BAB II TEORI KONFLIK DAN PERDAMAIAN -...

16
19 BAB II TEORI KONFLIK DAN PERDAMAIAN Dalam penelitian ini, teori yang akan digunakan adalah Teori Konflik menurut Lewis. A. Coser dan Teori Perdamaian menurut Johan Galtung. Untuk lebih jelasnya, teori tersebut akan diuraikan sebagai berikut: A. Teori Konflik Menurut Lewis. A. Coser Lewis Coser adalah salah satu pelopor sosiologi konflik struktural Lewis A. Coser lahir di Berlin, tahun 1913. Coser berpendapat bahwa konflik tidak selamanya harus dimaknai sebagai hal yang negatif. Konflik tidak selalu mengarah kepada permusuhan tindakan bermusuhan merupakan kondisi rentan untuk terlibat dalam konflik. Namun, tidak semua bentuk permusuhan akan menjadi konflik. Hal ini sangat tergantung pada kondisi apakah distribusi yang tidak seimbang (unequal distribution) dinyatakan benar atau tidak. Meskipun permusuhan ada, tetapi jika tidak ada pengabsahan, maka konlik tidak akan terjadi. 1 Pemahaman mengenai konflik menurut Coser merupakan suatu kesadaran yang mencerminkan semangat pembaharuan di dalam masyarakat yang mana nantinya mungkin akan dapat dijadikan sebagai suatu alat yang sifatnya instrumentalis di dalam pembentukan, penyatuan dan pemeliharaan atas sruktur sosial yang ada. Selain itu juga konflik juga dapat menetapkan dan menjaga garis batas dua atau beberapa kelompok yang akhirnya dengan adanya konflik ini pun akan membuat kelompok yang lain untuk memperkuat kembali indentitas kelompok dan melindungi agar tidak lebur kedalam dunia sosial di sekililingnya. 2 Coser melihat konflik sebagai mekanisme perubahan sosial dan 1 Rachmad K. Dwi Susilo, 20 Tokoh Sosiologi Modern: Biografi para peletak sosiologi modern (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2008), 228-229. 2 Margaret M. Poloma, Sosiologi Kontemporter (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007), 107.

Transcript of BAB II TEORI KONFLIK DAN PERDAMAIAN -...

19

BAB II

TEORI KONFLIK DAN PERDAMAIAN

Dalam penelitian ini, teori yang akan digunakan adalah Teori Konflik menurut

Lewis. A. Coser dan Teori Perdamaian menurut Johan Galtung. Untuk lebih jelasnya,

teori tersebut akan diuraikan sebagai berikut:

A. Teori Konflik Menurut Lewis. A. Coser

Lewis Coser adalah salah satu pelopor sosiologi konflik struktural Lewis A. Coser

lahir di Berlin, tahun 1913. Coser berpendapat bahwa konflik tidak selamanya harus

dimaknai sebagai hal yang negatif. Konflik tidak selalu mengarah kepada permusuhan

tindakan bermusuhan merupakan kondisi rentan untuk terlibat dalam konflik. Namun,

tidak semua bentuk permusuhan akan menjadi konflik. Hal ini sangat tergantung pada

kondisi apakah distribusi yang tidak seimbang (unequal distribution) dinyatakan benar

atau tidak. Meskipun permusuhan ada, tetapi jika tidak ada pengabsahan, maka konlik

tidak akan terjadi.1 Pemahaman mengenai konflik menurut Coser merupakan suatu

kesadaran yang mencerminkan semangat pembaharuan di dalam masyarakat yang mana

nantinya mungkin akan dapat dijadikan sebagai suatu alat yang sifatnya instrumentalis di

dalam pembentukan, penyatuan dan pemeliharaan atas sruktur sosial yang ada. Selain itu

juga konflik juga dapat menetapkan dan menjaga garis batas dua atau beberapa kelompok

yang akhirnya dengan adanya konflik ini pun akan membuat kelompok yang lain untuk

memperkuat kembali indentitas kelompok dan melindungi agar tidak lebur kedalam dunia

sosial di sekililingnya.2 Coser melihat konflik sebagai mekanisme perubahan sosial dan

1 Rachmad K. Dwi Susilo, 20 Tokoh Sosiologi Modern: Biografi para peletak sosiologi modern

(Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2008), 228-229. 2 Margaret M. Poloma, Sosiologi Kontemporter (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007), 107.

