0817-0040-666 (XL), Kantor cabang mmbc semarang | MMBC Semarang | Tour & Travel Revolution Semarang
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 2.1.1 Kemampuan Berpikir Kritis 1. Pengertian...
Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 2.1.1 Kemampuan Berpikir Kritis 1. Pengertian...
8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kajian Teori
2.1.1 Kemampuan Berpikir Kritis
1. Pengertian Berpikir Kritis
Berpikir kritis merupakan salah satu tujuan penting dari pendidikan.
Keterampilan yang diharapkan dalam proses pembelajaran berlangsung adalah
keterampilan berpikir kritis. Berpikir kritis yaitu berpikir secara rasional (masuk
akal). Terdapat berbagai pengertian berpikir kritis menurut ahli.
Beyer dalam Zubaidah (2010: 2) berpendapat bahwa:
“Berpikir kritis berarti membuat penilaian-penilaian yang masuk akal.” Beyer
memandang berpikir kritis sebagai menggunakan criteria untuk menilai kualitas
sesuatu, dari kegiatan yang paling sederhana seperti kegiatan normal sehari-hari
sampai menyusun kesimpulan dari sebuah tulisan yang digunakan seseorang untuk
mengevaluasi validitas sesuatu (pernyataan-pernyataan, ide-ide, argumen-argumen,
penelitian dan lain-lain).
Menurut Matindas dalam Zubaidah (2010: 2-3) menyatakan bahwa
“Berpikir kritis adalah aktivitas mental yang dilakukan untuk mengevaluasi
kebenaran sebuah pernyataan. Umumnya evaluasi berakhir dengan putusan untuk
menerima, menyangkal, atau meragukan kebenaran pernyataan yang
bersangkutan.”
Berdasarkan pendapat para ahli di atas, penulis dapat menyimpulkan bahwa
berpikir kritis merupakan seseorang yang dapat berpikir secara logis, rasional serta
berpikir yang digunakan untuk menyelediki, mengidentifikasi, mengkaji serta
mengembangkan ke arah yang lebih sempurna baik terhadap suatu pernyataan
maupun untuk menilai kualitas tertentu, sehingga seseorang tersebut mampu
9
menilai hal tersebut dimulai dari hal yang sederhana sampai pada akhirnya mampu
menyusun kesimpulan dari suatu pernyataan atau penilaian terhadap kualitas
tertentu.
2. Tujuan Berpikir Kritis
Kemampuan dalam berpikir kritis dapat mendorong seseorang
memunculkan ide-ide atau pemikiran baru tentang suatu permasalahan. Seseorang
akan dilatih dalam mengemukakan pendapat atau ide secara rasional dan relevan.
Menurut Sapriya dalam Mardiana (2017: 10) “Tujuan berpikir kritis ialah
untuk menguji suatu pendapat atau ide, termasuk di dalamnya melakukan
pertimbangan atau pemikiran yang didasarkan pada pendapat yang diajukan.”
Pertimbangan-pertimbangan tersebut biasanya didukung oleh kriteria yang dapat
dipertanggungjawabkan.
Kemampuan berpikir kritis dapat mendorong siswa memunculkan ide-ide
atau pemikiran baru mengenai permasalahan tentang dunia. Siswa akan dilatih
bagaimana menyeleksi berbagai pendapat, sehingga dapat membedakan mana
pendapat yang relevan dan mana yang tidak relevan, mana pendapat yang benar dan
tidak benar. Dapat membantu siswa membuat kesimpulan dengan
mempertimbangkan data dan fakta yang terjadi di lapangan. Adapun aspek yang
diukur dalam kemampuan berpikir kritis yaitu domain kognitif pada jenjang
menganalisis (C4) dan mengevaluasi (C5).
Adapun menurut Wahidin dalam Ahmatika (6), ada beberapa keuntungan
yang diperoleh dari pembelajaran yang menekankan pada proses keterampilan
berpikir kritis, yaitu:
10
a. Belajar lebih ekonomis, yaitu bahwa apa yang diperoleh dan pengajarannya akan
tahan lama dalam pikiran siswa,
b. Cenderung menambah semangat belajar dan antusias baik pada guru maupun
pada siswa,
c. Diharapkan siswa dapat memiliki sikap ilmiah, dan
d. Siswa memiliki kemampuan memecahkan masalah baik pada saat proses belajar
mengajar di kelas maupun dalam menghadapi permasalahan nyata yang akan
dialaminya.
3. Ciri-ciri Berpikir Kritis
Kemampuan berpikir kritis merupakan salah satu kemampuan yang sangat
diperlukan dalam pemecahan suatu masalah. Terdapat ciri-ciri tertentu yang dapat
diamati untuk mengetahui bagaimana tingkat kemampuan berpikir kritis seseorang.
