BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Bencana Alam · udara, angin, kelembaban, hujan dan awan (BMKG, ......

28
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Bencana Alam Bencana alam adalah berbagai macam kerusakan yang diakibatkan oleh fenomena-fenomena alam. Bencana alam dapat terjadi karena fenomena sistem cuaca ataupun pola tektonik bumi. Fenomena sistem cuaca permukaan bumi dipengaruhi oleh radiasi matahari dengan penyerapan di permukaan bumi sebesar 45% dan yang dipantulkan sebesar 55%. Akibat peredaran bumi terhadap matahari dengan kondisi dan kedudukan bumi terhadap matahari yang berbeda- beda mengakibatkan adanya perbedaan unsur-unsur cuaca seperti suhu, tekanan udara, angin, kelembaban, hujan dan awan (BMKG, 2010). Di Indonesia sistem cuaca dipengaruhi oleh musim yaitu musim kemarau dan musim hujan, adanya pengaruh lokal, adanya pengaruh regional (Muson) dan adanya pengaruh global (El Nino, La Nina dan Dipole). Dalam kondisi cuaca ekstrim, fenomena sistem cuaca ini dapat mengakibatkan bencana seperti longsor, banjir, puting beliung, kebakaran, gelombang tinggi dan petir. Selain fenomena sistem cuaca, bencana alam juga dapat terjadi akibat pola tektonik bumi. Berdasarkan penyelidikan para ahli geologi dengan penyelidikan menggunakan gelombang yang dibiaskan oleh lapisan batuan, bumi mempunyai beberapa lapisan yaitu (BMKG, 2010): a. kerak bumi Kerak bumi adalah lapisan terluar bumi yang bersifat kaku, dingin dan rapuh. Lapisan ini terbagi dua yaitu kerak samudera dan kerak benua. Kerak samudra mempunyai ketebalan sekitar 5-10 km sedangkan kerak benua mempunyai ketebalan sekitar 20-70 km, b. mantel bumi Lapisan mantel bumi membujur ke dalam mulai dari lapisan moho sampai lapisan inti bumi pada kedalaman sekitar 2900 km. Mantel sebagian besar diperkirakan sebagai lapisan padat. Lapisan ini dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu mantel atas dan mantel bawah. Mantel atas mempunyai kedalaman 700

Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Bencana Alam · udara, angin, kelembaban, hujan dan awan (BMKG, ......

5

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Bencana Alam

Bencana alam adalah berbagai macam kerusakan yang diakibatkan oleh

fenomena-fenomena alam. Bencana alam dapat terjadi karena fenomena sistem

cuaca ataupun pola tektonik bumi. Fenomena sistem cuaca permukaan bumi

dipengaruhi oleh radiasi matahari dengan penyerapan di permukaan bumi sebesar

45% dan yang dipantulkan sebesar 55%. Akibat peredaran bumi terhadap

matahari dengan kondisi dan kedudukan bumi terhadap matahari yang berbeda-

beda mengakibatkan adanya perbedaan unsur-unsur cuaca seperti suhu, tekanan

udara, angin, kelembaban, hujan dan awan (BMKG, 2010).

Di Indonesia sistem cuaca dipengaruhi oleh musim yaitu musim kemarau

dan musim hujan, adanya pengaruh lokal, adanya pengaruh regional (Muson) dan

adanya pengaruh global (El Nino, La Nina dan Dipole). Dalam kondisi cuaca

ekstrim, fenomena sistem cuaca ini dapat mengakibatkan bencana seperti longsor,

banjir, puting beliung, kebakaran, gelombang tinggi dan petir.

Selain fenomena sistem cuaca, bencana alam juga dapat terjadi akibat pola

tektonik bumi. Berdasarkan penyelidikan para ahli geologi dengan penyelidikan

menggunakan gelombang yang dibiaskan oleh lapisan batuan, bumi mempunyai

beberapa lapisan yaitu (BMKG, 2010):

a. kerak bumi

Kerak bumi adalah lapisan terluar bumi yang bersifat kaku, dingin dan

rapuh. Lapisan ini terbagi dua yaitu kerak samudera dan kerak benua. Kerak

samudra mempunyai ketebalan sekitar 5-10 km sedangkan kerak benua

mempunyai ketebalan sekitar 20-70 km,

b. mantel bumi

Lapisan mantel bumi membujur ke dalam mulai dari lapisan moho sampai

lapisan inti bumi pada kedalaman sekitar 2900 km. Mantel sebagian besar

diperkirakan sebagai lapisan padat. Lapisan ini dapat dibagi menjadi dua bagian

yaitu mantel atas dan mantel bawah. Mantel atas mempunyai kedalaman 700

6

sampai 1000 km di bawah permukaan dan mantel bawah mempunyai kedalaman

lebih dari 1000 km,

c. inti bumi

Inti bumi adalah lapisan yang paling dalam dari bumi. Lapisan ini

diperkirakan mempunyai jari-jari 3500 km dan terdiri dari dua bagian, yaitu inti

luar (outer core) dan inti dalam (inner core).

Setiap lapisan dalam bumi mempunyai perbedaan temperatur. Semakin ke

inti bumi, temperatur semakin tinggi, maka di dalam bumi menyimpan temperatur

yang tinggi. Oleh karena adanya struktur temperatur dan lapisan bumi yang

demikian maka terjadi pergerakan interior bumi.

Menurut para ahli geologi, bumi adalah satu daratan yang disebut dengan

Pangeae. Akibat adanya tekanan dari dalam bumi (endogen) maka terjadilah

pemisahan daratan. Berikut adalah gambar pemisahan daratan Pangae (Gambar 2).

Sumber: BMKG Kota Padang Panjang, (2010)

Gambar 2. Pemisahan Daratan Pangeae

Pola tektonik bumi ini juga terdapat dalam teori tektonik lempeng. Dalam

teori tektonik lempeng, jauh di dalam pusat bumi sebenarnya terdapat sumber

panas yang menyebabkan mantel bumi bergerak secara konveksi. Bumi ini

tertutup oleh lempeng-lempeng benua dan samudera. Menurut teori tektonik

lempeng dari Wegener, permukaan bumi ini terbagi atas kira-kira 20 pecahan

besar yang disebut lempeng. Ketebalannya masing-masing sekitar 70 km.

Ketebalan lempeng kira-kira hampir sama dengan litosfer yang merupakan kulit

terluar bumi yang padat. Litosfer terdiri dari kerak bumi dan selubung atas.

Lempengnya kaku dan lempeng-lempeng itu bergerak di atas astenosfer yang

7

lebih cair. Lapisan kerak bumi terdiri dari sepuluh lempeng-lempeng utama

(Gambar 2), yaitu Lempeng Afrika, Antartika, Indo Australia, Eurasia, Amerika

Utara, Amerika Selatan, Pasifik, Cocos, Nazca dan India. Kesepuluh lempeng

tersebut saling bertemu (BMKG, 2010).

Lempeng samudera lebih berat daripada lempeng benua maka lempeng

samudera akan menunjam ke bawah atau dikenal sebagai Subduction Zone. Gerak

pertemuan dua lempeng merupakan penyebab proses terjadinya bencana alam

gempa bumi. Lempeng samudera yang rapat massanya lebih besar ketika

bertumbukan dengan lempeng benua di zona tumbukan (subduksi) akan

menyusup ke bawah. Gerakan lempeng itu akan mengalami perlambatan akibat

gesekan dari selubung bumi. Perlambatan gerak itu menyebabkan penumpukan

energi di zona subduksi dan zona patahan. Akibatnya di zona-zona itu terjadi

tekanan, tarikan, dan geseran. Pada saat batas elastisitas lempeng terlampaui,

maka terjadilah patahan batuan yang diikuti oleh lepasnya energi secara tiba-tiba.

Proses ini menimbukan getaran partikel ke segala arah yang disebut gelombang

gempa bumi. Bencana alam gempa bumi ini juga sering diikuti oleh bencana

tsunami. Namun tidak semua gempa bumi menyebabkan terjadinya tsunami.

2.2. Gempa Bumi

Gempa bumi adalah getaran atau guncangan yang terjadi di permukaan

bumi. Gempa bumi biasanya disebabkan oleh pergerakan kerak bumi (lempeng

bumi). Kata gempa bumi juga digunakan untuk menunjukkan daerah asal

terjadinya kejadian gempa bumi tersebut. Bumi walaupun padat selalu bergerak,

dan gempa bumi terjadi apabila tekanan yang ditimbulkan akibat pergerakan

lempeng tersebut sudah terlalu besar untuk dapat ditahan (BMKG, 2010).

