BAB II TEORI DASAR TEORI DASAR 2.1 Tektonik Pulau Bali
Transcript of BAB II TEORI DASAR TEORI DASAR 2.1 Tektonik Pulau Bali
5
BAB II TEORI DASAR
TEORI DASAR
2.1 Tektonik Pulau Bali
Bali merupakan bagian dari kepulauan Sunda Kecil yang terbentuk dari
proses subduksi antara lempeng Indo-Australia dan lempeng Eurasia, Lempeng
Indo-Australia cenderung bergerak ke utara dan lempeng Eurasia bergerak ke
selatan. Proses subduksi lempeng Indo-Australia relatif terhadap lempeng Eurasia
yang memiliki kecepatan 7 cm per tahun, yang mengakibatkan adanya sesar aktif
struktur geologi dan aktivitas vulkanik di Bali. Letak Pulau Bali terletak di antara
dua sumber seismik di selatan dan utara, yaitu gempa subduction slab di selatan
dan sesar Flores belakang busur di timur laut Bali (Daryono, 2011).
Menurut McCaffrey dan Nabelek (1987) ujung barat Bali membentang dan
menyatu dengan patahan di Laut Jawa. Pengaruh utama tektonik di Bali adalah
tumbukan antara lempeng Samudera Hindia dan busur Sunda, yang membentang
dari Selat Sunda di barat hingga Pulau Romang di timur. Hamilton (1979)
menemukan patahan busur belakang Wetar dan Flores, yang terletak di sebelah
utara Pulau Alor dan Pulau Pantar di sisi timur busur belakang zona subduksi Jawa.
Patahan tersebut membentang dari Flores hingga Sumbawa. Diperkirakan sesar
busur belakang meluas hingga ke Cekungan Bali di Bali utara. Sesar ini disebut
"Sesar Busur Belakang Flores" (Suarbawa, et al., 2021).
Gambar 2.1 Tectonic setting Pulau Bali (Daryono, 2011).
Sesar naik busur belakang
6
2.2 Geologi Regional
Pulau Bali merupakan salah satu pulau di Indonesia yang terletak di 8°3'40"-
8°50'48" lintang selatan dan 114°25'53" - 115°42'40" bujur timur. Pulau Bali
memiliki relief dan topografi pada bagian tengahnya berupa pegunungan yang
memanjang dari Barat hingga Timur. Bali merupakan salah satu pulau yang
diperkirakan masih tergolong muda karna batuan tertuanya diperkirakan berumur
Miosen Tengah. Secara geografis Pulau Bali dikelilingi oleh perairan dengan batas-
batas, yaitu:
a. Bagian.utara.berbatasan.dengan Laut Bali,
b. Bagian.selatan.berbatasan.dengan.Samudera.Hindia,
c. Bagian.barat.berbatasan.dengan.Selat Bali,
d. Bagian.timur.berbatasan.dengan.Selat Lombok.
Gambar 2.2 Peta geologi lembar Bali, Nusatenggara (Hadiwidjojo, et al., 1998)
2.2.1 Stratigrafi Pulau Bali
Struktur geologi regional Bali diawali dengan aktivitas laut pada masa
Miosen Bawah, menghasilkan breksi yang disisipi batugamping dan lava bantal.
Terdapat endapan kapur di bagian selatan, dan kemudian mengalami pengendapan
7
tersebut membentuk formasi Selatan. Pada bagian utara pengendapan sedimen yang
lebih halus. Pada akhir zaman Pliosen, semua daerah sedimen mengalami.
pengangkatan ke permukaan laut. Ketika terjadi proses pengangkatan, terjadi juga
pergeseran yang menyebabkan terdapatnya beberapa sesar. Masa Pliosen pada
daerah lautan sebelah utara terjadi pengendapan Formasi Asah. Pada daerah barat
laut sebagian dari batuan terangkat ke permukaan laut. Semakin ke barat
pengendapan dari batuan karbonatan lebih dominan, dimana pada masa akhir
Pliosen terangkat dan tersesarkan.
Aktivitas gunung api lebih banyak terjadi di daratan, berjajar dari barat
hingga ke timur yaitu Gunung Merbuk, Gunung Patas, Gunung Batukaru, Gunung
Batur, Gunung Abang, Gunung Agung, Gunung Bisbis, dan Gunung Seraya
(RXerself, 2018). Bali mengalami pergerakan yang menghasilkan pengangkatan
pada bagian utara. Mengakibatkan formasi Palasari terangkat ke permukaan dan
ketidaksimetrisan penampang utara-selatan, dimana pada bagian selatan lebih
landai dibandingkan bagian utara. Secara garis besar batuan di Bali dapat dibedakan
menjadi beberapa satuan, yaitu:
Tabel 2.1 Stratigrafi Pulau Bali
.Kala.Geologi. .Formasi.
Kuarter.
Endapan.aluvium.di.sepanjang.pantai, .tepi.Danau. Buyan, .Bratan, .dan.Batur. . Batuan gunung api dari kerucut subresen Gunung Pohen, Gunung Sangiang, Gunung Lesung. Lava dari.Gunung Pawon. Batuan dari.gunung api.Gunung.Batukaru. Batuan.gunung api.Gunung.Agung. Batuan.gunung.api.Gunung.Batur. Tufa.dari.endapan.lahar.Buyan-Bratan.dan.Batur.
