BAB II Tinjauan Pustaka (1)

18
2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ikan Kakap Merah (Lutjanus sp.) Ikan kakap adalah salah satu jenis ikan konsumsi yang mempunyai potensi cukup besar untuk dikembangkan karena memiliki nilai ekonomis yang cukup tinggi. Di Indonesia terdapat beberapa jenis ikan kakap, diantaranya adalah ikan kakap merah (red snapper, Lutjanus sanguine) dan ikan kakap kehijauan gelap yang dikenal dengan sebutan ikan kakap saja (giant seaperch atau seabass, Lates calcarifer). Kakap merah berasal dari suku Lutjanidae, sedangkan ikan kakap dari suku Centropomidae (Saanin 1984). Menurut Saanin (1984), klasifikasi ikan kakap merah adalah sebagai berikut : kingdom : Animalia filum : Chordata sub filum : Vertebrata kelas : Pisces sub kelas : Teleostei ordo : Percomorphi sub ordo : Percoidea famili : Lutjanidae genus : Lutjanus spesies : Lutjanus sp. Ikan kakap merah mempunyai badan yang memanjang, dapat mencapai panjang 200 cm, umumnya 25-100 cm, gepeng, batang sirip ekor lebar, mulut lebar, sedikit serong dan gigi-gigi halus. Bagian bawah pra-penutup insang berduri-duri kuat. Bagian atas penutup insang terdapat cuping bergerigi. Ikan kakap merah termasuk ikan buas, makanannya ikan-ikan kecil dan crustacea. Terdapat di perairan pantai, muara-muara sungai, teluk-teluk dan air payau. Daerah penyebaran ikan kakap yaitu pantai utara Jawa, sepanjang pantai Sumatera, bagian timur Kalimantan, Sulawesi Selatan, Arafuru Utara, Teluk Benggala, pantai India dan Teluk Siam (Ditjen Perikanan 1990). Gambar ikan kakap merah (Lutjanus sp.) disajikan pada Gambar 2.

Transcript of BAB II Tinjauan Pustaka (1)

Page 1: BAB II Tinjauan Pustaka (1)

9

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Ikan Kakap Merah (Lutjanus sp.)

Ikan kakap adalah salah satu jenis ikan konsumsi yang mempunyai potensi

cukup besar untuk dikembangkan karena memiliki nilai ekonomis yang cukup

tinggi. Di Indonesia terdapat beberapa jenis ikan kakap, diantaranya adalah ikan

kakap merah (red snapper, Lutjanus sanguine) dan ikan kakap kehijauan gelap

yang dikenal dengan sebutan ikan kakap saja (giant seaperch atau seabass, Lates

calcarifer). Kakap merah berasal dari suku Lutjanidae, sedangkan ikan kakap dari

suku Centropomidae (Saanin 1984).

Menurut Saanin (1984), klasifikasi ikan kakap merah adalah sebagai

berikut :

kingdom : Animalia filum : Chordata sub filum : Vertebrata kelas : Pisces sub kelas : Teleostei ordo : Percomorphi sub ordo : Percoidea famili : Lutjanidae genus : Lutjanus spesies : Lutjanus sp. Ikan kakap merah mempunyai badan yang memanjang, dapat mencapai

panjang 200 cm, umumnya 25-100 cm, gepeng, batang sirip ekor lebar, mulut

lebar, sedikit serong dan gigi-gigi halus. Bagian bawah pra-penutup insang

berduri-duri kuat. Bagian atas penutup insang terdapat cuping bergerigi. Ikan

kakap merah termasuk ikan buas, makanannya ikan-ikan kecil dan crustacea.

Terdapat di perairan pantai, muara-muara sungai, teluk-teluk dan air payau.

Daerah penyebaran ikan kakap yaitu pantai utara Jawa, sepanjang pantai

Sumatera, bagian timur Kalimantan, Sulawesi Selatan, Arafuru Utara, Teluk

Benggala, pantai India dan Teluk Siam (Ditjen Perikanan 1990). Gambar ikan

kakap merah (Lutjanus sp.) disajikan pada Gambar 2.

Page 2: BAB II Tinjauan Pustaka (1)

10

Gambar 2 Ikan kakap merah (Lutjanus sp.) (Sumber: http://fishworld. trademarket.co.htm.).

Ikan kakap merah tergolong ikan demersal yang penangkapannya

menggunakan pancing, encircling net dengan rumpon, jaring insang dan trawl

(Ditjen Perikanan 1990). Komposisi kimia ikan kakap merah (Lutjanus sp.)

ditunjukkan pada Tabel 1.

Tabel 1 Komposisi kimia ikan kakap merah (Lutjanus sp.)