Gempa bumi dapat dibagi menjadi dua jenis yaitu gempa vulkanik dan

gempa tektonik. Gempa vulkanik adalah gempa yang dihasilkan oleh kegiatan

gunung api. Gempa ini pada umumnya relatif lemah dan hanya dirasakan oleh

manusia yang berada di sekitar gunung api. Gempa vulkanik biasanya terjadi

sebelum, selama dan sesudah terjadi erupsi atau letusan gunung api. Penyebab

utama gempa vulkanik adalah terjadinya persentuhan magma yang mengalir dan

ingin keluar dari perut bumi dengan dinding-dinding corong kepundan gunung api

8

dan tekanan gas pada saat terjadi letusan-letusan hebat. Kejadian berbahaya dari

kegiatan vulkanis tersebut selain gempa adalah keluarnya lava dari corong

kepundan yang dapat menyebabkan meningkatnya suhu sekitar yang diikuti

semburan abu belerang, banjir lahar dan hamburan material seperti bongkahan

batu saat terjadinya letusan (Sukandarrumidi, 2010).

Sukandarrumidi (2010) lebih lanjut menjelaskan bahwa gempa tektonik

terjadi akibat pergeseran atau gerakan lempengan-lempengan tektonik. Kecepatan

gerakan lempengan-lempengan tektonik yang tidak sama akan membentuk jalur

patahan atau pembentukan pegunungan lipatan. Gempa tektonik disebut juga

dengan gempa dislokasi. Penyebaran gempa sangat luas dengan kekuatan

menengah hingga tinggi, diawali dengan gerakan yang lemah beberapa saat lalu

diikuti dengan kekuatan yang cukup besar, melemah dan akhirnya berhenti

sesudah tercapai keseimbangan. Hampir 90% gempa yang terjadi di dunia

merupakan gempa tektonik. Korban jiwa dan harta benda yang ditimbulkan akibat

gempa ini juga lebih banyak, terutama diakibatkan oleh runtuhnya bangunan.

Dengan demikian, gempa bumi merupakan peristiwa pelepasan energi

yang menyebabkan dislokasi (pergeseran) pada bagian dalam bumi secara tiba-

tiba. Penyebab terjadinya gempa bumi adalah:

1. proses tektonik akibat pergerakan kulit/lempeng bumi,

2. aktivitas sesar di permukaan bumi,

3. pergerakan geomorfologi secara lokal, contohnya terjadi runtuhan tanah,

4. aktivitas gunung api,

5. ledakan nuklir.

Mekanisme perusakan terjadi karena energi getaran gempa dirambatkan ke

seluruh bagian bumi. Di permukaan bumi, getaran tersebut dapat menyebabkan

kerusakan dan runtuhnya bangunan sehingga dapat menimbulkan korban jiwa.

Getaran gempa juga dapat memicu terjadinya tanah longsor, runtuhan batuan, dan

kerusakan tanah lainnya yang merusak permukiman penduduk. Gempa bumi juga

menyebabkan bencana ikutan/susulan berupa tsunami, kebakaran, kecelakaan

industri dan transportasi serta banjir akibat runtuhnya bendungan maupun tanggul

penahan lainnya.

9

Indonesia merupakan daerah pertemuan 3 lempeng tektonik besar, yaitu

lempeng Indo-Australia, lempeng Eurasia dan lempeng Pasifik. Lempeng Indo-

Australia bertemu dengan lempeng Eurasia di lepas pantai barat Sumatra, Jawa

dan Nusa Tenggara, sedangkan pertemuan lempeng Australia dengan lempeng

Pasifik di utara Irian dan Maluku Utara. Pada daerah sekitar lokasi pertemuan

lempeng tersebut akumulasi energi terkumpul sampai pada suatu titik dimana

lapisan bumi tidak lagi sanggup menahan tumpukan energi sehingga lepas berupa

gempa bumi. Pelepasan energi sesaat ini menimbulkan berbagai dampak terhadap

bangunan karena percepatan gelombang seismik, tsunami, longsor, dan

liquefaction.

Secara umum parameter gempa bumi terdiri dari waktu kejadian gempa

bumi (jam, menit, detik), lokasi pusat gempa bumi di permukaan bumi/episenter

(koordinat lintang dan bujur), kedalaman sumber gempa bumi (km), kekuatan

gempa bumi (Skala Richter/SR) dan intensitas gempa bumi (MMI). Tabel 1

memperlihatkan estimasi Skala Richter gempa bumi terhadap kekuatan bahan

peledak dan skala kerusakan yang dapat diakibatkannya (Bakornas, 2007).

Tabel 1. Estimasi SR Terhadap Kekuatan Bahan Peledak dan Skala Kerusakan Kekuatan

Gempa (SR) Kesetaraan Terhadap

Kekuatan Bahan Peledak Contoh Skala Kerusakan

1,0 SR 15 kg bahan peledak ledakan pada konstruksi 1,5 SR 160 kg bahan peledak bom konvensional Perang Dunia II 2,0 SR 1 ton bahan peledak ledakan di pertambangan 2,5 SR 4,6 ton bahan peledak bom rakitan Perang Dunia II 3,0 SR 29 ton bahan peledak ledakan MOAB, 2003 3,5 SR 73 ton bahan peledak kecelakaan Chelyabinsk, 1957 4,0 SR 1 kilo ton bahan peledak bom atom kecil 4,5 SR 5 kilo ton bahan peledak rata‐rata Tornado (energi total) 5,0 SR 20 kilo ton bahan peledak bom atom Hiroshima/Nagasaki 5,5 SR 80 kilo ton bahan peledak gempa bumi Little Skull, Amerika Serikat,

1992 6,0 SR 1 mega ton bahan peledak gempa bumi Bantul, DIY, 2006 6,5 SR 5 mega ton bahan peledak gempa bumi Northridge, 1994 7,0 SR 32 mega ton bahan peledak gempa bumi Awaji‐Hansin, Kobe, Jepang,

1995 7,5 SR 160 mega ton bahan peledak gempa bumi Landers, Amerika Serikat,

1992 8,0 SR 1 giga ton bahan peledak gempa bumi Nias, Sumatera Utara, 2005 8,5 SR 5 giga ton bahan peledak gempa bumi Anchorage, Amerika Serikat,

1964 9,0 SR 32 giga ton bahan peledak gempa bumi Aceh dan Sumut, Indonesia,

2004 Sumber: Bakornas, (2007)

10

Estimasi skala gempa bumi jika diukur dengan Skala Modified Mercalli

Intensity (MMI) atau skala yang dapat diketahui melalui penampakan secara kasat

mata dan kerusakan ditampilkan pada Tabel 2 (Bakornas, 2007).

Tabel 2. Estimasi Skala MMI Terhadap Penampakan Kasat Mata dan Kerusakan Skala MMI Penampakan Kasat Mata dan Kerusakan Skala I sangat jarang/hampir tidak ada orang dapat merasakan dan tercatat pada alat

seismograf Skala II terasa oleh sedikit sekali orang terutama yang ada di gedung tinggi, sebagian

besar orang tidak dapat merasakan Skala III terasa oleh sedikit orang, khususnya yang berada di gedung tinggi. Mobil parkir

sedikit bergetar, getaran seperti akibat truk yang lewat Skala IV pada siang hari akan terasa oleh banyak orang dalam ruangan, di luar ruangan

hanya sedikit yang bisa merasakan. Pada malam hari sebagian orang bisa terbangun. Piring, jendela, pintu, dinding mengeluarkan bunyi retakan, lampu gantung bergoyang

Skala V dirasakan hampir oleh semua orang, pada malam hari sebagian besar orang tidur akan terbangun, barang‐barang diatas meja terjatuh, plesteran tembok retak, barang‐barang yang tidak stabil akan roboh, pandulum jam dinding akan berhenti

Skala VI dirasakan oleh semua orang, banyak orang ketakutan/panik, berhamburan keluar ruangan, banyak perabotan bergerser, plesteran dinding retak dan terkelupas, cerobong asap pabrik rusak

Skala VII setiap orang berhamburan keluar ruangan, kerusakan terjadi pada bangunan yang konstruksinya tidak baik, kerusakan sedikit sampai sedang terjadi pada bangunan dengan konstruksi biasa. Bangunan dengan konstruksi yang baik tidak mengalami kerusakan yang berarti

Skala VIII kerusakan luas pada bangunan dengan konstruksi tidak baik, kerusakan berarti pada bangunan dengan konstruksi biasa dan sedikit kerusakan pada bangunan dengan konstruksi yang baik. Dinding panel akan pecah dan lepas dari framenya, cerobong asap pabrik runtuh, perabotan yang berat akan terguling, pengendara mobil terganggu

Skala IX kerusakan berarti pada bangungan dengan konstruksi yang baik, pipa-pipa bawah tanah putus, timbul retakan pada tanah