Kuarter.Bawah.
Formasi.Palasari.: konglomerat, .batu pasir, .batu gamping.terumbu. Batuan.gunung api.Gunung.Sraya, .batuan.gunung. api.Buyan-Bratan.Purba.dan.Batur.Purba. Batuan.gunung.api.Jembrana.: lava,.breksi, dan.tufa dari.Gunung.Klatakan,.Gunung.Merbuk, Gunung Patas.dan.batuan.yang.tergabung
8
.Kala.Geologi. .Formasi.
Pliosen.
Formasi Asah : lava, breksi, tufa batu apung, dengan isian rekahan batu gampingan. Formasi Prapat Agung : batu gamping, batu pasir gampingan, Napal. Batuan gunung api Pulaki : lava dan breksi.
Miosen.- .Pleosen. Formasi.Selatan.: batu.gamping. Miosen.Tengah.- Atas Formasi.Sorga.: tufa,.batu.pasir,.napal. .
Miosen.Bawah.- Atas Formasi.Ulukan.:.breksi.gunung.api, .lava, .tufa. dengan.sisipan.batu.gamping.
2.2.2 Fisiografi Pulau Bali
Bali merupakan daerah dengan pegunungan dan perbukitan di sebagian
besar wilayahnya, dimana memiliki rantai pegunungan dari wilayah barat hingga
timur. Di antara gunung-gunung yang berada di Bali terdapat dua gunung yang
masih aktif hingga saat ini, yaitu Gunung Batur dan Gunung Agung. Pegunungan
di Bali yang berada pada bagian tengah membuat wilayah Bali secara geografis
terbagi menjadi dua wilayah yaitu selatan dan utara. Di wilayah selatan ditandai
dengan dataran rendah yang luas dan landai, sedangkan wilayah utara ditandai
dengan dataran rendah yang sempit di kaki bukit perbukitan dan perbukitan di
sekitarnya.
Dilihat dari kemiringan lereng, sebagian besar wilayah Bali memiliki
kemiringan antara 0-2% sampai dengan 15-40%, dan sisanya merupakan tanah
dengan kemiringan lebih dari 40%. Tanah dengan kemiringan 0-2% dominan di
pantai selatan dan sebagian kecil di pantai utara Bali. Daerah dengan kemiringan 2-
15% berada di wilayah Padang, Tabanan, Gianyar, Burler dan pesisir. Kemiringan
Bali Tengah 15% sampai 40% yang meliputi deretan perbukitan dari barat ke timur.
Daerah dengan kemiringan lebih dari 40% merupakan daerah pegunungan dan
perbukitan.
9
Pulau Bali memiliki kelompok lahan yang ditinjau dari ketinggian
tempatnya sebagai berikut :
x Lahan.dengan.ketinggian.0 - 50 m di. atas. permukaan. laut. mempunyai.
keadaan.permukaan yang cukup landai seluas 77.321,38 ha
x Lahan.dengan.ketinggian.50 - 100 m di.atas.permukaan.laut.mempunyai.
keadaan.permukaan berombak sampai bergelombang seluas 60.620,34 ha
x Lahan.dengan.ketinggian.100 - 500 m di.atas.permukaan.laut.mempunyai.
keadaan.permukaan bergelombang sampai berbukit seluas 211.923,85 ha
x Lahan.dengan.ketinggian.500 - 1.000. m. di. atas. permukaan. laut. seluas.
145.188,61.ha.
x Lahan.dengan.ketinggian.lebih dari 1.000.m.di.atas.permukaan.laut.seluas.
68.231,90.ha.
2.3 Geologi Daerah Penelitian
Lokasi penelitian berada di selatan Pulau Bali yang terletak di kecamatan
Kuta, Bali. Lokasi penelitian berada di Gedung Balai Badan Meteorologi,
Klimatologi dan Geofisika Wilayah III atau 8° 44' 19.7088" lintang selatan dan
115° 10' 43.6614" bujur timur. Pada peta geologi daerah penelitian dapat dilihat
pada gambar 2.3 terdapat 3 formasi yaitu Formasi Batuan Gunung Api kelompok
Buyan-Bratan dan Batu, Formasi Aluvium dan Formasi Selatan. Formasi Batuan
Gunung Api kelompok Buyan-Bratan yang berumur Kuarter atau yang lebih
tepatnya pada zaman Holosen memiliki litologi batuan tuf dan lahar. Pada Formasi
Selatan yang berumur Tersier atau yang lebih tepatnya pada zaman Miosen-Pleosen
yang memiliki litologi batuan berupa batugamping terumbu, setempat napal,
sebagian berlapis, terhablur ulang dan berfosil. Pada lokasi penelitian memiliki
Formasi Aluvium yang berumur Kuarter atau pada zaman Holosen yang memiliki
litologi lempung, lanau, kerikil, kerakal, dan pasir dimana hasil dari endapan pantai,
danau dan sungai.
