BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2 -...

27
8 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pier Jembatan Pilar jembatan sederhana adalah suatu konstruksi beton bertulang yang menumpu di atas pondasi tiang tiang pancang yang terletak di tengah sungai atau yang lain yang berfungsi sebagai pemikul antara bentang tepi dan bentang tengah bangunan atas jembatan (SNI 2541, 2008). Pilar - pilar dapat berupa susunan rangka pendukung (trestle), yaitu topi beton bertulang yang bertindak sebagai balok melintang (cross beam) dengan kepala tiang tertanam pada topi, atau susunan kolom, yang menggunakan sistem beton kopel (pile cap) yang terpisah, sistem balok dan kolom melintang terpisah. Pilar (pier) jembatan berfungsi menyalurkan gaya gaya vertikal dan horisontal dari bangunan atas ke pondasi. 2.2 Pembebanan pada Pier Pembebanan pada jembatan yaitu mengacu pada RSNI T 02 2005. Dalam peraturan ini adapun beban yang terjadi pada jembatan antara lain sebagai berikut. 2.2.1 Berat Sendiri (MS) Berat sendiri dari bangunan adalah berat dari bagian tersebut dan elemen- elemen struktural lain yang dipikulnya. Termasuk dalam hal ini adalah berat bahan jembatan yang merupakan elemen struktural, ditambah dengan berat bahan elemen non struktural yang dianggap tetap. Faktor beban akibat berat sendiri struktur terdapat pada Tabel 2.1. Tabel 2.1 Faktor beban untuk berat sendiri Jangka Waktu Faktor Beban S;;MS; U;;MS; Biasa Terkurangi Tetap Baja, Alumunium 1,0 1,1 0,9 Beton Pracetak 1,0 1,2 0,85 Beton dicor ditempat 1,0 1,3 0,75 Kayu 1,0 1,4 0,7 Sumber: RSNI T-02-2005

Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2 -...

8

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pier Jembatan

Pilar jembatan sederhana adalah suatu konstruksi beton bertulang yang

menumpu di atas pondasi tiang – tiang pancang yang terletak di tengah sungai atau

yang lain yang berfungsi sebagai pemikul antara bentang tepi dan bentang tengah

bangunan atas jembatan (SNI 2541, 2008). Pilar - pilar dapat berupa susunan rangka

pendukung (trestle), yaitu topi beton bertulang yang bertindak sebagai balok

melintang (cross beam) dengan kepala tiang tertanam pada topi, atau susunan

kolom, yang menggunakan sistem beton kopel (pile cap) yang terpisah, sistem

balok dan kolom melintang terpisah. Pilar (pier) jembatan berfungsi menyalurkan

gaya – gaya vertikal dan horisontal dari bangunan atas ke pondasi.

2.2 Pembebanan pada Pier

Pembebanan pada jembatan yaitu mengacu pada RSNI T – 02 – 2005. Dalam

peraturan ini adapun beban yang terjadi pada jembatan antara lain sebagai berikut.

2.2.1 Berat Sendiri (MS)

Berat sendiri dari bangunan adalah berat dari bagian tersebut dan elemen-

elemen struktural lain yang dipikulnya. Termasuk dalam hal ini adalah berat bahan

jembatan yang merupakan elemen struktural, ditambah dengan berat bahan elemen

non struktural yang dianggap tetap. Faktor beban akibat berat sendiri struktur

terdapat pada Tabel 2.1.

Tabel 2.1 Faktor beban untuk berat sendiri

Jangka Waktu

Faktor Beban

S;;MS; U;;MS;

Biasa Terkurangi

Tetap

Baja, Alumunium 1,0 1,1 0,9

Beton Pracetak 1,0 1,2 0,85

Beton dicor ditempat 1,0 1,3 0,75

Kayu 1,0 1,4 0,7

Sumber: RSNI T-02-2005

9

2.2.2 Beban Mati Tambahan (MA)

Beban mati tambahan adalah berat seluruh bahan yang membentuk suatu

beban pada jembatan yang merupakan elemen non struktural dan besarnya dapat

berubah seiring umur jembatan. Jembatan dianalisis harus mampu memikul beban

tambahan seperti :

Penambahan lapisan aspal (overlay) di kemudian hari,

Genangan air hujan jika sistim drainase tidak bekerja dengan baik,

Pemasangan tiang listrik dan instalasi ME.

Faktor beban akibat beban mati tambahan terdapat pada Tabel 2.2.

Tabel 2.2 Faktor beban untuk beban mati tambahan

Jangka Waktu

Faktor Beban

K K

Biasa Terkurangi

Tetap Keadaan umum 1,0 (1) 2,0 0,7

Keadaan khusus 1,0 1,4 0,8

CATATAN (1) Faktor beban daya layan 1,3 digunakan untuk berat utilitas

Sumber: RSNI T-02-2005

2.2.3 Beban Lajur “D” (TD)

Beban lajur “D” adalah beban lajur yang terdiri dari beban terbagi merata

(Uniforrmly Distributed Load), UDL yang digabung dengan beban garis (Knife

Edge Load) KEL. Beban terbagi merata (UDL) mempunyai intensitas q kPa,

dimana besarnya q tergantung dari panjang bentang total yang dibebani L seperti

berikut :

L ≤ 30 m : q = 9,0 kPa (2.1)

L ≥ 30 m : q = 9,0× (0,5 +15

L) kPa (2.2)

Dimana :

q = Intensitas beban terbagi merata dalam arah memanjang

L = Panjang total jembatan yang diberikan beban

10

Gambar 2.1 Beban lajur “D”

Sumber: RSNI T-02-2005

Sedangkan beban garis (KEL) mempunyai intensitas p kN/m, untuk beban garis

ini harus ditempatkan tegak lurus terhadap arus lalu lintas pada jembatan. Faktor

beban dinamis (Dinamic Load Allowance) untuk KEL diambil sebagai berikut :

DLA = 0,4 untuk L ≤ 50 m

DLA = 0,4 – 0,0025 × (L – 50) untuk 50 m < L <90 m

DLA = 0,3 intuk L ≥ 90 m

Gambar 2.2 Faktor beban dinamis (DLA)

Besarnya intensitas p adalah 44,0 kN/m

11

Besaran Beban “D” didistribusikan menjadi beban titik yang bekerja pada

kepala pier dengan rumus :

𝑃𝑇𝐷 =𝑞×𝐿×(5,5+𝑏)

2+

𝑝×𝐷𝐿𝐴×(5,5+𝑏))

2 (2.3)

Gambar 2.3 Distribusi beban “D”

2.2.4 Beban Truk “T” (TT)

Pembebanan truk “T” terdiri dari kendaraan truk semi-trailer yang

mempunyai susunan dan berat as. Berat dari masing-masing as disebarkan menjadi

2 beban merata sama besar yang merupakan kontak antara roda dengan permukaan

lantai. Jarak antara 2 as tersebut bisa diubah-ubah antara 4,0 m dan 9,0 m untuk

mendapatkan pengaruh terbesar pada arah memanjang jembatan seperti terlihat

pada Gambar 2.4. Faktor beban akibat gaya truk “T” adalah 1,8. Sedangkan faktor

beban dinamisnya sama dengan beban “D”.