20

penyesuaian dapat memberi peran positif dalam masyarakat. Sehingga dalam suatu

hubungan sosial tertentu, konflik yang disembunyikan tidak akan memberi efek positif.

Terhadap asal muasal konflik sosial, Coser berpendapat sama seperti George

Simmel bahwa ada keagresifan atau permusuhan dalam diri orang (hostile feeling) dan dia

memerhatikan bahwa dalam hubungan intim dan tertutup, antara cinta dan rasa benci

hadir. Coser mempunyai pendapat yang sama dengan Simmel dalam melihat unsur dasar

konflik, yaitu hostile feeling. Walaupun demikian, Coser tidak seperti Simmel yang

terhenti hanya kepada unsur hostile feeling. Bagi Coser hostile feeling belum tentu

menyebabkan konflik terbuka (overt conflict), sehingga Coser menambahkan unsur

perilaku permusuhan (hostile behavior). Perilaku permusuhan inilah yang menyebabkan

masyarakat mengalami situasi konflik.3

Selanjutnya Lewis Coser menjelaskan bahwa faktor lain yang bisa menyebabkan

konflik dalam masyarakat adalah pertama, anggota bawah dalam sistem yang tidak setara

lebih mungkin untuk memulai konflik sebagai pertanyaan terhadap distribusi legitimasi

terhadap sumber daya yang langka dan pada gilirannya, disebabkan oleh: beberapa

saluran untuk memperbaiki keluhan dan rendahnya tingkat mobilitas pada posisi yang

lebih istimewa. Kedua, bawahan lebih mungkin untuk memulai konflik dengan

superordinat sebagai rasa kekurangan yang relatif dan karenanya ketidakadilan meningkat

yang pada gilirannya berhubungan dengan memperpanjang pengalaman sosialisasi untuk

bawahan yang tidak menghasilkan kendala ego internal serta kegagalan superordinat

untuk menerapkan batasan eksternal pada bawahan.4

3 Novri Susan, Sosiologi Konflik Dan Isu-Isu Konflik Kontemporer (Jakarta : kencana, 2009), 54.

4 Jonathan H, Turner, The Structure of Sociology Theory. 6ᵗ ed (Balmont, CA: Wadsworth Pub.

Company: 1998), 172.

21

Dalam karyanya, Coser memberi perhatian pada adanya konflik eksternal dan

internal. Konflik eksternal mampu menciptakan dan memperkuat identitas kelompok. Ia

menyatakan ”..konflik membuat batasan-batasan di antara kedua kelompok dalam system

sosial dengan memperkuat kesadaran dan kembali atas atas keterpisahan, sehingga

menciptakan kesadaran identitas kelompok dalam sistem”. Selanjutnya, konflik eksternal

akan menjadi proses refleksi kelompok-kelompok identitas mengenai kelompok di luar

mereka sehingga meningkatkan partisipasi setiap anggota terhadap pengorganisasian

kelompok. Kelompok identitas diluar, mereka ini merupakan negative refrence group.

Selain konflik eksternal, konflik internal memberi fungsi positif terhadap kelompok

identitas mengenai adanya kesalahan perilaku. Ada perilaku anggota yang dianggap

menyimpang dari teks norma kelompok sehingga perlu dikoreksi oleh kelompok tersebut.

Selain itu konflik internal merupakan mekanisme bertahan dari eksistensi suatu

kelompok.5

B. Pokok Teori Yang Di Sampaikan Oleh Coser

1. Fungsi-Fungsi Konflik Sosial

a. Katup Penyelamat

Ketika konflik terjadi, Coser memberikan solusi yaitu konsep katup penyelamat

(safety valve). Margaret Poloma menyatakan bahwa katup penyelamat (safety valve)

merupakan mekanisme khusus yang digunakan kelompok untuk mencegah konflik sosial

terutama konflik yang lebih besar yang berpotensi merusak struktur keseluruhan.6 Coser

melihat katup penyelamat demikian berfungsi sebagai jalan keluar yang meredakan

permusuhan yang tanpa itu hubungan-hubungan di antara pihak-pihak yang bertentangan

