutuhkan tubuh

seperti karbohidrat, protein, vitamin, mineral dan sebagainya. Kandungan tersebut

dapat ditemukan pada spesies tumbuhan seperti kacang-kacangan, buah-buahan,

sayuran dan sereal (sumber karbohidrat) (Kartikawati 2004).

a. Kacang-kacangan

Kacang-kacangan merupakan biji-bijian yang dapat diperoleh dari spesies

polong-polongan. Polong-polongan adalah anggota suku Fabaceae yang memiliki

polong/legum. Kacang-kacangan utama yang dapat dimakan termasuk ke dalam

anak suku Papilionoidae (anak suku terbesar dari Fabaceae) yang masih memiliki

450 marga dan 10000 spesies. Kacang-kacangan bermanfaat sebagai bahan

pangan yang kaya protein (Koswara 2010).

b. Buah-buahan

Buah-buahan merupakan komoditas yang besar dan beraneka ragam

(Kartikawati 2004). Buah dapat dimakan dalam keadaan segar, maupun yang telah

dikeringkan atau yang telah diolah. Buah-buahan umumnya dikonsumsi dalam

keadaan mentah (tidak dimasak, matang dari pohonnya). Buah-buahan

mengandung vitamin dan mineral yang baik bagi tubuh (Dhalimarta & Adrian

2011) menyeimbangkan menu makanan, kaya protein, energi dan ada yang

mengandung lemak.

c. Sayuran

Sayuran merupakan komoditas tumbuhan yang mengandung air. Menurut

Kartikawati (2004), beberapa contoh sayuran yang biasanya ditanam di kebun dan

merupakan spesies tumbuhan hortikultura di antaranya selada (Lactuca sativa),

11

katuk (Sauropus androgynus), berbagai spesies kobis, kol (Brassica oleraceae),

kangkung (Ipomea aqutica) dan spesies lainnya. Adapun sayuran yang digunakan

sebagai bumbu, yaitu bawang merah (Allium cepa), bawang putih (Allium

sativum), daun bawang (Allium ampeloprasum), seledri (Apium graveolens).

Spesies tumbuhan yang fungsi sekundernya sebagai sayuran adalah daun pepaya

(Carica papaya), daun ubi jalar (Ipomea batatas), jagung muda (Zea mays) dan

daun singkong (Manihot utillisima).

d. Palem-paleman dan umbi-umbian

Palem-paleman dan umbi-umbian merupakan sumber karbohidrat terpenting

(Sunarti et al. 2007). Karbohidrat merupakan sumber energi utama bagi manusia.

Beberapa spesies tumbuhan yang merupakan sumber karbohidrat di antaranya

adalah sagu (Metroxylon spp.), aren (Arenga pinnata) dan lain-lain yang

merupakan jenis palem berkarbohidrat, kemudian ubi jalar (Ipomea batatas),

singkong (Manihot utillisima) dan sebagainya yang merupakan umbi

berkarbohidrat.

2.3.1.1 Ketahanan Pangan

Menurut Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 Tentang Pangan

menjelaskan, ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah

tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun

mutunya, aman, merata dan terjangkau. Ketahanan pangan merupakan konsep

yang multidimensional, yaitu adanya hubungan keterkaitan antara mata rantai

sistem pangan dan gizi mulai dari produksi, distribusi, konsumsi dan status gizi.

Menurut Hariyadi (2010), aspek utama dalam ketahanan pangan terdiri dari

4 hal yaitu (1) aspek ketersediaan pangan (food availibity), (2) aspek stabilitas

ketersediaan/pasokan pangan (stability supplies) (3) aspek keterjangkauan (acces

supplies) dan (4) aspek konsumsi (food utilization). Faktor-faktor struktur sosial,

budaya, politik dan ekonomi sangat penting dalam menentukan ketahanan pangan.

Faktor-faktor tersebut di atas merupakan faktor determinan dasar (basic

determinan) bagi ketahaan pangan.

12

Sumberdaya lokal termasuk di dalamnya pangan lokal erat kaitannya

dengan ketahanan pangan. Ketahanan pangan yang dikembangkan berdasarkan

kekuatan sumberdaya lokal akan menciptakan kemandirian pangan yang

selanjutnya akan melahirkan individu yang sehat, aktif dan berdaya saing

sebagaimana indikator ketahanan pangan. Di samping itu, juga akan melahirkan

sistem pangan dengan pondasi yang kokoh (Hariyadi 2010).

