BAB II Tinjauan Pustaka (1)
description
Transcript of BAB II Tinjauan Pustaka (1)
9
2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Ikan Kakap Merah (Lutjanus sp.)
Ikan kakap adalah salah satu jenis ikan konsumsi yang mempunyai potensi
cukup besar untuk dikembangkan karena memiliki nilai ekonomis yang cukup
tinggi. Di Indonesia terdapat beberapa jenis ikan kakap, diantaranya adalah ikan
kakap merah (red snapper, Lutjanus sanguine) dan ikan kakap kehijauan gelap
yang dikenal dengan sebutan ikan kakap saja (giant seaperch atau seabass, Lates
calcarifer). Kakap merah berasal dari suku Lutjanidae, sedangkan ikan kakap dari
suku Centropomidae (Saanin 1984).
Menurut Saanin (1984), klasifikasi ikan kakap merah adalah sebagai
berikut :
kingdom : Animalia filum : Chordata sub filum : Vertebrata kelas : Pisces sub kelas : Teleostei ordo : Percomorphi sub ordo : Percoidea famili : Lutjanidae genus : Lutjanus spesies : Lutjanus sp. Ikan kakap merah mempunyai badan yang memanjang, dapat mencapai
panjang 200 cm, umumnya 25-100 cm, gepeng, batang sirip ekor lebar, mulut
lebar, sedikit serong dan gigi-gigi halus. Bagian bawah pra-penutup insang
berduri-duri kuat. Bagian atas penutup insang terdapat cuping bergerigi. Ikan
kakap merah termasuk ikan buas, makanannya ikan-ikan kecil dan crustacea.
Terdapat di perairan pantai, muara-muara sungai, teluk-teluk dan air payau.
Daerah penyebaran ikan kakap yaitu pantai utara Jawa, sepanjang pantai
Sumatera, bagian timur Kalimantan, Sulawesi Selatan, Arafuru Utara, Teluk
Benggala, pantai India dan Teluk Siam (Ditjen Perikanan 1990). Gambar ikan
kakap merah (Lutjanus sp.) disajikan pada Gambar 2.
10
Gambar 2 Ikan kakap merah (Lutjanus sp.) (Sumber: http://fishworld. trademarket.co.htm.).
Ikan kakap merah tergolong ikan demersal yang penangkapannya
menggunakan pancing, encircling net dengan rumpon, jaring insang dan trawl
(Ditjen Perikanan 1990). Komposisi kimia ikan kakap merah (Lutjanus sp.)
ditunjukkan pada Tabel 1.
Tabel 1 Komposisi kimia ikan kakap merah (Lutjanus sp.)
Komposisi Kimia Berat (%) Air Protein Lemak Karbohidrat Abu
80,3 18,2 0,4 0
1,1 Sumber: Ditjen Perikanan (1990)
Produksi ikan kakap di Indonesia pada tahun 2001 sampai dengan tahun
2005 mengalami rata-rata peningkatan sebesar 11,41%. Produksi ikan kakap
merah Indonesia tahun 2002-2005 disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2 Produksi ikan kakap merah Indonesia tahun 2001-2005
Tahun Jumlah (ton) 2001 2002 2003 2004 2005
Kenaikan rata-rata 2001-2005
63,485 66,642 74,233 91,339 97,044 11,41
Sumber : Statistik Perikanan Tangkap Indonesia (2007)
11
2.2 Limbah Filet Ikan Kakap Merah
Ikan merupakan sumber protein yang baik jika dibandingkan dengan hasil-
hasil hewani lainnya. Ikan dan hasil perikanan lainnya pada umumnya
mengandung protein yang tinggi dan jumlahnya tidak terlalu bervariasi, tetapi
kandungan lemaknya dapat bervariasi besar sekali. Komposisi kimia daging ikan
bervariasi tergantung kepada spesies, jenis kelamin, habitat, musim dan jenis
makanan (Hadiwiyoto 1993).
Ikan kakap merah merupakan salah satu ikan yang megandung protein
tinggi. Ikan kakap merah lebih banyak dimanfaatkan dalam bentuk filet dan
bagian kepala. Filet diproduksi untuk diekspor dan dijual ke supermarket atau
pasar semi modern, sedangkan kepala ikan kakap merah biasanya dijual ke rumah
makan padang yang menyediakan masakan gulai kepala kakap, atau dijual ke
pelelangan dan pasar tradisional (Haetami 2008). Volume ekspor filet ikan laut
segar atau dingin dan dibekukan berfluktuasi dari tahun 2004-2007, seperti
ditunjukkan pada Tabel 3.