Berikut ini ciri-ciri berpikir kritis menurut Wijaya dalam Mardiana (2017:
10-11):
a. Mengenal secara rinci bagian-bagian dari keseluruhan;
b. Pandai mendeteksi permasalahan;
c. Mampu membedakan ide yang relevan dengan yang tidak relevan;
d. Mampu membedakan fakta dengan diksi atau pendapat;
e. Mampu mengidentifikasi perbedaan-perbedaan atau kesenjangan-kesenjangan
informasi;
f. Dapat membedakan argumentasi logis dan tidak logis;
g. Mampu mengembangkan kriteria atau standar penilaian data;
h. Suka mengumpulkan data untuk pembuktian faktual;
i. Dapat membedakan diantara kritik membangun dan merusak;
j. Mampu mengidentifikasi pandangan perspektif yang bersifat ganda yang
berkaitan dengan data;
k. Mampu mengetes asumsi dengan cermat;
l. Mampu mengkaji ide yang bertentangan dengan peristiwa dalam lingkungan;
m. Mampu mengidentifikasi atribut-atribut manusia, tempat dan benda, seperti
dalam sifat, bentuk, wujud, dan lain-lain;
n. Mampu mendaftar segala akibat yang mungkin terjadi atau alternatif pemecahan
terhadap masalah, ide, dan situasi;
o. Mampu membuat hubungan yang berurutan antara satu masalah dengan masalah
lainnya;
p. Mampu menarik kesimpulan generalisasi dari data yang telah tersedia dengan
data yang diperoleh dari lapangan;
q. Mampu membuat prediksi dari informasi yang tersedia;
r. Dapat membedakan konklusi yang salah dan tepat terhadap informasi yang
diterimanya;
s. Mampu menarik kesimpulan dari data yang telah ada dan terseleksi;
11
t. Mampu menentukan hubungan sebab akibat;
u. Terampil menggunakan sumber-sumber pengetahuan yang dapat dipercaya;
v. Mampu mengklasifikasikan informasi dan ide.
4. Indikator Berpikir Kritis
Indikator merupakan suatu ukuran dari suatu kondisi yang dapat digunakan
untuk mengukur perubahan yang terjadi pada suatu kejadian atau suatu kegiatan.
Indikator berpikir kritis dapat dikatakan suatu ukuran yang digunakan untuk
mengukur kemampuan berpikir kritis seseorang.
Menurut Ennis dalam Zubaidah (2010: 6) mengelompokkan indikator
aktivitas berpikir kritis ke dalam lima besar aktivitas berikut, yang dalam
prakteknya dapat bersatu padu membentuk sebuah kegiatan atau terpisah-pisah
hanya beberapa indikator saja.
a. Memberikan penjelasan sederhana, yang berisi: memfokuskan pertanyaan,
menganalisis pertanyaan dan bertanya, serta menjawab pertanyaan tentang suatu
penjelasan atau pernyataan.
b. Membangun keterampilan dasar, yang terdiri atas mempertimbangkan apakah
sumber dapat dipercaya atau tidak dan mengamati serta mempertimbangkan
suatu laporan hasil observasi.
c. Menyimpulkan, yang terdiri atas kegiatan mendeduksi atau mempertimbangkan
hasil deduksi, menginduksi atau mempertimbangkan hasil induksi, dan membuat
serta menentukan nilai pertimbangan.
d. Memberikan penjelasan lanjut, yang terdiri atas mengidentifikasi istilah-istilah
dan definisi pertimbangan dan juga dimensi, serta mengidentifikasi asumsi.
e. Mengatur strategi dan taknik, yang terdiri atas menentukan tindakan dan
berinteraksi dengan orang lain.
Adapun menurut Angelo (1995) mengidentifikasi indikator atau perilaku
yang sistematis dalam berpikir kritis, yaitu sebagai berikut:
a. Keterampilan menganalisis
Keterampilan menganalisis merupakan suatu keterampilan menguraikan sebuah
struktur ke dalam komponen-komponen agar mengetahui pengorganisasian
struktur tersebut. Tujuan pokoknya adalah memahami sebuah konsep global
dengan cara menguraikan atau merinci globalitas tersebut ke dalam bagian-
bagian yang lebih kecil dan terperinci. Pertanyaan analisis, menghendaki agar
12
pembaca mengidentifikasi langkah-langkah logis yang digunakan dalam proses
berpikir hingga sampai pada sudut kesimpulan.
b. Keterampilan mensintesis
Keterampilan mensintesis merupakan keterampilan yang berlawanan dengan
keterampilan menganalisis. Keterampilan mensintesis adalah keterampilan
menggabungkan bagian-bagian menjadi sebuah bentukan atau susunan yang
baru.
c. Keterampilan mengenal dan memecahkan masalah
Keterampilan ini merupakan keterampilan aplikasi konsep kepada beberapa
pengertian baru. Keterampilan ini menuntut pembaca untuk memahami bacaan
dengan kritis sehingga setelah kegiatan membaca selesai, siswa mampu
menangkap beberapa pikiran pokok bacaan, sehingga mampu mempola sebuah
konsep. Tujuannya yaitu agar pembaca mampu memahami dan menerapkan
konsep-konsep ke dalam permasalahan atau ruang lingkup baru.
d. Keterampilan menyimpulkan
Keterampilan menyimpulkan ialah kegiatan akal pikiran manusia berdasarkan
pengertian atau pengetahuan (kebenaran) yang dimilikinya, dapat beranjak
mencapai pengertian atau pengetahuan (kebenaran) baru yang lain.
e. Keterampilan mengevaluasi atau menilai
Keterampilan ini menuntut pemikiran yang matang dalam menentukan nilai
sesuatu dengan berbagai kriteria yang ada. Keterampilan menilai menghendaki
pembaca agar memberikan penilaian tentang nilai yang diukur dengan
menggunakan standar tertentu.
2.1.2 Model Pembelajaran Problem Solving
1. Pengertian Model Pembelajaran Problem Solving
Model pembelajaran merupakan bentuk pembelajaran yang tergambar dan
tersusun dari awal proses pembelajaran sampai akhir pembelajaran yang disajikan
khas oleh guru. Terdapat banyak model-model pembelajaran. Salah satunya yaitu
model pembelajaran problem solving.