Skala X sejumlah bangunan kayu dengan konstruksi yang baik rusak, sebagian besar bangunan tembok rusak termasuk fondasinya. Retakan pada tanah akan semakin banyak, tanah longsor pada tebing-tebing sungai dan bukit, air sungai akan melimpas di atas tanggul

Skala XI sangat sedikit bangunan tembok yang masih berdiri, jembatan putus, rekahan pada tanah sangat banyak/luas, jaringan pipa bawah tanah hancur dan tidak berfungsi, rel kereta api bengkok dan bergeser

Skala XII kerusakan total, gerakan gempa terlihat bergelombang diatas tanah, benda-benda beterbangan ke udara

Sumber: Bakornas, (2007)

Besarnya dampak gempa bumi terhadap bangunan bergantung pada

beberapa hal, diantaranya adalah skala gempa, jarak epicenter, mekanisme

sumber, jenis lapisan tanah di lokasi bangunan dan kualitas bangunan. Kerugian

akibat gempa bumi kadang tidak secara langsung disebabkan oleh gempa bumi,

namun disebabkan oleh kerentanan bangunan sehingga terjadi runtuhan bangunan,

11

kejatuhan peralatan dalam bangunan, kebakaran, tsunami, tanah longsor dan

kepanikan karena tidak tahu harus berlindung kemana. Berbagai hal diatas

menyebabkan banyak korban jiwa berjatuhan.

2.3. Daerah Rawan Gempa

Kepulauan Indonesia terletak pada pertemuan 3 lempeng utama dunia

yaitu lempeng Indo-Australia, Eurasia, dan Pasifik. Lempeng Eurasia dan Indo-

Australia bertumbukan di lepas pantai barat Pulau Sumatera, lepas pantai selatan

Pulau Jawa, lepas pantai Selatan Kepulauan Nusa Tenggara, dan berbelok ke arah

utara ke perairan Maluku sebelah selatan. Antara lempeng Australia dan Pasifik

terjadi tumbukan di sekitar Pulau Papua. Sementara pertemuan antara ketiga

lempeng itu terjadi di sekitar Sulawesi. Itulah sebabnya mengapa di pulau-pulau

sekitar pertemuan lempeng sering terjadi gempa bumi. Keberadaan lempengan-

lempengan bumi di wilayah Indonesia tersebut dapat dilihat pada Gambar 3.

Sumber: BMKG Kota Padang Panjang, (2010)

Gambar 3. Peta Pertemuan Lempengan-Lempengan di Indonesia

Berikut adalah 25 daerah wilayah rawan gempa bumi di Indonesia yaitu

Aceh, Sumatera Utara (Simeulue), Sumatera Barat, Jambi, Bengkulu, Lampung,

Banten Pandeglang, Jawa Barat, Bantar Kawung, Yogyakarta, Lasem, Jawa

Timur, Bali, NTB, NTT, Kepulauan Aru, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara,

Sulawesi Tengah, Sulawesi Utara, Sangir Talaud, Maluku Utara, Maluku Selatan,

Kepala Burung-Papua Utara, Jayapura, Nabire, Wamena, dan Kalimantan Timur.

Kegempaan di Sumatera Bagian Barat disebabkan karena pertemuan (tumbukan)

dua lempeng tektonik dunia, yaitu lempeng Eurasia dan lempeng Indo-Australia,

12

sehingga di wilayah Pulau Sumatera terdapat patahan besar Sumatera (Great

Sumatera Fault) yang juga sering dikenal sebagai sesar Sumatera atau sesar

Semangko, yang membujur sepanjang Bukit Barisan dari Aceh sampai dengan

Lampung. Pada patahan besar Sumatera tersebut juga terdapat segmen-segmen

yang masih aktif. Gambar 4 menunjukkan gambar sesar Semangko yang

membelah Sumatera Barat yang ditandai dengan jalur patahan berupa garis merah.

Kenampakan jalur sesar juga dapat dilihat dari offset sungai-sungai karena adanya

patahan tersebut, salah satunya Sungai Sianok di Bukitinggi.

Sumber: BMKG Kota Padang Panjang, (2010)

Gambar 4. Peta Sesar Semangko yang Membelah Sumatera Barat

Penyebaran kejadian gempa bumi (seismisitas) di wilayah Sumatera Barat

tahun 1998-2008 dapat dilihat pada Gambar 5. Gempa yang sering terjadi rata-rata

memiliki magnitudo ≥ 5 ,0 SR dan pada kedalaman 0-60 km. Sedangkan untuk

data beberapa kejadian gempa besar yang pernah terjadi dan berdampak besar di

Kota Padang Panjang dapat dilihat pada Lampiran 2 dan Lampiran 3.

13

Sumber: BMKG Kota Padang Panjang, (2010)

Gambar 5. Peta Seismisitas Sumatera Bagian Barat

2.4. Dampak Kerusakan Akibat Gempa dan Sejarah Gempa Bumi di

Sumatera Barat

Gempa besar berkekuatan 7,6 SR di Sumatera Barat bukan hanya terjadi

pada tanggal 30 September 2009 lalu saja, namun di wilayah yang berada di zona

gempa ini sudah belasan kali dilanda gempa bumi dalam dua abad ini. Menurut

Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana, Departemen Energi, sejumlah gempa

besar dengan dampak kerusakan yang luas juga pernah terjadi sebelumnya di

wilayah ini. Misalnya saja, gempa yang mengguncang Padang Panjang pada tahun

1926 lalu. Akibat gempa tersebut, lebih dari 354 orang meninggal dunia dan

ribuan rumah roboh. Gempa menimbulkan bencana di sekitar Danau Singkarak,

Bukit Tinggi, Danau Maninjau, Padang Panjang, Kabupaten Solok, Sawah Lunto,

dan Alahan Panjang. Gempa susulan mengakibatkan kerusakan pada sebagian

Danau Singkarak. Gempa besar juga pernah terjadi pada tahun 1995 di Kerinci

(Sungai Penuh) dengan skala 7 SR. Akibatnya, 84 orang tewas, 558 orang luka

berat dan 1.310 orang luka ringan, serta 7 ribu rumah rusak. Sejarah gempa

14

nampaknya selalu berulang tanpa bisa diprediksi kapan terjadinya, dimana

pusatnya dan berapa kekuatannya. Sejarah gempa yang dihimpun oleh Pusat

Vulkanologi dan Mitigasi Bencana dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Sejarah Gempa Merusak di Sumatera Barat Kejadian Gempa Pusat Gempa dan

Kekuatan (SR) Dampak Kejadian Gempa

Sumatera Barat 1 Oktober 1822 di Padang terasa 3 kali goncangan keras, terdengar suara gemuruh di bawah tanah antara Gunung Talang dan Gunung Merapi

Padang 26 Agustus 1835 kerusakan ringan dan retakan pada bangunan di Padang

Siri Sori, Sumatera Barat

5 Juli 1904 terjadi tsunami di Pantai Siri Sori

Padang Panjang, dengan kekuatan 6,8 SR

28 Juni 1926 lebih dari 354 orang meninggal dunia. Gempa menimbulkan bencana di sekitar Danau Singkarak, Bukit Tinggi, Danau Maninjau, Padang Panjang, Kabupaten Solok, Sawah Lunto, dan Alahan Panjang. Gempa susulan mengakibatkan kerusakan pada sebagian Danau Singkarak. Di Kabupaten Agam (Bukit Tinggi-Bonjol) 472 rumah roboh di 25 lokasi, 57 orang tewas, 16 orang luka berat. Di Padang Panjang sebanyak 2.383 rumah roboh, 247 orang tewas. Terjadi rekahan tanah di Padang Panjang, Kubu Krambil dan Simabur

Singkarak, dengan kekuatan 7,6 SR

9 Juni 1943 Terjadi pensesaran sepanjang 60 km antara Danau Singkarak – Danau Diatas. Sesar normal mencapai 2 meter. Jalan bergeser dekat Salayo sepanjang 2 –3 meter

Pasaman 8 Maret 1977 menimbulkan kerusakan 737 rumah, 1 pasar, 7 sekolah, 8 mesjid dan 3 kantor di Sinurat. Di Talu, 245 rumah, 3 rumah dan 8 mesjid rusak. Retakan tanah antara 5 – 75 meter

Padang, dengan kekuatan 5,4 SR

13 November 1981 timbul retakan dinding, lemari bergeser dan kaca jendela pecah di Padang dan Painan

Padang, dengan kekuatan 6,1 SR

2 Juli 1991 Terjadi kerusakan ringan bangunan di Padang. Getaran terasa di Padang Panjang hingga Singapura

Kerinci (Sungai Penuh), dengan kekuatan 7 SR

7 Oktober 1995 84 orang tewas, 558 orang luka berat dan 1.310 orang luka ringan. 7.137 rumah, transportasi, irigasi, tempat ibadah, pasar dan pertokoan rusak. Liquefaction di Desa Penawar, Kecamatan Sitinjau Laut. Retakan tanah di Desa Sebukar, Koto Iman, Tanjung Tanah dan Kayu Aro. Longsoran di Kampung Benik selatan Danau Kerinci