Komposisi Kimia Berat (%) Air Protein Lemak Karbohidrat Abu

80,3 18,2 0,4 0

1,1 Sumber: Ditjen Perikanan (1990)

Produksi ikan kakap di Indonesia pada tahun 2001 sampai dengan tahun

2005 mengalami rata-rata peningkatan sebesar 11,41%. Produksi ikan kakap

merah Indonesia tahun 2002-2005 disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2 Produksi ikan kakap merah Indonesia tahun 2001-2005

Tahun Jumlah (ton) 2001 2002 2003 2004 2005

Kenaikan rata-rata 2001-2005

63,485 66,642 74,233 91,339 97,044 11,41

Sumber : Statistik Perikanan Tangkap Indonesia (2007)

Page 3: BAB II Tinjauan Pustaka (1)

11

2.2 Limbah Filet Ikan Kakap Merah

Ikan merupakan sumber protein yang baik jika dibandingkan dengan hasil-

hasil hewani lainnya. Ikan dan hasil perikanan lainnya pada umumnya

mengandung protein yang tinggi dan jumlahnya tidak terlalu bervariasi, tetapi

kandungan lemaknya dapat bervariasi besar sekali. Komposisi kimia daging ikan

bervariasi tergantung kepada spesies, jenis kelamin, habitat, musim dan jenis

makanan (Hadiwiyoto 1993).

Ikan kakap merah merupakan salah satu ikan yang megandung protein

tinggi. Ikan kakap merah lebih banyak dimanfaatkan dalam bentuk filet dan

bagian kepala. Filet diproduksi untuk diekspor dan dijual ke supermarket atau

pasar semi modern, sedangkan kepala ikan kakap merah biasanya dijual ke rumah

makan padang yang menyediakan masakan gulai kepala kakap, atau dijual ke

pelelangan dan pasar tradisional (Haetami 2008). Volume ekspor filet ikan laut

segar atau dingin dan dibekukan berfluktuasi dari tahun 2004-2007, seperti

ditunjukkan pada Tabel 3.

Tabel 3 Volume ekspor filet ikan laut Indonesia tahun 2004-2007

Tahun Jumlah (Kg) Filet beku Filet segar

2004 33.658.152 2.301.714 2005 37.759.020 2.407.866 2006 33.220.595 3.313.445 2007 35.073.673 7.883.452

Sumber : Kementrian Kelautan Perikanan (KKP) (2009)

Proses pembuatan filet pada industri dihasilkan limbah berupa tulang,

daging sisa yang masih menempel di tulang, kepala, dan isi perut. Industri filet

juga menghasilkan limbah daging ikan hasil sortir yang tidak memenuhi standar

karena rusak, memiliki celah atau rongga diantara otot daging sehingga otot

daging ikan menjadi terpisah, kondisi tersebut dikenal dengan istilah gapping.

Berbagai limbah yang diperoleh dari industri filet ikan kakap merah

sebenarnya dapat dimanfaatkan sehingga memiliki nilai tambah produk.

Pemanfaatan daging ikan kakap dari limbah filet biasanya digunakan oleh para

pengusaha industri rumah tangga sebagai bahan baku untuk nugget, baso, otak-

otak, pempek, dan siomay. Pemanfaatan daging limbah industri filet ikan kakap

Page 4: BAB II Tinjauan Pustaka (1)

12

merah dapat ditingkatkan melalui berbagai upaya, salah satunya adalah dijadikan

sebagai bahan baku dalam pembuatan surimi yang selanjutnya dapat digunakan

sebagai edible coating ataupun produk olahan lainnya.

2.3 Protein Ikan

Protein ikan bersifat tidak stabil dan mempunyai sifat dapat berubah

(denaturasi) dengan berubahnya kondisi lingkungan. Larutan protein tersebut

apabila diasamkan hingga mencapai pH 4,5-5 akan terjadi pengendapan.

Sebaliknya apabila dipanaskan (pemasakan, penggorengan) proteinnya akan

menggumpal (koagulasi). Protein juga dapat mengalami denaturasi apabila

dilakukan pengurangan air, baik selama pengeringan maupun pembekuan (Zaitsev

et al. 1969).

Protein ikan secara umum dapat digolongkan berdasarkan kelarutannya

dalam air, lokasi terdapatnya, dan fungsinya. Berdasarkan kelarutannya dalam

air, protein ikan dapat digolongkan menjadi tiga bagian, yaitu protein mudah larut

dalam air, protein yang tidak larut dalam air dan protein yang sukar larut dalam air

setelah diberi garam dalam konsentrasi tertentu (Hadiwiyoto 1993).

Berdasarkan lokasi terdapatnya dalam daging ikan, Protein ikan dapat

diklasifikasikan menjadi protein miofibril, protein sarkoplasma, dan protein

stroma (protein jaringan ikat) dengan komposisi kandungan miofibril 65-75%,

sarkoplasma 20-30%, dan stroma 1-3% (Suzuki 1981).

2.3.1 Protein miofibril

Protein miofibril merupakan bagian yang terbesar dan merupakan jenis

protein yang larut dalam larutan garam. Protein ini terdiri dari miosin, aktin, dan

protein regulasi yang merupakan gabungan antara aktin dan miosin yang

membentuk aktomiosin. Golongan protein yang menyusun miofibril pada otot

daging merupakan 50% lebih dari seluruh protein daging ikan (Zaitsev et al.

1969). Protein miofibril sangat berperan dalam pembentukan gel dan proses

koagulasi, terutama dari fraksi aktomiosin (Suzuki 1981).

Protein miofibril berfungsi untuk kontraksi otot. Protein ini dapat diekstrak

dengan larutan garam netral yang berkekuatan ion sedang (> 0,5 M). Penampakan

protein miofibril ikan mirip dengan otot hewan mamalia, tetapi lebih mudah

Page 5: BAB II Tinjauan Pustaka (1)

13

kehilangan aktivitas ATP-asenya dan laju agregasinya lebih cepat. Protein yang

larut dalam larutan garam umumnya efisien sebagai pengemulsi dibandingkan

dengan protein yang larut dalam air (Wilson et al. 1981).