Menurut Murray, Hanlie, et al. dalam Huda (2014: 273) berpendapat bahwa
“Pembelajaran Penyelesaian-Masalah (Problem-Solving Learning/PSL) merupakan
salah satu dasar teoretis dari berbagai strategi pembelajaran yang menjadikan
masalah (problem) sebagai isu utamanya.” Menurut Pepkin dalam Shoimin (2014:
135) berpendapat bahwa “Problem solving adalah suatu model pembelajaran yang
melakukan pemusatan pada pengajaran dan keterampilan pemecahan masalah yang
13
diikuti dengan penguatan keterampilan.” Adapun menurut Purwanto dalam
Chotimah & Fathurrohman (2018: 280-281) berpendapat bahwa “Problem solving
adalah suatu proses dengan menggunakan strategi, cara, atau teknik tertentu untuk
menghadapi situasi baru, agar keadaan tersebut dapat dilalui sesuai keinginan yang
ditetapkan.”
Berdasarkan pendapat para ahli di atas, penulis dapat menyimpulkan bahwa
model pembelajaran problem solving merupakan suatu model pembelajaran yang
dapat mengaktifkan siswa dan juga dapat melatih siswa untuk mampu menghadapi
berbagai permasalahan dengan menggunakan berbagai cara, teknik atau strategi
tertentu serta mampu memecahkan permasalahan atau mencari solusi dari
permasalahan itu.
2. Manfaat Penggunaan Model Problem Solving
Penggunaan model pembelajaran pada saat proses belajar mengajar
berlangsung tentunya terdapat manfaat yang didapatkan. Salah satunya manfaat dari
penggunaan model pembelajaran problem solving.
Menurut Chotimah & Fathurrohman (2018: 281) manfaat dari penggunaan
model problem solving pada proses belajar mengajar untuk mengembangkan
pembelajaran yang lebih menarik. Model problem solving memberikan beberapa
manfaat, antara lain sebagai berikut:
a. Mengembangkan sikap keterampilan peserta didik dalam memecahkan
permasalahan, serta dalam mengambil keputusan secara objektif dan mandiri.
b. Mengembangkan kemampuan berpikir para peserta didik, anggapan yang
menyatakan bahwa kemampuan berpikir akan lahir bila pengetahuan makin
bertambah.
c. Melalui model Problem-Solving kemampuan berpikir peserta didik diproses
dalam situasi atau keadaan yang penuh dengan penghayatan, diminati peserta
didik, serta dalam berbagai macam ragam alternatif.
14
d. Membina pengembangan sikap perasaan (ingin tahu lebih jauh) dan cara berpikir
objektif-mandiri dan krisis analisis, baik secara individual maupun kelompok.
Adapun menurut Tayeb (2017: 52-53) manfaat penggunaan model problem
solving yaitu:
a. Dapat menguasai strategi dalam memahami suatu permasalahan, serta semangat
kreatif dalam memecahkan masalah tersebut.
b. Strategi pembentukan konsep, dan konsep-konsep spesifik terhadap suatu
permasalahan yang harus dipecahkan.
c. Kemampuan berpikir secara objektif, mandiri serta logis.
Berdasarkan pendapat para ahli di atas, penulis dapat menyimpulkan bahwa
manfaat dari model pembelajaran problem solving adalah dapat melatih siswa untuk
berpikir secara kreatif, mandiri serta logis dalam memecahkan suatu masalah, dapat
mengembangkan kemampuan berpikir kritis serta dapat melatih siswa untuk dapat
mengambil suatu keputusan secara mandiri dan objektif melalui berbagai ragam
alternatif.
3. Tujuan Model Problem Solving
Aktifitas pembelajaran tidak hanya difokuskan pada upaya mendapatkan
pengetahuan sebanyak-banyaknya melainkan juga bagaimana menggunakan
segenap pengetahuan yang didapat tersebut. Siswa yang dapat mengerjakan atau
dapat memecahkan masalah yang diberikan oleh guru, maka siswa dianggap telah
menguasai pelajaran dengan baik. Menurut Chotimah & Fathurrohman (2018: 282)
tujuan dari pembelajaran Problem Solving adalah sebagai berikut:
a. Peserta didik menjadi terampil menyeleksi informasi yang relevan kemudian
menganalisisnya dan akhirnya meneliti kembali hasilnya.
b. Kepuasan intelektual akan timbul dari dalam sebagai hasil intrinsik bagi peserta
didik.
c. Potensi intelektual peserta didik meningkat.
d. Peserta didik belajar bagaimana melakukan penemuan dengan melalui proses
melakukan penemuan.
15
Adapun menurut Suharsono dalam Made Wena (2009: 53) tujuan model
pembelajaran problem solving yaitu sebagai berikut:
a. Menghasilkan siswa yang memiliki pengetahuan dan keterampilan dalam
memecahkan masalah yang akan dihadapi kelak di masyarakat.
b. Menggunakan pengetahuan yang didapat untuk memecahkan permasalahan yang
berhubungan dengan materi.
c. Siswa menjadi terampil menyeleksi informasi yang relevan kemudian
menganalisisnya dan akhirnya meneliti kembali hasilnya.
d. Potensi intelektual meningkat.
e. Siswa belajar bagaimana menemukan penemuan dengan melalui proses
melakukan penemuan.
Berdasarkan pendapat para ahli di atas, penulis dapat menyimpulkan bahwa
tujuan dari model pembelajaran problem solving yaitu siswa akan menjadi terampil
atau terbiasa dalam menyeleksi informasi yang kemudian menganalisisnya
sehingga akhirnya dapat mengambil keputusan atau kesimpulan dari informasi yang
telah didapatkan tersebut.