Tabel 3 Volume ekspor filet ikan laut Indonesia tahun 2004-2007
Tahun Jumlah (Kg) Filet beku Filet segar
2004 33.658.152 2.301.714 2005 37.759.020 2.407.866 2006 33.220.595 3.313.445 2007 35.073.673 7.883.452
Sumber : Kementrian Kelautan Perikanan (KKP) (2009)
Proses pembuatan filet pada industri dihasilkan limbah berupa tulang,
daging sisa yang masih menempel di tulang, kepala, dan isi perut. Industri filet
juga menghasilkan limbah daging ikan hasil sortir yang tidak memenuhi standar
karena rusak, memiliki celah atau rongga diantara otot daging sehingga otot
daging ikan menjadi terpisah, kondisi tersebut dikenal dengan istilah gapping.
Berbagai limbah yang diperoleh dari industri filet ikan kakap merah
sebenarnya dapat dimanfaatkan sehingga memiliki nilai tambah produk.
Pemanfaatan daging ikan kakap dari limbah filet biasanya digunakan oleh para
pengusaha industri rumah tangga sebagai bahan baku untuk nugget, baso, otak-
otak, pempek, dan siomay. Pemanfaatan daging limbah industri filet ikan kakap
12
merah dapat ditingkatkan melalui berbagai upaya, salah satunya adalah dijadikan
sebagai bahan baku dalam pembuatan surimi yang selanjutnya dapat digunakan
sebagai edible coating ataupun produk olahan lainnya.
2.3 Protein Ikan
Protein ikan bersifat tidak stabil dan mempunyai sifat dapat berubah
(denaturasi) dengan berubahnya kondisi lingkungan. Larutan protein tersebut
apabila diasamkan hingga mencapai pH 4,5-5 akan terjadi pengendapan.
Sebaliknya apabila dipanaskan (pemasakan, penggorengan) proteinnya akan
menggumpal (koagulasi). Protein juga dapat mengalami denaturasi apabila
dilakukan pengurangan air, baik selama pengeringan maupun pembekuan (Zaitsev
et al. 1969).
Protein ikan secara umum dapat digolongkan berdasarkan kelarutannya
dalam air, lokasi terdapatnya, dan fungsinya. Berdasarkan kelarutannya dalam
air, protein ikan dapat digolongkan menjadi tiga bagian, yaitu protein mudah larut
dalam air, protein yang tidak larut dalam air dan protein yang sukar larut dalam air
setelah diberi garam dalam konsentrasi tertentu (Hadiwiyoto 1993).
Berdasarkan lokasi terdapatnya dalam daging ikan, Protein ikan dapat
diklasifikasikan menjadi protein miofibril, protein sarkoplasma, dan protein
stroma (protein jaringan ikat) dengan komposisi kandungan miofibril 65-75%,
sarkoplasma 20-30%, dan stroma 1-3% (Suzuki 1981).
2.3.1 Protein miofibril
Protein miofibril merupakan bagian yang terbesar dan merupakan jenis
protein yang larut dalam larutan garam. Protein ini terdiri dari miosin, aktin, dan
protein regulasi yang merupakan gabungan antara aktin dan miosin yang
membentuk aktomiosin. Golongan protein yang menyusun miofibril pada otot
daging merupakan 50% lebih dari seluruh protein daging ikan (Zaitsev et al.
1969). Protein miofibril sangat berperan dalam pembentukan gel dan proses
koagulasi, terutama dari fraksi aktomiosin (Suzuki 1981).
Protein miofibril berfungsi untuk kontraksi otot. Protein ini dapat diekstrak
dengan larutan garam netral yang berkekuatan ion sedang (> 0,5 M). Penampakan
protein miofibril ikan mirip dengan otot hewan mamalia, tetapi lebih mudah
13
kehilangan aktivitas ATP-asenya dan laju agregasinya lebih cepat. Protein yang
larut dalam larutan garam umumnya efisien sebagai pengemulsi dibandingkan
dengan protein yang larut dalam air (Wilson et al. 1981).
Aktin dan miosin merupakan anggota utama yang termasuk ke dalam
golongan protein yang larut dalam larutan garam dengan konsentrasi 0,05 – 0,5%.
Jumlah aktin dalam daging ikan kurang lebih 15-25%, miosin kurang lebih
50-60%, dan tropomiosin kira-kira 3-5% dari seluruh protein golongan ini. Aktin
dan miosin merupakan protein yang labil sifatnya dan dapat membentuk
aktomiosin yang lebih kompleks.
Miosin merupakan komponen protein miofibril terbesar di dalam daging
ikan, yaitu sekitar 80% dari total protein miofibril (Shahidi dan Botta 1994).
Menurut Chen (1995), miosin merupakan protein terpenting pada gelasi daging
selama pemanasan dimana sisi aktifnya mengembang dan tidak menggulung
setelah “setting”. Miosin juga merupakan protein yang paling penting dari semua
protein otot, selain karena jumlahnya yang besar, miosin juga mempunyai sifat
biologi khusus yaitu adanya aktivitas enzim ATP-ase dan kemampuannya pada
beberapa kondisi dapat bergabung dengan aktin membentuk kompleks
aktomiosin.