Terlepas dari panjang jembatan atau susunan bentang, hanya ada satu

kendaraan truk “T” yang bisa ditempatkan pada satu lajur lalu lintas rencana.

Kendaraan truk “T” harus ditempatkan ditengah-tengah lajur lalu lintas rencana.

Penyebaran momen lentur dan gaya geser dari beban truk tunggal “T” harus

terbagi pada balok memanjang sesuai dengan faktor distribusi. Gaya – gaya tersebut

kemudian diteruskan ke kepala pier.

12

Gambar 2.4 Beban truk “T”

Sumber: RSNI T-02-2005

2.2.5 Beban Pedestrian / Pejalan Kaki (TP)

Jembatan jalan raya direncanakan mampu memikul beban hidup merata

pada trotoar yang besarnya tergantung pada luas bidang trotoar yang didukungnya.

Hubungan antara beban merata dan luasan yang dibebani pada trotoar, dilukiskan

seperti gambar 2.5 atau dapat dinyatakan dengan persamaan sebagai berikut :

Untuk A ≤ 10 m2 : q = 5 kPa (2.4)

Untuk 10 m2 < A ≤ 100 m2 : q = 5 – 0.033 × (A-10) kPa (2.5)

Untuk A > 100 m2 : q = 2 kPa (2.6)

A = luas bidang trotoar yang dibebani pejalan kaki (m2)

q = beban hidup merata pada trotoar (kPa)

13

Gambar 2.5 Pembebanan untuk pejalan kaki

2.2.6 Gaya Rem (TB)

Bekerjanya gaya-gaya di arah memanjang, akibat gaya rem dan traksi, harus

ditinjau untuk kedua jurusan lalu lintas. Pengaruh ini diperhitungkan senilai dengan

gaya rem sebesar 5% dari beban lajur D yang dianggap ada pada semua jalur lalu

lintas, tanpa dikalikan dengan faktor beban dinamis dan dalam satu jurusan. Gaya

rem tersebut dianggap bekerja horizontal dalam arah sumbu jembatan dengan titik

tangkap setinggi 1,8 m di atas permukaan lantai kendaraan. Hubungan antara

besarnya gaya rem dan panjang total jembatan juga dapat dinyatakan dengan

persamaan berikut :

TTB = 250 kN untuk Lt ≤ 80 m (2.7)

TTB = 250 + 2,5 × (Lt – 80) kN untuk 80 m < Lt < 180 m (2.8)

TTB = 500 kN untuk Lt ≥ 180 m (2.9)

Dalam memperkirakan pengaruh gaya memanjang terhadap perletakan dan

bangunan bawah jembatan, maka gesekan atau karakteristik perpindahan geser dari

perletakan ekspansi dan kekakuan bangunan bawah harus diperhitungan.

Gaya rem tidak boleh digunakan tanpa memperhitungkan pengaruh beban

lalu lintas vertikal. Dalam hal dimana beban lalu lintas vertikal mengurangi

pengaruh dari gaya rem, maka Faktor Beban Ultimit terkurangi sebesar 40% boleh

digunakan untuk pengaruh beban lalu lintas vertikal. Faktor beban akibat gaya rem

terdapat pada Tabel 2.3.

14

Tabel 2.3 Faktor beban akibat gaya rem

Jangka Waktu

Faktor Beban

K S;;TB; K U;;TB;

Transien 1,0 1,8

Sumber: RSNI T-02-2005

Gambar 2.6 Gaya rem per lajur

Sumber: RSNI T-02-2005

2.2.7 Beban Angin (EW)

Jembatan-jembatan yang terletak pada daerah khusus untuk beban angin

harus diperhitungkan, termasuk respon dinamis jembatan. Gaya-gaya nominal

ultimit dan gaya layan jembatan akibat angin tergantung dengan kecepatan angin

rencana seperti berikut:

𝑇𝐸𝑊 = 0,0006. 𝐶𝑊.(𝑉𝑊)2. 𝐴𝑏[𝑘𝑁] (2.10)

Dimana :

𝑉𝑊 = kecepatan angin rencana (m/s) untuk keadaan batas yang ditinjau

𝐶𝑊 = koefisien seret

𝐴𝑏 = luas ekivalen bagian samping jembatan

15

Angin harus dianggap bekerja secara merata pada seluruh bangunan atas.

Apabila suatu kendaraan sedang berada diatas jembatan, beban garis merata

tambahan arah horizontal harus ditetapkan pada permukaan lantai seperti diberikan

rumus dengan rumus :

𝑇𝐸𝑊 = 0,0012. 𝐶𝑊.(𝑉𝑊)2[𝑘𝑁𝑚] (2.11)

Dimana :

𝐶𝑊.= 1,2

Faktor beban akibat angin adalah 1,2. Kecepatan angin rencana Vw dan

koefisisen seret Cw dapat dilihat pada Tabel 2.4 dan Tabel 2.5.

