BAB II TEORI KONFLIK DAN PERDAMAIAN -...
Transcript of BAB II TEORI KONFLIK DAN PERDAMAIAN -...
19
BAB II
TEORI KONFLIK DAN PERDAMAIAN
Dalam penelitian ini, teori yang akan digunakan adalah Teori Konflik menurut
Lewis. A. Coser dan Teori Perdamaian menurut Johan Galtung. Untuk lebih jelasnya,
teori tersebut akan diuraikan sebagai berikut:
A. Teori Konflik Menurut Lewis. A. Coser
Lewis Coser adalah salah satu pelopor sosiologi konflik struktural Lewis A. Coser
lahir di Berlin, tahun 1913. Coser berpendapat bahwa konflik tidak selamanya harus
dimaknai sebagai hal yang negatif. Konflik tidak selalu mengarah kepada permusuhan
tindakan bermusuhan merupakan kondisi rentan untuk terlibat dalam konflik. Namun,
tidak semua bentuk permusuhan akan menjadi konflik. Hal ini sangat tergantung pada
kondisi apakah distribusi yang tidak seimbang (unequal distribution) dinyatakan benar
atau tidak. Meskipun permusuhan ada, tetapi jika tidak ada pengabsahan, maka konlik
tidak akan terjadi.1 Pemahaman mengenai konflik menurut Coser merupakan suatu
kesadaran yang mencerminkan semangat pembaharuan di dalam masyarakat yang mana
nantinya mungkin akan dapat dijadikan sebagai suatu alat yang sifatnya instrumentalis di
dalam pembentukan, penyatuan dan pemeliharaan atas sruktur sosial yang ada. Selain itu
juga konflik juga dapat menetapkan dan menjaga garis batas dua atau beberapa kelompok
yang akhirnya dengan adanya konflik ini pun akan membuat kelompok yang lain untuk
memperkuat kembali indentitas kelompok dan melindungi agar tidak lebur kedalam dunia
sosial di sekililingnya.2 Coser melihat konflik sebagai mekanisme perubahan sosial dan
1 Rachmad K. Dwi Susilo, 20 Tokoh Sosiologi Modern: Biografi para peletak sosiologi modern
(Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2008), 228-229. 2 Margaret M. Poloma, Sosiologi Kontemporter (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007), 107.
20
penyesuaian dapat memberi peran positif dalam masyarakat. Sehingga dalam suatu
hubungan sosial tertentu, konflik yang disembunyikan tidak akan memberi efek positif.
Terhadap asal muasal konflik sosial, Coser berpendapat sama seperti George
Simmel bahwa ada keagresifan atau permusuhan dalam diri orang (hostile feeling) dan dia
memerhatikan bahwa dalam hubungan intim dan tertutup, antara cinta dan rasa benci
hadir. Coser mempunyai pendapat yang sama dengan Simmel dalam melihat unsur dasar
konflik, yaitu hostile feeling. Walaupun demikian, Coser tidak seperti Simmel yang
terhenti hanya kepada unsur hostile feeling. Bagi Coser hostile feeling belum tentu
menyebabkan konflik terbuka (overt conflict), sehingga Coser menambahkan unsur
perilaku permusuhan (hostile behavior). Perilaku permusuhan inilah yang menyebabkan
masyarakat mengalami situasi konflik.3
Selanjutnya Lewis Coser menjelaskan bahwa faktor lain yang bisa menyebabkan
konflik dalam masyarakat adalah pertama, anggota bawah dalam sistem yang tidak setara
lebih mungkin untuk memulai konflik sebagai pertanyaan terhadap distribusi legitimasi
terhadap sumber daya yang langka dan pada gilirannya, disebabkan oleh: beberapa
saluran untuk memperbaiki keluhan dan rendahnya tingkat mobilitas pada posisi yang
lebih istimewa. Kedua, bawahan lebih mungkin untuk memulai konflik dengan
superordinat sebagai rasa kekurangan yang relatif dan karenanya ketidakadilan meningkat
yang pada gilirannya berhubungan dengan memperpanjang pengalaman sosialisasi untuk
bawahan yang tidak menghasilkan kendala ego internal serta kegagalan superordinat
untuk menerapkan batasan eksternal pada bawahan.4
3 Novri Susan, Sosiologi Konflik Dan Isu-Isu Konflik Kontemporer (Jakarta : kencana, 2009), 54.
4 Jonathan H, Turner, The Structure of Sociology Theory. 6ᵗ ed (Balmont, CA: Wadsworth Pub.
Company: 1998), 172.