Aktin dan miosin merupakan anggota utama yang termasuk ke dalam

golongan protein yang larut dalam larutan garam dengan konsentrasi 0,05 – 0,5%.

Jumlah aktin dalam daging ikan kurang lebih 15-25%, miosin kurang lebih

50-60%, dan tropomiosin kira-kira 3-5% dari seluruh protein golongan ini. Aktin

dan miosin merupakan protein yang labil sifatnya dan dapat membentuk

aktomiosin yang lebih kompleks.

Miosin merupakan komponen protein miofibril terbesar di dalam daging

ikan, yaitu sekitar 80% dari total protein miofibril (Shahidi dan Botta 1994).

Menurut Chen (1995), miosin merupakan protein terpenting pada gelasi daging

selama pemanasan dimana sisi aktifnya mengembang dan tidak menggulung

setelah “setting”. Miosin juga merupakan protein yang paling penting dari semua

protein otot, selain karena jumlahnya yang besar, miosin juga mempunyai sifat

biologi khusus yaitu adanya aktivitas enzim ATP-ase dan kemampuannya pada

beberapa kondisi dapat bergabung dengan aktin membentuk kompleks

aktomiosin.

2.3.2 Protein sarkoplasma

Protein sarkoplasma sebagai protein terbesar kedua mengandung

bermacam-macam protein yang larut dalam air yang disebut miogen. Kandungan

sarkoplasma dalam daging ikan bervariasi, selain tergantung jenis ikannya juga

tergantung habitat ikan tersebut. Ikan pelagis pada umumnya mempunyai

kandungan sarkoplasma lebih besar daripada ikan demersal (Suzuki 1981).

Jumlah protein ini tidak banyak, kira-kira 20-25% dari kandungan protein ikan

(Lanier 2000). Protein sarkoplasma tidak berperan dalam pembentukan gel dan

kemungkinan akan merusaknya, sebagai contoh misalnya beberapa protease yang

merusak miofibril (Hall dan Ahmad 1992). Protein sarkoplasma dapat dikurangi

atau bahkan dihilangkan dengan cara mengekstrak daging ikan dengan

menggunakan air dingin. Pencucian dengan menggunakan suhu dingin ini

Page 6: BAB II Tinjauan Pustaka (1)

14

bertujuan untuk mempertahankan protein khususnya protein miofibril agar tidak

mengalami kerusakan seperti denaturasi (Santoso et al. 1997).

2.3.3 Protein stroma

Protein stroma merupakan bagian terkecil yang membentuk jaringan ikat

dan tidak dapat diekstrak dengan air, larut asam, larut alkali atau larutan garam

pada konsentrasi 0,01-0,1 M. Protein stroma ini terdiri dari kolagen dan elastin

dan merupakan protein yang terdapat pada bagian luar sel otot. Daging merah

ikan pada umumnya mengandung lebih banyak protein stroma tapi lebih sedikit

mengandung protein sarkoplasma jika dibandingkan dengan daging putih ikan.

Daging merah ini terdapat di sepanjang tubuh bagian samping di bawah kulit,

sedangkan daging putih terdapat pada hampir seluruh bagian tubuh (Suzuki 1981).

Protein ini disusun dari kolagen dan elastin dengan jumlah sekitar 3% dari

total protein otot ikan teleostei dan sekitar 10% dalam ikan elasmobranchii,

sedangkan pada mamalia sekitar 17%. Protein stroma ini tidak dapat diekstrak

oleh larutan asam, alkali atau garam berkekuatan ion tinggi. Selain protein

stroma, protein kontraktil seperti konektin dan desmin juga tidak dapat terekstrak

(Hultin 1985). Protein stroma dalam pengolahan surimi tidak dihilangkan karena

mudah dilarutkan oleh panas (kolagen) dan merupakan komponen netral pada

produk akhir (Hall dan Ahmad 1992).

2.4 Surimi

Surimi dapat didefinisikan sebagai bentuk cincang dari daging ikan yang

telah mengalami proses penghilangan tulang (deboning), pencucian dan

penghilangan sebagian air (dewatering) sehingga dikenal sebagai protein

konsentrat basah (wet concentrate protein) dari daging ikan (Okada 1992).

Surimi merupakan protein miofibril yang telah distabilkan dan dicampur dengan

cryoprotectant bila disimpan dalam keadaan beku (Park dan Lin 2005). Surimi

digunakan sebagai bahan dasar pengolahan produk tradisional Jepang

“kamabako”. Saat ini surimi dikenal sebagai daging lumat yang telah mengalami

proses pencucian. Salah satu keunggulan surimi adalah kemampuannya untuk

diolah menjadi berbagai macam produk lanjutan.

Page 7: BAB II Tinjauan Pustaka (1)

15

2.4.1 Mutu surimi

Surimi dengan mutu yang paling bagus adalah surimi dengan derajat putih

yang paling tinggi, paling bersih dan kekuatan gelnya paling tinggi (Mitchell

1986). Martin et al. (1982) menambahkan bahwa kriteria penting yang dapat

menentukan kualitas surimi adalah kekuatan gel yang dapat dibentuk oleh surimi

tersebut. Komponen yang berperan dalam pembentukan gel adalah protein

miofibril yang dapat diekstrak dengan larutan garam netral.