10
Gambar 2.3 Peta geologi daerah pengukuran
2.4 Teori Mengenai Metode
2.4.1 Seismologi Teknik
Seismologi berasal dari Bahasa Yunani yaitu “seismos” dan “logos”,
dimana seismos memiliki arti goncangan atau getaran dan logos memiliki arti ilmu.
pengetahuan atau risalah. Seismologi merupakan ilmu yang mempelajari
perambatan gelombang elastik di bumi, yang dapat menjelaskan bagaimana bentuk
dan struktur dari bumi. Seismologi adalah ilmu yang mempelajari tentang
propagasi, pembangkit, dan perekaman gelombang elastik di dalam bumi atau pada
benda angkasa lainnya dimana pembangkit yang paling besar dan bersifat merusak
adalah gempa bumi (Afnimar, 2009). Ilmu seismologi merupakan cabang dari fisika
bumi padat atau merupakan cabang ilmu dari geofisika.
Dalam ilmu seismologi pada umumnya mempelajari tentang gempa bumi,
getaran tanah, gelombang seismik dan juga mempelajari tentang pergerakan
lempeng. Pada saat terjadi gempa bumi dari sumber gempa tersebut akan
memancarkan gelombang elastik yang menjalar ke segala arah, ketika gelombang
tersebut terbaca oleh seismograf maka akan dapat mengetahui keadaan fisik di
11
dalam bumi dari gelombang seismik yang tertangkap. Dalam seismologi terdapat
pembagian cabang-cabang ilmunya yaitu:
1. Seismologi observasi,
2. Seismologi fisis,
3. Seismologi eksplorasi,
4. Seismologi teknik.
Cabang ilmu seismologi teknik membahas terkait estimasi bencana seismik dan
risikonya serta perancangan bangunan-bangunan yang tahan gempa.
Gelombang seismik adalah gelombang elastis yang dapat merambat di
dalam atau di seluruh permukaan bumi dan disebabkan oleh gerakan tiba-tiba atau
semburan atau ledakan. Gelombang seismik juga merupakan gelombang yang
merambat melalui bumi karena elastisitas kerak bumi akibat deformasi struktur,
tekanan atau tegangan. Gelombang ini membawa energi dan kemudian merambat
ke segala arah di bumi, dan dapat direkam oleh seismograf (Siswowidjojo, 1996).
Gelombang seismik merambat ke segala arah dan bergerak sangat cepat.
Gelombang seismik terkuat terletak di dekat pusat gempa dan melemah saat
gelombang merambat. Kerusakan yang disebabkan oleh gelombang ini tergantung
pada jenis batuan yang membentuk permukaan yang bergetar (Philip, 2008).
Dalam teori tektonik lempeng, litosfer biasa disebut sebgai lempeng.
Litosfer adalah lapisan terluar bumi dan terbagi menjadi dua jenis: lempeng benua
dan lempeng samudra. Lempeng benua adalah dasar dari tanah tempat kita tinggal,
sedangkan lempeng samudera adalah dasar samudera yang ada di seluruh dunia.
Pergerakan lempeng-lempeng ini disebabkan oleh arus konveksi dari pusat bumi.
Akibatnya, lempeng tektonik akan bertabrakan atau menjauh satu sama lain,
sehingga membentuk garis tektonik lempeng di seluruh dunia, seperti yang
ditunjukkan pada gambar 2.4. Jika gerak lempeng saling berdekatan (konvergen)
maka kedua lempeng akan saling mendorong dan energi akan tersimpan semakin
besar hingga batuan tidak dapat menahan energi tersebut sehingga menyebabkan
batuan akan patah (Purwanto, 2015). Daerah di mana lempeng bertabrakan disebut
juga zona subduksi, yang diwakili oleh adanya palung. Dalam kasus pergerakan
lempeng yang saling menjauh (divergen), material baru akan terbentuk dari dalam
bumi, yang biasa disebut punggung tengah samudera atau mid-ocean ridge. Selain
12
itu, dalam kasus pergerakan lempeng saling bergeser (transform), kedua lempeng
tersebut saling bergerak horizontal satu sama lain atau bergerak secara mendatar
(Kusky, 2008).
Gambar 2.4 Lempeng tektonik dunia yang saling bergerak membentuk jalur tektonik
(garis hitam) dan lingkaran api sebagai gunung berapi aktif (bola merah) (USGS, 1997).
2.4.2 Gelombang Permukaan (Surface Wave)
Gelombang permukaan adalah gelombang yang merambat di permukaan
bumi. Gelombang ini bergerak lebih lambat dari gelombang badan, tetapi
menyebabkan kerusakan yang lebih besar. Pada saat merambat, gelombang
memiliki frekuensi yang lebih rendah tetapi amplitudo yang lebih besar karena efek
permukaan bebas (terdapat perbedaan sifat elastis) (Susilawati, 2008). Gelombang
permukaan dibedakan menjadi dua yaitu gelombang Love dan gelombang Rayleigh.