21
Dalam karyanya, Coser memberi perhatian pada adanya konflik eksternal dan
internal. Konflik eksternal mampu menciptakan dan memperkuat identitas kelompok. Ia
menyatakan ”..konflik membuat batasan-batasan di antara kedua kelompok dalam system
sosial dengan memperkuat kesadaran dan kembali atas atas keterpisahan, sehingga
menciptakan kesadaran identitas kelompok dalam sistem”. Selanjutnya, konflik eksternal
akan menjadi proses refleksi kelompok-kelompok identitas mengenai kelompok di luar
mereka sehingga meningkatkan partisipasi setiap anggota terhadap pengorganisasian
kelompok. Kelompok identitas diluar, mereka ini merupakan negative refrence group.
Selain konflik eksternal, konflik internal memberi fungsi positif terhadap kelompok
identitas mengenai adanya kesalahan perilaku. Ada perilaku anggota yang dianggap
menyimpang dari teks norma kelompok sehingga perlu dikoreksi oleh kelompok tersebut.
Selain itu konflik internal merupakan mekanisme bertahan dari eksistensi suatu
kelompok.5
B. Pokok Teori Yang Di Sampaikan Oleh Coser
1. Fungsi-Fungsi Konflik Sosial
a. Katup Penyelamat
Ketika konflik terjadi, Coser memberikan solusi yaitu konsep katup penyelamat
(safety valve). Margaret Poloma menyatakan bahwa katup penyelamat (safety valve)
merupakan mekanisme khusus yang digunakan kelompok untuk mencegah konflik sosial
terutama konflik yang lebih besar yang berpotensi merusak struktur keseluruhan.6 Coser
melihat katup penyelamat demikian berfungsi sebagai jalan keluar yang meredakan
permusuhan yang tanpa itu hubungan-hubungan di antara pihak-pihak yang bertentangan
5 Novri Susan, Sosiologi Konflik…, 55-56.
6 Margaret M. Poloma, Sosiologi Kontemporter…, 108.
22
akan semakin tajam.7 Katup penyelamat mampu mengakomodasi luapan permusuhan
menjadi tersalur tanpa menghancurkan seluruh struktur. Ia ikut membersihkan suasana
yang sedang kacau. Lewat Katup penyelamat itu permusuhan dihambat agar tidak
berpaling melawan obyek aslinya. Tetapi penggantian yang demikian mencakup juga
biaya bagi sistem sosial maupun bagi individu: mengurangi tekanan untuk
menyempurnakan sistem untuk memenuhi kondisi-kondisi yang sedang berubah maupun
membendung ketegangan dalam diri individu menciptakan kemungkinan tumbuhnya
ledakan-ledakan destruktif.8
b. Konflik Realistis & Non-Realistis
Dalam membahas situasi konflik Coser membedakan dua tipe dasar konflik yaitu
Konflik Realistis dan Konflik Non-Realistis.
Konflik Yang Realistis
Konflik realistik mempunyai ciri-ciri sebagai berikut :
- Konflik muncul dari rasa frustasi atas tuntutan khusus dalam hubungan dan dari
perkiraan keuntungan anggota dan yang diarahkan pada objek frustasi. Disamping itu,
konflik merupakan keinginan untuk mendapatkan sesuatu (expectations of gains).
- Konflik merupakan alat untuk mendapatkan hasil-hasil tertentu. Langkah-langkah
untuk mencapai hasil ini jelas disetujui oleh kebudayaan mereka. Dengan kata lain,
konflik realistis sebenarnya mengejar: power, status yang langka, resources (sumber
daya), dan nilai-nilai.