4. Langkah-langkah Model Problem Solving
Model problem solving bukan hanya sekedar model pembelajaran, tetapi
juga merupakan suatu model yang mengharuskan siswa berperan aktif dan mampu
berpikir, sebab dalam problem solving siswa diharuskan mampu menganalisis
materi mulai dengan mencari data sampai dengan menarik kesimpulan. Menurut
Chotimah & Fathurrohman (2018: 287-288) model pembelajaran Problem-Solving
terdiri dari 6 tahap sebagai berikut:
a. Merumuskan masalah
Kemampuan yang diperlukan adalah mengetahui dan merumuskan masalah
secara jelas.
b. Menelaah masalah
Kemampuan yang diperlukan adalah menggunakan pengetahuan untuk
memerinci dan menganalisis masalah dari berbagai sudut.
c. Merumuskan hipotesis
Kemampuan yang diperlukan adalah berimajinasi dan menghayati ruang
lingkup, sebab-akibat, dan alternatif penyelesaian.
16
d. Mengumpulkan dan mengelompokkan data sebagai bahan pembuktian hipotesis.
Kemampuan yang diperlukan adalah kecakapan mencari dan menyusun data
serta menyajikan data dalam bentuk diagram, gambar, atau tabel.
e. Pembuktian hipotesis
Kemampuan yang diperlukan adalah kecakapan menelaah dan membahas data,
kecakapan menghubung-hubungkan dan menghitung, serta keterampilan
mengambil keputusan dan kesimpulan.
f. Menentukan pilihan penyelesaian
Kemampuan yang diperlukan adalah kecakapan membuat alternatif penyelesaian
serta kecakapan menilai pilihan dengan memperhitungkan akibat yang akan
terjadi pada setiap pilihan.
5. Kelebihan Model Problem Solving
Setiap model pembelajaran pasti mempunyai kelebihan masing-masing.
Salah satunya yaitu model pembelajaran problem solving yang tentunya
mempunyai kelebihan.
Menurut Shoimin (2014: 137-138) kelebihan dari model pembelajaran
problem solving adalah sebagai berikut:
a. Dapat membuat peserta didik lebih menghayati kehidupan sehari-hari.
b. Dapat melatih dan membiasakan para peserta didik untuk menghadapi dan
memecahkan masalah secara terampil.
c. Dapat mengembangkan kemampuan berpikir peserta didik secara kreatif.
d. Peserta didik sudah mulai dilatih untuk memecahkan masalahnya.
e. Melatih siswa untuk mendesain suatu penemuan.
f. Berpikir dan bertindak kreatif.
g. Memecahkan masalah yang dihadapi secara realistis.
h. Mengidentifikasi dan melakukan penyelidikan.
i. Menafsirkan dan mengevaluasi hasil pengamatan.
j. Merangsang perkembangan kemajuan berpikir siswa untuk menyelesaikan
masalah yang dihadapi dengan tepat.
k. Dapat membuat pendidikan sekolah lebih relevan dengan kehidupan, khususnya
dunia kerja.
2.1.3 Metode Debat
1. Pengertian Metode Debat
Menurut Shoimin (2014: 25) berpendapat bahwa “Metode debat merupakan
kegiatan adu pendapat atau argumentasi antara dua pihak atau lebih, baik secara
17
perorangan maupun kelompok, dalam mendiskusikan dan memutuskan masalah
dan perbedaan.”
Adapun menurut Mel dalam Mardiana (2017: 12-13) mengungkapkan
bahwa “Metode debat adalah metode berharga untuk meningkatkan pemikiran dan
perenungan terutama jika anak didik diharapkan mampu mengemukakan pendapat
yang pada dasarnya bertentangan dengan diri mereka sendiri.”
Berdasarkan pendapat para ahli di atas, penulis dapat menyimpulkan bahwa
metode debat merupakan seuah konteks antara dua orang atau lebih (kelompok)
dimana mereka melakukan adu pendapat atau adu argumen terhadap suatu masalah
yang harus dipecahkan atau diselesaikan, mendiskusikan dan kemudian dapat
memutuskan atau mengambil kesimpulan dari permasalahan tersebut.
2. Kelebihan Metode Debat
Menurut Shoimin (2014: 26) metode debat mempunyai kelebihan.
Kelebihan dari metode debat adalah sebagai berikut:
a. Memacu siswa aktif dalam pembelajaran.
b. Meningkatkan kemampuan siswa dalam berkomunikasi secara baik.
c. Melatih siswa untuk mengungkapkan pendapat disertai alasannya.
d. Mengajarkan siswa cara menghargai pendapat orang lain.
e. Tidak membutuhkan banyak media
3. Teknik dan Taktik Debat
Teknik adalah cara, pengetahuan atau kepandaian melalui segala sesuatu
yang berkenaan dengan debat sehingga bermanfaat bagi penerapan debat.
Sedangkan taktik debat adalah siasat, kecerdasan, tindakan atau daya upaya untuk
mencapai maksud dan tujuan debat dengan suatu sistem atau cara tertentu.
18
Menurut Mardiani (2017: 19-20) berpendapat bahwa pada dasarnya teknik
debat terdiri dari dua macam, sesuai dengan pengelompokannya, ada yang berposisi
sebagai penguat usul dan ada yang menentangnya.
a. Teknik Mempertahankan Usul
Pada dasarnya teknik mempertahankan usul dapat ditempuh melalui.