1. Gelombang Love
Gelombang Love adalah sejenis gelombang yang memiliki arah rambat
partikelnya bergerak melintang terhadap arah penjalarannya secara ilustrasi dapat
dilihat pada gambar 2.5. Gelombang Love merupakan gelombang transversal, dan
kecepatan gelombang di permukaan (VL) adalah ± 2,0 – 4,4 Km/s (Hidayati, 2010).
Gelombang ini dibentuk oleh interferensi gelombang yang dipantulkan pada
gelombang sekunder horizontal (SH) pada lapisan di dekat permukaan bumi. Gerak
partikel medium saat melewati gelombang Love dan gelombang SH akan sama,
tetapi amplitudo akan berkurang dengan bertambahnya kedalaman. Gelombang ini
13
memiliki efek pada bangunan seperti goyangan atau guncangan secara mendatar
pada dasarnya, sehingga memiliki potensi untuk membuat bangunan mengalami
kerusakan (Pawirodikromo, 2012).
Gambar 2.5 Pergerakan partikel pada gelombang Love (Bolt, 1976).
2. Gelombang Rayleigh
Gelombang Rayleigh merupakan salah satu dari gelombang permukaan yang
bergerak merupakan gelombang yang memiliki arah rambat partikelnya bergerak
tegak lurus terhadap arah rambat dan searah bidang datar, ilustrasi penjalaran
gelombang dapat dilihat pada gambar 2.6. Gelombang Rayleigh memiliki
kecepatan di dalam bumi (VR) adalah ± 2,0 – 4,2 Km/s (Hidayati, 2010).
Gelombang ini terbentuk dari interferensi gelombang pantul pada gelombang
Primer dan gelombang Sekunder Vertikal (SV) yang sudut datangnya lebih besar
dari sudut kritis, gelombang ini dapat menjalar pada medium cair. Pengaruh dari
gelombang ini akan berkurang secara cepat menurut kedalaman lapisan tanah.
Gelombang ini menyebabkan gerakan tanah melingkar sehingga menyebabkan
daratan bergerak seperti gelombang di laut (Pawirodikromo, 2012)
Gambar 2.6 Pergerakan partikel pada gelombang Rayleigh (Bolt, 1976).
2.4.3 Mikrotremor
Mikrotremor biasanya disebut juga sebagai ambient noise, alami noise atau
ambient vibration dimana yang berarti getaran dari tanah dengan amplitudo
14
tertentu, yang dapat menggambarkan kondisi geologi daerah penelitian yang
disebabkan oleh peristiwa alam atau buatan manusia (seperti angin, getaran
kendaraan, aktivitas manusia atau gelombang laut) (Haerudin, et al., 2019).
Mikrotremor juga dapat diartikan memiliki periode getaran yang singkat, yaitu
akumulasi gelombang, angin, tumbuhan dan atmosfer sebagai hasil interaksi
(Toiba, et al., n.d.).
Sumber seismic noise dibedakan menjadi dua yang pertama yang berasal
dari alam atau alami noise dimana disebabkan oleh adanya gempa bumi tektonik,
gempa bumi vulkanik, guguran batuan, gelombang ombak laut dan lain sebagainya
yang berasal dari alam. Yang kedua yaitu berasal dari aktivitas manusia atau yang
biasanya disebut noise lingkungan dimana biasanya disebabkan oleh aktivitas
kendaraan, aktivitas pertambangan, aktivitas industri, pengeboran dan lain
sebagainya yang disebabkan oleh manusia.
Nilai dari amplitudo ambient vibration seismik tidak besar tetapi terjadi
secara terus menerus. Sumber mikrotremor yang berasal dari alam memiliki rentang
frekuensi yang rendah yaitu di bawah 1 Hz. Aktivitas dari gelombang laut memiliki
rentang frekuensi berkisar 0,2 Hz sedangkan interaksi dari gelombang laut dan
pantai memiliki rentang frekuensi berkisar 0,5 Hz. Pada frekuensi lebih dari 1 Hz
bisa ditimbulkan oleh angin dan aliran air, sedangkan sumber utama yang
menghasilkan frekuensi yang tinggi disebabkan oleh aktivitas manusia (Peterson,
1993).
Secara umum untuk merekam mikrotremor memerlukan seismometer
dengan tiga komponen yaitu NS (north-south), EW (east-west), dan vertikal (up-
down) atau dapat juga menggunakan accelerometer dengan 3 komponen. Pada saat
melakukan perekaman mikrotremor dilakukan pengukuran secara langsung karena
yang direkam yaitu gelombang yang berasal dari alam, sehingga tidak memerlukan
sumber buatan. Mikrotremor memiliki frekuensi yang lebih tinggi dibandingkan
dengan gempa bumi, dimana gempa bumi periodenya secara umum 0,05 – 2 detik
atau kurang dari 0,1 detik sedangkan mikrotremor memiliki panjang periode dapat
mencapai 5 detik, sedangkan untuk amplitudonya berkisar 0,1 – 1,0 mikron
(Mirzaoglu & Dýkmen, 2003). Pada tabel 2.2 merupakan sumber-sumber
15
mikrotremor berdasarkan nilai frekuensi menurut Gutenberg (1958) dan Asten
(1978)
Tabel 2.2 Sumber-sumber.mikrotremor.berdasarkan.nilai.frekuensi. (Gutenberg, 1958).
dan. (Asten, 1978).