7 Lewis Coser, The Function Of Sosial Conflict, (New York: The Free Press, 1956), 41.
8 Ibid, 48.
23
- Konflik akan terhenti jika aktor menemukan pengganti yang sejajar dan memuaskan
untuk mendapat hasil akhir.
- Pada konflik realistis terdapat pilihan-pilihan fungsional sebagai alat untuk mencapai
tujuan. Pilihan–pilihan amat bergantung pada penilaian partisipan atas kemujaraban
yang selalu tersedia itu. 9
Konflik yang realistis sering merupakan rangsangan utama untuk perubahan
sosial. Perubahan seperti itu dapat menguntungkan sistem dengan memberikannya
kebebasan untuk dengan lebih efektif perubahan-perubahan dalam lingkungannya atau
perubahan dapat menghasilkan suatu kepekaan terhadap kebutuhan pribadi anggota
sistem: dalam hal ini komitmen terhadap sistem itu cenderung naik. Konflik realistis
memiliki sumber yang konkret atau bersifat material seperti perebutan sumber ekonomi
atau wilayah. Jika mereka telah memperoleh sumber rebutan itu dan bila dapat diperoleh
tanpa perkelahian, maka konflik akan segera di atasi dengan baik.10
Konflik Yang Nonrealistis
Konflik yang Nonrealistis adalah konflik yang bukan berasal dari tujuan-tujuan
saingan yang antagonis, tetapi dari kebutuhan untuk meredakan ketegangan, paling tidak
dari salah satu pihak. Konflik Nonrealistis adalah konflik yang terjadi tidak berhubungan
dengan isu substansi penyebab konflik. Konflik ini dipicu atau prasangka terhadap lawan
konflik yang mendorong melakukan angresi untuk mengalahkan atau menghancurkan
lawan konfliknya. Penyelesaian perbedaan pendapat mengenai isu penyebab konflik tidak
penting hal yang penting adalah bagaimana mengalahkan lawannya. Oleh karena itu,
metode manajemen konflik yang agresi, mengunakan kekuasaan, kekuatan, dan
9 Rachmad K. Dwi Susilo, 20 Tokoh Sosiologi Modern…, 232.
10 Novri Susan, Sosiologi Konflik…, 54-55.
24
paksaan.11
Konflik Nonrealistis didorong oleh keinginan yang tidak rasional dan
cenderung bersifat ideologis. Konflik ini seperti konflik antar agama, antar etnis, dan
konflik-konflik antar kepercayaan lainnya. Konflik nonrealistis merupakan satu cara
menurunkan ketegangan atau mempertegas identitas satu kelompok dan cara ini
mewujudkan bentuk-bentuk kekejian yang sesungguhnya turun dari sumber-sumber
lain.12
Dibandingkan dengan konflik Realistik, konflik Nonrealistik kurang stabil atau
memiliki tingkatan stabilitas tingkatan yang lebih rendah. Konflik Nonrealistis cenderung
sulit untuk menemukan resolusi konflik, konsensus, dan perdamian tidak akan mudah
diperoleh.
2. Permusuhan Dari Hubungan-Hubungan Sosial Yang Intim
Menurut Coser terdapat kemungkinan seseorang terlibat dalam konflik realistis
tanpa sikap permusuhan atau agresif. Coser menyatakan semakin dekat suatu hubungan
semakin besar rasa kasih sayang yang sudah tertanam sehingga semakin besar juga
kecenderungan untuk menekan ketimbang mengungkapkan rasa permusuhan. Sedang
pada hubungan-hubungan sekunder seperti misalnya dengan rekan bisnis, rasa
permusuhan dapat relatif bebas diungkapkan. Hal ini tidak selalu bisa terjadi dalam
hubungan-hubungan primer dimana keterlibatan total para partisipan membuat
pengugkapan perasaan yang demikian merupakan bahaya bagi hubungan tersebut. Yang
bersifat paradoks ialah semakin dekat hubungan semakin sulit rasa permusuhan itu
diungkapkan tetapi semakin lama perasaan demikian ditekan maka semakin penting
pengungkapannya demi mempertahankan hubungan itu sendiri. Karena dalam suatu
11
Lewis Coser, The Function Of ..., 53-54. 12
Novri Susan, Sosiologi Konflik…, 55.