Mutu surimi beku umumnya dinilai dari kekuatan gelnya dan warna yang

sangat tergantung dari faktor-faktor seperti spesies ikan, kesegaran ikan, metode

dan pengawasan pengolahan, kadar air, pengawasan suhu pembekuan dan

penyimpanan serta kondisi penanganan dan distribusi. Penentuan mutunya

dilakukan dengan mengukur kekuatan gel dan penilaian organoleptik, uji lipat dan

uji gigit (Tan et al. 1987).

Persyaratan bahan baku surimi menurut Badan Standardisasi Nasional

(BSN) (2006) yaitu bahan baku surimi beku berasal dari ikan demersal dan ikan

pelagis segar yang sudah atau belum disiangi serta berasal dari perairan yang tidak

tercemar. Mutu bahan baku surimi adalah sebagai berikut :

1. Bahan baku harus bersih, bebas dari setiap bau yang menandakan

pembusukan, bebas dari tanda dekomposisi dan pemalsuan, bebas dari sifat-

sifat alamiah lain yang dapat menurunkan mutu serta tidak membahayakan

kesehatan.

2. Secara organoleptik bahan baku harus mempunyai karakteristik kesegaran

seperti berikut :

- Kenampakan : mata cerah, cemerlang

- Bau : segar

- Tekstur : elastis, padat dan kompak.

Page 8: BAB II Tinjauan Pustaka (1)

16

Tabel 4 Syarat mutu dan keamanan pangan surimi beku

Jenis uji Satuan Persyaratan a Organoleptik angka (1-10) minimal 7 b Cemaran mikroba: - ALT koloni/gram - Escherichia coli APM/g maksimal 5,0x105 - Salmonella APM/g negatif - Vibrio cholera APM/g negatif - Vibrio parahaemolyticus* APM/g maksimal<3 (kanagawa positif) c Cemaran kimia - Raksa (Hg)* mg/kg maksimal 1 - Timbal (Pb)* mg/kg maksimal 0,4

- Histamin* mg/kg maksimal 100

- Cadmium (Cd)* mg/kg maksimal 0,1

d Kadar air % 80-82 e Fisika: - Suhu pusat oC maksimal -18 f Filth potong 80-82

Catatan* Bila diperlukan APM = Angka paling memungkinkan Sumber : Badan Standarisasi Nasional (2006).

Kriteria yang paling penting dalam menentukan mutu surimi adalah

elastisitas produk yang dihasilkan karena hasil pembentukan gel ikan. Faktor-

faktor yang berpengaruh terhadap elastisitas produk surimi diantaranya jenis ikan,

kesegaran ikan, pH, kadar air, pencucian, suhu dan waktu pemasakan dan jumlah

zat penambah, seperti garam, gula, polipospat, monosodium glutamat, pati dan

putih telur. Perlakuan pencincangan dan penggilingan juga menentukan tekstur

(Heruwati et al. 1995).

2.4.2 Pembentukan gel surimi

Pembentukan gel protein daging terjadi dalam dua tahap. Tahap pertama

adalah denaturasi protein (tidak menggulungnya rantai protein) dan tahap kedua

adalah terjadinya agregasi protein membentuk struktur tiga dimensi (Niwa 1992).

Mackie (1992) menyimpulkan bahwa ada dua hal yang diperlukan untuk

menghasilkan produk gel, yaitu: (1) protein miofibril harus dilarutkan dalam

larutan garam, dan (2) pemanasan untuk membentuk gel, protein harus

terdenaturasi sehingga membentuk struktur jala yang teratur dan mampu menahan

Page 9: BAB II Tinjauan Pustaka (1)

17

air yang terdapat dalam surimi. Menurut Venugopal et al. (1994) selain garam,

asam lemah (asam asetat dan asam laktat) juga dapat menyebabkan denaturasi

protein yang memudahkan proses pembentukan gel yang ditunjukkan dengan

meningkatnya viskositas. Akan tetapi, yang terjadi adalah sebaliknya jika yang

ditambahkan adalah asam kuat seperti HCl, asam sitrat dan asam tartrat.

Penambahan garam dalam pembuatan surimi dapat memperbaiki sifat gel,

dan kekuatan gel optimum tercapai pada konsentrasi garam 2-3%. Konsentrasi

garam minimum yang ditambahkan untuk mengekstrak protein miofibril dan

jaringan ikan adalah ±2% dari berat daging pada pH 7. Konsentrasi garam yang

digunakan menjadi lebih besar jika pH diturunkan (Suzuki 1981).

Pembentukan gel ikan terjadi pada saat penggilingan daging mentah

dengan penambahan garam. Aktomiosin (miosin dan aktin) sebagai komponen

yang paling penting dalam pembentukan gel akan larut dalam larutan garam,

membentuk sol (dispersi partikel padat dalam medium cair) yang sangat adhesif.