2.3.2 Protein sarkoplasma
Protein sarkoplasma sebagai protein terbesar kedua mengandung
bermacam-macam protein yang larut dalam air yang disebut miogen. Kandungan
sarkoplasma dalam daging ikan bervariasi, selain tergantung jenis ikannya juga
tergantung habitat ikan tersebut. Ikan pelagis pada umumnya mempunyai
kandungan sarkoplasma lebih besar daripada ikan demersal (Suzuki 1981).
Jumlah protein ini tidak banyak, kira-kira 20-25% dari kandungan protein ikan
(Lanier 2000). Protein sarkoplasma tidak berperan dalam pembentukan gel dan
kemungkinan akan merusaknya, sebagai contoh misalnya beberapa protease yang
merusak miofibril (Hall dan Ahmad 1992). Protein sarkoplasma dapat dikurangi
atau bahkan dihilangkan dengan cara mengekstrak daging ikan dengan
menggunakan air dingin. Pencucian dengan menggunakan suhu dingin ini
14
bertujuan untuk mempertahankan protein khususnya protein miofibril agar tidak
mengalami kerusakan seperti denaturasi (Santoso et al. 1997).
2.3.3 Protein stroma
Protein stroma merupakan bagian terkecil yang membentuk jaringan ikat
dan tidak dapat diekstrak dengan air, larut asam, larut alkali atau larutan garam
pada konsentrasi 0,01-0,1 M. Protein stroma ini terdiri dari kolagen dan elastin
dan merupakan protein yang terdapat pada bagian luar sel otot. Daging merah
ikan pada umumnya mengandung lebih banyak protein stroma tapi lebih sedikit
mengandung protein sarkoplasma jika dibandingkan dengan daging putih ikan.
Daging merah ini terdapat di sepanjang tubuh bagian samping di bawah kulit,
sedangkan daging putih terdapat pada hampir seluruh bagian tubuh (Suzuki 1981).
Protein ini disusun dari kolagen dan elastin dengan jumlah sekitar 3% dari
total protein otot ikan teleostei dan sekitar 10% dalam ikan elasmobranchii,
sedangkan pada mamalia sekitar 17%. Protein stroma ini tidak dapat diekstrak
oleh larutan asam, alkali atau garam berkekuatan ion tinggi. Selain protein
stroma, protein kontraktil seperti konektin dan desmin juga tidak dapat terekstrak
(Hultin 1985). Protein stroma dalam pengolahan surimi tidak dihilangkan karena
mudah dilarutkan oleh panas (kolagen) dan merupakan komponen netral pada
produk akhir (Hall dan Ahmad 1992).
2.4 Surimi
Surimi dapat didefinisikan sebagai bentuk cincang dari daging ikan yang
telah mengalami proses penghilangan tulang (deboning), pencucian dan
penghilangan sebagian air (dewatering) sehingga dikenal sebagai protein
konsentrat basah (wet concentrate protein) dari daging ikan (Okada 1992).
Surimi merupakan protein miofibril yang telah distabilkan dan dicampur dengan
cryoprotectant bila disimpan dalam keadaan beku (Park dan Lin 2005). Surimi
digunakan sebagai bahan dasar pengolahan produk tradisional Jepang
“kamabako”. Saat ini surimi dikenal sebagai daging lumat yang telah mengalami
proses pencucian. Salah satu keunggulan surimi adalah kemampuannya untuk
diolah menjadi berbagai macam produk lanjutan.
15
2.4.1 Mutu surimi
Surimi dengan mutu yang paling bagus adalah surimi dengan derajat putih
yang paling tinggi, paling bersih dan kekuatan gelnya paling tinggi (Mitchell
1986). Martin et al. (1982) menambahkan bahwa kriteria penting yang dapat
menentukan kualitas surimi adalah kekuatan gel yang dapat dibentuk oleh surimi
tersebut. Komponen yang berperan dalam pembentukan gel adalah protein
miofibril yang dapat diekstrak dengan larutan garam netral.
Mutu surimi beku umumnya dinilai dari kekuatan gelnya dan warna yang
sangat tergantung dari faktor-faktor seperti spesies ikan, kesegaran ikan, metode
dan pengawasan pengolahan, kadar air, pengawasan suhu pembekuan dan
penyimpanan serta kondisi penanganan dan distribusi. Penentuan mutunya
dilakukan dengan mengukur kekuatan gel dan penilaian organoleptik, uji lipat dan
uji gigit (Tan et al. 1987).
Persyaratan bahan baku surimi menurut Badan Standardisasi Nasional
(BSN) (2006) yaitu bahan baku surimi beku berasal dari ikan demersal dan ikan
pelagis segar yang sudah atau belum disiangi serta berasal dari perairan yang tidak
tercemar. Mutu bahan baku surimi adalah sebagai berikut :
1. Bahan baku harus bersih, bebas dari setiap bau yang menandakan
pembusukan, bebas dari tanda dekomposisi dan pemalsuan, bebas dari sifat-
sifat alamiah lain yang dapat menurunkan mutu serta tidak membahayakan
kesehatan.