25
hubungan yang intim keseluruhan kepribadian sangat boleh jadi terlibat maka konflik itu
ketika benar-benar meledak mungkin sekali akan sangat keras.
Walau berat bagaimanapun masalahnya ketika konflik meledak dalam hubungan-
hubungan yang intim itu. Coser menegaskan bahwa tidak adanya konflik tidak bisa
dianggap sebagai petunjuk kekuatan dan stabilitas dari hubungan yang demikian. Konflik
yang diungkapkan dapat merupakan tanda-tanda dari hubungan-hubungan yang hidup
sedang tidak adanya konflik itu dapat berarti penekanan masalah-masalah yang
menandakan kelak akan ada suasana yang benar-benar kacau.13
3. Isu Fungsionalitas Konflik
Konflik dapat secara positif fungsional sejauh ia memperkuat kelompok dan
secara negatif fungsional sejauh ia bergerak melawan struktur. Coser mengutip hasil
pengamatan Simmel yang menunjukkan bahwa konflik mungkin positif sebab dapat
meredakan ketegangan yang terjadi dalam suatu kelompok dengan memantapkan
keutuhan dan keseimbangan. Peningkatan konflik dalam kelompok dapat dihubungkan
dengan peningkatan interaksi dengan dan ke dalam masyarakat secara keseluruhan. Coser
juga menyatakan bahwa yang menentukan suatu konflik fungsional adalah tipe isu yang
merupakan subyek konflik itu.
Konflik fungsional positif bilamana tidak mempertanyakan dasar-dasar
hubungan dan fungsional negatif jika menyerang suatu nilai inti. Coser juga
menambahkan bahwa masyarakat yang berstruktur longgar terbuka dan demokratis
membangun perlindungan suatu nilai inti dengan cara dengan membiarkan konflik itu
berkembang disekitar masalah-masalah yang tidak mendasar Amerika sebagai contohnya
dari masyarakat berstruktur longgar dan terbuka dimana pada negara tersebut terdapat
13
Margaret M. Poloma, Sosiologi Kontemporter…, 111-113.
26
suatu konflik mengenai berbagai masalah, mulai dari abortus, nuklir dan masalah
perpajakan oleh karena masalah-masalah tersebut tidak menyangkut nilai-nilai inti maka
konflik yang seperti ini tak membahayakan struktur sosial. Ini malah dapat meningkatkan
solidaritas struktural di mana berbagai kelompok bisa memiliki pandangan yang berbeda
tetapi dengan masalah yang berbeda pula. 14
4. Kondisi Konflik Antara Kelompok Dalam (In-Group) Dengan Kelompok Luar (Out
Group)
Coser menunjukan bahwa konflik dengan kelompok luar akan membantu
pemantapan batas-batas struktural. Sebaliknya bahwa konflik dengan kelompok luar juga
akan mempertinggi integrasi di dalam kelompok. Coser juga menyatakan bahwa:
“Bilamana konsensus dasar suatu kelompok lemah, maka ancaman dari luar
menjurus bukan pada peningkatan kohesi tetapi pada apati umum dan
mengakibatkan suatu kelompok itu teracam pada perpecahan. Penelitian tentang
dampak depresi terhadap keluarga, misalnya, telah menunjukan bahwa keluarga-
keluarga yang sebelum masa depresi memiliki solidaritas internal yang rendah
memberikan tanggapan apatis dan akhirnya hancur, sedangkan keluarga dengan
solidaritas tinggi ternyata semakin kuat.”15
Pada dasarnya penekanan dan penggambaran atas pendekatan konflik yang
diajukan oleh Coser sebagai fungsionalisme konflik yang tanpa melepaskan konsep-
konsep serta asumsi–asumsi fungsionalisme strukturalnya dengan menambahkan konflik
yang dinamis, perspektif intergrasi dan perspektif konflik bukan merupakan skema
penjelasan yang saling bersaing. Melainkan justru dengan adanya konflik, konsensus,
integrasi dan perpecahan merupakan satu kesatuan yang utuh dalam menjalankan suatu
14
Ibid, 114-116. 15
Lewis Coser, The Function Of..., 93.