1) Teknik Penegasan
Dalam taknik penegasan satu item yang terkandung di dalamnya adalah taktik
pengulangan, taktik mempengaruhi, taktik kebersamaan, taktik kompromi, taktik
diiyakan dan taktik kesepakatan.
2) Taktik Bertahan
Dalam taktik bertahan mencakup taktik mengelak, taktik menunda, taktik
membinasakan, taktik menggambarkan, taktik menguraikan dan taktik membiarkan.
b. Teknik Mempertentangkan Usul
Teknik ini dapat ditempuh melalui:
1) Taktik Menyerang
Meliputi taktik bertanya balik, taktik provokasi, taktik antisipasi, taktik
mengagetkan, taktik mencakup, taktik melebih-lebihkan dan taktik memotong.
2) Taktik Menolak
Meliputi taktik memungkiri dan taktik kontradiksi.
2.2 Teori Belajar yang Mendukung Model Pembelajaran Problem Solving
Teori-teori yang mendukung pembelajaran dengan menggunakan model
pembelajaran Problem Solving, yaitu sebagai berikut:
2.2.1 Teori Konstruktivisme
Menurut Faryadi (2017: 11) berpendapat bahwa “Konstruktivisme adalah
paradigma pembelajaran yang menggambarkan proses pembentukan pengetahuan.”
Menurut Huang dalam Faryadi (2017: 11) menguraikan metode belajar
konstruktivis sebagai berikut:
“Pembelajaran konstruktivis adalah mengkonstruksi pengetahuan, bukan
menerimanya. Pembelajaran konstruktivis adalah memahami dan menerapkan,
bukan mengingat. Pembelajaran konstruktivis adalah berpikir dan menganalisis,
bukan menghimpun dan menghafal. Pembelajaran konstruktivis adalah bersikap
aktif, bukan pasif.”
19
Di ruang kelas konstruktivis, para peserta didik memainkan peranan yang
sangat aktif dalam proses belajar. Mereka ditempatkan sebagai pusat belajar. Dalam
pembelajaran konstruktivis disebutkan bahwa peserta didik membuat pemahaman
mereka sendiri tentang berbagai hal berdasarkan pengetahuan mereka yang sudah
ada.
Diantara filsuf konstruktivisme yang sangat terkenal dan vokal adalah
Jerome Bruner dan Vygotsky. Mereka memiliki satu tujuan yang sama tentang
konstruksi pengetahuan, yaitu pembelajaran merupakan pencarian makna.
Sebagaimana pembelajaran adalah pengembangan individu, tujuan belajar adalah
bagi pembelajar individu untuk mengkonstruksi makna sendiri melalui pengamatan
dan pemahaman tentang kejadian-kejadian di sekitarnya sendiri.
Menurut teori konstruktivisme ini, satu prinsip yang paling penting dalam
psikologi pendidikan adalah bahwa guru tidak hanya sekedar memberi pengetahuan
pada siswa. Siswa harus membangun sendiri pengetahuan di dalam benaknya. Guru
dapat memberikan kemudahan untuk proses ini, dengan memberi kesempatan siswa
untuk menemukan atau menerapkan ide-ide mereka sendiri dan mengajar, dalam
mengajar siswa menjadi sadar menggunakan strategi mereka sendiri dalam belajar.
Hal ini sejalan dengan model pembelajaran problem solving berbantukan
metode debat yaitu guru yang menuntut siswa untuk berperan aktif dalam proses
pembelajaran. Guru hanya menjadi fasilitator dan siswa dituntut untuk bisa
menemukan sendiri pengetahuan barunya yang diperoleh melalui interaksi dengan
lingkungan untuk menggabungkan dengan pengetahuan sebelumnya yang ia miliki
serta siswa juga terlibat dalam sesi tanya jawab untuk memahami bahan ajar dengan
baik. Selain itu mereka memahami lebih baik saat mereka terlibat dalam diskusi
20
kelompok. Karenanya, mereka harus diberi kesempatan untuk membuat keputusan
tentang jenis-jenis investigasi yang mereka ingin lakukan untuk mencapai tujuan
mereka agar dapat memecahkan masalah yang ia hadapi mulai dari menganalisis,
mengidentifikasi serta dapat membuat keputusan atau kesimpulan mengenai
penyelesaian masalah tersebut.
2.2.2 Teori Belajar Jerome Bruner
Jerome Bruner filsuf konstruktivis menekankan bahwa dalam pembelajaran
konstruktivis, peran pembelajar sangatlah jelas. Menurut Ishii & Drew dalam
Faryadi (2017: 14) “Prinsip utama pembelajaran konstruktivis adalah orang-orang
mengonstruksi pemahaman mereka sendiri mengenai dunia, dan pada gilirannya,
pengetahuan mereka sendiri.” dalam lingkungan konstruktivis, pembelajar terlibat
secara kritis dan memecahkan masalah mereka secara kolektif.
Menurut Bruner dalam Faryadi (2017: 14) mengatakan bahwa: “Pembelajar
efektif bersikap aktif, konstruktif, berorientasi-tujuan, investigatif, dan bijaksana.
Dengan demikian, pelajaran adalah terpusat pada peserta didik dan mereka
mengonstruksi pengetahuan melalui investigasi-investigasi mereka sendiri.”
Pembelajaran dalam lingkungan konstruktivis adalah berbasis penemuan dan
bermakna. Menurut Bruner, pengetahuan bukanlah entitas yang dapat berdiri
sendiri, bahwa pengetahuan tidak langsung menular dari orang ke orang, tapi lebih
pada ditemukan secara individual.