5 Novri Susan, Sosiologi Konflik…, 55-56.

6 Margaret M. Poloma, Sosiologi Kontemporter…, 108.

22

akan semakin tajam.7 Katup penyelamat mampu mengakomodasi luapan permusuhan

menjadi tersalur tanpa menghancurkan seluruh struktur. Ia ikut membersihkan suasana

yang sedang kacau. Lewat Katup penyelamat itu permusuhan dihambat agar tidak

berpaling melawan obyek aslinya. Tetapi penggantian yang demikian mencakup juga

biaya bagi sistem sosial maupun bagi individu: mengurangi tekanan untuk

menyempurnakan sistem untuk memenuhi kondisi-kondisi yang sedang berubah maupun

membendung ketegangan dalam diri individu menciptakan kemungkinan tumbuhnya

ledakan-ledakan destruktif.8

b. Konflik Realistis & Non-Realistis

Dalam membahas situasi konflik Coser membedakan dua tipe dasar konflik yaitu

Konflik Realistis dan Konflik Non-Realistis.

Konflik Yang Realistis

Konflik realistik mempunyai ciri-ciri sebagai berikut :

- Konflik muncul dari rasa frustasi atas tuntutan khusus dalam hubungan dan dari

perkiraan keuntungan anggota dan yang diarahkan pada objek frustasi. Disamping itu,

konflik merupakan keinginan untuk mendapatkan sesuatu (expectations of gains).

- Konflik merupakan alat untuk mendapatkan hasil-hasil tertentu. Langkah-langkah

untuk mencapai hasil ini jelas disetujui oleh kebudayaan mereka. Dengan kata lain,

konflik realistis sebenarnya mengejar: power, status yang langka, resources (sumber

daya), dan nilai-nilai.

7 Lewis Coser, The Function Of Sosial Conflict, (New York: The Free Press, 1956), 41.

8 Ibid, 48.

23

- Konflik akan terhenti jika aktor menemukan pengganti yang sejajar dan memuaskan

untuk mendapat hasil akhir.

- Pada konflik realistis terdapat pilihan-pilihan fungsional sebagai alat untuk mencapai

tujuan. Pilihan–pilihan amat bergantung pada penilaian partisipan atas kemujaraban

yang selalu tersedia itu. 9

Konflik yang realistis sering merupakan rangsangan utama untuk perubahan

sosial. Perubahan seperti itu dapat menguntungkan sistem dengan memberikannya

kebebasan untuk dengan lebih efektif perubahan-perubahan dalam lingkungannya atau

perubahan dapat menghasilkan suatu kepekaan terhadap kebutuhan pribadi anggota

sistem: dalam hal ini komitmen terhadap sistem itu cenderung naik. Konflik realistis

memiliki sumber yang konkret atau bersifat material seperti perebutan sumber ekonomi

atau wilayah. Jika mereka telah memperoleh sumber rebutan itu dan bila dapat diperoleh

tanpa perkelahian, maka konflik akan segera di atasi dengan baik.10

Konflik Yang Nonrealistis

Konflik yang Nonrealistis adalah konflik yang bukan berasal dari tujuan-tujuan

saingan yang antagonis, tetapi dari kebutuhan untuk meredakan ketegangan, paling tidak

dari salah satu pihak. Konflik Nonrealistis adalah konflik yang terjadi tidak berhubungan

dengan isu substansi penyebab konflik. Konflik ini dipicu atau prasangka terhadap lawan

konflik yang mendorong melakukan angresi untuk mengalahkan atau menghancurkan

lawan konfliknya. Penyelesaian perbedaan pendapat mengenai isu penyebab konflik tidak

penting hal yang penting adalah bagaimana mengalahkan lawannya. Oleh karena itu,

metode manajemen konflik yang agresi, mengunakan kekuasaan, kekuatan, dan

9 Rachmad K. Dwi Susilo, 20 Tokoh Sosiologi Modern…, 232.

10 Novri Susan, Sosiologi Konflik…, 54-55.

24

paksaan.11

Konflik Nonrealistis didorong oleh keinginan yang tidak rasional dan

cenderung bersifat ideologis. Konflik ini seperti konflik antar agama, antar etnis, dan

konflik-konflik antar kepercayaan lainnya. Konflik nonrealistis merupakan satu cara

menurunkan ketegangan atau mempertegas identitas satu kelompok dan cara ini

mewujudkan bentuk-bentuk kekejian yang sesungguhnya turun dari sumber-sumber

lain.12

Dibandingkan dengan konflik Realistik, konflik Nonrealistik kurang stabil atau

memiliki tingkatan stabilitas tingkatan yang lebih rendah. Konflik Nonrealistis cenderung

sulit untuk menemukan resolusi konflik, konsensus, dan perdamian tidak akan mudah

diperoleh.