2. Secara organoleptik bahan baku harus mempunyai karakteristik kesegaran
seperti berikut :
- Kenampakan : mata cerah, cemerlang
- Bau : segar
- Tekstur : elastis, padat dan kompak.
16
Tabel 4 Syarat mutu dan keamanan pangan surimi beku
Jenis uji Satuan Persyaratan a Organoleptik angka (1-10) minimal 7 b Cemaran mikroba: - ALT koloni/gram - Escherichia coli APM/g maksimal 5,0x105 - Salmonella APM/g negatif - Vibrio cholera APM/g negatif - Vibrio parahaemolyticus* APM/g maksimal<3 (kanagawa positif) c Cemaran kimia - Raksa (Hg)* mg/kg maksimal 1 - Timbal (Pb)* mg/kg maksimal 0,4
- Histamin* mg/kg maksimal 100
- Cadmium (Cd)* mg/kg maksimal 0,1
d Kadar air % 80-82 e Fisika: - Suhu pusat oC maksimal -18 f Filth potong 80-82
Catatan* Bila diperlukan APM = Angka paling memungkinkan Sumber : Badan Standarisasi Nasional (2006).
Kriteria yang paling penting dalam menentukan mutu surimi adalah
elastisitas produk yang dihasilkan karena hasil pembentukan gel ikan. Faktor-
faktor yang berpengaruh terhadap elastisitas produk surimi diantaranya jenis ikan,
kesegaran ikan, pH, kadar air, pencucian, suhu dan waktu pemasakan dan jumlah
zat penambah, seperti garam, gula, polipospat, monosodium glutamat, pati dan
putih telur. Perlakuan pencincangan dan penggilingan juga menentukan tekstur
(Heruwati et al. 1995).
2.4.2 Pembentukan gel surimi
Pembentukan gel protein daging terjadi dalam dua tahap. Tahap pertama
adalah denaturasi protein (tidak menggulungnya rantai protein) dan tahap kedua
adalah terjadinya agregasi protein membentuk struktur tiga dimensi (Niwa 1992).
Mackie (1992) menyimpulkan bahwa ada dua hal yang diperlukan untuk
menghasilkan produk gel, yaitu: (1) protein miofibril harus dilarutkan dalam
larutan garam, dan (2) pemanasan untuk membentuk gel, protein harus
terdenaturasi sehingga membentuk struktur jala yang teratur dan mampu menahan
17
air yang terdapat dalam surimi. Menurut Venugopal et al. (1994) selain garam,
asam lemah (asam asetat dan asam laktat) juga dapat menyebabkan denaturasi
protein yang memudahkan proses pembentukan gel yang ditunjukkan dengan
meningkatnya viskositas. Akan tetapi, yang terjadi adalah sebaliknya jika yang
ditambahkan adalah asam kuat seperti HCl, asam sitrat dan asam tartrat.
Penambahan garam dalam pembuatan surimi dapat memperbaiki sifat gel,
dan kekuatan gel optimum tercapai pada konsentrasi garam 2-3%. Konsentrasi
garam minimum yang ditambahkan untuk mengekstrak protein miofibril dan
jaringan ikan adalah ±2% dari berat daging pada pH 7. Konsentrasi garam yang
digunakan menjadi lebih besar jika pH diturunkan (Suzuki 1981).
Pembentukan gel ikan terjadi pada saat penggilingan daging mentah
dengan penambahan garam. Aktomiosin (miosin dan aktin) sebagai komponen
yang paling penting dalam pembentukan gel akan larut dalam larutan garam,
membentuk sol (dispersi partikel padat dalam medium cair) yang sangat adhesif.
Bila sol dipanaskan akan terbentuk gel dengan konstruksi seperti jala dan
memberikan sifat elastis pada daging ikan. Sifat elastis ini disebut ashi atau
suwari. Kekuatan ashi merupakan nilai mutu dari produk gel ikan misalnya
kamaboko yang kekuatannya berbeda-beda menurut jenis dan kesegaran ikan
(Tanikawa 1985).
Menurut Lee (1984), gel suwari terbentuk tidak hanya melalui hidrasi
molekul protein saja, tetapi juga pembentukan struktur jaringan oleh ikatan
hidrogen, ikatan hidrofobik dan molekul protein miofibril. Setting pada suhu
rendah akan membentuk ikatan hidrogen dalam gel, sedangkan ikatan hidrofobik
akan mendominasi gel yang dibentuk dengan setting pada suhu tinggi.