27
proses yang fundamental walaupun porsi setiap bagian memiliki muatan yang berbeda
merupakan bagian kesatuan dari setiap sistem sosial yang berkorelasi. 16
C. Teori Perdamaian Menurut Johan Galtung
Johan Galtung lahir tanggal 24 Oktober 1930 di Oslo, Norwegia. Ia mendapat
gelar doktor matematika (1956) dan gelar doktor sosiologi (1957) dari Universitas Oslo.
Dia juga mendapat gelar Doktor Honoris Causa di bidang ilmu sosial penelitian
perdamaian dari berbagai Universitas. Galtung telah mengembangkan beberapa teori yang
berpengaruh, seperti perbedaan perdamaian negatif dan positif, kekerasan struktural, teori
tentang konflik dan resolusi konflik, konsep perdamaian dan teori struktural
imperealisme, dan teori mengenai Amerika secara simultan adalah Republik dan
kekuasaan.17
Johan Galtung dalam bukunya Peace By Peacefull Means, Peace Dan Conflik,
Development And Civilization menjelaskan tentang apa itu perdamaian. Menurut Galtung
perdamaian mempunyai dua pengertian, yaitu:
1. Perdamaian adalah tidak adanya/ berkurangnya segala jenis kekerasan
2. Perdamaian adalah transformasi konflik kreatif non-kekerasan. 18
Untuk kedua definisi tersebut hal-hal berikut ini berlaku:
1. Kerja perdamaian adalah kerja yang mengurangi kekerasan dengan cara-cara damai
2. Studi perdamaian adalah studi tentang kondisi-kondisi kerja perdamaian.
16
Ibid, 116-121. 17
https://www.transcend.org/tpu/#staff_4. Di unduh pada Selasa 26 November 2013. 18
Johan Galtung, Peace By Peacefull Means, Peace Dan Conflik, Development And Civilization
(Oslo &London: prio & sage publications, 1996), 9.
28
Dari pengertian perdamaian yang pertama dapat dipahami bahwa perdamaian
memberikan penjelasan dengan orintasi kekerasan dan perdamaian sebagai negasinya.
Sehingga untuk memahami perdamaian harus terlebih dahulu memahami mengenai
kekerasan. Pada pengertian yang kedua berorintasi kepada konflik. Perdamaian adalah
dimana konteks konflik terungkap tanpa kekerasan untuk mengetahui mengenai
perdamaian maka harus tahu pula mengenai konflik dan bagaimana konflik dapat diubah
tanpa kekerasan secara kreatif. Kedua definisi ini berfokus kepada manusia dan
lingkungan sosial. Hal ini membuat perdamaian mempelajari ilmu sosial dan terlebih
khusus ilmu-ilmu terapan.
Dalam studi perdamaian Johan Galtung membaginya melalui tiga titik tolak yang
berbeda, yaitu:
1. Studi perdamaian empiris, yang didasarkan pada empirisme: perbandingan
sistematis antara teori dan realitas empiris (data) dengan merevisi teori jika teori
tersebut tidak sesuai dengan data-data lebih kuat dari teori.
2. Studi perdamaian kritis, yang didasarkan pada kritisisme: perbandingan
sistematis antara realitas empiris (data) dengan nilai-nilai, dengan berusaha,
dalam kata-kata dan atau dalam tindakan, untuk mengubah realitas, jika realitas
tidak sesuai dengan nilai-nilai yang lebih kuat dari data.
3. Studi perdamaian konstruktif, yang didasarkan pada konstruktivisme: perbandingan
sistematis antara teori dengan nilai-nilai dengan berusaha untuk
menyesuaikan teori dengan nilai sehingga menghasilkan visi tentang realitas
baru dan nilai lebih kuat dari teori.19
19
Ibid, 9-10.
29
Perdamaian adalah suatu nilai yang diharapkan mampu menjadi solusi dalam
sebuah studi perdamaian, sehingga makna perdamaian ini harus didefinisikan. Satu
hal yang harus dilakukan dalam studi perdamaian adalah dengan mengklarifikasi
kekerasan, atau penderitaan, apa penyebab kekerasan, dan apa pula akibat kekerasan.