Berdasarkan teori tersebut mengatakan bahwa siswa harus terlibat secara
kritis dan memecahkan masalah mereka secara kolektif serta siswa juga dapat
mengonstruksi pengetahuannya melalui investigasi-investigasi mereka sendiri. di
dalam model pembelajaran problem solving siswa dituntut untuk berperan aktif dan
21
menemukan pengetahuannya sendiri serta dapat menemukan penyelesaian suatu
masalah yang harus mereka selesaikan atau pecahkan. Maka teori belajar
konstruktivisme menurut Jerome Bruner mendukung model pembelajaran problem
solving.
2.2.3 Teori Belajar Sosial Vygotsky
Vygotsky, figur paradigma konstruktivis terkemuka lainnya, menegaskan
bahwa interaksi sosial memiliki posisi paling mendasar dalam perkembangan
kognisi. Menurut Vygotsky dalam Faryadi (2017: 16), ia percaya bahwa:
“Setiap peristiwa dalam perkembangan sosial anak muncul dua kali; pertama,
muncul pada tahap sosial (inter-psikologis). Pada tahap ini, anak-anak berkembang
sebagai akibat dari interaksi sosial. Kedua, muncul pada tahap individu (intra-
psikologis). Dalam tahap ini, anak memerlukan perhatian individualistis dan
dukungan untuk perkembangannya. Intervensi semacam ini, juga disebut sebagai
perancah (Scaffolding), merupakan konsep penting dalam membantu pembelajar
memperbaiki pemahamannya mengenai persoalan yang rumit.”
Sebuah studi oleh Pare & Lysake dalam Faryadi (2017: 16) mendalilkan
bahwa:
“Perancah sebenarnya memajukan pembelajaran sosial dan mandiri dan
mempertinggi pemenuhan peserta didik. Perancah, yang membantu peserta didik
untuk menyadari bahwa ada kemungkinan lain dalam meningkatkan pemahaman,
merupakan “pinjaman pengetahuan” dari peserta didik lain untuk saling membantu
menyelesaikan tugas pelajaran atau memecahkan masalah. Arah perkembangan
berpikir yang benar bukanlah dari individu ke sosial, tapi dari sosial ke individu.”
Vygotsky mendalilkan bahwa untuk memperoleh pengetahuan, peserta didik
harus menjadi orang yang bertanggung jawab. Mereka harus berusaha keras untuk
mengerjakan tugas yang diberikan dengan baik. Mereka harus tetap termotivasi dan
memahami peran dan aturan pelajaran. Mereka hendaknya menjadi pembelajar
berorientasi-tujuan yang berinteraksi dengan lingkungannya.
22
Menurut konstruktivis, para peserta didik didorong untuk belajar bersama-
sama dan berpartisipasi di dalam kelas. Mereka tidak akan menikmati pembelajaran
jika proses itu berlangsung terpisah dari orang lain. Peserta didik meningkatkan
pemikiran kritis, keterampilan, dan intelektual mereka dengan belajar secara
kolektif.
Dalam lingkungan konstruktivis, para peserta didik belajar dengan
menyatukan penggalan-penggalan informasi dengan apa saja yang mereka sudah
pelajari. Mereka ditempatkan sebagai pusat pembelajaran dan bertanggung jawab
atas pembelajaran mereka sendiri. peserta didik terlibat secara aktif. Dalam rangka
memudahkan proses belajar, guru mengajukan masalah untuk diselesaikan.
Selanjutnya, sesi bertukar pikiran dimulai di ruang kelas, yang mencetuskan
pembelajaran berbasis pertanyaan dan interaksi sosial.
Penelitian membuktian bahwa ketika mereka menghabiskan lebih banyak
waktu terlibat dalam proses bertanya dan menyelidiki, mereka benar-benar belajar
lebih banyak. Mereka harus berpikir kritis dan rasional. Mereka memperoleh lebih
banyak pengetahuan saat mereka bertukar pikiran. Dengan demikian, teori belajar
sosial konstruktivis memiliki dampak positif pada pengajaran dan pembelajaran di
kelas.
Berdasarkan teori sosial di atas siswa didorong untuk belajar bersama-sama
dan berpartisipasi di dalam kelas, karena siswa untuk dapat meningkatkan
pemikiran kritis, keterampilan, dan intelektual mereka dengan belajar secara
kolektif. Kemudian guru mengajukan masalah untuk dapat diselesaikan. Karena hal
itu mereka harus berpikir kritis dan rasional. Mereka memperoleh lebih banyak
pengetahuan saat mereka bertukar pikiran. Hal tersebut sejalan dengan penggunaan
23
model pembelajaran problem solving berbantukan metode debat. Dengan
berbantukan metode debat siswa belajar memecahkan suatu masalah dengan cara
diskusi kelompok, dimana mereka dapat bertukar pikiran untuk dapat memperoleh
banyak pengetahuan.