Tabel 2.4 Kecepatan rencana angin VW

Jangka Waktu Lokasi

Sampai 5 km dari pantai > 5 km dari pantai

Daya Layan 30 m/s 25 m/s

Ultimit 35 m/s 30 m/s

Sumber: RSNI T-02-2005

Tabel 2.5 Koefisien seret CW

Tipe Jembatan Cw

Bangunan atas masif : (1), (2)

b/d = 1,0 2.1 (3)

b/d = 2,0 1.5 (3)

b/d ≥ 6,0 1.25 (3)

Bangunan atas rangka 1.2

CATATAN (1) b = lebar keseluruhan jembatan dihitung dari sisi luar sandaran

d = tinggi bangunan atas, termasuk tinggi bagian sandaran yang masif

CATATAN (2) Untuk harga antara dari b/d bisa diinterpolasi linier

CATATAN (3) Apabila bangunan atas mempunyai superelevasi, Cw harus dinaikkan

sebesar 3% untuk setiap derajat superelevasi, dengan kenaikan maksimum

2,5 %

Sumber: RSNI T-02-2005

Selanjutnya gaya vertikal akibat transfer beban angin ke lantai jembatan

dapat dihitung dengan rumus : 𝑃𝐸𝑊 = (1

2⁄ ×ℎ

𝑥× 𝑇𝐸𝑊) × 𝐿 (2.12)

Dimana :

h = bidang samping kendaraan yang ditiup angin

x = jarak antara roda kendaraan

16

2.2.8 Gaya Gesek (FB) dan Pengaruh Temperatur / Suhu (ET)

Gaya gesek pada perletakan bergerak (TFB) maupun gaya yang ditimbulkan

oleh perbedaan suhu (TET) resultan gayanya = 0 (saling meniadakan), sehingga

gaya – gaya tersebut tidak diperhitungkan dalam analisis pier.

Gambar 2.7 Gaya gesek dan pengaruh temperatur

2.2.9 Beban Gempa

Dalam menghitung beban gempa dapat digunakan analisa statis ekuivalen,

namun bila jembatan sangat besar dan juga jembatan tersebut sangat rumit

konstruksinya maka digunakan analisis dinamis. Beban rencana gempa minimum

diperoleh dari rumus berikut;

𝑇𝐸𝑄∗ = 𝐾ℎ. 𝐼. 𝑊𝑇 (2.13)

Dimana :

𝐾ℎ = 𝐶. 𝑆 (2.14)

𝑇𝐸𝑄∗ = Gaya geser dasar total dalam arah yang ditinjau (kN)

𝐾ℎ = Koefisien gempa beban horizontal

𝐶 = Koefisien geser dasar untuk daerah, waktu dan kondisi setempat yang sesuai

𝐼 = Faktor kepentingan

𝑆 = Faktor tipe bangunan

𝑊𝑇 = Berat total nominal bangunan yang mempengaruhi percepatan gempa,

diambil sebagai beban mati ditambah beban mati tambahan (kN)

17

Waktu dasar getaran jembatan yang digunakan untuk menghitung geser dasar

harus dihitung dari analisa yang meninjau seluruh element bangunan yang

memberikan kekakuan dan fleksibilitas dari sistem pondasi:

Untuk bangunan yang mempunyai satu derajat kebebasan yang sederhana, rumus

yang dapat digunakan :

𝑇 = 2𝜋√𝑊𝑇𝑃

𝑔𝐾𝑃 (2.15)

Dimana :

𝑇 = waktu getar dalam detik untuk freebody pilar dengan derajat kebebasan

tunggal pada jembatan bentang sederhana

𝑔 = percepatan gravitasi (m/s2)

𝑊𝑇𝑃 = berat total nominal bangunan atas termasuk beban mati tambahan

ditambah setengah berat dari pilar (kN)

𝐾𝑃 = kekakuan gabungan sebagai gaya horizontal yang diperlukan untuk

menimbulkan satu satuan lendutan pada bagian atas pilar (kN/m)

2.2.10 Kombinasi Pembebanan

Pada konstruksi jembatan kombinasi terbagi menjadi dua jenis kombinasi

yaitu; kombinasi batas layan dan kombinasi batas ultimit. Aksi-aksi yang bekerja

pada jembatan dibagi menjadi dua kelompok yaitu aksi tetap dan aksi trasien.

Untuk kombinasi konstruksi jembatan secara umum baik batas layan

maupun batas ultimit telah tercantum pada RSNI T - 02 - 2005 tentang pembebanan

untuk jembatan. Kombinasinya sebagai berikut :

Kondisi kontruksi : 1,3 PMS (2.16)

Kondisi Layan :

Kombinasi 1 : PMS + PMA + PTD atau PTT + PTP + PTB + TEW (2.17)

Kondisi Ultimate :

Kombinasi 1 : 1,3 PMS + 2 PMA + PTD atau PTT + PTB + 1,8 PTP (2.18)

Kombinasi 2 : 1,3 PMS + 2 PMA + 1,8 PTD atau 1,8 PTT + 1,8 PTB + TEW (2.19)

Kombinasi 3 : 1,3 PMS + 2 PMA + PTD atau PTT + PTB + 1,2 TEW (2.20)

Kombinasi 4 : 1,3 PMS + 2 PMA + PTD atau PTT + TEQ (2.21)

18

Dimana :

PMS : Beban mati.

PMS : Beban mati tambahan.

PTD : Beban Lajur “D”

PTT : Beban Truk “T”

PTP : Beban Pedestrian.

PTB : Gaya Rem

TEW : Beban angin

TEQ : Beban Gempa (tegak lurus jembatan)

2.3 Daktilitas Struktur

Umumnya suatu struktur bangunan dianggap elastis sempurna, artinya bila

struktur mengalami perubahan bentuk atau berdeformasi sebesar 1 mm oleh beban

1 ton, maka struktur akan berdeformasi 2 mm oleh beban 2 ton. Hubungan antara

beban dan deformasi yang terjadi pada struktur, dianggap elastis sempurna berupa

hubungan linear. Jika beban tersebut dikurangi besarnya sampai dengan nol, maka

deformasi pada struktur akan hilang. Pada kondisi seperti ini struktur mengalami

deformasi elastis. Deformasi elastis adalah deformasi yang apabila bebannya

dihilangkan, maka deformasi tersebut akan hilang, dan struktur akan kembali pada

bentuknya yang semula.

Pada struktur yang bersifat getas/brittle, maka jika beban yang bekerja pada

struktur sedikit melampaui batas maksimum kekuatan elastisnya, maka struktur

tersebut akan patah atau runtuh. Pada struktur yang daktail/ductile atau liat, jika

beban yang ada melampaui batas maksimum kekuatan elastisnya, maka struktur

tidak akan runtuh, tetapi struktur akan mengalami deformasi plastis/inelastic.