2. Permusuhan Dari Hubungan-Hubungan Sosial Yang Intim

Menurut Coser terdapat kemungkinan seseorang terlibat dalam konflik realistis

tanpa sikap permusuhan atau agresif. Coser menyatakan semakin dekat suatu hubungan

semakin besar rasa kasih sayang yang sudah tertanam sehingga semakin besar juga

kecenderungan untuk menekan ketimbang mengungkapkan rasa permusuhan. Sedang

pada hubungan-hubungan sekunder seperti misalnya dengan rekan bisnis, rasa

permusuhan dapat relatif bebas diungkapkan. Hal ini tidak selalu bisa terjadi dalam

hubungan-hubungan primer dimana keterlibatan total para partisipan membuat

pengugkapan perasaan yang demikian merupakan bahaya bagi hubungan tersebut. Yang

bersifat paradoks ialah semakin dekat hubungan semakin sulit rasa permusuhan itu

diungkapkan tetapi semakin lama perasaan demikian ditekan maka semakin penting

pengungkapannya demi mempertahankan hubungan itu sendiri. Karena dalam suatu

11

Lewis Coser, The Function Of ..., 53-54. 12

Novri Susan, Sosiologi Konflik…, 55.

25

hubungan yang intim keseluruhan kepribadian sangat boleh jadi terlibat maka konflik itu

ketika benar-benar meledak mungkin sekali akan sangat keras.

Walau berat bagaimanapun masalahnya ketika konflik meledak dalam hubungan-

hubungan yang intim itu. Coser menegaskan bahwa tidak adanya konflik tidak bisa

dianggap sebagai petunjuk kekuatan dan stabilitas dari hubungan yang demikian. Konflik

yang diungkapkan dapat merupakan tanda-tanda dari hubungan-hubungan yang hidup

sedang tidak adanya konflik itu dapat berarti penekanan masalah-masalah yang

menandakan kelak akan ada suasana yang benar-benar kacau.13

3. Isu Fungsionalitas Konflik

Konflik dapat secara positif fungsional sejauh ia memperkuat kelompok dan

secara negatif fungsional sejauh ia bergerak melawan struktur. Coser mengutip hasil

pengamatan Simmel yang menunjukkan bahwa konflik mungkin positif sebab dapat

meredakan ketegangan yang terjadi dalam suatu kelompok dengan memantapkan

keutuhan dan keseimbangan. Peningkatan konflik dalam kelompok dapat dihubungkan

dengan peningkatan interaksi dengan dan ke dalam masyarakat secara keseluruhan. Coser

juga menyatakan bahwa yang menentukan suatu konflik fungsional adalah tipe isu yang

merupakan subyek konflik itu.

Konflik fungsional positif bilamana tidak mempertanyakan dasar-dasar

hubungan dan fungsional negatif jika menyerang suatu nilai inti. Coser juga

menambahkan bahwa masyarakat yang berstruktur longgar terbuka dan demokratis

membangun perlindungan suatu nilai inti dengan cara dengan membiarkan konflik itu

berkembang disekitar masalah-masalah yang tidak mendasar Amerika sebagai contohnya

dari masyarakat berstruktur longgar dan terbuka dimana pada negara tersebut terdapat

13

Margaret M. Poloma, Sosiologi Kontemporter…, 111-113.

26

suatu konflik mengenai berbagai masalah, mulai dari abortus, nuklir dan masalah

perpajakan oleh karena masalah-masalah tersebut tidak menyangkut nilai-nilai inti maka

konflik yang seperti ini tak membahayakan struktur sosial. Ini malah dapat meningkatkan

solidaritas struktural di mana berbagai kelompok bisa memiliki pandangan yang berbeda

tetapi dengan masalah yang berbeda pula. 14

4. Kondisi Konflik Antara Kelompok Dalam (In-Group) Dengan Kelompok Luar (Out

Group)

Coser menunjukan bahwa konflik dengan kelompok luar akan membantu

pemantapan batas-batas struktural. Sebaliknya bahwa konflik dengan kelompok luar juga

akan mempertinggi integrasi di dalam kelompok. Coser juga menyatakan bahwa:

“Bilamana konsensus dasar suatu kelompok lemah, maka ancaman dari luar

menjurus bukan pada peningkatan kohesi tetapi pada apati umum dan

mengakibatkan suatu kelompok itu teracam pada perpecahan. Penelitian tentang

dampak depresi terhadap keluarga, misalnya, telah menunjukan bahwa keluarga-

keluarga yang sebelum masa depresi memiliki solidaritas internal yang rendah

memberikan tanggapan apatis dan akhirnya hancur, sedangkan keluarga dengan

solidaritas tinggi ternyata semakin kuat.”15

Pada dasarnya penekanan dan penggambaran atas pendekatan konflik yang

diajukan oleh Coser sebagai fungsionalisme konflik yang tanpa melepaskan konsep-

konsep serta asumsi–asumsi fungsionalisme strukturalnya dengan menambahkan konflik

yang dinamis, perspektif intergrasi dan perspektif konflik bukan merupakan skema

penjelasan yang saling bersaing. Melainkan justru dengan adanya konflik, konsensus,

integrasi dan perpecahan merupakan satu kesatuan yang utuh dalam menjalankan suatu

14

Ibid, 114-116. 15

Lewis Coser, The Function Of..., 93.

27

proses yang fundamental walaupun porsi setiap bagian memiliki muatan yang berbeda

merupakan bagian kesatuan dari setiap sistem sosial yang berkorelasi. 16

C. Teori Perdamaian Menurut Johan Galtung

Johan Galtung lahir tanggal 24 Oktober 1930 di Oslo, Norwegia. Ia mendapat

gelar doktor matematika (1956) dan gelar doktor sosiologi (1957) dari Universitas Oslo.

Dia juga mendapat gelar Doktor Honoris Causa di bidang ilmu sosial penelitian

perdamaian dari berbagai Universitas. Galtung telah mengembangkan beberapa teori yang

berpengaruh, seperti perbedaan perdamaian negatif dan positif, kekerasan struktural, teori

tentang konflik dan resolusi konflik, konsep perdamaian dan teori struktural

imperealisme, dan teori mengenai Amerika secara simultan adalah Republik dan

kekuasaan.17

Johan Galtung dalam bukunya Peace By Peacefull Means, Peace Dan Conflik,

Development And Civilization menjelaskan tentang apa itu perdamaian. Menurut Galtung

perdamaian mempunyai dua pengertian, yaitu:

1. Perdamaian adalah tidak adanya/ berkurangnya segala jenis kekerasan

2. Perdamaian adalah transformasi konflik kreatif non-kekerasan. 18

Untuk kedua definisi tersebut hal-hal berikut ini berlaku:

1. Kerja perdamaian adalah kerja yang mengurangi kekerasan dengan cara-cara damai

2. Studi perdamaian adalah studi tentang kondisi-kondisi kerja perdamaian.

16

Ibid, 116-121. 17

https://www.transcend.org/tpu/#staff_4. Di unduh pada Selasa 26 November 2013. 18

Johan Galtung, Peace By Peacefull Means, Peace Dan Conflik, Development And Civilization

(Oslo &London: prio & sage publications, 1996), 9.

28

Dari pengertian perdamaian yang pertama dapat dipahami bahwa perdamaian

memberikan penjelasan dengan orintasi kekerasan dan perdamaian sebagai negasinya.

Sehingga untuk memahami perdamaian harus terlebih dahulu memahami mengenai

kekerasan. Pada pengertian yang kedua berorintasi kepada konflik. Perdamaian adalah

dimana konteks konflik terungkap tanpa kekerasan untuk mengetahui mengenai

perdamaian maka harus tahu pula mengenai konflik dan bagaimana konflik dapat diubah

tanpa kekerasan secara kreatif. Kedua definisi ini berfokus kepada manusia dan

lingkungan sosial. Hal ini membuat perdamaian mempelajari ilmu sosial dan terlebih

khusus ilmu-ilmu terapan.

Dalam studi perdamaian Johan Galtung membaginya melalui tiga titik tolak yang

berbeda, yaitu:

1. Studi perdamaian empiris, yang didasarkan pada empirisme: perbandingan

sistematis antara teori dan realitas empiris (data) dengan merevisi teori jika teori

tersebut tidak sesuai dengan data-data lebih kuat dari teori.