2.3 Kajian Empirik Penelitian Sebelumnya
Adapun kajian data empirik penelitian sebelumnya yang relevan dengan judul
penelitian ini, yaitu pada tabel 2.1:
Tabel 2.1
Kajian Empirik Penelitian Sebelumnya
No Nama Tahun Judul Hasil
1 Ana Apriani
(Institut
Agama
Islam
Negeri
Mataram)
2017 Pengaruh Metode
Problem Solving
terhadap
Keterampilan
Berpikir Kritis
Siswa pada Mata
Pelajaran Ekonomi
di Kelas X SMAN
1 Pringgarata
Tahun Pelajaran
2016/2017
Pengaruh metode problem solving terhadap
keterampilan berpikir kritis pada mata
pelajaran IPS Ekonomi kelas X SMAN 1
Pringgrata tentang hal ini, terbukti setelah
analisis dilakukan dengan menggunakan
SPSS 16.0 dengan hasil perhitungan
diperoleh nilai akhir yaitu
Y=11,996+1,774. Hasil penelitian Regresi
Linear Sederhana diperoleh persamaan Y =
11,996 + 1,773X tersebut menunjukkan
bahwa setiap kenaikan 1 unit X akan
mengakibatkan 11,996 kenaikan untuk Y.
Hal ini menunjukkan bahwa terdapat
pengaruh metode penelitian problem
solving terhadap keterampilan berpikir
kritis siswa pada mata pelajaran IPS
Ekonomi di kelas X SMAN 1 Pringgrata
tahun pelajaran 2016/2017.
2 Silvia Sri
Astuti
(Universitas
Islam
Negeri
Raden Intan
Lampung)
2017 Pengaruh
Penerapan Model
Pembelajaran
Problem Solving
Berbantukan Media
Permainan Square
dalam
Memberdayakan
Kemampuan
Berpikir Kritis
Siswa dan Motivasi
Berdasarkan hasil penelitian didapatkan,
rata-rata nilai post-test keterampilan
berpikir kritis kelas eksperimen sebesar
85,03 sedangkan pada kelas kontrol
sebesar 76,66. Rata-rata nilai motivasi
belajar kelas eksperimen sebesar 82,72.
Pada kelas kontrol rata-rata nilai motivasi
belajar sebesar 77,84.
Berdasarkan analisis uji hipotesis pengaruh
penerapan model pembelajaran problem
solving berbantukan media permainan
24
Belajar Peserta
Didik SMPN 28
Bandar Lampung
pada Materi
Ekosistem
square dalam memberdayakan
kemampuan berpikir kritis hitung = 3,77
> tabel(0,05) = 1,997 dengan db 66, maka
dapat disimpulkan bahwa tedapat pengaruh
penerapan model pembelajaran problem
solving berbantukan media square dalam
memberdayakan kemampuan berpikir
kritis peserta didik kelas VII di SMP
Negeri 28 Bandar Lampung pada materi
ekosistem.
3 Metta
Ariyanto,
Firosalia
Kristin, dan
Indri
Anugraheni
(Universitas
Kristen
Satya
Wacana)
2018 Penerapan Model
Pembelajaran
Problem Solving
untuk
Meningkatkan
Kemampuan
Berpikir Kritis dan
Hasil Belajar Siswa
Berdasarkan hasil penelitian bahwa
penerapan model pembelajaran problem
solving dalam pembelajaran IPA dapat
meningkatkan kemampuan berpikir kritis
siswa. Kemampuan berpikir kritis siswa
berdasarkan hasil tes pada siklus I dalam
kategori sedang dengan persentase sebesar
71,12%. Pada siklus II kemampuan
berpikir kritis siswa meningkat menjadi
80,5% dan termasuk dalam kategori tinggi.
Kemampuan berpikir kritis siswa
berdasarkan hasil observasi pada pra siklus
dalam kategori rendah dengan persentase
67,37% dan meningkat lagi menjadi
kategori tinggi dengan persentase sebesar
79,07% pada siklus II.
4 Uus
Toharudin
(Pasundan
University,
Departemen
t of Biology
Education,
Tamansari
Road,
Bandung,
Indonesia)
2015 Critical Thinking
and Problem
Solving Skills: How
these Skills are
needed in
Educational
Psychology?
Hasil penelitian menunjukkan bahwa
kemampuan berpikir siswa termasuk dalam
kategori cukup dengan skor rata-rata 3:06.
keterampilan berpikir kritis berdasarkan
indikator menunjukkan bahwa indikator 3
(I-3) memberikan kesimpulan yang baik
adalah skor tertinggi dan indikator 2 (I-2)
untuk membangun keterampilan dasar
adalah skor terendah. Kemampuan
pemecahan masalah siswa termasuk dalam
kategori baik dengan skor rata-rata 2,99.
berdasarkan hasil analisis data dapat
disimpulkan bahwa kemampuan berpikir
kritis dan kemampuan pemecahan masalah
siswa terintegrasi atau membaur dalam
pembelajaran untuk dapat mengatasi
masalah di dalam pendidikan. Dengan
seringnya siswa melakukan pemecahan
masalah dalam proses pembelajaran maka
semakin meningkat kemampuan dalam
berpikir kritisnya.
25
5 Tia
Ristiasari,
Bambang
Priyono, Sri
Sukaesih
(Universitas
Negeri
Semarang)
2012 Model
Pembelajaran
Problem Solving
dengan Mind
Mapping Terhadap
Kemampuan
Berpikir Kritis
Siswa
Hasil penelitian diperoleh peningkatan tes
kemampuan berpikir kritis siswa kelas
eksperimen sebesar 0,40 (sedang)
sedangkan untuk kelas kontrol sebesar 0,23
(rendah). Hasil uji t-test menunjukkan
bahwa kemampuan berpikir kritis kelas
eksperimen berbeda signifikan dengan
kelas kontrol. Kesimpulan dari penelitian
ini bahwa penerapan model pembelajaran
problem solving dengan mind mapping
berpengaruh terhadap kemampuan berpikir
kritis di SMP Negeri 6 Temanggung.