Nagari Malalak 25 Januari 2003 kerusakan ringan sejumlah ± 80 bangunan di Lubuk Durian, Damar, Simik Air, Jorong Paladangan Kanagarian Malalak, Kecamatan IV Koto, Kabupaten Agam kerusakan yang terjadi berupa lepasnya plesteran dinding, retakan dinding dan kolom. Gempa ini bersifat lokal. Getaran terasa di Padang Panjang dan Malalak

15

Kejadian Gempa Pusat Gempa dan Kekuatan (SR)

Dampak Kejadian Gempa

Tanah Datar, dengan kekuatan 5,6 SR

16 Februari 2004 6 orang meninggal, 10 orang luka-luka, 70 rumah rusak, listrik mati sekitar 30 menit di Kababupaten Tanah Datar. Kerusakan melanda Desa Pitalak, Gunung Rajo, Nagari Pitala, Paninggahan, Kecamatan Batipuh, Kabupaten Tanah Datar. Terjadi longsoran di Gunung Rajo, Paninjauan. Terjadi retakan jalan antara Gunung Rajo-Padang. Getaran gempa terasa kuat di Padang, Pariaman, Padang Panjang, Bukittinggi, Solok, Sawah Lunto, Sijunjung, Agam, dan Batusangkar

Pesisir Selatan, dengan kekuatan 6 SR

22 Februari 2004 1 orang meninggal, 1 orang luka berat, 5 orang luka ringan, 151 bangunan dan rumah rusak di Kabupaten Pesisir Selatan. Getaran terasa kuat di Kota Padang hingga Painan. Wilayah yang mengalami kerusakan Kampung Gunung Pauh, Kampung Taratak Paneh, Kenagarian Amping Parak, Kecamatan Sutra; Nagari Surantih, Nagari Tuik, Kecamatan Batang Kapas; Kampung Kapeh Panji, Kecamatan Bayang; Kampung Ampang Pulai, Kecamatan Koto XI Tarusan, Kecamatan IV Jurai, Kec. Lengayang, Kecamatan Ranah Pesisir dan Kecamatan Linggo Sari Baganti

Pesisir Selatan, dengan kekuatan 5,5 SR

9 April 2004 Beberapa rumah penduduk retak-retak di perbatasan Kota Padang dan Kabupaten Pesisir Selatan

6 Maret 2007 Padang Panjang, dengan kekuatan 6,2 SR

Puluhan rumah di Padang Panjang rusak berat, gempa yang dirasakan cukup lama hingga lebih kurang 1menit. Hal inilah yang menyebabkan cukup banyak kerusakan terjadi. Pada bagian yang dilewati oleh patahan membuat jalan aspal dan tanah merekah

Pulau Siberut, Sumatra Barat, kekuatan 6,9 SR

16 Agustus 2009 Gempa ini menyebabkan setidaknya 7 orang luka-luka. Getaran sangat keras dirasakan di Padang

Padang Pariaman, dengan kekuatan 7,6 SR

30 September 2009 75 orang tewas, ribuan rumah rusak. Gedung perkantoran, mal dan hotel juga banyak yang rusak. Getaran gempa terasa hingga ke Malaysia dan Singapura

Sumber: BMKG, (2010)

Akibat dari gempa bumi dapat dilihat secara langsung ataupun tidak

langsung. Akibat langsung dari gempa bumi adalah getaran/goncangan, bangunan

rusak/roboh, gerakan tanah/terbelah/tergeser, tanah longsor dan tsunami serta

korban jiwa dan harta benda. Sedangkan dampak tidak langsung dari gempa bumi

adalah gejolak sosial dan gangguan ekonomi, wabah penyakit dan kebakaran.

16

2.5. Mitigasi Bencana Gempa

Menurut Bakornas (2002), mitigasi bencana adalah tindakan untuk

mengurangi dampak dari suatu bencana yang dapat dilakukan sebelum bencana

itu terjadi, termasuk kesiapan dan tindakan-tindakan pengurangan resiko jangka

panjang. Mitigasi bencana mencakup kegiatan perencanaan dan pelaksanaan

tindakan-tindakan untuk mengurangi resiko-resiko terkait dengan bahaya-bahaya

bencana yang sudah diketahui dan proses perencanaan untuk respon yang efektif

terhadap bencana-bencana yang benar-benar terjadi. Istilah mitigasi juga berlaku

untuk cakupan yang luas dari aktivitas-aktivitas dan tindakan-tindakan

perlindungan yang mungkin diawali dari yang fisik, seperti membangun

bangunan-bangunan yang lebih kuat, sampai dengan yang prosedural seperti

teknik-teknik yang baku untuk menggabungkan penilaian bahaya di dalam

rencana penggunaan lahan.

Selanjutnya Bakornas (2002) menjelaskan, mitigasi bencana perkotaan

merupakan langkah yang sangat perlu dilakukan sebagai suatu titik tolak utama

dari manajemen bencana. Sesuai dengan tujuan utamanya yaitu mengurangi

dan/atau meniadakan korban dan kerugian yang mungkin timbul, maka titik berat

perlu diberikan pada tahap sebelum terjadinya bencana, terutama kegiatan

penjinakan/peredaman atau dikenal dengan istilah mitigasi. Mitigasi dilakukan

untuk memperkecil, mengurangi dan memperlunak dampak yang ditimbulkan

bencana. UU No. 22 tahun 1999, UU No. 25 tahun 1999, serta PP No. 25 tahun

2000 memberikan kewenangan yang sangat besar kepada pemerintah kota dan

kabupaten untuk mengelola pembangunan kotanya, khususnya dalam administrasi

pemerintahan dan keuangan.

Oleh karena itu, pemerintah kota mempunyai peran dan fungsi yang sangat

strategis dalam rangka melaksanakan pembangunan di segala bidang, yang

bertujuan untuk meningkatkan peran kota sebagai pusat pertumbuhan wilayah,

penggerak pembangunan, pusat jasa pelayanan dalam segala bidang, serta pusat

informasi dan inovasi, termasuk dalam hal teknologi mitigasi bencana. Akan

tetapi, konsentrasi peran yang besar di kota-kota tersebut tidak lepas dari

kenyataan bahwa kota-kota di Indonesia terletak pada lokasi-lokasi yang rawan

bencana alam. Kota-kota di Indonesia sangat heterogen, dan pluralnya sistem

17

sosial dan perekonomian berakibat kota-kota di Indonesia sekaligus rawan

terhadap bencana sosial, bencana teknologi, atau bencana buatan manusia lainnya.

Secara umum mitigasi dapat dikelompokkan ke dalam mitigasi struktural

dan mitigasi non struktural. Mitigasi struktural berhubungan dengan usaha-usaha

pembangunan konstruksi fisik, sementara mitigasi non struktural antara lain

meliputi perencanaan tata guna lahan yang disesuaikan dengan kerentanan

wilayahnya dan memberlakukan peraturan (law enforcement) pembangunan.

Kebijakan Mitigasi Perkotaan merupakan suatu kerangka konseptual yang

disusun untuk mengurangi dampak yang ditimbulkan oleh bencana terutama di

daerah perkotaan. Mitigasi bencana meliputi pengenalan dan adaptasi terhadap

bahaya alam dan buatan manusia, serta kegiatan berkelanjutan untuk mengurangi

atau menghilangkan resiko jangka panjang, baik terhadap kehidupan manusia

maupun harta benda.

Tujuan utama (ultimate goal) dari Penyusunan Kebijakan Mitigasi

Bencana Perkotaan ini adalah sebagai berikut :

a. mengurangi resiko/dampak yang ditimbulkan oleh bencana khususnya bagi

penduduk perkotaan, seperti korban jiwa (kematian), kerugian ekonomi

(economy costs) dan kerusakan sumber daya alam,

b. sebagai landasan (pedoman) untuk perencanaan pembangunan perkotaan,

c. meningkatkan pengetahuan masyarakat perkotaan (public awareness) dalam

menghadapi serta mengurangi dampak/resiko bencana, sehingga masyarakat

dapat hidup dan bekerja dengan aman (safe).

Untuk mencapai tujuan tersebut di atas, beberapa sasaran perlu ditetapkan

sebagai berikut :

a. mengidentifikasi bencana dan perhitungan/perkiraan dampak/resiko yang

ditimbulkan,

b. menerapkan hasil penelitian dan transfer teknologi,

c. meningkatkan pengetahuan masyarakat (public awareness) melalui sosialisasi,

pelatihan dan pembinaan,

d. menerapkan sistem insentif,

e. meningkatkan kualitas kepemimpinan dan koordinasi.