Seismic Noise Source Gutenberg
(1958)
Asten
(1978,1984)
Oceanic waves 0.05 – 0.1 Hz 0.5 – 1.2 Hz
Monsoon or large-scale meteorological
perturbations. 0.1 – 0.25 Hz 0.16 – 0.5 Hz
Cyclones over the oceans. 0.3 – 1.0 Hz 0.5 – 3.0 Hz
Local scale meteorological conditions. 1.4 – 5.0 Hz -
Volcanic tremor. 2 – 10 Hz -
Urban. 1 – 100 Hz 1.1 – 30.0 Hz
Mikrotremor dapat digunakan dalam menentukan properti elastik lapisan
atau endapan tanah, regangan-geser tanah, dll (Pawirodikromo, 2012). Mikrotremor
juga dapat digunakan pada bidang perancangan bangunan tahan gempa, dimana
digunakan untuk menyelidiki struktur bangunan dan mendapatkan nilai alami
frekuensi dari bangunan untuk mencegah terjadinya resonansi yang dapat
memperbesar amplifikasi getaran bila terjadi bencana alam seperti gempa bumi atau
angin kencang.
2.4.4 Mikrotremor Pada Bangunan
Mikrotremor pada bangunan dilakukan untuk menganalisis frekuensi alami
pada bangunan dan amplitudo dominan pada bangunan, di mana hasilnya dapat
digunakan untuk mengidentifikasi nilai resonansi pada setiap lantai bangunan dan
dapat juga menganalisis indeks kerentanan pada bangunan. Pengolahan
mikrotremor pada bangunan menggunakan data dari seismometer atau
accelerometer dengan tiga komponen yaitu komponen north-south, east-west dan
vertical. Alat ukur diletakkan di dekat dinding gedung, dan waktu pengukuran
biasanya 10-15 menit (SESAME, 2004). Usahakan agar jarak pengukuran
16
mikrotremor bangunan dan jarak pengukuran struktur tanah dekat dan memiliki
kondisi geologi yang sama.
Pengolahan nilai frekuensi alami gedung dan amplitudo dominan pada
gedung menggunakan metode floor spectral ratio (FSR) yang direkomendasikan
oleh Gosar (2010). Hasil pengukuran mikroseismik bangunan juga dapat digunakan
untuk memperkirakan struktur dari parameter fungsi perpindahan untuk
mengidentifikasi kerusakan bangunan. Indeks kerentanan juga dapat berguna untuk
menganalisis kerusakan bangunan bila suatu saat terjadi gempa (Sato, et al., 2008).
2.4.5 Fast Fourier Transform (FFT)
Fast fourier transform adalah metode atau algoritm untuk mengubah
bentuk sinyal dari domain waktu ke domain frekuensi yang menghasilkan spektrum
kompleks dan dapat menyajikan banyak komponen frekuensi yang terdapat di
dalam sinyal. Mengukur tingkat daya spektrum dan fase sinyal dari rentan frekuensi
nol sampai setengah frekuensi yang disampel. Fast fourier transform merupakan
pengembangan dari fourier transform yang memiliki prinsip membagi sebuah
sinyal menjadi frekuensi yang berbeda-beda dalam fungsi eksponensial. Cara
kerjanya yaitu membagi sinyal hasil pencuplikan menjadi beberapa bagian lalu
disetiap bagian diselesaikan dengan algoritma yang sama dan hasilnya
dikumpulkan menjadi satu, berikut persamaan FFT yaitu
𝑋(𝜔) =
1𝑁
∑ 𝑥(𝑡)𝑒2𝑗𝜔𝑡
𝑁
𝑁=1
𝑡=0
(2.1)
Dimana 𝑋(𝜔) adalah fungsi dalam domain frekuensi dengan frekuensi radial
antara 0 - 2Sf atau Z = 2Sf.
2.4.6 Horizontal to Vertical Spectra Ratio (HVSR)
Horizontal to vertical spectra ratio (HVSR) adalah metode yang
diperkenalkan oleh Nogoshi dan Irigashi (1971) yang selanjutnya ditingkatkan oleh
Nakamura (1989). Metode ini digunakan untuk menghitung rasio spektral antara
total komponen horizontal dan vertikal. Penggunaan mikrotremor banyak dilakukan
untuk mengidentifikasi resonansi frekuensi dasar bangunan dan struktur tanah yang
ada dibawahnya. Frekuensi alami dan amplifikasi merupakan parameter yang dida-
17
patkan dari metode HVSR. HVSR yang terukur pada tanah bertujuan untuk
karakterisasi geologi setempat, frekuensi alami dan amplifikasi yang berkaitan
dengan parameter fisik pada bawah permukaan. Sedangkan HVSR yang terukur
pada bangunan berkaitan dengan kekuatan bangunan (Nakamura, 2000).