Deformasi plastis adalah deformasi yang apabila bebannya dihilangkan, maka

deformasi tersebut tidak akan hilang. Pada struktur yang daktail, meskipun terjadi

deformasi yang permanen, tetapi struktur tidak mengalami keruntuhan.

Pada kenyataannya, jika suatu beban bekerja pada struktur, maka pada tahap

awal, struktur akan berdeformasi secara elastis. Jika beban yang bekerja terus

bertambah besar, maka setelah batas elastis dari bahan struktur dilampaui, struktur

kemudian akan berdeformasi secara plastis. Dengan demikian pada struktur akan

19

terjadi deformasi elastis dan deformasi plastis, sehingga jika beban yang bekerja

dihilangkan, maka hanya sebagian saja dari deformasi yang hilang (deformasi

elastis = 𝛿𝑒), sedangkan sebagian deformasi akan bersifat permanen (deformasi

plastis = 𝛿𝑝). Perilaku deformasi elastis dan plastis dari struktur diperlihatkan pada

Gambar 2.8 dan Gambar 2.9.

Gambar 2.8 Deformasi elastis pada struktur

Sumber: Indarto dkk. (2013)

Energi gempa yang bekerja pada struktur bangunan, akan diubah menjadi

energi kinetik akibat getaran dari massa struktur, energi yang dihampurkan akibat

adanya pengaruh redaman dari struktur, dan energi yang dipancarkan oleh bagian-

bagian struktur yang mengalami deformasi plastis. Dengan demikian sistem

struktur yang bersifat daktail dapat membatasi besarnya energi gempa yang masuk

pada struktur, sehingga pengaruh gempa dapat berkurang. Dari penjelasan di atas,

dapat disimpulkan bahwa daktilitas struktur adalah salah satu faktor penting yang

dapat mempengaruhi besar kecilnya beban gempa yang bekerja pada struktur.

𝜹𝒆

𝜹𝒆 = 𝟎

𝑽 ≠ 𝟎

𝑽 = 𝟎

20

Gambar 2.9 Deformasi plastis pada struktur

Sumber: Indarto dkk. (2013)

Daktilitas dinyatakan dengan kemampuan untuk melakukan deformasi

inelastis diatas titik lelehnya akibat beban bolak-balik (gempa) tanpa kehilangan

kekuatan yang cukup berarti. Daktilitas bangunan didapat dengan merancang

mekanisme pembentukan sendi plastis pada tempat yang tidak membahayakan

integrasi. Dalam keadaan normal, struktur bangunan bersifat kaku dan kuat (stiff

and strong), sementara dalam keadaan darurat ia harus bersifat ductile.

Faktor daktilitas gedung adalah rasio antara simpangan maksimum pada

ambang keruntuhan dengan simpangan pertama yang terjadi pada pelelehan

pertama.

1,0 ≤ 𝜇 =𝛿𝑢

𝛿𝑦≤ 𝜇𝑚 (2.22)

Daktilitas penuh adalah suatu tingkat daktilitas struktur gedung, yang

strukturnya bisa menghadapi simpangan pasca-elastiknya sampai pada titik ambang

keruntuhan, dan nilai faktor daktilitasnya sampai sebesar 5,3

Daktilitas parsial adalah tingkat daktilitas yang lebih kecil dari daktilitas

penuh, faktor daktilitasnya hanya sebesar 1,0 sampai 5,29.

𝜹𝒆 + 𝜹𝒑

𝑽 ≠ 𝟎

𝜹𝒑

𝑽 = 𝟎

Sendi plastis

21

2.4 Analisis Pushover

Analisis pushover merupakan prosedur analisis untuk mengetahui perilaku

keruntuhan suatu struktur bangunan terhadap beban gempa. Analisis dilakukan

dengan memberikan suatu pola beban lateral statik pada struktur yang terus

menerus ditingkatkan dengan faktor pengali sampai pada suatu target perpindahan

lateral yang ditentukan tercapai.

Dalam suatu analisis pushover akan dihasilkan suatu kurva pushover yang

menggambarkan hubungan antara gaya geser dasar/base shear dengan perpindahan

titik acuan pada atap/displacement.

Tujuan dalam analisis pushover adalah untuk memperkirakan gaya

maksimum dan deformasi yang terjadi serta untuk memperoleh informasi bagian

mana saja yang kritis (Dewobroto, 2005).

2.4.1 Langkah-langkah Analisis Pushover

Analisis pushover terdiri dari beberapa kasus beban pushover berdasarkan

perbedaan distribusi pembebanan pada struktur. Untuk dapat menjalankan analisis

pushover setidaknya dilakukan 3 analisis pada model struktur, yakni:

1. Analisis beban gravitasi dan beban gempa yang bekerja pada struktur.

Beban gravitasi umumnya berupa beban mati dan beban hidup sedangkan

beban gempa dapat berupa statik ekuivalen untuk struktur beraturan

sedangkan untuk struktur tidak beraturan digunakan respon spektrum.

Beban-beban tersebut kemudian dikombinasikan dengan mengalikan

besaran beban dengan faktor beban sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Hasil dari analisis ini berupa gaya-gaya dalam ultimit akibat beban luar yang

bekerja, dan juga dapat mendefinisikan jumlah tulangan lentur dan tulangan

geser yang dibutuhkan pada strukur rangka beton bertulang. Hasil analisis

ini merupakan kondisi awal untuk analisis nonlinear statik pushover.

2. Analisis nonlinear statik yang pertama yakni struktur dibebani dengan

beban gravitasi yang dikalikan dengan faktor beban tertentu, dimana

analisis dimulai dari kondisi awal struktur tanpa dibebani. Beban yang

diaplikasikan tidak ditingkatkan secara bertahap sehingga hasil analisis ini

hanya berupa hasil akhir dari pembebanan gravitasi (final state only).

22

3. Analisis nonlinear statik yang kedua yakni struktur dibebani dengan beban

lateral yang ditingkatkan dengan faktor skala tertentu secara bertahap.

Analisis ini merupakan lanjutkan dari analisis nonlinear statik yang pertama

(beban gravitasi) dan karena beban lateral diaplikasikan secara bertahap

maka hasil analisis ini tersedia dalam setiap tahapan pembebanan (multiple

states).