Penelitian terdahulu secara umum dilakukan untuk meningkatkan
kemampuan berpikir kritis pada siswa. Berdasarkan hasil penelitian tersebut,
terdapat persamaan dan perbedaan dengan penelitian yang akan dilakukan.
Persamaan penelitian terdahulu dengan penelitian ini adalah terletak pada variabel
Y, yaitu sama-sama membahas mengenai kemampuan berpikir kritis siswa.
Sedangkan perbedaanya terletak pada objek dan lokasi yang akan diteliti.
2.4 Kerangka Pemikiran
Berpikir kritis merupakan kemampuan berpikir secara logis, rasional serta
mampu untuk menyelidiki, mengidentifikasi, mengkaji serta mengembangkan suatu
konsep ke arah yang lebih sempurna baik terhadap suatu pernyataan maupun untuk
menilai kualitas tertentu, sehingga seseorang mampu menilai hal tersebut dimulai
dari hal yang sederhana sampai pada akhirnya mampu menyusun kesimpulan dari
sutau pernyataan atau penilaian terhadap kualitas tertentu.
Kemampuan berpikir kritis dapat dipengaruhi oleh banyak faktor, yang
salah satunya yaitu dalam pemilihan model pembelajaran yang tepat dan melihat
keuntungan dari penggunaan model pembelajaran tersebut.
26
Penggunaan model pembelajaran yang tepat akan memicu siswa untuk dapat
berpikir kritis juga dapat memicu siswa untuk lebih aktif serta mandiri karena
pemilihan model pembelajaran yang digunakan maupun ketepatan pemilihan teknik
dan metode pengajaran menjadi salah satu faktor yang dapat mempengaruhi
kemampuan berpikir kritis siswa.
Salah satu model pembelajaran yang dapat digunakan untuk membuat
siswa lebih aktif dalam proses pembelajaran, diantaranya yaitu model pembelajaran
problem solving berbantukan metode debat. Model pembelajaran problem solving
merupakan model pembelajaran yang memusatkan pada pemecahan masalah yang
harus diselesaikan. Siswa harus mampu memecahkan suatu permasalahan yang
diberikan dengan mencari informasi, mampu menganalisis serta mengidentifikasi
masalah. Penggunaan model problem solving juga dapat menstimulasi siswa dalam
berpikir tinggi atau berpikir kritis, yang dimulai dari menganalisis sampai dapat
memutuskan kesimpulan yang diambil.
Dalam proses pembelajarannya seorang guru akan memberikan suatu
permasalahan yang harus diselesaikan atau dipecahkan oleh siswa secara
berkelompok atau berdiskusi, sehingga siswa dituntut untuk lebih aktif serta berani
dalam mengemukakan pendapat atau argumennya mengenai masalah yang telah
disajikan pada saat diskusi tersebut. Semakin sering siswa aktif dalam
mengemukakan pendapat atau argumen di depan teman-temannya, maka siswa
semakin terbiasa dan akan terlatih dalam berpikir kritis untuk dapat mencari
informasi, menganalisis masalah, mengidentifikasi masalah dan kemudian dapat
menyelesaikan masalah yang dihadapinya pada saat proses pembelajaran
berlangsung.
27
Di dalam model pembelajaran problem solving siswa dituntut untuk
berperan aktif dan menemukan pengetahuannya sendiri serta dapat menemukan
penyelesaian suatu masalah yang harus mereka selesaikan atau pecahkan sehingga
penggunaan model problem solving berbantukan metode debat dalam penulisan ini
diharapkan mampu untuk dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa.
Berdasarkan pemaparan di atas, maka kerangka pemikiran dalam penelitian
ini, yaitu pada gambar 2.1:
Gambar 2.1
Kerangka Pemikiran
2.5 Hipotesis
Menurut Ruseffendi (2005: 23) “Hipotesis adalah penjelasan atau jawaban
tentatif (sementara) tentang tingkah laku, fenomena (gejala), atau kejadian yang
akan terjadi; bisa juga mengenai kejadian yang sedang berjalan.” Adapun hipotesis
dari penelitian ini yaitu sebagai berikut:
Hɑ: Terdapat perbedaan kemampuan berpikir kritis siswa dengan menggunakan
model problem solving berbantukan metode debat pada kelas eksperimen
sebelum dan sesudah perlakuan.
Ho: Tidak terdapat perbedaan kemampuan berpikir kritis siswa dengan
menggunakan model problem solving berbantukan metode debat pada kelas
eksperimen sebelum dan sesudah perlakuan.
Model Problem Solving
Berbantukan Metode Debat
Kemampuan Berpikir Kritis Siswa
28
Hɑ: Terdapat perbedaan kemampuan berpikir kritis siswa dengan menggunakan
model pembelajaran konvensional pada kelas kontrol sebelum dan sesudah
pembelajaran.
Ho: Tidak terdapat perbedaan kemampuan berpikir kritis siswa dengan
menggunakan model pembelajaran konvensional pada kelas kontrol sebelum
dan sesudah pembelajaran.
Hɑ: Terdapat perbedaan peningkatan kemampuan berpikir kritis siswa dengan
menggunakan model problem solving berbantukan metode debat dengan
model pembelajaran konvensional sesudah perlakuan.
Ho: Tidak terdapat perbedaan kemampuan berpikir kritis siswa dengan
menggunakan model problem solving berbantukan metode debat dengan
model pembelajaran konvensional sesudah perlakuan.