18

Kelima sasaran tersebut nantinya harus dijabarkan lagi menjadi Program

Tindak (Action Plan) berdasarkan fungsi, tugas dan kewajiban masing-masing

aktor/pelaku/pihak-pihak yang terlibat dalam proses mitigasi. Bentuk-bentuk

tindakan mitigasi antara lain:

1. sebelum terjadi gempa bumi,

a. mengenal apa yang disebut dengan gempa bumi

b. memastikan bahwa struktur rumah dapat terhindar dari bahaya yang

disebabkan gempa bumi (longsor, rekahan tanah)

c. mengevaluasi dan merenovasi ulang struktur bangunan agar terhindar dari

bahaya gempa bumi

d. memperhatikan letak pintu, lift serta tangga darurat, apabila terjadi gempa

bumi, sudah mengetahui tempat paling aman untuk berlindung

e. belajar melakukan P3K

f. belajar menggunakan alat pemadam kebakaran

g. mencatat nomor telepon penting yang dapat dihubungi pada saat terjadi

gempa bumi

h. perabotan (lemari, cabinet) diatur menempel pada dinding (dipaku/ diikat)

untuk menghindari jatuh, roboh, bergeser pada saat terjadi gempa bumi

i. menyimpan bahan yang mudah terbakar pada tempat yang tidak mudah

pecah, agar terhindar dari kebakaran

j. selalu mematikan air, gas dan listrik apabila sedang tidak digunakan

k. penyebab celaka yang paling banyak pada saat gempa bumi adalah akibat

kejatuhan material

l. mengatur benda yang berat sedapat mungkin berada pada bagian bawah

m. mengecek kestabilan benda tergantung yang dapat jatuh pada saat gempa

bumi terjadi (misalnya: lampu, lemari, foto, dan lain-lain)

n. alat yang harus ada di setiap tempat berupa kotak P3K, senter/lampu

baterai, radio, makanan suplemen dan air.

2. saat terjadi gempa bumi,

a. jika berada dalam bangunan

- melindungi kepala dan badan dari reruntuhan bangunan

19

- mencari tempat yang paling aman dari reruntuhan akibat goncangan

gempa (seperti di bawah meja, di sudut ruangan yang kuat, di bawah

kusen)

b. jika di luar bangunan atau area terbuka

- menghindari bangunan yang ada di sekitar (seperti gedung, tiang listrik,

pohon)

- memperhatikan tempat anda berpijak hindari apabila terjadi rekahan tanah

c. jika sedang mengendarai mobil

- keluar, turun dan menjauh dari mobil, hindari jika terjadi rekahan tanah

atau kebakaran

- keluar dari mobil dan berlindung di sampingnya

d. jika tinggal atau berada di pantai

- menjauhi pantai menuju ke tempat yang lebih tinggi untuk menghindari

terjadinya tsunami

e. jika tinggal di daerah pegunungan

- menghindari daerah yang mungkin terjadi longsoran.

3. setelah terjadi gempa bumi,

a. jika berada dalam bangunan

- keluar dari bangunan dengan tertib

- jangan menggunakan tangga berjalan atau lift, gunakan tangga biasa

- memeriksa apa ada yang terluka, lakukan P3K

- telepon/minta pertolongan apabila terjadi luka ringan atau luka parah

b. memeriksa apakah terjadi kebakaran

- memeriksa apakah terjadi kebocoran gas

- memeriksa apakah terjadi arus pendek

- memeriksa aliran dan pipa air

- memeriksa segala hal yang dapat membahayakan (mematikan listrik, tidak

menyalakan api)

- jangan masuk ke dalam bangunan yang sudah rusak terkena gempa, karena

kemungkinan sewaktu-waktu dapat runtuh akibat gempa susulan

- jangan mendekati bangunan yang sudah rusak terkena gempa, karena

kemungkinan sewaktu-waktu dapat runtuh akibat gempa susulan

20

- menyimak informasi mengenai gempa susulan dari media cetak maupun

media elektronik

- mengisi angket yang diberikan oleh instansi terkait untuk mengetahui

seberapa besar kerusakan yang terjadi.

2.6. Ruang Terbuka sebagai Ruang Evakuasi Bencana

Ruang terbuka publik pada dasarnya merupakan suatu wadah yang dapat

menampung aktivitas/kegiatan tertentu dari masyarakatnya, baik secara individu

maupun kelompok, yang meliputi jalan, pedestrian, taman, plaza, pemakaman di

sekitar lapangan terbang dan lapangan olahraga (Hakim dan Utomo, 2003 dalam

Sakti 2009). Ruang terbuka publik terbentuk dari adanya konstruksi sosial oleh

para pengguna dengan keadaan sosial yang menghasilkan ruang, bentuk fisik dan

desain lainnya. Keberadaan ruang terbuka sangat dibutuhkan oleh manusia baik

sebagai wadah interaksi sosial, budaya, politik, ekonomi, estetika kota hingga

wadah kegiatan mitigasi terhadap bencana. Ruang terbuka terdiri dari ruang

terbuka hijau dan ruang terbuka non-hijau. Ruang terbuka hijau terdiri dari ruang

terbuka hijau itu sendiri, lapangan rumput, taman, jalur hijau, hutan kota dan lain-

lain. Sedangkan ruang terbuka non-hijau terdiri dari jalan raya, plaza, kolam

renang dan lain-lain.

Menurut Permendagri No 1 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang Terbuka

Hijau Kawasan Perkotaan, ruang terbuka adalah ruang-ruang dalam kota atau

wilayah yang lebih luas baik dalam bentuk area/kawasan maupun dalam bentuk

area memanjang/jalur di mana dalam penggunaannya lebih bersifat terbuka yang

pada dasarnya tanpa bangunan. Salah satu yang termasuk di dalamnya adalah

ruang terbuka hijau kota. Ruang Terbuka Hijau Kawasan Perkotaan (RTHKP)

adalah bagian dari ruang terbuka suatu kawasan perkotaan yang diisi oleh

tumbuhan dan tanaman guna mendukung manfaat ekologi, sosial, budaya,

ekonomi dan estetika.

Dalam keseluruhan tahapan siklus kehidupan manusia, kehadiran ruang

terbuka publik dirasakan sebagai suatu kebutuhan yang sangat diperlukan baik

berupa taman lingkungan, tempat bermain, alun-alun kota, lapangan kota atau

bahkan kuburan umum (Budiharjo, 1997 dalam Sakti 2009). Ruang terbuka publik

21

mempunyai banyak fungsi (multifungsi). Ruang terbuka publik berfungsi sebagai

simpul dan sarana komunikasi serta sebagai pengikat sosial untuk menciptakan

interaksi antara kelompok masyarakat juga sebagai tempat berkumpul sehari-hari

dan pada kesempatan khusus (Carr, 1992 dalam Sakti 2009).

Fungsi utama ruang terbuka publik terbagi menjadi dua. Pertama sebagai

fungsi sosial (rekreatif) yaitu sebagai tempat bermain dan berolahraga, tempat

komunikasi sosial, tempat peralihan dan tempat menunggu, tempat untuk

mendapatkan udara segar dengan lingkungan, sarana penghubung antara suatu

tempat dengan tempat lain, pembatas atau jarak diantara massa bangunan, sarana

penelitian dan pendidikan serta penyuluhan bagi masyarakat untuk membentuk

kesadaran sosial, identitas kota (pembentuk karakter suatu kota), sarana untuk

menciptakan kebersihan, kesehatan, keserasian dan keindahan lingkungan.

Sedangkan fungsi kedua adalah sebagai fungsi ekologis, yaitu sebagai penyegar

udara, mempengaruhi dan memperbaiki iklim mikro, menyerap air hujan,

pengendali banjir dan pengatur tata air, memelihara ekosistem tertentu dan

perlindungan plasma nutfah serta sebagai pelembut arsitektur bangunan.

Selain mempunyai berbagai fungsi di atas, ruang terbuka juga berfungsi

sebagai perlindungan terhadap bencana. Langkah tersebut dapat ditempuh dengan

cara menjadikan peruntukan ruang terbuka di kawasan rawan bencana sebagai

ruang evakuasi. Ruang terbuka publik yang berfungsi sebagai konektor atau

linkage antar ruang permukiman akan memudahkan proses evakuasi pada saat

terjadi bencana sehingga dapat meminimalkan jatuhnya korban. Dalam hal ini

ruang terbuka berfungsi sebagai ruang evakuasi bencana, dapat berupa jalur

evakuasi, ruang evakuasi maupun taman evakuasi.