Untuk aplikasi pendistribusian beban, terdapat dua jenis kontrol yakni gaya

(full load) dan kontrol perpindahan (displacement control). Kontrol gaya

menerapkan beban penuh pada struktur, dan digunakan pada struktur yang dibebani

beban gravitasi. Hal ini dikarenakan beban gravitasi diterapkan secara penuh dan

tidak bertahap. Kontrol perpindahan umumnya digunakan pada struktur yang

dibebani dengan beban lateral secara bertahap, dimana untuk setiap tahapan

bebanan struktur akan mengalami perpindahan yang berbeda.

Perilaku nonlinear pada struktur disebabkan oleh material nonlinear dan

nonlinier geometri. Kedua hal ini menjadi parameter perilaku nonlinear yang

dipertimbangkan penggunaannya pada analisis statik nonlinear pushover. Material

nonlinear memiliki ciri-ciri tersendiri dan didefinisikan sebagai tumpuan sendi pada

elernen rangka. Nonlinear geometri dapat berupa efek P-Δ beserta perpindahannya

yang besar.

Dalam melaksanakan analisis nonlinear statik pushover, perlu diketahui

langkah-langkah dalam menganalisis (Dewobroto, 2005).

Langkah-langkah analisis pushover:

1. Membuat model struktur dengan memasukkan semua elemen bangunan

yang berkaitan dengan berat, kekuatan, kekakuan dan stabilitas yang

memenuhi ketentuan.

2. Menentukan titik kontrol untuk memonitor besarnya perpindahan struktur.

Rekaman besarnya perpindahan titik kontrol dan gaya geser dasar

digunakan untuk menyusun kurva kapasitas.

3. Analisis beban dorong dilakukan dalam dua tahap : pertama, struktur diberi

beban gravitasi (kombinasi beban mati dan beban hidup yang dikalikan

faktor beban). Analisis pertama belum memperhitungkan kondisi nonlinear.

23

Selanjutnya, analisis dilakukan dengan memberikan pola beban lateral yang

diberikan secara bertahap.

4. Intensitas pembebanan lateral ditingkatkan sampai komponen struktur yang

paling lemah berdeformasi yang menyebabkan kekakuannya berubah secara

signifikan (terjadi leleh dari penampang) dan akhirnya keruntuhan struktur.

5. Untuk setiap tahapan beban, gaya dalam dan deformasi elastis maupun

plastis dihitung dan direkam. Gaya dan deformasi untuk setiap tahapan

beban sebelumnya akan terakumulasi untuk menghasilkan gaya dan

deformasi total (elastis dan plastis) dari semua komponen pada semua tahap

pembebanan.

6. Proses pembebanan dilanjutkan sampai batas kinerja terdeteksi dari

perpindahan titik kontrol pada atap.

7. Langkah 4-6 dilakukan secara sistematis dan otomatis oleh program

komputer yang mempunyai kemampuan untuk analisis struktur statik

nonlinear pushover, yakni SAP 2000. Prosesnya dilakukan melalui iterasi

berulang-ulang sampai diperoleh kesetimbangan pada gaya-gaya

intenalnya. Terkadang iterasi membutuhkan waktu yang lama tanpa

mencapai konvergen, hal ini umumnya menunjukan kondisi struktur yang

mencapai keruntuhan, bila belum maka kontrol perpindahan dapat

membantu menyelesaikan masalah tersebut.

8. Perpindahan titik kontrol versus gaya geser dasar untuk setiap tahapan

beban diplotkan sebagai kurva kapasitas yang menggambarkan respon

perilaku nonlinear struktur.

2.4.2 Target Perpindahan

Dalam analisis pushover, gaya dan deformasi setiap elemen struktur

dihitung terhadap perpindahan di titik kontrol yang disebut sebagai target

perpindahan (𝛿𝑡) dan dianggap sebagai perpindahan maksimum yang terjadi saat

struktur mengalami gempa rencana. Untuk mendapatkan perilaku struktur setelah

kondisi runtuh, maka perlu dilakukan analisis pushover untuk mendapatkan kurva

hubungan gaya geser dasar dan perpindahan lateral titik kontrol sampai minimal

150% dari target perpindahan seperti yang tertulis pada dokumen FEMA 356.

24

2.4.3 Kriteria Kinerja Struktur

Setelah tahap evaluasi tentunya harus ditentukan hasil dari kinerja struktur

yang ditinjau berupa kinerja yang didasarkan dari kriteria-kriteria yang telah ada.

Sasaran kinerja terdiri dari kejadian gempa rencana yang ditentukan (earthquake

hazard), dan taraf kerusakan yang diijinkan atau level kinerja (performance level)

dari bangunan terhadap kejadian gempa tersebut.

Level kinerja adalah pembatasan derajat kerusakan yang ditentukan oleh

kerusakan fisik struktur dan elemen struktur sehingga tidak membahayakan

keselamatan pengguna gedung.

Kriteria kinerja yang ditetapkan dalam dokumen Vision 2000 dan National

Earthquake Hazards Reduction Program (NEHRP) adalah sebagai berikut:

Tabel 2.6 Kriteria Kinerja Struktur

Level Kinerja Penjelasan

NEHRP Vision 2000

Operational Fully

Functional

Tak ada kerusakan berarti pada komponen struktur dan non-struktur, bangunan tetap

berfungsi.

Immediate

Occupancy Operational

Tidak ada kerusakan yang berarti pada struktur, dimana kekuatan dan kekakuannya

kira-kira hampir sama dengan kondisi sebelum gempa. Komponen non-struktur masih

berada di tempatnya dan sebagian besar masih berfungsi jika utilitasnya tersedia.

Bangunan dapat tetap berfungsi dan tidak terganggu dengan masalah perbaikan.

Life Safety Life Safe

Terjadi kerusakan komponon struktur, kekakuan berkurang, tetapi masih mempunyai

ambang yang cukup terhadap keruntuhan. Komponen non-struktur masih ada tetapi

tidak berfungsi. Dapat dipakai lagi jika sudah dilakukan perbaikan.

Collapse

Prevention

Near

Collapse

Kerusakan yang berarti pada komponen struktur dan non-struktur. Kekuatan struktur

dan kekakuannya berkurang banyak, hampir runtuh. Kecelakaan akibat kejatuhan

material bangunan yang rusak sangat mungkin terjadi.

Sumber: Dewobroto (2005)

2.5 Pondasi Tiang

Fungsi pondasi bagi suatu bangunan adalah sebagai suatu bagian konstruksi

yang menyalurkan gaya-gaya struktur bagian atas ke tanah, dimana gaya-gaya ini

bekerja dari hasil pembebanan akan didukung oleh tanah sebagai daya dukung

tanah.