Selanjutnya dijelaskan pula apa penyebab perdamaian dan apa akibat perdamaianya.
Apapun yang dijelaskan dalam studi perdamaian memerlukan suatu tipologi yang
cukup luas bagi jawabannya. Tipologi suatu masyarakat setidaknya dijelaskan melalui
beberapa aspek, meliputi: alam, manusia, sosial, dunia, kebudayaan, dan waktu.
Perdamaian, oleh Galtung dilihat dalam 2 kategori. Yaitu perdamaian negatif
(negative peace) dan perdamaian positif (positive peace).
1. Perdamaian Positif
Konsep perdamaian positif (positive peace) berdasarkan pada pemahaman dasar
dari kondisi-kondisi sosial cara menghapus kekerasan sruktural melampaui tiadanya
kekerasan langsung. Pengertian perdamaian ini memberikan dampak terhadap strategi
perdamaian yang aktif, yaitu dengan mengadakan usaha perubahan diskriminasi
struktural. Barash dan Webel menekankan perdamaian positif adalah kondisi yang
dipenuhi oleh keadilan sosial (sosial justice). Keadilan sosial sendiri mungkin
didefinisikan secara berbeda oleh tiap konteks masyarakat. Pada masyarakat kapitalis-
liberalis menganggap keadilan sosial harus dimaniestasikan melalui kebebasan
berekonomi, berpolitik, dan gaya hidup. Sedangkan dalam masyarakat sosial keadilan
sosial menunjuk pada keamanan sosial ekonomi melalui distribusi kesejahteraan pada tiap
masyarakat. 20
20
Barrash & Webel. “peace and conflict studies” dalam buku Sosiologi Konflik Dan Isu-Isu
Konflik Konteporer (Jakarta: kencana, 2009), 121.
30
Johan Galtung mengemukakan konsep perdamaian positif adalah situasi tiadanya
segenap masalah struktural yang dapat menebar benih ketidakpuasan sehingga menyulut
konflik. Perdamaianyang positif diartikan adanya keadilan sosial atau tidak adanya
kekerasan struktural.21
Menurut Galtung perdamaian di bagi atas beberapa tipologi:
Perdamaian positif langsung, terdiri atas kebaikan verbal dan fisik, baik bagi tubuh,
pikiran, dan jiwa diri dan orang lain, ditujukan untuk semua kebutuhan dasar,
kelangsungan hidup, kesejahteraan, kebebasan dan identitas
Perdamaian positif struktural, yaitu perdamaian yang timbul karena mengganti segala
bentuk penindasan dengan kebebasan dan eksploitasi dengan persamaan, dan
kemudian memperkuat hal ini dengan dialog, solidaritas, dan partisipasi.
Perdamaian positif kultural, yaitu perdamaian yang akan tercapai dengan cara
menggantikan legitimasi kekerasan dengan legitimasi perdamaian, dalam agama,
hukum, dan ideologi. Hal ini terdapat dalam ruang lingkup bahasa, seni, ilmu
pengetahuan, dan media. Perdamaian positif secara kultural terdapat dalam ruang
batin diri, yang berarti perdamaian terbuka bagi beberapa kecenderungan dan
kemampuan manusia untuk tidak melakukan penindasan. 22
Perdamaian positif melibatkan pembangunan dan pengembangan masyarakat
terhidar dari kekerasan langsung dan kekerasan struktural atau ketidakadilan sosial.
Dalam hal ini berarti suatu kualitas kehidupan individu dan masyarakat yang sesuai
dengan harkat, martabat, dan hak-hak asasi manusia sehingga memungkinkan mereka
21
Galtung mendefinisikan “kekerasan struktural sebagai jarak antara yang aktual dan yang
potensial.” Struktur kekerasan adalah diam, tidak menunjukkan. Hal ini secara luas misalnya kasus
ketidakadilan dalam institusi, hukum, atau peraturan yang dianggap sebagai kekerasan yang dilakukan oleh
orang-orang yang berkuasa, dirasakan oleh mereka yang menderita, tetapi tidak dianggap sebagai
kekerasan oleh mereka yang mendapatkan keuntungan dari situasi tersebut. Hal ini ditemukan di lembaga-
lembaga hukum, struktur politik, pola pemerintahan dan pola budaya yang mengatur sistem sosial. Johan
Galtung, “Violence, Peace, and Peace Research” Journal of Peace Research, Vol. 6, No. 3, (1969). 22
Johan Galtung, Studi Perdamaian…, 71.