Perencanaan tata ruang yang ada saat ini sebagian besar belum

mengakomodasi pemetaan daerah rawan bencana baik rawan bencana tsunami,

gempa, longsor, gunung meletus, banjir dan rob serta potensi bencana lainnya.

Perencanaan yang ideal seharusnya disesuaikan dengan kondisi eksisting serta

daya dukung lingkungannya sehingga indikasi penurunan daya dukung

lingkungan dan potensi terjadinya bencana dapat diantisipasi dan diminimalisir.

Perubahan tata guna lahan dari ruang terbuka publik menjadi lahan terbangun

menstimulasi terjadinya kerusakan lingkungan (Hadi, 2001 dalam Sakti, 2009).

22

Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang secara

tegas telah mengatur muatan rencana tata ruang di semua tingkatan administrasi.

Undang-undang tersebut menuntut kualitas tata ruang yang tinggi dengan muatan

rencana yang diantaranya khusus untuk wilayah kota dan kabupaten. Rencana tata

ruang yang disusun juga harus memuat ruang terbuka (baik hijau maupun non-

hijau) mulai dari perencanaan, penyediaan hingga pemanfaatan termasuk sebagai

ruang evakuasi bencana khususnya gempa. Pilihan jenis ruang terbuka yang

cukup sesuai untuk ruang evakuasi gempa adalah taman dan lapangan.

2.6.1. Ruang dan Jalur Evakuasi

Ruang evakuasi merupakan suatu tempat pengungsian atau pemindahan

penduduk dari daerah-daerah yang berbahaya (bahaya gempa) ke daerah yang

aman dari bahaya tersebut (bahasaindonesia.com, 2010). Ruang evakuasi

merupakan salah satu bentuk tindakan preventif dalam usaha mengurangi dampak

kerugian akibat gempa bumi.

Jalur evakuasi merupakan suatu koridor atau jalan yang dapat

mengarahkan masyarakat ke taman-taman kota atau ruang terbuka yang telah

ditentukan sebagai ruang evakuasi. Jalur evakuasi ini harus merupakan jalur

tercepat dan teraman menuju ruang evakuasi. Tanda yang dapat digunakan pada

jalur evakuasi ini dapat berupa sign-sign atau penunjuk arah dan dapat pula

berupa deretan pepohonan yang membentuk suatu lanskap jalur evakuasi yang

menuntun masyarakat untuk sampai tepat di tempat evakuasi. Keberadaan lanskap

koridor dengan penanda vegetasi akan membantu masyarakat mencapai lokasi

saat kepanikan yang terkadang mengakibatkan disorientasi arah. Berbagai atribut

yang ada pada jalur ini harus aman untuk dilewati, oleh karena itu pemilihan

tanaman dan pondasi sign menjadi pertimbangan yang sangat penting untuk

menghindari resiko tertimpa atau jatuh oleh goncangan gempa.

2.6.2. Taman Kota sebagai Taman Evakuasi

Taman kota merupakan ruang terbuka yang terutama menyediakan sarana

rekreasi di areal terbuka (outdoor) bagi masyarakat perkotaan. Dalam bidang

perencanaan kota, peruntukan desain dan fasilitas taman adalah untuk melayani

23

kelompok masyarakat yang tinggal di sekitar taman tersebut dalam skala RT, RW,

sub wilayah, kota atau propinsi (Nurisjah, 1995). Selain mengakomodir kebutuhan

rekreasi warga kota, fungsi taman kota juga dapat sebagai pelembut kesan keras

dari struktur masif fisik kota, mengurangi kebisingan, mereduksi udara yang

panas dan polusi udara. Taman kota juga dapat membentuk karakter kota dan

memberikan keindahan visual lingkugan kota agar tercipta kesatuan antar ruang.

Menurut Gold (1980) taman adalah setiap area umum atau pribadi yang

digunakan untuk nilai-nilai estetika, pendidikan, rekreasi ataupun budaya,

sedangkan taman kota (urban park) adalah taman yang melayani area sentra

bisnis, area kota yang besar (termasuk kota baru) atau area komersil. Taman

diperlukan masyarakat kota untuk keluar dari kebisingan dan kepadatan kota

tanpa harus melakukan perjalanan jauh. Taman memiliki fungsi ekologis (sumur

resapan air, pohon), ekonomis (kebun sayuran, apotek hidup, taman terapi),

edukatif (belajar alam, pengajian, kerajinan tangan, pertunjukan seni, layar tancap,

bermain, rapat warga), konservasi energi (surya, biogas), dan estetis (kebersihan

dan keindahan lingkungan).

Ada beberapa jenis taman berdasarkan penggunaanya, (1) Neighbourhood

Park, taman ini terletak di sekitar daerah pemukiman; (2) Community Park, taman

ini mempunyai sifat yang lebih akumulatif dari pada “Neighbourhood Park” dan

dapat menampung kegiatan rekreasi bagi warga dalam bentuk suatu komunitas;

(3) City Park; taman ini melayani skala kota bagi warga kota, dilengkapi oleh

nilai-nilai visual yang dapat menghilangkan kesan perkotaan.

Terkait dengan berbagai isu bencana belakangan ini, penelitian mengenai

taman kota makin dikembangkan. Salah satunya taman kota sebagai alternatif

tempat evakuasi saat bencana. Indonesia sebagai daerah rawan bencana

memerlukan berbagai bentuk upaya mitigasi, salah satunya dengan taman kota

sebagai ruang evakuasi. Taman evakuasi tidak hanya memiliki fungsi rekreasi dan

estetis, tapi juga evakuatif. Ketika bencana tiba, taman dapat seketika berubah

menjadi ruang evakuasi bencana (gempa bumi).

Taman evakuasi direncanakan sedemikian rupa dengan memperhatikan

aspek-aspek dan berbagai hal yang dibutuhkan oleh warga saat mengungsi. Hal ini

juga dapat diketahui melalui pengalaman berdasarkan kejadian-kejadian

24

sebelumnya. Penyediaan berbagai fasilitas dan utilitas yang dibutuhkan saat

evakuasi (mengungsi) menjadi hal penting yang harus disediakan. Tata letak dan

komposisi tata guna lahan pun menjadi penting untuk diperhatikan, seperti ruang

terbuka yang cukup, fasilitas dan utilitas dengan konstruksi tahan gempa, suplai

energi, air serta makanan yang cukup dan berbagai hal lainnya.

Joga dan Antar (2007) menjelaskan bahwa taman kota berbasis bencana

merupakan salah satu alternatif ruang evakuasi, selain fungsinya sebagai ruang

rekreasi. Berbagai fasilitas rekreasi yang ada di suatu taman kota dapat

diintegrasikan dengan berbagai fasilitas yang dapat memenuhi kebutuhan

evakuasi, baik bagi korban selamat ataupun yang tidak selamat, seperti taman

pemakaman dan tempat evakuasi korban bencana.

Taman kota berbasis evakuasi bencana merupakan sebuah lanskap taman

kota yang dibangun dengan mengalokasikan lebih banyak ruang terbuka baik

hijau maupun non hijau, mengakomodasi kepentingan perlindungan, evakuasi

atau pertahanan hidup atas bencana. Lebih lanjut dijelaskan bahwa membangun

taman kota berbasis evakuasi bencana merupakan penciptaan nilai jual bagi kota.

Keindahan lanskap kota tetap diperlukan untuk mempertahankan roh kota yang

bersejarah, menampilkan wajah baru untuk memberi kenangan baru sebagai

makna positif atas trauma bencana alam yang pernah terjadi. Penciptaan taman

kota berbasis evakuasi bencana akan dapat mengembalikan fungsi evakuasi bagi

warga kota dan fungsi rekreatif yang akan mengembalikan energi positif bagi

warga kota yang kerap dilanda trauma akibat bencana.

2.7. Perencanaan Lanskap Taman Kota di Daerah Rawan Gempa

Perencanaan adalah suatu alat yang sistematis dan dapat digunakan untuk

menentukan awal suatu keadaan, dan merupakan cara terbaik untuk mencapai

keadaan tersebut (Gold, 1980). Dalam perencanaan tapak terdapat penyesuaian

tapak dengan program. Persyaratan program harus dilengkapi dan dihubungkan

satu dengan lainnya, disertai imajinasi serta kepekaan terhadap replikasi analisis

tapak. Perencanaan tapak adalah pengaturan fungsi ruang, sirkulasi, keindahan

dan keunikan, dengan memanfaatkan elemen air, tanah, dan berbagai benda, serta

keadaan yang ada seperti taman, bangunan, kondisi topografi dan pemandangan.

25

Dalam perencanaan diperlukan suatu pendekatan yang dilakukan

terhadap kebutuhan khusus dari suatu kelompok sosial atau lahan. Pendekatannya

harus efektif untuk penyediaan segala bentuk pelayanan dan ruang bagi

masyarakat yang menggunakannya (Siti Nurisjah dan Pramukanto, 1995).