Pondasi tiang adalah suatu konstruksi pondasi yang mampu menahan gaya

ortogonal ke sumbu tiang dengan jalan menyerap lenturan. Pondasi tiang dibuat

menjadi satu kesatuan yang monolit dengan menyatukan pangkal tiang yang

terdapat di bawah konstruksi dengan tumpuan pondasi.

25

Pemakaian tiang pancang untuk pondasi pada suatu bangunan apabila tanah

dasar di bawah bangunan tersebut tidak mempunyai daya dukung/bearing capacity

yang cukup untuk memikul berat bangunan dan bebannya, atau apabila tanah keras

yang mana mempunyai daya dukung yang cukup untuk memikul berat bangunan

dan bebannya yang letaknya sangat dalam (Sardjono, 1988 dalam Hardiyatmo,

2010).

Pada sekelompok tiang, jika jarak masing-masing tiang ini cukup besar,

maka daya dukung vertikal tiang-tiang ini tidak menimbulkan kesulitan, karena hal

ini dianggap sama besar dengan daya dukung sebuah tiang. Jika jarak tiang-tiang

terlalu dekat, saat tiang turun akibat beban, tanah diantara tiang-tiang juga ikut

bergerak turun. Pada kondisi ini, kelompok tiang dapat dianggap sebagai satu tiang

besar dengan lebar yang sama dengan lebar kelompok tiang (Hardiyatmo, 2010).

Untuk bekerja sebagai grup, jarak tiang (s) biasanya disesuaikan dengan peraturan-

peraturan bangunan pada daerah masing-masing, umumnya 2d < s ≤ 6d.

Di samping itu, bila jarak antara tiang-tiang mengecil sampai suatu batas

tertentu, sekelompok tanah di antara tiang-tiang akan menggabung satu sama lain.

Ruang minimum antara tiang-tiang untuk keadaan yang hampir mendekati gejala

di atas tergantung pada jenis tanah pondasi atau susunan tiang-tiang dan sulit

ditentukan dengan suatu patokan yang sederhana. Oleh karena itu, pada suatu cara

dimana pondasi tiang secara keseluruhan dianggap sebagai kaison murni. Hal ini

berdasarkan pada pendapat bahwa jika ruangan tengah pada tiang cukup kecil,

maka tanah pada bagian yang diapit tiang dan tiang akan berfungsi sebagai suatu

kesatuan (Sosrodarsono dan Nakazawa, 2000).

Untuk tiang-tiang yang menahan geser, karena pada ruang antara masing-

masing tiang dianggap tidak terjadi tegangan yang saling mempengaruhi, maka

dipakai persamaan berikut ini:

𝐷𝑜 = 1.5√𝑟𝑙 (2.23)

Dengan: Do = jarak minimum antara pusat tiang sehingga dianggap saling tidak

mempengaruhi dalam suatu gabungan tiang

r = jari-jari (radius) rata-rata tiang

l = panjang tiang

26

2.5.1 Efisiensi Kelompok Tiang

Kapasitas dukung tiang kelompok dapat berkurang jika jarak tiang semakin

dekat dalam tanah lempung. Jadi, besarnya kapasitas dukung total menjadi

tereduksi dengan nilai yang tergantung dari ukuran, bentuk kelompok, jarak, dan

panjang tiangnya. Nilai pengali terhadap kapasitas dukung ultimit tiang tunggal

dengan memperhatikan pengaruh kelompok tiang, disebut efisiensi tiang (Eg), yang

didefinisikan sebagai persamaan berikut (Converse-Labarre formula) (Vesic,

1967):

𝐸𝑔 = 1 − 𝜃(𝑛′−1)𝑚+(𝑚−1)𝑛′

90 𝑚𝑛′ (2.24)

Dengan:

Eg = efisiensi kelompok tiang

m = jumlah baris tiang

𝜃 = arc tg d/s, dalam derajat

n’ = jumlah tiang dalam satu baris

s = jarak pusat ke pusat tiang (m)

d = diameter tiang (m)

Kapasitas dukung ultimit tiang tunggal dengan memperhatikan faktor

efisiensi tiang dinyatakan oleh persamaan:

𝑄𝑢 = 𝐸𝑔 𝑄𝑡𝑖𝑎𝑛𝑔 (2.25)

2.5.2 Pelat Penutup Tiang (Pile Cap)

Pelat penutup tiang berfungsi untuk menyebarkan beban dari kolom ke

tiang-tiang. Untuk perhitungan reaksi tiang-tiang dalam suatu pelat penutup tiang,

jika momen bekerja dua arah, maka persamaan untuk menghitung tekanan aksial

pada masing-masing tiang adalah sebagai berikut (Hardiyatmo, 2010):

𝑄𝑖 =𝑉

𝑛±

𝑀𝑦𝑥𝑖

∑ 𝑥2 ±

𝑀𝑥𝑦𝑖

∑ 𝑦2 (2.26)

Dengan:

Qi = beban aksial pada tiang ke-i

n = jumlah tiang

27

x,y = berturut-turut jarak tiang terhadap sumbu x dan y

V = jumlah beban vertikal yang bekerja pada pusat kelompok tiang

Mx, My = berturut-turut momen terhhadap sumbu x dan y

Gambar 2.10 Kelompok tiang dibebani beban vertikal dan momen

Sumber: Hardiyatmo (2010)

Jika tiang-tiang disusun dalam satu deret dengan jarak yang sama (s),

persamaan berikut ini dapat digunakan:

)1(12

1 22 nnsx (2.27)

Dengan n = jumlah tiang dalam satu deret.

2.6 Sifat Elastis Pada Tanah

Sifat-sifat elastis yang penting pada tanah antara lain: modulus reaksi tanah

dasar ks, modulus tegangan-regangan tanah (modulus elatisitas tanah) Es dan

Poison’s Ratio µ. Modulus reaksi tanah dasar dan modulus elatisitas tanah yang

diperlukan dalam model diperoleh dari hasil penyelidikan tanah pada Lokasi terkait

yang berupa nilai N dari Uji Penetrasi Standar (SPT) pada setiap kedalaman 2 meter

lapisan tanah. Nilai N ini dikorelasikan untuk mendapatkan nilai modulus reaksi

tanah dasar dan modulus elatisitas tanah.