Konstruksi jala dapat terbentuk dan konjugasi molekul-molekul protein
yang diikat oleh suatu jembatan seperti garam, atau ikatan antara karbonil dengan
radikal amino pada peptida oleh hidrogen atau oleh radikal disulfida yang
terbentuk dan radikal sulfhidril. Pasta daging ikan apabila dibiarkan pada suhu
kamar dalam waktu lama, maka sifat elastis akan hilang dan daging menjadi
mudah patah, fenomena ini dikenal dengan modori. Fenomena modori ini juga
dapat terjadi apabila daging dipanaskan pada suhu rendah dalam jangka waktu
yang lama (Tanikawa 1985). Fenomena modori terjadi pada suhu sekitar 60 oC,
18
karena pada suhu tersebut protease akan lebih aktif terhadap aktomiosin yang
menyebabkan lemahnya gel yang dihasilkan (Haard et al. 1994). Fenomena
perubahan elastisitas dapat dijelaskan dengan dispersi molekul-molekul protein
(Tanikawa 1985).
2.4.3 Cryoprotectant
Cryoprotectant adalah bahan yang biasa ditambahkan dalam pembuatan
surimi yang tidak langsung diolah menjadi produk lanjutan, melainkan akan
disimpan terlebih dahulu pada suhu beku dalam waktu yang lama. Fungsi
cryoprotectant adalah untuk menghambat proses denaturasi protein selama
pembekuan dan penyimpanan beku.
Penambahan zat ini penting untuk menjamin sifat fungsional surimi beku
mengingat pembekuan dapat berpengaruh menyebabkan denaturasi dan agregasi.
Jumlah yang ditambahkan sekitar 3-5%. Bahan yang sering digunakan sebagai
cryoprotectant adalah dari golongan karbohidrat dengan bobot molekul rendah
seperti sukrosa. Sorbitol juga umum digunakan dan merupakan cryoprotectant
terkuat. Penambahan sukrosa tanpa sorbitol akan mengakibatkan surimi menjadi
manis dan warnanya berubah selama pembekuan (Park dan Morrissey 2000).
Cryoprotectant juga dapat meningkatkan kekuatan gel. Sering pula ke
dalam surimi ditambahkan bahan lain dengan maksud untuk memperbaiki sifat
surimi terutama sifat elastisitas dan kelembutannya, seperti dengan penambahan
0,2-0,3% polifosfat dalam bentuk garam natrium tripolifosfat atau campurannya
dengan tetrasodium pyrofosfat (1:1) yang akan bersifat sinergis dengan
karbohidrat (Peranginangin et al. 1999).
2.5 Edible Coating
Edible coating adalah lapisan tipis bahan yang dibentuk secara langsung
dengan mencelupkan (dipping), penyemprotan (spraying), atau panning ke
permukaan dari produk makanan dengan maksud untuk melindungi serta
meningkatkan nilai tambah produk (Krochta 2002). Fungsi edible coating adalah
untuk melindungi produk dari kerusakan mekanis, fisik, kimia, dan aktivitas
mikrobiologi. Edible coating menghasilkan suatu kondisi atmosfir termodifikasi
pasif, yang dapat mempengaruhi berbagai perubahan pada produk segar dan bahan
19
pangan terolah minimal dalam beberapa hal seperti sifat antioksidan, warna
firmness, kualitas sensori, menghambat pertumbuhan mikroba, komponen volatil
yang dihasilkam dari proses anaerobik (Falguera et al. 2011).
Penelitian yang telah dilakukan oleh Riyanto (2006) menunjukkan bahwa
dengan pemberian coating dengan isinglass pada produk udang masak mampu
mencegah perubahan kimia akibat oksidasi, sehingga mampu mempertahankan
perubahan warna produk. Pelapis edible dari isinglass juga mampu melindungi
udang masak dari kontaminasi mikroba. Hasil yang sama juga diperoleh pada
proses coating yang telah diteliti oleh Ismudiyati (2003) pada filet ikan patin
menggunakan coating kappa karagenan semi refine dapat menghambat
pertumbuhan mikroba hingga hari ke-10 pada produk yang diberi coating terdapat
bakteri sebanyak 1,5 x 106 koloni/g, sedangkan pada produk tanpa coating
terdapat bakteri sebanyak 2 x 107 koloni/g. Hasil penelitian Julikartika (2003)
melaporkan bahwa udang kupas rebus yang dilapisi edible coating dari natrium
alginat mampu menghambat susut bobot sebesar 36%. Selanjutnya, Mastromatteo
et al. (2010) menemukan bahwa coating aktif dari minyak thymol pada udang
peeled ready to use efektif mengurangi kerusakan kualitas sensori selama
penyimpanan refrigerasi dan dapat menghambat pertumbuhan mikroba terutama
pada awal penyimpanan.
Edible film dan coating dalam perkembangannya telah lama digunakan
sebagai pelindung produk pangan. Contohnya adalah aplikasi gula dan coklat
sebagai coating pada permen, coating lilin pada buah-buahan, lemak cair atau
minyak juga sering kali digunakan sebagai coating pada produk pangan. Edible
film juga sangat menarik dan seringkali digunakan sebagai parameter terhadap
kualitas dan stabilitas beberapa produk pangan (Gontard dan Guilbert 1994).