2.3.1.2 Kedaulatan pangan

Kedaulatan pangan memiliki peran penting sebagai strategi untuk mencegah

krisis pangan. Membangun kedaulatan pangan dapat dilakukan melalui

peningkatan produksi pangan dan pengurangan konsumsi yang berlebihan dan

tidak perlu, disertai pembangunan pedesaan terpadu. Ketidakberhasilan dalam

penerapan strategi ketahanan pangan menjadi inspirasi munculnya strategi

alternatif, yaitu kemandirian dan kedaulatan pangan.

Kemandirian pangan dapat dilihat dari kemampuan suatu bangsa untuk

menjamin seluruh penduduknya memperoleh pangan yang cukup, bermutu baik,

dan aman yang berbasis pada pemanfaatan secara optimal sumber daya lokal.

Lima komponen dalam mewujudkan kemandirian pangan yaitu ketersediaan yang

cukup, stabilitas ketersediaan, keterjangkauan, mutu/keamanan pangan yang baik,

dan tidak ada ketergantungan pada pihak luar. Membangun kemandirian dan

kedaulatan pangan merupakan strategi untuk mencegah krisis pangan dan

mengentaskan masyarakat tani dari kemiskinan.

Membangun kemandirian dan kedaulatan pangan di Indonesia diarahkan

untuk: (1) mewujudkan kemandirian dan kedaulatan negara dan rakyat dalam

menentukan kebijakan produksi, distribusi dan konsumsi pangan berdasarkan

pemanfaatan sumber daya lokal, tanpa pengaruh pihak luar; (2) mengurangi

ketergantungan pada pangan impor; (3) memanfaatkan keragaman sumber daya

hayati untuk memproduksi berbagai komoditas pangan non beras;

(4) menciptakan lapangan kerja pada industri pertanian di perdesaan;

(5) membebaskan petani tanaman pangan dari perangkap kemiskinan sehingga

mampu menyongsong masa depan yang lebih sejahtera dan bermartabat (Swastika

2011).

13

2.3.2 Tumbuhan obat

Tumbuhan obat menurut Depkes RI sebagaimana yang tercantum dalam

Surat Keputusan Menteri Kesehatan No. 149/SK/Menkes/IV/1978 adalah sebagai

berikut:

a) Tumbuhan atau bagian tumbuhan yang digunakan sebagai bahan obat

tradisional atau jamu

b) Tumbuhan atau bagian tumbuhan yang digunakan sebagai bahan pemula bahan

baku obat (prokursor)

c) Tumbuhan atau bagian tumbuhan yang diekstraksi dan ekstrak tumbuhan

tersebut digunakan sebagai obat

Zuhud et al. (1994) menjelaskan bahwa tidak kurang dari 1260 spesies

tumbuhan yang sudah diketahui bermanfaat sebagai bahan baku obat-obatan.

Tumbuhan obat tersebut dikelompokkan menjadi tiga kelompok besar yakni:

1. Tumbuhan obat tradisional: spesies tumbuhan yang diketahui atau dipercaya

memiliki khasiat obat dan telah digunakan sebagai bahan obat tradisional.

2. Tumbuhan obat modern: spesies tumbuhan yang secara ilmiah telah dibuktikan

mengandung senyawa atau bahan bioaktif yang berkhasiat obat dan

penggunaannya dapat dipertanggungjawabkan secara medis.

3. Tumbuhan obat potensial: spesies tumbuhan yang diduga mengandung atau

memiliki khasiat obat tetapi belum dapat dibuktikan secara medis.

Tumbuhan obat sejak zaman dahulu memainkan peranan penting dalam

menjaga kesehatan, mempertahankan stamina dan mengobati penyakit. Oleh

karena itu penggunaan tumbuhan obat sebagai bahan baku obat tradisional masih

berakar kuat dalam kehidupan masyarakat saat ini. Semula, untuk kelangsungan

hidupnya, manusia menggantungkan semua keperluan pada alam sekitarnya,

termasuk untuk menjaga kesehatan (Pramesthi 2008). Sejalan dengan sejarah

perkembangan manusia, pengetahuan tentang penyakit dan pengalaman tentang

pengobatan penyakit, semakin lama semakin banyak ragamnya, sesuai dengan

budaya, kemampuan bangsa, lingkungan, serta ragam flora dan fauna yang ada.