Bila sol dipanaskan akan terbentuk gel dengan konstruksi seperti jala dan

memberikan sifat elastis pada daging ikan. Sifat elastis ini disebut ashi atau

suwari. Kekuatan ashi merupakan nilai mutu dari produk gel ikan misalnya

kamaboko yang kekuatannya berbeda-beda menurut jenis dan kesegaran ikan

(Tanikawa 1985).

Menurut Lee (1984), gel suwari terbentuk tidak hanya melalui hidrasi

molekul protein saja, tetapi juga pembentukan struktur jaringan oleh ikatan

hidrogen, ikatan hidrofobik dan molekul protein miofibril. Setting pada suhu

rendah akan membentuk ikatan hidrogen dalam gel, sedangkan ikatan hidrofobik

akan mendominasi gel yang dibentuk dengan setting pada suhu tinggi.

Konstruksi jala dapat terbentuk dan konjugasi molekul-molekul protein

yang diikat oleh suatu jembatan seperti garam, atau ikatan antara karbonil dengan

radikal amino pada peptida oleh hidrogen atau oleh radikal disulfida yang

terbentuk dan radikal sulfhidril. Pasta daging ikan apabila dibiarkan pada suhu

kamar dalam waktu lama, maka sifat elastis akan hilang dan daging menjadi

mudah patah, fenomena ini dikenal dengan modori. Fenomena modori ini juga

dapat terjadi apabila daging dipanaskan pada suhu rendah dalam jangka waktu

yang lama (Tanikawa 1985). Fenomena modori terjadi pada suhu sekitar 60 oC,

Page 10: BAB II Tinjauan Pustaka (1)

18

karena pada suhu tersebut protease akan lebih aktif terhadap aktomiosin yang

menyebabkan lemahnya gel yang dihasilkan (Haard et al. 1994). Fenomena

perubahan elastisitas dapat dijelaskan dengan dispersi molekul-molekul protein

(Tanikawa 1985).

2.4.3 Cryoprotectant

Cryoprotectant adalah bahan yang biasa ditambahkan dalam pembuatan

surimi yang tidak langsung diolah menjadi produk lanjutan, melainkan akan

disimpan terlebih dahulu pada suhu beku dalam waktu yang lama. Fungsi

cryoprotectant adalah untuk menghambat proses denaturasi protein selama

pembekuan dan penyimpanan beku.

Penambahan zat ini penting untuk menjamin sifat fungsional surimi beku

mengingat pembekuan dapat berpengaruh menyebabkan denaturasi dan agregasi.

Jumlah yang ditambahkan sekitar 3-5%. Bahan yang sering digunakan sebagai

cryoprotectant adalah dari golongan karbohidrat dengan bobot molekul rendah

seperti sukrosa. Sorbitol juga umum digunakan dan merupakan cryoprotectant

terkuat. Penambahan sukrosa tanpa sorbitol akan mengakibatkan surimi menjadi

manis dan warnanya berubah selama pembekuan (Park dan Morrissey 2000).

Cryoprotectant juga dapat meningkatkan kekuatan gel. Sering pula ke

dalam surimi ditambahkan bahan lain dengan maksud untuk memperbaiki sifat

surimi terutama sifat elastisitas dan kelembutannya, seperti dengan penambahan

0,2-0,3% polifosfat dalam bentuk garam natrium tripolifosfat atau campurannya

dengan tetrasodium pyrofosfat (1:1) yang akan bersifat sinergis dengan

karbohidrat (Peranginangin et al. 1999).

2.5 Edible Coating

Edible coating adalah lapisan tipis bahan yang dibentuk secara langsung

dengan mencelupkan (dipping), penyemprotan (spraying), atau panning ke

permukaan dari produk makanan dengan maksud untuk melindungi serta

meningkatkan nilai tambah produk (Krochta 2002). Fungsi edible coating adalah

untuk melindungi produk dari kerusakan mekanis, fisik, kimia, dan aktivitas

mikrobiologi. Edible coating menghasilkan suatu kondisi atmosfir termodifikasi

pasif, yang dapat mempengaruhi berbagai perubahan pada produk segar dan bahan

Page 11: BAB II Tinjauan Pustaka (1)

19

pangan terolah minimal dalam beberapa hal seperti sifat antioksidan, warna

firmness, kualitas sensori, menghambat pertumbuhan mikroba, komponen volatil

yang dihasilkam dari proses anaerobik (Falguera et al. 2011).

Penelitian yang telah dilakukan oleh Riyanto (2006) menunjukkan bahwa

dengan pemberian coating dengan isinglass pada produk udang masak mampu

mencegah perubahan kimia akibat oksidasi, sehingga mampu mempertahankan

perubahan warna produk. Pelapis edible dari isinglass juga mampu melindungi

udang masak dari kontaminasi mikroba. Hasil yang sama juga diperoleh pada

proses coating yang telah diteliti oleh Ismudiyati (2003) pada filet ikan patin

menggunakan coating kappa karagenan semi refine dapat menghambat

pertumbuhan mikroba hingga hari ke-10 pada produk yang diberi coating terdapat

bakteri sebanyak 1,5 x 106 koloni/g, sedangkan pada produk tanpa coating

terdapat bakteri sebanyak 2 x 107 koloni/g. Hasil penelitian Julikartika (2003)

melaporkan bahwa udang kupas rebus yang dilapisi edible coating dari natrium

alginat mampu menghambat susut bobot sebesar 36%. Selanjutnya, Mastromatteo

et al. (2010) menemukan bahwa coating aktif dari minyak thymol pada udang

peeled ready to use efektif mengurangi kerusakan kualitas sensori selama

penyimpanan refrigerasi dan dapat menghambat pertumbuhan mikroba terutama

pada awal penyimpanan.