31
untuk berinteraksi dengan adil, setara, dan rukun. Terminologi positive peace dapat
dicapai jika perdamaian dicapai atas dasar koordinasi dan hubungan yang supportif antara
pihak-pihak yang terkait di dalamnya.
2. Perdamaian Negatif
Perdamaian Negatif (negative peace), menggambarkan damai semata-mata
sebagai ketiadaan konflik kekerasasn (The Absence of Violent Conflict). Perspektif seperti
ini memandang bahwa perdamaian ditemukan kapanpun ketika tidak ada perang atau
bentuk-bentuk kekerasan langsung yang teroganisir. Konsep perdamaian negatif ini
melahirkan pembangunan perdamian negatif seperti diplomasi, negosiasi, dan resolusi
konflik. Walaupun pada beberapa kalangan perdamaian negatif perlu diupayakan, dalam
kasus-kasus tertentu dengan mengunakan kekuatan militer. Seperti peace making dan
peace keeping adalah bagian dari menciptakan perdamaian negatif. 23
Perdamaian Positif dan Negatif pada dasarnya adalah sebuah proses yang
berurutan. Perdamaian positif adalah hasil dari perdamaian negatif begitu pula sebaliknya.
Upaya melakukan penggabungan konsep perdamian positif dan negatif ini akan
menghasilkan perdamaian menyeluruh. Perdamaian menyeluruh adalah kehadiran dari
setiap unsur tindakan dan sistem perdamaian secara keseluruhan.24
D. Konsep Kekerasan Menurut Johan Galtung
Galtung menciptakan tiga tipe ideal kekerasan, yaitu kekerasan struktural, kultural
dan lansung. Kekerasan langsung seringkali didasar atas pengunaan kekuasaan sumber
(resource power). Kekuasaan sumber bisa di bagi menjadi kekuasaan punitive, yaitu
kekuasaan yang menghancurkan kemudian kekuasaan ideologis dan kekuasaan
23
Novri Susan, Sosiologi konflik…, 121. 24
Ibid, 123.
32
renumeratif. Kekuasaan ideologis dan renumeteratif cenderung menciptakan kekerasan
kultural. Sedangkan kekerasan struktural tercipta dari penggunaan kekuasaan struktural,
seperti seseorang yang memiliki wewenang menciptakan kebijakan publik. Kekuasaan
sumber dan kekuasaan struktural saling berkait saling memperkuat. Galtung
mengungkapkan kekerasan struktural, kultural dan langsung dapat menghalangi
pemenuhan kebutuhan dasar. Kebutuhan dasar ini adalah kelestarian atau
keberlangsungan hidup, kesejahteraan, kebebasan dan identitas. Jika empat kebutuhan
dasar ini mengalami tekanan atau kekerasan dari kekuasaan personal dan struktural, maka
konflik kekerasan akan muncul ke permukaan sosial. 25
1. Kekerasan struktural
Kekerasan struktural menurut Galtung ketidakadilan yang diciptakan oleh suatu
sistem yang menyebabkan manusia tidak memenuhi kebutuhan dasarnya merupakan
konsep kekerasan struktural seperti ini ditunjukkan dalam bentuk perasaaan tidak aman
terhadap lembaga-lembaga represif yang dilindungi dan dilegalkan oleh kebijakan politis
seperti negara.26
Kekerasan struktural dapat menyebabkan tertindasnya manusia dan
kelompok sosial sehingga mengalami berbagai kesulitan untuk hidup.