2. Studi perdamaian kritis, yang didasarkan pada kritisisme: perbandingan

sistematis antara realitas empiris (data) dengan nilai-nilai, dengan berusaha,

dalam kata-kata dan atau dalam tindakan, untuk mengubah realitas, jika realitas

tidak sesuai dengan nilai-nilai yang lebih kuat dari data.

3. Studi perdamaian konstruktif, yang didasarkan pada konstruktivisme: perbandingan

sistematis antara teori dengan nilai-nilai dengan berusaha untuk

menyesuaikan teori dengan nilai sehingga menghasilkan visi tentang realitas

baru dan nilai lebih kuat dari teori.19

19

Ibid, 9-10.

29

Perdamaian adalah suatu nilai yang diharapkan mampu menjadi solusi dalam

sebuah studi perdamaian, sehingga makna perdamaian ini harus didefinisikan. Satu

hal yang harus dilakukan dalam studi perdamaian adalah dengan mengklarifikasi

kekerasan, atau penderitaan, apa penyebab kekerasan, dan apa pula akibat kekerasan.

Selanjutnya dijelaskan pula apa penyebab perdamaian dan apa akibat perdamaianya.

Apapun yang dijelaskan dalam studi perdamaian memerlukan suatu tipologi yang

cukup luas bagi jawabannya. Tipologi suatu masyarakat setidaknya dijelaskan melalui

beberapa aspek, meliputi: alam, manusia, sosial, dunia, kebudayaan, dan waktu.

Perdamaian, oleh Galtung dilihat dalam 2 kategori. Yaitu perdamaian negatif

(negative peace) dan perdamaian positif (positive peace).

1. Perdamaian Positif

Konsep perdamaian positif (positive peace) berdasarkan pada pemahaman dasar

dari kondisi-kondisi sosial cara menghapus kekerasan sruktural melampaui tiadanya

kekerasan langsung. Pengertian perdamaian ini memberikan dampak terhadap strategi

perdamaian yang aktif, yaitu dengan mengadakan usaha perubahan diskriminasi

struktural. Barash dan Webel menekankan perdamaian positif adalah kondisi yang

dipenuhi oleh keadilan sosial (sosial justice). Keadilan sosial sendiri mungkin

didefinisikan secara berbeda oleh tiap konteks masyarakat. Pada masyarakat kapitalis-

liberalis menganggap keadilan sosial harus dimaniestasikan melalui kebebasan

berekonomi, berpolitik, dan gaya hidup. Sedangkan dalam masyarakat sosial keadilan

sosial menunjuk pada keamanan sosial ekonomi melalui distribusi kesejahteraan pada tiap

masyarakat. 20

20

Barrash & Webel. “peace and conflict studies” dalam buku Sosiologi Konflik Dan Isu-Isu

Konflik Konteporer (Jakarta: kencana, 2009), 121.

30

Johan Galtung mengemukakan konsep perdamaian positif adalah situasi tiadanya

segenap masalah struktural yang dapat menebar benih ketidakpuasan sehingga menyulut

konflik. Perdamaianyang positif diartikan adanya keadilan sosial atau tidak adanya

kekerasan struktural.21

Menurut Galtung perdamaian di bagi atas beberapa tipologi:

Perdamaian positif langsung, terdiri atas kebaikan verbal dan fisik, baik bagi tubuh,

pikiran, dan jiwa diri dan orang lain, ditujukan untuk semua kebutuhan dasar,

kelangsungan hidup, kesejahteraan, kebebasan dan identitas

Perdamaian positif struktural, yaitu perdamaian yang timbul karena mengganti segala

bentuk penindasan dengan kebebasan dan eksploitasi dengan persamaan, dan

kemudian memperkuat hal ini dengan dialog, solidaritas, dan partisipasi.

Perdamaian positif kultural, yaitu perdamaian yang akan tercapai dengan cara

menggantikan legitimasi kekerasan dengan legitimasi perdamaian, dalam agama,

hukum, dan ideologi. Hal ini terdapat dalam ruang lingkup bahasa, seni, ilmu

pengetahuan, dan media. Perdamaian positif secara kultural terdapat dalam ruang

batin diri, yang berarti perdamaian terbuka bagi beberapa kecenderungan dan

kemampuan manusia untuk tidak melakukan penindasan. 22

Perdamaian positif melibatkan pembangunan dan pengembangan masyarakat

terhidar dari kekerasan langsung dan kekerasan struktural atau ketidakadilan sosial.