Metode HVSR pada umumnya menggunakan data seismik pasif
(mikrotremor) tiga komponen. Periode dominan suatu lokasi dapat diperoleh dari
periode puncak perbandingan H/V mikrotremor, proses pengolahan HVSR secara
garis besar dapat dilihat pada gambar 2.8. Secara matematis horizontal to vertical
spectra ratio dinyatakan dalam persamaan (2.2) (Nakamura, 1989).
𝑅(𝑓) = √𝐻𝐸𝑊
2(𝑓) + 𝐻𝑁𝑆2(𝑓)
𝑉𝑈𝐷(𝑓) (2.2)
Keterangan:
R(f) = spektrum rasio HVSR.
𝐻𝐸𝑊(f) = spektrum komponen horizontal barat-timur.
𝐻𝑁𝑆(f) = spektrum komponen horizontal utara-selatan.
𝑉𝑈𝐷(𝑓) = spektrum komponen vertikal.
Metode HVSR biasanya digunakan untuk karakterisasi suatu wilayah
dengan menggunakan analisis mikrotremor, berikut beberapa asumsi yang
digunakan pada metode ini:
1. Mikrotremor sebagai besar terdiri dari gelombang geser,
2. Komponen vertikal gelombang tidak mengalami amplifikasi lapisan sedimen
dan hanya komponen horizontal yang teramplifikasi,
3. Tidak ada amplitudo yang berlalu dengan arah yang spesifik pada bedrock
dengan getaran ke segala arah,
4. Gelombang Rayleigh diasumsikan sebagai noise mikrotremor dan diusulkan
metode untuk mengeliminasi efek gelombang Rayleigh.
18
Gambar 2.7 Deskripsi pengolahan data H/V secara keseluruhan (Wathelet, 2008)
Mikrotremor dengan periode pendek sebagian besar terdiri dari gelombang
geser dan gelombang permukaan, yang dianggap sebagai noise. Hasil analisis data
seismik menunjukkan bahwa nilai maksimum rasio getaran horizontal terhadap
getaran vertikal pada setiap pengamatan berkaitan dengan kondisi tanah dan
19
mendekati nilai ekuivalen satuan kekuatan tanah yang bergetar ke segala arah.
Tingkat kerusakan bangunan berbanding lurus dengan indeks kerentanan tanah
(Kg). Secara matematis rumus indeks kerentanan tanah dapat dirumuskan dalam
persamaan (2.3) (Nakamura, 2000).
𝐾𝑔 =
𝐴𝑚2
𝑓𝑡 (2.3)
Keterangan:
Kg = Indeks kerentanan tanah.
𝐴𝑚 = Puncak spektrum HVSR.
𝑓0 = Nilai frekuensi dominan.
Nilai dari indeks kerentanan tanah diklasifikasikan untuk menentukan
tingkat rawan kerusakan yang dapat terjadi akibat gempa.
Tabel 2.3 Klasifikasi.nilai.indeks.kerentanan.tanah.(Refrizon, 2013)
Zona Nilai Kg
Rendah <3
Sedang 3-6
Tinggi >6
2.4.7 Floor Spectra Ratio (FSR)
Metode floor spectra ratio (FSR) merupakan metode untuk menentukan
frekuensi alami bangunan dan nilai dari resonansi bangunan yang dapat
menggambarkan karakteristik dari bangunan ketika terjadinya gempa bumi.
Penentuan frekuensi alami dan resonansi bangunan dapat dilakukan dengan
merekam data ambient noise. Menurut Gosar (2010) floor spectra ratio atau FSR
merupakan metode standar untuk menilai kekuatan bangunan yang diakibatkan
oleh getaran seismik, dan karakteristik bangunan dapat dilengkapi dengan
pencatatan rekaman mikroseismik. Menggunakan metode HVSR tidak disarankan
untuk melakukan analisis frekuensi pada bangunan dikarenakan tidak ada landasan
teori dalam penerapannya, sehingga tidak dapat diasumsikan tidak ada perbedaan
antara spektrum vertikal dan spektrum horizontal pada bagian bawah tanah (Gosar,
20
2007). Floor spectra ratio (FSR) dikenal juga sebagai fungsi transfer struktur, telah
diperkirakan dari rasio spektral struktur terhadap spektrum tanah atau spektrum
bidang bebas (Ayi & Bahri, 2012). Metode ini dilakukan pada tahapan awalnya
yaitu analisis spektrum Fourier dimana mengubah data mikroseismik yang terekam
dalam domain waktu menjadi domain frekuensi (spektrum) pada masing-masing
komponen (NS dan EW) pengukuran mikroseismik. Proses pengolahan FSR secara
umum dapat dilihat pada gambar 2.8.
Gambar 2.8 Skema.model.metode.FSR.
Keterangan :
𝐻(𝜔) = amplifikasi bangunan atau karakter bangunan.
𝑆𝑋𝑋 = respons getaran bangunan setelah terjadi getaran seismik.
𝑆𝑞𝑞 = respon getaran dari bangunan.