Dalam kekerasan struktural sangat sulit untuk menemukan pelaku konkret. Dalam
kekerasan struktural, berarti kekerasan sudah menjadi bagian dari struktur itu dan
menampakkan diri sebagai kekuasaan yang tidak seimbang yang menyebabkan peluang
hidup tidak sama. Johan Galtung menjelaskan dalam kekerasan struktural ini di dalamnya
mencuat “situasi-situasi negatif” seperti ketimpangan yang merajalela, sumber daya,
pendapatan, pendidikan, wewenang untuk mengambil keputusan mengenai sumber daya
pun tidak merata. Lebih tegas lagi Galtung mengatakan di dalamnya lebih bersifat
25
Ibid, 110-111. 26
Ibid, 111-112.
33
menindas, menekan, mengeksploitasi menjajah dan mengasingkan. Dalam kasus yang
ekstrim kekerasan struktural dapat menjadi begitu represif sehingga menyebabkan
kematian psikologis orang-orang yang ditindasnya atau begitu eksploitatif sehingga
menyebabkan kematian visi misalnya dengan meniadakan pemenuhan material dasarnya,
yaitu menyangkut sosio-ekonomis atau material dan menyangkut kebebasan, martabatnya
sebagai manusia. Semuanya itu dapat menyengsarakan umat manusia sehingga
ketentraman hidup menjadi hilang.
2. Kekerasan langsung
Kekerasan langsung merupakan bentuk kekerasan dilakukan secara fisik dan
sengaja untuk ditujuan kepada pihak yang dianggap bertanggungjawab atas apa yang
menyebabkan tidak seimbangnya koridor pemenuhan kebutuhan hidup. Dalam kekerasan
langsung terdapat hubungan subjek-tindakan-objek seperti pada aksi seseorang yang
melukai orang lain dengan aksi kekerasan. 27
3. Kekerasan budaya
Kekerasan budaya disebut sebagai motor dari kekerasan struktural dan langsung
karena sifat budaya bisa muncul pada dua tipe kekerasan tersebut. Kekerasan budaya
dilihat sebagai sumber lain dari tipe-tipe konflik melalui produksi kebencian, ketakutan
dan kecurigaan. Galtung menekankan makna kekerasan budaya yang ia maksud bukanlah
hendak menyebut kebudayaan secara keseluruhan sistemnya namun aspek-aspek dari
kebudayaan itu.28
Jadi kekerasan didefinisikan Johan Galtung adalah sebagai penyebab perbedaan
antara yang potensial dan yang aktual. Penyalahgunaan sumber-sumber daya, wawasan
27
Ibid, 113. 28
Ibid, 114-115.
34
dan hasil kemajuan untuk tujuan lain atau dimonopoli oleh segelintir orang saja maka ada
kekerasan dalam sistem itu. Karena keadaan itu menyebabkan tingkat aktualisasi massa
rakyat berada dibawah tingkat potensialnya ada kekerasan langsung contohnya
membunuh atau perang. Disini tampak bahwa dengan melukai atau membunuh berarti
menempatkan “realisasi jasmani aktualnya” dibawah “realisasi potensialnya”. Dengan
demikian “realisasi mentalnya” juga tidak dimungkinkan karena kita tahu bahwa tanpa
integritas jasmani kebebasan untuk merealisasikan diri terhambat maka Galtung
mengartikan kekerasan dengan amat luas dia menolak konsep kekerasan sempit, yaitu
menghilangkan kesehatan belaka dengan pembunuhan. Menurut Galtung, jika hanya ini
yang disebut kekerasan, dan perdamaian sebagai bentuk pengingkarannya maka terlalu
sedikit yang ditolak dalam usaha menganut perdamaian sebagai sesuatu yang ideal. Lebih
lanjut lagi pemahaman Galtung tentang kekerasan lebih ditentukan pada segi akibat atau
pengaruhnya pada manusia karena dari sudut korban ini kekerasan tidak banyak bedanya
apakah mati kelaparan merupakan akibat serangan militer, akibat ketidakadilan,
ketidakmerataan dan struktur vertikal dan asimetris, juga tidak banyak bedanya seseorang
dibunuh secara cepat dengan peluru atau mati pelan-pelan karena kekurangan makanan.