Edible film dan coating dalam perkembangannya telah lama digunakan

sebagai pelindung produk pangan. Contohnya adalah aplikasi gula dan coklat

sebagai coating pada permen, coating lilin pada buah-buahan, lemak cair atau

minyak juga sering kali digunakan sebagai coating pada produk pangan. Edible

film juga sangat menarik dan seringkali digunakan sebagai parameter terhadap

kualitas dan stabilitas beberapa produk pangan (Gontard dan Guilbert 1994).

Menurut Donhowe dan Fennema (1994), terdapat beberapa metode dalam

pembuatan edible film dan coating, yaitu :

1. Pencelupan (dipping)

Metode ini merupakan metode aplikasi dari coating, produk yang akan

dilapisi dicelupkan dalam larutan yang akan digunakan sebagai bahan

coating. Metode ini sudah diaplikasikan sebagai pengemas atau pelapis pada

produk daging, ikan, produk ternak, sayur, dan buah-buahan.

Page 12: BAB II Tinjauan Pustaka (1)

20

2. Penyemprotan (spraying)

Pada metode ini, larutan bahan yang akan digunakan sebagai coating

disemprot, kemudian dikeringkan sehingga lapisan dapat menempel pada

produk dengan baik.

3. Pembungkusan (casting)

Pembungkusan atau casting, merupakan metode yang digunakan dalam

pembuatan edible film. Metode ini diawali dengan pembuatan larutan bahan

pembentuk film, kemudian dituangkan dalam cetakan dengan ketebalan

tertentu, dilanjutkan dengan pengeringan. Film yang telah kering diangkat

dari cetakan dan siap untuk diaplikasikan. Ketebalan film dapat dikontrol

sehingga dihasilkan film dengan ketebalan yang lebih rata.

2.7 Udang dan Komponen Udang

Udang termasuk ke dalam kelompok krustasea. Bagian tubuh udang terdiri

dari dua bagian yaitu gabungan antara kepala,dengan dada (chepalothorax) dan

perut (abdomen). Udang mempunyai kerangka luar yang keras, sehingga untuk

tumbuh menjadi besar udang perlu membuang kulit lama, dan menggantinya

dengan kulit baru. Peristiwa dikenal sebagai pergantian kulit (moulting). Struktur

anatomi udang disajikan pada Gambar 3.

Gambar 3 Struktur anatomi udang (Sumber: http://www.cixer.co.cc).

Page 13: BAB II Tinjauan Pustaka (1)

21

Udang vannamei merupakan organisme akuatik asli pantai Meksiko,

Amerika Tengah, dan Amerika Selatan. Udang vannamei memiliki nama umum

pacific white shrimp, camaron blanco, dan longostino. Udang vannamei juga

mempunyai nama FAO yaitu whiteleg shrimp, crevette pattes blanches, dan

camaron patiblanco. Komposisi kimia udang tergantung kepada spesies, umur,

jenis kelamin dan musim penangkapan serta ketersediaan pakan di air, habitat dan

kondisi lingkungan. Kandungan protein dan mineral daging udang relatif konstan,

tetapi kadar air dan kadar lemak berfluktuasi. Kandungan lemak pada daging

semakin besar, maka kandungan air akan semakin kecil dan begitu juga

sebaliknya (Simson et al. 1998). Komposisi kimia udang vannamei (Litopenaeus

vannamei) disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5 Komposisi kimia udang vannamei (Litopenaeus vannamei) segar

Komposisi % Berat Basah Kadar air 77,21±0,18 Abu 1,47±0,10 Protein 18,8±0,23 Lemak 1,30±0,09

Sumber: Sriket et al. (2007)

Udang segar memiliki ciri-ciri rupa dan warna bening, spesifik jenis,

cemerlang, sambungan antar ruas kokoh, kulit melekat kuat pada daging. Bau

segar spesifik menurut jenisnya, jika diamati bentuk dagingnya kompak, elastis,

dan rasanya manis. Pembentukan rasa dalam produk hasil perikanan merupakan

peranan dari asam amino-asam amino yang dikandungnya. Asam amino-asam

amino yang berperan pada umumnya adalah asam glutamat, glisin, alanin, arginin,

metionin, valin, dan prolin (Yamaguchi dan Watanabe 1988). Glisin dan alanin

berperan pada munculnya rasa manis, prolin pada rasa manis dan pahit, selain itu

lisin dan alanin memiliki efek sinergis pada campuran senyawa yang mengandung

asam glutamat (Kato et al. 1989). Hidrolisis trypsin dan chymotrypsin pada

udang segar dan beku keduanya menghasilkan hidrolisat dengan kandungan asam

amino yang tinggi, alanin, prolin, glisin, dan arginin, yang penting dalam flavor

krustasea. (Simson et al. 1998). Komposisi asam amino udang segar disajikan

pada Tabel 6.