28

2.6.1 Modulus Elastisitas Tanah dan Poisson Ratio (μ)

Nilai modulus elastisitas tanah (Es) merupakan besarnya nilai elastisitas

tanah yang merupakan perbandingan antara tegangan dan regangan.

Poisson Ratio dipakai untuk menghitung penurunan dan getaran pada

struktur pondasi. Nilai Poisson Ratio (μ) untuk berbagai jenis tanah dapat dilihat

pada Tabel 2.7.

Pada nilai Poisson lebih besar dari 0,5 tanah cenderung bersifat plastis,

sehingga teori elastis tidak dapat diterapkan. Tetapi pada dasarnya tanah

mempunyai sifat elatis semu pada semua rentang nilai Poisson.

Tabel 2.7 Nilai poisson untuk berbagai jenis tanah Jenis Tanah μ

Lempung jenuh 0.4 – 0.5

Lempung tak jenuh 0.1 – 0.3

Lempung berpasir 0.2 – 0.3

Lanau 0.3 – 0.35

Pasir (padat) pasir kerikil

Biasa dipakai

0.1 – 1.0

0.3 – 0.4

Batuan (rock) 0.1 – 0.4 (tergantung

jenis batuan)

Tanah loose 0.1 – 0.3

Es 0.36

Beton 0.15

Sumber: Bowles (1992) dalam Manukoa (2015)

Nilai µ pada tabel tersebut sangat tak menentu, yang umumnya diperkirakan

karena teramat sukar untuk membuat penentuan µ secara langsung. Whitman and

Richart (1967) dalam Manukoa (2015) merekomendasikan nilai Poisson’s ratio

untuk kondisi tanah, yaitu: pasir (sand) baik dalam kondisi dry, moist dan partially

saturated µ=0,35-0,40 sedangkan untuk lempung (clay) nilai µ=0,50. Nilai

Poisson’s ratio yang baik digunakan pada hampir semua kondisi partially saturated

soils adalah 0,4 (Das, 1993 dalam Manukoa, 2015).

29

2.6.2 Modulus Reaksi Tanah Dasar (Koefisien Reaksi Tanah Dasar)

Modulus reaksi tanah dasar didefinisikan sebagai perbandingan antara

tegangan dasar dan deformasi atau lendutan tanah akibat beban tersebut. Modulus

reaksi tanah dasar banyak digunakan untuk analisis pondasi telapak kontinyu,

pondasi rakit/kaison, dan berbagai jenis tiang pancang.

Pada kaison bekerja beberapa gaya luar seperti beban vertikal, beban

horisontal dan momen guling. Faktor-faktor penahan pada tanah pondasi yang

bekerja melawan gaya luar adalah intensitas reaksi vertikal tanah dan gaya penahan

geser dari tanah di bawah dasar kaison, intensitas reaksi mendatar tanah dari tanah

di muka kaison, gaya penahan geser mendatar dan vertikal pada arah tanah di

samping kaison. Faktor-faktor penahan ini berhubungan erat dengan bentuk dan

ukuran kaison atau sifat-sifatnya dan pergerakan tanah pondasi dan sebagainya.

Oleh karena itu bila faktor-faktor itu diambil berdasarkan perkiraan, maka

tanah pondasi dianggap seolah-olah memiliki pegas. Dengan kata lain, gambaran

kekuatannya berdasarkan anggapan bahwa tanah pondasi merupakan suatu pegas

yang memiliki momen seperti bahan yang elastis. Pegas ini dinamakan koefisien

reaksi tanah dasar (coefficient of subgrade reaction) yang dapat diperoleh dari

modulus perubahan bentuk (deformasi) tanah pondasi (Sosrodarsono dan

Nakazawa, 2000).

Gambar 2.11 Kekakuan pondasi dan harga k dari tanah pondasi

Sumber: Sosrodarsono dan Nakazawa (2000)

30

Konsep dari koefisien reaksi tanah dasar atau disebut juga soil modulus

adalah umumnya diterapkan pada studi yang berhubungan dengan tiang yang diberi

pembebanan lateral. Koefisien reaksi tanah dasar adalah suatu hubungan konsep

pengertian antara tekanan tanah dengan lendutan yang banyak sekali digunakan

dalam analisis konstruksi anggota pondasi. Dengan perantara yang disebut

koefisien reaksi tanah dasar ini, dapat dihitung besarnya reaksi dan pergeseran

tanah pondasi berdasarkan pada keseimbangan antara beban yang bekerja dan

tahanan pada tanah pondasi.

Untuk pondasi tiang pancang, perkiraan koefisien reaksi tanah dalam arah

mendatar (KH) diberikan dengan persamaan (Sosrodarsono dan Nakazawa, 2000) :

𝑘 = 𝑘0 𝑦−1/2 (2.28)

𝑘 = 0.2 𝐸0 𝐷−3/4 (2.29)

Dimana:

k0 = harga k bila pergeseran pada permukaan dibuat sebesar 1 cm (kg/cm3)

y = besarnya pergeseran yang akan dicari (cm)

E0 = modulus deformasi tanah pondasi, biasanya diperkirakan dari E0 = 28N

dengan memakai harga N dari tes SPT.

D = diameter tiang

Untuk pondasi kaison, koefisien reaksi tanah dalam arah mendatar (KH)

diberikan dengan persamaan (Sosrodarsono dan Nakazawa, 2000):

𝐾𝐻 = 0.512 𝐸0 𝐵𝐻−3/4 (kg/cm3) (2.30)

Dimana:

E0 = modulus deformasi tanah pondasi, biasanya diperkirakan dari E0 = 28N

dengan memakai harga N dari tes SPT.

BH = lebar pembebanan yang sesuai dengan pondasi (cm), yang didapat dari

BH = √𝐴𝐻 (AH adalah luas permukaan kaison)

31

2.7 Pemodelan Interaksi Tanah dengan Struktur

2.7.1 Pemodelan Tanah dan Pondasi Sebagai Elemen Solid

Konsep yang mendasari Metode Elemen Hingga (Finite Elemen

Method/FEM) adalah diskretisasi. Diskretisasi adalah pembagian suatu sistem

menjadi elemen-elemen yang lebih kecil yang akan menghasilkan suatu harga

pendekatan terhadap keadaan sesungguhnya. Jadi, bukan merupakan solusi yang

eksak (Hadipratomo dan Raharjo, 1985). Massa dibagi menjadi sejumlah elemen

yang kecil yang disebut finite elemen. Titik potong sisi-sisi elemen disebut titik

nodal dan pertemuan antara elemen-elemen disebut garis nodal atau bidang nodal.