Dalam hal ini berarti suatu kualitas kehidupan individu dan masyarakat yang sesuai

dengan harkat, martabat, dan hak-hak asasi manusia sehingga memungkinkan mereka

21

Galtung mendefinisikan “kekerasan struktural sebagai jarak antara yang aktual dan yang

potensial.” Struktur kekerasan adalah diam, tidak menunjukkan. Hal ini secara luas misalnya kasus

ketidakadilan dalam institusi, hukum, atau peraturan yang dianggap sebagai kekerasan yang dilakukan oleh

orang-orang yang berkuasa, dirasakan oleh mereka yang menderita, tetapi tidak dianggap sebagai

kekerasan oleh mereka yang mendapatkan keuntungan dari situasi tersebut. Hal ini ditemukan di lembaga-

lembaga hukum, struktur politik, pola pemerintahan dan pola budaya yang mengatur sistem sosial. Johan

Galtung, “Violence, Peace, and Peace Research” Journal of Peace Research, Vol. 6, No. 3, (1969). 22

Johan Galtung, Studi Perdamaian…, 71.

31

untuk berinteraksi dengan adil, setara, dan rukun. Terminologi positive peace dapat

dicapai jika perdamaian dicapai atas dasar koordinasi dan hubungan yang supportif antara

pihak-pihak yang terkait di dalamnya.

2. Perdamaian Negatif

Perdamaian Negatif (negative peace), menggambarkan damai semata-mata

sebagai ketiadaan konflik kekerasasn (The Absence of Violent Conflict). Perspektif seperti

ini memandang bahwa perdamaian ditemukan kapanpun ketika tidak ada perang atau

bentuk-bentuk kekerasan langsung yang teroganisir. Konsep perdamaian negatif ini

melahirkan pembangunan perdamian negatif seperti diplomasi, negosiasi, dan resolusi

konflik. Walaupun pada beberapa kalangan perdamaian negatif perlu diupayakan, dalam

kasus-kasus tertentu dengan mengunakan kekuatan militer. Seperti peace making dan

peace keeping adalah bagian dari menciptakan perdamaian negatif. 23

Perdamaian Positif dan Negatif pada dasarnya adalah sebuah proses yang

berurutan. Perdamaian positif adalah hasil dari perdamaian negatif begitu pula sebaliknya.

Upaya melakukan penggabungan konsep perdamian positif dan negatif ini akan

menghasilkan perdamaian menyeluruh. Perdamaian menyeluruh adalah kehadiran dari

setiap unsur tindakan dan sistem perdamaian secara keseluruhan.24

D. Konsep Kekerasan Menurut Johan Galtung

Galtung menciptakan tiga tipe ideal kekerasan, yaitu kekerasan struktural, kultural

dan lansung. Kekerasan langsung seringkali didasar atas pengunaan kekuasaan sumber

(resource power). Kekuasaan sumber bisa di bagi menjadi kekuasaan punitive, yaitu

kekuasaan yang menghancurkan kemudian kekuasaan ideologis dan kekuasaan

23

Novri Susan, Sosiologi konflik…, 121. 24

Ibid, 123.

32

renumeratif. Kekuasaan ideologis dan renumeteratif cenderung menciptakan kekerasan

kultural. Sedangkan kekerasan struktural tercipta dari penggunaan kekuasaan struktural,

seperti seseorang yang memiliki wewenang menciptakan kebijakan publik. Kekuasaan

sumber dan kekuasaan struktural saling berkait saling memperkuat. Galtung

mengungkapkan kekerasan struktural, kultural dan langsung dapat menghalangi

pemenuhan kebutuhan dasar. Kebutuhan dasar ini adalah kelestarian atau

keberlangsungan hidup, kesejahteraan, kebebasan dan identitas. Jika empat kebutuhan

dasar ini mengalami tekanan atau kekerasan dari kekuasaan personal dan struktural, maka

konflik kekerasan akan muncul ke permukaan sosial. 25

1. Kekerasan struktural

Kekerasan struktural menurut Galtung ketidakadilan yang diciptakan oleh suatu

sistem yang menyebabkan manusia tidak memenuhi kebutuhan dasarnya merupakan

konsep kekerasan struktural seperti ini ditunjukkan dalam bentuk perasaaan tidak aman

terhadap lembaga-lembaga represif yang dilindungi dan dilegalkan oleh kebijakan politis

seperti negara.26

Kekerasan struktural dapat menyebabkan tertindasnya manusia dan

kelompok sosial sehingga mengalami berbagai kesulitan untuk hidup.