Pengolahan tumbuhan obat sebelum dikonsumsi, dapat berbagai macam

cara. Mulai dari daun atau bunga yang direbus, sari yang diperas dari daun dan

tapal yang dapat diperoleh dari akar atau kulit kayu atau juga bahan simplisia

14

yakni bahan alam yang digunakan sebagai bahan obat yang belum mengalami

proses apapun kecuali dikeringkan (Depkes RI 1980). Pengetahuan tentang

pemanfaatan tumbuhan obat ini merupakan warisan budaya bangsa berdasarkan

pengalaman, yang secara turun-temurun telah diwariskan oleh generasi terdahulu

kepada generasi berikutnya termasuk generasi saat ini.

Rostiana et al. (1992) menambahkan bahwa di antara jenis-jenis simplisia

yang dominan penggunaannya, selama kurun waktu lima tahun (1985-1990)

terdapat enam spesies yang sudah memasyarakat pembudidayaannya yaitu

temulawak, jahe, lengkuas, kencur dan kunyit dari famili zingiberaceae serta ada

dari famili umbelliferae.

Setiap suku di Indonesia memiliki pengetahuan yang berbeda-beda tentang

pengobatan tradisional, termasuk pengetahuan mengenai tumbuhan obat. Hal ini

bisa dilihat dari perbedaan ramuan untuk mengobati penyakit yang sama. Semakin

beragam ramuan yang digunakan untuk mengobati penyakit tertentu, maka

peluang menyembuhkan suatu penyakit pun menjadi semakin besar. Hal ini

karena suatu ramuan belum tentu cocok untuk semua orang.

Berdasarkan intensitas pemanfaatannya, Aliadi dan Roemantyo (1994)

membagi masyarakat pemanfaat tumbuhan obat menjadi tiga kelompok, yaitu:

a) Kelompok masyarakat asli yang hanya menggunakan pengobatan tradisional,

umumnya tinggal di pedesaan atau daerah terpencil yang tidak memiliki

sarana dan prasarana kesehatan

b) Kelompok masyarakat yang menggunakan pengobatan tradisional dalam

skala keluarga, yang umumnya tinggal di daerah pedesaan dengan sarana dan

prasarana kesehatan terbatas

c) Kelompok industriawan obat tradisional

2.4 Tri-Stimulus Amar Pro-Konservasi

Konsep Tri-Stimulus Amar Konservasi digunakan sebagai alternatif

pengelolaan lingkungan hidup yang efektif demi terwujudnya keberlanjutan

sumberdaya alam hayati dan kesejahteraan masyarakat (Zuhud 2007). Tiga

komponen stimulus yang mendorong terwujudnya konservasi yaitu stimulus

15

“alamiah”, “manfaat” dan “religius-rela” yang merupakan kristalisasi dari nilai-

nilai: “kebenaran”, “kepentingan”, dan “kebaikan”.

Stimulus alamiah dapat diartikan sebagai nilai-nilai kebenaran dari alam,

kebutuhan keberlanjutan sumberdaya alam hayati sesuai dengan karakter

bioekologinya. Stimulus manfaat mengandung nilai-nilai kepentingan untuk

manusia di dalamnya, seperti memperoleh manfaat ekonomi, manfaat obat,

manfaat biologis atau ekologis dan manfaat lainnya. Stimulus religius-rela

mengandung nilai-nilai kebaikan yang di dalamnya mengharap ganjaran dari Sang

Pencipta Alam, nilai spiritual, nilai agama yang universal, pahala, kebahagiaan,

kearifan budaya/tradisional, kepuasan batin dan lainnya.

Tri-Stimulus Amar Konservasi pada awalnya diharapkan menimbulkan 3

sikap konservasi yakni: 1) Cognitive (persepsi, pengetahuan, pengalaman,

pandangan dan keyakinan), 2) Affective (emosi, senang, benci, dendam, sayang,

cinta, dan lain-lain), 3) Overt actions (kecenderungan bertindak). Ketiga sikap

konservasi tersebut, masing-masing diharapkan mengarah pada sikap yang positif

dan akhirnya menuju perilaku pro konservasi, hingga pada akhirnya konservasi

dapat terwujud di dunia nyata karena banyaknya partisipasi dan sikap pro

konservasi dari masyarakat ataupun instansi yang terkait dengan pengelolaan

lingkungan dan sumberdaya alam hayati.