Dalam mendiskretisasi suatu struktur yang harus ditentukan adalah jumlah, bentuk,

ukuran dan konfigurasi elemen-elemen sedemikian sehingga dapat mensimulasikan

struktur aslinya dengan setepat-tepatnya. Cara yang paling mudah adalah membagi

struktur menjadi elemen-elemen yang sama semuanya.

Dalam teori elemen hingga dikenal berbagai macam elemen struktur yaitu:

elemen frame (1D), elemen shell (2D), dan elemen solid (3D). penggunaan elemen

frame pada program SAP2000 adalah dengan pendekatan struktur rangka. Selain

elemen frame, program SAP2000 juga menyediakan jenis elemen lain yaitu elemen

shell dan elemen solid. Elemen shell yaitu elemen bidang untuk memodelkan

struktur cangkang, pelat dan membran sebagai Model IID atau 3D. sedangkan

elemen solid untuk memodelkan struktur padat tiga dimensi.

Gambar 2.12 Kemungkinan bentuk elemen shell

Sumber: Dewobroto (2013)

32

Penyusunan elemen shell ditentukan dari titik-titik nodal yang dihubungkan

jika dipakai empat nodal (j1, j2, j3 dan j4), maka jadilah elemen Quadrilateral

(segi-empat), jika tiga titik nodal (j1, j2, dan j3), maka jadilah elemen Triangular

(segi-tiga). Adanya dua bentuk elemen tadi memungkinkan dipakai pada

pemodelan struktur 2D yang saling kontinyu pada nodal.

Sumbu 3 (lokal) selalu tegak lurus terhadap elemen shell. Bila titik nodal

penghubung j1-j2-j3 dalam arah terbalik maka sumbu 3 positif akan mengarah ke

atas. Bentuk ideal elemen Quadrilateral adalah bujur sangkar, meskipun juga bisa

berbentuk sembarang segi-empat, tetapi untuk menghindari error yang berlebih

maka perbandingan sisi panjang dibagi sisi pendek < 4 dan sudutnya antara 45o –

135o. Adapun sudut yang ideal adalah 90o.

Formulasi elemen Triangular cukup baik, tetapi dalam menampilkan gaya

atau tegangan internal relatif kurang akurat dibanding elemen Quadrilateral.

Manual SAP2000 menganjurkan bahwa elemen Triangular hanya dipakai di daerah

transisi, seperti pada model yang terdiri dari dua ukuran elemen Quadrilateral,

mesh ukuran besar, ke bagian model lain dengan elemen Quadrilateral ukuran

kecil, yaitu untuk menjamin kontinuitasnya saja.

Dalam pemodelan ini, pondasi kelompok tiang dianggap sebagai kaison dan

dimodel sebagai elemen solid. Modulus elastisitas tanah Es diambil setiap 1 meter

mengikuti nilai N hasil penyelidikan tanah (Lampiran A). Batas panjang tanah yang

diperhitungkan dalam pemodelan tanah adalah sekitar 3 – 4 kali radius pondasi

untuk arah horizontal dan sekitar 2 – 3 kali radius pondasi untuk arah vertikal

(Ghosh and Wilson, 1969 dalam Manukoa, 2015).

Kondisi batas pondasi (boundary condition) dan tanah pada kedalaman

paling bawah adalah sendi, dimana tidak diijinkan terjadi penurunan dan

bertranslasi horisontal arah x dan y. Batas pondasi untuk arah x adalah sendi dimana

tanah tidak diijinkan bertranslasi horisontal arah x dan y. Demikian juga untuk batas

pondasi arah y adalah sendi sama seperti arah x. Yaitu, tidak diijinkan untuk

bertranslasi horisontal arah x dan y.

33

Gambar 2.13 Contoh pemodelan tanah dengan elemen solid

Sumber: Manukoa (2015)

2.7.2 Pemodelan Tanah dan Pondasi Sebagai Elemen Spring

Pada model ini, daya dukung tanah lateral dimodel sebagai elemen spring.

Untuk penempatan spring pada pondasi kelompok tiang, maka pondasi kelompok

tiang ini diasumsikan sebagai pondasi kaison dengan modulus elastisitas tanah di

antara tiang-tiang dalam kelompok tiang dianggap sama dengan mudulus elastisitas

tiang (Laintarawan, 2006). Pondasi kaison dimodel sebagai elemen solid sedangkan

daya dukung tanah lateral dimodel sebagai elemen spring. Pada ujung tiang

pancang, daya dukung tanah dianggap mampu menahan beban vertikal dan

horisontal pondasi sehingga boundary condition pada ujung pondasi dianggap

sebagai sendi, dimana tidak diijinkan terjdi penurunan dan bertranslasi horisontal

arah x dan y.

Pada pemodelan ini, diperlukan koefisien reksi tanah dasar dalam arah

mendatar (KH). kekakuan spring lateral k didapat dari perkalian antara KH dengan

luas tributary area bidang pondasi. Spring ini ditempatkan dalam arah x dan y pada

luasan tributary area bidang pondasi kaison di belakang arah gaya yang bekerja.

Kondisi spring yang ditempatkan dalam arah x dan y pada bidang pondasi kaison

tersebut tidak dapat menahan gaya tarik dan hanya menahan gaya tekan.

34

2.7.3 Pemodelan Restraint Jepit pada Perletakan Struktur

Sistem perletakan bangunan pada umumnya dimodelkan sebagai struktur

dengan tumpuan jepit pada tanah dasar. Struktur atas dan struktur bawah dari suatu

struktur gedung dapat dianalisis terhadap pengaruh gaya gempa rencana secara

terpisah. Taraf penjepitan lateral struktur atas dapat dianggap terjadi pada bidang

atas kepala (poer) pondasi tiang. Selanjutnya struktur bawah dapat dianggap

sebagai struktur tersendiri yang berada di dalam tanah yang dibebani oleh

kombinasi-kombinasi beban gempa yang berasal dari struktur atas, beban gempa

yang berasal dari inersia sendiri dan beban gempa yang berasal dari tanah di

sekelilingnya.