Dalam kekerasan struktural sangat sulit untuk menemukan pelaku konkret. Dalam

kekerasan struktural, berarti kekerasan sudah menjadi bagian dari struktur itu dan

menampakkan diri sebagai kekuasaan yang tidak seimbang yang menyebabkan peluang

hidup tidak sama. Johan Galtung menjelaskan dalam kekerasan struktural ini di dalamnya

mencuat “situasi-situasi negatif” seperti ketimpangan yang merajalela, sumber daya,

pendapatan, pendidikan, wewenang untuk mengambil keputusan mengenai sumber daya

pun tidak merata. Lebih tegas lagi Galtung mengatakan di dalamnya lebih bersifat

25

Ibid, 110-111. 26

Ibid, 111-112.

33

menindas, menekan, mengeksploitasi menjajah dan mengasingkan. Dalam kasus yang

ekstrim kekerasan struktural dapat menjadi begitu represif sehingga menyebabkan

kematian psikologis orang-orang yang ditindasnya atau begitu eksploitatif sehingga

menyebabkan kematian visi misalnya dengan meniadakan pemenuhan material dasarnya,

yaitu menyangkut sosio-ekonomis atau material dan menyangkut kebebasan, martabatnya

sebagai manusia. Semuanya itu dapat menyengsarakan umat manusia sehingga

ketentraman hidup menjadi hilang.

2. Kekerasan langsung

Kekerasan langsung merupakan bentuk kekerasan dilakukan secara fisik dan

sengaja untuk ditujuan kepada pihak yang dianggap bertanggungjawab atas apa yang

menyebabkan tidak seimbangnya koridor pemenuhan kebutuhan hidup. Dalam kekerasan

langsung terdapat hubungan subjek-tindakan-objek seperti pada aksi seseorang yang

melukai orang lain dengan aksi kekerasan. 27

3. Kekerasan budaya

Kekerasan budaya disebut sebagai motor dari kekerasan struktural dan langsung

karena sifat budaya bisa muncul pada dua tipe kekerasan tersebut. Kekerasan budaya

dilihat sebagai sumber lain dari tipe-tipe konflik melalui produksi kebencian, ketakutan

dan kecurigaan. Galtung menekankan makna kekerasan budaya yang ia maksud bukanlah

hendak menyebut kebudayaan secara keseluruhan sistemnya namun aspek-aspek dari

kebudayaan itu.28

Jadi kekerasan didefinisikan Johan Galtung adalah sebagai penyebab perbedaan

antara yang potensial dan yang aktual. Penyalahgunaan sumber-sumber daya, wawasan

27

Ibid, 113. 28

Ibid, 114-115.

34

dan hasil kemajuan untuk tujuan lain atau dimonopoli oleh segelintir orang saja maka ada

kekerasan dalam sistem itu. Karena keadaan itu menyebabkan tingkat aktualisasi massa

rakyat berada dibawah tingkat potensialnya ada kekerasan langsung contohnya

membunuh atau perang. Disini tampak bahwa dengan melukai atau membunuh berarti

menempatkan “realisasi jasmani aktualnya” dibawah “realisasi potensialnya”. Dengan

demikian “realisasi mentalnya” juga tidak dimungkinkan karena kita tahu bahwa tanpa

integritas jasmani kebebasan untuk merealisasikan diri terhambat maka Galtung

mengartikan kekerasan dengan amat luas dia menolak konsep kekerasan sempit, yaitu

menghilangkan kesehatan belaka dengan pembunuhan. Menurut Galtung, jika hanya ini

yang disebut kekerasan, dan perdamaian sebagai bentuk pengingkarannya maka terlalu

sedikit yang ditolak dalam usaha menganut perdamaian sebagai sesuatu yang ideal. Lebih

lanjut lagi pemahaman Galtung tentang kekerasan lebih ditentukan pada segi akibat atau

pengaruhnya pada manusia karena dari sudut korban ini kekerasan tidak banyak bedanya

apakah mati kelaparan merupakan akibat serangan militer, akibat ketidakadilan,

ketidakmerataan dan struktur vertikal dan asimetris, juga tidak banyak bedanya seseorang

dibunuh secara cepat dengan peluru atau mati pelan-pelan karena kekurangan makanan.