Pada metode FSR karakteristik bangunan yang dapat diperoleh selain
frekuensi alami adalah indeks resonansi bangunan dan indeks kerentanan bangunan
(Prastowo & Prabowo, 2017). Menurut Allaby (2008) resonansi memiliki arti suatu
kondisi dimana benda atau suatu sistem mengalami gaya osilasi dimana nilai
frekuensinya mendekati frekuensi alami benda tersebut. Nilai dari resonansi
bangunan ditentukan berdasarkan spektrum pada setiap komponen (NS dan EW).
Resonansi dapat digunakan untuk menentukan kemungkinan sebuah bangunan
beresonansi dalam gempa bumi (Gosar, et al., 2010). Terdapat beberapa klasifikasi,
yaitu :
1. Resonansi tingkat rendah (R > 25%)
2. Resonansi tingkat sedang (15% < R < 25%)
3. Resonansi tingkat tinggi (R < 15%)
21
Untuk menghitung indeks resonansi bangunan menggunakan persamaan
seperti berikut.
𝑅 = |
𝑓𝑏 − 𝑓𝑡
𝑓𝑡| × 100% (2.4)
Keterangan:
𝑓𝑏 = frekuensi alami bangunan.
𝑓𝑡 = frekuensi alami tanah.
2.4.8 Frekuensi Alami Tanah (ft)
Frekuensi alami atau frekuensi dominan merepresentasikan jumlah
gelombang yang terjadi dalam suatu rentang waktu tertentu, dan jumlah gelombang
tersebut dipengaruhi oleh kecepatan dari rata-rata dan ketebalan sedimen dibawah
permukaan. Frekuensi alami tanah adalah nilai frekuensi alami yang sering muncul
sehingga dianggap sebagai nilai frekuensi dari lapisan batuan. Nilai frekuensi alami
tanah juga dapat menunjukkan karakteristik batuan tersebut. Nilai dari frekuensi
tanah dapat dipengaruhi dari tebal tidaknya lapisan sedimen. Jika nilai frekuensi
alami tanah semakin rendah maka lapisan sedimen pada daerah tersebut akan
semakin tebal, begitu juga sebaliknya semakin tinggi nilai frekuensi alami tanah
yang didapat maka lapisan sedimen pada daerah tersebut akan semakin tipis. Ini
juga dapat menunjukkan kedalaman dari batuan keras atau batuan dasar. Tabel 2.4 Klasifikasi tanah berdasarkan nilai frekuensi alami (Arifin.et al., 2013)
Klasifikasi Tanah
Frekuensi Alami (Hz)
Klasifikasi Kanai
Ketebalan
Sedimen
Permukaan
Jenis I
6,667 - 20
Batuan tersier atau lebih tua yang
terbentuk dari batuan hard sandy, gravel, dll.
Didominasi oleh
batuan keras,
sangat tipis
Jenis
II 10 – 4
Batuan aluvial dengan ketebalan 5m.
Terbentuk dari sandy-gravel, sandy
hard clay, dll.
Menengah
(5-10m)
22
Klasifikasi Tanah
Frekuensi Alami (Hz)
Klasifikasi Kanai Ketebalan
Sedimen
Permukaan
Jenis
III 2,5 - 4
Batuan aluvial dengan ketebalan >5m. Terbentuk dari sandy gravel,
sandy hard clay, dll.
Tebal
(10-30m)
Jenis
IV <2,5
Batuan aluvial yang terbentuk dari
sedimentasi delta, topsoil, lumpur,
dll.
Sangat tebal
(>30m)
2.4.9 Frekuensi Alami Bangunan (f0)
Frekuensi alami adalah frekuensi alami yang terdapat di wilayah tersebut.
Jika terjadi gempa bumi atau gangguan berupa getaran yang di akibatkan aktivitas
manusia atau aktivitas alam dengan frekuensi mendekati frekuensi alam, maka akan
terjadi resonansi yang mengakibatkan penguatan gelombang seismik di wilayah
tersebut. Jika frekuensi alami bangunan (f0) sama dengan frekuensi alami tanah (ft)
akan beresonansi saat terjadi gempa bumi. Efek yang akan terjadi yaitu resonansi
dimana akan memperkuat getaran seismik yang menyebabkan bangunan tersebut
runtuh. Hal tersebut juga berlaku bila alami frekuensi bangunan memiliki nilai yang
sama dengan frekuensi angin.
Jenis dari batuan yang terdapat di bawah bangunan penting untuk dilakukan
analisis, dikarenakan bila suatu bangunan tinggi yang memiliki ciri long period
dibangun pada batuan dasar yang merupakan jenis batuan sedimen maka bangunan
tersebut akan mengalami resonansi. Bila suatu gedung tinggi terkena gelombang
gempa bumi maka akan memperkuat gelombang gempa dan terjadi resonansi. Oleh
sebab itu bangunan tinggi lebih baik dibangun pada jenis batuan dasar yang keras
dikarenakan memiliki ciri short period, maka potensi terjadinya resonansi akan
semakin kecil. Namun bila bangunan berlantai rendah dibangun pada batuan
dasarnya batuan sedimen maka potensi terjadinya resonansi akan semakin kecil
(Earth Sciences Animated, 2015).