Menurut Donhowe dan Fennema (1994), terdapat beberapa metode dalam
pembuatan edible film dan coating, yaitu :
1. Pencelupan (dipping)
Metode ini merupakan metode aplikasi dari coating, produk yang akan
dilapisi dicelupkan dalam larutan yang akan digunakan sebagai bahan
coating. Metode ini sudah diaplikasikan sebagai pengemas atau pelapis pada
produk daging, ikan, produk ternak, sayur, dan buah-buahan.
20
2. Penyemprotan (spraying)
Pada metode ini, larutan bahan yang akan digunakan sebagai coating
disemprot, kemudian dikeringkan sehingga lapisan dapat menempel pada
produk dengan baik.
3. Pembungkusan (casting)
Pembungkusan atau casting, merupakan metode yang digunakan dalam
pembuatan edible film. Metode ini diawali dengan pembuatan larutan bahan
pembentuk film, kemudian dituangkan dalam cetakan dengan ketebalan
tertentu, dilanjutkan dengan pengeringan. Film yang telah kering diangkat
dari cetakan dan siap untuk diaplikasikan. Ketebalan film dapat dikontrol
sehingga dihasilkan film dengan ketebalan yang lebih rata.
2.7 Udang dan Komponen Udang
Udang termasuk ke dalam kelompok krustasea. Bagian tubuh udang terdiri
dari dua bagian yaitu gabungan antara kepala,dengan dada (chepalothorax) dan
perut (abdomen). Udang mempunyai kerangka luar yang keras, sehingga untuk
tumbuh menjadi besar udang perlu membuang kulit lama, dan menggantinya
dengan kulit baru. Peristiwa dikenal sebagai pergantian kulit (moulting). Struktur
anatomi udang disajikan pada Gambar 3.
Gambar 3 Struktur anatomi udang (Sumber: http://www.cixer.co.cc).
21
Udang vannamei merupakan organisme akuatik asli pantai Meksiko,
Amerika Tengah, dan Amerika Selatan. Udang vannamei memiliki nama umum
pacific white shrimp, camaron blanco, dan longostino. Udang vannamei juga
mempunyai nama FAO yaitu whiteleg shrimp, crevette pattes blanches, dan
camaron patiblanco. Komposisi kimia udang tergantung kepada spesies, umur,
jenis kelamin dan musim penangkapan serta ketersediaan pakan di air, habitat dan
kondisi lingkungan. Kandungan protein dan mineral daging udang relatif konstan,
tetapi kadar air dan kadar lemak berfluktuasi. Kandungan lemak pada daging
semakin besar, maka kandungan air akan semakin kecil dan begitu juga
sebaliknya (Simson et al. 1998). Komposisi kimia udang vannamei (Litopenaeus
vannamei) disajikan pada Tabel 5.
Tabel 5 Komposisi kimia udang vannamei (Litopenaeus vannamei) segar
Komposisi % Berat Basah Kadar air 77,21±0,18 Abu 1,47±0,10 Protein 18,8±0,23 Lemak 1,30±0,09
Sumber: Sriket et al. (2007)
Udang segar memiliki ciri-ciri rupa dan warna bening, spesifik jenis,
cemerlang, sambungan antar ruas kokoh, kulit melekat kuat pada daging. Bau
segar spesifik menurut jenisnya, jika diamati bentuk dagingnya kompak, elastis,
dan rasanya manis. Pembentukan rasa dalam produk hasil perikanan merupakan
peranan dari asam amino-asam amino yang dikandungnya. Asam amino-asam
amino yang berperan pada umumnya adalah asam glutamat, glisin, alanin, arginin,
metionin, valin, dan prolin (Yamaguchi dan Watanabe 1988). Glisin dan alanin
berperan pada munculnya rasa manis, prolin pada rasa manis dan pahit, selain itu
lisin dan alanin memiliki efek sinergis pada campuran senyawa yang mengandung
asam glutamat (Kato et al. 1989). Hidrolisis trypsin dan chymotrypsin pada
udang segar dan beku keduanya menghasilkan hidrolisat dengan kandungan asam
amino yang tinggi, alanin, prolin, glisin, dan arginin, yang penting dalam flavor
krustasea. (Simson et al. 1998). Komposisi asam amino udang segar disajikan
pada Tabel 6.
22
Tabel 6 Komposisi asam amino udang vannamei (Litopenaeus vannamei)
Asam amino mg/100 g daging Asam aspartat+aspargin 1704 Hidroksiprolin 215 Treonin 1129 Serin 1027 Asam glutamat+glutamin 1504 Prolin 3862 Glisin 871 Alanin 1601 Sistein 547 Valin 1078 Metionin 1298 Isoleusin 2411 Leusin 3153 Tirosin 1967 Penilalanin 1967 Lisin 630 Histidin 666 Arginin 3494 Sumber: Sriket et al. (2007)
Udang termasuk komoditas yang cepat rusak dan bahkan lebih cepat
dibandingkan dengan komoditas daging hewan lainnya. Kecepatan pembusukan
udang setelah ditangkap atau dipanen sangat dipengaruhi oleh teknik penangkapan
dan pemanenan, kondisi biologis udang, dan teknik penanganannya. Sehingga
setelah udang ditangkap atau dipanen harus segera dilakukan pendinginan atau
pembekuan.