Page 14: BAB II Tinjauan Pustaka (1)

22

Tabel 6 Komposisi asam amino udang vannamei (Litopenaeus vannamei)

Asam amino mg/100 g daging Asam aspartat+aspargin 1704 Hidroksiprolin 215 Treonin 1129 Serin 1027 Asam glutamat+glutamin 1504 Prolin 3862 Glisin 871 Alanin 1601 Sistein 547 Valin 1078 Metionin 1298 Isoleusin 2411 Leusin 3153 Tirosin 1967 Penilalanin 1967 Lisin 630 Histidin 666 Arginin 3494 Sumber: Sriket et al. (2007)

Udang termasuk komoditas yang cepat rusak dan bahkan lebih cepat

dibandingkan dengan komoditas daging hewan lainnya. Kecepatan pembusukan

udang setelah ditangkap atau dipanen sangat dipengaruhi oleh teknik penangkapan

dan pemanenan, kondisi biologis udang, dan teknik penanganannya. Sehingga

setelah udang ditangkap atau dipanen harus segera dilakukan pendinginan atau

pembekuan.

Bentuk-bentuk olahan udang yang akan dibekukan tergantung dari jenis

udang, mutu bahan baku, dan pesanan dari pihak konsumen. Menurut

Purwaningsih (1995), bentuk olahan dari udang beku adalah sebagai berikut:

1. Head On yaitu produk udang beku yang utuh lengkap dengan kepala, badan,

kulit, dan ekor.

2. Headless (HL) yaitu produk udang beku yang diproses dalam bentuk kepala

sudah dipotong, tetapi masih memiliki kulit, kaki, dan ekor.

3. Peeled yaitu produk udang beku tanpa kepala, kulit, dan tanpa atau dengan

ekor. Peeled terdiri dari:

Page 15: BAB II Tinjauan Pustaka (1)

23

a. Peeled tail on (PTO) yaitu produk udang beku tanpa kepala dan kulit

dikupas mulai dari ruas pertama sampai ruas kelima, sedangkan ruas

terakhir dan ekor disisakan.

b. Peeled deveined tail on (PDTO) yaitu produk udang kupas (hampir sama

dengan PTO), tetapi pada bagian punggung udang diambil vein (kotoran

perutnya).

c. Peeled and deveined (PD) yaitu produk udang yang dikupas seluruh kulit

serta ekornya dan bagian punggungnya dibelah untuk mengambil kotoran

perut.

d. Peeled undeveined (PUD) yaitu produk udang beku yang dikupas seluruh

kulit dan ekor seperti pada produk PD, tetapi tanpa mengambil kotoran

ekor.

e. Butterfly yaitu produk udang beku hampir sama dengan produk PDTO

dimana kulit udang dikupas mulai dari ruas pertama sampai ruas kelima,

sedangkan ruas terakhir dan ekor disisakan. Kemudian bagian punggung

dibelah sampai pada bagian perut bawahnya, tetapi tidak sampai putus dan

kotoran perutnya dibuang.

4. Value Added Product (VAP) yaitu produk udang beku yang mendapat

perlakuan tambahan. Udang yang diproduksi sebagai produk VAP adalah

udang ukuran 21 dan 31. Produk VAP ada 2 jenis, yaitu:

a. VAP belly cut (BC) yaitu produk udang beku yang dikupas dan disisakan

satu ruas di dekat ekor kemudian dipijit dan diluruskan.

b. VAP non belly cut (NBC) yaitu produk udang beku yang dikupas, tetapi

tidak dipijit dan diluruskan, hanya dibuang ususnya.

Bahan pigmen utama udang adalah astaxanthin, satu dari pigmen utama

karotenoid. Memberikan warna merah-orange pada jaringan (Yamaguchi 1994

dalam Yanar et al. 2004). Kandungan karotenoid pada udang berbeda-beda,

tergantung habitat, pakan, dan musim. Kandungan karotenoid pada udang spesifik

pada setiap spesies dan sangat bervariasi dengan daerah geografis walaupun pada

spesies yang sama (Yanar et al. 2004). Astaxanthin disusun oleh tiga stereoisomer

dalam suatu campuran rasemik membentuk kompleks dengan protein yang

terakumulasi dalam eksoskeleton krustasea (Schiedt et al. 1993) Kompleks ini

Page 16: BAB II Tinjauan Pustaka (1)

24

dapat berwarna hijau, atau biru dalam hewan hidup, menjadi berwarna merah jika

dipanaskan (Britton 1996).

2.8 Udang Rebus (Cooked Shrimp)

Udang sebagai produk perikanan yang mudah mengalami kerusakan,

biasanya memiliki nilai komersial yang lebih tinggi jika dijual dalam bentuk

udang masak. Udang masak merupakan produk udang yang telah mengalami

proses pemasakan baik melalui perebusan maupun pengukusan. Industri

pengolahan udang masak pada umumnya dilakukan pada skala besar dalam wadah

dengan kuantitas air yang banyak. Ketika udang dimasukkan ke dalam wadah,

suhu air akan menurun kemudian akan meningkat kembali sampai suhu 100 oC.

Udang selanjutnya direbus dalam air mendidih sesuai dengan waktu yang telah

ditentukan untuk memastikan aman dari bakteri dan diperoleh kualitas daging

yang optimum (Alvarez et al. 2009).