Respon suatu bangunan terhadap getaran bergantung pada frekuensi alami
bangunan tersebut, yaitu getaran yang terjadi pada bangunan tersebut di setiap
detiknya. Nilai frekuensi alami pada bangunan bervariasi dan sangat bergantung
23
pada ketinggian bangunan. Getaran alami pada bangunan yang lebih tinggi lebih
lambat dibandingkan pada bangunan yang lebih rendah (Tipler, 1991). Nilai
frekuensi alami gedung diperoleh dengan menggunakan analisa FSR, dimana hasil
dari analisisa spektrum frekuensi dari setiap lantai terhadap tanah di bawahnya
untuk mendapatkan nilai frekuensi alami bangunan. Menggunakan persamaan (2.5)
dan (2.6) untuk melakukan proses penghitungan untuk menentukan nilai frekuensi
natural bangunan (Prakosa, et al., 2014).
𝑓0(𝐹𝑆𝑅) =
𝑓𝑏𝑁𝑆𝑓𝑡𝑁𝑆
(2.5)
𝑓0(𝐹𝑆𝑅) =
𝑓𝑏𝐸𝑊𝑓𝑡𝐸𝑊
(2.6)
Keterangan:
𝑓𝑏 = nilai dari frekuensi bangunan.
𝑓𝑡 = nilai dari frekuensi tanah.
NS dan EW = komponen dari data.
2.4.10 Indeks Kerentanan Bangunan (𝑲𝑻𝒊)
Indeks kerentanan suatu bangunan dapat diestimasi berdasarkan deformasi
struktur yang terkait dengan pergerakan seismik pada tanah dan karakteristik
dinamik dari permukaan dan strukturnya untuk memperkirakan kemungkinan
terjadinya kerusakan pada bangunan tersebut di masa yang akan datang. Nilai
indeks kerentanan bangunan 𝐾𝑇𝑖 ditentukan berdasarkan persamaan (2.12) yang
ditemukan oleh (Sato, et al., 2008) sebagai berikut
Gambar 2.9 Skema bentuk model struktur lantai ke-i
24
Perpindahan horizontal pada lantai ke-i atau 𝛿𝑖 dapat ditulis pada persamaan (2.7)
𝛿𝑖 = 𝛼𝑠𝑖
(2𝜋𝐹𝑠)2 (2.7)
Sedangkan untuk menghitung sudut drift pada lantai ke-i menggunakan persamaan
seperti berikut,
𝛾𝑖 =
𝛿𝑖 − 𝛿𝑖−1
ℎ𝑖=
𝛼𝑠𝑖 − 𝛼𝑠𝑖−1
4𝜋2𝐹𝑠2ℎ𝑖
(2.8)
𝛼𝑠𝑖 = 𝐴𝑠𝑖 ∙ 𝛼𝑔
= 𝐴𝑠𝑖 ∙ 𝐴𝑔 ∙ 𝛼𝑏
= 𝐴𝑠𝑔𝑖 ∙ 𝛼𝑏
(2.9)
Keterangan:
Fs = Frekuensi alami struktur.
𝛼𝑠𝑖 = Percepatan horizontal lantai ke-i.
𝐴𝑔 = Faktor amplifikasi tanah.
𝐴𝑠𝑖 = Struktur lantai ke-i.
𝑆𝑠𝑖 = Spektrum horizontal lantai ke-i.
𝑆𝑠ℎ= Spektrum horizontal lantai dasar.
𝛼𝑏=Percepatan horizontal lantai bawah.
𝛼𝑔= Percepatan horizontal lantai tanah.
Satuan dari sudut drift 𝛾𝑖 adalah 10-6, hi adalah satuan meter dan percepatan seismik
diukur dalam satuan Gal (cm/sec2). Pada persamaan (2.8) ditulis kembali
berdasarkan perbandingan penyesuaian satuan tersebut menjadi,
𝛾𝑖 = 104 ∙
𝐴𝑠𝑔𝑖 − 𝐴𝑠𝑔𝑖−1
4𝜋2𝑓02 ∙ ℎ𝑖
∙ 𝛼𝑏 (2.10)
Dengan 𝐾𝑇𝑔𝑖 mewakili indeks kerentanan bangunan untuk tanah dan bangunan
ditunjukan pada persamaan berikut
𝐾𝑇𝑔𝑖 = 104 ∙
𝐴𝑠𝑔𝑖 − 𝐴𝑠𝑔𝑖−1
4𝜋2𝐹02 ∙ ℎ𝑖
(2.11)
Satuan K berubah menjadi 1/Gal. Berdasarkan persamaan (2.11) maka persamaan
untuk indeks kerentanan bangunan menjadi,
𝐾𝑇𝑖 = 104 ∙𝐴𝑠𝑖 − 𝐴𝑠𝑖−1
4𝜋2𝐹02 ∙ ℎ𝑖
(2.12)
25
Keterangan:
𝐾𝑇𝑖 = Indeks kerentanan bangunan.
𝐴𝑠𝑖 = Faktor amplifikasi untuk tanah dan struktur lantai ke-i.
𝐹0 = Frekuensi alami struktur atau bangunan.
ℎ𝑖 = Ketinggian bangunan pada lantai ke-i.