Bentuk-bentuk olahan udang yang akan dibekukan tergantung dari jenis
udang, mutu bahan baku, dan pesanan dari pihak konsumen. Menurut
Purwaningsih (1995), bentuk olahan dari udang beku adalah sebagai berikut:
1. Head On yaitu produk udang beku yang utuh lengkap dengan kepala, badan,
kulit, dan ekor.
2. Headless (HL) yaitu produk udang beku yang diproses dalam bentuk kepala
sudah dipotong, tetapi masih memiliki kulit, kaki, dan ekor.
3. Peeled yaitu produk udang beku tanpa kepala, kulit, dan tanpa atau dengan
ekor. Peeled terdiri dari:
23
a. Peeled tail on (PTO) yaitu produk udang beku tanpa kepala dan kulit
dikupas mulai dari ruas pertama sampai ruas kelima, sedangkan ruas
terakhir dan ekor disisakan.
b. Peeled deveined tail on (PDTO) yaitu produk udang kupas (hampir sama
dengan PTO), tetapi pada bagian punggung udang diambil vein (kotoran
perutnya).
c. Peeled and deveined (PD) yaitu produk udang yang dikupas seluruh kulit
serta ekornya dan bagian punggungnya dibelah untuk mengambil kotoran
perut.
d. Peeled undeveined (PUD) yaitu produk udang beku yang dikupas seluruh
kulit dan ekor seperti pada produk PD, tetapi tanpa mengambil kotoran
ekor.
e. Butterfly yaitu produk udang beku hampir sama dengan produk PDTO
dimana kulit udang dikupas mulai dari ruas pertama sampai ruas kelima,
sedangkan ruas terakhir dan ekor disisakan. Kemudian bagian punggung
dibelah sampai pada bagian perut bawahnya, tetapi tidak sampai putus dan
kotoran perutnya dibuang.
4. Value Added Product (VAP) yaitu produk udang beku yang mendapat
perlakuan tambahan. Udang yang diproduksi sebagai produk VAP adalah
udang ukuran 21 dan 31. Produk VAP ada 2 jenis, yaitu:
a. VAP belly cut (BC) yaitu produk udang beku yang dikupas dan disisakan
satu ruas di dekat ekor kemudian dipijit dan diluruskan.
b. VAP non belly cut (NBC) yaitu produk udang beku yang dikupas, tetapi
tidak dipijit dan diluruskan, hanya dibuang ususnya.
Bahan pigmen utama udang adalah astaxanthin, satu dari pigmen utama
karotenoid. Memberikan warna merah-orange pada jaringan (Yamaguchi 1994
dalam Yanar et al. 2004). Kandungan karotenoid pada udang berbeda-beda,
tergantung habitat, pakan, dan musim. Kandungan karotenoid pada udang spesifik
pada setiap spesies dan sangat bervariasi dengan daerah geografis walaupun pada
spesies yang sama (Yanar et al. 2004). Astaxanthin disusun oleh tiga stereoisomer
dalam suatu campuran rasemik membentuk kompleks dengan protein yang
terakumulasi dalam eksoskeleton krustasea (Schiedt et al. 1993) Kompleks ini
24
dapat berwarna hijau, atau biru dalam hewan hidup, menjadi berwarna merah jika
dipanaskan (Britton 1996).
2.8 Udang Rebus (Cooked Shrimp)
Udang sebagai produk perikanan yang mudah mengalami kerusakan,
biasanya memiliki nilai komersial yang lebih tinggi jika dijual dalam bentuk
udang masak. Udang masak merupakan produk udang yang telah mengalami
proses pemasakan baik melalui perebusan maupun pengukusan. Industri
pengolahan udang masak pada umumnya dilakukan pada skala besar dalam wadah
dengan kuantitas air yang banyak. Ketika udang dimasukkan ke dalam wadah,
suhu air akan menurun kemudian akan meningkat kembali sampai suhu 100 oC.
Udang selanjutnya direbus dalam air mendidih sesuai dengan waktu yang telah
ditentukan untuk memastikan aman dari bakteri dan diperoleh kualitas daging
yang optimum (Alvarez et al. 2009).
Udang rebus seperti produk perikanan lainnya, selama proses penanganan,
pengolahan, dan penyimpanan akan mengalami kemunduran mutu. Kemunduran
mutu ini terjadi karena adanya proses dekomposisi dalam produk. Menurut Food
and Drug Administration (FDA) (1998), dekomposisi adalah suatu penguraian
oleh bakteri atau akibat perubahan kimia enzimatis pada jaringan produk.