Merujuk pada UU Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan

Bencana dan UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, ruang-ruang

kota harus dirancang menjadi kota waspada bencana. Itu untuk mengantisipasi

dan memitigasi berbagai bencana alam (banjir, rob, gempa bumi, tsunami) dan

bencana non-alam (kebakaran, krisis air bersih, intrusi air laut, tanah ambles,

pencemaran lingkungan).

Perencanaan lanskap taman kota terutama di daerah rawan gempa perlu

direncanakan dengan seksama agar menjadi lebih baik dari sebelumnya, baik dari

segi keamanan, kesehatan, maupun keindahan. Pembangunan fisik dan jiwa kota

harus sesuai dengan semangat kekhasan lokal (genius loci). Lanskap kota rawan

bencana yang traumatis akan segera berganti dengan taman-taman, padang rumput

yang luas, struktur atau elemen taman tahan gempa. Perencanaan lanskap taman

kota akan memenuhi fungsi evakuasi dan sekaligus fungsi rekreasi bagi

masyarakat, yang dapat menjadi sarana pemulihan fisik dan jiwa anak-anak serta

warga kota lainnya yang lelah karena trauma bencana, menjadi optimis dan riang

gembira kembali.

Menurut Joga dan Antar (2007) dan hasil modifikasi serta asumsi logis

penulis, beberapa hal yang perlu dipertimbangkan dalam perencanaan taman kota

berbasis gempa adalah:

1. lokasi taman kota dengan pendekatan geologis terkait kerentanannya

terhadap goncangan gempa (rentan atau tidak rentan) dan jarak taman kota

dengan garis sesar/patahan,

2. aksesibilitas masyarakat menuju tapak yang mudah dan tidak terlalu jauh,

3. adanya jalur evakuasi yang mengarahkan masyarakat menuju tempat

evakuasi,

4. luas lahan dan daya dukung pada saat evakuasi berlangsung,

5. ketinggian tempat dari permukaan laut sehingga dapat ditentukan apakah

berpotensi tsunami atau tidak,

26

6. penempatan terintegrasi fasilitas rekreasi dan evakuasi,

7. kebutuhan air, energi dan makanan dapat tersuplai dengan baik,

8. pemilihan pohon yang tidak mudah tumbang dan pemeliharaan yang baik,

9. perencanaan helipad jika jalur transportasi lainnya terputus,

Rencana lanskap taman kota di daerah rawan gempa meliputi rencana

masing-masing zona dengan mempertimbangkan aspek daya dukung, keamanan,

aspek fungsional dan estetika untuk semua elemen lanskap yang direncanakan.

Hasil yang didapat berupa rencana penataan (block plan, site plan) dan rencana

tertulis. Perencanaan ini juga dilengkapi dengan beberapa gambar pendukung

untuk memperjelas, beberapa bagian dilengkapi dengan gambar tampak, potongan

dan sketsa perspektif.

2.8. Perencanaan Berbasis Bencana Evakuasi Bencana

2.8.1. Kriteria-Kriteria Desain Tahan Gempa

Perencanaan dan desain merupakan suatu hal yang berkesinambungan.

Perencanaan berbasis bencana membutuhkan desain yang tahan terhadap

goncangan gempa. Joga dan Antar (2007) mengemukakan bahwa budaya tanggap

bencana adalah hal penting yang harus diperhatikan dan ditingkatkan dalam usaha

mengantisipasi dan memitigasi korban bencana alam. Mengingat keberadaan

kota-kota di Indonesia yang berada di wilayah rawan bencana, maka perencanaan

berbasis evakuasi bencana merupakan sebuah keharusan, seperti yang dibangun di

Jepang, Hawaii dan Singapura. Perencanaan berbasis evakuasi bencana melalui

tahap pemulihan dan pembangunan kembali fisik dan jiwa kota yang traumatis

harus sesuai dengan semangat kekhasan lokal kota-kota yang rusak.

Kota yang terkonsep seharusnya berdasarkan pada pengalaman/kejadian

bencana yang terus terjadi. Kejadian di titik-titik rawan bencana dianalisis dan

dijadikan bahan penyusunan rencana strategis dan program kegiatan

pembangunan yang terarah dan tepat sasaran untuk rencana mitigasi bencana.

Kota dibangun kembali dengan mengalokasikan lebih banyak ruang

terbuka hijau (RTH), mengakomodasi kepentingan perlindungan, evakuasi, atau

pertahanan hidup atas bencana. Ini sama halnya dengan membangun sistem

27

peringatan dini secara alamiah untuk mengantisipasi bencana alam yang penting

bagi kota dan paling murah untuk dibangun.

Perencanaan kota waspada bencana mensyaratkan perencanaan yang

rasional, aplikatif, dan berorientasi hasil (feasible, implementable, and

achievable). Bencana tidak bisa diperkirakan dengan tepat, tetapi upaya mitigasi

bencana tetap perlu disiapkan untuk meminimalkan korban nyawa dan harta (Joga

dan Antar, 2007).

Sistem peringatan dini bencana dibangun secara menyeluruh di bidang

fisik kota (pembangunan peralatan mutakhir pendeteksi dini, bangunan anti

gempa), dan psikis kota (pendidikan dan pelatihan tanggap serta evakuasi

bencana). Hidup di kota rawan bencana harus mulai dibudayakan kepada seluruh

warga kota bahwa bencana bisa terjadi setiap saat.

Untuk itu perlu dipersiapkan bagaimana cara terbaik mengakrabi,

mewaspadai, mengevakuasi, dan bertahan hidup di daerah rawan bencana. Warga

ditumbuhkan budaya sikap hidup ramah lingkungan dan bencana alam sebagai

bagian fenomena alam kehidupan sehari-hari.

Kesadaran masyarakat, terutama di titik-titik rawan bencana, untuk

sukarela menyediakan taman terbuka multifungsi yang signifikan. Taman sebagai

ruang evakuasi bencana, tempat bermain dan belajar alam bagi anak- anak, tempat

berolahraga, paru-paru kota, daerah resapan air, serta tujuan wisata kota.

Menurut Joga dan Antar (2007), sikap hidup tanggap bencana harus mulai

disosialisasikan dalam kurikulum pelajaran wajib segala tingkatan, disertai

panduan dan pelatihan evakuasi bencana di seluruh pelosok perkampungan dan

permukiman kota. Kelak warga tahu persis kapan, apa, mengapa, ke mana, dan

bagaimana proses evakuasi harus dilakukan saat bencana tiba. Ketika terjadi

bencana, warga diperintahkan lari ke taman-taman kota. Taman kota diefektifkan

sebagai ruang evakuasi, suplai logistik dari udara, dilengkapi tangki air minum,

toilet portabel, papan petunjuk, alat komunikasi, dan bungker gudang makanan

serta obat-obatan (untuk bertahan selama 10 hari).

Taman dilengkapi pompa hidran untuk pemenuhan kebutuhan air bersih

atau cadangan untuk pemadaman kebakaran di musim kemarau. Pohon-pohon

28

terpilih (jenis tertentu) ditanam di sepanjang jalur evakuasi bencana (rute

penyelamatan) menuju taman atau bangunan penyelamatan lainnya.

Alun-alun dan lapangan bola juga merupakan tempat ideal untuk

penampungan darurat dan posko penanggulangan bencana yang aman. Bencana

yang sering kali menimbulkan korban massal membutuhkan taman makam yang

terencana baik, luas memadai, teknik penguburan canggih, dan dikelola secara

profesional mempercepat proses evakuasi dan pemakaman jenazah, menghindari

proses pembusukan dan polusi bau yang menyengat, serta mempercepat proses

pemulihan kebersihan, kesehatan, dan kesegaran kota. Prinsipnya efisien, higienis,

dan ramah lingkungan. Berikut adalah beberapa contoh fasilitas pada taman

berbasis bencana (Gambar 6).

Sumber: Doc. Nurhayati HS Arifin, (2009)

a.) Shelter dengan atap yang terbuat dari panel surya, dapat menyerap sinar matahari sebagai sumber energi b.) Shelter bisa berfungsi sebagai toilet portabel pada saat kondisi bencana c.) Kanal buatan sebagai sumber cadangan air siap pakai sekaligus atraksi air untuk rekreasi d.) Sebuah gazebo yang dapat digunakan untuk bersantai sekaligus ruang mitigasi dimana dibagian

bawahnya terdapat Bunker yang berisi cadangan makanan, selimut serta tenda untuk keperluan evakuasi.

Gambar 6. Contoh Fasilitas Taman Berbasis Bencana di Jepang

Membangun kota waspada bencana membutuhkan waktu puluhan tahun.