Udang rebus seperti produk perikanan lainnya, selama proses penanganan,

pengolahan, dan penyimpanan akan mengalami kemunduran mutu. Kemunduran

mutu ini terjadi karena adanya proses dekomposisi dalam produk. Menurut Food

and Drug Administration (FDA) (1998), dekomposisi adalah suatu penguraian

oleh bakteri atau akibat perubahan kimia enzimatis pada jaringan produk.

Perubahan ini selanjutnya diperlihatkan dengan timbulnya penyimpangan pada

kenampakan, warna, rasa, tekstur, dan penyimpangan yang lainnya pada produk.

Udang umumnya mengandung lemak sebesar 1,2%, dimana komponen

utama yang paling banyak adalah phospholipid. Adanya cahaya dan oksigen akan

menyebabkan asam lemak menjadi teroksidasi. Oksidasi lemak tersebut

selanjutnya akan menghasilkan bau seiring dengan semakin lamanya proses

penyimpanan produk (Johnston et al. 1983). Oksidasi lemak cenderung terjadi

pada saat penyimpanan beku dibandingkan dengan penyimpanan dingin, dan

dapat berkaitan dengan enzim maupun non enzim. Enzim-enzim seperti

lipoksigenase, peroksidase, dan enzim-enzim mikrosomal dari jaringan otot

hewan kemungkinan besar dapat memulai peroksidasi lemak yang menghasilkan

hidroperoksida. Terpisahnya hidroperoksida menjadi aldehid, keton, dan alkohol

menyebabkan terjadinya perubahan rasa (Departemen Kelautan dan Perikanan

2008).

Page 17: BAB II Tinjauan Pustaka (1)

25

Proses pemasakan pada udang menyebabkan terjadinya denaturasi protein

miofibril dan penyusutan kolagen, sehingga akhirnya mengakibatkan

mengerasnya daging udang (Erdogdu et al. 2004). Perubahan tersebut akhirnya

akan menyebabkan keluarnya cairan yang mengandung protein yang dikenal

dengan istilah drip selama pemasakan yang mengakibatkan timbulnya

kekosongan antar serabut otot udang. Dengan demikian faktor tersebut akan

mempengaruhi terhadap keseluruhan volume dan kepadatan setelah pemasakan

udang.

2.9 Secang (Caesalpinia sappan Linn)

Secang (Caesalpinia sappan Linn.) merupakan salah satu jenis tanaman

sumber tanin berupa tanaman perdu yang memanjat atau berupa pohon kecil dan

duri banyak, yang tingginya dapat mencapai 5-10 meter. Tanaman ini biasanya

tumbuh baik di daerah pegunungan yang tidak terlalu dingin (Heyne 1987). Kayu

secang ditanam sebagai tanaman pagar dan dapat tumbuh pada berbagai macam

tanah pada ketinggian 1000 meter di atas permukaan laut. Tanaman ini

diperbanyak dengan biji dan tersebar di India, Malaysia, dan Indonesia

(Departemen Kesehatan 1998). Tanaman secang (Caesalpinia sappan Linn.)

disajikan pada Gambar 4.

Gambar 4 Secang (Caesalpinia sappan Linn.) Sumber : http://www.iptek.net.id/ind/pd_tanobat/view.php.

Kayu secang menghasilkan pigmen, tanin, brazilin dan asam galat

(Lemmens 1992). Secang dapat dimanfaatkan sebagai sumber zat warna alami

karena mengandung brazilein yang berwarna merah dan bersifat larut dalam air

panas (Sanusi 1993). Selain sebagai pewarna, brazilin kayu secang mempunyai

aktivitas sebagai antioksidan dan antibakteri. Menurut Weningtyas (2009),

aktivitas antioksidan tertinggi pada ekstrak secang yaitu pada konsentrasi

Page 18: BAB II Tinjauan Pustaka (1)

26

2,5 mg/ml. Menurut Lim et al. (2007), ekstrak secang mengandung komponen

antimikroba dengan jenis 5-hydroxi-1,4-naptakuinon. Menurut Kristie (2008),

konsentrasi secang sebesar 37,5 mg/ml memiliki aktivitas antimikroba yang

paling kuat.

Nama senyawa yang mampu diisolasi dari kayu secang (Caesalpinia sappan

Linn.) adalah brazilin (C16H14O5) (Sanusi 1989). Brazilin termasuk ke dalam

golongan flavonoid sebagai isoflavonoid (Oliveira et al. 2002). Brazilin

merupakan kristal berwarna kuning, akan cepat membentuk warna merah jika

terkena sinar matahari, dan jika teroksidasi akan menghasilkan senyawa brazilein

(C16H12O5) yang berwarna merah kecoklatan dan dapat larut dalam air (Kim et al.

1997). Titik leleh dari senyawa brazilein adalah 150 oC, dan suhu penguraiannya

lebih besar dari 130 oC (Goodwin 1976).

Stabilitas pigmen brazilein dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain

kondisi pH, suhu, pemanasan, sinar ultraviolet, oksidator dan reduktor, serta

metal. Kondisi keasaman atau pH larutan sangat mempengaruhi stabilitas warna

pigmen brazilein. Pada pH 2-5 pigmen brazilein berwarna kuning, pada pH 6-7

berwarna merah, dan pada pH 8 ke atas berwarna merah keunguan (Adawiyah dan

Indriati 2003).