Perubahan ini selanjutnya diperlihatkan dengan timbulnya penyimpangan pada
kenampakan, warna, rasa, tekstur, dan penyimpangan yang lainnya pada produk.
Udang umumnya mengandung lemak sebesar 1,2%, dimana komponen
utama yang paling banyak adalah phospholipid. Adanya cahaya dan oksigen akan
menyebabkan asam lemak menjadi teroksidasi. Oksidasi lemak tersebut
selanjutnya akan menghasilkan bau seiring dengan semakin lamanya proses
penyimpanan produk (Johnston et al. 1983). Oksidasi lemak cenderung terjadi
pada saat penyimpanan beku dibandingkan dengan penyimpanan dingin, dan
dapat berkaitan dengan enzim maupun non enzim. Enzim-enzim seperti
lipoksigenase, peroksidase, dan enzim-enzim mikrosomal dari jaringan otot
hewan kemungkinan besar dapat memulai peroksidasi lemak yang menghasilkan
hidroperoksida. Terpisahnya hidroperoksida menjadi aldehid, keton, dan alkohol
menyebabkan terjadinya perubahan rasa (Departemen Kelautan dan Perikanan
2008).
25
Proses pemasakan pada udang menyebabkan terjadinya denaturasi protein
miofibril dan penyusutan kolagen, sehingga akhirnya mengakibatkan
mengerasnya daging udang (Erdogdu et al. 2004). Perubahan tersebut akhirnya
akan menyebabkan keluarnya cairan yang mengandung protein yang dikenal
dengan istilah drip selama pemasakan yang mengakibatkan timbulnya
kekosongan antar serabut otot udang. Dengan demikian faktor tersebut akan
mempengaruhi terhadap keseluruhan volume dan kepadatan setelah pemasakan
udang.
2.9 Secang (Caesalpinia sappan Linn)
Secang (Caesalpinia sappan Linn.) merupakan salah satu jenis tanaman
sumber tanin berupa tanaman perdu yang memanjat atau berupa pohon kecil dan
duri banyak, yang tingginya dapat mencapai 5-10 meter. Tanaman ini biasanya
tumbuh baik di daerah pegunungan yang tidak terlalu dingin (Heyne 1987). Kayu
secang ditanam sebagai tanaman pagar dan dapat tumbuh pada berbagai macam
tanah pada ketinggian 1000 meter di atas permukaan laut. Tanaman ini
diperbanyak dengan biji dan tersebar di India, Malaysia, dan Indonesia
(Departemen Kesehatan 1998). Tanaman secang (Caesalpinia sappan Linn.)
disajikan pada Gambar 4.
Gambar 4 Secang (Caesalpinia sappan Linn.) Sumber : http://www.iptek.net.id/ind/pd_tanobat/view.php.
Kayu secang menghasilkan pigmen, tanin, brazilin dan asam galat
(Lemmens 1992). Secang dapat dimanfaatkan sebagai sumber zat warna alami
karena mengandung brazilein yang berwarna merah dan bersifat larut dalam air
panas (Sanusi 1993). Selain sebagai pewarna, brazilin kayu secang mempunyai
aktivitas sebagai antioksidan dan antibakteri. Menurut Weningtyas (2009),
aktivitas antioksidan tertinggi pada ekstrak secang yaitu pada konsentrasi
26
2,5 mg/ml. Menurut Lim et al. (2007), ekstrak secang mengandung komponen
antimikroba dengan jenis 5-hydroxi-1,4-naptakuinon. Menurut Kristie (2008),
konsentrasi secang sebesar 37,5 mg/ml memiliki aktivitas antimikroba yang
paling kuat.
Nama senyawa yang mampu diisolasi dari kayu secang (Caesalpinia sappan
Linn.) adalah brazilin (C16H14O5) (Sanusi 1989). Brazilin termasuk ke dalam
golongan flavonoid sebagai isoflavonoid (Oliveira et al. 2002). Brazilin
merupakan kristal berwarna kuning, akan cepat membentuk warna merah jika
terkena sinar matahari, dan jika teroksidasi akan menghasilkan senyawa brazilein
(C16H12O5) yang berwarna merah kecoklatan dan dapat larut dalam air (Kim et al.
1997). Titik leleh dari senyawa brazilein adalah 150 oC, dan suhu penguraiannya
lebih besar dari 130 oC (Goodwin 1976).
Stabilitas pigmen brazilein dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain
kondisi pH, suhu, pemanasan, sinar ultraviolet, oksidator dan reduktor, serta
metal. Kondisi keasaman atau pH larutan sangat mempengaruhi stabilitas warna
pigmen brazilein. Pada pH 2-5 pigmen brazilein berwarna kuning, pada pH 6-7
berwarna merah, dan pada pH 8 ke atas berwarna merah keunguan (Adawiyah dan
Indriati 2003).