RTH dan pemilihan pohon yang lentur bencana, sebagai bangunan hidup (tumbuh,

kembang) membutuhkan pemeliharaan rutin yang harus direncanakan dengan

a.) b.)

c.) d.)

29

matang dan berjangka panjang. Untuk efisiensi dan optimalisasi biaya, prioritas

pemeliharaan RTH dapat dibagi menjadi RTH dengan pemeliharaan penuh (alun-

alun, taman kota, lapangan olahraga, jalur hijau jalan), pemeliharaan sedang

(taman makam, jalur hijau bantaran sungai), dan tidak dipelihara atau dibiarkan

tumbuh alami (hutan kota, hutan lindung, hutan mangrove).

Kesolidaritasan dalam kota yang ramah lingkungan dan tanggap bencana

harus dibangkitkan sejak dini tanpa menunggu datangnya bencana terlebih dahulu.

Sikap solidaritas seperti ini sering kali surut dan cepat terlupakan seiring dengan

proses waktu tenggelam dalam keseharian kehidupan "normal" (yang egosentris)

sehingga penanggulangan dan pencegahan bencana ikut pupus, namun hal itu

harus dihindari karena harus tuntas dikerjakan bersama.

2.8.2. Contoh Referensi Taman Lingkungan Berbasis Evakuasi Bencana

Menurut Joga dan Antar (2007), fenomena alam akan selalu menimbulkan

permasalahan manakala kehidupan manusia terganggu atau jiwa mereka terancam.

Penanganan bencana gempa, banjir dan bencana lainnya sejatinya berhulu pada

masalah kepemimpinan, visi, dan pemahaman pada skala prioritas. Kota harus

dirancang berbasis evakuasi bencana, berdasarkan titik-titik rawan bencana, sesuai

dengan apa yang dibutuhkan di lokasi rawan bencana.

Kota berbasis evakuasi bencana mengembangkan ruang terbuka hijau

(RTH) secara ekologis sebagai daerah tangkapan dan resapan air. Pemerintah

daerah harus memperbanyak pembangunan RTH berupa taman lingkungan di

perumahan, taman kota di pusat perkantoran dan perdagangan, lapangan rumput

halaman sekolah, hutan mangrove di tepi pantai, lapangan olahraga di sekitar

permukiman atau sekolah, dan mewajibkan seluruh rumah membuat sumur

resapan air.

Dengan konsep ekodrainase kota, air hujan dan limbah air justru dialirkan

dan diparkir ke daerah resapan seperti situ, waduk, danau, rawa, taman kota,

lapangan olahraga, hutan kota dan mangrove untuk diserap ke tanah sebelum

sisanya dialirkan ke sungai kemudian ke laut. Pemerintah memfungsikan lagi jalur

hijau bantaran kali, bantaran rel kereta api, kolong jembatan dan jalan layang,

saluran tegangan tinggi dari permukiman liar kembali sebagai RTH dengan

30

bijaksana, manusiawi, dan komprehensif. Akibat keterbatasan lahan kota, sudah

saatnya pemerintah mengalihkan masyarakat untuk (sukarela) tinggal di rumah

susun, apartemen, atau kondominium, agar kota kita memiliki RTH sebagai

daerah resapan air yang luas.

Pemerintah cukup membebaskan lahan warga seluas 500 m2

Lebih lanjut Joga dan Antar (2007) menjelaskan, pada lantai dasar taman

dibangun sumur resapan air tersusun dari koral, pasir, pecahan batu bata, ijuk, dan

batu belah, seluas 75 persen dari luas taman. Sisanya, 25 persen, berupa tandon air

untuk taman

evakuasi bencana, sumur resapan, dan menambah luasan daerah resapan air di

perkampungan. Pemerintah juga dapat merevitalisasi atau merefungsionalisasi

taman lingkungan sebagai daerah resapan air. Taman lingkungan yang diperkeras

seperti lapangan bulu tangkis, basket, pos siskamling, parkir kendaraan warga,

harus ditanami rumput dan pohon, dan dilengkapi sumur resapan agar mempunyai

daya serap air lebih besar, serta dikembangkan menjadi taman evakuasi bencana.

Menurut contoh taman berbasis evakuasi bencana yang dirancang oleh

Joga dan Antar (2007), model taman evakuasi bencana sebenarnya

dilatarbelakangi pengembangan konsep taman bale kambang yang sudah lama

dikenal masyarakat tradisional Jawa dan Bali. Konsep ini dikembangkan sesuai

kebutuhan antisipasi bencana karena memiliki kelenturan dan kemudahan

modifikasi sesuai kondisi dan bentuk lahan di setiap lokasi. Taman memiliki dua

bentuk dasar taman dan bale kambang (mengambang/melayang/menggantung).

Bale merupakan bentuk tradisional yang biasa digunakan untuk tempat

berkumpul, bersantai, atau bersosialisasi di teras rumah. Rancangan taman

memiliki nilai artistik, prinsip optimalisasi lahan, multifungsi, menciptakan

keteduhan lingkungan, ruang gerak, dan berinteraksi sosial budaya.

Pengembangan taman evakuasi bencana mensyaratkan fungsi ekologis

(sumur resapan air yang berdaya resap air tinggi, pohon penghasil oksigen),

fungsi ekonomis (kebersihan dan kesehatan warga, berkebun), fungsi edukatif

(ruang belajar alam dan kegiatan pendidikan lain seperti pengajian, kerajinan

tangan), fungsi evakuasi (ruang penyelamatan bencana banjir, kebakaran, gempa

bumi), fungsi konservasi energi (suplai energi surya, biogas), dan fungsi estetis

(kebersihan, kesehatan, dan keindahan lingkungan).

31

untuk cadangan air bersih pada musim kemarau dan kebakaran. Di atas sumur

resapan air dan tandon air dibuat taman koral yang berfungsi sebagai taman terapi

kesehatan bagi warga dan pasar dadakan, sesuai kesepakatan warga. Lantai dasar

dilengkapi fasilitas pos siskamling dan kantor RT/RW. Dengan standar kebutuhan

ruang setiap orang 1 m2, maka untuk ruang evakuasi setiap lantai dapat

menampung pengungsi 300-400 orang per lantai atau total 600-800 orang di dua

lantai, dengan syarat pengungsi tidak membawa banyak barang.

Pada lantai satu seluas 400 m2, lantai dapat digunakan sebagai ruang

evakuasi bencana dan di saat normal dapat difungsikan untuk kegiatan pengajian,

mushala, balai warga RT/RW, perkawinan, atau pentas seni. Lantai ini dilengkapi

fasilitas dapur umum dan toilet bersama. Pada lantai teratas berupa atap rumput

seluas 250 m2.

Fasilitas dapur umum dan toilet bersama dilengkapi panel sel surya untuk

menyuplai kebutuhan energi listrik taman dan dapat ditingkatkan kapasitasnya

untuk rumah tangga, sangat bermanfaat pada saat bencana terjadi ketika aliran

listrik mati total. Sebagian permukaan dinding bangunan taman dapat dipakai

untuk layar pemutaran film cerita atau film penyuluhan warga.

Penyediaan tangga ramp melingkar mengelilingi bangunan taman

dimaksudkan memudahkan proses evakuasi saat bencana, menjadi jogging track

mengelilingi taman, dan berfungsi selasar untuk menampung berbagai kegiatan

anak-anak. Sepanjang tangga ramp dan lantai atas dibatasi bak tanaman sayuran

dan apotek hidup.

Taman dilengkapi tangki air minum, pompa hidran, toilet portabel, papan

petunjuk, alat komunikasi, serta bungker sebagai gudang makanan dan obat-

obatan. Dari 500 m2, sisa lahan seluas 100 m2 ini diisi dengan penanaman pohon

besar berperakaran kuat. Bencana memang tidak bisa diperkirakan dengan tepat,

tetapi upaya mitigasi bencana tetap perlu disiapkan untuk meminimalkan korban

nyawa dan harta (Joga dan Antar, 2007). Salah satu contoh kasusnya adalah taman

evakuasi bencana berikut (Gambar 7).

32

Sumber: Joga dan Antar, (2007)

Gambar 7. Taman Berbasis Bencana di Tengah-Tengah Pemukiman

Menurut Joga dan Antar (2007), pemerintah harus memperbanyak

pembangunan taman lingkungan di permukiman padat bangunan dan padat

penduduk yang sering kali paling dirugikan saat bencana melanda. Berikut adalah

ilustrasi ruang evakuasi dan kegiatan warga (Gambar 8).

Sumber: Joga dan Antar, (2007)

Gambar 8. Gambar Ilustrasi Taman Berbasis Bencana Sumber: Joga dan Antar, (2007)